Anda di halaman 1dari 25

Tarikh Tasyri’

Sejarah pembentukan hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai zaman moden. Dalam
menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (feqh) Islam, di kalangan ulamak feqh
kontemporer terdapat beberapa macam cara. Dua di antaranya yang terkenal adalah cara menurut
Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen Universiti Cairo) dan cara Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru
besar feqh Islam Universiti Amman, Jordan).

Cara pertama, periodisasi pembentukan hukum (feqh) Islam oleh Syeikh Muhammad Khudari Bek dalam
bukunya, Tarikh Tasyrl' al-Islami (Sejarah Pembentukan Hukum Islam). Ia membahagi masa
pembentukan hukum (feqh) Islam dalam enam periode, yaitu: (1) periode awal, sejak Muhammad bin
Abdullah diangkat menjadi rasul; (2) periode para sahabat besar; (3) periode sahabat kecil dan *tabiin;
(4) periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H; (5) periode berkembangnya mazhab dan
munculnya taklid mazhab; dan (6) periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu
Khan [1217-1265]) sampai sekarang.

Cara kedua, pembentukan hukum (fikih) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalam bukunya, al-
Madkhal al-Fiqhi al-'amm (Pengantar Umum Fikih Islam). Ia membagi periodisasi pembentukan dan
pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju dengan pembagian Syekh Khudari Bek sampai
periode kelima, tetapi ia membagi periode keenam menjadi dua bagian, yaitu (1) periode sejak
pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan
Turki Usmani) pada tahun 1286 H dan (2) periode sejak munculnya Majallah al-Al-Akam al-'Adliyyah
sampai sekarang.

Secara lengkap periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah
sebagai berikut.

Periode Pertama: masa Rasulullah SAW. Pada periode ini. kekuasaan pembentukan hukum berada di
tangan Rasulullah SAW. sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur'an. Apabila ayat Al-Qur'an tidak
turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah swt. menentukan hukum
sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunah Rasulullah SAW. Istilah fikih dalam pengertian yang
dikemukakan ulama fikih klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. "ilmu" dan "fikih" pada masa
Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-
Qur'an dan sunah Rasulullah SAW.

Pengertian "fikih" di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami dari nas (ayat atau
hadis), baik yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum, maupun kebudayaan. Di samping itu, "fikih"
pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah baru
ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu.
Dengan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode Rasulullah SAW belum muncul teori
hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah SAW
telah mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari Al-
Qur'an maupun dari sunahnya sendiri.

Periode Kedua: masa al-Khulafa' ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-l H.
Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang menyangkut
hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan untuk tempat bertanya
tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan *ijtihad apabila hukum
untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyarakat tidak ditemukan di dalam Al-Qur'an atau sunah
Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam membuat persoalan hukum
semakin berkembang karena perbedaan budaya di masing-masing daerah.

Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad dan menjawab persoalan
yang dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad mereka. Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad
dengan berkumpul dan memusyawarahkan persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi persoalan
itu tidak memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-
prinsip umum yang telah ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertian "fikih" dalam periode ini masih sama
dengan "fikih" di zaman Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual, bukan teori. Artinya, ketentuan hukum
bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu saja, tidak merambat kepada kasus lain secara teoretis.

Periode Ketiga: pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal
pembentukan fikih Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, parasahabatsudah
banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat
mengajarkan Al-Qur'an dan hadis Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di Irak dikenal sebagai
pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas'ud (*Ibnu Mas'ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45
H/665 M) dan Abdullah bin Umar (*Ibnu Umar) di Madinah, dan *Ibnu Abbas di Mekah. Masing-masing
sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan masyarakat setempat.

Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang dikenal dengan para tabiin.
Para tabiin yang terkenal itu adalah Sa'id bin Musayyab (15-94 H) di Madinah, Ata bin AbiRabah (27-
114H) diMekah, Ibrahiman-Nakha'i (w. 76 H) di Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di
Basra, MakhuldiSyam (Suriah), dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di
daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyarakat setempat. Persoalan yang mereka
hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga muncunah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-
masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah
mereka, sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut.

Dari perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fikih Islam
Madrasah al-Hadis (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-Ra'y. Madrasah al-Hadis kemudian dikenal juga
dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-Ra'y dikenal
dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.

Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat
kuat berpegang pada hadis karena mereka banyak mengetahui hadis-hadis Rasulullah SAW, di samping
kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan
logika dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih
banyak menggunakan logika dalam berijtihad.

Hal ini mereka lakukan karena hadis-hadis Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas,
sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapijauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas maupun
kuantitas, dibandingkan dengan yang dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz (Hedzjaz) berhadapan
dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen, sedangkan ulama Irak berhadapan dengan
masyarakat yang relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak
mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.

Pada periode ini, pengertian "fikih" sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian "ilmu",
sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fikih sudah menjelma sebagai
salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian "mengetahui hukum-hukum syarak
yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci". Di samping fikih, pada periode ketiga ini
pun *usul fikih telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti
*kias, *istihsan, dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fikih. Dalam perkembangannya, fikih tidak
saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga
bermunculanlah *fikih iftirâdî (fikih berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di
masa datang).

Pada periode ketiga ini pengaruh rakyu (ar-ra'y; pemikiran tanpa berpedoman kepada Al-Qur' an dan
sunah secara langsung) dalam fjkih semakin berkembang karena ulama Madrasah al-Hadis juga
mempergunakan rakyu dalam fikih mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fikih *Syiah yang dalam
beberapa hal berbeda dari fikih *ahlusunah waljamaah (imam yang empat).

Periode Keempat pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut sebagai
periode gemilang karena fjkih dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul
berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu Mazhab *Hanafi, Mazhab *Maliki, Mazhab
*Syaf'i, dan Mazhab *Hanbali. Pertentangan antara Madrasah al-Hadis dengan Madrasah ar-Ra'y
semakin menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peranan rakyu dalam berijtihad, seperti yang
diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fikih di Universitas al-Azhar , Mesir, bahwa
pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata kemudian masing-masing kelompok saling
mempelajari kitab fikih kelompok lain.

Imam Muhammad bin Hasan asy-*Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal sebagai ahlurra'yi
(*Ahlulhadis dan Ahlurra'yi), datang ke Madinah berguru kepada Imam *Malik dan mempelajari
kitabnya, al-Muwatta'(buku hadis dan fikih). Imam asy-*Syafi'i, salah seorang tokoh ahlulhadis, datang
belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam *Abu Yusuf, tokoh ahlurra'yi, banyak
mendukung pendapat ahli Hadis dengan mempergunakan hadis-hadis Rasulullah SAW. Oleh sebab itu,
menurut Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fikih banvak berisi rakyu dan hadis. Hal ini
menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing kelompok.
Kitab-kitab fikih pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut salah satu
mazhab fikih resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan fikih
Mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Di samping sempumanya penyusunan kitab-
kitab fikih dalam berbagai mazhab, dalam periode inijuga disusun kitab-kitab usul fikih, seperti kitab ar-
Risalah yang disusun oleh Imam asy-Syafi'i. Sebagaimana pada periode ketiga, pada periode ini fikih
iftirâdî semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fikih tidak lagi pendekatan aktual
di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoretis.

Oleh sebab itu, hukum untuk permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan. Periode
Kelima: pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai dengan
menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fikih, bahkan mereka cukup puas dengan fikih yang
telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak mencurahkan perhatian dalam
mengomentari, memperluas atau meringkas masalah yang ada dalam kitab fikih mazhab masing-masing.
Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa
pintu ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab yang
menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai berikut.

(1) Munculnya sikap ta'assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab.
Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti
metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad. (2) Dipilihnya para hakim yang
hanya bertaklid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga
hukum fikih yang diterapkan hanyalah hukum fikih mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para
hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu
mazhab. (3.) Munculnya buku-buku fikih yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun, menurut
Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam
buku-buku tersebut.

Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada mazhab yang
dianutnya. Di samping itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, perkembangan pemikiran fikih serta
metode iitihad menvebabkan banvaknva upaya tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari ulama dan
munculnya perdebatan antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini pun menyebabkan masing-masing
pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan masing-masing. Akan tetapi, sebagaimana
dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.

Periode Keenam: pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Al:Ahkam al-'Adliyyah pada
tahun 1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta
ta'assub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fikih tidak lagi mengacu pada Al-Qur'an dan sunah
Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan syarak dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada
sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya mentakhrij
(mengembangkan fikih melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih pun sudah
mulai memudar.
Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fikih dari kalangan mazhabnya, sehingga
penyusunan kitab fikih pada periode ini pun hanya terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab
fikih tertentu. Di akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu,
keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fikih. Pada akhir periode ini dimulai
upaya kodifikasi fikih (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki
Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majallah al-Al-
Ahkam al-'Adliyyah.

Periode Ketujuh: sejak munculnya Majallah al-AlAhkam al- 'Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri
pembentukan fikih Islam pada periode ini, yaitu:

(1) munculnya Majallah al-Al-Ahkam al-'Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan dari
fikih Mazhab Hanafi; (2) berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan (3) munculnya pemikiran
untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.

Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majallah al-Al-Ahkam al-'Adliyyah dilatarbelakangi oleh
kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab-
kitab fikih muncul dari berbagai mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat.
Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fikih merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan,
di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat bahwa
harus ada satu kitab fikih/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan.

Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H
panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majallah al-Al-Ahkam
al-'Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majallah al-Ahkam al-
'Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani
mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun
ketatanegaraan.

Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara Islam untuk
mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat di antara
semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga
dari para sahabat dan tabiin, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari
berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah
Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-*A1}wal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan
dari berbagai pendapat mazhab.

Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai
diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada
tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang
disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fikih. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam
mazhab fikih merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai daerah
sesuai dengan kebutuhan.

Semangat kodifikasi hukum (fikih) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum
Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama
untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat
diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk
mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi
setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil
dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran,
Pakistan, Malaysia, dan Indonesia.

Ali Hasaballah, ahli fikih dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai
neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi,pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut,
menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fikih yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad
kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jama'i
(kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak
hanya ulama fikih, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi.
Dengan demikian, hukum fikih menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fikih dalam
kitab berbagai mazhab.

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Islam memiliki banyak ilmu yang sangat menarik untuk dikaji, salah satunya yakni fiqih Islam. Dalam fiqih
Islam materi-materinya diambil dari al-Qur'an al-Karim, sabda-sabda dan perbuatan Rasulullah SAW
yang menjelaskan al-Qur'an dan menerangkan maksud-maksudnya. Itulah yang dikenal dengan as-
Sunnah. Selain itu fiqih Islam juga mengambil materi dari pendapat para fuqaha'. Pendapat-pendapat itu
meskipun bersandar kepada al- Qur'an dan as-Sunnah namun merupakan hasil pemikiran yang telah
terpengaruh oleh pengaruh yang berbeda-beda sesuai dengan masa yang dialami dan pembawaan-
pembawaan jiwa (naluri) bagi setiap faqih.
Perkembangan Hukum Islam tidak dapat dipungkiri dewasa ini, hal ini disebabkan semakin
berkembangnya pengetahuan dan tekhnologi sehingga syariat Islam senantiasa berkesusaian dengan
perkembangan zaman tersebut. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa perkembangan tersebut merupakan
salahsatu faktor penyebab perbedaan pendapat diantara kalangan para ahli dalm bidangnya, dan tidak
jarang pula saling menghujat dan saling menjatuhkan untuk sebuah pendapat yang diyakininya.
Berdasarkan hal tersebut, maka dengan memahami secara mendalam dan kaaffah tentang hukum Islam
setidaknya akan mengurangi bahkan meniadakan pertentangan yang dapat memecah belah persatuan
umat Islam, karena memang perbedaan pendapat adalah rahmat dan perpecahan akan membawa
kepada murka Allah dan akan memudahkan umat Islam diadu domba oleh kalangan yang tidak senang
terhadap Islam yakni umat Yahudi dan Nashroni.

1.2. Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa Pengertian Tarikh Tasyri'?
2. Seperti apa Ruang Lingkup Tarikh Tasyri' dan seperti apa Pendapat Para Tokoh Islam?
3. Apa saja Macam-macam Tasyri'?
4. Apa Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Tarikh Tasri’?

1.3. Batasan Pembahasan


Dari rumusan masalah diatas, maka dapat dibatasi dari pembahasan sebagai berikut:
1. Apa Pengertian Tarikh Tasyri'?
2. Seperti apa Ruang Lingkup Tarikh Tasyri' dan seperti apa Pendapat Para Tokoh Islam?
3. Apa saja Macam-macam Tasyri'?
4. Apa Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Tarikh Tasri’?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Tarikh Tasyri'


Pengertian Tarikh Tasyri' secara bahasa berasal dari kata Tarikh yang artinya catatan tentang
perhitungan tanggal, hari, bulan dan tahun. Lebih populer dan sederhana diartikan sebagai sejarah atau
riwayat. Serta dari kata syariah adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
(diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu
keyakinan (aturan-aturan yang berkaitan dengan aqidah), perbuatan (ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan tindakan hukum seseorang) dan akhlak (tentang nilai baik dan buruk).
Tarikh Tasyri' memiliki banyak pengertian yang disebutkan oleh beberapa tokoh Islam diantaranya yaitu
:
Tarikh al-Tasyri’ menurut Muhammad Ali al-sayis adalah “Ilmu yang membahas keadaan hukum Islam
pada masa kerasulan (Rasulullah SAW masih hidup) dan sesudahnya dengan periodisasi munculnya
hukum serta hal-hal yang berkaitan dengannya, (membahas) keadaan fuqaha dan mujtahid dalam
merumuskan hukum-hukum tersebut”.
Tasyri’ adalah bermakna legislation, enactment of law, artinya penetapan undang-undang dalam agama
Islam.
2.2. Ruang Lingkup dan Pendapat Para Tokoh Islam
Ruang lingkup Tarikh Tasyri' terbatas pada keadaan perundang-undangan Islam dari zaman ke zaman
yang dimulai dari zaman Nabi SAW sampai zaman berikutnya, yang ditinjau dari sudut pertumbuhan
perundang-undangan Islam, termasuk didalamnya hal-hal yang menghambat dan mendukungnya serta
biografi sarjana-sarjana fiqh yang banyak mengarahkan pemikirannya dalam upaya menetapkan
perundang-undangan Islam.
Namun bagi Kamil Musa dalam kitab al-Madhkal ila Tarikh at-Tasyri' al-Islami, mengatakan bahwa Tarikh
Tasyri' tidak terbatas pada sejarah pembentukan al Qur'an dan As-Sunnah. Ia juga mencakup pemikiran,
gagasan dan ijtihad ulama pada waktu atau kurun tertentu. Diantara ruang lingkup Tarikh Tasyri', adalah
:
1. Ibadah
Bagian ini membicarakan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Hukum-hukum yang
berhubungan dengan lapangan ibadah bersumber pada nash-nash dari syara' tanpa tergantung
pemahaman maksudnya atau alasan-alasannya. Hukum-hukum tersebut bersifat abadi dengan tidak
terpengaruh oleh perbedaan lingkungan dan zaman.
2. Hukum Keluarga
Hukum keluarga ini meliputi: pernikahan, warisan, wasiat dan wakaf.
3. Hukum Privat
Hukum Privat disini adalah apa yang biasa disebut dikalangan fuqoha dengan nama fiqh Mu'amalat-
kebendaan atau hukum sipil (al Qonunul-madani). Hukum ini berisi pembicaraan tentang hak-hak
manusia dalam hubungannya satu sama lain, seperti haknya si penjual untuk menerima uang harga dari
si pembeli dan haknya si pembeli untuk menerima barang yang dibelinya, dan sebagainya.
4. Hukum Pidana
Hukum pidana Islam ialah kumpulan aturan yang mengatur cara melindungi dan menjaga keselamatan
hak-hak dan kepentingan masyarakat (negara) dan anggota-anggotanya dari perbuatan-perbuatan yang
tidak dibenarkan. Para fuqoha Islam membicarakan lapangan hukum pidana dalam bab "Jinayat" atau
"Huud".
5. Siyasah Syar'iyyah
Siyasah Syar'iyyah ialah hubungan antara negara dan pemerintahan Islam, teori-teori tentang timbulnya
negara dan syarat-syarat diadakannya, serta kewajiban-kewajibannya. Hubungan antara rakyat dengan
penguasa dalam berbagai lapangan hidup.
6. Hukum Internasional
Hukum ini ada dua, yaitu pertama hukum perdata internasional ialah kumpulan aturan-aturan yang
menerangkan hukum mana yang berlaku, dari dua hukum atau lebih, apabila ada dua unsur orang asing
dalam suatu persoalan hukum, seperti orang Indonesia hendak menikah dengan orang Jepang dan
perkawinan dilakukan di Amerika. Kedua hukum publik internasional, lapangan hukum ini mengatur
antara negara Islam dengan negara lain atau antara negara Islam dengan warga negara lain, bukan
dalam lapangan keperdataan.

