Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks, tidak hanya dari segi medis (misalnya
penyakit atau kecacatan fisik), tetapi juga meluas sampai masalah sosual dan
ekonomi. Disamping itu, ada stigma negatif dari masyarakat yang
mengatakan penyakit kusta adalah penyakit yang menakutkan, bahkan ada
beberapa masyarakat yang menganggap penyakit ini adalah penyakit kutukan.
Ini karena dampak yang ditimbulkan dari penyakit tersebut cukup parah, yaitu
adanya deformitas / kecacatan yang menyebabkan perubahan bentuk tubuh.

Kusta (Lepra atau morbus hansen) adalah penyakit kronis yang


disebabkan oleh infeksi mycobacterium leprae (Kapita Selekta Kedokteran
UI, 2000). Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan
disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae ) yang menyerang saraf
tep, kulit, dan jaringan tubuh lainnya (Departemen Kesehatan, Dit.Jen PPM &
PL, 2002).

Angka kejadian penyakit kusta cukup tinggi dan menyerang beberapa


negara. Pada tahun 2000, WHO menyatakan 91 negara merupakan endemik
penyakit kusta. Di Indonesia, penderitas kusta terdapat hampir di seluruh
daerah dengan penyebaran yang tidak merata. Angka kejadian penyakit kusa
tertinggi ada di wilayah Indonesia bagian timur. Mayoritas penderita (90%)
tinggal di antara keluarga mereka dan hanya beberapa pasien saja yang
tinggal di rumah sakit kusta, koloni penampungan, atau perkampungan kusta
(Departemen Kesehatan, Dit.Jen PPM & PL, 2002).

Tenaga kesehatan, khususnya keperawatan, harus dapat membantu


menyelesaikan masalah yang ditimbulkan peyakit ini agar klien yang
mnederita penyakit kusta dapat sembuh dan terhindar dari kecacatan lebih

1
lanjut. Oleh karena itu, tindakan promotif, pencegahan, pengobatan, sera
pemulihan kesehatan untuk penyakit kusta perlu diperhatikan dan
dilaksanakan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit Morbus Hansen ?
2. Apa penyebab atau etiologi dari Morbus Hansen ?
3. Apa saja gejala penyakit Morbus Hansen ?
4. Bagaimana patofisiologi dari penyakit Morbus Hansen?
5. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari penyakit Morbus Hansen?
6. Apa saja jenis cacat Morbus Hansen?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit Morbus Hansen?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada penyakit Morbus Hansen?

C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit Morbus Hansen
2. Mahasiswa mampu memahami penyebab dari penyakit Morbus
Hansen.
3. Mahasiswa mampu memahami gejala penyakit Morbus Hansen.
4. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi dari penyakit Morbus
Hansen.
5. Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan diagnostik dari penyakit
Morbus Hansen.
6. Mahasiswa mampu memahami apa saja jenis cacat Morbus Hansen.
7. Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan dari Morbus Hansen.
8. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pada penyakit
Morbus Hansen.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Morbus Hansen

Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang disebabkan infeksi


Mycobocterium Leprae. (M. Leprae). (Arief Mansjor, 1999)
Morbus Hansen (kusta, lepra) adalah penyakit infeksi yang kronik,
penyebabnya adalah Mycobocterium Leprae yang intraselular obligat.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mokusa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan
saraf pusat.

Penyakit infeksi kronis yang sebelumnya diketahui hanya


disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga ditemukan bakteri
Mycobacterium lepromatosis yang menyebabkan endemik sejenis kusta di
Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih khusus dengan sebutan diffuse
lepromatous leprosy. Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae ditemukan
oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer
Hansen pada tahun 1873 sebagai patogen yang menyebabkan penyakit
yang telah lama dikenal sebagai lepra. ( DEPKES )
Kusta adalah penyakit infeksi yang tidak hanya menyerang kulit
tetapi juga jaringan saraf terutama pada lengan dan kaki. Penyakit
kusta telah ada sejak zaman kuno, penyakit yang memiliki nama
lain penyakit lepra ini begitu menakutkan dan memiliki stigma negatif di
kalangan masyarakat pada masa itu.

B. Etiologi
Kuman penyebabnya adalah Mycobocterium Leprae yang
ditemukan oleh G. A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang
sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial. M.

