Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN EMERGENCY & KRITIS


PADA KLIEN NY.C DENGAN STROKE NON HEMORAGIK (SNH)
DI RUANG ICU RSUD UNGARAN

Disusun Oleh:

Riska Apriliana sari


(010117A086)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN
TAHUN AJARAN 2018/2019
Jl.Gedongsongo, Kelurahan Candirejo-kecamatan Ungaran Barat
LAPORAN PENDAHULUAN

STROKE NON HEMORAGIK (SNH) DISERTAI DENGAN GAGAL NAFAS

A. Konsep Penyakit Stroke Non Hemoragik (SNH) / Gangguan / Trauma


1. Pengertian
Stroke menurut WHO (World Health Organization) adalah gangguan fungsi
serebral yang terjadi baik fokal maupun global yang terjadi mendadak dan cepat,
berlangsung lebih dari 24 jam atau meninggal disebabkan oleh gangguan pembuluh
darah.
Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal maupun global
akibat terhambatnya peredaran darah ke otak. Gangguan peredaran darah otak berupa
tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluh darah di otak. Otak yang
seharusnya mendapat pasokan oksigen dan zat makanan menjadi terganggu.
Kekurangan pasokan oksigen ke otak akan memunculkan kematian sel saraf. Gangguan
fungsi otak ini akan memunculkan gejala stroke ( Junaedi, 2011).
Stroke adalah gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh gangguan
peredaran darah otak. Gangguan fungsi saraf tersebut timbul secara mendadak (dalam
beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala dan tanda yang
sesuai daerah fokal otak yang terganggu.( Junaedi, 2011)
Stroke non hemoragik adalah sindroma klinis yang awalnya timbul mendadak,
progresi cepat berupa deficit neurologis fokal atau global yang berlangsung 24 jam atau
lebih atau langsung menimbulkan kematian yang disebabkan oleh gangguan peredaran
darah otak non straumatik (Misbach.2011)
Stroke non hemoragik merupakan proses terjadinya iskemia akibat emboli dan
thrombosis serebral biasanya terjadi setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau
di pagi hari dan tidak terjadi perdarahan. Namun terjadi iskemia yang menimbulkan
hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. (Tessy.2009)
2. Etiologi

a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:


 Usia
Risiko terkena stroke meningkat pada usia 45 tahun. Setiap penambahan usia
tiga tahun akan meningkatkan risiko stroke sebesar 11-20%. Dari semua stroke,
orang yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki risiko paling tinggi yaitu 71%,
sedangkan 25% terjadi pada orang yang berusia 65-45 tahun, dan 4% terjadi
pada orang berusia <45 tahun. Menurut penelitian Siregar F (2002) di RSUP
Haji Adam Malik Medan dengan desain case control, umur berpengaruh
terhadap terjadinya stroke dimana pada kelompok umur ≥45 tahun risiko
terkena stroke dibandingkan kelompok umur < 45 tahun.
 Jenis Kelamin
Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata laki-laki
banyakmenderita stroke dibandingkan perempuan.Insiden stroke 1,25 kali
lebihbesar pada laki-laki dibanding perempuan.
 Ras/bangsa
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada orang kulitputih.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan gaya hidup.Padatahun 2004
di Amerika terdapat penderita stroke pada laki-laki yangberkulit putih sebesar
37,1% dan yang berkulit hitam sebesar 62,9%sedangkan pada wanita yang
berkulit putih sebesar 41,3% dan yangberkulit hitam sebesar 58,7%.
 Hereditas
Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnyahipertensi,
jantung, diabetes dan kelainan pembuluh darah. Riwayat strokedalam keluarga,
terutama jika dua atau lebih anggota keluarga pernahmengalami stroke pada
usia kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko. terkena stroke.
(Muttaqin, Arif. 2008)
b. Faktor risiko yang dapat dirubah:
 Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke. Hipertensi
meningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak 4 sampai 6 kali. Semakintinggi
tekanan darah kemungkinan stroke makin besar karena terjadinyakerusakan
pada dinding pembuluh darah sehingga memudahkan
terjadinyapenyumbatan/perdarahan otak. Sebanyak 70% dari orang yang
terserangstroke mempunyai tekanan darah tinggi.
 Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke, namun tidak sekuat
hipertensi. Diabetes melitus dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis
(pengerasan pembuluh darah) yang lebih berat sehingga berpengaruh terhadap
terjadinya stroke.
 Penyakit Jantung
Penyakit jantung yang paling sering menyebabkan stroke adalah fibrilasi
atrium/atrial fibrillation (AF), karena memudahkan terjadinya penggumpalan
darah di jantung dan dapat lepas hingga menyumbat pembuluh darah di otak.
Di samping itu juga penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi
otot jantung, pasca operasi jantung juga memperbesar risiko stroke. Fibrilasi
atrium yang tidak diobati meningkatkan risiko stroke.
 Obesitas
Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan diabetes
melitus. Obesitas meningkatkan risiko stroke sebesar 15%. Obesitas dapat
meningkatkan hipertensi, jantung, diabetes dan aterosklerosis yang semuanya
akan meningkatkan kemungkinan terkena serangan stroke.
 Hiperkolesterolemia
Kondisi ini secara langsung dan tidak langsung meningkatkan faktor risiko,
tingginya kolesterol dapat merusak dinding pembuluh darah dan juga
menyebabkan penyakit jantung koroner. Kolesterol yang tinggi terutama Low
Density Lipoprotein (LDL) akan membentuk plak di dalam pembuluh darah
dan dapat menyumbat pembuluh darah baik di jantung maupun di otak. Kadar
kolesterol total > 200 mg/dl meningkatkan risiko stroke 1,31-2,9 kali.
 Merokok
Merokok menyebabkan penyempitan dan pengerasan arteri di seluruh tubuh
(termasuk yang ada di otak dan jantung), sehingga merokok mendorong
terjadinya aterosklerosis, mengurangi aliran darah, dan menyebabkan darah
mudah menggumpal.
 Alkohol
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengganggu metabolisme tubuh,
sehingga terjadi dislipidemia, diabetes melitus, mempengaruhi berat badan dan
tekanan darah, dapat merusak sel-sel saraf tepi, saraf otak dan lain-lain. Hal ini
mempermudah terjadinya stroke. Konsumsi alkohol berlebihan meningkatkan
risiko terkena stroke 2-3 kali.
 Stres
Hampir setiap orang pernah mengalami stres. Stres psiokososial dapat
menyebabkan depresi. Jika depresi berkombinasi dengan faktor risiko lain
(misalnya, aterosklerosis berat, penyakit jantung atau hipertensi) dapat memicu
terjadinya stroke. Depresi meningkatkan risiko terkena strokesebesar 2 kali.
(Natadidjah.2012)

