Anda di halaman 1dari 18

ADMINISTRASI PERKAWINAN DAN RUJUK

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah administrasi lembaga Islam
Indonesia yang diampu oleh :

Drs. Sakrim Miharja, M.Ag

Disusun Oleh Kelompok 4 :


Rahma Awaliyah (1188010171)
Rd Muhammad Anggrid Andriansyah (1188010178)
Riska Dwi Permatasari (1188010193)
Sabrina Nursahpa Dilla (1188010200)

Kelas E/III Administrasi Publik

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah tentang “Administrasi Perkawinan dan Rujuk” ini. Sholawat serta
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang
telah menunjukan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna
dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.

Penulis sangat bersyukur dan mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu penulis selama pembuatan makalah ini, sehingga dapat menyelesaikan makalah
yang menjadi tugas ilmu hadits.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya dapat
menulis makalah lebih baik lagi.

Bandung,16 Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………… I
DAFTAR ISI ……...…………………………………………………………………………….. II
BAB I PENDAHULUAN …………………………….…………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………………….... 1
C. Tujuan Penulisan …………………………………………………………………………….. 1
BAB II PEMBAHASAN …………………………...…………………………………………… 2
A. Perkawinan ………………………………………...………………………………………… 2
1. Hukum Perkawinan ………………………………...……………………………………. 2
2. Rukun dan Syarat Nikah ………………………………………………………………… 2
3. Monogami, Poligami, dan Poliandri …………………………………………………….. 4
4. Kedudukan Suami dan Istri ……………………………………………………………… 5
5. Undang-undang Perkawinan …………………………………………………………….. 6
B. Perceraian …………………………………………………..………………………………. 10
1. Cerai Hidup …………………………………………….………………………………. 10
2. Cerai Mati ……………………………………………………………………………… 11
C. Rujuk …………………………………………………….…………………………………. 11
1. Pengertian Rujuk ……………………………………….………………………………. 11
2. Syarat dan Rukun Rujuk ……………………………….……………………………….. 12
3. Hukum Rujuk ……………………………………………...…………………………… 13
4. Tata Cara Rujuk ………………………………...……………………………………… 13
5. Batasan Rujuk …………………………………...……….…………………………….. 14

BAB III PENUTUP ………………………………………………...………………………….. 15


A. Kesimpulan ……………………………………………………..……………………… 15
B. Saran …………………………………………………………………………………… 15
DAFTAR PUSTAKA …………………………………….……………………………………. 16