3
Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3 – 8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan
alkohol, serta positif – gram.
Bakteri tersebut ditularkan melalui kontak kulit yang lama dan erat
dengan penderita. Anggapan lain menyebutkan bahwa penyakit ini juga
bisa ditularkan melalui inhalasi alias menghirup udara, karena
bakteri penyebab penyakit kusta dapat hidup beberapa hari dalam
bentuk droplet (butiran air) di udara.

Bakteri penyebab penyakit kusta juga bisa ditularkan melalui


kontak langsung dengan binatang tertentu seperti armadilo. Penyakit ini
memerlukan waktu inkubasi yang cukup lama, antara 40 hari sampai 40
tahun, rata-rata membutuhkan 3-5 tahun setelah tertular sampai timbulnya
gejala.

Sekitar 95 persen orang kebal terhadap bakteri penyebab penyakit


kusta, dan hanya sekitar 5 persen yang dapat tertular bakteri tersebut. Dari
5 persen orang yang tertular bakteri penyebab penyakit kusta, sekitar 70
persennya sembuh sendiri, dan hanya 30 persen yang sakit kusta. Artinya,
dari 100 orang yang terinfeksi bakteri ini, hanya 2 orang yang akan jatuh
sakit.

C. Gejala Klinis
Gejala klinis dari penyakit kusta diantaranya :
a. Kelainan syaraf tepi
Kerusakan syaraf tepi bisa bersifat sensorik, motorik dan
autonomik. Sensorik biasanya berupa hipoestesi ataupun anestesi
pada lesi kulit yang terserang. Motorik berua kelemahan otot,
biasanya didaerah ekstremitas atas, bawah, muka dan otot mata.
Autonomik menyerang persyarafan kelenjar keringat sehingga lesi
terserang tampak lebih kering. Gejala lain adalah adanya
pembesaran syaraf tepi terutama yang dekat dengan permukaan

4
kulit antaralain : n. ulnaris, n. aubikulasi magnus, n. peroneus
komunis, n. tibialis posterior dan beberapa syaraf tepi lain.

b. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensinilitas. Lesi kulit
dapat tinggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-
kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga.lesi dapat bervariasi
tetapi umumnya berupa makula,papul atau nodula.
c. BTA Positif
Pada beberapa kasus ditemukan hadil basil tanah assam dari
kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai
kasus dicurigai dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai
ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.

D. Patofisiologi

Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa


hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan
dari udara. Selain manusia, hewan yang dapat tekena kusta
adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting. Terdapat bukti
bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita
kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui
penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga
tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang
berbeda pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga
merupakan faktor penyebab.

Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh


kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam
penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra
lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun
di Cebu, Philipina hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.

5
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan
adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus
lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit.
Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut
dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa
ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et
al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam
di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya
sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di
penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa
organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.

Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer


pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta
lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri.
Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa
memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees
mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat
memproduksi 10.000.000 organisme per hari.

Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya.
Saat ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi
gerbang dari masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses
mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem
imunnya. Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan
pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan. Banyak
ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute yang
paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun
demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.

Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa


peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum
dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada

6
bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini
dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah
terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-
endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari
kusta adalah 3-5 tahun.

E. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Klinis
1. Kulit
Dicari adanya gangguan sensibilitas terhadap suhu, nyeri dan rasa
raba pada lesi yang dicurigai :

a). Pemeriksaan sensibilitas suhu (terpenting) dilakukan dengan


cara tes panas dingin.
b). Terhadap rasa nyeri digunakan jarum pentul.
c). Terhadap rasa raba digunakan kapas.
d). Gangguan autonomik terhadap kelenjar keringat dilakukan
guratan tes (lesi digores dengan tinta) penderita exercire, bila
tinta masih jelas berarti tes (+) (Gunawan test).
2. Syaraf tepi
Dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan syaraf tepi yang berjalan
didekat permukaan kulit. Cara pemeriksaan :

a). N. Aurikularis magnos


Kepala menoleh kearah yang berlawanan, maka teraba syaraf
menyilang.

b). N. Ulnaris
Posisi tangan dalam keadaan sendi siku fleksi, jabat tangan
penderita, raba epikondilus medialis humerus, dibelakang dan
atas sulkus ulanaris, urut kearah proksimal untuk membedakan
dengan tendon.

