PENDAHULUAN
1
1.2 TUJUAN MODUL
Tujuan dari modul ini yaitu untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan Kegawatdaruratan bedah pada kasus trauma multipel, khususnya
mengenai fraktur dan trauma pada organ-organ visera. Kompetensi yang ingin
dicapai mulai dari definisi, etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosa, dan
penatalaksanaan dari fraktur yang secara khusus akan dibahas pada diskusi PBL
Modul 4 ini, serta syok hipovolemik akibat pendarahan fraktur.
2
BAB II
PEMBAHASAN
TRAUMA MULTIPEL
SKENARIO
Sebuah mobil menabrak pembatas jalan tol dengan kecepatan tinggi. Mobil
tersebut berisi 3 penumpang terdiri dari pengemudi, 1 orang disisi depan kiri dan
1 orang dibelakang. Saat ditemukan semua penumpang dalam keadaan cedera.
Pengemudi ditemukan dalam keadaan sadar dan luka ringan .Penumpang sisi
depan terlempar ke luar mobil dan ditemukan tidak bernafas.. Penumpang
belakang ditemukan tidak sadar dan tidak mampu menggerakkan anggota
badannya namun masih bernafas.
Setelah dibawa ke RS, pada saat primary survey terhadap penumpang di belakang
, dokter menemukan hal berikut : seorang laki laki, tidak sadar dengan suara nafas
mengorok, luka sobek dan perdarahan di kepala, jejas pada perut dan fraktur pada
kaki kiri. Tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 100x/menit dan RR 28x/menit dan
akral dingin pada extremitas.. Dokter menduga telah telah terjadi shock
hipovolemik karena perdarahan. Untuk itu dokter segera menyiapkan resusitasi
segera untuk menolong korban termasuk persiapan transfusi darah bila diperlukan
3
5. Pemeriksaan apa saja yang dapat dilakuka untuk membantu menegakkan
diagnosis?
1. Banyak faktor yang bisa menyebabkan seseorang tidak sadarkan diri. Bisa saja
disebabkan karena terjadi penekanan pada sistem ARAS, kelainan metabolik, dan
sebagainya. Pada pasien ini dapat kita duga pasien ini tidak sadarkan diri
dikarenakan karena syok hipovolemi akibat perdarahan oleh karena trauma, yang
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak sehingga aliran oksigen dan
nutrisi ke otak menurun, dan menyebabkan seseorang mengalami penurunan
kesadaran.
2. Suara mengorok pada pasien ini bisa merupakan tandanya ada obstruksi pada
Airway nya. Obstruksi jalan napasnya bisa disebabkan oleh jatuhnya lidah ke
belakang karena pasien mengalami penurunan kesadaran.
3. Dokter menduga terjadi syok hipovolemi dari tanda-tanda vital yang sudah
diperiksa. Pasien menunjukkan hipotensi, terutama penurunan sistol. Dan dari
riwayat pasien yang mengalami trauma multiple dan perdarahan.
HR 100x/menit
4
5. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan :
CT scan
Foto Polos
5
STEP 4 STRUKTURISASI KONSEP
Trauma
Multiple Trauma
Pemeriksan penunjang
Rujukan
6
STEP 6 Belajar Mandiri
DEFINISI
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan dan
lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma. Tidak hanya
keretakan atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering mengakibatkan
kerusakan yang komplit dan fragmen tulang terpisah. Tulang relatif rapuh, namun
memiliki kekuatan dan kelenturan untuk menahan tekanan. Fraktur dapat
diakibatkan oleh cedera, stres yang berulang, kelemahan tulang yang abnormal
atau disebut juga fraktur patologis.
ETIOPATOGENESIS
7
Kekuatan penyebab fraktur dapat berupa :
o Pemutiran : menyebabkan fraktur spiral
o Penekukan : menyebabkan fraktur melintang
o Penekukan dan penekanan : menyebabkan fraktur sebagian melintang,
sebagian berbentuk kupu – kupu berbentuk segitiga terpisah
o Kombinasi : menyebabkan fraktur oblik pendek
o Penarikan : dimana tendon dan ligament benar – benar
menarik tulang sampai tulang
3. Fraktur patologik
Pada fraktur patologik fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal
karena tulang itu memang lemah (misalnya karena tumor) atau kalau tulang itu
sangat rapuh (misalnya pada penyakit Paget). Penyebab-penyebab fraktur
patologis diantaranya adalah ostoporosis, osteogenesis imperfecta, paget’s disease
atau akibat lesi yang litik seperti pada kista tulang, atau metastasis.