2.3. Macam-macam Tasyri'


Secara umum Tasyri' dibagi menjadi dua, yaitu dilihat dari al-tasyri al-Islam min jihad al-nash yaitu
dilihat dari sumbernya dan dari al-tasyri’ al-Islami min jihad al-tawasuh wa al-syumuliyah, yaitu dilihat
dari sudut keluasan dan kandungan Tasyri'. Ditinjau dari sudut sumbernya dibentuk pada periode
Rasulullah SAW, yakni al-Qur'an dan Sunnah.
Para fuqaha' (muslim jurists) dan sarjana-sarjana modern setuju bahwa al-Qur'an terdiri dari sekitar 500
ayat hukum. Jika dibandingkan dengan keseluruhan materi al-Qur'an, ayat-ayat hukum sangatlah kecil,
dan hal itu memberi kesan yang salah bahwa al-Qur'an memperhatikan aspek-aspek hukum karena
kebetulan belaka. Pada saat yang sama, banyak dicatat oleh para ahli Islam bahwa al-Qur'an seringkali
mengulang-ulang baik secara tematis maupun harfiah.
Gerakan Tasyri kedua yamg dilihat dari kekuatan dan kandunganya mencakup ijtihad sahabat, tabi’in
dan ulama sesudahnya. Tasyri tipe kedua ini dalam andangan Umar Sulaiman al- Asyqar dapat
dibedakan menjadi dua bidang. Pertama bidang ibadah kedua bidang muamalat. Dalam bidang ibadah,
Fiqh dibagi menjadi beberapa topik, yaitu: “taharah, salat, zakat, puasa i’ tikad, merawat jenazah,
jumrah, sumpah, nazar, jihad, makanan, minuman, kurban, dam sembelihan”.
Bidang muamalat di bagi menjadi beberapa topik, diantaranya perkawinan dan perceraian, uqubat
(hudud, qishas, dan ta’zir), jual beli, bagi hasil(qiradl), gadai, musyaqah, muzara’ah, upah, sewa,
memindahkan hutang (hiwallah), syuf’ah wakalah, pinjam meminjam(arriyah), barang titipan, luqathah
(barang temuan), jaminan (kafalah), sayembara (fi’alah), perseroan (syirkhah), peradilan, waqaf, hibah,
penahanan dan pemeliharaan (al- hajr), wasiat dan faraid (pembagia harta warisan).
Akan tetapi ulama Hanafiah seperti Ibnu Abiddin berbeda pendapat dalam pembagian fiqh. Dia
membagi fiqh menjadi tiga bagian, yaitu ibadah, muamalat dan uqubat. Cakupan fiqh ibadah dalam
pandangan mereka adalah shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Cakupan fiqh muamalat adalah petukaran
harta seperti jual beli, titipan, pinjam meminjam,perkawinan, mukhasammah (gugatan), saksi, hakim
dan bersifat duniawi (muamallat), Fiqh yang berhubungan denngan masalah keluarga peradilan,
sedangkan cakupan fiqh uqubat dalam pandangan ulama Hanafiah adalah qishas, sanksi pencurian,
sanksi zina, sanksi menuduh zina dan sanksi murtad.

2.4. Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Tarikh Tasri’


a. Mengetahui prinsip dan tujuan syari’at Islam
Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui prinsip dan tujuan syariat Islam. Dimana tujuan dari
syariat Islam adalah untuk menjaga harkat dan martabat seorang muslim dan sebagai pembeda atau
identitas seorang muslim dibandingkan dengan penganut agam yang lainnya.
Prinsip syari’at Islam yang senantiasa mengedepankan unsure keadilan dan kasih saying merupakan
bagian yang tak dapat dipisahkan dalah kehidupan dan manifestasi hukums Islam, dan tentunya melalui
pemahaman secara mendalam terhadap tarikh tasyri’ akan menumbulkan sikap toleransi dan
memandang setiap orang dengan pandangan yang sama karena memang yang peling mulia disisi Allah
Swt. Hanyalah yang dianugerahkan ketaqwaan dan menjadi keunggulan dari umat lainnya.
b. Pemahaman terhadap Islam yang komprehensif
Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui kesempurnaan dan syumuliyah (integralitas) ajaran
Islam terhadap seluruh aspek kehidupan yang tercermin dalam peradaban umat yang agung terutama di
masa kejayaannya. Bahwa penerapan syariat Islam berarti perhatian dan kepedulian negara dan
masyarakat terhadap pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, akhlaq, aqidah, hubungan sosial, sangsi
hukum, dan aspek-aspek lainnya. Dengan demikian adalah keliru jika ada persepsi bahwa syariat Islam
hanyalah berisi hukum pidana seperti qishash, rajam, dan sejenisnya.
Islam bukan sekedar doktrin, bukan sekedar ibadah dan penghambaan, tapi Islam bersifat holistic dan
universal serta sesuai dengan perkembangan dan keadaan zaman. Jika saat ini masih ada pemisahan
dalam kajian hokum Islam dengan Negara misalkan, maka itulah yang disebut dengan Liberal. Karenanya
Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna mengatakan bahwa Islam adalah doktrin ibadah, Islam adalah
ekonomi, Islam adalah pedang dan Jihad, Islam adalah metode dan strategi politik dan Islam yang
menjamin kehidupan kesejahteraan masayarakt. Jika Islam hanya dipandang dari satu sudut atau satu
sisi tertentu maka dapat dikatakan bahwa ia masih mengkotak-kotakan tentang pemahaman
keislamannya karena Allah Swt. Memberikan perintah kepada ummatnya untuk masuk kedalam agama
ini secara kaaffah (totalitas) dan tidak setengah-setengah.
c. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa para ulama
Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat menghargai usaha dan jasa para ulama, mulai dari para sahabat
Rasulullah saw hingga para imam dan murid-murid mereka dalam mengisi khazanah ilmu dan peradaban
kaum muslimin. Semua itu mereka ambil dari cahaya kenabian yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Para ulama terdahulu mencurahkan kehidupan mereka untuk perkembangan kelimuan Islam, tidak
hanya sebatas ilmu yang bersifat qauliyah akan tetapi juga ilmu kauniyah. Banyak kita saksikan dalam
literature sejarah, para tokoh muslim terfahulu tidak hanya ahli dalam bidang Al-Qur’an dan Hadits, tapi
ia juga seorang yang ahli filsafat, ahli kedokteran, ahli astronomi dan pula ahli sejarah. Oleh krena itu
dengan kita memahami tarikh tasyri’ adalah manifestasi kita terhadap jasa dan peran penting mereka
dalam mengembangkan hokum Islam dari waktu ke waktu agar Islam disegani, tidak hanya sebagai
agam yang menunjukan penundukan terhadap Allah Swt. Akan tetapi sebagai solusi dalam setiap
permasalahan yang terjadi, karena memangs Islam adalah agama masa depan.
d. Menumbuhkan rasa bangga terhadap syaria’at Islam
Melalui kajian ini akan tumbuh dalam diri kita kebanggaan terhadap Syariat Islam, rasa bangga itu
muncul karena memahami bahwa syariat Islam adalah satu-satunya jalan yang akan menyelamatkan
umat manusia dari jurang kemurkaan Allah Swt. Serta syari’at Islamlah yang menjadi standar baik dan
buruk serta menjadi tolak ukur dalam setiap langkah dan pergerakan umat Islam.
Serta yang tidak kalah penting pula nagaimana kita memberikan pemahaman dan mewariskan sikap
kebanggan akan syari’at Islam ini kepada generasi selanjutnya. Karena kita ketahui bersama bahwa
kalangan Yahudi dan Nashroni melalui propagandanya akan terus menerus menyerang pemikiran serta
membelokan pandangan generasi muda kepada pandangan yang menyesatkan sehingga rapuhlah
generasi pelanjut kejayaan Islam ini. Adalah sebauh keniscayaan untuk tetap mewujudkan serta
menanamkan kepada generasi muda bahwa syari’at Islam ini perlu diwujudkan dengan mulai dari diri
sendiri, mulai dari yang terkecil dan mulai dari saat ini.
e. Menumbuhkan motivasi dan optimisme untuk mengembalikan kejayaan Islam.
Motivasi dan optimisme untuk kelangsungan syari’at bisa tegak dimuka bumi bukanlah impian belaka
dan bukan pula hanya sebuah wacana. Karena melalui pendalam kajian umat Islam terhadap tarikh tasri’
ini akan menyulut api semangat bahwa Islam mengalami kejayaan yang geilang, pernah melewati masa
keemasan yang menjadi pusat dan tolak ukur dalam membangun peradaban dan kebudayaan, dimana
Islam dengan syari’atnya telah mebangun manusia-manusia yang unggul dalam segala aspek kehidupan
dan menjadin referensi utama dalam kajian keilmuan.
Optimisme akan kejayaan Islam dan syariat Islam menjadi payung dan landasan dalam setiap
memutuskan permasalah adalah sikap mulia yang perlu dan tetap ditanmakan dalam jiwa setiap umat
Islam. Karena keyakinan tersebut akan memulihkan Islam dari keterpurukan dan menumbulkan ghiroh
untuk melakukan yang terbaik dalam rangka tegaknya Syari’at Islam dimuka bumi ini dalam satu
kepemimpinan, dalam satu komando dalam dalam satu visi dan misi yang sama dibawah naungan panji
Al-Qur’an. Yang menjadikan Allah ‘Azza Wajalla sebagai tujuan, Muhammad Saw. Sebagai suri teladan,
Al-Qur’an sebagai Undang-undang, Jihad sebagai jalan perjuangan dan Syahid sebagai cita-cita tertinggi.
f. Melahirkan sikap toleran terhadap perbedaan diantara umat Islam
Sikap tasamuh atau toleransi terhadap perbedaan faham atau lebih tepatnya perbedaan tatacara ibadah
yang merupakan furu’iah bagi ummat Islam seharusnya tidaklah menjadikan konflik yang akan
mengakibatkan pecahnya semangat persatuan dan kesatuan umat Islam jika memahami secara
mendalam tentang tarkh tasyri’ ini. Karena telah dijelaskan diatas bahwa fiqih merupakan produk ulama
yang cenderung kepada kebenaran, artinya bukanlah kebenaran yang absolute tetapi pula tidak salah.
Pemahaman terhadap tarikh tasyri’ akan melahirkan sikap toleran dan saling menghormati serta saling
menghargai terhadap perbedaan pendapat, perbendaan pemahaman dan pandangan selama
pemahaman tersebut berdasarkan pada Penafsiran Al-Qur’an dan Hadits yang benar dan lurus.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
a. Tarikh Tasyri’ secara bahasa berasal dari kata tarikh yang artinya catatan tentang perhitungan
tanggal, hari, bulan dan tahun. Dan kata tasyri’ yaitu peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Allah
kepada nabi Muhammad untuk manusia, yang mencakup kayakinan, perbuatan dan akhlaq.
b. Tarikh Tasyri’ menurut Muhammad Ali al-Sayyis adalah ilmu yang membahas keadaan hukum Islam
pada masa kerasulan dan sesudahnya dengan periodisasi munculnya hukum serta hal-hal yang berkaitan
dengannya untuk membahas keadaan fuqaha dan mujtahid dalam merumuskan hukum-hukum
tersebut.
c. Secara umum Tasyri' dibagi menjadi dua, yaitu dilihat dari al-tasyri al-Islam min jihad al-nash yaitu
dilihat dari sumbernya dan dari al-tasyri’ al-Islami min jihad al-tawasuh wa al-syumuliyah, yaitu dilihat
dari sudut keluasan dan kandungan Tasyri'.
d. Adapun Urgensi dan manfaat mempelajari dan memahami Tarikh tasyri’ bagi ummat Islam
dinataranya adalah :
1) Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui prinsip dan tujuan syariat Islam.
2) Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui kesempurnaan dan syumuliyah (integralitas)
ajaran Islam terhadap seluruh aspek kehidupan yang tercermin dalam peradaban umat yang agung
terutama di masa kejayaannya. Bahwa penerapan syariat Islam berarti perhatian dan kepedulian negara
dan masyarakat terhadap pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, akhlaq, aqidah, hubungan sosial,
sangsi hukum, dan aspek-aspek lainnya.
3) Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat menghargai usaha dan jasa para ulama, mulai dari para
sahabat Rasulullah saw hingga para imam dan murid-murid mereka dalam mengisi khazanah ilmu dan
peradaban kaum muslimin. Semua itu mereka ambil dari cahaya kenabian yang dibawa oleh Rasulullah
saw.
4) Melalui kajian ini akan tumbuh dalam diri kita kebanggaan terhadap Syariat Islam sekaligus
optimisme akan kembalinya siyadah al-syari’ah (kepemimpinan syariat) dalam kehidupan umat di masa
depan.
ar Belakang