7
c). N. Peroneus komunis
Penderita duduk dalam keadaan lutut fleksi 900, raba kapitilum
fibulae kearah bagian atas dan belakang.

d). N. Tibialis posterior


Raba maleolus medialir kaki, raba bagian posterior dan urutkan
ke bawah kearah tumit.

Pemeriksaan harus dibandingkan kiri dan kanan dalam hal size


(besar), shape (bentuk), texture (seratnya) dan tenderness
(lunaknya).

3. Infeksi
Penderita diminta memejamkan mata, menggerakkan mulut,
bersiul dan tertawa untuk mengetahui fungsi daraf wajah.

b. Pemeriksaan Bakteriologi
1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif
2. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan
asam yaitu Zieal Neelse atau kinyoon – Gabett.
3. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode
yaitu cara zig-zag, huruf z dan setengah atau seperempat
lingkaran.

c. Pemeriksaan Sesologi
1. Lepromin test : Untuk mengetahui imunitas seluler dan membantu
menentukan tipe kusta.
2. MLPA (Mycobacterium Lepra Particle Agglutination) : untuk
mengetahui imunitas humoral terhadap antigen yang berasal dari
M. Leprae.
3. PCR (Polimerase Chain Reaction) : Sangat sensitif
Dapat mendeteksi 1 – 10 kuman. Sediaan diambil biasanya pada
jaringan

8
d. Pemeriksaan Histopatologi
Sebagai pemeriksa penunjang untuk diagnosis dan menentukan tipe
kusta.

F. Jenis Cacat Kusta

Berdasarkan Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit


Kusta yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Nasional, cacat
akibat penyakit ini terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Cacat primer

Cacat primer adalah jenis cacat yang disebabkan langsung oleh


infeksi bakteri M. leprae dalam tubuh. Cacat jenis ini menyebabkan
penderitanya mengalami mata rasa, kulit kering dan bersisik
serta claw hand alias tangan dan jari-jari membengkok.

Pada cacat primer, kemunculan bercak kulit yang mirip panu


biasanya terjadi secara cepat dalam waktu yang relatif singkat. Bercak
ini lama-lama menjadi meradang, membengkak, dan disertai dengan
gejala demam. Selain itu, bisul yang muncul sebagai salah satu tanda
dari gejala lepra bisa pecah dan berkembang menjadi
borok. Kelemahan otot dan sensasi kulit mati rasa (kebas/ baal)
biasanya terjadi dalam kurun waktu enam bulan terakhir semenjak
paparan infeksi awal.

Bila Anda mengalami gejala-gejala di atas, segera periksa ke


dokter untuk mendapatkan perawatan terbaik.

b. Cacat sekunder

Cacat sekunder adalah perkembangan dari cacat primer,


terutama yang diakibatkan oleh kerusakan saraf. Kerusakan saraf ini

9
dapat menyebabkan bisul ulkus (luka terbuka di kulit alias borok) dan
keterbatasan gerak sendi. Hal ini terjadi sebagai akibat kerusakan
fungsional pada persendian dan jaringan lunak di sekitar area yang
terinfeksi.

Kecacatan pada tahap ini terjadi melalui dua proses, yaitu:

1. Adanya aliran langsung bakteri M.leprae ke susunan saraf tepi dan


organ tertentu
2. Melalui reaksi lepra

Jika bakteri sudah masuk ke dalam saraf, maka fungsi saraf


lambat laun akan berkurang bahkan hilang. Secara umum, saraf
berfungsi sebagai sensorik, motorik, dan otonom. Kelainan yang
terjadi akibat infeksi kulit satu ini bisa menimbulkan gangguan
pada masing-masing saraf atau kombinasi di antara ketiganya.
Berikut beberapa gangguan atau kelainan pada masing-masing
saraf akibat penyakit lepra:

a). Gangguan saraf motorik. Saraf motorik berfungsi memberikan


kekuatan pada otot. Gangguan atau kelainan pada saraf
motorik bisa berupa kelumpuhan pada tangan dan kaki, jari-
jari tangan maupun kaki membengkok, serta mata tidak bisa
berkedip. Jika infeksi terjadi pada bagian mata, maka penderita
bisa mengalami kebutaan.

b). Gangguan saraf sensorik. Saraf fungsi sensorik bertugas


untuk memberi sensasi dalam meraba, merasakan nyeri, dan
merasakan suhu. Gangguan pada saraf sensorik dapat
mengakibatkan tangan dan kaki mati rasa serta refleks kedip
berkurang.

