Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kualitas sebuah informasi merupakan hal yang penting dalam perusahaan,
banyak pihak kepentingan yang membutuhkan sebuah laporan keuangan dengan tujuan
mengkomunikasikan fakta-fakta mengenai perusahaan dan dijadikan sebagai pedoman
dalam menilai kinerja perusahaan. Penting bagi pemakai laporan keuangan untuk
memandang Kantor Akuntan Publik (KAP) sebagai pihak yang independen dan
kompeten, karena akan mempengaruhi berharga atau tidaknya jasa yang telah diberikan
oleh KAP kepada pemakai. Jika pemakai merasa KAP memberikan jasa yang berguna
dan berharga, maka nilai audit atau kualitas audit juga meningkat, sehingga KAP
dituntut untuk bertindak dengan profesionalisme tinggi. (Herawaty, 2007).
Karakteristik auditor profesional adalah menjalankan tugas dan fungsinya dengan
mengandalkan keahlian yang dimiliki berdasarkan pengetahuan dan keahlian yang
diperoleh dari latihan maupun pendidikan (Reynolds, 2000). Guna menunjang
profesionalismenya sebgai akuntan publik maka auditor dalam melaksanakan tugas
auditnya harus berpedoman pada standar audit yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI), yakni standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan standar
pelaporan (Murtanto, 2014). Standar umum merupakan cerminan kualitas pribadi yang
harus dimiliki oleh seorang auditor dan mengharuskan auditor untuk memiliki keahlian
dan pelatihan teknis yang cukup dalam melaksanakan prosedur audit. Sedangkan
standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan mengatur auditor dalam hal
pengumpulan data dan kegiatan lainnya yang dilaksanakan selama melakukan audit
serta mewajibkan auditor untuk menyusun suatu laporan atas laporan keuangan yang
diauditnya secara keseluruhan (Murtanto, 2014).
Sesuai dengan tanggung jawabnya untuk menaikkan tingkat keandalan lpaoran
keuangan suatu perusahaan maka akuntan publik tidak hanya perlu memiliki
kompetensi atau keahlian saja tetapi harus independen dalam pengauditan (Alifindy dan
Murtanto, 2014). Dalam hal ini, indenpendensi sangatlah berpengaruh bagi auditor.
Masyarakat tidak akan percaya akan hasil auditan dari auditor sehingga masyarakat
tidak akan meminta jasa pengauditan dari auditor atau dengan kata lain, keberadaan
auditor ditentukan olrh indenpendensinya (Kusuma, 2011).
Akuntan publik atau auditor independen dalam tugasnya mengaudit perusahaan
klien memiliki posisi yang strategis sebagai pihak ketiga dalam lingkungan perusahaan
klien yakni ketika akuntan publik mengemban tugas dan tanggung jawab dari
manajemen untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan yang dikelolanya (Wibowo,
2010). Manajemen selalu menginginkan agar mendapatkan kinerja yang baik dari
akuntan publik atau auditor independen agar pihak eksternal terutama pemilik puas
terhadap kinerja mereka akan tetapi pemilik menginginkan seorang auditor melaporkan
dengan sejujur-jujurnya dari tugas yang telah diterima sebagai tanggung jawab. Dalam
uraian tersebut, dapat diketahui adanya suatu kepentingan yang berbeda antara
manajemen dan pemakai laporan keuangan. Kepercayaan yang besar dari pemakai
laporan keuangan auditan dan jasa lainnya yang diberikan oleh akuntan publik, karena
hal tersebutlah akhirnya mengharuskan akuntan publik memperhatikan kualitas audit
yang dihasilnnya.
Auditor mempunyai peranan penting dalam pengesahan laporan keuangan suatu
perusahaan. Sehingga auditor harus menghasilkan audit yang berkualitas sehingga
dapat mengurangi ketidakselerasan yang terjadi antara pihak manajemen dan pemilik
(Elfarini, 2007). Maka dari itu kualitas audit sangat penting karena dengan kualitas
audit yang tinggi maka akan dihasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai
dasar pengambilan keputusan.
Kemampuan auditor untuk membuat keputusan yang akan diambil kketika
mengahadapi situasi dilema etika akan sangat bergantung kepada berbagai hal, karena
keputusan yang diambil oleh internal auditor juga akan banyak berpegaruh kepada
organisasi dan konstituen dimana dia berada (Arnold dan Ponemon, 1991 dalam
Sasongko 2007). Auditor secara terus menerus dihadapkan situasi dilema etika yang
melibatkan pilihan-pilihan antara nilai-nilai yang saling bertentangan.
Akuntan memiliki hubungan yang unik dengan pengguna jasanya dibandingkan
dengan profesi lannya. Profesi lain mendapatkan penugasan dari pengguna jasa dan
bertanggung jawab juga kepadana, sementara akuntan mendapat penugasan dan
memperoleh fee dair perusahaan yang menerbitkan laporan keuangan, namun
bertanggung jawab kepada pengguna laporan keuangan. Hubungan yang unik ini
seringkai menempatkan akuntan pada situasi-situasi dilemastis, oleh sebab itu sangat
penting bagi akuntan untuk melaksanakan audit dengan kompeten dan tidak bias, Arens
dan Loebbecke (2000) dalam nurwanah (2008).
