Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

PROSES PEMBUSUKAN PADA


MANUSIA

Pembimbing :

dr. Tutik Purwanti Sp.F

Disusun Oleh :

Iga Karisma Kurniawan 201810401011021

Kartika Puji Rahayu. 201810401011031

Shabrina Rahma Santoso 201810401011035

Achmad Fauzan Ailani 201810401011036

Azkia Akbari Humaira 201810401011059

Lisa Aprilia Hadiyanti 201810401011063

Faradila Isnaini 201810401011072

SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


RS BHAYANGKARA KEDIRI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO) kematian merupakan

hilangnya tanda kehidupan secara permanen yang terjadi setiap saat setelah

kelahiran hidup. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun

2009 Tentang Kesehatan, Pasal 117 menyatakan : “Seseorang dinyatakan mati

apabila fungsi system jantung, sirkulasi, dan system pernafasan terbukti telah

berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan

(Depdagri, 2009).

Kematian menurut ilmu kedokteran terbagi menjadi dua dimensi yaitu

kematian sebagai individu dan sebagai kumpulan dari berbagai macam sel. Oleh

sebab itu kematian manusia dapat dilihat dari kedua dimensi tadi, dengan catatan

bahwa kematian sel (cellular death) akibat ketiadaan oksigen baru akan terjadi

setelah kematian manusia sebagai individu (somatic death). Setelah terjadinya

kematian akan segera tampak perubahan-perubahan yang segera terlihat segera

setelah mati. Beberapa saat setelahnya akan terjadi proses dekomposisi pada mayat,

dimana proses ini terjadi kurang lebih 24 jam pada daerah tropis setelah kematian

dan menjadi salah satu proses penting yang terjadi setelah manusia ditetapkan mati

(Dahlan, 2000).

Dekomposisi adalah proses alami yang terjadi pada setiap organisme yang

telah mati. Awalnya, degradasi mungkin tidak terlihat dengan mata telanjang saat

proses dimulai di tingkat seluler. Perlahan perubahan akan berlanjut ke


makroskopis dan membentuk perubahan post mortem. Pada akhirnya, seluruh

proses dekomposisi memungkinkan daur ulang aliran energi dan nutrisi ke dalam

ekosistem di sekitarnya (Teo Chee Hau et al, 2014).

Pemahaman tentang perubahan post mortem sangat penting untuk estimasi

interval post mortem. Secara umum, semakin lama waktu kematian

terjadi, estimasi kematian menjadi kurang akurat. Setelah mayat telah mencapai

tahap sisa-sisa kering, estimasi kematian bisa jadi sulit karena pengaruh berbagai

faktor lingkungan.). Estimasi kematian sangat penting dalam investigasi kejahatan,

rekonstruksi peristiwa dan penyelesaian kasus karena waktu kematian yang akurat

dapat membantu ruang siding dalam menerima atau menolak pernyataan dan alibi

tersangka dan saksi. Ada banyak cara dalam menentukan estimasi kematian untuk

korban (Teo Chee Hau et al, 2014).

Pada saat mengalami penguraian sebagian besar jaringan membutuhkan

waktu dan durasi, sebagian besar tergantung pada faktor intrinsik dan

ekstrinsik. Faktor intrinsic termasuk umur dan ukuran fisik mayat, kondisi medis

ante mortem dan adanya trauma. Ekstrinsik faktor di sisi lain, termasuk variasi di

sekitarnya suhu, cuaca, penguburan, pakaian, keberadaan arthropoda dan organism

pemakan bangkai. Kemajuan dekomposisi dapat diukur atau diukur dengan

serangkaian metode. Ini termasuk carcass mass loss, karbon dioksida, ninhidrin-

reaktif nitrogen, biomassa mikroba karbon. Metode-metode ini dalam

mengevaluasi kemajuan dekomposisi sangat penting untuk mengindikasikan sejauh

mana degradasi jaringan (Teo Chee Hau et al, 2014).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

Bagaimana mekanisme dekomposisi pada manusia?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui tentang proses dekomposisi pada manusia

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui definisi dekomposisi pada manusia

2. Mengetahui mekanisme dekomposisi pada manusia

3. Mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi pada manusia

4. Mengetahui proses dekomposisi pada berbagai media (tanah, air, udara)

5. Mengetahui cara menghabat proses dekomposisi pada manusia

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Bagi Mahasiswa

1. Meningkatkan kemampuan dan penalaran dalam penyusunan dan penulisan

suatu referat dari beberapa sumber dan Teknik penulisan

2. Melatih kerja sama tim dalam penyusunan suatu referat

3. Menambah pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu kedokteran

forensik yakni proses dekomposisi pada manusia

1.4.2 Bagi Masyarakat

Menambah informasi tentang proses dekomposisi pada manusia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Dekomposisi