10
c). Gangguan saraf otonom. Saraf otonom bertanggung jawab
atas kelenjar keringat dan minyak di dalam tubuh. Gangguan
pada bagian saraf ini mengakibatkan kekeringan dan keretakan
pada kulit akibat adanya kerusakan pada kelenjar minyak dan
aliran darah.

G. Penatalaksaan
Diberikan berdasarkan segimen MDT (Multi Drug Theraphy)

a. Pausibasiler
1. Rifampisin 600 mg / bulan, diminum didepan petugas (dosis
supervisi)
2. DDS (Distil Diamino Sulfat) 100 mg / hari
Pengobatan diberikan secara teratur selama 6 bulan dan
diselesaikan dalam waktu maksimal 9 bulan. Setelah selesai
minum 6 dosis dinyatakan RFT (Relaie From Treatment)

b. Muti basiler
1. Rifampisin 600 mg / bulan, dosis pervisi
2. DDS 100 mg / hari
Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis / bulan
dan diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai
12 dosis dinyatakan RFT, meskipun secara klinis lesinya masih
aktif dan BTA positif.

H. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada Px kusta
baik akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu
terjadi reaksi kusta.

11
I. Asuhan Keperawatan Morbus Hansen

A. Pengkajian
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses
keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi, atau
data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenai masalah
kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial
dan lingkungan. (nasrul Effendi, 1995)

a. Pengumpulan Data
1. Identitas klien
Penyakit kusta (MH) dapat menyerang semua umur, anak-
anak lebih rentan dari pada orang dewasa frekuensi tertinggi
pada kelompok dewasa (umur 25 – 35 tahun), sedangkan
pada kelompok anak umur 10 – 12 tahun, dan biasanya pada
keluarga yang sosial ekonomi rendah dan berpendidikan
rendah.

2. Keluhan utama
Biasanya Kx dengan penyakit kusta mengeluh ada bercak-
bercah merah pada kulit di tangan, kaki, atau diseluruh
badan dan wajah kadang disertai dengan tangan (jari-jari)
dan kaki kaku dan bengkak kadang-kadang disertai nyeri
atau mati rasa, kadang juga disertai suhu tubuh meningkat.

3. Riwayat penyakit sekarang


Adanya keluhan kaku pada jari-jari tangan dan kaki, nyeri
pada pergelangantangan, tangan dan kaki bengkak disertai
dengan suhu tubuh meningkat. Ada juga Kx kusta dengan
ulkus yang sudah membesar dan dalam baru. Biasanya klien
dengan penyakit kusta tidak dapat mengeluarkan keringat
dan mati rasa.

12
4. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya pada Kx kusta sudah menjalankan pengobatan
tetapi berhenti dengan sendirinya maka dari banyak
penderita kusta yang mengalami pengobatan ulang.

5. Riwayat penyakit keluarga


Kusta merupakan penyakit menular maka dari itu
kemungkinan ada anggota keluarga yang mengalami
penyakit yang sama dengan penderita.

6. Pola-pola kesehatan
a). Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Penderita pada umumnya personal hygienenya kurang
dengan tata laksana hidup yang tidak sehat karena
keadaan ekonomi yag sosial rendah. Kadang-kadang Kx
yang menjalankan pengobatan yang tidak teratur maka
penderita akan kambuh lagi.

b). Pola nutirsi dan metabolisme


Pada umumnya Kx dengan kusta (MH) tidak mengalami
gangguan kebutuhan nutrisi dan metabolisme.

c). Pola eliminasi


Pada pola ini biasanya tidak terjadi perubahan karena
biasanya Kx dapat Eliminasi Alvi dan urin secara normal
seperti sehari-harinya.

d). Pola istirahat dan tidur


Kx dengan kusta (MH) biasanya tidak mengalami
gangguandalam instirahat dan tidur namun kadang-
kadang ada rasa nyeri dan kaku pada jari-jari tangan dan
kaki, kadang-kadang Kxapabila pada waktu sore atau
malam hari Kx panas sampai menggigil dan istarahat dan
tidurnya jadi terganggu.