8
KLASIFIKASI
Secara klinis, fraktur dibagi menurut ada tidaknya hubungan patahan
tulang dengan dunia luar, yaitu fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tulang
terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan
fraktur yang terjadi, seperti yang dijelaskan pada tabel 1.
a. Complete fractures
Tulang terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Patahan fraktur yang
dilihat secara radiologi dapat membantu untuk memprediksi tindakan yang harus
dilakukan setelah melakukan reduksi. Pada fraktur transversal (gambar 1a),
fragmen tetap pada tempatnya setelah reduksi, sedangkan pada oblik atau spiral
(gambar 1c) lebih cenderung memendek dan terjadi pergeseran meskipun tulang
telah dibidai. Fraktur segmental (gambar 1b) membagi tulang menjadi 3 bagian.
Pada fraktur impaksi fragmen menumpuk saling tumpang tindih dan garis fraktur
tidak jelas. Pada rakturkominutif terdapat lebih dari dua fragmen, karena
kurang menyatunya permukaan fraktur yang membuat tidak stabil
b. Incompletefractures
Pada fraktur ini, tulang tidak terbagi seutuhnya dan terdapat kontinuitas
periosteum. Pada fraktur buckle, bagian yang mengalami fraktur hampir tidak
terlihat (gambar 1d). Pada fraktur greenstick (gambar 1e dan 1f), tulang
melengkung atau bengkok seperti ranting yang retak. Hal ini dapat terlihat pada
9
anak‒anak, yang tulangnya lebih elastis daripada orang dewasa. Pada fraktur
kompresi terlihat tulang spongiosa tertekan kedalam
10
a. Fisura tulang disebabkan oleh cedera tunggal hebat atau oleh cedera terus -
menerus yang cukup lama, seperti juga ditemukan pada retak pada struktur
logam
b. Patah tulang serongoblik
c. Patah tulang transversa
d. Patah tulang komunif akibat cedera hebat
e. Patah tullang segmentasi akibat cedera hebat
f. Patah tulang kupu-kupu
g. Green stick fracture peritoneum tetap utuh
h. Patah tulang kompresi akibat kekuatan besar pada tulang pendek atai
epifisis tulang
i. Patah tulang impaksi, kadang juga di sebut inklavasi
j. Patah tulang impresi
k. Patah tulang patologis akibat tumor atau proses destruktif lain
Menurut Lokalisasi :
a. Frakur Epifisis
b. Fraktur Metafisis
c. Fraktur Diafisis
11
Menurut dislokasi pada patah tulang :
12
Menurut faktur lempeng epifisis menurut Salter-Harris untuk patah tulang yang
mengenai lempeng epifisis distal tibia
I. Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis, tetapi periosteumnya masih
utuh
II. periosteum robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas sama
sekali dari metafisis
IV. terdapat fragmen patahan tulang yang garis patahannya tegak lurus cakram
epifisis
13
MANIFESTASI KLINIS
5) Deformitas
Perubahan bentuk, pergerakan tulang jadi memendek karena
kuatnya tarikan otot-otot ekstremitas yang menarik patahan tulang. Selain
itu, pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm.
14
6) Gerakan abnormal
Disebabkan karena bagian gerakan menjadi tidak normal disebabkan tidak
tetapnya tulang karena fraktur.
7) Memar karena perdarahan subkutan.
8) Spasme otot pada daerah luka atau fraktur terjadi kontraksi pada otot-otot
involunter.
9) Gangguan sensasi (mati rasa) dapat terjadi karena kerusakan syaraf atau
tertekan oleh cedera, perdarahan atau fragmen tulang.
PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik
yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk
menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena
fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada
daerah lain. Penderita biasanya datang karena adanya nyeri, pembengkakan,
gangguan fungsi anggota gerak, krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang
atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis
15
Pemeriksaan Lokal
Inspeksi (Look)
Bandingkan dengan bagian yang sehat
Perhatikan posisi anggota gerak
Keadaan umum penderita secara keseluruhan
Ekspresi wajah karena nyeri
Lidah kering atau basah
Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau fraktur terbuka
Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ
lain
Perhatikan kondisi mental penderita
Keadaan vaskularisasi
Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh
sangat nyeri.
Temperatur setempat yang meningkat
Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-
hati
Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota
gerak yang terkena
Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah
trauma , temperatur kulit
Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai
16
Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan
pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada
pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga
uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
1. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris
dan motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus
dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan
tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan
selanjutnya.
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan,
lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan
jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai
yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan
pemeriksaan radiologis.