1.1.1. Fakta

Islam memiliki banyak ilmu yang sangat menarik untuk dikaji, salah satunya yakni fiqih Islam. Dalam fiqih
Islam materi-materinya diambil dari al-Qur'an al-Karim, sabda-sabda dan perbuatan Rasulullah SAW
yang menjelaskan al-Qur'an dan menerangkan maksud-maksudnya. Itulah yang dikenal dengan as-
Sunnah. Selain itu fiqih Islam juga mengambil materi dari pendapat para fuqaha'. Pendapat-pendapat itu
meskipun bersandar kepada al- Qur'an dan as-Sunnah namun merupakan hasil pemikiran yang telah
terpengaruh oleh pengaruh yang berbeda-beda sesuai dengan masa yang dialami dan pembawaan-
pembawaan jiwa (naluri) bagi setiap faqih.

Dalam hal ini penulis sejarah fiqih (sejarah hukum Islam) dan para fuqaha' ragu antara menjadikan
sejarah itu berdasarkan masa yang berbeda-beda dan berdasarkan atas pribadi-pribadi para mujtahid
dengan mengikuti perbedaan naluri kejiwaan mereka. Adapun jiwa para fuqaha' maka jelaslah bahwa
hal itu bukanlah perbedaan yang hakiki, lebih-lebih bagi orang-orang yang hidup dalam satu masa.

1.1.2. Normatif

Teori hukum Islam telah mengenal berbagai sumber dan metode yang darinya dan melaluinya hukum
Islam itu diambil. Sumber-sumber yang darinya hukum diambil adalah al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Sedangkan yang melaluinya hukum berasal adalah metode-metode ijtihad dan interpretasi atau
pencapaian sebuah consensus (ijma').

1.2. Identifikasi Masalah

Untuk mengetahui kegunaan mempelajari sejarah hukum Islam, terlebih dahulu kita mengetahui latar
belakang munculnya suatu hukum baik yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunah maupun tidak. Kalau
tidak, maka akan melahirkan pemahaman hukum yang cenderung ekstrim bahkan mengarah pada
merasa benar sendiri. Oleh karena itu memahami hukum Islam dengan mengetahui latar belakang
pembentukan hukumnya menjadi sangat penting agar tidak salah dalam memahami hukum Islam itu.

Misalnya fiqh adalah hasil produk pemikiran ulama baik secara individu maupun kolektif. Oleh karena itu
mempelajari perkembangan fiqh berarti mempelajari pemikiran ulama yang telah melakukan ijtihad
dengan segala kemampuan yang dimilikinya.

Dengan demikian mempelajari sejarah hukum Islam berarti melakukan langkah awal dalam
mengkonstruksikan pemikiran ulama klasik dan langkah-langkahijtihadnya untuk diimplementasikan
sehingga kemaslahatan manusia senantiasa terpelihara.

Di antara kegunaan mempelajari sejarah hukum Islam adalah agar dapat melahirkan sikap hidup toleran
dan untuk mewarisi pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah ijtihadnya agar dapat mengembangkan
gagasan-gagasannya.
1.3. Rumusan Masalah

1) Apakah pengertian Tarikh Tasyri itu?

2) Bagaimana pendapat para tokoh Islam mengenai pengertian Tarikh Tasyri'?

3) Apa saja ruang lingkup dan macam-macam Tarikh Tasyri'?

4) Bagaimana Tarikh Tasyri' pada periode Rasul?

1.4. Tujuan

1) Mengetahui pengertian Tarikh Tasyri’

2) Mengetahui pendapat tokoh-tokoh Islam tentang Tarikh Tasyri’

3) Mengetahui ruang lingkup dan macam-macam Tarikh Tasyri’

4) Mengetahui Tarikh Tasyri’ pada zaman Rasul

Bab II

Pembahasan

2.1. Pengertian Tarikh Tasyri'

Pengertian Tarikh Tasyri' secara bahasa berasal dari kata Tarikh yang artinya catatan tentang
perhitungan tanggal, hari, bulan dan tahun. Lebih populer dan sederhana diartikan sebagai sejarah atau
riwayat. Serta dari kata syariahadalah peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
(diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu
keyakinan (aturan-aturan yang berkaitan dengan aqidah), perbuatan (ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan tindakan hukum seseorang) dan akhlak (tentang nilai baik dan buruk).

Tarikh Tasyri' memiliki banyak pengertian yang disebutkan oleh beberapa tokoh Islam diantaranya yaitu
:

Tarikh al-Tasyri’ menurut Muhammad Ali al-sayis adalah “Ilmu yang membahas keadaan hukum Islam
pada masa kerasulan (Rasulullah SAW masih hidup) dan sesudahnya dengan periodisasi munculnya
hukum serta hal-hal yang berkaitan dengannya, (membahas) keadaan fuqaha dan mujtahid dalam
merumuskan hukum-hukum tersebut”.

Tasyri’ adalah bermakna legislation, enactment of law, artinya penetapan undang-undang dalam agama
Islam.[1]

2.2. Ruang Lingkup dan Pendapat Para Tokoh Islam

Ruang lingkup Tarikh Tasyri' terbatas pada keadaan perundang-undangan Islam dari zaman ke zaman
yang dimulai dari zaman Nabi SAW sampai zaman berikutnya, yang ditinjau dari sudut pertumbuhan
perundang-undangan Islam, termasuk didalamnya hal-hal yang menghambat dan mendukungnya serta
biografi sarjana-sarjana fiqh yang banyak mengarahkan pemikirannya dalam upaya menetapkan
perundang-undangan Islam.

Namun bagi Kamil Musa dalam kitab al-Madhkal ila Tarikh at-Tasyri' al-Islami, mengatakan bahwa Tarikh
Tasyri' tidak terbatas pada sejarah pembentukan al Qur'an dan As-Sunnah. Ia juga mencakup pemikiran,
gagasan dan ijtihad ulama pada waktu atau kurun tertentu. Diantara ruang lingkup Tarikh Tasyri', adalah
:

1. Ibadah

Bagian ini membicarakan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Hukum-hukum yang
berhubungan dengan lapangan ibadah bersumber pada nash-nash dari syara' tanpa tergantung
pemahaman maksudnya atau alasan-alasannya. Hukum-hukum tersebut bersifat abadi dengan tidak
terpengaruh oleh perbedaan lingkungan dan zaman.

2. Hukum Keluarga

Hukum keluarga ini meliputi: pernikahan, warisan, wasiat dan wakaf.

3. Hukum Privat

Hukum Privat disini adalah apa yang biasa disebut dikalangan fuqoha dengan nama fiqh Mu'amalat-
kebendaan atau hukum sipil (al Qonunul-madani). Hukum ini berisi pembicaraan tentang hak-hak
manusia dalam hubungannya satu sama lain, seperti haknya si penjual untuk menerima uang harga dari
si pembeli dan haknya si pembeli untuk menerima barang yang dibelinya, dan sebagainya.

4. Hukum Pidana

Hukum pidana Islam ialah kumpulan aturan yang mengatur cara melindungi dan menjaga keselamatan
hak-hak dan kepentingan masyarakat (negara) dan anggota-anggotanya dari perbuatan-perbuatan yang
tidak dibenarkan.Para fuqoha Islam membicarakan lapangan hukum pidana dalam bab "Jinayat" atau
"Huud".