13
e). Pola aktivitas dan latihan
Pada umumnya Kx dengan kusta megalamiperubaha
pada pola altivitas dan latihan karena Kx mengalami
kaku dan bengkak pada kaki dan tangannya. Kadang-
kadang ada Kx sampai terjadi ulks dan metilasi.

f). Pola persepsi diri


Adanya kecemasan, menyangkal, perasaan tidak berdaya
dan tidak punya harapan sehingga terjadi perubahan
mekanisme dap perubahan dini yang terpenting.

g). Pola persepsi dan pengetahuan


Biasanya Kx dengan kusta dengan pendidikan yang
rendah jadi terjadi kurang pengetahuan tentang penyakit
yang diderita oleh Kx, Kx tidak tahu tentang cara hidup
dan pengetahuan perawatan dini.

h). Pola penanggulangan stress


Adanya ketidakefektifan dalam mengatasi masalah
individu dan keluarga. Biasanya Kx dengan kusta tingkat
stersnya tinggi (cemas).

i). Pol areproduksi sexual


Pada umumnya Kx terjadi penurunan disfungsi sexual
atau kadang-kadang tidak terjadi gangguan pada pola
lain.

j). Pola hubungan dan peran


Terjadi gangguan yang sagat menganggu hubungan
interpersonal karena kusta (MH) di kenal sebagai
penyakit yang menular atau ada juga yang menyebut
dengan penyakit kutukan.

14
k). Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada umumnya terjadi distress spiritual pada penderita
namun kadang-kadang ada penderita yang lebih takun
dalam beribadah setelah mendapatkan penyakit kusta.

7. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan integumen
Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas, lesi
kulit dapat tinggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi
tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna
tembaga, lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa
makula, papul atau nodul.

Dicari adanya gangguan sensibilitas terhadap suhu, nyeri dan


rasa raba pada lesi yang dicurigai :

1. Pemeriksaan sensibilitas suhu (terpenting) dilakukan


dengan cara tes panas dingin
2. Pemeriksaan terhadap nyeri digunakan jarum pentul
3. Terhadap rasa raba digunakan kapas
4. Gangguan autonomik pada kelenjar keringat dilakukan
guratan tes (lesi digores dengan tinta) penderita exercise,
bila tinta masih jelas berarti tes (+) (Gunawan test).
Pada pemeriksaan inspeksi dilihat kulit yang keriput,
penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh, terjadi mati
rasa pada Kx, kadang-kadang terjadi ulkus dan biasanya Kx
datang sudah terjadi mutilasi tetapi ada juga yang belum
terjadi mutilasi.

Dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan syaraf tepi yang


berjalan didekat permukaan kulit didapat (biasanya) terjadi
gangguan pada N. Ausikularis Magnus, N. Ulnaris, N.
Pareneus lateralis hamunis dan N. Tibialis posterior.

15
b. Pemeriksaan bakteriologi
BTA positif

c. Pemeriksaan tanda-tanda vital


Pada pemeriksaan tanda-tanda vital terjadi peningkatan suhu
tubuh.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses
penyebaran penyakit.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot, kaku.
3. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
penyakit yang dideritanya.
4. Resti infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh yang lemah.
5. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi.
6. Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan pada
tubuh atau perasaan merasa ditinggalkan.

C. Intervensi dan Rasional


a. Diagnosa : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
proses penyebaran, ulkus akibat M. Leprae.
Tujuan : Menunjukkan tingkah laku atau tehnik mencegah
kerusakan kulit atau menigkatkan penyembuhan.

Kriteria Hasil : Mencapai kesembuhan luka


Menunjukkan penyembuhan pada lesi
Tidak terjadi komplikasi dan proses penyebaran
tidak terlalu banyak
Intervensi dan Rasional :

1. Gunakan tehnik aseptik dalam perawatan luka


R/ Mencegah luka dari perlukaan mekanis dan
kontaminasi.

16
2. Kaji kulit tiap hari dan warnanya turgor sirkulasi dan
sensori
R/ Menentukan garis dasar bila ada terdapat perubahan dan
dapat melakukan intervensi yang tepat.

3. Instruksikan untuk melaksanakan hygiene kulit dan


melakukan masase dengan lotion / krim R/
Mempertahankan kebersihan kulit dan menurunkan resiko
trauma dermal kulit yang kering dan rapuh massase.
Meningkatkan sirkulasi kulit dan meningkatkan
kenyamanan.
4. Tingkatkan masukan protein dan karbohidrat R/
Mempertahankan keseimbangan nitrogen positif.
5. Pertahankan sprei bersih atau ganti sprei dengan kebutuhan
kering dan tidak berkerut R/ Freksi kulit disebabkan oleh
kain yang berkerut dan basah yang menyebabkan iritasi dan
potensial terhadap infeksi.
6. Kolaborasi dengan tim medis lainnya
R/ Melaksanakan fungsi interdependent.

b. Diagnosa : Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses


infeksi dari M. leprae.
Tujuan : 2 x 24 jam suhu tubuh kembali normal.