Finn et.al (1998) dan Bazerman et.al. (1997) menyatakan bahwa akuntan
seringkali dihadapkan pada situasi adanya dilema yang menyebabkan dan
memungkinkan akuntan tidak dapat independen. Akuntan diminta untuk tetap
independen pada klien karena fee yang diterimanya, sehingga hal tersebut yang
seringkali menyebabkan akuntan berada dalam situasi dilemasris. Hal ini akan berlanjut
jika hasil temuan auditor tidak sesuai dengan harapan klien, sehingga menimbulkan
konflik audit (Tsui, 1996; Tsui dan Gul, 1996). Konflik audit ini akan berkembang
menjadi sebuah dilemma etika ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang
bertentangan dengan indenpendensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang
mungkin terjadi atau tekanan di sisi lainnya (Windsor dan Askhanasy, 1995).
Konflik audit juga akan muncul ketika auditor internal menjalankan aktivitas
auditing internal. Internal auditor sebagai pekerja di dalam organisasi yang diauditnya
akan menemui masalah ketika harus melaporkan temua-temuan yang tidak
menguntungkan dalam penilaian kinerja manajemen atau objek audit yang
dilakukannya. Ketika manajemen menawarkan atau subjek audit menawarkan sebuah
imbalan atau tekanan pada internal auditor untuk menghasilkan laporan audit yang
diinginkan oleh manajemen maka terjadilah dilema etika yang akhirnya auditor
dihadapkan kepada pilihan-pilihan keputusan terkait dengan hal-hal keputusan etis atau
tidak etis.
Keputusan etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang
baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino, 1986;
Jones, 1991 dalam Sasongko, 2007). Hal yang mendasar bagi profesi akuntan adalah
kemampuan dalam mengidentifikasi perilaku etis atau tidak etis. Internal auditor
sebagai karyawan mempunyai tanggung jawab organisasi, namun sebagai seorang
akuntan yang profesional maka haru bertanggung jawab terhadap profesinya, kepada
masyarakat,dan kepada dirinya sendiri untuk berperilaku etis. Kemampuan internal
auditor untuk membuat keputusan yang akan diambil dalam situasi dilemma etika akan
sangat bergantung kepada berbagai hal, karena keputusan yang diambil oleh internal
auditor juga akan banyak berpengaruh kepada organisasi dan konsitituen dimana dia
berada (Arnold dan Ponemon, 1991)
Kasus yang paling terkenal mengenai konflik audit adalah kasus Enrin yang
melibatkan akuntan professional di Kantor Akuntan Publik (KAP) Arthur Anderson.
Kasus lainnya di Indonesia adalah oerilaku menuimpang yang dilakukan oleh anggota
organisasi seperti kasus di PT Kimia Farma yang melakukan mark up laba bersih pada
laporan keuangan. Tindakan tersebut terjadi karena minimnya etika dari individu.
Kasus yang terjadi pada PT. Kimia Farma (2001) dimana manajemen Kimia Farma
melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp.132 milyar yang diaudit oleh Hans
TUankotta & Mustofa (HTM) sedangkan kementrian BUMN dan BApepam
menyajikan kembali laporan keuangan tersebut dan hasil keuntungan PT Kimia Farma
hanya sebesar Rp 99,56 milyar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar atau 24,7%
dari keuntungan awal yang dilaporkan, HTM dinyatakan tidak mampu mendeteksi
laporan keuangan tersebut apakah mengandung unsur kecurangan atau tidak (Koroy,
2008 dalam Wiguna).
Bentuk pertanggungjawaban profesi terhadap masyarakat juga merupakan kode
etik dari para profesional. Akuntan sebagai sebuah profesi tidak terlepas dari
pertanggungjawaban terhadap masyarakat. Damman (2003) menyatakan bahwa
sebenarnya akuntan di dalam aktivitas auditnya banyak hal yang harus
dipertimbangkan, karena dalam dri auditor mewakili banyak kepentingan yang melakat
dalam proses audit (built-in-coflict of interest). Seringkali dalam pelaksanaan aktivitas
auditing, seorang auditor berada dalam konflik audit (Tsui, 1996; Tsui dan Gul, 1996).
Setiap profesi memiliki tanggug jawab terhadap etika profesi masing-masing
dan dituntut untuk berperilaku etis yaitu bertindak sesuai dengan moral dan nilai yang
berlaku. Tanpa etika, profesi akuntan tidak aka nada karena fungsi akuntansi adalah
penyedia informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku bisnis
yang diharapkan mempunyai integritas dan kompetensi yang tinggi (Abdullah dan
Halim 2002 dalam Husein, 2004). Dilema etika merupakan suatu situasi yang dihadapi
oleh seseorang dimana ia harus membuat keputusan tentang perilaku seperti apa yang
tepat untuk dilakukannya.