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai umat Islam yang bertaqwa, kita tidak akan terlepas dari syari’at Islam. Hukum
yang harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Baik laki-laki maupun
perempuan tidak ada perbedaan di mata Allah SWT, tetapi yang membedakan hanyalah
ketaqwaan kita.
Salah satu dari syari’at Islam adalah tentang perkawinan, talak, cerai, dan rujuk. Keempat
hal ini sudah di atur dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits
Rasulullah SAW. Perkawinan merupakan peristiwa yang sering kita jumpai dalam hidup ini,
bahkan setiap hari banyak umat Islam yang melakukan perkawinan.
Selanjutnya tentang masalah talak, hal ini juga tidak jarang kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Kita lihat di televisi banyak para artis yang melaporkan isterinya ke KUA lantaran
hal sepele, dan dengan gampangnya mengucapkan kata talak. Padahal dalam al-Qur’an sudah
jelas bahwa perbuatan yang paling di benci Allah adalah talaq. dari sini jika kita menengok
kejadian-kejadian yang menimpa suami isteri yang bercerai maka patut kita bertanya ada apa
di balik semua itu.
Kita ketahui bahwa tindak lanjut dari talak itu sendiri akan berakibat perceraian. Dan hal
itu akan menambah penderitaan dari kaum itu sendiri jika melakukan sebuah perceraian. Tetapi
hukum Islam disamping menentukan hukum juga memberikan alternatif jalan keluar yang bisa
di tempuh oleh pasangan suami Isteri jika ingin mempertahankan hubungan pernikahan
mereka. Hal itu bisa di tempuh dengan melakukan rujuk dan menyesali perbuatan yang telah
di lakukan. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis menyusun sebuah
makalah dengan judul “ADMINISTRASI PERKAWINAN DAN RUJUK”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum perkawinan dalam Islam?
2. Apa saja rukun dan syarat nikah ?
3. Bagaimana kedudukan suami dan istri dalam perkawinan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui hukum perkawinan dalam Islam.
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat nikah.
3. Untuk mengetahui kedudukan suami dan istri dalam perkawinan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pernikahan
1. Hukum Pernikahan
Asal hukum pernikahan, dilihat dari lima ketegori kaidah hukum Islam yang disebut
al-ahkam al-khamsah yang berarti ibadah atau ja’iz, sunnat, wajib, makruh, dan haram.
Pertama, ibadah, ja’iz, atau kebolehan dimana ketika orang telah mau dan memenuhi syarat
minimal untuk melakukan kelangsungan pernikahannya. Hukum ibadah, ja’iz atau ibadah
melakukan pernikahan bisa merubah menjadi sunnat, makruh, dan haram tergantung pada
penyebab ada atau tidaknya (kaidah) hukum yang dimaksud pada suatu perbuatan.
Kedua, menjadi sunnat apabila dipandang dari segi pertumbuhan jasmani, keinginan
berumah tangga, kesiapan mental, dan kesiapan membiayai kehidupan rumah tangga telah
benar-benar ada pada orang yang bersangkutan. Jika ia melaksungkan pernikahan dalam
keadan seperti ini ia akan mendapatkan pahala, namum jika ia belum mau berumah tangga
dan mampu menahan diri, maka ia tidak berdosa.
Ketiga, wajib jika seseorang telah cukup matang untuk berumah tangga, baik dilihat
dari segi pertumbuhan jasmani maupun dari kesiapan mental, dan kemampuan membiayai
kehidupan berumah tangga. Dengan keadaan ini ia wajib melakukan pernikahan karena
ditakutkan melakukan penyelewengan, maka jika ia melakukan pernikahan ia akan
mendapatkan pahala, hal ini berlaku bagi wanita dan terutama bagi pria.
Keempat, makruh jika seseorang yang belum siap baik jasmani dan mentak serta biaya
berumah tangga melakukan pernikahan. Sebenarnya ia tidak berdosa melakukan
pernikahan pada saat ini tetapi ia akan dicela sebab kemungkinan besar pernikahan itu akan
mendatangkan kesengsaraan bagi rumah tangganya. Jika ia tidak nikah atau belum
melangsungkan pernikahan dalam keadaan itu dan mampu mengendalikan diri, dia malah
mendapat pahala.
Kelima, haram sekali jika seseorang menikah jika melanggar larangan-larangan
pernikahan, misalnya beristri lebih dari sebanyak-banyaknya empat bagi laki-laki,
mempunyai suami lebih dari satu bagi wanita yang masih terikat dalam pernikahan dengan
laki-laki lain.
2. Rukun dan Syarat Nikah
Rukun nikah menurut hukum Islam, adalah adanya calon suami, calon istri, wali, saksi,
dan ijab kabul.
Pertama dan kedua, ada calon suami dan calon istri yang hadir dalam upacara
pernikahan. Ketiga adanya wali nasab, yaitu wali yang mempunyai hubungan darah dengan
calon pengantin perempuan. Dalam keadaan darurat wali nasab bisa digantikan oleh wali
hakim, yaitu kepala kantor urusan agama kecamatan. Jika wali nasab ada tetapi tidak mau
menikahkan calon pengantin wanita karena perselisihan antara mereka, maka wali
hakimnya adalah penghulu pada kantor urusan agama kabupaten, dan kepala kantor urusan
agama kecamatan.
Keempat, ada dua orang saksi yang memenuhi syarat. Pernikahan yang tidak dihadiri
oleh saksi, walaupun rukun yang lain sudah dipenuhi menurut pendapat umum tidak sah.
Kelima, adalah ijab kabul. Ijab adalah menawarkan tanggung jawab atau penegasan
kehendak untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan dari pihak wanita, sedangkan
kabul adalah penegasan penerimaan pengikatan diri itu oleh pengantin pria. Penegasan
penerimaan itu harus diucapkan oleh pengantin pria langsung setelah capan penegaan
penawaran yang dilakukan pihak wanita, tidak boleh ada anatara waktu yang lama yang
menegaskan keragu-raguan.
