Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Trauma merupakan suatu cedera atau rupadaksa yang dapat mencederai


fisik maupun psikis. Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus
(luka), perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robekan parsial (sprain),
putus atau robekan (avulsi atau rupture), gangguan pembuluh darah dan gangguan
saraf.

Pada kasus kecelakaan lalu-lintas, korban biasanya mengalami trauma


multiple yang melibatkan lebih dari dua sistem organ tubuh. Korban dapat
mengalami trauma pada organ muskuloskeletalnya dan organ-organ yang terdapat
pada kepala, thorak maupun abdomen. Cedera pada tulang menimbulkan patah
tulang (fraktur) dan dislokasi. Fraktur juga dapat terjadi di ujung tulang dan sendi
(intra-artikuler) yang sekaligus menimbulkan dislokasi sendi.

Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi


(mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan
rehabilitasi. Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang
terjadi, baik pada jaringan lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga
harus diketahui, apakah akibat trauma tumpul atau tajam, langsung atau tak
langsung.

Reduksi berarti mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi semula


(reposisi). Dengan kembali ke bentuk semula, diharapkan bagian yang sakit dapat
berfungsi kembali dengan maksimal. Retaining adalah tindakan mempertahankan
hasil reposisi dengan fiksasi (imobilisasi). Hal ini akan menghilangkan spasme
otot pada ekstremitas yang sakit sehingga terasa lebih nyaman dan sembuh lebih
cepat. Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan anggota gerak yang sakit
agar dapat berfungsi kembali.

1
1.2 TUJUAN MODUL

Tujuan dari modul ini yaitu untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan Kegawatdaruratan bedah pada kasus trauma multipel, khususnya
mengenai fraktur dan trauma pada organ-organ visera. Kompetensi yang ingin
dicapai mulai dari definisi, etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosa, dan
penatalaksanaan dari fraktur yang secara khusus akan dibahas pada diskusi PBL
Modul 4 ini, serta syok hipovolemik akibat pendarahan fraktur.

2
BAB II
PEMBAHASAN

TRAUMA MULTIPEL

SKENARIO

Kecelakaan jalan tol

Sebuah mobil menabrak pembatas jalan tol dengan kecepatan tinggi. Mobil
tersebut berisi 3 penumpang terdiri dari pengemudi, 1 orang disisi depan kiri dan
1 orang dibelakang. Saat ditemukan semua penumpang dalam keadaan cedera.
Pengemudi ditemukan dalam keadaan sadar dan luka ringan .Penumpang sisi
depan terlempar ke luar mobil dan ditemukan tidak bernafas.. Penumpang
belakang ditemukan tidak sadar dan tidak mampu menggerakkan anggota
badannya namun masih bernafas.

Setelah dibawa ke RS, pada saat primary survey terhadap penumpang di belakang
, dokter menemukan hal berikut : seorang laki laki, tidak sadar dengan suara nafas
mengorok, luka sobek dan perdarahan di kepala, jejas pada perut dan fraktur pada
kaki kiri. Tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 100x/menit dan RR 28x/menit dan
akral dingin pada extremitas.. Dokter menduga telah telah terjadi shock
hipovolemik karena perdarahan. Untuk itu dokter segera menyiapkan resusitasi
segera untuk menolong korban termasuk persiapan transfusi darah bila diperlukan

STEP 1 Identifikasi Istilah

Tidak ada istilah sulit

STEP 2 Isentifikasi Masalah

1. Apa yang menyebabkan pasien tidak sadar?

2. Apa yang menyebabkan pasien mengorok?

3. Mengapa dokter telah menduga terjadi syok hipovolemik?

4. Apa intevensi dari hasil pemeriksaan dan mengapa bisa terjadi?

3
5. Pemeriksaan apa saja yang dapat dilakuka untuk membantu menegakkan
diagnosis?

6. Apa tatalaksana yang dapat dilakukan di tempat kejadian dan di fasilitas


kesehatan?

7. Jenis transfusi apa yang diberikan kepada pasien?

STEP 3 Analisa Masalah

1. Banyak faktor yang bisa menyebabkan seseorang tidak sadarkan diri. Bisa saja
disebabkan karena terjadi penekanan pada sistem ARAS, kelainan metabolik, dan
sebagainya. Pada pasien ini dapat kita duga pasien ini tidak sadarkan diri
dikarenakan karena syok hipovolemi akibat perdarahan oleh karena trauma, yang
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak sehingga aliran oksigen dan
nutrisi ke otak menurun, dan menyebabkan seseorang mengalami penurunan
kesadaran.

2. Suara mengorok pada pasien ini bisa merupakan tandanya ada obstruksi pada
Airway nya. Obstruksi jalan napasnya bisa disebabkan oleh jatuhnya lidah ke
belakang karena pasien mengalami penurunan kesadaran.

3. Dokter menduga terjadi syok hipovolemi dari tanda-tanda vital yang sudah
diperiksa. Pasien menunjukkan hipotensi, terutama penurunan sistol. Dan dari
riwayat pasien yang mengalami trauma multiple dan perdarahan.