17
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip dua
Dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada
anteroposterior dan lateral
Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus di foto, di atas dan di
bawah sendi yang mengalami fraktur
Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada ke
dua angota gerak terutama pada fraktur epifisis
Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada
dua daerah tulang.
Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang
skafoid, foto pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan
foto berikutnya 10-14 hari kemudian.
18
Enam Prinsip Umum Pengobatan Fraktur
1. Jangan membuat keadaan lebih jelek
2. Pengobatan berdasarkan atas diagnosis dan prognosis yang akurat
3. Seleksi oengobatan dengan tujuan khusus
- Menghilangkan nyeri
- Memperoleh posisi yang baik dari fragmen
- Mengusahakan terjadinya penyambungan tulang
- Mengembalikan fungsi secara optimal
4. Mengingat hukum-hukum penyembuhan secara alami
5. Bersifat realistic dan praktis dalam memilih jenis pengobatan
6. Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individual
4R Prinsip Pengobatan :
1. Recognition ; Diagnosis dan Penilaian Fraktur
Pada awal pengobatan perlu diperhatikan :
Lokalisasi fraktur
Bentuk fraktur
Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan
Komplikasi yang mungkin terjadi elama dan sesudah pengobatan
2. Reduction : Reduksi fraktur apabila perlu
Restorasi fragmen fraktur sehingga didapati posisi yang dapat diterima. Pada
fraktur intraartikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat mungkin
mengembalikam fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan,
deformitas serta perubahan osteoarthritis di kemudian hari.
Posisi yang baik adalah :
Alignment yang sempurna
aposisi yang sempurna
19
0.5” pada fracture femur. Adanya rotasi tidak dapat diterima dimanapun
lokalisasi fraktur.
3. Retention ; Imobilisasi fraktur
4. Rehabilitation ; mengembalikam aktifitas fungsional semaksilam mungkin
20
Imobilisasi sebagai pengobatan definitive pada fraktur
Dipelukan manipulasi pada fraktur yant bergeser dan
diharapkan dapat direduksi dengan tertutup dan dapat
dipertahankan. Fraktur yang tidak stabil dan bersifat
komunitif akan bergerak di dalam gips sehingga diperlukan
pemeriksaan radiologis yang berulang-ulang
Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis
Sebagai alat bantu tambahan pada fiksasi interna yang kurang
kuat.
d. Reduksi Tertutup dengan Traksi Berlanjut diikuti Imobilisasi
Dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu traksi kuliat atau trajsi
tulang.
21
Jarang pada fraktur metakarpa
Sekali-kali pada fraktur Colles tau fraktur pada orang tua
dimana reduksi tertutup dan imobilisasi eksterna tidak
memungkinkan.
Fraktur Terbuka
Luka dari bahan asing dan dari jaringan mati, memberikan persediaan
darah yang baik di seluruh bagian itu. Dalam anestesi umum, pakaian pasien
dilepas, sementara itu asisten mempertahankan traksi pada tungkai yang
mengalami cedera dan menahannya agar tetap diam. Pembalut yang sebelumnya
digunakan pada luka diganti dengan bantalan yang steril.
Penanganan Dini
Luka harus tetap ditutup hingga pasien tiba di kamar bedah. Antibiotika
diberikan secepat mungkin, tak peduli berapa kecil laserasi itu, dan dilanjutkan
hingga bahaya infeksi terlewati. Pada umumnya, pemberian kombinasi
benzilpenisilin dan flukloksasilin tiap 6 jam selama 48 jam akan mencukupi; kalau
luka amat terkontaminasi, juga bijaksana untuk mencegah organisme gram negatif
dengan menambah gentamisin atau metronidazol dan melanjutkan terapi selama
4-5 hari. Pemberian profilaksis tetanus juga penting: toksoid diberikan pada
mereka yang sebelumnya telah diimunisasi; kalau belum, berilah antiserum
manusia.
22
Debridemen
Operasi bertujuan untuk membersihkan sekelilingnya dibersihkan dan
dicukur. Kemudian bantalan itu diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan
sejumlah besar garam fisiologis; irigasi akhir dapat disertai obat antibiotika
misalnnya basitrasin. Turniket tidak digunakan karena akan lebih jauh
membahayakan sirkulasi dan menyulitkan pengenalan struktur yang mati.
Penutupan Luka
Menutup kulit atau tidak – dapat menjadi suatu keputusan yang sukar.