Terjadinya berbagai kasus di Indonesia seperti halnya yang telah disebutkan
diatas, seharusnya memberi kesadaran bagi para profesi akuntan untuk lebih
memperhatikan etika. Namun seberapa besar pengalaman, komitmen professional,
etika organisasi terhadap pengambilan keputusan etis auditor. Maka dari itu, peneliti
mengambil judul “Pengaruh Pengalaman Audit Komitmen Profesional, dan
Orientasi Etika terhadap Pengambilan Keputusan Etis Auditor dalam Situasi
Dilema Etika”
B. Rumusan Masalah
a. Apakah pengalaman audit berpengaruh terhadap pengambilan keputusan etis
auditor dalam situasi dilema etika?
b. Apakah komitmen profesional berpengaruh terhadap pengambilan keputusan etis
auditor dalam situasi dilema etika?
c. Apakah orientasi etika berpengaruh terhadap pengambilan keputusan auditor dalam
situasi dilema etika?
C. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pengaruh pengalaman audit terhadap pengambilan keputusan
etis auditor dalam situasi dilema etika.
b. Untuk mengetahui pengaruh komitmen profesional audit terhadap pengambilan
keputusan etis auditor dalam situasi dilema etika.
c. Untuk mengetahui pengaruh orientasi etika terhadap pengambilan keputusan etis
auditor dalam situasi dilema etika.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis:
Untuk mengembangkan ilmu dan sebagai literatur tentang penelitian yang berhubungan
dengan Pengaruh Pengalaman Audit, Komitmen Professional, Orientasi Etika, dan
Nilai Etika Organisasi terhadap Pengambilan Keputusan Etis Auditor dalam Situasi
Dilema Etika.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi Auditor
Untuk memberikan masukan kepada auditor mengenai pentingnya mengetahui
pengalaman, komitmen profesional, etika organisasi, dan orientasi etika
terhadap pengambilan keputusan etis auditor dalam situasi dilemma etis.
2. Bagi KAP (Kantor Akuntan Publik)
Untuk memberikan informasi yang berguna bagi KAP dalam mengukur prestasi
dan kondisi kantor akuntan publik yang akan mengaudit perusahaannya,
terutama dalam hal pengetahuan dan keahlian auditor, komitmen profesional,
etika organisasi, dan orientasi etika auditor.
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat agar dapat lebih menyadari arti penting nilai-nilai moral dan etika
dalam kehidupan terutama dalam menjalankan suatu profesi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Teori Agensi
Dilema etis terjadi ketika adanya benturan keoentingan antara kepentingan
pribadi dengan kepentingan orang lain. Hal tersebut dijelaskan dalam teori agensi oleh
Jensen & Meckling (1976). Dilema etika muncul sebagai konsekuensi konflik auditor
karena auditor berada di dalam situasi prngambilan keputusan yang terkait dengan
keputusannya yang etis atau tidak. Situasi tersebut terbentuk karena dalam konflik audit
terdapat pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keputusan auditor sehingga auditor
dihadapkan kepada pilihan keputusan etis atau tidak etis. Menurut teori agensi,
seseorang akan berusaha untuk mendapatkan kesejahteraan secara individu tanpa
memperhatikan apa yang menjadi kepentingan orang banyak. Dalam kehidupan nyata,
bahwa semakin besar system yang berorientasi personal, maka semakin kurang penting
dimensi etis dipertimbangkan dalam sebuah konflik antara diri sendiri dengan individu
atau kelompok lain yang akhirnya berakibat banyaknya penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi karena bertentangan kepentingan tersebut, sebagaimana kasus Enron
(Samendawai et al., 2011 dalam Wiguna). Maka dari itu, berperilaku etis sangat
penting di dalam sebuah organisasi khususnya para akuntan professional. Jensen dan
Meckling (1976) mengatakan bahwa hubungan keagenan sebagai suatu kontrak dimana
satu atau lebih orang (prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu
jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen untuk membuat
keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Jika kedua belah pihak tersebut mempunyai
tujuan yang sama untuk memaksimumkan nilai perusahaan, maka kemungkinan besar
agen bertindak dengan cara yang sesuai dengan kepentingan prinsipal.
B. Pengambilan Keputusan Etis
Keputusan Etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang
baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Travino, 1986;
Jones, 1991 dalam Sasongko Budi 2006). Menurut hasil-hasil penelitiam empirik
mengenai pengambilan keputusan etis, beberapa mengatakan bahwa salah satu
determinan penting perilaku pengambilan keputusan etis adalah faktor-faktor yang
secara unik berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan variab-variabel yang
merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan masing-masing individu.
faktor-faktor individual meliputi variable-variabel yang merupakan ciri pembawaan
sejak lahir (gender umur, kebangsaan, dan lain sebagauinya). Sedangkan faktor lainnya
adalah faktor organisasi, lingkungan kerja, profesi, dan lain sebagainya.