Adapun syarat nikah menurut hukum Islam, antara lain pertama, adanya persetujuan
kedua mempelai. Ini merupakan syarat mutlak untuk melangsungkan pernikahan,
persetujuan ini harus lahir dari perasaan dan pikiran kedua calon pengantin tanpa ada
paksaan dan tekanan dari pihak luar. Kedua, ialah mahar atau maskawin. Menurut hukum
Islam mahar adalah hak mutlak calon perempuan dan kewajiban calon pengantin laki-laki
untuk memberikan sebelun akad pernikahan dilangsungkan. Bentuknya macam-macam
dapat tunai dapat pula diutangkan. Mahar adalah lambing penghalalan hubungan suami
istri dan lambing tanggung jawab pengantin pria terhadap pengantin wanita yang kemudian
menjadi istrinya.
Syarat ketiga, adalah tidak boleh melanggar larangan-larangan pernikahan. Larangan-
larangan tersebut secara rinci dan tegas disebutkan dalam QS 2, 4 dan surat-surat lain.
Dikelompokkan antara lain:
a. Larangan pernikahan karena perbedaan agama
(1)Larangan ini ditunjukkan kepada laki-laki disebutkan dalam QS 2: 221. Dalam ayat
tersebut ditegaskan bahwa, laki-laki muslim tidak boleh mengawini wanita nonmuslim
sebelum ia beriman, juga laki-laki muslim tidak boleh mengawinkan laki-laki musryik
dengan perempuan beriman sebelum laki-laki nonmuslim itu beriman pula. Sebab,
wanita dan pria yang musyrik itu akan membawa pasangannya ke neraka, sedangkan
Allah SWT akan membawa wanita dan pria beriman itu kea rah kebaikan dan
keampunan. (2) Larangan ini ditujukan kepada wanita muslim untuk tidak nikah
dengan laki-laki nonmuslim, disebutkan di berbagai ayat Al Qur’an.
b. Larangan pernikahan karena hubungan darah
Larangan ini dirinci dalam QS 4: 23 yang antara lain mengatakan melarang
menikahkan ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara perempuan ibu,
saudara perempuan ayah, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan saudara
perempuan.
c. Larangan pernikahan karena adanya hubungan kekeluargaan yang disebabkan karena
pernikahan.
Larangan ini dirinci dalam QS 4: 23 antara lain menikahkan mertua perempuan, anak
tiri perempuan, menantu perempuan, dua wanita bersaudara, ibu tiri.
d. Larangan pernikahan karena hubungan sepersusuan
Larangan ini dirinci dalam QS 4: 23, dalam ayat ini ditegaskan jelas menikahi ibu susu,
saudara sepersusuan, yaitu orang yang pernah menyusu pada ibu susu yang sama.
e. Larangan Khusus bagi wanita yaitu poliandri
Larangan ini tersirat dalam QS 4: 24, dalam ayat itu disebutkan larangan bagi laki-laki
untuk menikahi wanita yang sedang bersuami. Ini berarti bahwa wanita dilarang
mempunyai suami lebih dari seorang. Dalam hukum pernikahan dan kewarisan Islam,
soal kemurnian keturunan sangat penting dan menentukan, ini artinya keturuan atau
hubungan darah seseorang itu harus jelas alurnya. Karena itu, darah anak yang
dikandung oleh seorang wanita harus murni. Darah tersebut hanya dapat dihubungkan
dengan darah seorang laki-laki saja sebagai ayahnya, tidak bercampur dengan darah
beberapa laki-laki lain.
3. Monogami, Poligami, dan Poliandri
Berkenaan dengan perkawinan dan rumah tangga, ada beberapa istilah yang perlu
dijelaskan hubungannya dengan hukum Islam. Istilah tersebut adalah monogami, poligami,
dan poliandri. Monogami adalah perkawinan seorang (suami) dengan seorang (isteri).
Poligini artinya kawin banyak. Bentuknya mungkin poligami, mungkin pula poliandri
(seperti di Tibet). Dalam poligami seorang suami kawin dengan lebih dari seorang isteri,
sedangkan sebaliknya dalam poliandri seorang isteri mempunyai lebih dari seorang suami.
Dalam kepustakaan, istilah poligami lebih banyak dipergunakan daripada poligini,
sehingga orang lebih memahami poligami sebagai istilah perkawinan seorang suami
dengan lebih dari seorang isteri. Hubungan ketiga istilah tersebut dengan hukum islam,
pada pokok dan garis-garis besarnya, adalah sebagai berikut.
Monogami adalah asas perkawinan dalam hukum islam. Asas tersebut terdapat dalam
Qs. An-Nisa ayat 3 yang terjemahannya berbunyi; "...... jika kamu takut tidak dapat berlaku
adil (terhadap isteri-isterimu jika kamu beristeri lebih dari seorang), kawinilah seorang
wanita saja ... (sebab) kawin dengan seorang wanita saja lebih baik bagimu agar kamu tidak
berbuat aniaya".
Kendatipun terjemahan ayat tersebut dalam tafsiran Al-Qur'an berbahasa Indonesia
sedikit berbeda-beda, namun semuanya menunjukkan pada nasihat atau anjuran Allah
SWT agar pria beristerikan seorang wanita saja, karena beristerikan lebih dari seorang
wanita itu akan membuat suami berlaku curang, aniaya, dan sewenang-wenang terhadap
isteri-isteri atau anak-anaknya. Kawin dengan wanita lebih dari seorang , karena itu bukan
asas, tetapi pengecualian dalam hukum perkawinan islam. Perkawinan semacam itu adalah
jalan atau pintu darurat untuk ke luar dari kesulitan rumah tangga.
Perkawinan poligami dibolehkan (bukan dianjurkan atau diwajibkan) oleh ajaran Islam
dalam keadaan yang mendesak, untuk tujuan-tujuan yang baik dan dengan syarat-syarat
yang berat. Tujuan yang baik itu misalnya, untuk memelihara anak-anak serta harta anak
anak yatim atau janda-janda, yaitu ibu-ibu anak-anak yatim tersebut. Syarat-syaratnya
antaralain adalah :
a. Sanggup berlaku adil terhadap semua isteri-isteri
b. Jumlahnya tidak boleh lebih dari empat
c. Tidak boleh wanita yang bersaudara atau dengan wanita lain yang mempunyai
hubungan sepersusuan dengan isteri, dan
d. Tidak bermaksud hendak mempermainkan atau menganiaya wanita yang akan
dikawini itu.