5. Siyasah Syar'iyyah
Siyasah Syar'iyyah ialah hubungan antara negara dan pemerintahan Islam, teori-teori tentang timbulnya
negara dan syarat-syarat diadakannya, serta kewajiban-kewajibannya. Hubungan antara rakyat dengan
penguasa dalam berbagai lapangan hidup.

6. Hukum Internasional

Hukum ini ada dua, yaitu pertama hukum perdata internasional ialah kumpulan aturan-aturan yang
menerangkan hukum mana yang berlaku, dari dua hukum atau lebih, apabila ada dua unsur orang asing
dalam suatu persoalan hukum, seperti orang Indonesia hendak menikah dengan orang Jepang dan
perkawinan dilakukan di Amerika. Kedua hukum publik internasional, lapangan hukum ini mengatur
antara negara Islam dengan negara lain atau antara negara Islam dengan warga negara lain, bukan
dalam lapangan keperdataan.

2.3. Macam-macam Tasyri'

. Secara umum Tasyri' dibagi menjadi dua, yaitu dilihat dari al-tasyri al-Islam min jihad al-nash yaitu
dilihat dari sumbernya dan dari al-tasyri’ al-Islami min jihad al-tawasuh wa al-syumuliyah, yaitu dilihat
dari sudut keluasan dan kandungan Tasyri'. Ditinjau dari sudut sumbernya dibentuk pada periode
Rasulullah SAW, yakni al-Qur'an dan Sunnah.[2]

Para fuqaha' (muslim jurists) dan sarjana-sarjana modern setuju bahwa al-Qur'an terdiri dari sekitar 500
ayat hukum. Jika dibandingkan dengan keseluruhan materi al-Qur'an, ayat-ayat hukum sangatlah kecil,
dan hal itu memberi kesan yang salah bahwa al-Qur'an memperhatikan aspek-aspek hukum karena
kebetulan belaka. Pada saat yang sama, banyak dicatat oleh para ahli Islam bahwa al-Qur'an seringkali
mengulang-ulang baik secara tematis maupun harfiah.[3]

Gerakan Tasyri kedua yamg dilihat dari kekuatan dan kandunganya mencakup ijtihad sahabat,
tabi’in dan ulama sesudahnya. Tasyri tipe kedua ini dalam andangan Umar Sulaiman al- Asyqar dapat
dibedakan menjadi dua bidang. Pertama bidang ibadah kedua bidang muamalat. Dalam bidang ibadah,
Fiqh dibagi menjadi beberapa topik, yaitu: “taharah, salat, zakat, puasa i’ tikad, merawat jenazah,
jumrah, sumpah, nazar, jihad, makanan, minuman, kurban, dam sembelihan”.

Bidang muamalat di bagi menjadi beberapa topik, diantaranya perkawinan dan perceraian, uqubat
(hudud, qishas, dan ta’zir), jual beli, bagi hasil(qiradl), gadai, musyaqah, muzara’ah, upah, sewa,
memindahkan hutang (hiwallah), syuf’ah wakalah, pinjam meminjam(arriyah), barang
titipan, luqathah (barang temuan),
jaminan (kafalah), sayembara(fi’alah), perseroan (syirkhah), peradilan, waqaf, hibah, penahanan dan
pemeliharaan (al- hajr), wasiat dan faraid (pembagia harta warisan).

Akan tetapi ulama Hanafiah seperti Ibnu Abiddin berbeda pendapat dalam pembagian fiqh. Dia
membagi fiqh menjadi tiga bagian, yaitu ibadah, muamalat dan uqubat. Cakupan fiqh ibadah dalam
pandangan mereka adalah shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Cakupan fiqh muamalat adalah petukaran
harta seperti jual beli, titipan, pinjam meminjam,perkawinan, mukhasammah (gugatan), saksi, hakim
dan bersifat duniawi (muamallat), Fiqh yang berhubungan denngan masalah keluarga peradilan,
sedangkan cakupan fiqh uqubat dalam pandangan ulama Hanafiah adalah qishas, sanksi pencurian,
sanksi zina, sanksi menuduh zina dan sanksi murtad.

2.4. Tarikh Tasyri’ Periode Rasul

2.4.1. Pada Masa Awal Islam

Islam datang untuk manusia secara keseluruhan, tetapi dimulai dengan memperbaiki keadaan orang-
orang Arab yang telah Allah pilih sebagai penopang dan penyerunya. Keadaan orang-orang Arab dahulu
terdiri dari dua perkara, yaitu berhalaisme dalam agama dan kekacauan dalam tatanan masyarakat.
Penyelamat dari kebiadapan dan membebaskan mereka agar menyokong agama Allah diperlukan untuk
memperbaiki kedua perkara yang ada dikalangan mereka. Selain menyelamatkan juaga mengarahkan
mereka kepada akidah tauhid yang benar, seperti ikhlas beribadah kepada Dzat Yang maha tinggi,
melepas akhlaq yang tercela dari jiwa mereka, menghapus adat istiadat yang buruk, mencetak mereka
berakhlak mulia, berperangai terpuji, meletakkan aturan yang jitu yang mencangkup seluruh
permasalahan mereka, agar mereka berjalan diantara petunjuk Allah dalam segala aspek kehidupan.

Periode ini berlangsung hanya beberapa tahun saja, yaitu tidak lebih dari 22 tahun dan beberapa bulan
saja. Tapi walaupun demikian periode ini membawa pengaruh dan kesan yang besar dan penting sekali
sebab periode ini telah meninggalkan beberapa ketetapan hukum dalam al-Qur’an dan as- Sunnah, dan
juga telah meninggalkan berbagai dasar atau pokok Tasyri’ yang menyeluruh dan juga sudah menunjuk
berbagai sumber dan dalil hukum yang untuk mengetahui hukum bagi suatu persoalan yang belum ada
ketetapan hukumnya. Dengan demikian periode Rasulullah ini telah meninggalkan dasar
pembentukan undang-undang yang sempurna. Pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam Periode I
(Pada Masa Rasulullah) situasi masyarakat Arab pra Islam sebelum Nabi SAW diutus, orang-orang Arab
adalah umat yang tidak memiliki aturan dan mereka dikendalikan oleh kebiadaban, dinaungi oleh
kegelapan dan kejihiliahan, serta tidak ada agama yang mengikat dan undang-undang yang yang harus
mereka patuhi. Hanya sedikit saja dari mereka yang berjanji dengan aturan yang dapat menyelesaikan
perselisihan mereka, adat yang dianggap baik serta langkah yang mulia. Bangsa Arab pra Islam dikenal
sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis Arab srategis, membuat Islam
mudah tersebar ke berbagaii wilayah. Hal lain yang mendorong cepatnya laju perluasan wilayah adalah
berbagai upaya yang dilakukan umat Islam. Adapun ciri-ciri utama tatanan Arab pra Islam adalah sebagai
berikut :

1. Menganut paham kesukuan (kailah)

2. Memiliki tata sosial polotik yang tertutup dengan partisipasi warga yang terbatas

3. Mengenal hierarki sosial yangg kuat

4. Kedudukan perempuan cenderung direndahkan.


Periode ini terdiri dari dua fase atau masa yang masing-masing mempunyai corak yang berbeda-beda,
yaitu fase Makkah dan Madinah.

Pada fase Makkah ini Islam datang untuk memperbaiki keadaan masyarakat Arab. Pada waktu itu
penduduk Arab kerap kali terjadi perselisihan, hal ini dikarenakan pada masa itu penduduknya masih
dalam kebodohan. Maka dengan hadirnya Islam dikalangan masyarakat Arab dapat merubah pola pikir
masyarakat Arab, meskipun pada awalnya terjadi perselisihan.

Setelah Islam mulai berkembang dan maju dalam beberapa aspek, maka dengan cepat Islam menyebar
ke berbagai wilayah di sekitar Arab. Pada periode ini terdiri dari dua fase, yaitu fase Makkah dan fase
Madinah. Yang mana pada fase Makkah ini bermula semenjak Rasul masih menetap di Makkah, yakni
selama 12 tahun 15 bulan dan 3 hari. Pada fase ini umat Islam masih terisolir, karena pada waktu itu
umat Islam masih sangat sedikit jumlahnya, sehingga tidak memungkinkan untuk berdakwah secara
terang-terangan, karena dalam catatan sejarah kala itu masyarakat Quraisy memusuhi dan menolak
akan adanya Islam sebagai agama mereka. Mereka meyakini bahwa Islam adalah agama yang
bertentangan dengan keyakinan yang telah mereka anut secara turun-temurun dari nenek moyangnya.
Pada masa itu masyarakat Quraisy masih meyakini bahwa berhala menjadi sesembahan mereka dan bisa
mengabulkan semua yang mereka inginkan. Sehingga untuk merubah tradisi yang semacam ini butuh
pendekatan yang cukup halus, hingga pada akhirnya sebagian dari mereka mulai meninggalkan
keyakinan mereka selama ini dan berpindah untuk mengikuti ajaran Islam. Fase Makkah yakni semenjak
Rasul Allah masih menetap di Makkah, selama 12 tahun 15 bulan dan 3 hari yaitu dari 18 Ramadhan
tahun 41 sampai dengan wal bulan Rabi’ul wal tahun 54 dari kelahiran beliau. Dalam fase Makkah ini
umat islam masih terisolir, jumlahnya masih sedikit, keadaan masih lemah , belum bisa membentuk
suatu umat yang mempunyai pemerinntahan yang kuat. Oleh karenanya perhatian Rasul Allah pada
periode ini dicurahkan semata-mata kepada penyebaran/penanaman da’wah untuk mengakui keEsaan
Allah serta berusaha memalingkan perhatian umat manusia dari menyembah berhala dan patung. Di
samping beliau membentengi diri dari abeka rupa gangguan orang-orang yang sengaja
menghentikan/menghalang-halangi da’wah beliau dan pertentangan mereka terhadap orang-orang
yang memberdayakan beliau, serta orang yang sudah beriman kepada beliau.