3. Manifestasi klinis

Gejala stroke non hemoragik


Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan
peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah:
1) Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.
a. Buta mendadak (amaurosis fugaks).
b. Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia) bila
gangguan terletak pada sisi dominan.
c. Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis kontralateral) dan
dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.
2) Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior.
a. Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol.
b. Gangguan mental.
c. Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh.
d. Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air
e. Bisa terjadi kejang-kejang.
3) Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media.
a. Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih ringan. Bila
tidak di pangkal maka lengan lebih menonjol.
b. Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh.
c. Hilangnya kemampuan dalam berbahasa (aphasia).
4) Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasilar.
a. Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas.
b. Meningkatnya refleks tendon.
c. Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh.
d. Gejala-gejala sereblum seperti gemetar pada tangan (tremor), kepala berputar
(vertigo)
e. Ketidakmampuan untuk menelan (disfagia).
f. Gangguan motoris pada lidah, mulut, rahang dan pita suara sehingga pasien
sulit bicara (disatria).
g. Kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran secaralengkap
(strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan dayaingat terhadap
lingkungan (disorientasi).
h. Gangguan penglihatan, sepert penglihatan ganda (diplopia), gerakan arahbola
mata yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan kelopak mata(ptosis),
kurangnya daya gerak mata, kebutaan setengah lapang pandangpada belahan
kanan atau kiri kedua mata (hemianopia homonim).
i. Gangguan pendengaran
j. Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.
5) Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior
a. Koma
b. Hemiparesis kontra lateral.
c. Ketidakmampuan membaca (aleksia).
d. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga.
e. Gejala akibat gangguan fungsi luhur
f. Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia dibagi dua
yaitu, Aphasia motorik adalah ketidakmampuan untuk berbicara,
mengeluarkan isi pikiran melalui perkataannya sendiri, sementara
kemampuannya untuk mengerti bicara orang lain tetap baik. Aphasia sensorik
adalah ketidakmampuan untuk mengerti pembicaraan orang lain, namun masih
mampu mengeluarkan perkataan dengan lancar, walau sebagian diantaranya
tidak memiliki arti, tergantung dari luasnya kerusakan otak.
g. Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan otak.
Dibedakan dari Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu Verbal
alexia adalah ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat membaca huruf.
Lateral alexia adalah ketidakmampuan membaca huruf, tetapi masih dapat
membaca kata. Jika terjadi ketidakmampuan keduanya
disebut Global alexia.
h. Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya kerusakan otak.
i. Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan mengenal angka setelah
terjadinya kerusakan otak.
j. Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah sejumlah tingkat
kemampuan yang sangat kompleks, seperti penamaan, melakukan gerakan
yang sesuai dengan perintah atau menirukan gerakan-gerakan tertentu.
Kelainan ini sering bersamaan dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari disuruh
menyebutkan nama jari yang disentuh sementara penderita tidak boleh melihat
jarinya).
k. Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya kemampuan
melaksanakan bermacam perintah yang berhubungan dengan ruang.
l. Syndrome Lobus Frontal, ini berhubungan dengan tingkah laku akibat kerusakan
pada kortex motor dan premotor dari hemisphere dominan yang menyebabkan
terjadinya gangguan bicara.
m. Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada trauma capitis,
infeksi virus, stroke, anoxia dan pasca operasi pengangkatan massa di otak.
n. Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang mencakup sejumlah
kemampuan.
4. Patofisiologi
Dalam keadaan fisiologis, jumlah darah yang mengalir ke otak adalah 50–60 ml per
100 gram otak per menit. Jadi jumlah darah untuk seluruh otak, yang kira-kira beratnya
antara 1200-1400 gram adalah 700-840 ml per menit. Dari jumlah darah itu, satu
pertiganya disalurkan melalui tiap arteri karotis interna dan satu pertiga sisanya
disalurkan melalui susunan vertebrobasilar. Daerah otak tidak berfungsi karena secara
tiba-tiba tidak menerima suplai darah lagi karena arteri yang memperdarahi daerah
tersebut putus atau tersumbat. Penyumbatan itu bisa terjadi secara mendadak atau
secara berangsur-angsur (Misbach.2011).
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola yang berdiameter 100-400
mcmeter mengalami perubahan patologik pada dinding pembuluh darah tersebut
berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard.
Arteriol-arteriol dari cabang-cabang lentikulostriata, cabang tembus arteriotalamus dan
cabang-cabang paramedian arteria vertebro-basilar mengalami perubahan-perubahan
degeneratif yang sama. Kenaikan darah yang “abrupt” atau kenaikan dalam jumlah
yang secara mencolok dapat menginduksi pecahnya pembuluh darah terutama pada
pagi hari dan sore hari. Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat
berlanjut sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besarakan merusak struktur anatomi
otak dan menimbulkan gejala klinik. Jika perdarahan yang timbul kecil ukurannya,
maka massa darah hanya dapat merasuk dan menyela di antara selaput akson massa
putih tanpa merusaknya. Pada keadaan ini absorbsi darah akan diikutioleh pulihnya
fungsi-fungsi neurologi. Sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa
otak, peninggian tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi
otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan
darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus
kaudatus, talamus dan pons. Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume
perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peningian tekanan intrakranial dan
mentebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena
darah dan sekitarnya tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis.
Apabila volume darah lebih dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93 % pada
perdarahan dalam dan 71 % pada perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan
serebelar dengan volume antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar
75 % tetapi volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal. (Muttaqin,
Arif. 2008).
5. Pathway
Terjadi iskemik
dan
infark pada
jaringan