Luka tipe I yang kecil dan tidak terkontaminasi, yang dibalut dalam beberapa jam
setelah cedera, setelah debridemen, dapat dijahit (asalkan ini dapat dilakukan
tanpa tegangan) atau dilakukan pencangkokan kulit. Luka yang lain harus
dibiarkan terbuka hingga bahaya tegangan dan infeksi telah terlewati. Luka itu
dibalut sekadarnya dengan kasa steril dan diperiksa setelah 5 hari; kalau bersih,
luka itu dijahit atau dilakukan pencangkokan kulit (penutupan primer tertunda)
Stabilisasi Fraktur
Perawatan Sesudahnya
Tungkai ditinggikan di atas tempat tidur dan sirkulasinya diperhatikan
dengan cermat. Syok mungkin masih membutuhkan terapi. Kemoterapi
23
dilanjutkan; organisme dibiakkan dan, kalau perlu, dilakukan penggantian
antibiotika.
Kalau luka dibiarkan terbuka, periksa setelah 5-7 hari. Penjahitan primer
tertunda sering aman, atau, kalau terdapat banyak kehilangan kulit, dilakukan
pencangkokan kulit. Kalau toksemia atau septikemia terus terjadi meskipun telah
diberi kemoterapi, luka itu didrainase (terapi aman satu-satunya kalau fraktur yang
terinfeksi tidak ditangani dalam 24 jam setelah cedera).
Patofisologi
Peranan Fungsi Sistim Saraf Otonom
Sistim saraf otonom dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistim saraf
simpatis dan para simpatis. Sistim saraf simpatis merupakan sistim saraf yang
bekerja secara otonom terhadap respon stress psikis dan aktifitas fisik. Respon
24
simpatis terhadap stress disebut juga sebagai ‘faight of flight response’
memberikan umpan balik yang spesisfik pada organ dan sistim organ, termasuk
yang paling utama adalah respon kardiovaskuler, pernafasan dan sistim imun.
Sedangkan sistim para simpatis mengatur fungsi tubuh secara otonom terutama
pada organ-organ visceral, produksi kelenjar, fungsi kardiovaskuler dan berbagai
sistim organ lainnya dan bukan respon terhadap suatu stressor ataupun aktifitas
fisik.
Sistim saraf simpatis berasal dari medulla spinalis pada segmen
torakolumbal, tepatnya segmen torakal-1 sampai lumbal-2, dengan pusat ganglion
sarafnya berada di daerah paravertebre. Sistim saraf simpatis menimbulkan efek
pada organ dan sistim organ melalui perantra neurotrasmiter adrenalin (epinefrin)
atau noradrenalin (norepinefrin) endogen yang dhasilkan oleh tubuh. Adrenalin di
sekresikan oleh kelenjar adrenal bagian medula, sedangkan noradrenalin selain
dihasilkan oleh medulla adrenal juga disekresikan juga oleh sel-sel saraf (neutron)
simpatis pascaganglion.
Respon yang muncul pada organ-organ target tergantung reseptor yang
menerima neurotrasmiter tersebut yang dikenal dengan reseptor alfa dan beta
adrenergik. Pada jantung terdapat resesptor beta, rangsangan simpatis pada otot
jantung atau reaksi adrenalin dengan reseptor beta-1 menyebabkan peningkatan
frekuensi (kronotropik) dan kontraktilitas otot jantung (inotropik). Efek
adrenergik pada pembuluh terjadi melalui reaksi neurotrasmiternya dengan
reseptor alfa-1, yang menyebabkan terjadinya vasokontriksi arteri dan vena.
Sedangkan efek pada saluran pernafasan terutama bronkhus adalah dilatasi
(melalui reseptor beta-2).
Sistim parasismpatis dari segmen kraniosakral, yaitu dari saraf kranial dan
medulla spinalis sekmen sakralis. Saraf kranial merupakan saraf tepi yang
langsung keluar dari batang otak dan terdapat 12 pasang, namun yang
memberikan efek parasimpatis yaitu nervus-III (okulomotorius), nervus-VII
(fasialis), nervus-IX (glosofaringeus) dan nervus-X (vagus). Rangsangan
parasimpatis pada masing-masing saraf tersebut memberikan efek spesifik pada
masing-masing organ target, namun yang memberikan efek terhadap fungsi
25
kardiovaskuler adalah nervus vagus. Sedangkan yang berasal dari medulla spinalis
yang menimbulkan efek parasimpatis adalah berasal dari daerah sakral-2 hingga 4.