Undang-undang perkawinan indonesia, juga menganut asas monogami. Namun


dengan izin pengadilan agama, seorang suami yang beragama islam dapat beristeri lebih
dari seorang (poligami), asal saja memenuhi syarat-syarat berikut, yaitu:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri karena berbagai hal dan
keadaan
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Disamping itu, ketika mengajukan
permohonan izin beristeri lebih dari seorang kepada pengadilan agama, ia juga harus
membuktikan
d. Adanya persetujuan dari isteri atau isteri-isteri
e. Ada kepastian bahwa ia mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri serta anak-
anaknya, dan
f. Ada jaminan bahwa suami itu akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

Seorang wanita menurut hukum islam tidak boleh mempunyai suami lebih dari seorang
dalam waktu yang bersamaan (Poliandri). Tujuan larangan poliandri adalah untuk menjaga
kemurnian keturunan dan kepastian hukum seorang anak. Sebab seorang anak yang berada
dalam kandungan dan dilahirkan hidup telah membawa hak-hak tertentu yang harus
dilindungi oleh hukum. Menurut hukum islam, seorang anak yang masih berada dalam
kandungan dan dilahirkan hidup oleh ibunya mendapat bagian kewarisan sepenuhnya
apabila pembagian harta peninggalan itu dilakukan setelah ia lahir. Larangan poliandri ini
disebutkan dalam Qs. An-Nisa ayat 24 seperti telah disinggung di muka.
Dari uraian singkat di atas jelas bahwa menurut hukum perkawinan islam, monogami
adalah asas, poligami dibolehkan sebagai pintu darurat dengan syarat-syarat yang berat,
sedangkan poliandri dilarang sama sekali.
4. Kedudukan Suami Isteri
Menurut hukum islam, kedudukan suami isteri dalam perkawinan adalah sederajat,
mempunyai hak kewajiban yang seimbang sesuai dengan fitrahnya masing- masing Qs. Al-
Baqarah ayat 228. Sebagai akibat dari kedudukan yang sederajat dan keseimbangan hak
dan kewajiban, maka kekayaan yang diperolah selama perkawinan menjadi harta bersama.
Mengenai harta ini suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Harta
bawaan masing-masing dan harta benda yang diperolah masing-masing sebagai hadiah
atau warisan berada di bawah pengawasan masing-masing. Baik suami maupun isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya
sendiri. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama itu diatyr menurut hukum
islam berdasarkan kepatutan dan peran serta masing-masing dalam kehidupan berkeluarga
dan rumah tangga.
Sebelum pembicaraan mengenai perkawinan sebagai lembaga islam ini dilanjutkan, tidak
ada salahnya kalau kita singgung Undang-undang perkawinan Indonesia yang berlaku bagi
umat islam di tanah air kita.
5. Undang-undang Perkawinan
Ciri-ciri khusus undang-undang perkawinan Indonesia yang mulai berlaku dan
dilaksanakan tanggal 1 Oktober 1975, yaitu :
a. Asas Perkawinan
Undang-undang Perkawinan Indonesia yang termaktub dalam UU No, 1 tahun
1974 asasnya adalah agama. Agama atau hukum agama yang dipeluk oleh seseoranglah
yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinann.
Dalam pasal 2 ayat (1) dengan tegas dinyatakan bahwa "perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing -masing agamanya dan kepercayaannya itu".
Anak kalimat "agama dan kepercayaannya itu" diambil dari ujung ayat (2) pasal 29
Undang Undang Dasar 1945, di bawah judul agama. Di Negara Republik Indonesia
tidak boleh ada dan tidak boleh dilangsungkan perkawinan di luar hukum agama atau
kepercayaan agama yang diakui eksistensinya yaitu Islam, Nasrani (baik Katolik
maupun Protestan), Hindu, dan Budha. Akibat dari asas sahnya perkawinan didasarkan
pada hukum agama, segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan tidak boleh
bertentangan dengan hukum agama yang dipeluk oleh warga negara Indonesia.
b. Tujuan Perkawinan
Pasal 1,".. tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa". Membentuk keluarga
bahagia itu, demikian disebutkan dalam penjelasannya, berkaitan erat dengan
keturunan, pemeliharaan dan pendidikan (keturunan) yang menjadi hak serta kewajiban
(kedua) orang tua. Untuk itu, suami isteri perlu saling membantu, saling melengkapi.
Pembentukan keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan
Yang Maha Esa mengandung makna bahwa selain perkawinan harus dilangsungkan
menurut hukum agama, pembinaan dan pengembangan keluarga atau rumah tangga
pun harus dilakukan menurut ajaran agama masing-masing.
Tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga bahagia dalam
Undang-undang Perkawinan tersebut sama dengan tujuan pernikahan yang dirumuskan
dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (Indonesia) yakni membentuk keluarga sakinah
(tenang tenteram = bahagia) yang dibina dengan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa
rahmah) oleh suami isteri dalam keluarga bersangkutan. Untuk itu, demikian
Kompilasi Hukum Islam pasal 77 ayat (2), suami isteri wajib saling menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir batin satu kepada yang lain. Suami isteri, demikian
disebutkan pada ayat (3) pasal yang sama, memikul kewajiban untuk mengasuh dan
memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasan serta pendidikan agamanya.
Tujuan untuk membina keluarga atau rumah tangga berdasarkan ajaran agama
adalah sejalan dengan ajaran al-Qur'an yang memerintahkan kepada orang-orang
beriman untuk membina dan melindungi keluarga atau keturunannya dari siksa (api)
neraka (Qs 66:6). Pembinaan kehidupan keluarga yang baik untuk mengembangkan
keturunan yang saleh, bersyukur kepada Allah, berketuhanan Yang Maha Esa, adalah
tanggung jawab kedua orang tua (suami isteri) seperti yang disebutkan dan dicontohkan
pada keluarga Lukman dalam al-Qur'an (Qs 31:12-19).
c. Sifat Perkawinan
Sifatnya mengangkat harkat dan deraja (kedudukan) kaum wanita (para isteri),
dapat dijelaskan dalam uraian berikut :
1) Dalam Undang-undang Perkawinan dinyatakan dengan jelas bahwa hak dan
kedudukan suami adalah seimbang dengan hak dan kedudukan isteri dalam
kehidupan keluarga serta pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Suami isteri
sama-sama berhak melakukan perbuatan yang mempunyai akibat hukum, baik bagi
dirinya sendiri maupun untuk kepentingan bersama dalam keluarga dan
masyarakat. Karena kedudukannya sama, terdapat kemitraan (partnership)antara
suami dan isteri: Hanya,karena kodratnya yang berbeda (sesuai dengan ajaran
Islam: arrijalu qawwämuna alannisa’i), laki-laki memimpin dan menjadi
penanggung jawab penghidupan dan kehidupan wanita (isterinya) dalam keluarga,
diadakan pembagian pekerjaan.
Dalam Undang-undang Perkawinan, perumusan pembagian pekerjaan dan
tanggung jawab tersebut dinyatakan dengan kata-kata: suami adalah kepala
keluarga dan istri (wanita) ibu rumah tangga. Sebagai kepala keluarga, suami wajib
melindungi isterinya dan memberikan segala keperiuan hidup berumah tangga
termasuk tempat tinggal sesuai dengan kemampuannya. Dan sebagai ibu rumah
tangga, istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, Perkataan ibu
rumah tangga" ini tidak boleh dipandang sebagai penurunan kedudukan atau
pengurangan kemitraan suami-isteri, pria-wanita. Ia hanya pernyataan pembagian
pekerjaan dan tanggung jawab.
2) Suami isteri wajib saling mencintai, homat-menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
3) Kedudukan wanita dalam perkawinan, ini tercermin dalam ketentuan terdapatnya
harta bersama suami isteri dalam perkawinan. Yang dimaksud dengan harga
bersama adalah harta benda atau harta kekayaan yang diperoleh selama
perkawinan, tanpa mempersoalkan atas nama siapa di antara suami isteri harta
bersama itu terdaftar atau tertulis. Kalau terjadi perceraian, harta bersama itu dibagi
antara janda dan duda yang bersangkutan secara berimbang, berdasarkan keadilan.
Menurut Kompilast Hukum Islam yang berlaku bagi umat 1slam di Indonesia,
dalam cerai hidup, duda atau janda berhak memperoleh seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
4) Seseorang hanya dapat melangsungkan perkawinan apabila telah masak jiwa
raganya. Ukuran kemasakan jiwa raga terscbut ditentukan oleh umur seseorang. Ini
berarti, perka- winan antara seorang calon suami isteri yang masih di bawah umur
19 dan 16 tahun, harus dicegah karena hukumnya, sekurang-kurangnya makruh.
Maksud pencegahan perkawinan di bawah umur adalah agar mereka yang akan
membentuk rumah tangga benar-benar telah mampu menjadi kepala keluarga
(suami) dan ibu rumah tangga (isteri). Kemampuan ini perlu untuk mencapai tujuan
perkawinan, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan di atas,
yakni memben- tuk keluarga (rumah tangga) yang harmonis, bahagia, dan kekal.
5) Perkawinan adalah mempersukar perceraian, baik melalui talak yang dilakukan
oleh suami maupun melalui upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh isteri. Menurut
Undang-undang Perkawinan, perceraian hanya mungkin dilakukan apabila
dipenuhi syarat-syarat yang antara lain disebutkan dalam pasal 39 ayat (2), yaitu
antara suami isteri tidak dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri, dan harus
dilakukan di depan sidang pengadilan melalui acara tertentu. Perceraian, menurut
ajaran Islam yang selaras dengan asas yang dianut oleh Undang-undang
Perkawinan, adalah "sesuatu" yang halal tetapi yang (sangat) dibenci oleh Allah,
karena akibatnya yang buruk, baik bagi janda maupun duda yang bersangkutan,
terutama pada anak-anak yang lahir dalam perkawinan itu.

Perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama menjadi masalah dalam


masyarakat Indonesia, terdapat tiga pendapat mengenai Perkawinan antar orang-orang
yang berbeda agama yang dihubungkan dengan undang-undang perkawinan, yaitu :
1) Perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama dapat saja dilangsungkan
sebagai pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan seseorang untuk
menentukan pasangannya. Menurut pendapat ini, soal perkawinan adalah masalah
duniawi (sekuler) yang perlu dipisahkan dari kehidupan akhirat (agama). Tugas
hukum perkawinan, menurut pendapat ini, adalah mengatur tata tertib kehidupan
masyarakat di dunia ini, bukan mengatur kesejahteraan dan keselamatan di akhirat.
Pandangan sekuler inilah yang terumus dalam pasal 11 ayat (2) RUU (Rancangan
Undang Undang) Perkawinan 1973 dahulu, yang berbunyi, "Perbedaan karena
kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama/kepercayaan, dan
keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan", yang telah ditolak oleh DPR
dan dikeluarkan dari Undang-undang Perkawinan (1974), karena "tidak sesuai
dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945".
2) Pasal 57 Undang- undang Perkawinan secara tersirat mengatur perkawinan antar
orang-orang yang berbeda agama, yang secara salah dalam kepustakaan hukum
Indonesia disebut "perkawinan antar agama" Menurut pendukung pendapat kedua
ini, Pasal 57 Undang-un- dang Perkawinan tersebut mengandung dua pengertian:
tersurat dan tersirat.
Pengertian tersuratnya dirumuskan dalam pasal 57 itu "Yang dimaksud dengan
perkawinan campuran dalam undang- undang ini adalah perkawinan campuran
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia".
Pengertian tersirat terletak pada koma setelah kata ber lainan, Ke dalam kata-kata
"hukum yang berlainan" dalam pasal itu termasuk perkawinan antar orang-orang
yang berbeda agama Tentang redaksi dan koma yang terdapat dalam pasal 57 itu
seorang guru besar Bahasa Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
menyatakan bahwa perkawinan campuran yang diatur dalam pasal tersebut adalah
perkawinan campuran antar orang- orang yang berbeda kewarganegaraannya,
bukan perkawinan campuran antar orang-orang yang berbeda agamanya. Dengan
atau tanpa koma, maknanya tetap sama seperti yang tersurat itu.
3) Perkawinan campuran antar orang-orang yang berbeda agama tidak dikendaki oleh
pembentuk undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR Republik Indonesia.
Kehendak tersebut antara lain dengan tegas dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Perkawinan mengenai sahnya perkawinan berasaskan agama
sebagai perwujudan sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjädi dasar
perkawinan di Indonesia seperti yang telah diuraikan di atas. Karena itu, sangatlah
logis kalau dalam Pasal 8 huruf (f) Undang-undang Perkawinan dirumuskan dengan
jelas bahwa, "Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan
yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku dilarang kawin". Artinya,
Undang-undang Perkawinan melarang dilangsungkan atau disahkan perkawinan
yang dilarang oleh agama dan peraturan lain yang berlaku dalam Negara Republik
Indonesia.
Larangan yang tercantum dalam Undang-undang Perkawinan tersebut selaras
dengan larangan agama dan hukum masing-masing agama yang ada di tanah air kita.
Agama Islam, melalui syari'at atau hukum agamanya, telah mengatur soal perkawinan
beda agama ini secara jelas dalam QS 2:221, 60:10, dan 5:5. Menurut Qs 2:221 dan
60:10, pria dan wanita muslim dilarang kawin dengan wanita atau pria musyrik dan
kafir, karena, illat-nya, menurut firman Allah sendiri dalam Qs 2:221 itu, "orang-orang
(pria dan wanita) musyrik (dan kafir) itu membawa kamu ke neraka, sedangkan Allah
(yang melarang perkawinan itu) akan membawa kamu ke surga dan ampunan".
Kemudian, dalam Qs 5:5,Allah memberi "dispensasi sempit berupa hak atau
kewenangan terbatas kepada pria muslim untuk menikahi wanita Ahlul-Kitab, yaitu
wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Hak atau kewenangan terbatas itu dapat
dipergunakan atau tidak dipergunakan oleh pria muslim, tergantung pada berbagai
faktor, situasi dan kondisi. Menurut almarhum Prof. Hazairin penggunaan dispensasi
sempit itu, ada syaratnya, yakni kalau di tempat tinggal pria muslim itu sangat sedikit
wanita Islam, sedangkan wanita Ahlul-Kitab banyak. Di Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam syarat untuk mempergunakan dispensasi terbatas itu
tidak ada. Karena itu, masalah perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama di
Indonesia, menjadi berkembang. Oleh karena kerusakan yang ditimbulkannya lebih
besar dari kebaikan yang didatangkannya, terutama bagi kehidupan keturunan yang
lahir dari perkawinan orang yang berbeda agama itu. Untuk kepentingan umat Islam
Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tanggal 1 Juni 1980 mengeluarkan
fatwa, "mengharamkan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita nonmuslimah
(termasuk Ahlul-Kitab di dalamnya)".
B. Perceraian
Kendatipun perkawinan dikehendaki berlangsung seumur hidup, namun perceraian dapat
saja terjadi. Bentuk-bentuk perceraian :
1. Cerai hidup
Yang dimaksud dengan cerai hidup atau disebut juga cerai benci adalah perceraian yang
terjadi sewaktu suami isteri masih hidup. Ini mungkin terjadi karena :
a. Atas inisiatif suami (Talak), yaitu hak suami untuk menceraikan isterinya dengan
mengucapkan kata-kata tertentu
1) Talak khuluk, yaitu talak tebus. Disebut demikian, karena isteri memberikan
sesuatu benda atau uang (iwadh) kepada suaminya sebagai tebusan, agar suaminya
menjatuhkan talak padanya. Akibat talak khuluk ini, mantan suami tidak dapat
rujuk lagi pada mantan isterinya di masa iddah seperti dalam talak biasa tersebut di
atas, tetapi, kalau mereka ingin berumah tangga kembali, mereka harus
melangsungkan akad nikah baru.
2) Ta'lik talak, yakni talak yang digantungkan pada terjadinya sesuatu yang
disebutkan dalam ikrar talak sesudah ijab kabul dilangsungkan. Karena pada ta'lik
talak ini juga ada iwadh, yaitu penggantian yang diberikan oleh isteri kepada suami
melalui pengadilan, maka akibat ta'lik talak sama dengan talak khuluk, yakni
mantan suami tidak dapat rujuk kembali dengan mantan isterinya, kecuali dengan
perkawinan baru.
b. Atas inisiatif isteri (fasakh)
Fasakh adalah bentuk perceraian yang terjadi atas permintaan isteri, karena suaminya
sakit: gila, kusta sopak (balak) atau sakit berbahaya lainnya yang sukar disembuhkan
atau karena cacat badan lainnya yang menyebabkan suami tidak dapat melaksanakan
fungsinya sebagai suami. Cerai fasakh terjadi melalui putusan pengadilan, diatur dalam
pasal 20 sampai dengan 36 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.
c. Atas permintaan suami atau isteri (Syikak)
Syikak adalah perselisihan yang tajam dan pertengkaran terus-menerus antara suami
isteri yang tidak memungkinkan lagi mereka hidup berumah tangga. Menurut Qs 4:35,
kalau terjadi syikak antara suami isteri, hakam (pendamai) harus dibentuk, seorang dari
keluarga seorang lagi dari keluarga isteri. Tugas hakam adalah mendamaikan
perselisihan suami isteri tersebut.Jika usaha hakam itu tidak berhasil, pengadilan dapat
memutuskan apakah suami yang menjatuhkan talak atau isteri meminta khuluk.
Perceraian yang terjadi karena syikak tidak dapat dirujuk kembali (Achmad Ichsan,
1986:52).
d. Li'an
Arti li'an adalah laknat atau kutukan. Dalam hubungan dengan perceraian, li'an adalah
perceraian karena suami atau isteri menuduh pasangannya berbuat zina dan masing-
masing pasangan menolak tuduhan itu serta menguatkan pendiriannya, dengan sumpah
yang mengundang laknat atau kutukan Tuhan, kalau dia berdusta, Dasar hukumnya
adalah Qs 24:6,7
e. Murtad yang disebut juga riddah adalah ke luar dari agama Islam Dengan murtad,
putuslah hubungan perkawinan mereka.
Cerai hidup dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atu karena hal lain di luar kemampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
2. Cerai Mati Yang dimaksud dengan cerai mati atau disebut juga cerai kasih adalah
perceraian yang terjadi karena salah seorang suami isteri meninggal dunia. Jika terjadi
demikian, maka timbullah masalah kewarisan,yaitu masalah yang berhubungan dengan
per- alihan hak atas benda seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Ini telah
menyangkut sistem kewarisan Islam, yang merupakan kelanjutan sistem perkawinan Islam
dan merupakan bagian hukum keluarga.
C. Rujuk
1. Pengertian Rujuk