Stroke Non Hemoragik

Penurunan Adanya lesi Proses


kekuatan otot serebral metabolisme di
otak terganggu
Kelemahan Terjadinya
fisik Penurunan suplai
afasia darah dan O2 ke
otak
Hambatan
Hambatan Komunikai
Mobilitas Fisik Verbal Risiko
Ketidakefektifan
Perfusi Jaringan
otak
6. PemeriksaanDiagnostik
Pemeriksaan penunjang penting untuk mendiagnosis secara tepat stroke dan
subtipenya, untuk menidentifikasi penyebab utamanya dan penyakit terkait lain, untuk
menentukan terapi dan strategi pengelolaan terbaik, serta untuk memantau kemajuan
pengobatan. Pemeriksaan yang dilakukan akan berbeda dari pasien ke pasien.
a. CT dan MRI
Pemeriksaan paling penting untuk mendiagnosis subtipe dari stroke adalah
Computerised Topography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada
kepala. Mesin CT dan MRI masing-masing merekam citra sinar X atau resonansi
magnet. Setiap citra individual memperlihatkan irisan melintang otak,
mengungkapkan daerah abnormal yang ada di dalamnya.
Pada CT, pasien diberi sinar X dalam dosis sangat rendah yang digunakan
menembus kepala. Sinar X yang digunakan serupa dengan pada pemeriksaan dada,
tetapi dengan panjang ke radiasi yang jauh lebih rendah. Pemeriksaan memerlukan
waktu 15 – 20 menit, tidak nyeri, dan menimbulkan resiko radiasi minimal keculi
pada wanita hamil. CT sangat handal mendeteksi perdarahan intrakranium, tetapi
kurang peka untuk mendeteksi stroke iskemik ringan, terutama pada tahap paling
awal. CT dapat memberi hasil negatif-semu (yaitu, tidak memperlihatkan adanya
kerusakan) hingga separuh dari semua kasus stroke iskemik.
Mesin MRI menggunakan medan magnetik kuat untuk menghasilkan dan
mengukur interaksi antara gelombang-gelombang magnet dan nukleus di atom yang
bersangkutan (misalnya nukleus Hidrogen) di dalam jaringan kepala. Pemindaian
dengan MRI biasanya berlangsung sekitar 30 menit. Alat ini tidak dapat digunakan
jika terdapat alat pacu jantung atau alat logam lainnya di dalam tubuh. Selain itu,
orang bertubuh besar mungkin tidak dapat masuk ke dalam mesin MRI, sementara
sebagian lagi merasakan ketakutan dalam ruangan tertutup dan tidak tahan
menjalani prosedur meski sudah mendapat obat penenang. Pemeriksaan MRI aman,
tidak invasif, dan tidak menimbulkan nyeri. MRI lebih sensitif dibandingkan CT
dalam mendeteksi stroke iskemik, bahkan pad stadium dini. Alat ini kurang peka
dibandingkan CT dalam mendeteksi perdarahan intrakranium ringan.
b. Ultrasonografi
Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan menggunakan gelombang suara untuk
menciptakan citra. Pemindaian ini digunakan untuk mencari kemungkinan
penyempitan arteri atau pembekuan di arteri utama. Prosedur ini aman, tidak
menimbulkan nyeri, dan relatif cepat (sekitar 20-30 menit).
c. Angiografi otak
Angiografi otak adalah penyuntikan suatu bahan yang tampak dalam citra sinar-X
kedalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X kemudian dapat
memperlihatkan pembuluh-pembuluh darah di kepala dan leher. Angiografi otak
menghasilkan gambar paling akurat mengenai arteri dan vena dan digunakan untuk
mencari penyempitan atau perubahan patologis lain, misalnya aneurisma. Namun,
tindakan ini memiliki resiko kematian pada satu dari setiap 200 orang yang
diperiksa.
d. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal kadang dilakukan jika diagnosa stroke belum jelas. Sebagai contoh,
tindakan ini dapat dilakukan untuk menyingkirkan infeksi susunan saraf pusat serta