Efek parasimpatis muncul melalui perantara neurotrasnmiter asetilkolin,
yang disekresikan oleh semua neuron pascaganglion sisitim saraf otonom
parasimpatis. Efek parasimpatis ini disebut juga dengan efek kolinergik atau
muskarinik. Sebagaimana halnya sistim saraf simpatis, sistim saraf parsimpatis
juga menimbulkan efek bermacam-macam sesuai dengan reaksi neurotransmitter
asetilkolin dengan reseptornya pada organ target. Efek yang paling dominan pada
fungsi kardiovaskuler adalah penurunan frekuensi jantung dan kontraktilitasnya
(negatif kronotropik dan inotropik) serta dilatasi pembuluh darah.
Dalam kedaan fisiologis, kedua sistim saraf ini mengatur funsgi tubuh
termasuk kardiovaskuler secara homeostatik melalui mekanisme autoregulasi.
Misalnya pada saat aktifitas fisik meningkat, tubuh membutuhkan energi dan
metabolisme lebih banyak dan konsumsi oksigen meningkat, maka sistim simpatis
sebagai respon homestatik akan meningkatkan frekuensi denyut dan kontraktilitas
otot jantung, sehingga curah jantung dapat ditingkatkan untuk untuk mensuplai
oksigen lebih banyak. Begitu juga bila terjadi kehilangan darah, maka respon
simpatis adalah dengan terjadinya peningkatan laju dan kontraktilitas jantung serta
vasokontriksi pembuluh darah, sehingga kesimbangan volume dalam sirkulasi
dapat terjaga dan curah jantung dapat dipertahankan. Namun bila gangguan yang
terjadi sangat berlebihan, maka kompensasi autoregulasi tidak dapat lagi
dilakukan sehingga menimbulkan gejala-gejala klinis.
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata
dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan
penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan
menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ:
Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi
jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus
gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan
26
otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan
energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan
nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang
melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata
(mean arterial pressure/MAP) jatuh hingga ≤60 mmHg, maka aliran ke organ akan
turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.
Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan
kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom tubuh
yang mengatur perfusi serta substrak lain.
Kardiovaskular
Tiga variabel seperti pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi)
ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume
sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali
volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemi menyebabkan penurunan
pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menunrunkan volume sekuncup. Suatu
peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.
Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi
peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang
mati di dalam usus. Hal ini memicu vasodilatasi serta peningkatan metabolisme
dan bukan memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.
Ginjal
Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi,
frekuensi terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti.
Yang banyak terjadi adalah nekrosis tubuler akut akibat interaksi antara syok,
sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media
27
kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan
mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang,
tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju infiltrasi glomerulus,
yang bersama-sama dengan aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab
terhadap menurunnya produksi urin.
Gejala Klinis
28
Diaporesis Takikardia Instabilitas
hemodinamik
Kolaps vena Takipnea
Takikardi menuju
Agitasi atau Oliguria
aritmik
konfusi
Hipotensi
Hipotensi
ortostatik
Penurunan
*CRT : capillary
kesadaran
refill time
Diagnosis
1. Ketidakstabilan hemodinamik
4. Jika ditemui distensi vena jugularis, ronki, dan gallop S3 maka syok yang
dialami adalah syok kardiogenik
Tatalaksana
29
terbesar. Tak ada bukti medis tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada
syok hipovolemik. Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit diharapkan dapat
mengembalikan keadaan hemodinamik.
Guna mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan
tekanan pengisian ventrikel dapat dilakukan pemeriksaan tekanan baji paru
dengan menggunakan kateter Swan-Ganz. Bila hemodinamik tetap tak stabil,
berarti perdarahan atau kehilangan cairan belum teratasi. Kehilangan darah yang
berlanjut dengan kadar hemoglobin 10 g/dL perlu penggatian darah dengan
transfusi. Jenis darah transfusi tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah yang
digunakan telah menjalani tes cross-match (uji silang), bila sangat darurat dapat
digunakan Packed red cels tipe darah yang sesuai atau O-negatif.
Pada keadaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan, dukungan
inotropik dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan
untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi
dahulu. Pemberian norepinefrin infus tidak banyak memberikan manfaat pada
hipovolemik. Pemberian nalokson bolus 30 mcg/kg dalam 3-5 menit dilanjutkan
60 mcg/kg dalam 1 jam dalam dekstros 5% dapat membantu meningkatkan MAP.
Selain resusitasi cairan, saluran pernapasan harus dijaga. Kebutuhan oksigen
harus terpenuhi dan bila dibutuhkan intubasi dapat dikerjakan.
30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
31
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A.Graham & Louis Solomon. 2013. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur
Sistem Apley. Jakarta: Widya Medika.
32