4. Interpretasi dari hasil pemeriksaan :

TD 80/50 : hipotensi, karena terjadi penurunan preload akibat perdarahan

RR 28x/menit : takipneu, tujuannya adalah untuk usaha kompensasi tubuh untuk


memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan seluruh bagian tubuh agar tetap
adekuat.

HR 100x/menit

4
5. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan :

 CT scan
 Foto Polos

6. Tatalaksana awal di lokasi kejadian, dapat dilakukan triage terlebih dahulu


untuk menentukan prioritas penyelamatan pasien. Kemudian memastikan pasien
dalam kondisi aman. (aman pasien, aman penolong). Kemudian meminta
pertolongan, dan memeriksa kesadaran dengan AVPU. Melakukan primary survey
yaitu membebaskan airway, breathing dan circulation. Pada fasilitas kesehatan
dapat dilakukan resusitasi untuk mengganti perdarahan yang hilang dengan cairan
kristaloid ataupun dilakukan trasfusi darah. Kemudian dilakukan perujukan untuk
mendapat penanganan selanjutnya.

7. Bisa digunakan whole blood pada keadaan darurat.

5
STEP 4 STRUKTURISASI KONSEP

Kecelakaan Lalu Lintas

Trauma

Fraktur kaki Laserasi di kepala perdarahan Jejas abdomen

Multiple Trauma

Tatalaksana awal di lokasi

Tatalaksana awal di faskes

Pemeriksan penunjang

Rujukan

STEP 5 Learning Objective

1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang definisi, klasifikasi, etiologi,


patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis fraktur

2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang definisi, klasifikasi, etiologi,


patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis syok hipovolemik
karena perdarahan

6
STEP 6 Belajar Mandiri

Masing–masing anggota diskusi kelompok kecil melakukan belajar secara


mandiri sesuai dengan tujuan belajar yang telah ditentukan pada saat diskusi
kelompok kecil.

STEP 7 Sintesis Masalah

DEFINISI
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan dan
lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma. Tidak hanya
keretakan atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering mengakibatkan
kerusakan yang komplit dan fragmen tulang terpisah. Tulang relatif rapuh, namun
memiliki kekuatan dan kelenturan untuk menahan tekanan. Fraktur dapat
diakibatkan oleh cedera, stres yang berulang, kelemahan tulang yang abnormal
atau disebut juga fraktur patologis.

ETIOPATOGENESIS

1. Fraktur disebabkan oleh trauma


Sebagian besar fraktur disebabkan oleh adanya tekanan yang tiba-tiba atau
berlebihan yang dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Dikatakan
bersifat langsung apabila patahan tulang pada titik benturan dimana biasanya
jaringan lunak juga ikut rusak. Pukulan atau benturan secara langsung biasanya
memberikan gambaran patahan transverse atau melintang atau dapat juga
mengenai pada sudut fulkrumnya sehingga memberikan gambaran fragmen
seperti “Butterfly”. Sedangkan benturan/pukulan secara tidak langsung dapat
menyebabkan fraktur di tmpat jauh dari titik terkena benturan. Kerusakan jaringan
lunak pada tempat fraktur tidak dapat dihindari.

7
Kekuatan penyebab fraktur dapat berupa :
o Pemutiran : menyebabkan fraktur spiral
o Penekukan : menyebabkan fraktur melintang
o Penekukan dan penekanan : menyebabkan fraktur sebagian melintang,
sebagian berbentuk kupu – kupu berbentuk segitiga terpisah
o Kombinasi : menyebabkan fraktur oblik pendek
o Penarikan : dimana tendon dan ligament benar – benar
menarik tulang sampai tulang

2. Fraktur kelelahan atau tekanan


Retak dapat terjadi pada tulang, seperti halnya pada logam dan benda lain,
akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia
atau fibula atau metatarsal, terutama pada atlet, penari dan calon tentara yang
jalan berbaris dalam jarak jauh.

3. Fraktur patologik
Pada fraktur patologik fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal
karena tulang itu memang lemah (misalnya karena tumor) atau kalau tulang itu
sangat rapuh (misalnya pada penyakit Paget). Penyebab-penyebab fraktur
patologis diantaranya adalah ostoporosis, osteogenesis imperfecta, paget’s disease
atau akibat lesi yang litik seperti pada kista tulang, atau metastasis.

8
KLASIFIKASI
Secara klinis, fraktur dibagi menurut ada tidaknya hubungan patahan
tulang dengan dunia luar, yaitu fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tulang
terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan
fraktur yang terjadi, seperti yang dijelaskan pada tabel 1.