Kriteria Hasil : Suhu 36,5 – 37,5 oC

Nadi 60 – 100 x / m

Palpasi kulit hangat


Mukosa bibir lembab

Intervensi dan Rasional :

1. Jelaskan pada Kx tentang sebab dan akibat terjadinya panas


R/ Kx mengerti dan dapat kooperatif.

17
2. Beri kompres basah pada ketiak dan lipatan paha
R/ Pemindahan panas secara konduksi.

3. Beri pakaian yang tipis dan menyerap keringat


R/ Pemindahan panas secara ovaporasi.

4. Lakukan observasi tanda-tanda vital tiap 6 jam (suhu, nadi,


respivasi, mukosa bibir dan akral) R/ Deteksi dini adanya
perubahan.
5. Jaga sirkulasi ruangan
R/ Pemindahan panas secara radiasi.

6. Lakukan kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian


antipiuretik R/ Antipiuretik dapat menurunkan panas.

D. Implementasi

Pada tahap ini pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan


yang telah disusun pada tahap perawatan yang telah ditentukan
dengan tujuan untuk memenuhi secara optimal.

E. Evaluasi
langkah terakhir dalam proses keperawatan yaitu kegiatan yang
disengaja dan terus menerus melibatkan Kx, perawat dan anggota
kesehatan lain. Tujuan evaluasi yaitu untuk menilai apakah tujuan
dalam rencana tindakan keperawatan tercapai atau tidak atau bahkan
timbul masalah baru serta untuk melaksanakan pengkajian ulang.

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Penyakit Morbus Hansen / kusta merupakan salah satu penyakit menular


yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks, penyakit ini disebabkan oleh
infeksi Mycobocterium Leprae. Bakteri tersebut ditularkan melalui kontak kulit
yang lama dan erat dengan penderita. Di Indonesia, penderitas kusta terdapat
hampir di seluruh daerah dengan penyebaran yang tidak merata. Angka kejadian
penyakit kusta tertinggi ada di wilayah Indonesia bagian timur. Mayoritas
penderita (90%) tinggal di antara keluarga mereka dan hanya beberapa pasien saja
yang tinggal di rumah sakit kusta, koloni penampungan, atau perkampungan
kusta. Gejala klinis dari penyakit kusta diantaranya adalah kelainan syaraf tepi,
Adanya lesi kulit yang khas, kehilangan sensinilitas, dan BTA Positif`.
Jenis cacat kusta terdiri atas dua yaitu cacat primer dan cacat sekunder.
Penatalaksaan untuk pengobatan penyakit kusta diberikan berdasarkan segimen
MDT (Multi Drug Theraphy) yang terdiri atas Pausibasiler dan Mutibasiler.
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien kusta yang perlu
dilakukan adalah melakukan pengkajian, pemeriksaan fisik, menentukan diagnosa
keperawatan, kemudian memberikan tindakan perawatan yang komprehensif.

B. Saran

Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya pemerintah


mengadakan suatu program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan
sebagai penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta
memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular
kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Hendaknya masyarakat
yang tinggal didaerah yang endemi akan kusta diberikan penyuluhan tentang, cara
menghindari, mencegah, dan mengetahui gejala dini pada kusta untuk
mempermudah pengobatanya. Perlu diadakan juga penelitian tentang
penanggulangan penyakit kusta yang efektif.

19
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media
Aeuscualpius, Jakarta.
Juall, Lynda,1999 Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi
Keperawatan Edisi II, EGC. Jakarta,Departemen Kesehatan RI Dirjen
P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta,
Jakarta.
Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection, Blackwell
Science, Australia
Adhi, N. Dkk, 1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI,
Jakarta
https://studylibid.com/doc/455499/asuhan-keperawatan-morbus-hansen---
karya-tulis-ilmiah
http://www.depkes.go.id/article/view/14120200001/morbus-hansen.html
https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/dermatologi/lepra-kusta-adalah-
infeksi-kulit/
https://www.honestdocs.id/kusta
https://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_Hansen#Patofisiologi

20
21

Anda mungkin juga menyukai