PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks, tidak hanya dari segi medis (misalnya
penyakit atau kecacatan fisik), tetapi juga meluas sampai masalah sosual dan
ekonomi. Disamping itu, ada stigma negatif dari masyarakat yang
mengatakan penyakit kusta adalah penyakit yang menakutkan, bahkan ada
beberapa masyarakat yang menganggap penyakit ini adalah penyakit kutukan.
Ini karena dampak yang ditimbulkan dari penyakit tersebut cukup parah, yaitu
adanya deformitas / kecacatan yang menyebabkan perubahan bentuk tubuh.
1
lanjut. Oleh karena itu, tindakan promotif, pencegahan, pengobatan, sera
pemulihan kesehatan untuk penyakit kusta perlu diperhatikan dan
dilaksanakan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit Morbus Hansen ?
2. Apa penyebab atau etiologi dari Morbus Hansen ?
3. Apa saja gejala penyakit Morbus Hansen ?
4. Bagaimana patofisiologi dari penyakit Morbus Hansen?
5. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari penyakit Morbus Hansen?
6. Apa saja jenis cacat Morbus Hansen?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit Morbus Hansen?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada penyakit Morbus Hansen?
C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit Morbus Hansen
2. Mahasiswa mampu memahami penyebab dari penyakit Morbus
Hansen.
3. Mahasiswa mampu memahami gejala penyakit Morbus Hansen.
4. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi dari penyakit Morbus
Hansen.
5. Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan diagnostik dari penyakit
Morbus Hansen.
6. Mahasiswa mampu memahami apa saja jenis cacat Morbus Hansen.
7. Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan dari Morbus Hansen.
8. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pada penyakit
Morbus Hansen.
2
BAB II
PEMBAHASAN
B. Etiologi
Kuman penyebabnya adalah Mycobocterium Leprae yang
ditemukan oleh G. A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang
sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial. M.
3
Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3 – 8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan
alkohol, serta positif – gram.
Bakteri tersebut ditularkan melalui kontak kulit yang lama dan erat
dengan penderita. Anggapan lain menyebutkan bahwa penyakit ini juga
bisa ditularkan melalui inhalasi alias menghirup udara, karena
bakteri penyebab penyakit kusta dapat hidup beberapa hari dalam
bentuk droplet (butiran air) di udara.
C. Gejala Klinis
Gejala klinis dari penyakit kusta diantaranya :
a. Kelainan syaraf tepi
Kerusakan syaraf tepi bisa bersifat sensorik, motorik dan
autonomik. Sensorik biasanya berupa hipoestesi ataupun anestesi
pada lesi kulit yang terserang. Motorik berua kelemahan otot,
biasanya didaerah ekstremitas atas, bawah, muka dan otot mata.
Autonomik menyerang persyarafan kelenjar keringat sehingga lesi
terserang tampak lebih kering. Gejala lain adalah adanya
pembesaran syaraf tepi terutama yang dekat dengan permukaan
4
kulit antaralain : n. ulnaris, n. aubikulasi magnus, n. peroneus
komunis, n. tibialis posterior dan beberapa syaraf tepi lain.
b. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensinilitas. Lesi kulit
dapat tinggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-
kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga.lesi dapat bervariasi
tetapi umumnya berupa makula,papul atau nodula.
c. BTA Positif
Pada beberapa kasus ditemukan hadil basil tanah assam dari
kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai
kasus dicurigai dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai
ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.
D. Patofisiologi
5
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan
adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus
lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit.
Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut
dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa
ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et
al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam
di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya
sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di
penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa
organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya.
Saat ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi
gerbang dari masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses
mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem
imunnya. Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan
pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan. Banyak
ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute yang
paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun
demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.
6
bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini
dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah
terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-
endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari
kusta adalah 3-5 tahun.
E. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Klinis
1. Kulit
Dicari adanya gangguan sensibilitas terhadap suhu, nyeri dan rasa
raba pada lesi yang dicurigai :
b). N. Ulnaris
Posisi tangan dalam keadaan sendi siku fleksi, jabat tangan
penderita, raba epikondilus medialis humerus, dibelakang dan
atas sulkus ulanaris, urut kearah proksimal untuk membedakan
dengan tendon.
7
c). N. Peroneus komunis
Penderita duduk dalam keadaan lutut fleksi 900, raba kapitilum
fibulae kearah bagian atas dan belakang.
3. Infeksi
Penderita diminta memejamkan mata, menggerakkan mulut,
bersiul dan tertawa untuk mengetahui fungsi daraf wajah.
b. Pemeriksaan Bakteriologi
1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif
2. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan
asam yaitu Zieal Neelse atau kinyoon – Gabett.
3. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode
yaitu cara zig-zag, huruf z dan setengah atau seperempat
lingkaran.
c. Pemeriksaan Sesologi
1. Lepromin test : Untuk mengetahui imunitas seluler dan membantu
menentukan tipe kusta.
2. MLPA (Mycobacterium Lepra Particle Agglutination) : untuk
mengetahui imunitas humoral terhadap antigen yang berasal dari
M. Leprae.
3. PCR (Polimerase Chain Reaction) : Sangat sensitif
Dapat mendeteksi 1 – 10 kuman. Sediaan diambil biasanya pada
jaringan
8
d. Pemeriksaan Histopatologi
Sebagai pemeriksa penunjang untuk diagnosis dan menentukan tipe
kusta.
a. Cacat primer
b. Cacat sekunder
9
dapat menyebabkan bisul ulkus (luka terbuka di kulit alias borok) dan
keterbatasan gerak sendi. Hal ini terjadi sebagai akibat kerusakan
fungsional pada persendian dan jaringan lunak di sekitar area yang
terinfeksi.