Tabel 1. Derajat fraktur terbuka

Menurut garis patah tulangnya :

a. Complete fractures

Tulang terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Patahan fraktur yang
dilihat secara radiologi dapat membantu untuk memprediksi tindakan yang harus
dilakukan setelah melakukan reduksi. Pada fraktur transversal (gambar 1a),
fragmen tetap pada tempatnya setelah reduksi, sedangkan pada oblik atau spiral
(gambar 1c) lebih cenderung memendek dan terjadi pergeseran meskipun tulang
telah dibidai. Fraktur segmental (gambar 1b) membagi tulang menjadi 3 bagian.
Pada fraktur impaksi fragmen menumpuk saling tumpang tindih dan garis fraktur
tidak jelas. Pada rakturkominutif terdapat lebih dari dua fragmen, karena
kurang menyatunya permukaan fraktur yang membuat tidak stabil

b. Incompletefractures

Pada fraktur ini, tulang tidak terbagi seutuhnya dan terdapat kontinuitas
periosteum. Pada fraktur buckle, bagian yang mengalami fraktur hampir tidak
terlihat (gambar 1d). Pada fraktur greenstick (gambar 1e dan 1f), tulang
melengkung atau bengkok seperti ranting yang retak. Hal ini dapat terlihat pada

9
anak‒anak, yang tulangnya lebih elastis daripada orang dewasa. Pada fraktur
kompresi terlihat tulang spongiosa tertekan kedalam

(a) (b) (c) (d) (e) (f)

Gambar 1. Variasi fraktur. Keterangan : Completefractures: (a) transversal; (b)


segmental; (c) spiral. Incompletefractures: (d) fraktur buckle; (e , f) fraktur
greenstick

10
a. Fisura tulang disebabkan oleh cedera tunggal hebat atau oleh cedera terus -
menerus yang cukup lama, seperti juga ditemukan pada retak pada struktur
logam
b. Patah tulang serongoblik
c. Patah tulang transversa
d. Patah tulang komunif akibat cedera hebat
e. Patah tullang segmentasi akibat cedera hebat
f. Patah tulang kupu-kupu
g. Green stick fracture peritoneum tetap utuh
h. Patah tulang kompresi akibat kekuatan besar pada tulang pendek atai
epifisis tulang
i. Patah tulang impaksi, kadang juga di sebut inklavasi
j. Patah tulang impresi
k. Patah tulang patologis akibat tumor atau proses destruktif lain

Menurut Lokalisasi :

a. Frakur Epifisis
b. Fraktur Metafisis
c. Fraktur Diafisis

11
Menurut dislokasi pada patah tulang :

a. Dislokasi ad latitudinem = dislokasi ke arah lintang


b. Dislokasi ad longitudinem = tulang memanjang umpamanya karena
tarikan traksi terlalu besar
c. Dislokasi cum contractionem = sehingga tulang menjadi pendek,
umumnya dosebabkan tarikan dan tonus otot
d. Dislokasi ad longitudinem cum dustractionem = pada patah tulang patella
karena tonus m.kuadriseps femoris
e. Dislokasi ad axim = sering ditemukan pada tulang panjang. Pada patah
tulang distal femur sering ditemukan dislokasi cum contractionem karena
tarikan otot paha yang insersinya di tibia disertai dislokasi ad axim karena
otot gastroknemius yang kuat memfleksikan pecahan femur distal (1)
diafisis femur, (2) bagian distal femur yang dibengkokkan oleh tarikan otot
gastronemius, (3) tibia yang ditarik kea rah proksimal oleh otot, (4)
patella, (5) ligament patella, (6) tarikan otot kuadriseps , (7) tarikan
m.gastroknemius menyebabkan dislokasi ad axim pecahan femur distal,
(8) otot biseps femur dan otot di sebelah dorsal paha turut menyebabkan
dislokasi dengan kontraksi
f. Dislokasi ad periphenam karena rotasi
g. Kadang terdapat interposisi jaringan lunak di sela patah tulang yang
menghalangi penyembuhan
h. Mungkin patah tulang disebabkan oleh tarikan pada insersi tendo otot atau
ligamentum yang disebut patah tulang avulsi *contohnya avulsi insersi
tendo m.ekstensor digitorum profundus di falang terminal jari tangan (1),
atau patah tulang mata kaki karena tarikan ligamentum kolateral bila
terpeleset dan keseleo kaki (2)

12
Menurut faktur lempeng epifisis menurut Salter-Harris untuk patah tulang yang
mengenai lempeng epifisis distal tibia

I. Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis, tetapi periosteumnya masih
utuh

II. periosteum robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas sama
sekali dari metafisis

III. fraktur cakram epifisis yang melalui sendi

IV. terdapat fragmen patahan tulang yang garis patahannya tegak lurus cakram
epifisis

V. terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan kematian


dari sebagian cakram tersebut.

13
MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis fraktur adalah sebagai berikut :


1) Nyeri tekan
Karena adanya kerusakan saraf dan pembuluh darah. Nyeri terus
menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi
spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2) Gangguan fungsi
Pergeseran fragmen pada faktur lengan atau tungkai menyebabkan
defromitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui
dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot karena rusaknya saraf serta
pembuluh darah.
3) Bengkak
Karena tidak lancarnya aliran darah ke jaringan (edema).
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
4) Krepitasi
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya fragmen
satu dengan lainnya (uji krepitus dapat kerusakan jaringan lunak yang
lebih berat).