cara ini juga dilakukan untuk mendiagnosa perdarahan subaraknoid. Prosedur ini
memerlukan waktu sekitar 10-20 menit dan dilakukan di bawah pembiusan lokal.
e. EKG
EKG digunakan untuk mencari tanda-tanda kelainan irama jantung atau penyakit
jantung sebagai kemungkinan penyebab stroke. Prosedur EKG biasanya
membutuhkan waktu hanya beberapa menit serta aman dan tidak menimbulkan
nyeri.
f. Foto toraks
Foto sinar-X toraks adalah proses standar yang digunakan untuk mencari kelainan
dada, termasuk penyakit jantung dan paru. Bagi pasien stroke, cara ini juga dapat
memberikan petunjuk mengenai penyebab setiap perburukan keadaan pasien.
Prosedur ini cepat dan tidak menimbulkan nyeri, tetapi memerlukan kehati-hatian
khusus untuk melindungi pasien dari pajanan radiasi yang tidak diperlukan.
g. Pemeriksaan darah dan urine
Pemeriksaan ini dilakukan secara rutin untuk mendeteksi penyebab stroke dan
untuk menyingkirkan penyakit lain yang mirip stroke. Analisis urine mencakup
penghitungan sel dan kimia urine untuk mengidentifikasi infeksi dan penyakit
ginjal. Hitung darah lengkap untuk melihat penyebab stroke seperti trombositosis,
trombositopenia, polisitemia, anemia (termasuk sikle cell disease). Laju endap
darah untuk medeteksi terjadinya giant cell arteritis atau vaskulitis lainnya. Serologi
untuk sifilis. Glukosa darah untuk melihat DM, hipoglikemia, atau hiperglikemia.
Lipid serum untuk melihat faktor risiko stroke.
7. Penatalaksanaan medik
Penderita stroke non hemoragik atau stroke iskemik biasanya diberikan:
a. Anti agregasi platelet : Aspirin, tiklopidin, klopidogrel, dipiridamol, cilostazol
b. Trombolitik : Alteplase (recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA))
Indikasi : Terapi trombolitik pada stroke non hemoragik akut. Terapi harus
dilakukan selama 3 – 4,5 jam sejak onset terjadinya simptom dan setelah dipastikan
tidak mengalami stroke perdarahan dengan CT scan.
Kontra Indikasi : rtPA tidak boleh digunakan pada pasien yang mengalami resiko
tinggi perdarahan, pasien yang menerima antikoagulan oral (warfarin),
menunjukkan atau mengalami perburukan pendarahan, punya riwayat stroke atau
kerusakan susunan saraf pusat, hemorrhage retinopathy, sedang mengalami trauma
pada external jantung (<10 hari), arterial hipertensi yang tidak terkontrol, adanya
infeksi bakteri endocarditis, pericarditis, pancreatitis akut, punya riwayat ulcerative
gastrointestinal disease selama 3 bulan terakhir, oesophageal varicosis, arterial
aneurisms, arterial/venous malformation, neoplasm dengan peningkatan resiko
pendarahan, pasien gangguan hati parah termasuk sirosis hati, portal hypertension
(oesophageal varices) dan hepatitis aktif, setelah 18 operasi besar atau mengalami
trauma yang signifikan pada 10 hari, pendarahan cerebral, punya riwayat
cerebrovascular disease, keganasan intrakranial, arteriovenous malformation,
pendarahan internal aktif. Dosis : dosis yang direkomendasikan 0,9mg/kg (dosis
maksimal 90 mg) secara infusi selama 60 menit dan 10% dari total dosis diberikan
secara bolus selama 1 menit. Pemasukan dosis 0,09 mg/kg (10% dari dosis
0,9mg/kg) secara iv bolus selama 1 menit, diikuti dengan 0,81 mg/kg (90% dari
dosis 0,9mg/kg) sebagai kelanjutan infus selama lebih dari 60 menit. Heparin tidak
boleh dimulai selama 24 jam atau lebih setelah penggunaan alteplase pada terapi
stroke.

Karakteristik pasien yang dapat diterapi dengan Alteplase (rt-PA) :

 Terdiagnosis stroke non hemoragik.


