Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN TETRAPARESE

DI RUANG ANGGREK 2 RUMAH SAKIT DR. MOEWARDI

DISUSUN OLEH :
LINDA DWI RAHAYU
SN181093

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2018
A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Tetraparese adalah kelumpuhan/ kelemahan yang disebabkan oleh penyakit
atau trauma pada manusia yang menyebabkan hilangannya sebagian fungsi motorik
pada keempat anggota gerak, dengan kelumpuhan/ kelemahan lengan lebih atau sama
hebatnya dibandingkan dengan tungkai. Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan
otak, kerusakan tulang belakang pada tingkat tinggi (khususnya pada vertebra
cervikalis), kerusakan system saraf perifer, kerusakan neuromuscular atau penyakit
otot.K erusakan diketahui karena adanya lesi yang menyebabkan hilangnya fungsi
motorik pada keempat anggota gerak, yaitu lengan dan tungkai (Baehr, 2010).
Tetraparese salah satunya disebabkan karena adanya cedera pada medula
spinalis. Menurut Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal
Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru cedera
medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka insidensi paralisis
komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000 penduduk, dengan angka
tetraparese 200.000 per tahunnya. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan
penyebab utama cedera medula spinalis.
Pada tetraparese kadang terjadi kerusakan atau kehilangan
kemampuan dalam mengontrol sistem pencernaan, fungsi seksual, pengosongan
saluran kemih dan rektum, sistem pernafasan atau fungsi otonom. Selanjutnya, dapat
terjadi penurunan/kehilangan fungsi sensorik.Walaupun pada tetraparese itu terjadi
kelumpuhan pada keempat anggota gerak tapi terkadang tungkai dan lengan masih
dapat digunakan atau jari-jari tangan yang tidak dapat memegang kuat suatu benda
tapi jari-jari tersebut masih bisa digerakkan, atau tidak bisa menggerakkan tangan tapi
lengannya masih bisa digerakkan. Hal ini semua tergantung dari luas tidaknyanya
kerusakan (Armon, Camel. 2011).
2. Klasifikasi
Pembagian tetraparese menurut Mardjono (2006) dibagi menjai dua berdasarkan
kerusakan topisnya, yaitu:
a. Tetraparese spastic
Tetraparese spastik terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron
(UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertoni.
b. Tetraparese flaksid
Tetraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron
(LMN),sehingga menyebabkan penurunan tonus otot atau hipotoni.

3. Etiologi
Penyebab penyakit tetraparese antara lain:
a. Tabrakan mobil/ motor dan jatuh (sport injury)
b. Polio
c. Spina bifida
d. Polio

4. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala tetraparese antara lain:
a. Lumpuh
Lemah dan tidak bertenaga atau tidak dapat bergerak lagi (tentang anggota badan.
b. Hipertoni
Keadaan tonus otot yang lebih tinggi/ meningkat daripada normal (kontraksi otot
akan terjadi berlebihan dan tidak dapat dikontrol)
c. Hiper reflex dan klonus
d. Reflek patologis
Refleks patologis merupakan respon yang tidak umum dijumpai pada individu
normal ( ekstremitas bawah lebih konstan dibandingkan pada ekstremitas atas ).
5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada tetraparese adalah:
a. Masalah pernapasan seperti hipersekresi, bronkospasme, edema paru dan
pneumonia
b. Terjadi trombo emboli paru atau lainnya (pembekuan darah)
c. Infeksi saluran kencing dan paru
d. Dekubitus
e. Hilangnya kontrol kandung kemih dan peristaltic usus
f. Nyeri