Rujuk adalah bersatunya kembali seorang suami kepada istri yang telah dicerai
sebelum habis masa menunggu (iddah). Rujuk hanya boleh dilakukan di dalam masa ketika
suami boleh rujuk kembali kepada isterinya (talaq raj’i), yakni di antara talak satu atau
dua. Jika seorang suami rujuk dengan istrinya, tidak diperlukan adanya akad nikah yang
baru karena akad yang lama belum seutuhnya terputus.
Rujuk menurut bahasa artinya kembali, sedangkan menurut istilah adalah kembalinya
seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah
ditalak raj’i.
Bila sesorang telah menceraikan istrinya, maka ia dibolehkan bahkan di anjurkan untuk
rujuk kembali dengan syarat keduanya betul-betul hendak berbaikan kembali (islah).
Dalam KHI pasal 63 bahwa Rujuk dapat dilakukan dalam hal :
a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak
yang di jatuhkan qabla al dukhul.
b. Putus perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan
selain zina dan khuluk.
Rujuk adalah salah satu hak bagi laki-laki dalam masa idah. Oleh karena itu ia tidak
berhak membatalkannya, sekalipun suami missal berkata: “Tidak ada Rujuk bagiku”
namun sebenarnya ia tetap mempunyai rujuk. Sebab allah berfirman: Artinya: Dan suami-
suaminya berhak merujuknya dalam masa penantian itu”. (al-Baqarah:228)
Karena rujuk merupakan hak suami, maka untuk merujuknya suami tidak perlu adanya
saksi, dan kerelaan mantan istri dan wali. Namun menghadirkan saksi dalam rujuk
hukumnya sunnah, karena di khawatirkan apabila kelak istri akan menyangkal rujuknya
suami.
Rujuk boleh diucapkan, seperti: “saya rujuk kamu”, dan dengan perbuatan misalnya:
“menyetubuhinya, merangsangnya, seperti menciummnya dan sentuhan-sentuhan birahi.
Imam Syafi;I berpendapat bahwa rujuk hanya diperbolehkan dengan ucapan terang dan
jelas dimengerti. Tidak boleh rujuk dengan persetubuhan, ciuman, dan rangsangan-
rangsangan nafsu birahi. Menurut Imam Syafi’I bahwa talak itu memutuskan hubungan
perkawinan.
Ibn Hazm berkata: “Dengan menyetubuhinya bukan berarti merujuknya, sebelum kata
rujuk itu di ucapkandan menghadirkan saksi, serta mantan istri diberi tahu terlebih dahulu
sebelum masa iddahnya habis.” Menurut Ibn Hazm jika ia merujuk tanpa saksi bukan
disebut rujuk sebab allah berfirman.
Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujuklah mereka
dengan baik dan lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil di antara kamu.” (Q.S. At-Thalaq: 2)
2. Syarat dan Rukun Rujuk
Ada beberapa syarat yang menjadikan rujuk sah:
a. Istri yang ditalak telah disetubuhi sebelumnya. Jika suami menceraikan (talak) istrinya
yang belum pernah disetubuhi, maka suami tersebut tidak berhak untuk merujuknya.
Ini adalah persetujuan (ijma) para ulama.
b. Talak yang dijatuhkan bukan merupakan talak tiga (talak raj’i).
c. Talak yang terjadi tanpa tebusan. Jika dengan tebusan, maka istri menjadi talak
bain atau tidak dapat merujuk lagi istrinya.
d. Rujuk dilakukan pada masa menunggu atau masa iddah dari sebuah pernikahan yang
sah. Jika masa menunggu (iddah) istri telah habis, maka suami tidak berhak untuk
merujuknya. Ini adalah kesepakatan (ijma) para ulama fiqih.
Rukun Rujuk :