5) Deformitas
Perubahan bentuk, pergerakan tulang jadi memendek karena
kuatnya tarikan otot-otot ekstremitas yang menarik patahan tulang. Selain
itu, pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm.

14
6) Gerakan abnormal
Disebabkan karena bagian gerakan menjadi tidak normal disebabkan tidak
tetapnya tulang karena fraktur.
7) Memar karena perdarahan subkutan.

8) Spasme otot pada daerah luka atau fraktur terjadi kontraksi pada otot-otot
involunter.

9) Gangguan sensasi (mati rasa) dapat terjadi karena kerusakan syaraf atau
tertekan oleh cedera, perdarahan atau fragmen tulang.

10) Echimosis dari Perdarahan Subculaneous.

11) Shock hipovolemik karena kehilangan darah.

PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik
yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk
menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena
fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada
daerah lain. Penderita biasanya datang karena adanya nyeri, pembengkakan,
gangguan fungsi anggota gerak, krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang
atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis

15
Pemeriksaan Lokal
Inspeksi (Look)
 Bandingkan dengan bagian yang sehat
 Perhatikan posisi anggota gerak
 Keadaan umum penderita secara keseluruhan
 Ekspresi wajah karena nyeri
 Lidah kering atau basah
 Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
 Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau fraktur terbuka
 Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
 Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
 Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ
lain
 Perhatikan kondisi mental penderita
 Keadaan vaskularisasi
Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh
sangat nyeri.
 Temperatur setempat yang meningkat
 Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
 Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-
hati
 Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota
gerak yang terkena
 Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah
trauma , temperatur kulit
 Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai

16
Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan
pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada
pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga
uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
1. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris
dan motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus
dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan
tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan
selanjutnya.
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan,
lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan
jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai
yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan
pemeriksaan radiologis.

Tujuan Pemeriksaan Radiologis :


 Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi
 Untuk konfirmasi adanya fraktur
 Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta
pergerakannya
 Untuk menentukan teknik pengobatan
 Untuk menentukan fraktur itu baru atau tidak
 Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler
 Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang
 Untuk melihat adanya benda asing, misalnya peluru

17
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip dua
 Dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada
anteroposterior dan lateral
 Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus di foto, di atas dan di
bawah sendi yang mengalami fraktur
 Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada ke
dua angota gerak terutama pada fraktur epifisis
 Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada
dua daerah tulang.
 Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang
skafoid, foto pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan
foto berikutnya 10-14 hari kemudian.

PRINSIP dan METODE PENGOBATAN FRAKTUR


Penatalaksanaan Awal
1. Pertolongan Pertama
Pada penderita dengan fraktur yang penting dilakukan adalah
membersihkan jalan nafas. Menutup luka dengan verban yang bersih dan
imobilisasi fraktur pada anggota gerak yang terkena agar penderita merasa
nyaman dan mengurangi nyeri sebelum diangkut dengan ambulans.
2. Penilaian Klinis
Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis,
apakah luka itu luka tembus tulang, adakah traumpembuluh darah/saraf
ataukah ada trauma alat-alat dalam yang lain.
3. Resusitasi
Kebanyakan penderita dengan fraktur multiple tiba di rumah sakit dengan
syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada frakturnya
sendiri berupa pemberian transfuse darah dan cairan lainnya serta obat-obat
anti nyeri.

18
Enam Prinsip Umum Pengobatan Fraktur
1. Jangan membuat keadaan lebih jelek
2. Pengobatan berdasarkan atas diagnosis dan prognosis yang akurat
3. Seleksi oengobatan dengan tujuan khusus
- Menghilangkan nyeri
- Memperoleh posisi yang baik dari fragmen
- Mengusahakan terjadinya penyambungan tulang
- Mengembalikan fungsi secara optimal
4. Mengingat hukum-hukum penyembuhan secara alami
5. Bersifat realistic dan praktis dalam memilih jenis pengobatan
6. Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individual

4R Prinsip Pengobatan :
1. Recognition ; Diagnosis dan Penilaian Fraktur
Pada awal pengobatan perlu diperhatikan :
 Lokalisasi fraktur
 Bentuk fraktur
 Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan
 Komplikasi yang mungkin terjadi elama dan sesudah pengobatan
2. Reduction : Reduksi fraktur apabila perlu
Restorasi fragmen fraktur sehingga didapati posisi yang dapat diterima. Pada
fraktur intraartikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat mungkin
mengembalikam fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan,
deformitas serta perubahan osteoarthritis di kemudian hari.
Posisi yang baik adalah :
 Alignment yang sempurna
 aposisi yang sempurna

Fraktur yang tidak memerlukan reduksi seperti fraktir klavikula, iga,


fraktur impaksi dan humerus, angulasi <5° pada tulang panjang anggota gerak
bawah dan lengan atas dan angulasi sampai 10° pada humerus dapat diterima.
Terdapat kontak sekurang-kurangnya 50%, over riding yang tidak melebihi