Penelitian tentang pengambilan keputusan etis telah banyak dilakukan dengan
berbagai pendekatan, aeperti pendekatan ekonomi dan psikologi sosial. Louwers,
Ponemon, dan Redtke (1997) bahwa pentingnya penelitian mengenai pengambilan
keputusan etis dari pemikiran dan perkembangan moral (moral reasoning and
development) untuk profesi akuntan aitu dengan 3 alasan, yaitu pertama, penelitian
dengan topik pengambilan keputusan etis dapat digunakan untuk memahami tingkat
kesadaran dan perkembangna moral auditor dan akan menambah pemahaman tentang
bagaimana perilaku auditor dalam menghadapi konflik etika. Kedua, penelitian dengan
konteks ini lebih menjelaskan problematika proses yang terjadi dalam menghadapi
berbahai pengambilan keputusan etis auditor yang pastinya berbeda-beda dalam situasi
dilema etika. Ketiga, hasil penelitian mengenai pengambilan keputusan etis akan dapat
membawa dan menjadi arahan dalam tema etika dan dampaknya pada profesi akuntan.
Model penelitian etis pada umumnya seringkali hanya menggambarkan
bagaimana proses seseorang mengambil keputusan yang terkait dengan etika dalam
situasi dilema etika (Jones, 1991; Trevino, 1986). Sebuah model pengambilan etis tidak
berada kepada pemahaman bagaimana seharusnya seseorang membuat keputusan etis
(ought to do), namun lebih kepada pengertian bagaimana proses pengambilan
keputusan etis itu sendiri. Alasannya adalah sebuah pengambilan keputusan akan
memungkinkan menghasilkan keputusan yang etis dan keputusan yang tidak etis, dan
memberikan label atau mendefinisikan apakah suatu keputusan tersebut etis atau tidak
etis akan mungkin sangat menyesatkan (McMahon, 2002).
Rest (dalam Zeigenfuss dan Martison, 2002) bahwa model pengambilan
keputusan etis terdiri dari 4 (empat) tahapan, pertama pemahaman tentang adamya isu
moral dalam situasi dilemma etika (recognizing that moral issue exists). Maksudnya
adalah begaimana tanggapan seseorang terhadap isu moral dalam sebuah dilemma
etika. Kedua yaitu pengambilan keputusan etis (make a moral judgment), bagaimana
seseorang memutuskan keputusan etis. Ketiga adalah moral intention yaitu bagaimana
seseorang bertujuan atau bermaksud untuk berkelakuan etis atau tidak. Sedangkan
keempat adalah moral behavior, yakni bagaimana seseorang bertindak atau berperilaku
etis atau tidak.
Sedangkan menurut Jones (1991 dalam Andriyani, 2004) menyatakan ada 3
unsur utama dalam pengambilan keputusan etis, antara lain:
1. Isu Moral, menyatakan bahwa seberapa jauh ketika orang melakukan
tindakan, jika dia secara bebas melakukan tindakan tersebut, maka akan
mengakibatkan kerugian (harm) atau keuntungan (benefit) bagi orang lain.
Dapat diartikan pula bahwa suatu tindakan atau keputusan yang diambil
akan mempunyai konsekuensi kepada orang lain.
2. Agen Moral adalah orang yang membuat keputusan moral walaupun orang
tesbut tidak mengenali isu moral.
3. Keputusan Etis (Ethical Decision) per definisi adalah sebuah keputusan
yang baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas
(Trevino, 1986; Jones, 1991 dalam Sasongko Budi, 2006). Kemampuan
dalam mengidentifikasi dan melakukan perilaku etis atau tidak adlaah hal
yang mendasar dalam profesi akuntan. Sehingga menjadi kewajiban dan
tanggung jawab akuntan itu sendiri terhadap keputusan etis yang diambil.

Perkembangan penalaran moral (cognitive moral development), sering


disebut juga kesadaran moral (moral reasoning, moral judgment, moral
thinking) dari ketiga tersebut merupakan faktor penentu yang melahirkan
perilaku moral dalam pengambilan keputusan etis, sehingga untuk menemukan
perilaku yang bermoral hanya dapat ditelusuri melalui penalarannya. Sehingga,
pengukuran moral yang benar tidak sekedar mengganti perilaku yang tampak
saja, namun harus terlebih dahulu melihat kesaran moral yang mendasari
keputusannya. Hal tersebut dapat diukur dengan tingkat kesadaran moral dan
akan dapat mengetahui tinggi randanya moral tersebut,

Trevino (1986) dalam sasongko Budi (2006) menusun sebuah model pe


ngambilan ketutusan etis dengan menyatakan bahwa keputusan etis adalah
merupakan sebuah interaksi antara fakotr individu dan faktor situasional
(person-situtation intercitonist model. Dinyatakan bahwa pengambilan
keputusan etis seseorang akan sangat bergantung kepada faktor-faktor individu
seperti ego strength, field dependence, and locus of control dan faktor
situasional seperti immediate job context, organiziational culture, and
characteristics of the work. Model yang diajukan Trevino (1986) menjelaskan,
ketika seseorang dihadapkan pada dilema etika maka individu tersebut akan
mempertimbangkan secara kognitif dalam fikirannya.
C. Pengalaman Audit (Experience)
Pengalaman adalah keseluruhan pelajaran yang dialami seseorang dalam
perjalanan hidupnya (Anoraga, 1995; dalan WIdiyanto dan Yuhertian, 2005).
