BAB 1
PENDAHULUAN
Energi panas bumi di Indonesia sendiri sudah berkembang. Pada tahun 1925-
1928 bahkan sudah ada pengeboran panas bumi hingga kedalaman 66 meter di area
Kawah Kamojang (Ellis & Mahon, 1977). Ellis & Mahon (1977) menjelaskan
bahwa hingga saat ini kawasan ini sudah mampu menghasilkan energi listrik
sebesar 140 MWe. Selain di kawasan Kawah Kamojang, pengembangan energi
panas bumi juga sudah ada di kawasan Gunung Sibayak yang mampu menghasilkan
2 MWe, kawasan Lahendong menghasilkan 20 MWe, Dataran Tinggi Dieng
menghasilkan 60 Mwe, dan Gunung Salak dengan kapasitas 330 MWe. Serta
kawasan Wayang Windu dan kawasan Darajat.
Melihat potensi panas bumi yang sangat besar di Indonesia, kita tentu dapat
optimis bahwa Indonesia mampu mencukupi kebutuhan energinya dengan panas
bumi. Meski begitu, kebutuhan energi di Indonesia justru masih didominasi oleh
energi fosil yang notabene tidak dapat diperbaharui dan lebih tidak ramah
lingkungan dibandingkan dengan energi panas bumi. Hal ini disebabkan perhatian
pemerintah yang hingga saat ini masih berfokus pada energy fosil.
Meski begitu kita juga perlu memahami bahwa tidak semua panas bumi dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energi. Kita perlu mengidentifikasi apakah suatu lapangan
memang dapat dimanfaatkan sebagai energi panas bumi atau justru potensi kebencanaannya
lebih besar daripada potensi kemanfaatannya. Serta kita juga perlu memahami bahwa suatu
lapangan panas bumi yang sudah bisa ‘dipanen’ adalah lapangan panas bumi yang sudah
matang dan potensi bahayanya sudah menurun. Teknologi saat ini tidak memungkinkan kita
untuk dapat memanfaatkan energi panas bumi di daerah gunung api aktif seperti Gunung
Merapi atau Gunung Krakatau. Sehingga kita perlu mengeksplor dimana energi panas bumi
yang dapat kita manfaatkan untuk diekstrak energi panasnya.
Metode eksplorasi yang baik mencakup 3G, yaitu Geologi, Geokimia, dan
Geofisika. Eksplorasi panas bumi dimulai dengan pemahaman geologi suatu
daerah, mencakup litologi, struktur geologi, morfologi, dan sejarah geologi daerah
tersebut. Kemudian dilakukan analisa geokimia untuk mengetahui karakteristik
batuan reservoar, karakteristik fluida hidrotermal, dan prospek energi panas yang
dapat diekstrak. Dan sebagai tahap akhir adalah analisa geofisika untuk mengetahui
secara pasti dimanakah titik akumulasi fluida panas yang dapat diambil.
Salah satu analisa awal yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
energi panas bumi di suatu daerah adalah adanya manifestasi permukaan.
Manifestasi merupakan kenampakan di permukaan bumi yang diakibatkan proses
perpindahan panas dari bawah bumi. Manifestasi menandakan bahwa di bawah
permukaan daerah tersebut sedang berlangsung perpindahan panas. Manifestasi
yang umum ditemukan antara lain solfatara yaitu lubang erupsi hidrotermal yang
mengeluarkan fluida dengan kandungan gas sulfur, fomarol yaitu lubang erupsi
yang menghasilkan fluida didominas H2O, mata air panas, geyser, kolam alami
yang mendidih, tanah beruap, dan sebagainya.
Selain manifestasi tadi, salah satu fenomena yang dapat mencirikan adanya
prospek panas bumi adalah alterasi hidrotermal. Alterasi hidrotermal merupakan
proses perubahan mineralogi pada batuan yang diakibatkan oleh interaksi antara
fluida panas bumi dengan batuan. Alterasi ini umumnya terjadi di sekitar
manifestasi panas bumi. Pemahaman tentang alterasi ini sangat penting untuk
mengetahui bagaimana perilaku fluida saat berkontak dengan tipe-tipe batuan disekitar
manifestasi Sehingga kita mampu menganalisa apa yang terjadi di bawah permukaan. Hal ini
sangat berkaitan dalam penentuan potensi positif dan negatif dari suatu lapangan
panas bumi. Sehingga pemahaman mengenai alterasi, mineral alterasi, batuan yang
teralterasi, tipe batuan yang teralterasi dan fluida yang mengalterasi sangat penting dalam
pengembangan dan pemanfaatan energi panas bumi.