Sedangkan pada fase yang kedua adalah fase Madinah, yakni dimulai semenjak Rasulullah hijrah ke
Madinah. Dalam catatan sejarah fase ini berjalan selama kurang lebih 9 tahun 9 bulan 9 hari yaitu
tepatnya pada awal bulan Rabi’ul Awal tahun 54. Hal ini bermula karena adanya tekanan dari
masyarakat Quraisy yang benci terhadap Islam yang sangat kuat, sehingga pada akhirnya Nabi
memutuskan untuk berhijrah ke Madinah beserta para pengikutnya. Nabi tinggal di Madinah selama 10
tahun yaitu dimulai dari waktu hijrah hingga wafatnya. Ada beberapa ciri dari faase ini, diantaranya
adalah :

a. Islam tak lagi lemah, karena jumlahnya yang kian banyak

b. Menghilangkan permusuhan dalam rangka mengesakan Allah

c. Adanya ajakan untuk bermasyarakat


d. Membentuk aturan damai dan perang

Maka dengan kondisi masyarakat yang demikian, yang disyariatkan pada fase Madinah adalah hukum
kemasyarakatan yang mencakup muamalah, ijtihad, jinayat, mawaris, wasiat, talak, sumpah dan
peradilan.

2.4.2. Pemegang Kekuasaan Tasyri’ Pada Periode Nabi

Sumber atau kekuasaan Tasyri’ pad periode ini dipegang oleh Rasulullah sendiri dan tak seorangpun dari
umat Islam selain beliau boleh menyendiri dalam menentukan hukum pada suatu masalah baik untuk
dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Sebab dengan adanya Rasul ditengah-tengah mereka serta
dengan mudahnya mereka mengembalikan setiap masalah kepada beliau maka tak seorangpun dari
mereka berani berfatwa dengan hasil ijtihadnya sendiri.

Bahkan jika mereka dalam menghadapi suatu peristiwa atau terjadi persengketaan maka mereka
langsung mengembalikan persoalan itu kepada Rasulullah dan beliaulah yang selanjutnya akan
memebrikan fatwa kepada mereka, menyelesaikan sengketa, menjawab pertanyaan dari masalah yang
mereka tanyakan kepada Rasul.

2.4.2. Sumber Perundang-undangan Pada Periode Rasul

Penentuan hukum pada masa Rasul mempunyai dua macam sumber, yaitu :

1. Wahyu ilahi (Al Qur’an)

2. Ijtihad Rasul sendiri

Jika terjadi sesuatu yang menghendaki adanya pembentukan hukum yang disebabkan karena munculnya
suatu perselisihan atau masalah diantara umat Islam maka pemintaan fatwanya itu kepada Rasul serta
Rasul menfatwakannya kepada mereka berdasarkan wahyu (al-Qur’an) yang turun kepada Rasul pada
waktu itu. Disamping itu Rasul juga mempunyai wewenang untuk berijtihad, namun hal ini terbatas pada
masalah muamalah saja. Sedangkan pada masalah ubudiyyah Rasul menfatwakannya berdasarkan
wahyu yang diturunkan kepadanya.

2.4.3. Perundang-undangan Pada Masa Rasul

Yang dikehendaki garis perundang-undangan adalah sistem atau jalan yang ditempuh oleh pemuka-
pemuka Tasyri’ dalam mengembalikan permasalahan pada sumber-sumber Tasyri’. Oleh sebab itu
periode ini merupakan periode hukum dan penempatan perundang-undangan Islam. Sumber pertama
perundang-undangan itu adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul yang menghasilkan ayat-
ayat Hukum dalam al-Qur’an. Dan perundang-undangan yang ke dua adalah berasal dari Ijtihad Rasul
yaitu yang biasa disebut dengan Sunnah Rasul.

2.4.4. Jumlah Ayat-ayat Hukum Dalam al-Qur’an

Jumlah materi ayat-ayat hukum dalam Al Qur’an yang berhubungan dengan ibadah dan hal-hal yang
berkaitan dengan jihad ada sekitar 140 ayat, jumlah ayat yang berkaitan dengan muamalah, ahwal as
Syahsiyah, Jinayah, Peradilan dan kesaksian berjumlah kurang lebih 200 ayat. Sedangkan jumlah hadits
hukum dalam berbagai macam hukum berjumlah sekitar 4500 hadits.

Bab III

Penutup

3.1. Simpulan

a. Tarikh Tasyri’ secara bahasa berasal dari kata tarikh yang artinya catatan

tentang perhitungan tanggal, hari, bulan dan tahun. Dan kata tasyri’ yaitu

peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Allah kepada nabi Muhammad

untuk manusia, yang mencakup kaykinan, perbuatan dan akhlaq.

b. Tarikh Tasyri’ menurut Muhammad Ali al-Sayyis adalah ilmu yang membahas keadaan hukum Islam
pada masa kerasulan dan sesudahnya dengan periodisasi munculnya hukum serta hal-hal yang berkaitan
dengannya untuk membahas keadaan fuqaha dan mujtahid dalam merumuskan hukum-hukum
tersebut.

c. Secara umum Tasyri' dibagi menjadi dua, yaitu dilihat dari al-tasyri al-Islam min jihad al-nash yaitu
dilihat dari sumbernya dan dari al-tasyri’ al-Islami min jihad al-tawasuh wa al-syumuliyah, yaitu dilihat
dari sudut keluasan dan kandungan Tasyri'.

d. Menurut catatan sejarah, pada periode Rasul ini adalah dasar dan awal dari perkembangan dan
munculnya Tarikh Tasyri’ Islam. Karena Rasul adalah sebagai pembawa perdamaian bagi seluruh umat.
Oleh karena itu tidak mustahil bila sejak periode ini sudah mengalami perkembangan antusias tinggi
bagi umat Islam sendiri maupun non-Islam.

3.2 Saran

Dari beberapa pemaparan yang telah tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa sejarah itu selalu
berkembang seiring bergantinya zaman. Oleh karena itu hendaknya kita selalu mengikuti perkembangan
tersebut agar umat Islam tak tertinggal sedikitpun dari berlalunya waktu. Hendaknya pembaca
memperkaya wawasan dalam hal sejarah dengan selalu membuka wawasan dengan membaca.

PENGERTIAN TARIKH AL-TASYRI’ AL-ISLAMI

Pada bagian ini, terdapat tiga istilah yang perlu dijelaskan, yaitu syari’ah, tasyri’, dan tarikh al-tasyri’.
Secara bahasa, syari’ah berarti al’utbah(lekuk-liku lembah), al-‘atabah (ambang pintu dan tangga),
maurid al-syaribah (jalan tempat peminum air), dan al-thariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus).
(Sya’ban Muhammad Isma’il, 1985: 7, dan Kamil Musa, 1989:17).
Adapun dalam arti terminologi, syari’ah adalah:
‫خ ل قى ة او عم لى ة و ا ي ة اد ع قا م ح كا ا من ل ع بده هلل ا س نه مأ‬
Apayang telah ditetapkan oleh Allah untuk hambaNya, baik dalam bidang keyakinan (I’tiqadiyyah),
perbuatan maupun akhlak. (sya’ban Muhammad Ismail, 1985:7)

Dengan demikian, yang dimaksud dengan syari’ah adalah peraturan yang telah ditetapkan (diwahyukan)
oleh Allah kepada nabi Muhammad Saw unuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu keyakinan,
perbuatan dan akhlak.
Dengan demikian, syri’ah adalah istilah teknis seperti diatas merupakan syari’ah dalam arti luas; tidak
hanya mencakup ‘amaliah atau fikih. Syari’ah itu, paling tidak, mencakup tiga bidang: (1) keyakinan atau
dikenal dengan ilmu tauhid atau ilmu kalam, yang pengembangannya diemban oleh Fakultas
Ushuluddin; (2) ‘amaliah atau dikenal dengan dengan fikih yang pengembangannya diemban oleh
Fakultas Syari’ah; dan (3) akhlak/tasawuf yang saat ini dikembangkan di fakultas Ushuluddin.