Pengalaman berdasarkan lama bekerja merupakan pengalaman auditor yang dihitung
berdasarkan satuan waktu/tahun, sehingga auditor yang telah lama bekerja dapat
dikatan sebagai auditor yang sudah berpengalaman. Faktor penting dalam memprediksi
kinerja auditor dapat diketahui salah satunya dengan pengalaman kerja (Sularso dan
Na’im, 1999; Boner; Devis, 1997; Jeffrey, 1992). Pengetahuan auditor akan semakin
berkembang ketika auditor tersebut mempunyai pengalaman audit, dengan seringnya
berdiskusi dengan rkean kerja sesame auditor atau staf lainnya, koreksi atau
mendapatkan pengawasan dari akuntan yang lebih senior, sudah pernah melakukan
berbagai pelatihan dan penggunaan standar auditing.
Ludigo dan Camel (1985) dlaam Mayangsari (2003) berpendapat bahwa
berbagai mancam pengalaman yang dimiliki individu akan mempengaruhi pelaksanaan
suatu tugas. Mereka berpendapat bahwa seseorang yang berpengalaman akan memiliki
cara berpikir yang lebih terperinci, lengkao dan sohhisticarted dibandingkan orang yang
blum memiliki pengalaman.
Pengalaman sebagai salah satu variable yang sudah banyak dilakukan dalam
sebuah penelitian. Secara spesifik pengalaman dapat diukur dengan rentang waktu yang
telah digunakan terhadap suatu pekerjaan atau tugas (Marinus, Wray; 1997 dalam
Yudhi Herliansyah dan Mefida Ilyas; 2006). Penelitian yang dilakukan oeh Kolodner
(1983) menunjukkan bahwa bagaimana pengalaman dapat digunakan untuk
meningkatkan kinerja dalam mengambil suatu keputusan. Kallbers dan Fogarty (1995)
dalan penelitiannya tentang internal auditor menyatakan ada hubungan antara
pengalaman kerja dengan profesionalisme dan afiliasi terhadap komunitansya.
Meskipun hasil penelitiannya hanya menunjukkan bukti yang terbatasm namun alas an
tersebut dimungkinkan karena untuk menguatkan komitmen professional seorang
auditor perlu waktu dalam keterlibatannya untuk menjadi bagian dan menerima
manfaat sebagai bagian dari sebuah komunitas profesinya.
Kidwell, Stevens dan Bethke (1987) dalam Sasongko Budi (2006) dalam
penelitian mereka tentang perilaku manajer dalam menghadapi situasi dilema etika,
haisl penelitiannya menemukan bahwa seorang manajer yang memiliki pengalaman
kerja yang lebih lama mempunyai hubungan yang posited dengan pengambilan
keputusan etis. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian Larkin (2000) dan
Glover et. al (2002) dalam Sasongko Budi (2006). Penelitian yang dilakukan oleh
Larkin (2000) yang melibatkan auditor internal di lembaga keuangan dna menyatakan
bahwa internal auditor yang berpengalaman cenderung lebih konservatif dalam situasi
dilemma eitka. Penelitian juga dilakukan oleh Glover et.al. (2002) pada mahasis
program bisnis dan hasilnya menyatakan bahwa mahasiswa yang senior lebih berperiku
etis disbandingkan dengan yunior.
D. Komitmen Profesional (Professional Commitment)
Komitmen professional dapat diartikan sebagai intensitas identifikasi dan
keterlibatan individu dengan profesinya. Identifikasi ini membutuhkan beberapa
tingkat kesepakatan antar individu dengan tujuan dan nilai-nilai yang ada dalam profesi
termasuk nilai morla dan etika.
Komitmen professional juga dapat diartikan sebgai tanggunghawab untuk
berperilaku yang lebih dari sekedar memenuhi tanggungjawab yang dibebankan
kepadanya dan lebih dari sekedar memenuhi undang-undang dan peraturan masyarakat.
Sebagai professional akuntan publik mengakui tanggungjawabnya terhadap
masyarakat, klien dan rekan seprofesi, termasuk untuk berperilaku yang terhormat,
sekalipun ini berarti pengorbanan pribadu (Arens, 1997 dalam Lina Marhadi, 2006).
Dalam literatur akuntansi definisi komitmen professional sebagai: a) suatu keyakinan
dan penerimaan tujuan dan nilai-nilai di dalam organisasi profesi 2) kemauan untuk
memainkan peran tertentu atas nama orgnanisasi profesi 3) gairah untuk
mempertahankan keanggotaan pada organisasi profesi (Jefferey dan Weatherholt,
1996).
Hubungan antara komitmen profesional, pemahaman etika, dan sikap ketaatan
terhadap aturan dalam penelitian yang diteliti oleh Jeffrey dan Weatherholt (1996)
menunjukkan bahwa akuntan dengan komitmen profesional yang kuat maka
perilakunya lebih mengarah kepada ketaatan terhadap aturan dibandingkan dengan
komitmen professional yang rendah. Namun riset tersebut belum menunjukkan
bagaimana komitmen profesi dan orientasi etika berhubungan dengan perilaku akuntan
dalam situasi dilema etika. Windsor dan Ashkanasy (1995) dalam Sasongko Budi
(2006) mengungkapkan bahwa asimilasi keyakinan dan nilai organisasi yang
merupakan definisi komitmen profesional mempengaruhi integritas dan indenpendensi
auditor.