6. Patofisiologi
Tetraparese dapat disebabkan karena kerusakan Upper Motor Neuron (UMN)
atau kerusakan Lower Motor Neuron (LMN). Kelumpuhan/ kelemahan yang
terjadi pada kerusakan Upper Motor Neuron (UMN) disebabkan karena adanya lesi
di medula spinalis.Kerusakannya bisa dalam bentuk jaringan scar, atau kerusakan
karena tekanan dari vertebra atau diskus intervetebralis. Hal ini berbeda dengan lesi
pada LMN yang berpengaruh pada serabut saraf yang berjalan dari horn anterior
medula spinalis sampai ke otot. Pada columna vertebralis terdapat nervus spinalis,
yaitu nervus servikal, thorakal, lumbal, dan sakral. Kelumpuhan berpengaruh
pada nervus spinalis dari servikal dan lumbosakral dapat menyebabkan
kelemahan/ kelumpuhan pada keempat anggota gerak. Wilayah ini penting, jika
terjadi kerusakan pada daerah ini maka akan berpengaruh pada otot, organ, dan
sensorik yang dipersarafinya.
Ada dua tipe lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit dapat
menyebabkan kehilangan kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian dibawah
lesi, sedangkan lesi inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan otot ringan
(parese) dan atau mungkin kerusakan sensorik. Lesi pada UMN dapat
menyebabkan parese spastic sedangkan lesi pada LMN menyebabkan parese flaksid.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tetraparese belum ada terapi yang spesifik untuk penyakit ini,
yang ada baru berupa terapi suportif. Penatalaksanaannya membutuhkan pendekatan
multidisiplin bervariasi menurut latar belakang sosial ekonomi, budaya dan keluarga.
Masalah etika terlibat pada saat pengambilan keputusan untuk memberikan alat bantu
penafasan buatan, pemberian makan dan penggunaan obat-obat golongan
narkotik pada tahap akhir penyakit ini. Tujuan terapi adalah mempertahankan
penderita dapat berfungsi dengan baik selama mungkin, membantu stabilitas emosi
dan menangani masalah fisik bila sudah timbul. Untuk mengatasi disfagia, penderita
dilatih mencari makanan dengan ujung lidah, meregang lidah, menggigit dengan kuat
dan menutup mulut. Makanan yang lunak tetapi padat lebih baik daripada makanan
cair. Pemasangan NGT dilakukan bila :
a. Dehidrasi berat
b. Sering tersedak
c. Pneumonia aspirasi
d. Sangat sulit menelan
e. Berat badan menurun terus
Fisioterapi terutama ditujukan untuk melatih sisa-sisa serabut otot yang
reinervasi yang masih dapat dilatih dan untuk otot yang mengalami disuse atrophy
pada penderita yang cacat atau inaktif. Pergerakan sendi perlu untuk menghindari
kekakuan sendi dan nyeri.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari penyakit itu
sendiri, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap
klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab penyakit, kemungkinan
komplikasi yang akan muncul akibat penyakit dan memberi petunjuk berapa
lama pengobatan yang harus dilakukan.
b. Pola Gordon
1) Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Pada kasus tetraparese akan timbul ketidakadekuatan, bisa terjadi kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien
seperti penggunaan obat yang dapat mengganggu metabolism,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah
klien melakukan olahraga atau tidak.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien tetraparese harus mengkonsumsi nutrisi yang dibutuhkan sehari-
harin untuk membantu proses penyembuhan. Evaluasi terhadap pola nutrisi
klien bisa membantu menentukan penyebab masalah dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak.
3) Pola Eliminasi
Dalam pola eliminasi perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi bowel. Sedangkan pada pola eliminasi bladder dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.
4) Pola Aktivitas dan Latihan
Karena keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien, seperti
memenuhi kebutuhan sehari hari menjadi berkurang. Misalnya makan, mandi,
berjalan sehingga kebutuhan klien perlu dibantu oleh orang lain.
5) Pola Tidur dan Istirahat
Pada klien tetraparese akan timbul keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
6) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien tetraparese daya rabanya berkurang terutama pada bagian
ekstremitas bawah maupun ekstremitas atas.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien tetraparese yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat penyakitnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan citra diri.
8) Pola Hubungan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap, klien biasanya merasa rendah diri terhadap
perubahan dalam penampilan, klien mengalami emosi yang tidak stabil.
9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien tetraparese yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak pada
ektremitasnya.
10) Pola Mekanisme Koping
Pada klien tetraparese akan timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif

11) Pola Nilai dan Keyakinan


Untuk klien tetraparese tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena
keterbatasan gerak klien.

c. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang terdapat masalah adalah ekstremitas atas maupun
bawah yaitu kurangnya kekuatan otot pada klien.

d. Pemeriksaan Penunjang (Diagnostik/ Laboratorium)


1) Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan yang paling bermanfaat
untuk menegakkan diagnose. Rekaman EMG menunjukkan adanya fibrilasi
dan fasikulasi yang khas pada atrofi akibat denervasi.
2) Punksi lumbal dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa.
3) Enzim otot carbonic anhydrase III (CA III).
4) Pemeriksaaan radiologis berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
diagnose lainnya MRI dan CT-scan otot bermanfaat untuk membedakan atrofi
otot neurogenik dari penyakit miopatik dan dapat menunjukkan distribusi
gangguan penyakit ini.
5) Biopsi otot mungkin perlu dilakukan untuk membedakan yang menimbulkan
slowly progressive proximal weakness dari miopati. Bila dilakukan biopsi otot,
terlihat serabut otot yang mengecil dan hilangnya pola mosaik yang nomlal
dari serabut-serabut otot
2. Diagnosa keperawatan
a. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
b. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.
c. Resiko kerusakan integritas kulit ditandai dengan faktor mekanik

3. Perencanaan Keperawatan (tujuan, kriteria hasil, dan tindakan keperawatan)


a. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
NOC:
Ambulasi/ROM normal dipertahankan dengan kriteria hasil:
1) Sendi tidak kaku
2) Tidak terjadi atropi otot
NIC: Terapi latihan
Mobilitas sendi
1) Jelaskan pada klien&keluarga tujuan latihan pergerakan sendi.
2) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama latihan
3) Gunakan pakaian yang longgar
4) Kaji kemampuan klien terhadap pergerakan
5) Encourage ROM aktif
6) Ajarkan ROM aktif/pasif pada klien/keluarga.
7) Ubah posisi klien tiap 2 jam.
8) Kaji perkembangan/kemajuan latihan
Self care Assistance
1) Monitor kemandirian klien
2) Bantu perawatan diri klien dalam hal: makan,mandi, toileting.
3) Ajarkan keluarga dalam pemenuhan perawatan diri klien
b. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik
NOC :
Self Care Assistance ( mandi, berpakaian,makan, toileting dengan kriteria
hasil:
1) Klien terbebas dari bau, dapat makan sendiri dan dapat berpakaian sendiri
NIC :
Self Care
1) Observasi kemampuan klien untuk mandi, berpakaian dan makan
2) Bantu klien dalam posisi duduk, yakinkan kepala dan bahu tegak selama
makan dan 1 jam setelah makan
3) Hindari kelelahan sebelum makan, mandi dan berpakaian
4) Dorong klien untuk tetap makan sedikit tapi sering

c. Resiko kerusakan integritas kulit ditandai dengan faktor mekanik


NOC:
Mempertahankan integritas kulit dengan indikator :
Tidak terjadi kerusakan kulit ditandai dengan tidak adanya
kemerahan, luka dekubitus
NIC:
Berikan manajemen tekanan
1) Lakukan penggantian alat tenun setiap hari dan tempatkan kasur yang
sesuai
2) Monitor kulit adanya area kemerahan
3) monitor area yang tertekan
4) berikan masage pada punggung/daerah yang tertekan serta berikan
pelembab pad area yang pecah-pecah
5) monitor status nutrisi
DAFTAR PUSTAKA

Baehr, Mathias. 2010. Diagnosis Topik Neurologis Duus. Jakarta: ECG.

Carmel Armon. 2011. Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) in Physical Medicine and
Rehabilitation Available at http://emedicine.medscape.com/article/1170097-
overview (diakses pada tanggal 5 November 2018).

Mahar mardjono, Priguna S. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian rakyat

Anda mungkin juga menyukai