Dekomposisi adalah proses alami yang terjadi pada setiap organisme setelah

kematian. Awalanya, proses degradasi yang terjadi tidak tampak secara kasat mata,

karena prosses ini berlangsung pada tingkatan sel. Secara perlahan perubahan ini

akan berkembang menjadi bentuk makroskopik dan menjadi perubahan pada post

mortem. Proses ini terus berlanjut bahkan sampai pada tahapan permukaan organ

yang cenderung kering seperti tulang masih dapat mengalami proses dekomposisi

meskipun lebih lambat dibanding proses yang terjadi sebelumnya. Pada akhirnya,

semua proses dekomposisi ini menyebabkan daur ulang aliran energi dan nutrisi ke

ekosistem sekitarnya (Fenoglio et al, 2010 dalam Teo Chee Hau et al, 2014).

2.2 Mekanisme Dekomposisi

Secara umum, proses dekomposisi terbagi menjadi 2 mekanisme, yaitu

autolisis dan putrefaksi. Autolisis adalah proses penghancuran sendiri disebabkan

oleh enzim hidrolitik yang terdapat didalam sel. Autolisis biasanya dimulai pada

sel-sel, yang mengandung metabolik aktif atau sejumlah besar air, lisozim dan

enzim hidrolitik. Organ yang terlibat dalam produksi adenosine triphospate (ATP)

yang tinggi dan transportasi membran seperti hati dan otak juga lebih rentan

terhadap reaksi autolisis dibanding dengan organ lain. Pada tingkatan ini, proses

degredasi hanya dapat di observasi secara histologis (Enware, 2008; Janaway,

2009).

Tidak lama setelah sistem respirasi dan kardiovaskular berhenti, pasokan

oksigen ke sel tubuh juga berhenti dan kondisi kekurangan oksigen yang

berkelanjutan akan terjadi (Swann et al, 2010; Zhou & Byard, 2011). Untuk

mempertahankan aktivitas sel metabolik, mekanisme anaerob ini berfungsi sebagai


sebagai sumber energi alternatif dan menghasilkan limbah seperti karbon dioksida

(CO2) dan laktat. Kadar pH seluler turun sampai membran sel tidak mampu

mempertahankan permeabilitas normal dan ruptur disertai pelepasan enzim

hidrolitik (Paczkowski & Schutz, 2011). Enzim hidrolitik yang bebas akan mulai

menyerang struktur sel manapun yang mana saat kondisi masih hidup tidak

dianggap suatu zat. Akibatnya, membran sel pecah dan jaringan sel akan rusak dan

mengeluarkan kandungan selnya. Pengeluaran kandungan sel berfungsi sebagai

sumber nutrisi dan energi untuk reaksi mikrobiologi berikutnya pada prose

putrefaksi (Zhou & Byard, 2011).

Disisi lain, putrefaksi ialah proses degradasi jaringan oleh mikroorganisme

seperti bakteri, fungi dan protozoa yang berasal dari biota normal dalam tubuh

manusia khususnya di saluran pencernaan (Paczkowski & Schutz, 2011). Proses

putrefaksi dapat dipercepat jika ada kondisi tertentu saat ante mortem yang terjadi

pada tubuh jenazah, terutama sepsis (baik secara sistemik maupun lokal) yang akan

meningkatkan jumlah bakteri dalam jenazah bahkan sebelum invasi

mikroorganisme yang ada dilingkungan. Disisi lain, pada bayi baru lahir yang

relatif steril memungkinkan mereka menyimpang dari proses pembusukan yang

normal, sehingga tidak ada pembengkakan yang dapat diamati dalam beberapa

kasus (Mecquinn, 2011).

Kebanyakan perubahan post mortem oleh putrefaksi yang dapat terlihat

secara makroskopik seperti perubahan warna kulit dan pembengkakan bagian

tubuh. Produk yang dihasilkan dari proses putrefaksi dapat berupa gas, cairan atau

garam. Contoh produk gas mencakup hidrogen sulfida, karbon dioksida, metana,

amonia, sulfur dioksida dan hidrogen. Bebrabai jenis produk lainnya seperti
skatole, indole, methylindole, cadaverine, putrescine, berbagai hidrokarbon,

kandungan nitrogen, kandungan sulfur dan komponen fenol. Akumulasi dari

produk dekomposisi tersebut akan menjadikan pembengkakan tubuh yang luas

secara anatomis seperti wajah dan abdomen (Teo Chee Hau et al, 2014).

Alat-alat dalam tubuh juga mengalami proses dokomposisi serta dapat

dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

1. Golongan yang cepat terdekomposisi: jaringan otak, lambung dan usus,

uterus yang hamil atau post partum.