E. Orientasi Etika (ethial orientation atau ethical ideology)
Setiap orientasi etika individu, pertama-tama ditentukan oleh kebutuhannya
(Cohen et.al; 1995 dan 1996 dan Finegan; 1994). Kebutuhan tersebut berinteraksi
dengan pengalamanpribadi dan system nilai individu yang akan menentukan harapan
atau tujuan dalam setiap perilakunya sehingga pada akhirnya individu tersebut
menentukan tindakan apa yang akan diambilnya. Orientasi Etika (ethial orientation
atau ethical ideology) berarti mengenai konsep diri dan perilaku pribadi yang
berhubungan dengan individu dalam diri seseorang.
Orientasi etika berhubungan dengan faktor eksternal seperti lingkungan budaya,
industry, organisasi, dan pengalaman pribadi yang merupakan faktor internal individu
tersebut (Hunt dan Vitell, 1984 dalam Shaub el.al., 1993). Alternatif pola perilaku untuk
menyelesaikan dilema etika dan konsekuensi yang diharapkan oleh fungsi yang berbeda
akan menentukan orientasi etis (Higgins dan Kelleher, 2005). Tetapi, ada penentu lain
orientasi etis yang akan menunjukkan adanya perbedaan individu, antara lain standar
perilaku individu, standar perilaku dalam keluarga serta standar perilaku dalam
komunitas (Tsalikis dan Fritzsche, 1989; Wiley, 1998).
Kategori orientasi etika yang dibangun oleh Forsyth (1992) menyatakan bahwa
manusia terdiri dari dua konsep yaitu idealism versus pragmatism, dan relativisme
versus nonrelativisme yang orthogonal dan bersama-sama menjadi sebuah ukuran dari
orientasi etika individu.
Idealisme menunjukkan keyakinan bahwa konsekuensi sebuah keputusanyang
diinginkan dapat diperoleh tanpa melanggar nilai-nilai luhur moralitas. Dimensi ini
dideskripsikan sebagai sikap individu terhadap suatu tindakan dan bagaimana tindakan
itu berakibat kepada orang lain. Individu dengan idealism yang tinggi percaya bahwa
tindakan yang etis seharusnya mempunyai konsekuensi yang positif dan selalu tidak
akan berdampak atau berakibat merugikan kepada orang lain sekecil apapun (Barnett,
Bass dan Brown, 1994). lain pihak, pragmatisme mengakui hasil keputusan adalah yang
utama dan jika perlu mengabaikan nilai-nilai moralitas untuk mendapatkan keuntungan
yang lebih besar. Dalam kaitan dengan ini maka internal auditor yang mempunyai
idealisme yang tinggi akan selalu bekerja dengan cermat dan profesional dan ini berarti
internal auditor dengan orientasi etika yang idealis akan berperilaku lebih etis dalam
menghadapi dilema etika.
Konsep relativisme menunjukkan perilaku penolakan terhadap kemutlakan
aturan-aturan moral yang mengatur perilaku individu yang ada. Orientasi etika ini
mengkritik penerapan prinsip-prinsip aturan moral yang universal. Relativisme
menyatakan bahwa tidak ada sudut pandang suatu etika yang dapat diidentifikasi secara
jelas merupakan ‘yang terbaik’, karena setiap individu mempunyai sudut pandang
tentang etika dengan sangat beragam dan luas. Kebalikannya, orientasi etika non-
relativisme (atau absolutisme) menunjukkan pengakuan adanya prinsip-prinsip moral
dengan kewajiban-kewajiban yang mutlak.
Shaub, Finn, dan Munter (1993) dalam penelitiannya tentang sensitivitas etika
auditor, meneliti hubungan orientasi etika auditor dengan komitmen profesional
auditor. Mereka menyatakan bahwa individu yang mempunyai idealisme secara
otomatis akan memelihara tatacara pekerjaannya sesuai dengan standar profesional,
sehingga standar profesional tersebut akan menjadi arahan dalam bekerja. Hal ini akan
searah dengan konsep non-relativisme yang menyatakan tingkat absolutisme yang
tinggi. Tujuan utama akuntan sebagai sebuah profesi audit adalah juga termasuk
menghindari kerugian yang diterima oleh pengguna laporan keuangan, sehingga
seorang auditor yang memiliki orientasi etika idealis akan selalu merujuk kepada tujuan
dan arahan yang ada pada standar profesionalnya.