Istilah yang kedua adalah al-tasyri’. Pengertian al-tasyri’ dari segi terminologi adalah:
Penetapan peraturan, penjelasan hukuim-hukum, dan penyusunan perundang-undangan. (Kamil Musa,
1989: 17)
Al-tasyri’ tampaknya lebih merupakan istilah teknis tentang pembentukan fikih atau peraturan
perundang-undangan. Di dalamnya tercakup produk dan proses pembentukan fikih atau peraturan
perundang-undangan. Dalam mengkaji dasar-dasar fikih Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan mendalami
proses pembentukan Al-Qur’an dan sunnah. Ilmu asbab al-nuzul dan asbab al-wurud juga merupakan
bagian yang tidak dapat diabaikan. Ketika mengkaji pendapat atau peraturan perundang-undangan, kita
akan mendalami proses pembentukannya. Selain itu, kajian tentang langkah-langkah ijtihad para
ulamam pun menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan.
Term ketiga yang penting untuk diketahui adalah tarikh al-tasyri’ Muhammad ‘Ali al-Sayyis (1990: 8)
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tarikh al-tasyri’ al-islami adalah: lmu yang membahas
keadaan hukum islam pada zaman rasul dan sesudahnya daengan uraian dan periodesasi, yang padanya
hukum iu berkembang, serta membahas ciri-ciri spesifiknya, keadaan fukaha dan majtahidnya dalam
merumuskan hukum itu. ( lihat pula Sya’ban Muhammad Isma’il, 1985: 7 dan kamil Musa, 1989: 64-5)

B. MACAM-MACAM TASYRI’
Secara umum , tasyri’ dapat dibedakan menjadi dua: al-tasyri’ al-Islami min jihat al-nashsh (al-tasyri’ dari
sudut simber) dan al-tasyri’ al-islami min jihat al-tawassu’ wa al-syumuliyyah ( al-tasyri’ dari sudut
keluasan kandungan).
Tasyri’ tipe pertama, al-tasyri’ dari sudut dari sudut sumber dibatasi pada tasyri’ yang dibentuk pada
zaman Nabi muhammad SAW, Yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan al-tasyri’ tipe kedua, yaitu al-
tasyri’ dari sudut keluasan dan kandungan, mencakup ijtihad sahabat, tabi’in, dan ulama sesudahnya.
(Kamil Musa, 1989: 65).
Dalam kitabnya yang berjudul al-Madhal ila al-Tasyri’ al-Islami, Kamil Musa mengatakan bahwa tarikh al-
tasyri’ tidak terbatas pada sejarah pembentukan Al-Qur’an dan Sunnah’ ia juga mencakup pemikiran,
gagasan, dan ijtihad ulama pada waktu atau kurun tertunu.
Al-tasyri’ tipe kedua, dalam pandangan ‘Umar Sulaiman a;’Asyqar (1991: 20-1), dapat dibedakan
menjadi dua bidang, yaitu al-‘ibadah dan al-mu’amalah. Pembagian seperti ini telah dilakukan pula oleh
ibnu Jaza al-Maliki penulis kitan Qawanin al-Syari’iyyah wa Masa’il al-Furu’ al- Fiqhiyyah.
Topik-topik terpenting dalam bidang ibadah adalah (1) thaharah-pembahasan utama dalam bidang ini
adalah air (alat untuk bersuci), najis, wudu, mandi, tayamum, haid, dan nifas; (2) shalat, (3) zakat, (4)
puasa, (itikaf, (6) jenazah, (7) haji dan umrah, (8) mesjid, (9) sumpah dan nazar, (10) jihad, (11) makanan
dan minuman, serta (12) kurban dan sembelihan (‘Umar Sulaiman al-‘Asyqar, 1991: 20).
Topik-topik terpenting dalam bidang muamalah adalah (1) perkawinan dan perceraian, (2) uqubah
(hudud, qishash, dan ta’zir), (3) jual beli, (4) bagi hasil (qirad), (5) gadai, (6) al-musyaqah, (7) al-muzara-
‘ah, (8) upah dan sewa (al-ijarah), (9) pemindahan utang (al-hiwalah), (10) al-syuf’ah, (11) al-wakalah,
(12)pinjam-meminjam(al-‘ariyah), (13) barang titipan, (14) ghashab, (15) barang temuan(al-luqatah),
(16)jaminan(al-kafalah), (17) sayembara (al-ji’alah) (18) perseroan (syirkah), (19) peradilan (al-qadla),
(20) waqaf(al-waaf atau al-habs), (21) hibbah, (22) penahan dan pemeliharaan ( al-hajr), (23) wasiat, dan
(24) fara’idl ( pembagian harta pusaka ). (‘Umar Sulaiman al-‘Asyqar, 1991: 21)
Ulma Hanafiah, diantaranya ibnu ‘Abidin a;-Hanafi, bependapat bahwa fikih dibedakan menjadi tiga,
yaitu ‘ibadah, mu’malah, dan ‘uqubah.
Cakupan fikih ibadah dalam pandangan ulama hanafiah adalah (1) shalat, (2) zakat (3) puasa (4) haji, dan
(5) jihad. Cakupan fikih muamalah dalam pandangan ulama hanafiah adalah (1) pertukaran harta ( di
antaranya jual beli, titipan, dan pijam meminjam), (2) perkawinan, da, (3) mukhashamat (gugatan,
tuntutan, saksi, hakim ,dan peradilan). Sedangkan cakupan fikih ‘uqubah dalam pandangan ulama
Hanafiah adalah (1) qishash, (2) sanksi pencurian, (3) sanksi zinah (4) sanksi menuduh zinah, dan (5)
sanksi murtad. (‘Umar Sulaiman al-‘Asyqar, 1991: 21).
Berbeda dengan pembagian diatas, ulama Syafi’iah berpendapat bahwa fikih dibedakan menjadi empat,
yaitu (1) fikih yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat ukhrawi (ibadah), (2) fikih yang
berhubungan dengan kegiatan yang bersifat duniawi (muamalah), (3) fikih yang berhubungan dengan
masalah keluarga (munakahah), dan (4) fikih yang berhubungan dengan penyelenggara ketirtiban
negara (‘uqubah). (‘Umar sulaiman al-‘Asyqar, 1991: 21).
Demikianlah cakupan dan macam-macam fikih dari segi tema atau topiknya. Sedangkan dari segi
peristiwa yang diselesaikan, fikih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fikih yang peristiwanya hanya
berupa pengandaian (tanpa peristawa konkret). Fikih dalam kasus pertama disebut fiqh al-waqi’i,
sedangkan fikih dalam kasus kedua disebut fikh al-taqdiri ( iftiradli).
Pada zaman ‘Umar terdapat seorang perempuan menikah dalam waktu tunggu (‘iddah). ‘Umar men-
ta’zir laki-laki yang menikahinyadengan beberapapukulan, kemudian keduanya dipisahkan. ‘Umar
berfatwa: “ Perempuan yang dinikahi oleh seorang laki-lakindalam waktu tunggu, apabila tidak (belum)
dukhul dalam pernikahan tersebut, keduanya harus dipisah dan wanita itu wajib menyelesaikan ‘iddah-
nya yang belum selesai; apabila sudah terjadi dukhul, perempuan tersebut harus menjalani dua ‘iddah
dari suami pertama dan suami ‘iddah dari suami yang menikahinya dalam waktu tunggu.” (Kamil Musa,
1989: 107). Pendapat ‘Umar itu didasari oleh peristiwayang terjadi pada zamannya. Karena itu,
pendapatnya merupakan comtoh dari fikih corak pertama, yaitu fikh al-waqi’i.
Fikih yang peristiwanya hanya terjadi ( hanya berupa pengandain), misalnya, manusia yang dilahirkan
dari hewan yang termasuk najis ‘mughalazah, seperti anjing dan babi. Abi ‘Adb a;Mu’thi Muhammad
Nawawi al-jawi(t.th: 40) dalam kitabnya, Syarh Kasyifat al-Suja ‘ala Safinat al’Najja fi Ushul al-Din wa al-
fiqh, mengatakan bahwa manusia, meskipun dilahirkan oleh hewan yang termasuk najis mughalazah,
dihukumi suci pada manusia pada umumnya.
Oleh karena itu, ia diwajibkan shalat dan melaksanakan perintah agama lainnya, seperti puasa dan
zakat.
Sepanjang yang saya ketahui, hingga sekarang belum ada manusia yang dilahirkan oleh anjing dan babi.
Karena itu, penentuan bahwa manusia itu tetap suci sekalipun dilahirkan oleh anjing atau babi,
termasuk fiqh al-iftiradli.

C. PRINSIP-PRINSIP HUKUM ISLAM


Mu’arikh hukum islam menjelakan berbagai prinsip hukum islam. Prinsip-prinsip hukum islam yang
dijelaskan mu’arikh sebagai berikut:
1. Menegakkan mashlahat
Mashlahat berasal dari kata al-shulh atau al-ishlah yang berarti damaidan tentram berorientasi pada
psikis. Adapun yang dimaksud mashlahat secara terminologi adalah:

‫ع تهم ر ل ضر ا ق ع د ؤ ال ت قع ج لب‬

Perolehan manfaat dan penolakan terhadap kesulitan.