 Tanda-tanda neurologis tidak bisa terlihat jelas secara spontan.
 Simptom stroke tidak mengarah pada perdarahan subarachnoid.
 Onset simptom kurang dari 3 jam sebelum dimulai terapi dengan Alteplase.
 Tidak mengalami trauma kepala dalam 3 bulan terakhir.
 Tidak mengalami myocardial infarction dalam 3 bulan terakhir.
 Tidak terjadi gastrointestinal hemorrhage atau hemorrhage pada saluran
kencing dalam 21 hari terakhir.
 Tidak melakukan operasi besar dalam 14 hari terakhir.
 Tidak mengalami arterial puncture pada tempat-tempat tertentu dalam 7 hari
terakhir.
 Tidak mempunyai riwayat intracranial hemorrhage.
 Tidak terjadi peningkatan tekanan darah (sistolik kurang dari 185 mmHg dan
diastolik kurang dari 110 mmHg).
 Tidak terbukti mengalami pendarahan aktif atau trauma akut selama
pemeriksaan.
 Tidak sedang atau pernah mengkonsumsi antikoagulan oral, INR 100 000
mm3.
 Kadar glukosa darah >50 mg/dL (2.7 mmol/L).
 Tidak mengalami kejang yang disertai dengan gangguan neurologi postictal
residual.
 Hasil CT scan tidak menunjukkan terjadinya multilobar infarction
(hypodensity kurang dari 1/3 cerebral hemisphere).
c. Antikoagulan : heparin, LMWH, heparinoid (untuk stroke emboli)
d. Neuroprotektan.
Terapi komplikasi:
1. Antiedema : larutan Manitol 20%
2. Antibiotik, antidepresan, antikonvulsan : atas indikasi
3. Anti trombosis vena dalam dan emboli paru.
Penatalaksanaan faktor risiko :
1. Antihipertensi : fase akut stroke dengan persyaratan tertentu
2. Antidiabetika : fase akut stroke dengan persyaratan tertentu
3. Antidislipidemi : atas indikasi.
Terapi non medikamentosa :
1. Operatif
2. Phlebotomi
3. Neurorestorasi (dalam fase akut) dan rehabilitasi medik
4. Low Level Laser Therpahy (ekstravena/intravena)
5. Edukasi (aktifitas sehari-hari, latihan pasca stroke, diet).

B. Konsep Asuhan Keperawatan Emergency dan Kritis


1. Pengkajian Emergency dan Kritis
1. Identitas Klien dan Penaggung Jawab
2. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen
segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan
dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera
masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey
antara lain:
 Airway maintenance dengan cervical spine protection
 Breathing dan oxygenation
 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
 Disability-pemeriksaan neurologis singkat
 Exposure dengan kontrol lingkungan
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain
a) General Impressions
 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
 Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
 Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway
dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal
jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling
sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar.
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
 Lakukan intubasi

c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)


Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai,
maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase
tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi
buatan.
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.

d) Pengkajian Circulation
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain
:
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary
refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
f) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk
dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien.
Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan
telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien,
kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang.
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam
jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka
dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau
kritis.

3. Secondary survey
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head
to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi
pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah
mulai membaik.
a. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan
utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga,
sosial, dan sistem. Pengkajian riwayat pasien secara optimalharus
diperolehlangsung daripasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya,usia, dan
cacatatau kondisipasienyang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga,
orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang
dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera yang
mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau
vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan
obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk
dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)