10
c). Gangguan saraf otonom. Saraf otonom bertanggung jawab
atas kelenjar keringat dan minyak di dalam tubuh. Gangguan
pada bagian saraf ini mengakibatkan kekeringan dan keretakan
pada kulit akibat adanya kerusakan pada kelenjar minyak dan
aliran darah.
G. Penatalaksaan
Diberikan berdasarkan segimen MDT (Multi Drug Theraphy)
a. Pausibasiler
1. Rifampisin 600 mg / bulan, diminum didepan petugas (dosis
supervisi)
2. DDS (Distil Diamino Sulfat) 100 mg / hari
Pengobatan diberikan secara teratur selama 6 bulan dan
diselesaikan dalam waktu maksimal 9 bulan. Setelah selesai
minum 6 dosis dinyatakan RFT (Relaie From Treatment)
b. Muti basiler
1. Rifampisin 600 mg / bulan, dosis pervisi
2. DDS 100 mg / hari
Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis / bulan
dan diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai
12 dosis dinyatakan RFT, meskipun secara klinis lesinya masih
aktif dan BTA positif.
H. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada Px kusta
baik akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu
terjadi reaksi kusta.
11
I. Asuhan Keperawatan Morbus Hansen
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses
keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi, atau
data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenai masalah
kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial
dan lingkungan. (nasrul Effendi, 1995)
a. Pengumpulan Data
1. Identitas klien
Penyakit kusta (MH) dapat menyerang semua umur, anak-
anak lebih rentan dari pada orang dewasa frekuensi tertinggi
pada kelompok dewasa (umur 25 – 35 tahun), sedangkan
pada kelompok anak umur 10 – 12 tahun, dan biasanya pada
keluarga yang sosial ekonomi rendah dan berpendidikan
rendah.
2. Keluhan utama
Biasanya Kx dengan penyakit kusta mengeluh ada bercak-
bercah merah pada kulit di tangan, kaki, atau diseluruh
badan dan wajah kadang disertai dengan tangan (jari-jari)
dan kaki kaku dan bengkak kadang-kadang disertai nyeri
atau mati rasa, kadang juga disertai suhu tubuh meningkat.
12
4. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya pada Kx kusta sudah menjalankan pengobatan
tetapi berhenti dengan sendirinya maka dari banyak
penderita kusta yang mengalami pengobatan ulang.
6. Pola-pola kesehatan
a). Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Penderita pada umumnya personal hygienenya kurang
dengan tata laksana hidup yang tidak sehat karena
keadaan ekonomi yag sosial rendah. Kadang-kadang Kx
yang menjalankan pengobatan yang tidak teratur maka
penderita akan kambuh lagi.
13
e). Pola aktivitas dan latihan
Pada umumnya Kx dengan kusta megalamiperubaha
pada pola altivitas dan latihan karena Kx mengalami
kaku dan bengkak pada kaki dan tangannya. Kadang-
kadang ada Kx sampai terjadi ulks dan metilasi.
14
k). Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada umumnya terjadi distress spiritual pada penderita
namun kadang-kadang ada penderita yang lebih takun
dalam beribadah setelah mendapatkan penyakit kusta.
7. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan integumen
Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas, lesi
kulit dapat tinggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi
tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna
tembaga, lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa
makula, papul atau nodul.
15
b. Pemeriksaan bakteriologi
BTA positif
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses
penyebaran penyakit.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot, kaku.
3. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
penyakit yang dideritanya.
4. Resti infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh yang lemah.
5. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi.
6. Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan pada
tubuh atau perasaan merasa ditinggalkan.
16
2. Kaji kulit tiap hari dan warnanya turgor sirkulasi dan
sensori
R/ Menentukan garis dasar bila ada terdapat perubahan dan
dapat melakukan intervensi yang tepat.
Nadi 60 – 100 x / m
17
2. Beri kompres basah pada ketiak dan lipatan paha
R/ Pemindahan panas secara konduksi.
D. Implementasi
E. Evaluasi
langkah terakhir dalam proses keperawatan yaitu kegiatan yang
disengaja dan terus menerus melibatkan Kx, perawat dan anggota
kesehatan lain. Tujuan evaluasi yaitu untuk menilai apakah tujuan
dalam rencana tindakan keperawatan tercapai atau tidak atau bahkan
timbul masalah baru serta untuk melaksanakan pengkajian ulang.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media
Aeuscualpius, Jakarta.
Juall, Lynda,1999 Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi
Keperawatan Edisi II, EGC. Jakarta,Departemen Kesehatan RI Dirjen
P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta,
Jakarta.
Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection, Blackwell
Science, Australia
Adhi, N. Dkk, 1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI,
Jakarta
https://studylibid.com/doc/455499/asuhan-keperawatan-morbus-hansen---
karya-tulis-ilmiah
http://www.depkes.go.id/article/view/14120200001/morbus-hansen.html
https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/dermatologi/lepra-kusta-adalah-
infeksi-kulit/
https://www.honestdocs.id/kusta
https://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_Hansen#Patofisiologi
20
21