(Al-Syathibi, II, 1314 H: 2)

Mashlahat adalah dasar semua kaidah yang dikembangkandalam hukum islam. Ia memiliki landasan
yang kuat dalam Al-Qur’an (Q.S. al-anbiya [21]: 107) dan hadis Rasulullah Saw, diantaranya hadis yang
diriwayatkan oleh Al-Daruquthni dari Abi Sa’id:

‫ر ا ضر ال ؤ ر ضر ال‬

Tidak boleh menyulitkan orang lain dan tidak boleh pula disulitkanoleh yang lain. (al-Kahlani, III, t.th: 84)

Secara umum, mashlahat dapat dibagi menjadi tiga: (1) mashlahat mu’tabarah. (2) mashlahat mulghah,
dan (3) mashlahat mursalah (al-Syaukani, t,th.218). Mashlahat mu’tabarah dapat diklasifikasikan
menjadi tiga tingkatan: dlaruriyyah (priemer), ajiyyah (sekunder), dan tahsiniyyah, (tersier). (Mushtafa
Sa’id al-khinn, 1976: 553-4).
Kandungan mashlahat dlaruriyyah adalah lima tijuan agama (maqashid al-syari’ah), yaitu (1)
pemeliharaan agama (hifzh al-din), (2) pemeliharaan keturunan ( hifzh al-nasl), (3) pemeliharan jiwa
(hifzh al-nafs), (4) pemeliharaan akal (hifzh al-‘aql), dan(5) pemeliharaan harta (hifzh al-mal). (al-
Syaithibi, II, 1341 H: 4).
Mashlahat hajiyyah adalah sesuatu manfaat bagi manusia tetapi tidak tergolong pokok, seperti nikah
bagi laki-laki yang belum ba’at yang dianjurkan oleh nabi Muhammad Saw untuk berpuasa. (Muhammad
taqiy al-Hakim, 1963:384).
Mashlahat tahsiniyyah adalah sesuatu yang bersifat untuk memperindah manusia. Umpamanya,
menggunakan pakaian yang rapi dan berkendaraan yang bersih. (Abu Hamid al-Ghazali,I,t,th:290).
Mashlahat mulqhah adalah sesuatu perbuatan yang didalamnya terkandung manfaat tetapi dalam
syarak tidak ditetapkan secara pasti. Umpamanya, Yahya Ibn Yahya al-laitsi (w. 234 H.) berfatwa bahwa
sanksi harus ditempuh bagi seorang amir Andalusia yang berjimak dengan salah seorang istri pada siang
hari bulan ramadhan adalah puasa dua bulan berturut-turut (tidak boleh memilih memerdekakan
hamba atau memberi makan enam puluh orang miskin) karena kedua sanksi tersebut terlalu ringan
baginya. (Musthafa sa’id al-Khinn, 1976: 553)
Mashlahat mursalah adalah sesuatu yang bermanfaat tetapi tidak diperintahkan oleh Allah (Al-Qur’an)
dan rasulnya dan sunnah. Umpamanya, memerangi umat islam yang enggan membayar zakat. (
Musthafa Zaid, 1964: 227).

2. Menegakkan keadilan (tahqiq al-adalah


Keadilan memiliki beberpa arti. Secara bahasa, adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya ( wadl’
al-syai’ fi mahalil). Murtadla Muthahari (1920-1979), sebagaimana dikutip oleh Norcholish Madjid(1929:
512-6), menjelaskan bahwa pokok keadilan adalh sebagai berikut:

1. Perimbangan atau keadilan seimbang(mauzun). Dalam makna ini, keadilan antonym dengan
kekacauan atau ketidakadilan ( al-tanasub).
2. Persamaan (musawah) hal ini didasarkan pada prinsif demokrasi dan Universal Deklaration of Humam
Right (UDHR)
3. Penunain hak sesuain kewajiban yang diemban. Keadilan ini hamper sama dengan keadilan
distributive (imbalan sesuai dengan jasa) dan keadilan komutatif (imbalan secara merata tnpa
memperhatikan perbedaan tingakat tanggung jawab) seperti yang telh dijelaskan oleh filosof aristoteles
(w. 322 S.M.).
4. Keadilan Allah, yaitu kemurahannya dalam melimpahkan rahmat

3. Tidak menyulitkan (‘adam al-haraj)


Al-haraj memiliki beberapa arti, diantaranya sempit, sesat, paksa, dan berat. Adapun arti terminologinya
adalah:
‫ال وما ال حا ل وال ما وال ن فس ن وال بد ن ل بد ا ف ي م ش قة ل ى ا ى اد ما ك ل‬
Segala sesuatu yang menyulitkan badan, jiwa atau harta secara brlebihan, baik sekarang atau
dikaemudain hari. (Shalih ibn ‘Abd Allah ibn Hamid, 1416 H: 48)

4. Menyedikitkan beban ( taqlil al-taqkalif)


Taklif secara bahasa berarti beban. Arti etimologinya adalah menyedikitkan. Adapun secara istilah, yang
dimaksud taklif adalah tuntutan Allah untuk berbuat sehingga dipandang taat dan (tuntutan) untuk
menjauhi cegahan Allah.(Wahbah al-Zuhaili,I, 1986:134)
Dengan demikian, yang dimaksud taqlil al-takalif secara terminology adalah menyedikitkan tuntutan
Allah untuk berbuat; mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi cegahan-Nya. (Jaih, 1995: 48)
Dasar yaqlil al-takalif adalah surat al-Ma’idah *5+ ayat 101.

5. Berangsur-angsur (tadrij)
Diantara bidang hukum Islam yamg dibentuk berangsur-angsur adalah sebagai berikut, shalat pada
awalnya, pengharam riba, pengharam khamar.
Prinsip tadrij memberikan jalan kepada kita untuk melakukan pembaruan karena hidup manusia
mengalami pembaruan.

D. PERIODESASI SEJARAH HUKUM ISLAM

Pada dasarnya, sejarah merupakan penafsiran terhadap peristiwa zaman lampau yang dipelajari secara
kronologis. Periodesasi yang lebih sederhana dikemukakan oleh Fathi Utsman. Ia membagi periodesasi
sejarah hukum Islam menjadi tiga, yaitu:
a. Hukum Islam zaman Nabi SAW.
b. Hukum Islam zaman khulafa rasyidun sampasi penyusunan kitab-kitab fikih dan
c. Hukum islm dari zaman penyusunan kitab-kitab fikih hingga sekarang. (Fathi utsmani, t.th: 13).
Oleh karena itu periodisasi sejarah hukum islam adalah sebagai berikut.
a. Hukum Islam zaman Rasul (620-623 M)
b. Hukum Islam zaman Khulafa (632-661 M)
c. Hukum Islam zaman Dinasti Umayah (661-750 M)
d. Hukum Islam zaman dinasti abbasiyyah (750-1258 M)
e. Hukum Islam zaman tiga kerajaan besar: Kerasjaan turki Ustmani di turki sejak Orchan (1326-1359 M).
Hingga Bayazid II, Dinasti Safawi di Persia, hingga diganti oleh dinasti Qajar, dinasti mughal di india
f. Hukum islam paska penjajahan; Negara-negara islam berdiri sendiri berdasarkan Negara kebangsaan
atau nation states.

E. KEGUNAAN STUDI SEJARAH HUKUM ISLAM


Jika kita memahami hukum Islam tanpa mengetahui latar belakang munculnya suatu hukum baik yang
didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah maupun tidak akan melahirkan pemahaman hukum yang
cenderung”ekstrem” bahkan merasa benar sendiri. Oleh karena itu, memahami hukum Islam dengan
mengetahui latar belakang pembentukannya menjadi penting agar kita tidak”keliru” dalam memahami
hukum Islam.
BAB III
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

A. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM


Adapun faktor yang mendorong perkembangan Hukum Islam adalah:
1. Perluasan wilayah
Apayang telah kita ketahui bahwa ekspansi dunia islam dilakukan sejak zaman Khalifah, banyaknya
daerah baru yang dikuasai berarti banyak pula persoalan yang dihadapi, persoalan tersebut perlu
diselesaikan berdasarkan Islam karena agama khanif ini merupakan petunjuk bagi manusia. Dengan
demikian semakin banyak perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan hukum Islam. Dengan
kata lain semakin banyak wilayah maka banyak juga penduduk yang memiliki beragam persoalan hokum
yang harus diselesaikan.
2. Perbedaan penggunaan ra’yu
Munculnya dua hukum Islam yaitu aliran hadis dan aliran ra’yu menjadi pemicu munculnya
perkembangan ikhtilaf; dan pada saat yang sama pula semakin mendorong perkembangan hukum Islam.

B. SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM ZAMAN TABI’IN


Secara umum tabi’in mengikuti lamgkah-langkah penerapan hukum yang telaj dilakukan sahabat dalam
istinbath al-ahkam.
Dengan demikian, dasar-dasar hukum Islam pada periode ini adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak dan
pendapat sahabat, Ijtihad.

C. PENGARUH AHLI HADITS DAN AHLI RA’YU TERHADAP HUKUM ISLAM


Madsrasah madinah adalah ulama yang banyak berpegang teguh pada sunnah dan kaya akan
pemiliharaan sunnah. Oleh karena itu, salah seorang imam, yaitu Imam Malik, berpendapay bahwa
ijmak peduduk madinah adalah hujjah yang wajib diikuti. (‘Umar sulaiman al-Asyqar, 1991: 84-5).
D. PEMIKIRAN HUKUM ISLAM KHAWARIJ, SYI’AH, DAN JUMHUR
1. Pemikiran hukum Islam Khawarij
Diantara pemikiran Khawarij adalah berpendapat bahwa menikahi cucu perempuan adalah boleh ,
sebab yang diharamkan dalam Al-Qur’an adalah anak bukan cucu.
2. Pemikiran hukum Islam Syi’ah
Diantara pemikirannya adalah bagi syi’ah hadis terbagi menjadi empat, Hadits shahih, hadits hasan
shahih, Hadits musak (kuat), Hadits dla’if (lemah)
3. Diantara hukum Jumhur adalah penolakan terhadap keabsahan nikah mut’ah. Bagi Jumhur, nikah
mut’ah haram dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai