Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

“FANA, BAQO, DAN ITTIHAD”

Ditujukan Untuk Memenuhi Syarat Salah Satu Tugas Mata Kuliah


“Ahlaq Tasawuf”
Dosen Pembimbing

DR. H.M. Imron Rosyadi, S.Ag, M.HI

Disusun Oleh:

1. Nurul Ilmi Khairinnisa’

2. Nopa Nopela
3. Nurul Aini

KELAS B SEMESTER III


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (S T A I)
TAHUN AJARAN
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tasawuf merupakan disiplin ilmu yang lebih banyak berbicara persoalan-persoalan
batin, kondisi-kondisi rohani dan hal-hal lain yang bersifat esoteris. Pengalaman-pengalaman
yang dibentuk melalui proses imprementasi ajaran sufi bersifat mistis dan hampir selalu
mengarah kedalam, yang sangat pribadi dan sulit dikomunikasikan kepada orang lain.
Karena kecenderungan mereka dalam mengungkapkan dunianya yang lebih mengarah
kepada hal-hal mistis, maka persan-pesan Al-Qur’an dan hadist oleh mereka tidak difahami
dari sudut makna lahiriah tekstualnya, tetapi dari sisi tafsir batiniah dan diungkapkan dalam
kata-kata kiasan dan pelambang seperti fana’, baqa’, dan Ittihad. Sehingga pada gilirannya
mengalami benturan pemahaman yang tidak jarang melahirkan cash sosial dan politik dengan
kelompok syar’I yang memang lebih banyak menekankan pemahaman keagamaan dari aspek
bentuk makna lahiriah tekstual nash.
Pada bab ini kita akan mengkaji al-fana, al-baqa, dan Al-Ittihad dari segi pengertian
dan hubungannya. Kemudian akan dilanjutkan dengan tingkatan-tingkatan Al-fana, serta Al-
fana, Al-baqa, dan Al-Ittihad dalam pandangan Al-Qur’an.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa pengertian dari Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad
b. Apa tujuan dari Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad dan kedudukanya
c. Siapa tokoh yang mengembangkan Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad
d. Bagaimana pandangan Al Quran terhadap Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad
C. TUJUAN
a. Mengetahui pengertian dari Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad
b. Mengetahui dari Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad dan kedudukanya
c. Menetahui Siapa tokoh yang mengembangkan Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad
d. Mengetahui pandangan Al Quran terhadap Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad
BAB 2
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN , TUJUAN DAN KEDUDUKAN AL-FANA, AL-BAQA DAN


ITTIHAD
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana (Kebersatuan Hamba-
Tuhan) artinya tidak tampaknya sesuatu, meninggal dan musnah.1[1]Dalam hubungan ini
Ibnu Sina ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda
yang bersifat alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar permulaannya,
bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya
benda alam itu dengan cara fana.2[2]
Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan
dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain,
fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula
berarti hilangnya sifat-sifat tercela.
Mustafa Zuhri juga mengatakan bahwa fana adalah lenyapnya inderawi dan
kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu.
Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam
rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam
makhluk. Selain itu fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.
Lebih jauh Abu Bakar al-Kalabadzi memaparkan pengertian al-fana yaitu hilangnya
semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia,
sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan tidak dapat membedakan sesuatu secara sadar,
dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu. Dia telah luruh dari
segala sesuatu, dan sepenuhnya terserap pada suatu yang menyebabkan dia luruh.
Selaras dengan yang dijelaskan al-Kalabadzi, al-Junayd juga menjelaskan bahwa yang
di sebut dengan al-fana dalam ilmu tasawuf yaitu hilangnya daya kesadaran qalbu (hati) dari
hal-hal yang di lihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang
terlihat itu dan berangsung terus silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan
oleh indera.3[3]
Sebagai akibat dari fana adalah baqa.Secara harfiah baqa berarti kekal, hidup
selamanya.Sedang menurut para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat
Tuhan dalam diri manusia, term tersebut biasanya digunakan dengan preposisi fana’an, yang
artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu. Sedangkan
baqa’ bi, berarti diisi dengan sesuatu.
Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.
Dalam istilah tasawuf , fana dan baqa datang beriringan, sebagaimana dinyatakan oleh ahli
tasawuf:
‫ادا اشرق نورالبقاء فيفنى من لم يكن ويبق من لم يزل‬
“Apabila tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal.”
Dalam pengalaman para sufi, fana selalu diiringi dengan baqa dimana keduanya ini
merupakan kembar yang tidak dapat dipisahkan.
Untuk mencapai tahap fana seorang sufi harus melalui berbagai tahap yaitu sebagai
berikut :
1. Kefanaan dari diri sendiri dan sifat-sifatnya, dan kekalan dalam sifat-sifat yang Maha
Benar.
2. Kefanaan dari sifat-sifat yang Maha Benar karena melihat yang Maha Benar.
3. Kefanaan dari penyaksian terhadap kefanaannya sendiri dalam mempergunakan terhadap
wujud yang Maha Benar.4[4]

Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa yang dinamakan fana adalah lenyapnya
sifat–sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri
manusia. Sedangkan baqa adalah kekekalan sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu
pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu
dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan
akhlak yang terpuji.5[5]
Selanjutnya fana yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri (al-fana ‘an al-
nafs), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut
al-Qusyairi, fana yang dimaksud adalah:
‫فناءه عن نفسه وعن الخلق بزوال احسا سه بنفسه وبهم فنفسه موجودة والخلق موجود ولكن العلم‬
‫له بهم والبه‬
Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya
kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan
demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.
Kalau seorang sufi telah mencapai al-fana al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tidak
ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaniahnya
dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara rohaniah. Menurut Harun Nasution,
kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fana al-nafs.
Tak ubahnya dengan fana yang terjadi ketika hilangnya kejahilan, maksiat dan kelakuan
buruk di atas. Dengan hancurnya hal-hal ini yang langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan,
takwa dan kelakuan baik.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa
ialah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang
disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.
Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak terjadi
terus-menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan. Fana merupakan keadaan di mana
seseorang hanya menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya, dan kelihatannya lebih
merupakan alat, jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan rohani dengan Tuhan).
Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin
atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad itu.
Hal yang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zuhri yang mengatakan bahwa fana dan
baqa tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran ittihad sebagai
salah satu metode tasawuf yang dikatakan oleh al-Baidawi, yang dilihat hanya satu wujud
sesungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud yang berpisah dari yang lain. Karena yang
dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran
peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan).6[6]
Ittihad dalam pengertian lain yaitu pengalaman batin akan kesatuan seorang sufi.
Seorang sufi akan mabuk dalam kenikmatan bersatu dengan Allah. Dalam keadaan seperti
ini tidak jarang muncul ucapan-ucapan yang sebagian orang dianggap aneh seperti kata-kata;
Ana Al-Haq=(Aku adalah Al-Haq), Aku adalah Yang Satu. Kata-kata ini terlontar hanya
seketika, karena merasa begitu menyatunya dengan Yang Haq yaitu Allah SWT.7[7]
Dalam situasi ittihad yang demikian itu, seorang sufi telah merasa dirinya bersatu
dengan Tuhan. Suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata: “Hai Aku”.
Dalam teks Arabnya kata-kata tersebut berbunyi:
‫فيقول الواحد لالخر يا انا‬
Maka yang satu dengan yang lainnya mengatakan “aku”
Dengan demikian jika seorang sufi mengatakan misalnya mahasuci aku, maka yang
dimaksud aku disitu bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya
dengan Tuhan, melalui fana dan baqa.
B. TOKOH YANG MENGEMBANGKAN FANA
1. Abu Yazid al-Bustami (w. 874 M/) adalah sufi yang pertama kali memperkenalkan
paham fana dan baqa. Nama kecilnya Thaifur.Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai
baqa maka dari mulut beliau keluar kata-kata yang ganjil. Diantara ucapan ganjil tersebut,
misalnya: “Tidak ada Tuhan, melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah
besarnya kuasaku.”
Selanjutnya Abu Yazid mengatakan,
‫الاله االانافعبدني‬
“Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku”
Kata-kata yang keluar dari mulut Abu Yazid bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-
kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan.8[8]
Dengan fana’, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan.Ke-
fana’annya itu didapatkan oleh Abu Yazid dengan latihan-latihan yang berat.9[9]
2. Al-Junayd al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junayd bin Muhammad al-Khazzaz al-
Nihawandi. Dia adalah putera seorang pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-
Saqti serta teman akrab Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297 H/910
M. Dia termasuk seorang tokoh sufi yang luar biasa, teguh dalam menjalankan sari’at agama,
sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih (pengajar atau
pemberi nasehat, saran atau pun ilmu), sering memberi fatwa sesuai mashab yang dianutnya,
mashab Abu Sauri: serta teman akrab Imam al-Shafi’i.
C. FANA, BAQA DAN ITTIHAD DALAM PANDANGAN AL-QURAN
Paham fana dan baqa yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh sufi
sejalan dengan konsep liqa’ al-rabbi menemui Tuhan. Fana dan baqa merupakan jalan
menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang artinya:
“Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada-Nya”. (QS. Al-Kahfi, 18:110)
Arti dari ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah SWT telah memberi peluang
kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah atau batiniah, dengan cara
beramal saleh, dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak
yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai manusia, meninggalkan dosa dan maksiat, dan
kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, dalam sebuah ayat berbunyi:
)27-26 : ‫كل من عليها فان ويبقى وجه ربك دوالجالل واالكرام(الرحمن‬
Semua yang ada di dunia ini akan binasa. Yang tetap kekal Dzat Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (QS.al-Rahman, 55:26-27).
BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dari uraian pada BAB di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
Fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan
perbuatan maksiat dari diri manusia. Dan baqa adalah kekalnya sifat-sifat keTuhanan akhlak
terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat.

Tujuan fana dan baqa yaitu mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan
Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.

Dalam pandangan Al-Qur’an al-Fana, al-Baqa, dan Ittihad adalah Allah SWT telah
memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah atau batiniah,
yang caranya antara lain dengan beramal saleh, dan beribadat semata-mata karena Allah
SWT menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai
manusia, meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat
Allah, yang kesemuanya ini mencakup dalam konsep fana dan baqa.

3.2 KRITIK dan SARAN


Demikianlah makalah ini disusun dengan segala usaha maksimal kami, besar harapan
kami dapat memenuhi tugas pada mata kuliah Akhlak Tasawuf. Namun kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Ansori, M. Afif. 2004. Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri, Yogyakarta

Fu’adi,Imam. 2004. Menuju Kehidupan Sufi. Jakarta Pusat: PT Bina Ilmu

Nata, Abuddin. 2008. AKHLAK TASAWUF. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm. 231

TEAM GURU BINA PAI MADRASAH ALIYAH CV AKIK PUSTAKA

http://KULIAHSEMESTER1-AKHLAKTASAWUF\Akhlaq-
Tasawuf\Lovina13rmakalahakhlaktasawuf-al fanaalbaqa.html

http://KULIAHSEMESTER1-
Akhlaq_Tasawuf\FANADANBAQA_GUDANGMAKALAH.html

http://khairajember.blogspot.com/2013/04/fana-dan-baqa-dan-ittihad.html
http://mohammadsyahidramdhani24.blogspot.com/2012/11/al-fana-al-baqa-ittihad-al-hulul-
dan.html
http://KULIAHSEMESTER1-
Akhlaq_Tasawuf\FANADANBAQA_GUDANGMAKALAH.html

Anda mungkin juga menyukai