Ziegenfuss dan Singhapakdi (1994) melakukan penelitian tentang persepsi etis
dan nilai-nilai individu terhadap anggota Institute of Internal Auditor. Mereka
menyatakan bahwa orientasi etika internal auditor mempunyai hubungan positif dengan
perilaku pengambilan keputusan etis. Internal auditor dengan skor idealisme yang
tinggi akan cenderung membuat keputusan yang secara absolut lebih bermoral (favor
moral absolute) dan sebaliknya.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini menjelaskan pengaruh variabel independen yaitu pengalaman,
komitmen profesional, dan orientasi etika terhadap variabel dependen yaitu
pengambilan keputusan etis auditor dalam situasi dilema auditor.
B. Metode Penentuan Populasi dan Sampel
1. Populasi dan Sampel
Populasi merupakan keseluruhan kelompok orang, kejadian, atau hal minat
yang ingin peneliti investigasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh auditor
independent yang bekerja di kantor akuntan publik di Wilaayah Kota Malang.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
(Sugiono, 1999). Sedangkan menurut Sekaran (2006) sampel merupakan bagian
dari populasi yang diamati. Sehingga sampel dalam penelitian adalah kantor-kantor
akuntan publik yang berada di Wilayah Kota Malang.
2. Teknik Penentuan Sample
Teknik penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan Teknik purposive
sampling. Purposive sampling merupakan pengambilan sampel yang disesuaikan
dengan tujuan atau masalah penelitian (Indriantoro dan Supomo, 2002) dengan
kriteria auditor independent yang terdiri dari auditor yunior, supervisor, manajer,
dan partner.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data untuk mendukung peneliti ini adalah menggunakan
data primer. Data primer merupakan sumber data yang langsung memberikan data
kepada pengumpul data (Sugiono, 2004). Dalam penelitian ini, penelusuran data primer
dilakukan dengan metode pendekatan kuesioner secara personal (Personally
Administered Questionaires). Kuesioner ini berisi daftar pertanyaan kepada pihak yang
berhubungan langsung dengan masalah penelitian guna memperoleh data sebenarnya.
Kuesioner dibagikan secara langsung kepada responden, yaitu dengan cara peneliti
mendatangi tempat responden dan melalui rekan mahasiswa yang bekerja di kantor
akuntan publik.
Kuesioner ini terdiri data umum dari responden seperti nama, usia, jenjang
Pendidikan, jabatan/kedudukan KAP dan lama bekerja sebagai auditor. Selain data-data
umum tersebut juga terdapat data khusus dalam bentuk soal-soal pertanyaan tentang
pengalaman, komitmen professional, orientasi etika, dan pengambilan keputusan etis
auditor.
D. Metode Analisis Data dan Pengujian Statistik
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis
statistic yang perhitungannya dilakukan menggunakan SPSS. Tujuan dari analisis ini
adalah untuk menentukan pengaruh antara variable pengalaman (x1), komitmen
profesional (x2), orientasi etika (x3), terhadap pengambilan keputusan etis auditor (Y).
1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif digunakan untuk memberikan informasi mengenai
karakteristik variabel penelitian dan demografi responden. Statistik
deskriptif menjelaskan skala jawaban responden pada setiap variable yang
diukur dari minimum, maksimun, rata-rata dan standar deviasi. Disamping
itu juga untuk mengetahui demografi responden yang terdiri dari kategori,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, umur, dan lain sebagainya (Ghozali,
2005).
2. Uji Kualitas Data
a. Uji Validitas
Suatu instrument pengukur dapat dikatakan valid jika instrument
tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur. Dengan kata lain,
instrument tersebut dapat mengukur construct sesuai dengan yang
diharapkan oleh peneliti (Indriantoro dan Supomo, 1999). Untuk
mengukur validitas data pada masing-masing pernyataan dengan skor
total memakai Teknik korelasi product moment, dengan menggunankan
rumus:

n (∑ 𝑋𝑖𝑌𝑖 )−(∑ 𝑋𝑖)(∑ 𝑌𝑖)


r=𝑥=
√[𝑛(∑𝑋𝑖 2)−(∑ 𝑋𝑖)2 ][𝑛(∑𝑌𝑖 2)−(∑𝑌𝑖 2 )−(∑𝑌𝑖 )2 ]

Keterangan :
r = Nilai Koefisien Kolerasi
∑Xi = Jumlah Pengamatan Variabel X
∑Yi = Jumlah Pengamatan Variabel Y
∑XYi = Jumlah hasil perkalian variable X dan Y
(∑Xi2) = Jumlah Kuadrat dari Pengamatan Variabel X
((∑Xi) 2 = Jumlah Kuadrat dari Jumlah Pengamatan Variabel Y
N = Jumlah Pasangan Pengamatan Y dan X
Suatu instrument penelitian dikatakan valid apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1. Bila r hitung > r table, maka dinyatakan valid
2. Bila r hitung < r table, maka dinyatakan tidak valid

b. Uji Reliabilitas
Menurut Indriantor & Supomo (2002) konsep reliabilitas dapat
dipahami melalui ide dasar konsep tersebut yaitu konsistensi.
Pengukuran realibilitas menggunakan indeks numerik yang disebut
koefisien. Konsep reliabilitas menurut pendekatan ini adalah konsistensi
diantara butir-butir pernyataan atau pernyataan dalam suatu instrument.