4. Pola Kesehatan Fungsional (Gordon)


a. Pola persepsi kesehatan dan penanganan kesehatan : klien merasakan kondisi
kesehatan dan bagaimana cara menangani
b. Pola nutrisi/metabolik : gambaran pola makan dan kebutuhan
cairan b/d kebutuhan metabolik dan suplai nutrisi
c. Pola eliminasi : gambaran pola fungsi pembuangan (BAB, BAK, melalui
kulit)
d. Pola aktifitas/olah raga : gambaran pola aktifitas, olahraga, santai, rekreasi
e. Pola tidur-istirahat :
gambaran pola tidur, istirahat, dan relaksasi
f. Pola kognitif dan perceptual :
gambaran pola konsep diri klien dan persepsi terhadap dirinya
g. Pola peran/hubungan :
gambaran pola peran dalam berpartisipasi / berhubungan dengan orang lain
h. Pola seksualitas/reproduksi
gambaran pola kenyamanan/tidak nyaman dengan pola seksualitas dan
gambaran pola reproduksi
i. Pola koping/toleransi
stress: gambaran pola koping klien secara umum dan efektifitas dalam tolera
nsi terhadap stress
j. Polanilai/keyakinan: gambaran pola nilai-nilai, keyakinan-
keyakinan (termasuk aspek spiritual), dan tujuan yang dapat mengarahkan m
enentukan pilihan/keputusan.

2. Diagnosa Keperawatan Emergency dan Kritis :


a. Hambatan mobilitas fisik
b. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
c. Hambatan komunikasi verbal

3. Tujuan dan Rencana Tindakan Keperawatan Emergency dan Kritis


Diagnosa keperawatan NOC NIC
(NANDA)
Resiko ketidakefektifan Setelah dilakukan
perfusi jaringan otak tindakan keperawatan
selama 2×24 jam
diharapkan perfusi
jaringan serebral efektif,
dengan kriteria hasil:

Hambatan Mobilitas Fisik


(00085)
Definisi: Keterbatasan
dalam gerakan fisik atau
satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri dan terarah.
Batasan Karakteristik:

Hambatan komunikasi Setelah dilakukan Peningkatan komunikasi :


verbal (00051) tindakan keperawatan Kurang Bicara (4976)
Definisi : Penurunan, selama 2x24 jam Aktivitas-aktivitas :
pelambatan atau ketiadaan diharapkan pasien  Monitor proses kognitif,
kemampuan untuk mampu : anatomis, dan fisiologi yang
menerima atau memproses • Komunikasi: terlibat dalam kemampuan
menerima dan/atau Mengekspresikan (0903) berbicara.
menggunakan sistem Dengan kriteria hasil :  Sediakan metode alternative
symbol. - (090304) kejelasan untuk berkomunikasi dengan
Batasan karakteristik : berbicara ditingkatkan berbicara
 Sulit bicara dari skala 2 ke skala 4  Instruksikan pasien untuk
 Deficit visual parsial bicara pelan
 Pelo (090306) menggunakan Kolaborasi bersama
Faktor yang berhubungan : Bahasa isyarat keluarga dan ahli terapis
 Gangguan Fisiologi ditingkatkan dari skala 3 Bahasa patologis untuk
(mis,,tumor ke skala 4 mengembangkan rencana
otak,penurunan agar bisa berkomunikasi
sirkulasi ke otak, secara efektif.
sistem
musculoskeletal
melemah)
 Gangguan sistem
saraf pusat

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek ,gloaria 2016 nursing intervention clasification(NIC). Edisi keenam . CV.Macomedia


Johnson, M., et all. 20012. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River

Junaidi, Iskandar.2011.Stroke Waspadai Ancamannya.Yogyakarta:ANDI

Mc Closkey, C.J., et all. 20010. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River

Misbach, J. 2011. Stroke,Aspek Diagnostik, Ptofisiologi, Manajemen.Jakarta:Balai Pnerbit FK


UI.

Moorheade,sue dkk.2016.nursing intervention clasification(NOC).Edisi kelima.CV Macomedia

NANDA, 2018, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.

Nanda internasional 2018.Diagnosis keperawatan definisi &klasifikasi,2018-2020.Edisi


11.penerbit buku kedokteran EGC:jakarta
Tessy A, Ardayo.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid 3.Edisi 5.Jakarta: Balai Pnerbit
FKUI

Price, A. Sylvia.2010. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit edisi 4. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong, Buku-ajar IlmuBedah. Ed: revisi. Jakarta: EGC, 2009
Suyono, S, et al. Bukuajarilmupenyakitdalam. Edisiketiga. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI; 2008

Anda mungkin juga menyukai