a. Istri, keadaannya disyaratkan sebagai berikut: istri telah dicampuri atau disetubuhi
(ba’da dukhul), dan seorang istri yang akan dirujuknya, ditalak dengan talak raj’i, yakni
talak dimana seorang suami dapat meminta istrinya kembali dan syarat selanjutnya
adalah istri tersebut masih dalam masa menunggu (iddah).
b. Suami, disyaratkan karena kemauannya sendiri bukan karena dipaksa, Islam dan sehat
akal.
c. Adanya saksi.
d. Adanya sighat atau lafadz atau ucapan rujuk yang dapat dimengerti dan tidak
ambigu. yaitu ada dua cara:
1) Secara terang-terangan, misalnya: “Saya rujuk kepadamu”.
2) Secara sindiran, seperti kata suami: “Aku ingin tidur lagi denganmu”. Perkataan ini
disyaratkan dengan kalimat tunai, dalam arti, tidak digantungkan dengan sesuatu,
misalnya saya rujuk kepadamu jika bapakmu mu. Rujuk dengan kalimat seperti di
atas hukumnya tidak sah.
3. Hukum Rujuk
Pada dasarnya hukum rujuk adalah boleh atau jaiz, kemudian hukum rujuk dapat
berkembang menjadi berbeda tergantung dari kondisi suami istri yang sedang dalam
perceraian. Dan perubahan hukum rujuk dapat menjadi sebagai berikut :
a. Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu dan apabila pernyataan
cerai (talak) itu dijatuhkan sebelum gilirannya disempurnakan. Maksudnya adalah,
seorang suami harus menyelesaikan hak-hak istri-istrinya sebelum ia menceraikannya.
Apabila belum terlaksana, maka ia wajib merujuk kembali istrinya.
b. Sunnah, yaitu apabila rujuk itu lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
c. Makruh, yaitu apabila dimungkinkan dengan meneruskan perceraian lebih bermanfaat
dibanding mereka rujuk kembali.
d. Haram, yaitu apabila dengan adanya rujuk si istri semakin menderita.
4. Tata Cara Rujuk
Rujuk dapat dilakukan dengan:
a. Ucapan
Rujuk dengan ucapan adalah dengan ucapan-ucapan yang menunjukkan makna
rujuk.Seperti ucapan suami kepada istrinya, ”Aku merujukmu” atau ”Aku kembali
kepadamu” dan yang semisalnya.
b. Perbuatan
Rujuk dapat dilakukan dengan perbuatan seperti; suami menyentuh atau mencium
isterinya dengan nafsu atau suami mensetubuhi istrinya. Dan perbuatan semacam ini
memerlukan niat untuk rujuk.[2] Ini adalah pendapat Malik, Ahmad, Ishaq, dan
pendapat yang dipilih adalah pendapat Ibnu Taimiyyah.
Pasangan mantan suami-istri yang akan melakukan rujuk harus dapat menghadap PPN
(Pegawai Pencatat Nikah) atau kepala kantor urusan agama (KUA) yang mewilayahi
tempat tinggal istri dengan membawa surat keterangan untuk rujuk dari kepala desa/lurah
serta kutipan dari buku pendaftaran talak/cerai atau akta talak/cerai.
Adapun prosedurnya adalah sebagaiu berikut :
a. Di hadapan PPN suami mengikrarkan rujuknya kepada istri disaksikan mimimal dua
orang saksi.
b. PPN mencatatnya dalam buku pendaftaran rujuk, kemudian membacanya di hadapan
suami-istri tersebut serta saksi-saksi, dan selanjutnya masing-masing membubuhkan
tanda tangan.
c. PPN membuatkan kutipan buku pendaftaran rujuk rangkap dua dengan nomor dan kode
yang sama.
d. Kutipan diberikan kepada suami-istri yang rujuk.
e. PPN membuatkan surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan dan mengirimnya ke
pengadilan agama yang mengeluarkan akta talak yang bersangkutan.
f. Suami-istri dengan membawa kutipan buku pendaftaran rujuk datang ke pengadilan
agama tempat terjadinya talak untuk mendapatkan kembali akta nikahnya masing-
masing.
g. Pengadilan agama memberikan kutipan akta nikah yang bersangkutan dengan menahan
kutipan buku pendaftaran rujuk.
5. Batasan Rujuk
Apabila seorang suami telah menjatuhkan/menceraikan istrinya sebanyak tiga kali (talak
tiga), maka ia tedak boleh merujuk kembali istrinya kecuali setelah adanya 5 syarat, yaitu:
a. Telah berakhir masa menunggu (iddah) sang perempuan dari suami yang mentalaknya.
b. Istri tersebut telah dinikahi oleh laki-laki lain dengan perkawinan yang sah.
c. Suami yang lain (Suami kedua) telah mencampurinya.
d. Pernikahannya dengan suami kedua telah rusak atau suami keduanya telah
menjatuhkan talak Ba’in kepadanya.
e. Telah habisnya masa iddah atau masa menunggu bagi sang istri dari suami yang kedua.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nikah adalah salah satu pokok hidup yang utama dalam pergaulan atau masyarakat yang
sempurna, bukan saja perkawinan itu satu jalan yang sangat mulia untuk mengatur kehidupan
rumah tangga dan keturunan, tetapi perkawinan itu dapat di pandang sebagai satu jalan menuju
pintu perkenalan antara satu umat dengan yang lain. Selain dari pada itu, dengan perkawinan
seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsu.
Talak menurut istilah syariat Islam ialah melepaskan atau membatalkan ikatan pernikahan
dengan lafadz tertentu yang mengandung arti menceraikan. Talak merupakan jalan keluar
terakhir dalam suatu ikatan pernikahan antara suami isteri jika mereka tidak terdapat lagi
kecocokan dalam membina rumah tangga.
Suatu ikatan perkawinan akan menjadi putus antara lain di sebabkan karena
perceraian.dalam hukum Islam perceraian terjadi karena Khulu’, zhihar, ila’, dan li’an. Rujuk
menurut bahasa artinya kembali. Adapun menurut syariat Islam ialah kembalinya mantan
suami kepada mantan isterinya yang telah di talaknya dengan talak raj’I untuk kumpul kembali
pada masa iddah tanpa tanpa mengadakan akad nikah yang baru. Hukum asal daripada Rujuk
adalah mubah (boleh).
B. Saran

Alhamdullilah penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar, segala koreksi
dan saran demi kesempurnaan makalah ini penyusun harapkan sebagai bentuk kepedulian bagi
yang ingin menambahkan dan sebagai bahan untuk memperbaiki apa yang telah disusunnya.
Sehingga mudah-mudahan untuk waktu kedepannya, penyusun dapat lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Daud, Muhammad dan Habibah Daud. 1995. Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia. Jakarta :
Raja Grafindo Persada.
http://profilaminkutbi.blogspot.com/2010/04/makalah-nikah-talak-cerai-rujuk-ntcr.html (Diakses
pada tanggal 16 Oktober 2019 : 08.36)
https://id.wikipedia.org/wiki/Rujuk
https://yudiarmanto.wordpress.com/rujuk-dalam-islam/

Anda mungkin juga menyukai