Anda di halaman 1dari 14

PRESENTASI KASUS

SINDROM STEVENS JOHNSON


Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:
Fitri Wirastami
20184010045

Diajukan Kepada:
dr. H. Aris Budiarso, Sp.KK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO PROGRAM PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
SINDROM STEVEN JOHNSON

Telah dipresentasikan pada tanggal:


7 November 2019

Disusun oleh:
Fitri Wirastami
20174010045

Disahkan dan disetujui oleh:


Dokter Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

dr. H. Aris Budiarso, Sp.KK


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Segala puji syukur bagi Allah SWT, atas karunia dan nikmat-Nya yang telah
diberikan. Alhamdulillah, dengan penuh mengucap rasa syukur, penulis dapat menyelesaikan
Presentasi Kasus ini sebagai syarat kepaniteraan klinik program pendidikan profesi di bagian
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dengan judul :
Sindrom Stevens Johnson
Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat pendidikan profesi
Kedokteraan pada Fakultas Kedokteraan dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada:

1. dr. H. Aris Budiarso, Sp.KK, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik bagian


Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin sekaligus pembimbing dalam mengerjakan
presentasi kasus di RSUD KRT Setjonegoro Wonosoboyang telah berkenan
memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal sampai selesainya
penulisan Presentasi Kasus ini.
2. Perawat bagian poli Kulit dan Kelamin yang telah berkenan membantu
berjalannya Kepaniteraan Klinik bagian ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
3. Teman-teman coass atas dukungan dan kerjasamanya
Penulisan presentasi kasus ini masih jauh dari kata sempurna, karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang berguna. Semoga untuk selanjutnya tulisan ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Wonosobo, 7 November 2019