19
0.5” pada fracture femur. Adanya rotasi tidak dapat diterima dimanapun
lokalisasi fraktur.
3. Retention ; Imobilisasi fraktur
4. Rehabilitation ; mengembalikam aktifitas fungsional semaksilam mungkin

Metode Pengobatan Fraktur


Fraktur Tertutup
1. Konservatif
a. Proteksi semata-mata (tanpa reduksi atau imobilisai)
Proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut
dengan memberikan sling (mitella) pada anggota gerak atas atau
tongkat pada anggota gerak bawah.
Indikasi :
 Pada fraktur-fraktur yang tidak bergeser, fraktur iga yang tabil,
falangs, dan metacarpal atau fraktur klavikula pada anak.
 Fraktur kompresi tulang belakang, impaksi fraktur pada
humerus prosimal serta fraktur yang sudah mengalami union
secara klinis, tetapi belum mencapai konsolidasi radiologic.
b. Imobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi)
Hanya memberikan sedikit imobilisasi, biasanya menggunakan
pleseter of Paris (gips) atau dengan bermacam-macam bidai dari
plastic atau metal.
Indikasi :
Digunakan pada fraktur yang perlu dipertahankan posisinya dalam
penyembuhan.
c. Reduksi tertututp dengan manipulasi dan imobilisasi ekterna,
menggunakan gips.
Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi, dilakukan baik dengan
pembiusan umum ataupun local. Reposisi yang dilakukan melawam
kekuatan terjadinya fraktur. Penggunaan gips untuk imobilisasi
merupakan alat utama pada teknik ini.
Indikasi :
 Bidai pada fraktur untuk pertolongan pertama

20
 Imobilisasi sebagai pengobatan definitive pada fraktur
 Dipelukan manipulasi pada fraktur yant bergeser dan
diharapkan dapat direduksi dengan tertutup dan dapat
dipertahankan. Fraktur yang tidak stabil dan bersifat
komunitif akan bergerak di dalam gips sehingga diperlukan
pemeriksaan radiologis yang berulang-ulang
 Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis
 Sebagai alat bantu tambahan pada fiksasi interna yang kurang
kuat.
d. Reduksi Tertutup dengan Traksi Berlanjut diikuti Imobilisasi
Dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu traksi kuliat atau trajsi
tulang.

e. Reduksi Tertutup dengan Traksi Konitu dan Counter Traksi

Dengan menggunakan alat-alat mekanik seperti Thomas, bidai


Brown Bohler, bidai Thomas dengan Pearson Knee Flexion
Attachment dengan tujaun reduksi yang bertajap dan imobilisasi.
Indikasi :
 Bilamana reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi
tidak memungkinkan serta untuk mencegah tindakan operatif
misalnya pada fraktur batang femur, fraktur vertebra servikalis.
 Bilamana terdapat otot yang kuat mengelilingi fraktur pada
tulang tungkai bawah yang menarik fragmen dan
menyebabkan angulasi, overriding dan rotasi yang dapat
menimbulkan mal-union, non-uniom, dan delayed union.
 Bilamana terdapat fraktur yang tidak stabil, oblik, fraktur spiral
atau komunitif pada tulang panjang.
 Fraktur vertebra servikalis yang tidak stabil
 Fraktur femur pada anak-anak
 Fraktur dengan pembengkakan yang sangat hebat disertai
dengan pergeseran yang besar serta tidak stabil, misalnya pada
fraktur suprakondiler humerus.

21
 Jarang pada fraktur metakarpa
 Sekali-kali pada fraktur Colles tau fraktur pada orang tua
dimana reduksi tertutup dan imobilisasi eksterna tidak
memungkinkan.

Empat Metode Traksi Kontinu yang Digunakan


1. Traksi Kulit
2. Traksi Menetap
3. Traksi Tulang
4. Traksi Berimbang dan Traksi Sliding

Fraktur Terbuka
Luka dari bahan asing dan dari jaringan mati, memberikan persediaan
darah yang baik di seluruh bagian itu. Dalam anestesi umum, pakaian pasien
dilepas, sementara itu asisten mempertahankan traksi pada tungkai yang
mengalami cedera dan menahannya agar tetap diam. Pembalut yang sebelumnya
digunakan pada luka diganti dengan bantalan yang steril.

Semua fraktur terbuka, tak perduli seberapa ringannya, harus dianggap


terkontaminasi; penting untuk mencoba mencegahnya infeksi: (1) pembalutan
luka dengan segera; (2) profilaksis antibiotika; (3) debridemen luka secara dini;
dan (4) stabilisasi fraktur

Penanganan Dini
Luka harus tetap ditutup hingga pasien tiba di kamar bedah. Antibiotika
diberikan secepat mungkin, tak peduli berapa kecil laserasi itu, dan dilanjutkan
hingga bahaya infeksi terlewati. Pada umumnya, pemberian kombinasi
benzilpenisilin dan flukloksasilin tiap 6 jam selama 48 jam akan mencukupi; kalau
luka amat terkontaminasi, juga bijaksana untuk mencegah organisme gram negatif
dengan menambah gentamisin atau metronidazol dan melanjutkan terapi selama
4-5 hari. Pemberian profilaksis tetanus juga penting: toksoid diberikan pada
mereka yang sebelumnya telah diimunisasi; kalau belum, berilah antiserum
manusia.

