Anda di halaman 1dari 3

Ada peribahasa yang berbunyi, "Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga.

"
Kebanyakan kita berusaha untuk hidup sebaik mungkin supaya hidup tidak menyisakan
penyesalan di hari tua. Namun pada kenyataannya tidak ada seorang pun yang dapat melewati
hidup tanpa penyesalan. Seperti tupai yang terjatuh, kita pun tersandung dalam satu dua hal
sehingga mesti menanggung penyesalan di hari tua. Berikut akan dipaparkan pelbagai ruang
dalam kehidupan yang kerap menyisakan penyesalan. Mudah-mudahan melalui refleksi ini kita
dapat menghindar dari kesalahan serupa sehingga kita tidak harus menyisakan penyesalan dalam
hidup.

Salah satu sumber penyesalan di masa tua berkaitan dengan hal membesarkan anak. Meskipun
ada banyak penyebabnya namun dapat dipastikan bahwa pada dasarnya kita TERLALU SIBUK
DENGAN DIRI SENDIRI.

Berikut akan dipaparkan beberapa hal yang berhubungan dengan membesarkan anak yang kerap
menjadi penyesalan di kemudian hari.

1. TIDAK CUKUP WAKTU.


Ada kecenderungan tatkala muda kita bersemangat mengejar impian hidup dan mencari
uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga akhirnya kita menjadi terlalu sibuk. Di
dalam kesibukan biasanya kita mengurangi waktu kebersamaan dengan anak sebab anak
masih kecil dan belum bisa protes. Sebagai akibatnya anak bertumbuh terlepas dari tali
ikatan emosional dengan kita, orang tuanya. Tatkala besar mungkin sekali ia akan lebih
banyak menyerap dari lingkungan pertemanan ketimbang kita.
2. TERLALU KERAS.
Oleh karena kita takut anak bertumbuh besar tanpa disiplin, kita memilih untuk
menerapkan disiplin yang keras kepada anak. Padahal tidak selalu disiplin keras
menghasilkan buah yang diharapkan. Kadang justru sebaliknya, makin keras kita
mendisiplin anak, makin besar kemungkinan ia akan mengembangkan perilaku
bermasalah. Sudah tentu di hadapan kita ia akan berlaku sebaik mungkin namun di
belakang kita, ia menjadi seperti kuda liar yang terlepas dari kandang. Oleh sebab ia takut
kepada kita, ia pun tidak berani untuk membagikan pergumulannya. Akhirnya semua hal
dipikirkan sendiri dan diputuskan tanpa sepengetahuan orang tua.
3. TERLALU LUNAK.
Mungkin kita adalah korban kekerasan orang tua, itu sebabnya kita tidak bersedia
mendisiplin anak, seburuk apa pun perbuatannya. Kita berjanji bahwa kita tidak ingin
anak kita mengalami perlakuan seperti yang telah kita terima dari orang tua sendiri. Atau,
mungkin kita begitu menyayangi anak sehingga tidak tega untuk menghukumnya kendati
salah. Masalahnya adalah, anak memerlukan disiplin sama seperti ia membutuhkan kasih
sayang. Jika kita menolak untuk mendisiplinnya, ia pun tidak pernah belajar untuk
menghormati otoritas di atasnya.
4. TERLALU MENYETIR ANAK.
Adakalanya kita terlalu sibuk dengan impian kita sehingga kita menyetir kehidupannya
seakan-akan hidupnya hanyalah perpanjangan dari hidup kita sendiri. Apa yang kita
anggap baik kita wajibkan dia untuk melakukannya pula. Bila memang ia memiliki bakat
dan kemampuan seperti kita, ia akan dapat melakukan yang kita harapkan. Namun, jika
bakal dan kemampuannya berbeda dari kemampuan kita, maka memaksanya melakukan
apa yang kita tetapkan hanyalah akan melemahkan jiwanya. Besar kemungkinan ia tidak
bisa menjadi seperti yang diharapkan, malah akhirnya tertekan dan malu.
5. TERLALU BERGANTUNG PADA ANAK.
Kadang kita terlalu sayang pada anak, kadang kita terlalu bangga dengan anak. Alhasil
kita menggantungkan penghargaan diri dan kebahagian hidup pada anak. Sewaktu ia
naik, kita turut naik. Sebaliknya, ketika ia merosot turun, kita pun ikut turun.

Terlalu bergantung pada anak membuatnya menjadi kuat dan tidak lagi takut kepada kita.
Firman Tuhan kepada kaum bapak adalah, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah
di dalam hati anak-anakmu tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." (Efesus
6:4)
Orang tua yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri pastilah membangkitkan amarah
anak. Orang tua yang memberi dirinya kepada anak sepenuhnya dan menerapkan disiplin yang
tepat, ia akan menerima kasih dan hormat anak.

Berikut akan dipaparkan hal apakah yang mesti kita utamakan dalam membesarkan anak agar
kita tidak menuai penyesalan di hari tua.