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

Erupsi obat alergika atau adverse cutaneous drug eruption merupakan reaksi
hipersensitivitas terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat disertai maupun
tidak disertai keterlibatan mukosa. Yang dimaksud dengan obat adalah zat yang digunakan
untuk menegakkan diagnosis,profilaksis, dan pengobatan. (Budianti, 2018). Secara umum,
erupsi obat terjadi sekitar 2-3% pada orang yang mengkonsumsi obat. Bentuk yang paling
sering terjadi adalah erupsi morbiliformis yakni sebanyak 95% dari seluruh erupsi obat yang
terjadi. (Shiohara, 2018).
Steven-Johnson’s Syndrome (SJS) merupakan suatu penyakit akut yang dapat
mengancam jiwa yang ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis yang dikenal
dengan trias kelainan pada kulit vesikobulosa, mukosa orifisium dan mata disertai gejala
umum berat (Djuanda, 2015).
Insidensi SJS diperkirakan 2-3% per juta populasi per tahun di Amerika Serikat dan di
negara-negara Eropa, sedangkan di Indonesia kasus SJS terjadi sekitar 12 kasus per tahun
(Djuanda, 2015).. Alopurinol adalah obat yang paling sering menyebabkan terjadinya SJS di
negara-negara Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong
(James, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Adhi Djuanda menyatakan bahwa di
Indonesia, penyebab SJS yang diduga alergi obat tersering adalah analgetik/antipiretik (45%),
disusul karbamazepin (20%) dan jamu (13.3%). Angka kematian pada kasus SJS secara
keseluruhan mencapai 5-15% dari jumlah total kasus (Djuanda, 2015).
Etiologi SSJ/NET masih belum diketahui secara pasti, namun sekarang diketahui obat-
obatan adalah etiologi utama yang dapat terjadi pada orang dewasa atau anak-anak. Terdapat
lebih dari 100 obat yang dikenal sebagai penyebab SSJ/NET. Sebuah penelitian case control
mengevaluasi resiko SSJ dan NET yang berhubungan dengan pengobatan. Antibiotik
sulfonamide (khususnya sulfametoksazol kombinasi dengan trimetoprim), karbamazepin,
fenitoin, fenobarbital, obat-obat antiinflamasi nonsteroid tipe oksikam, allopurinol, klormezanon,
aminopenisillin, sefalosporin,lamotrigin,Nevirapin, kuinolon, dan antibiotik siklik dihubungkan
dengan resiko relatif tertinggi. Pasien dengan SSJ juga harus dievaluasi kemungkinan penyakit
dasarnya yang memungkinkan sebagai penyebab timbulnya reaksi. Infeksi Mycoplasma
pneumonia (Sontheiner dkk, 1978) dan herpes simplek (Orthon, 1984) merupakan infeksi
tersering yang menyebabkan SSJ dan NET. Infeksi adalah penyebab SSJ pada anak-anak yang
tersering dimana seringkali diimplikasikan dengan Mycoplasma pneumonia. Infeksi penyebab
lainnya yaitu virus herpes simpleks, Mycobacterium tuberculosis, streptokokus grup A, virus
hepatitis B, dan virus Eipstein-Barr (Knowles, 2009).
Sindrom Steven Johnson ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena
imunitas belum begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat.
Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma. SSJ biasanya
dimulai dalam 8 hari stelah pemberian obat (biasanya setelah 4-30 hari). Hanya beberapa kasus
yang memberikan reaksi yang cepat dalam beberapa jam. Dapat disertai gejala prodormal
berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sakit menelan,
nyeri dada, muntah, pegal otot, dan atralgia yang sangat bervariasi (Torres, 2009). Pada SSJ
ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan
kelainan mata. Pada kelainan kulit, lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi
papula, vesikula, bullae, dan plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau
nekrotik. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kulit lepuh sangat longgar dan
mudah lepas bila digosok (Djuanda, 2015). Pada sindrom Stevens-Johnson, kurang dari 10%
dari permukaan tubuh yang mengelupas. Pada kelainan selaput lendir, bagian yang tersering
adalah mukosa mulut kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital, hidung, dan
anus. Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan
ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir
kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam yang tebal. Stomatitis ulseratif dan krusta
hemoragis merupakan gambaran utama (Milton, 2015). Lesi di mukosa mulut dapat juga
terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Adanya pseudomembran di
faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. Kelainan pada lubang alat genital akan
menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa sakit. Kadang-kadang selaput lendir saluran
pencernaan dan pernapasan juga terlibat, menyebabkan diare dan sesak napas (Milton, 2015).
Pada 85% pasien terdapat lesi konjungtiva, umumnya bermanifestasi hyperemia, erosi, edema
pada konjungtiva, fotofobia dan lakrimasi. Dapat memungkinkan terjadi shedding of eyelashes.
Bentuk yang berat dapat menyebabkan ulserasi kornea, uveitis anterior, pan opthalmitis dan
konjungtivitis purulen. Sinekia antara eyelid dan konjungtiva sering terjadi (Valeyrie, 2008).
Pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi
berbentuk target, iris atau mata sapi disertai gejala prodormal. Selain itu didukung
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik,
biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik
biopsi kulit. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi untuk membantu
membedakan sindrom Steven Johnson dengan penyakit kulit dengan lepuh subepidermal
lainnya. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin. Pemeriksaan
elektrolit di lakukan untuk mengetahui apakah terjadi gangguan keseimbangan asam basa.
Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat
dilakukan. Dan foto toraks untuk mengetahui adanya komplikasi pneumonitis (Parillo, 2017).
Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, sekitar 16%. Komplikasi lain ialah
kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok, pada mata dapat
terjadi ulserasi kornea, uveitis anterior, kebutaan karena gangguan lakrimasi(Djuanda, 2015).
Pada gastroenterologi teriadi esofageal striktur, pada genitourinari dapat terjadi nekrosis
tubular ginjal, gagal ginjal, jaringan parut pada penis, vagina stenosis, dan pada kutaneus
terdapat jaringan parut dan deformitas kosmetik. Infeksi dapat kambuh karena
penyembuhan ulserasi yang lambat (Parillo, 2017).
Penatalaksanaan optimal dari SSJ memerlukan diagnosis secara dini, penghentian
dengan segera obat-obatan pencetusnya, perawatan suportif dan terapi spesifik. Adapun
prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah sama seperti pada luka bakar. Selain
menghentikan pemberian obat penyebab, dilakukan perawatan luka, manajemen cairan dan
elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan mata, manajemen suhu, kontrol nyeri dan pemantauan
pengobatan infeksi. Perawatan spesifik dapat diberikan kortikosteroid sistemik (Whitney,
2015).
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam
nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis
cukup memuaskan. Nilai SCORTEN merupakan sejumlah variable yang digunakan untuk
meramalkan faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan dan juga pada TEN (Parillo,
2017).
BAB II