Untuk mengukur konsistensi internal, peneliti hanya memerlukan
pengujian dengan menggunakan Teknik statistic tertentu terhadap skor
jawaban responden yang dihasilkan dari penggunaan instrument yang
bersangkutan yaitu Cronbach’s alpha. Suatu instrument dapat dikatakan
andal (reliable) bila memiliki koefisien di atas 0,6 (Nunally dalam
Yarnest, 2004). Jadi Cronbach’s alpha > 0,6.
3. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Multikolineritas
Menurut Gozali (2001) uji multikolineritas bertujuan untuk
menguji apakah model regrasi ditemukan adanya korelasi antara
variable independent. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi
korelasi antar variable independen. Multikolineritas dapat dilihat dari
(1) Nilai Tolerance dan lawannya, (2) Variance Inflation Factor (VIF).
Apabila nilai tolerance lebih dari 0.10 dan VIF kurang dari 10 maka
terjadi multikolineritas.
b. Uji Heterokedastisitas
Ghozali (2001) untuk heterokedasitas bertujuan untuk menguji
apakah dakam model regresi terjadi kesamaan varians dari residual
suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari residual
satu kep engamatan yang lain tetap maka disebut homokedastisitas, jika
berbeda disebut heterokedasitas. Model yang baik adalah
homokedesitas atau tidak terjadi heterokedasitas. Utuk mendeteksi ada
atau tidaknya heterokedastisitas maka dengan melihat grafik plot antara
lain orediksi variabel terikat dengan residualnya. Dasar analisisnya
yaitu apabila tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas
fan dibawah angka 0 pada sumbu y maka terjadi heterokedastisitas.
4. Uji Hipotesis
Dalam pengolahan data penelitian ini menggunakan metode analisis
regresi berganda dengan menggunakan uji T dan uji F, dasar pengambilan
keputusan adalah apabila signifikan lebih kecil dari 0,05 maka Ha diterima,
sebaliknya jika signifikan lebih besar dari 0,05 maka Ha ditolak (santoso,
2000).
a. Regresi Berganda
b. Uji Statistik t
Uji t-statistik digunakan untuk mengetahui apakah variabel
independen sencara individual berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel dependen. Jika nilai t hitung kebih kecil dari t tabel
pada taraf signifikan 0,05 maka Ha ditolak. Sedangkan jika nilai t
hitung lebih besar dari tabel maka Ha diterima (Ghozali, 2005).
c. Uji Statistik Fisher (F)
Uji F dasarnya digunakan untuk melihat apakah variabel
independen secara simultan dapat memprediksi atau memiliki
pengaruh terhadap variabel dependen. Dengan syarat jika
probabilitas memenuhi syarat signifikan lebih kecil dari 0,05
atau dapat dilihat dari nilai F hitung lebih besar daripada nilai F
tabel pada signifikasi 5% (Ghozali, 2005).
E. Definisi Operasional Variabel
a. Pengalaman audit
Pengalaman adalah keseluruhan pelajaran yang dipetik oleh seseorang dari
peristiwa-peristiwa yang dialama dalam perjalanan hidupnya (Anoraga, 1995:47
dalam Widiyanto dan Yuhertian, 2005). Variabel pengalaman audit ini diukur
berdasarkan jangka waktu (tahun) berapa lama seorang auditor bekerja.
b. Komitmen Profesional
Variabel ini merupakan varibel independen yang dioperasionalkan dengan
tingkat identifikasi komitmen dan keterlibatan individu dalam profesi. Variabel ini
diukur dengan menggunakan 14 item pertanyaan yang diadopsi dari Widyastuti
(2011).
c. Orientasi Etika
Variabel ini menggunakan instrument yang diadopsi oleh Sasongko yaitu Ethics
Position Questionaire (EPQ) yang terdiri dari 18 item kuesioner. EPQ telah banyak
digunakan untuk mengukur idealism dan relativisme, yang merupakan dua faktor
dasar yang paling dari nilai individual. Sepuluh item kuesioner pertama tentang
konstruk idealism versus pragmatism dan delapan kueisoner berikutnya tentang
relativism versus absolutism.
d. Pengambilan keputusan etis
Pengambilan keputusan etis merupakan respon auditor dalam situasi dilemma
etika. Sejauh mana audior mau memenuhi tekanan klien dalam situasi konflik yaitu
situasi yang terjadi ketika auditor dan klien tidak sepakat dalam satu aspek fungsi
atestasi yang merupakan indikator perilaku auditor dalam pengamilan keputusan
etis. Variabel ini diukur dengan instrument yang diadaptasi dari Sims (1999) dan
disusun oleh peneliti sendiri. Penggunaan skenario dilemma etika telah banyak
digunakan dalam penelitian tentang pengambilan keputusan etis (Ford dan
Richardson, 1994; Louwers, Ponemon dan Radtke, 1997; Loe et al, 2000).
Penggunaan skenario ini akan membantu untuk menstandarisasikan stimulus sosial
dari responden dan oada saat bersamaan merupakan gambaran yang lebih nyata
dalam proses pengambilan keputusan etis.

Anda mungkin juga menyukai