1. KONSEP YANG BENAR.


Pertama kita harus memunyai pemahaman yang benar terhadap anak. Kita harus melihat
anak sebagai seorang manusia yang diciptakan Tuhan melalui darah dan daging kita
untuk bertumbuh besar menjadi seorang yang mandiri dan terpisah dari kita. Kita mesti
membesarkannya untuk menjadi seseorang sebagaimana diinginkan Tuhan. Dengan kata
lain, tugas kita sebagai orang tua adalah menyiapkannya agar ia menjadi seorang manusia
yang utuh dan siap berelasi serta dipakai Tuhan. Berangkat dari pemahaman ini, kita pun
seyogianya mendoakan anak agar rencana Tuhan—bukan rencana kita--digenapi di
dalam dan melalui hidupnya. Juga, berangkat dari konsep ini, kita pun mengerti bahwa
kita tidak memunyai hak milik atas diri anak-anak kita, Tuhanlah yang memunyai hak
milik atas dirinya.
2. RELASI YANG BENAR.
Kita harus menjalin relasi yang benar dengan anak dan relasi yang benar dengan anak
adalah sebuah relasi yang membangun. Ibarat bangunan, anak sedang dibangun untuk
menjadi sebuah manusia yang utuh dan kokoh. Bahan bangunan yang diperlukan untuk
membangun anak adalah kasih dan disiplin. Limpahkan kasih kepada anak supaya anak
tahu dengan pasti bahwa ia dikasihi dan berharga di mata kita—tanpa ia harus
menyumbangsihkan suatu prestasi pun. Jangan sampai anak baru merasa dikasihi dan
dihargai bila ia berhasil menyumbangsihkan sesuatu yang memberi kita kebanggaan.
Dasar kasih kepada anak adalah dirinya sendiri—apa adanya. Kita mengasihinya sebab ia
anak kita. Titik. Kita pun perlu memberinya disiplin yang sesuai sebab tanpa disiplin
anak cenderung bertumbuh liar tanpa arah dan motivasi. Disiplin tidak harus berbuntut
pemukulan sebab yang terpenting dalam penerapan disiplin adalah kejelasan dan
ketegasan. Dan satu hal lagi, disiplin harus dibungkus dengan kasih. Sebagai orang tua
kita harus memastikan bahwa anak mengerti dengan jelas apa yang baik dan apa yang
buruk.
3. HIDUP YANG BENAR.
Membangun anak menjadi pribadi yang utuh juga mengharuskan kita untuk menuntunnya
untuk hidup benar, dalam pengertian hidup berkenan kepada Tuhan. Kadang kita
berprinsip, bahwa kita harus membiarkan anak memilih jalan hidupnya sendiri tanpa
mengarahkannya sama sekali. Bahkan ada di antara kita yang enggan untuk
memberitahukan jalan keselamatan yang benar di dalam Kristus lewat penebusan-Nya.
Anak mesti diperingatkan bahwa hidup merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada
Tuhan dan bahwa kita tidak bisa hidup semaunya. Anak perlu mendapat arahan dan perlu
mendengar berita pengampunan dosa dalam Kristus. Jangan sampai ia menolak Kristus
karena ia sama sekali tidak mengenal-Nya. Tugas kitalah menunjukkan kepadanya jalan
dan kebenaran dan hidup di dalam Kristus.
4. PASANGAN YANG BENAR.
Kita harus mengawal anak dalam proses pemilihan pasangan hidup dan proses ini
bermula bukan pada saat ia menyukai seseorang. Pada kenyataannya anak belajar
memilih pasangan hidup lewat apa yang dilihatnya di rumah. Dari relasi kita sebagai
suami-istri anak belajar untuk menjadi suami dan istri sekaligus belajar, suami dan istri
seperti apakah yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya. Kita pun mesti
mengarahkan anak kepada Firman Tuhan supaya ia memilih seorang pendamping yang
seiman agar mereka berdua dapat menyembah dan melayani Yesus Tuhan kita. Kita
harus menekankan kepadanya bahwa pasangan hidup yang keliru akan memengaruhi
hidupnya secara mendalam.

KESIMPULAN:
"Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-
orang seperti itulah yang empunya kerajaan Allah." (Markus 10:14) Tugas kita sebagai orang tua
adalah membesarkan anak dan membawanya datang kepada Kristus. Jangan sampai kita malah
menghalanginya datang kepada Tuhan karena kehidupan kita. Sadarlah bahwa anak hanya
bertumbuh sekali. Ia tidak akan mengulang proses pertumbuhannya. Jadi, jangan sia-siakan
waktu bersamanya. Kasihi anak dan nikmatilah kebersamaan dengannya.

Kode Kaset: T314A


Nara Sumber: Pdt. Dr. Paul Gunadi

Memang membesarkan anak, tidak langsung terlihat hasilnya. Banyak orang tua Kristen lebih senang
mengerjakan sesuatu yang langsung dapat dilihat hasilnya, entah itu karier atau apa yang disebut
pelayanan. Saatnya, orang tua Kristen perlu belajar memahami cara kerja Allah dalam penyelamatan
dunia ini. Allah mulai dari satu orang bapa yaitu Abraham, dan penyelamatan ini baru akan
dirampungkan oleh keturunannya berabad-abad bahkan berzaman-zaman kemudian. Bagaimana
seandainya anak Abraham, nakal-nakal dan susah diatur? Bagaimana jika seandainya Ishak dan Yakub
tidak setia di jalan yang harus ditempuhnya? Semoga perintah dalam Amsal 22:6 ini ditaati oleh para
orang tua Kristen, dan semoga genaplah janji Tuhan dengan bangkitnya anak-anak yang setia
menempuh jalan yang harus dilaluinya.

artikel.sabda.org/membesarkan_anak

Anda mungkin juga menyukai