STATUS PASIEN

Pada Senin, 4 November 2019 seorang perempuan berusia 42 tahun diantar oleh
keluarganya ke poli kulit RSUD KRT Setjonegoro dengan keluhan seluruh badan terutama
tangan dan badan terasa panas, terbakar atau melepuh. Pasien mengeluh kaki terasa seperti
ditusuk jarum, rongga mulut terasa perih dan muncul seperti sariawan dibibir, bibir terasa
bengkak dan kemerahan hingga pasien sulit untuk membuka mulut. Selain itu pasien juga
mengeluh mata kanan pasien seperti belekan dan terasa nyeri. Keluhan ini dirasa sejak kurang
lebih 3 hari yang lalu.Lima hari yang lalu, pasien mengkonsumsi beberapa obat yakni
allupurinol, voltadex, dan metilprednisolone yang pasien beli sendiri dari apotek untuk
mengobati keluhan pegal-pegal pada sendi dan badan pasien. Namun, dua hari setelahnya,
pasien mengeluh keluhan seperti diatas. Pasien sudah sempat berobat, namun tidak ada
perbaikan, dan gejala semakin bertambah parah. Pasien belum pernah mengalami keluhan
serupa sebelumnya. Pasien tidak mengetahui apakah ada riwayat alergi sebelumnya. Di
keluarga pasien tidak ada yang pernah mengalami keluhan serupa. Pasien bekerja sehari-hari
sebagai petani.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kondisi pasien baik dan kompos mentis.
Didapatkan tekanan darah 142/84 mmHg, nadi 124x/menit, pernafasan 20x/menit, dan
temperatur 37oC. Dari pemeriksaan fisik pada ODS tampak sekret mukupurelen, ODS
tampak konjungtiva hiperemis. Dari pemeriksaan UKK dapat ditemukan pada seluruh tubuh
terutama tangan dan badan terdapat plak hiperpigemntasi, bentuk bulat, batas tegas, tepi
ireguler, ukuran bervariasi, jumlah multiple, distribusi universal. Pada area bibir terdapat
erosi hemoragik,multiple, tebal, batas tidak tegas, tepi irreguler, tertutup grayish white
pseudomembrane, tampak krusta pada bibir pasien. Total body surface area yang terkena
yaitu : regio kepala-leher 3%, regio trunkus 5% , regio tangan 1% sehingga jumlahnya 9%.

Gambar 1. Pemeriksaan Fisik pada Tangan dan Punggung


Gambar 2. Pemeriksaan Fisik pada Mulut dan Badan Bagian Depan
Hasil pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil
eosinofil sebesar 0,20%, netrofil 81,30%, dan limfosit 13,90%. Hasil dari pemeriksaan kimia
klinik didapatkan adanya peningkatan ureum sebesar 93.7 mg/dL, creatinin 1,34 mg/dL, dan
SGOT 92,9% U/L.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis dengan Sindrom
Steven Johnson, sementara obat yang menjadi penyebab dari erupsi obat ini adalah
allupurinol dan voltadex (natrium diklofenak). Sebagai diagnosis banding adalah Eritema
Multiforme dan Nekrolisis Epidermal Toksik.
Kemudian pasien dirawat inapkan, pasien diminta menghentikan pengobatan
allupurinol dan voltadex dan mendapatkan terapi Infus RL 20tpm, injeksi Metilprednisolon
125mg/12jam, injeksi Gentamicin 80mg/12jam, Paracetamol 3x500mg, Interhistin 3x50mg,
betadine gargle 3 dd garg, C Tobroson md 3 dd gtt II ODS, C Mycos eu 1 dd ODS, rawat
luka, dan diet cair.
BAB III