22
Debridemen
Operasi bertujuan untuk membersihkan sekelilingnya dibersihkan dan
dicukur. Kemudian bantalan itu diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan
sejumlah besar garam fisiologis; irigasi akhir dapat disertai obat antibiotika
misalnnya basitrasin. Turniket tidak digunakan karena akan lebih jauh
membahayakan sirkulasi dan menyulitkan pengenalan struktur yang mati.

Penutupan Luka
Menutup kulit atau tidak – dapat menjadi suatu keputusan yang sukar.
Luka tipe I yang kecil dan tidak terkontaminasi, yang dibalut dalam beberapa jam
setelah cedera, setelah debridemen, dapat dijahit (asalkan ini dapat dilakukan
tanpa tegangan) atau dilakukan pencangkokan kulit. Luka yang lain harus
dibiarkan terbuka hingga bahaya tegangan dan infeksi telah terlewati. Luka itu
dibalut sekadarnya dengan kasa steril dan diperiksa setelah 5 hari; kalau bersih,
luka itu dijahit atau dilakukan pencangkokan kulit (penutupan primer tertunda)

Stabilisasi Fraktur

Sekarang disadari bahwa stabilitas fraktur diperlukan untuk mengurangi


kemungkinan infeksi. Untuk luka tipe I atau tipe II yang kecil dengan fraktur yang
stabil, boleh menggunakan gips yang dibelah secara luas atau, untuk femur
digunakan traksi pada bebat. Tetapi pada lukka yang lebih berat (Dan luka
tembak) fraktur perlu difiksasi secara lebih ketat.

Metode yang paling aman adalah fiksasi eksterna. Pemasangan pen


intramedula (dengan penguncian jika fraktur itu kominutif) dapat digunakan untuk
femur atau tibia; terbaik jangan melakukan pelebaran luka yang akan
meningkatkan risiko infeksi. Plat dan sekrup dapat digunakan untuk fraktur
metafisis atau artikular, dengan syarat ahli bedah itu berpengalaman dalam
menggunakannya dan keadaannya ideal.

Perawatan Sesudahnya
Tungkai ditinggikan di atas tempat tidur dan sirkulasinya diperhatikan
dengan cermat. Syok mungkin masih membutuhkan terapi. Kemoterapi

23
dilanjutkan; organisme dibiakkan dan, kalau perlu, dilakukan penggantian
antibiotika.
Kalau luka dibiarkan terbuka, periksa setelah 5-7 hari. Penjahitan primer
tertunda sering aman, atau, kalau terdapat banyak kehilangan kulit, dilakukan
pencangkokan kulit. Kalau toksemia atau septikemia terus terjadi meskipun telah
diberi kemoterapi, luka itu didrainase (terapi aman satu-satunya kalau fraktur yang
terinfeksi tidak ditangani dalam 24 jam setelah cedera).

Definisi Syok Hipovolemik


Syok hipovolemik merujuk pada suatu keadaan di mana terjadi kehilangan
cairan tubuh dengan cepat sehingga terjadinya multiple organ failure akibat
perfusi yang tidak adekuat. Syok hipovolemik ini paling sering timbul setelah
terjadi perdarahan hebat (syok hemoragik).

Etiologi Syok Hipovolemik


Pada umumnya syok hipovolemik disebabkan karena perdarahan, sedang
penyebab lain yang ekstrem adalah keluarnya garam (NaCl). Syok misalnya
terjadi pada: patah tulang panjang, rupture spleen, hematothorak, diseksi arteri,
pankreatitis berat. Sedang syok hipovolemik yang terjadi karena berkumpulnya
cairan di ruang interstisial disebabkan karena: meningkatnya permeabilitas kapiler
akibat cedera panas, reaksi alergi, toksin bekteri.
Penyebab utama perdarahan internal adalah terjadinya trauma pada organ
dan ruptur pada aneurisma abdomen aorta. Syok hipovolemik bisa merupakan
akibat dari kehilangan cairan tubuh lain selain dari darah dalam jumlah yang
banyak. Contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan lain ini
adalah gastroenteritis refraktrer dan luka bakar hebat.

Patofisologi
Peranan Fungsi Sistim Saraf Otonom
Sistim saraf otonom dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistim saraf
simpatis dan para simpatis. Sistim saraf simpatis merupakan sistim saraf yang
bekerja secara otonom terhadap respon stress psikis dan aktifitas fisik. Respon