2. Golongan yang lambat terdekomposisi: jantung, paru, ginjal dan

diafragma.

3. Golongan yang paling lambat terdekomposisi: prostat dan uterus yang

tidak hamil (Hoediyanto & Hariadi, 2012).

2.3 Faktor – faktor Dekomposisi

Faktor dari luar :

 Sterilisasi

 Suhu Sekitar

Proses dekomposisi terjadi pada suhu optimal 70 F sampai 100 F (21

C- 38 C). Apabila suhu sekitar rendah,proses dekom```````posisi

terhambat sebab pertumbuhan bakteri terhenti.

 Kelembaban

Makin tinggi kelembaban makin cepat proses dekomposisi

 Medium

Udara : air : tanah = 8:2:1


Faktor dari dalam :

 Umur

Bayi lahir yang belum pernah diberi makan,umumnya lebih tahan

terhadap proses pembuskan. Anak-anak dan orang tua sekali,karena

mengandung sedikit jaringan lemak,sehingga tubuh lebih cepat

menjadi dingin,maka proses pembusukkanya lebih lambat daripada

orang dewasa muda

 Keadaan tubuh pada waktu meninggal

Apabila pada waktu meninggal tubuh dalam keadaan oedematous,akan

lebih cepat membusk,sedangkan bila tubuh dalam dehidrasi,akan lebih

lambat membusuk. Orang gemuk lebih cepat membusuk karena

jaringan lemak yang banyak memperlambat penurunan suhu.

 Sebab Kematian

Proses pembuskan akan lebih cepat apabila korban meninggal karena

peradangan atau jika tubuh korban mengalami mutilasi,sebaliknya

proses pembusukan akan lebih lambat bila korban meninggal akibat

keracunan dengan arsenium,antimony atau carbolic acid yang chronis

sebab bahan racun itu memiliki sifat sebagai pengawet

 Jenis Kelamin

Wanita yang baru melahirkan dan kemudian meninggal lebih cepat

membusuk. (Hoediyanto & Hariadi, 2012).

2.4 Dekomposisi melalui Media

Media di mana mayat berada berperan penting dalam kecepatan

pembusukan mayat. Kecepatan pembusukan ini di gambarkan dalam rumus klasik


Casper, yaitu perbandingan tanah : air : udara = 1 : 2 : 8 artinya mayat yang dikubur

di tanah umumnya membusuk 8 kali lebih lama dari pada mayat yang terdapat di

udara terbuka. Mayat yang dikubur di tanah proses pembusukan terjadi lebih lama

daripada mayat yang diletakkan pada permukaan, hal ini disebabkan karena suhu

di dalam tanah lebih rendah, terlindung dari predators seperti binatang dan insekta,

dan rendahnya oksigen menghambat berkembang biaknya organisme aerobik.

Apabila tubuh membusuk sebelum penguburan, proses pembusukan akan tetap

terjadi walaupun lambat, karena aktivitas enzim dan bakteri soda terbentuk dari

dalam sebelum mayat dikuburkan, serta mikroorganisme dalam tanah tidak

berperan pada tahap awal proses pembusukan, melainkan berperan pada tahap akhir

proses pembusukan. Penguburan mayat yang lebih dalam menyebabkan proses

pembusukan menjadi semakin lama, karena tanah lebih dingin. Keadaan ini tidak

berlaku apabila terendam air atau tanah terkena air hujan. Bila mayat dikubur

didalam pasir dengan kelembaban yang kurang dan iklim yang panas maka jaringan

tubuh mayat akan menjadi kering sebelum terjadi pembusukan. Penyimpangan dari

proses pembusukan ini disebut mumifikasi.

Pada mayat yang tenggelam di dalam air proses pembusukan umumnya

berlangsung lebih lambat dari pada yang di udara terbuka. Hal ini dipengaruhi oleh

temperatur air, kandungan bakteri dalam air, kadar garam di dalamnya, dan

binatang air sebagai predator. Pada mayat yang tenggelam di dalam air pengaruh

gravitasi tidak lebih besar dibandingkan dengan daya tahan air, akibatnya walaupun

mayat tenggelam diperlukan daya apung untuk mengapungkan tubuh di dalam air.

Mayat yang tenggelam mempunyai posisi karakteristik yaitu kepala dan kedua

anggota gerak berada di bawah sedangkan badan cenderung berada di atas


akibatnya lebam mayat lebih banyak terdapat di daerah kepala. Sehingga mayat

yang tenggelam di air kepalanya menjadi lebih busuk dibandingkan dengan anggota

badan yang lain

2.5 Cara Menghambat Proses Dekomposisi

Cuaca dingin akan memperlambat dan bahkan dapat menghentikan proses

pembusukan. pada tubuh yang membeku proses pembusukan tidak akan terjadi

sampai mayat tersebut dicairkan. Contoh yang ada yaitu para mammoth yang

membeku di Siberia untuk beberapa ribu tahun. Pembusukan dipercepat oleh mayat

obesitas, pakaian tebal, dan sepsis dimana semua hal tersebut menjaga tubuh agar

tetap hangat. Pada mayat sepsis waktu kematian 6-12 jam dapat terlihat seperti

mayat yang mati setelah 5-6 hari setelah didinginkan.Menurut Van’t Hoff’s rule

kecepatan dari reaksi kimiawi akan meningkat dua atau bahkan lebih setiap

kenaikan suhu 10oC. Proses tersebut akan diperlambat atau bahkan dihambat pada

suhu yang sangat dingin atau didinginkan. Pada mayat yang dibekukan proses

enzim akan terhambat sehingga akan menghambat terjadinya proses autolisis.

Micozzi mengamati bahwa hewan yang dibekukan kemudian dicairkan akan

mengalami proses pembusukan dari luar kedalam, sedangkan hewan yang tidak

mengalami pembekuan, proses pembusukan akan terjadi dari dalam keluar.

Menurut Micozzi tidak terdapat pembusukan pada suhu kurang 4 oC. Pada suhu

dibawah 12oC, perkembangan bakteri menjadi lebih lambat. Peningkatan suhu akan

mempercepat terjadinya pembusukan. pada suhu antara 15 sampai 37oC merupakan

saat yang sangat baik bagi bakteri untuk berkembang biak dan jumlah bakteri akan

meningkat. Tubuh yang hangat serta kelembaban yang cukup mejadikan proses

pembusukan menjadi lebih cepat karena kondisi ini membuat bakteri-bakteri


pembusukan tumbuh.6 Lemari es atau pendingin merupakan alat untuk

mendinginkan mayat yang sering terdapat pada kamar mayat. Pendingin dibagi

menjadi dua, yaitu yang mendinginkan pada suhu +4oC dan -20oC sebagai tempat

penyimpanan berkepanjangan untuk tubuh. Beberapa pendingin dapat mencairkan

material dengan sendirinya, namun beberapa pendingin lain pencairan tubuh mayat

dapat dilakukan secara manual. Beberapa faktor seperti suara mesin atau suara

bising, bau, atau perubahan temperatur harus tidak terjadi pada proses pendinginan.

Pada beberapa kamar mayat yang mempunyai pendingin dengan suhu - 20oC dapat

untuk menyimpan mayat selama beberapa bulan, akan tetapi hal ini sangat

berbahaya. Seseorang tidak diperbolehkan untuk memasuki pendingin dengan suhu

-20oC kecuali ada orang lain yang menjaga di luar pendingin.13


BAB III

KESIMPULAN

1. Dekomposisi adalah proses yang menggambarkan bagaimana mayat perlahan-

lahan terdegradasi dan secara bertahap diuraikan ke lingkungan oleh

mikroorganisme, invertebrata, dan fauna vertebrata pengurai.

2. Proses dekomposisi terbagi menjadi 2 mekanisme, yaitu autolisis dan putrefaksi.

Autolisis adalah proses penghancuran sendiri disebabkan oleh enzim hidrolitik

yang terdapat didalam sel. Sedangkan putrefaksi ialah proses degradasi jaringan

oleh mikroorganisme seperti bakteri, fungi dan protozoa yang berasal dari biota

normal dalam tubuh manusia khususnya di saluran pencernaan..

3. Proses dekomposisi itu bergantung pada berbagai faktor ekstrinsik dan faktor

interinsik. Faktor eksterinsik berupa sterilisasi, suhu, tingkat kelembaban, dan

media. Sedangkan faktor intrinsik seperti umur, keadaan tubuh waktu meninggal,

sebab kematian, dan jenis kelamin.

4. Media di mana mayat berada berperan penting dalam kecepatan pembusukan

mayat dengan perbandingan tanah : air : udara = 1 : 2 : 8.

5. Salah satu penghambat proses dekomposisi yaitu cuaca dingin, pada tubuh yang

membeku proses pembusukan tidak akan terjadi sampai mayat tersebut dicairkan.
1. undang-undang republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

[internet]. C2009 [dilihat 1 Juni 2019]. Tersedia dari:

http://www.depdagri.go.id/media/documents/2009/10/13/UU_No.36-

2009.doc

2. Dahlan. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak

Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2000:47-62

3. Teo chee hau et al, 2014, Decomposition Process and Post Mortem

Changes: Review, sains malaysiana 43(12)(2014): 1873–1882

4. Hoediyanto ,Hariadi ,2012. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan

Medikolegal FK UNAIR : Surabaya

Anda mungkin juga menyukai