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis pasien mengeluh seluruh badan terutama tangan dan badan
terasa panas, terbakar atau melepuh. Pasien mengeluh kaki terasa seperti ditusuk jarum,
rongga mulut terasa perih dan muncul seperti sariawan dibibir, bibir terasa bengkak dan
kemerahan hingga pasien sulit untuk membuka mulut. Selain itu pasien juga mengeluh mata
kanan pasien seperti belekan dan terasa nyeri. Keluhan ini dirasa sejak kurang lebih 3 hari
yang lalu. Lima hari yang lalu, pasien mengkonsumsi beberapa obat yakni allupurinol,
voltadex, dan metilprednisolone yang pasien beli sendiri dari apotek untuk mengobati
keluhan pegal-pegal pada sendi dan badan pasien. Namun, dua hari setelahnya, pasien
mengeluh keluhan seperti diatas.
Dari pemeriksaan fisik pada ODS tampak sekret mukupurelen, ODS tampak
konjungtiva hiperemis. Dari pemeriksaan UKK dapat ditemukan pada seluruh tubuh terutama
tangan dan badan terdapat plak hiperpigemntasi, bentuk bulat, batas tegas, tepi ireguler,
ukuran bervariasi, jumlah multiple, distribusi universal. Pada area bibir terdapat erosi
hemoragik,multiple, tebal, batas tidak tegas, tepi irreguler, tertutup grayish white
pseudomembrane, tampak krusta pada bibir pasien. Total body surface area yang terkena
yaitu : regio kepala-leher 3%, regio trunkus 5% , regio tangan 1% sehingga jumlahnya 9%.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis yang mengarah
ke SSJ, SSJ dapat timbul dalam 1-14 hari disertai gejala prodormal berupa demam tinggi,
malese, nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sakit menelan, nyeri dada, muntah,
pegal otot, dan atralgia yang sangat bervariasi. Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa
kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata. Ketiga trias ini
terdapat pada pasien ini.
Pada pemeriksaan penunjang darah rutin didapatkan hasil eosinopenia dan
limfosiopenia yang menunjukkan adanya proses inflamasi, netrofilia pada pasien ini mungkin
menunjukkan adanya proses infeksi bakteri, gangguan metabolik seperti uremia, dan adanya
proses inflamasi. Pada pemeriksaan kimia darah, didapatkan peningkatan ureum,
kreatinin,dan SGOT. Peningkatan ureum kreatinin dapat terjadi akibat komplikasi pada
genitourinaria yaitu terjadi nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal. Patofisologi terjadinya AKI
pada SSJ adalah kompleks. Beberapa penelitian menyebutkan bhawa SSJ dan TEN
berhubungan dengan meningkatnya kehilangan cairan dari mukosa kulit dan gastrointestinal,
terjadinya infeksi juga berkontribusi terhadap terjadinya gangguan ginjal. Hung et al
berpendapat bahwa sepsis dan hipoalbuminia menjadi faktor resiko terjadinya AKI.
Dalam kasus ini sebagai penyebab adalah allupurinol adan natrium diklofenak.
Allupurinol merupakan obat asam urat golongan urikostatik, sedangkan natrium diklofenak
merupakan golongan obat NSAID. Dalam angka absolut kasus, alopurinol adalah penyebab
paling umum dari SJS di Eropa dan Israel, dan sebagian besar pada pasien yang menerima
dosis harian setidaknya 200 mg. satu Rumah Sakit di India, didapatkan bahwa kelompok obat
paling sering menyebabkan SJS adalah obat anti-mikroba (35,55%), diikuti oleh anti-konvulsi
(28,89%), antipiretik (17,78%), dan NSAID (6.67%). Dalam kategori obat individual,
parasetamol (17,77%), dan fenitoin (15,55%) berada di antara obat yang paling sering
dilaporkan. Beberapa penelitian baru menunjukkan bahwa alel Human Leukocyte Antigen
(HLA-B*B5801) berhubungan kuat pada subyek etnik Cina/Asia dengan SSJ dan NET yang
diinduksi allupurinol.
Penatalaksanaan pada pasien ini yang utama adalah mengehentikan dan menghindari
penggunaan obat yang menjadi penyebab SSJ, pemberian terapi suportif, dan terapi spesifik.
Pada kasus ini pasien dirawat inapkan, dan diberikan terapi infus RL 20tpm untuk memenuhi
kebutuhan cairan tubuh karena biasanya SSJ dihubungkan dengan hilangnya cairan yang
signifikan dikarenakan erosi, yang menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan
elektrolit. Pasien diberi terapi injeksi metiprednisolon 125mg/12jam, pemakaian
kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi menemukan bahwa pemberian
kortikosteroid dapat mencegah perluasan penyakit bila diberikan pada fase awal. Studi lain
menyebutkan bahwa steroid tidak menghentikan perkembangan penyakit dan bahkan
dihubungkan dengan kenaikan mortalitas dan efek samping, khususnya sepsis. Selanjutnya,
banyak kasus telah dilaporkan yang telah diobati dengan kortikosteroid, akan meningkatkan
resiko SSJ. Pada SSJ kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi, imunosupresif dan anti
apoptosis. Pemberian antibiotik injeksi gentamicin 80mg/12 jam berfungsi untuk mencegah
terjadinya infeksi bakteri sekunder seperti sepsis. Antibiotik yang diberikan hendaknya yang
jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak nefrotoksik.
Antibiotik yang memenuhi syarat tersebut antara lain siprofloksasin dengan dosis 2x400 mg
intravena, klindamisin dengan dosis 2x600 mg intravena dan gentamisin dengan dosis 2x80
mg. Interhistin 3x50 mg mengandung mebhydrolin, yaitu suatu obat anti histamin antagonis
reseptor H-1, paracetamol 3x500mg merupakan NSAID yang berperan sebagai antiinflamasi
dan analgesik. Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam
fisiologis dan Pemberian obat salep mata dapat berfungsi unutk mencegah komplikasi
oftalmik. Pemberian betadine gargle merupakan antiseptik yang berfungsi untuk berkumur
guna eradikasi kuman di dalam rongga mulut. Pada pasien ini dilakukan permbersihan luka
dengan larutan NaCl agar mengurangi pertumbuhan bakteri-bakteri. Pada pasien ini diberikan
diet cair untuk menghindari iritasi lesi pada mulut.
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam
nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis
cukup memuaskan.[4]Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi
infeksi sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa. Sampai dengan 15% dari
semua pasien dengan sindrom Stevens-Johnson (SSJ) meninggal akibat kondisi ini.
Bakteremia dan sepsis meningkatkan resiko kematian. Nilai SCORTEN merupakan sejumlah
variable yang digunakan untuk meramalkan faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ. Pada
pasien ini didapatkan nilai SCORTEN sebesar 3 dengan angka mortalitas > 35,3%. Mengenai
alerginya terhadap obat tertentu lebih baik dijelaskan kepada pasien dan keluarga serta
dituliskan dalam riwayat kartu berobat, agar dimasa mendatang dapat menghindari
penggunaan obat tersebut.
BAB IV