24
simpatis terhadap stress disebut juga sebagai ‘faight of flight response’
memberikan umpan balik yang spesisfik pada organ dan sistim organ, termasuk
yang paling utama adalah respon kardiovaskuler, pernafasan dan sistim imun.
Sedangkan sistim para simpatis mengatur fungsi tubuh secara otonom terutama
pada organ-organ visceral, produksi kelenjar, fungsi kardiovaskuler dan berbagai
sistim organ lainnya dan bukan respon terhadap suatu stressor ataupun aktifitas
fisik.
Sistim saraf simpatis berasal dari medulla spinalis pada segmen
torakolumbal, tepatnya segmen torakal-1 sampai lumbal-2, dengan pusat ganglion
sarafnya berada di daerah paravertebre. Sistim saraf simpatis menimbulkan efek
pada organ dan sistim organ melalui perantra neurotrasmiter adrenalin (epinefrin)
atau noradrenalin (norepinefrin) endogen yang dhasilkan oleh tubuh. Adrenalin di
sekresikan oleh kelenjar adrenal bagian medula, sedangkan noradrenalin selain
dihasilkan oleh medulla adrenal juga disekresikan juga oleh sel-sel saraf (neutron)
simpatis pascaganglion.
Respon yang muncul pada organ-organ target tergantung reseptor yang
menerima neurotrasmiter tersebut yang dikenal dengan reseptor alfa dan beta
adrenergik. Pada jantung terdapat resesptor beta, rangsangan simpatis pada otot
jantung atau reaksi adrenalin dengan reseptor beta-1 menyebabkan peningkatan
frekuensi (kronotropik) dan kontraktilitas otot jantung (inotropik). Efek
adrenergik pada pembuluh terjadi melalui reaksi neurotrasmiternya dengan
reseptor alfa-1, yang menyebabkan terjadinya vasokontriksi arteri dan vena.
Sedangkan efek pada saluran pernafasan terutama bronkhus adalah dilatasi
(melalui reseptor beta-2).
Sistim parasismpatis dari segmen kraniosakral, yaitu dari saraf kranial dan
medulla spinalis sekmen sakralis. Saraf kranial merupakan saraf tepi yang
langsung keluar dari batang otak dan terdapat 12 pasang, namun yang
memberikan efek parasimpatis yaitu nervus-III (okulomotorius), nervus-VII
(fasialis), nervus-IX (glosofaringeus) dan nervus-X (vagus). Rangsangan
parasimpatis pada masing-masing saraf tersebut memberikan efek spesifik pada
masing-masing organ target, namun yang memberikan efek terhadap fungsi

25
kardiovaskuler adalah nervus vagus. Sedangkan yang berasal dari medulla spinalis
yang menimbulkan efek parasimpatis adalah berasal dari daerah sakral-2 hingga 4.
Efek parasimpatis muncul melalui perantara neurotrasnmiter asetilkolin,
yang disekresikan oleh semua neuron pascaganglion sisitim saraf otonom
parasimpatis. Efek parasimpatis ini disebut juga dengan efek kolinergik atau
muskarinik. Sebagaimana halnya sistim saraf simpatis, sistim saraf parsimpatis
juga menimbulkan efek bermacam-macam sesuai dengan reaksi neurotransmitter
asetilkolin dengan reseptornya pada organ target. Efek yang paling dominan pada
fungsi kardiovaskuler adalah penurunan frekuensi jantung dan kontraktilitasnya
(negatif kronotropik dan inotropik) serta dilatasi pembuluh darah.
Dalam kedaan fisiologis, kedua sistim saraf ini mengatur funsgi tubuh
termasuk kardiovaskuler secara homeostatik melalui mekanisme autoregulasi.
Misalnya pada saat aktifitas fisik meningkat, tubuh membutuhkan energi dan
metabolisme lebih banyak dan konsumsi oksigen meningkat, maka sistim simpatis
sebagai respon homestatik akan meningkatkan frekuensi denyut dan kontraktilitas
otot jantung, sehingga curah jantung dapat ditingkatkan untuk untuk mensuplai
oksigen lebih banyak. Begitu juga bila terjadi kehilangan darah, maka respon
simpatis adalah dengan terjadinya peningkatan laju dan kontraktilitas jantung serta
vasokontriksi pembuluh darah, sehingga kesimbangan volume dalam sirkulasi
dapat terjaga dan curah jantung dapat dipertahankan. Namun bila gangguan yang
terjadi sangat berlebihan, maka kompensasi autoregulasi tidak dapat lagi
dilakukan sehingga menimbulkan gejala-gejala klinis.
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata
dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan
penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan
menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ:

Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi
jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus
gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan

26
otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan
energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan
nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang
melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata
(mean arterial pressure/MAP) jatuh hingga ≤60 mmHg, maka aliran ke organ akan
turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.

Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan
kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom tubuh
yang mengatur perfusi serta substrak lain.

Kardiovaskular
Tiga variabel seperti pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi)
ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume
sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali
volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemi menyebabkan penurunan
pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menunrunkan volume sekuncup. Suatu
peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.

Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi
peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang
mati di dalam usus. Hal ini memicu vasodilatasi serta peningkatan metabolisme
dan bukan memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.

Ginjal
Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi,
frekuensi terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti.
Yang banyak terjadi adalah nekrosis tubuler akut akibat interaksi antara syok,
sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media

27
kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan
mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang,
tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju infiltrasi glomerulus,
yang bersama-sama dengan aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab
terhadap menurunnya produksi urin.

 Gejala Klinis

Ringan Sedang Berat

< 20% volume 20-40% > 40% volume


darah volume darah darah

Ekstremitas dingin Sama dengan Sama dengan


gejala ringan, gejala sedang,
Peningkatan
ditambah : ditambah :
CRT*

28
Diaporesis Takikardia Instabilitas
hemodinamik
Kolaps vena Takipnea
Takikardi menuju
Agitasi atau Oliguria
aritmik
konfusi
Hipotensi
Hipotensi
ortostatik
Penurunan
*CRT : capillary
kesadaran
refill time

 Diagnosis

Syok hipovolemik ditegakkan ketika ditemui tanda :

1. Ketidakstabilan hemodinamik

2. Ditemukan sumber perdarahan

3. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan viskositas darah meningkat, atau


menurunnya kadar Hb dan Ht, atau hipernatremia.

4. Jika ditemui distensi vena jugularis, ronki, dan gallop S3 maka syok yang
dialami adalah syok kardiogenik

Tatalaksana

Ketika syok hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan


adalah menempatkan pasien dalam posisi kaki yang lebih tinggi, menjaga jalur
pernapasan dan berikan resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intravena atau
cara lain yang memungkinkan seperti pemasangan kateter CVP (Central Venous
Pressure) atau jalur intraarterial. Cairan yang diberikan adalah garam isotonus
yang ditetes dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan
cairan garam seimbang seperti Ringer’s laktat (RL) dengan jarum infus yang

29
terbesar. Tak ada bukti medis tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada
syok hipovolemik. Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit diharapkan dapat
mengembalikan keadaan hemodinamik.
Guna mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan
tekanan pengisian ventrikel dapat dilakukan pemeriksaan tekanan baji paru
dengan menggunakan kateter Swan-Ganz. Bila hemodinamik tetap tak stabil,
berarti perdarahan atau kehilangan cairan belum teratasi. Kehilangan darah yang
berlanjut dengan kadar hemoglobin 10 g/dL perlu penggatian darah dengan
transfusi. Jenis darah transfusi tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah yang
digunakan telah menjalani tes cross-match (uji silang), bila sangat darurat dapat
digunakan Packed red cels tipe darah yang sesuai atau O-negatif.
Pada keadaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan, dukungan
inotropik dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan
untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi
dahulu. Pemberian norepinefrin infus tidak banyak memberikan manfaat pada
hipovolemik. Pemberian nalokson bolus 30 mcg/kg dalam 3-5 menit dilanjutkan
60 mcg/kg dalam 1 jam dalam dekstros 5% dapat membantu meningkatkan MAP.
Selain resusitasi cairan, saluran pernapasan harus dijaga. Kebutuhan oksigen
harus terpenuhi dan bila dibutuhkan intubasi dapat dikerjakan.

Komplikasi Syok Hipovolemik


1. Kegagalan multi organ akibat penurunan alilran darah dan hipoksia jaringan
yang berkepanjangan.
2. Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus
kapiler karena hipoksia.
3. DIC (Koagulasi intravascular diseminata) akibat hipoksia dan kematian
jaringan yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan jenjang koagulasi.

30
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Fraktur (patah tulang) adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang dan


ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Hal ini diakibatkan oleh adanya gaya
yang melebihi elastisitas dari tulang. Fraktur terbagi menjadi beberapa macam,
tergantung dari lokasi, luas, konfigurasi, hubungan antar tulang yang
mengalami fraktur dan hubungan antara tulang yang fraktur dengan jaringan
sekitar. Diagnosis fraktur dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang (foto rontgen). Biasanya pada pasien yang
mengalami kecelakaan lalu lintas dilakukan primary survey yang terdiri dari
ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disabillity, Exposure) dan
secondary survey. Penatalaksaan pada pasien fraktur pun didasarkan pada
jenis dari fraktur tersebut. Adakalanya pasien hanya membutuhkan terapi
resusitasi dan kadang kala pasien juga memerlukan transfusi. Semua hal ini
dilakukan sesuai dengan indikasi masing-masing.

3.2 Saran

Laporan ini tentu masih belum sempurna, sehingga diperlukan bimbingan


dari dosen-dosen klinik untuk mengarahkan teori yang telah didapatkan
mahasiswa agar bisa diterapkan di lapangan secara optimal. Mahasiswa juga
diharapkan terus belajar tentang materi terkait untuk memperkaya ilmu
pengetahuannya.

31
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A.Graham & Louis Solomon. 2013. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur
Sistem Apley. Jakarta: Widya Medika.

American Heart Association (AHA). 2015. Pembaharuan Pedoman American


Heart Assiocation 2015 untuk CPR dan EGC

Prajitno, B. W. Rupi’i. Aryono D (Editor). Syok. Sjamsuhidajat, R. 2017. Buku


Ajar Ilmu Bedah; Masalah, Pertimbangan Klinis Bedah, dan Metode Pembedahan.
Vol I. Edisi IV. Jakarta; EGC

32

Anda mungkin juga menyukai