Anda di halaman 1dari 3

ANALISIS SIFAT FISIK MINERAL BATUAN TERALTERASI DI SEKITAR

MANIFESTASI PANAS BUMI MATA AIR MENGGUNAKAN SEM-EDAX di DAERAH


MANIFESTASI PANAS BUMI MATA AIR PANAS DI KEPULAUAN SIAU
KABUPATEN SITARO

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Panas bumi merupakan energi yang dihasilkan dari aktivitas tektonik bumi
yang masih aktif hingga sekarang. Aktivitas tektonik ini dapat berperan langsung
dalam pembentukan panas bumi maupun secara tidak langsung yaitu melalui
aktivitas vulkanisme.

Banyak negara yang telah memanfaatkan energi ini, baik melalui


pemanfaatan langsung (direct use) maupun pemanfaatan tidak langung. Negara-negara
tersebut umumnya berada pada batas antara lempeng yang saling
berinteraksi. Interaksi ini dapat berupa konvergen, divergen, maupun transform.
Beberapa negara yang berada di batas konvergen antar lempeng antara lain Chili,
Selandia Baru, Jepang, Filipina, bahkan negara kita Indonesia (Ellis dan Mahon,
1977). Adapula negara yang berada di batas lempeng divergen, seperti Iceland,
Ethiopia, dan Uganda; atau di batas transform seperti di Amerika Serikat.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihasilkan dari pertemuan
antara Lempeng Australia dengan Lempeng Eurasia menghasilkan busur kepulauan
Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, serta Sulawesi; juga tumbukan Lempeng
Australia dengan Lempeng Pasifik yang menghasilkan busur kepulauan Papua dan
Maluku. Akibat pembentukan kepulauan di Indonesia yang dihasilkan dari interaksi
antar lempeng, Indonesia memiliki potensi energi panas bumi yang cukup besar.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya gunung api aktif yang ada di Indonesia.
Gunung api merupakan bukti nyata bahwa di daerah tersebut terjadi transfer panas
dari bawah bumi menuju ke permukaan. Transfer panas inilah yang nantinya dapat
digunakan sebagai sumber energi panas bumi. Selain itu banyak pula manifestasi
permukaan yang ada di Indonesia yang dapat membuktikan bahwa prospek panas
bumi cukup besar di sini. Misalnya mataair panas, geyser, fumarol, solfatara, dan
sebagainya.

Energi panas bumi di Indonesia sendiri sudah berkembang. Pada tahun 1925-
1928 bahkan sudah ada pengeboran panas bumi hingga kedalaman 66 meter di area
Kawah Kamojang (Ellis & Mahon, 1977). Ellis & Mahon (1977) menjelaskan
bahwa hingga saat ini kawasan ini sudah mampu menghasilkan energi listrik
sebesar 140 MWe. Selain di kawasan Kawah Kamojang, pengembangan energi
panas bumi juga sudah ada di kawasan Gunung Sibayak yang mampu menghasilkan
2 MWe, kawasan Lahendong menghasilkan 20 MWe, Dataran Tinggi Dieng
menghasilkan 60 Mwe, dan Gunung Salak dengan kapasitas 330 MWe. Serta
kawasan Wayang Windu dan kawasan Darajat.
Melihat potensi panas bumi yang sangat besar di Indonesia, kita tentu dapat
optimis bahwa Indonesia mampu mencukupi kebutuhan energinya dengan panas
bumi. Meski begitu, kebutuhan energi di Indonesia justru masih didominasi oleh
energi fosil yang notabene tidak dapat diperbaharui dan lebih tidak ramah
lingkungan dibandingkan dengan energi panas bumi. Hal ini disebabkan perhatian
pemerintah yang hingga saat ini masih berfokus pada energy fosil.
Meski begitu kita juga perlu memahami bahwa tidak semua panas bumi dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energi. Kita perlu mengidentifikasi apakah suatu lapangan
memang dapat dimanfaatkan sebagai energi panas bumi atau justru potensi kebencanaannya
lebih besar daripada potensi kemanfaatannya. Serta kita juga perlu memahami bahwa suatu
lapangan panas bumi yang sudah bisa ‘dipanen’ adalah lapangan panas bumi yang sudah
matang dan potensi bahayanya sudah menurun. Teknologi saat ini tidak memungkinkan kita
untuk dapat memanfaatkan energi panas bumi di daerah gunung api aktif seperti Gunung
Merapi atau Gunung Krakatau. Sehingga kita perlu mengeksplor dimana energi panas bumi
yang dapat kita manfaatkan untuk diekstrak energi panasnya.
Metode eksplorasi yang baik mencakup 3G, yaitu Geologi, Geokimia, dan
Geofisika. Eksplorasi panas bumi dimulai dengan pemahaman geologi suatu
daerah, mencakup litologi, struktur geologi, morfologi, dan sejarah geologi daerah
tersebut. Kemudian dilakukan analisa geokimia untuk mengetahui karakteristik
batuan reservoar, karakteristik fluida hidrotermal, dan prospek energi panas yang
dapat diekstrak. Dan sebagai tahap akhir adalah analisa geofisika untuk mengetahui
secara pasti dimanakah titik akumulasi fluida panas yang dapat diambil.
Salah satu analisa awal yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
energi panas bumi di suatu daerah adalah adanya manifestasi permukaan.
Manifestasi merupakan kenampakan di permukaan bumi yang diakibatkan proses
perpindahan panas dari bawah bumi. Manifestasi menandakan bahwa di bawah
permukaan daerah tersebut sedang berlangsung perpindahan panas. Manifestasi
yang umum ditemukan antara lain solfatara yaitu lubang erupsi hidrotermal yang
mengeluarkan fluida dengan kandungan gas sulfur, fomarol yaitu lubang erupsi
yang menghasilkan fluida didominas H2O, mata air panas, geyser, kolam alami
yang mendidih, tanah beruap, dan sebagainya.
Selain manifestasi tadi, salah satu fenomena yang dapat mencirikan adanya
prospek panas bumi adalah alterasi hidrotermal. Alterasi hidrotermal merupakan
proses perubahan mineralogi pada batuan yang diakibatkan oleh interaksi antara
fluida panas bumi dengan batuan. Alterasi ini umumnya terjadi di sekitar
manifestasi panas bumi. Pemahaman tentang alterasi ini sangat penting untuk
mengetahui bagaimana perilaku fluida saat berkontak dengan tipe-tipe batuan disekitar
manifestasi Sehingga kita mampu menganalisa apa yang terjadi di bawah permukaan. Hal ini
sangat berkaitan dalam penentuan potensi positif dan negatif dari suatu lapangan
panas bumi. Sehingga pemahaman mengenai alterasi, mineral alterasi, batuan yang
teralterasi, tipe batuan yang teralterasi dan fluida yang mengalterasi sangat penting dalam
pengembangan dan pemanfaatan energi panas bumi.

Anda mungkin juga menyukai