KESIMPULAN

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi


mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata
disertai gejala umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan
dengan pasti, pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.

SSJ menyebabkan pengelupasan kulit kurang dari 10% permukaan tubuh, pada
selaput lendir dapat menimbulkan krusta kehitaman, dan pada mata menyebabkan
konjungtivitis purulenta. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk mendiagnosis
SSJ kecuali pemeriksaan histopatologis. Diagnosis banding dari SSJ adalah eritema
multiforme dan toxic epidermal necrolysis.

Penatalaksanaan optimal dari SJS dan TEN memerlukan diagnosis secara dini,
penghentian dengan segera obat-obatan pencetusnya, perawatan suportif dan terapi spesifik.
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam nyawa. Jika
ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan. Pada kasus ini tingkat
mortalitas dapat ditentukan dengan nilai SCORTEN.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda S,Sularsito SA. Dermatitis Atopik. Dalam: Djuanda A,editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Edisi ke – 7 . Jakarta: FK UI; 2015.
2. Knowles S, Shear NH. Clinical risk management of stevens Johnson syndrome, toxic
epidermal necrolysis. Dalam: Spectrum; 2009;22:441-451
3. Milton H. Nirken et all. Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis :
Pathogenesis, Clinical manifestations and diagnosis, MD Employee of UpToDate Inc
, Feb 2015
4. Parrillo J Steven, DO, FACOEP, FACEP : Stevens-Johnson Syndrome. Direvisi
terakhir 25 Mei 2017. Di akses tanggal : 4 November 2019. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview
5. Torres MJ, Mayorga C, Blanca M. Nonimmediate Allergic Reactions Induced by
Drugs: Pathogenesis and Diagnostic Test. Dalam: J Investing Allergol Clind Immunol
2009;19:80-90
6. Valeyrie Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven Johnsosns Syndrome
and Toxic Epidermal Necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th
ed. New York: Mc Graw;2008;349-55
7. Whitney A High, MD et all. Steven Johnson Syndrome and Toxic Epidermal
Necrolysis : Management, Prognosis and Long term sequelae. MD Employee of
UpToDate Inc, March 2015

Anda mungkin juga menyukai