Warta
Nasional
Daerah
Internasional
Risalah Redaksi
Fragmen
Seni Budaya
Puisi
Cerpen
Esai
Keislaman
Ekonomi Syariah
Shalat
Thaharah
Nikah/Keluarga
Ilmu Hadits
Zakat
Jumat
Tasawuf/Akhlak
Jenazah
Puasa
Tafsir
Warisan
Ilmu Tauhid
Fiqih Perbandingan
Ramadhan
Ilmu Al-Qur'an
Ubudiyah
Syariah
Shalawat/Wirid
Halaqoh
Kolom
Teknologi
Khutbah
Taushiyah
Pesantren
Doa
Hikmah
Ekonomi
Pemberdayaan
Profil Pengusaha NU
Tokoh
Pustaka
Opini
Humor
Bahtsul Masail
Pendidikan Islam
Quote Islami
Riset Keagamaan
Anti-Hoaks
Lingkungan
Ngobrolin Duit
Tentang NU
Redaksi bahtsul masail NU Online. Toleransi diajarkan di sekolah sejak kecil. Kami sebagai Muslim
diajarkan untuk bertoleransi dengan non-Muslim mengingat keragaman keyakinan dan agama di
Indonesia. Mohon penjelasan terkait seharusnya sikap seorang Muslim terhadap non-Muslim. Terima
kasih. Wassalamu alaikum wr. wb. (Desi/Surabaya).
Jawaban
Penanya dan pembaca yang budiman di mana pun berada, semoga Allah menurunkan rahmat-Nya untuk
kita semua. Sebelum masuk ke dalam pembahasan inti, kami mengawalinya dengan pembagian non-
Muslim dalam Islam.
Dalam kajian Islam, kita menemukan setidaknya dua kategori non-Muslim dalam Islam, yaitu kafir harbi
dan kafir dzimmi atau sering disebut ahli dzimmah. Kafir harbi merujuk pada non-Muslim yang
memusuhi umat Islam dan berusaha menghalangi dakwah Islam. Sementara kafir dzimmi adalah non-
Muslim yang hidup damai dan bergaul bahu-membahu dengan umat Islam. Ciri kafir dzimmi disinggung
dalam Tafsir Al-Qasimi berikut ini:
فأولئك ل تشملهم الية؛ لنهم ليسوا، واستكان لحأكامنا وقضائنا، ممن رضي بأداء الجزية لنا وسالمنا،وأما أهل الذمة الذين بين أظهرنا
بمحاددين لنا بالمعنى الذي ذكرناه
Artinya, “Adapun ahlud dzimmah yang ada di tengah masyarakat kita, termasuk mereka yang rela
membayar retribusi kepada kita, hidup damai dengan kita, dan tunduk pada regulasi dan putusan
pemerintah kita, maka mereka itu tidak tercakup dalam ayat ini karena mereka tidak melakukan
perlawanan terhadap kita sebagai makna yang kami jelaskan,” (Lihat M Jamaluddin Al-Qasimi, Tafsirul
Qasimi atau Mahasinut Ta‘wil, [tanpa catatan kota dan tahun], cetakan pertama, juz XVI, halaman 5731).
Non-Muslim yang masuk dalam kategori ahli dzimmah memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan
warga negara lain. Kita sebagai Muslim boleh berinteraksi dan harus bergaul secara baik dengan mereka
sebagai keterangan Tafsir Al-Qasimi berikut ini:
فقد عاد النبي صلى ا عليه وسلم. وعيادة مرضاهم، والتجار معهم، وجاز التزوج منهم ومشاركتهم، وعليهم ما علينا،ولذا كان لهم ما لنا
وعرض عليه السلما فأسلم كما رواه البخاري،يهودياا
Artinya, “Karena itu mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita. Kita boleh menikahi
perempuan mereka, berkumpul, bertransaksi, dan menjenguk orang sakit dari kalangan mereka.
Rasulullah SAW pernah menjenguk seorang Yahudi dan juga pernah mengajaknya memeluk Islam dan
yang bersangkutan menerimanya sebagaimana riwayat Bukhari,” (Lihat M Jamaluddin Al-Qasimi, Tafsirul
Qasimi atau Mahasinut Ta‘wil, [tanpa catatan kota dan tahun], cetakan pertama, juz XVI, halaman 5731).
Meskipun demikian, perkawinan dengan non-Muslim masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama. Tetapi polemik terkait perkawinan beda agama di kalangan masyarakat cukup bersuara.
Syekh M Jamaluddin Al-Qasimi dalam tafsirnya menambahkan bahwa kebijakan dan regulasi pemerintah
wajib melindungi dan mengakomodasi kepentingan mereka. Pemerintah memiliki kewajiban yang sama
dengan umat Islam terkait perlakuan terhadap non-Muslim.
كما، كما لزما المسلمين، فلزمه ذلك، وتأبد عهدهم، لنه جرت عليهم أحأكاما السلما، واستنقاذ أسراهم،وعلى الماما حأفظهم والمنع من أذاهم
في " القناع " و " شرحأه
Artinya, “Pemerintah wajib melindungi mereka, menghalangi pihak yang ingin menyakiti mereka, dan
menyelematkan tawanan mereka. Pasalnya, hukum yang berlaku di kalangan Islam berlaku juga pada
mereka dan kontrak politik mereka bersifat langgeng. Ini lazim mengikat pemerintah sebagaimana juga
umat Islam seperti tercantum pada Iqna‘ dan syarah-nya,” (Lihat M Jamaluddin Al-Qasimi, Tafsirul Qasimi
atau Mahasinut Ta‘wil, [tanpa catatan kota dan tahun], cetakan pertama, juz XVI, halaman 5731).
Dalam konteks Indonesia dengan masyarakat yang beragama, toleransi terhadap perbedaan agama,
suku, golongan, sangat diperlukan untuk menjaga keharmonisan sosial.
Demikian jawaban yang dapat kami terangkan. Semoga jawaban ini bisa dipahami dengan baik. Kami
selalu membuka kritik, saran, dan masukan.