1
(Krech, Crutcfield dan Ballachey, 1962: 308). Kellehear, 1990; Kuper, 1987; Mack dan Young, 1968;
Mitchell, 1989
2
ArifinTajul. 2008. “Ilmu Sosial Dasar”. Bandung: Gunung Djati Press. Hal. 45
➢ Emile Durkheim
Masyarakat adalah suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antar anggota
sehingga menampilkan suatu realitas tertentu yang mempunyai ciri-cirinya
sendiri.
➢ Karl Marx
Masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi
atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok
yang terbagi secara ekonomi.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah
manusia yang hidup bersama di suatu wilayah tertentu dalam waktu yang cukup
lama yang saling berhubungan dan berinteraksi dan mempunyai kebiasaan,
tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang sama.
Masyarakat menurut Ferdinan Toennis, berpendapat bahwa masyarakat
adalah karya ciptaan manusia sendiri. Masyarakat bukan organism yang
dihasilkan oleh proses-proses biologis.Juga bukan mekanisme yang terdiri dari
bagian-bagian individual yang masing-masing berdiri sendiri, sedang mereka
didorong oleh naluri-naluri spontan yang bersifat menentukan bagi manusia.
Masyakarat adalah usaha manusia untuk mengadakan dan memelihara
relasi-relasi timbal balik yang mantap, kemauan manusia mendasari
masyarakat.
Definisi-definisi yang telah dijelaskan di atas intinya menjelaskan
bahwa masyarakat adalah kelompok yang saling berhubungan, saling
mempengaruhi, mempunyai norma-norma, memiliki identitas yang sama dan
memiliki wilayah. Masyarakat bisa meliputi lingkup yang besar, seperti
masyarakat Indonesia. Sedangkan masyarakat dalam lingkup yang sempit,
masyarakat yang ditemukan di desa, kota atau suku tertentu.
1. Teori Masyarakat
Berikut akan dijelaskan beberapa teori masyarakat yang ada di
Indonesia:
a. Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang hidup, tumbuh dan
berkembang di kawasan pesisir. Pesisir adalah sebuah desa pantai yang
sebagian besar penduduknya bekerja sebagai nelayan. Masyarakat pesisir
adalah masyarakat yang tinggal dan hidup di wilayah pesisiran. Wilayah ini
adalah wilayah transisi yang menandai tempat perpindahan antara wilayah
daratan dan laut atau sebaliknya. Di wilayah ini, sebagian besar
masyarakatnya hidup dari mengelola sumber daya pesisir dan laut, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dari perspektif mata
pencariannya, masyarakat pesisir tersusun dari kelompok-kelompok
masyarakat yang beragam seperti nelayan, petambak, pedagang ikan, pemilik
toko, serta pelaku industri kecil dan menengah pengolahan hasil tangkap.
Di kawasan pesisiran yang sebagian besar penduduknya bekerja
menangkap ikan, sekelompok masyarakat nelayan merupakan unsur
terpenting bagi eksistensi masyarakat pesisir. Mereka mempunyi peran yang
besar dalam mendorong kegiatan ekonomi wilayah dan pembentukan struktur
sosial budaya masyarakat pesisir. Sekalipun masyarakat nelayan memiliki
peran sosial yang penting, kelompok masyarakat yang lain juga mendukung
aktivitas sosial ekonomi masyarakat.
Masyarakat nelayan merupakan kelompok masyarakat yang pekerjaannya
adalah menangkap ikan. Sebagian hasil tangkapan tersebut dikonsumsi untuk
keperluan rumah atau dijual seluruhnya. Biasanya isteri nelayan akan
mengambil peran dalam urusan jual beli ikan dan yang bertanggung jawab
mengurus domestik rumah tangga.
Tingkat produktivitas perikanan tidak hanya menentukan fluktuasi
kegiatan ekonomi perdagangan desa-desa pesisir, tetap juga mempengaruhi
pola-pola konsumsi penduduknya. Pada saat tingkat penghasilan besar, gaya
hidup nelayan cenderung boros dan sebaliknya ketika musim paceklik tiba
mereka akan mengencangkan ikat pinggang, bahkan tidak jarang
barang-barang yang dimilikinya akan dijual untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
Dalam masyarakat nelayan, struktur yang terkonstruksi merupakan
aktualisasi dari organisasi kehidupan perahu. Sistem organisasi nelayan
memberi ruang yang luas bagi tumbuhnya penghargaan terhadap nilai-nilai
prestatif, kompetitif, beorentasi keahlian, tingkatan solidaritas sosial kerana
faktor nasib dan tantangan alam, serta loyalitas terhadap pemimpin yang
cerdas. Karena itu, posisi sosial seorang nelayan atau pedagang ikan yang
sukses secara ekonomis dan memiliki modal kultural, seperti suka menderma
dan sudah berhaji, sangat dihormati oleh masyarakat di lingkungannya dan
diikuti pendapatnya. Mereka ini merupakan modal sosial berharga yang bisa
didayagunakan untuk mencapai keberhasilan program pemberdayaan
masyarakat pesisir.
b. Masyarakat Pegunungan
Wilayah di sekitar pegunungan aktif memang memiliki potensi ekonomi
yang cukup tinggi karena lahannya subur dan dapat dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian yang baik, namun disamping itu menyimpan potensi bencana yang
dapat merugikan masyarakat. Posisi masyarakat desa pegunungan yang bersifat
semi otonom dengan segala perangkat yang dimilikinya merupakan modal
dasar dalam perencanaan pembangunan dengan prisnsip partisipasi. Jaringan
organisasi yang terdapat di dalam struktur masyarakat pedesaan merupakan
jalur penyampaian pendapat dan pembahasan keputusan yang solid. Kuatnya
ikatan kekerabatan dan ikatan emosional dapat dimanfaatkan untuk mencapai
tujuan.
3
Arsyad, Sitanala, 2010, Konservasi Tanah dan Air, Bogor, IPB Press, Hal.65
lebih besar dan rumit lagi. Untuk sebagian masyarakat Indonesia,
khususnya di kota-kota besar, masyarakat industrial sudah atau paling tidak
mulai terbentuk. Kendati masih terlokalisir di wilayah sentra pabrik dan
kegiatan perdagangan, masyarakat industrial Indonesia nyata
menampakkan wujudnya. Hingga kini pun telah dilihat, bahwa dalamalur
pikir Lenski ternyata masyarakat Indonesia ditengarai beragam jenis
masyarakat, tidak mono jenis.
e. Posindustrial
Posindustrial (Modern) Masyarakat posindustrial dicirikan kegiatan
produksi untuk menghasilkan informasi yang dimungkinkan oleh adanya
teknologi komputer. Jika masyarakat industri kegiatannya terpusat pada
pabrik dan mesin penghasil barang material, maka masyarakat posindustri
fokus pada pengelolaan dan manipulasi informasi, yang produksinya
bergantung pada komputer dan peralatan elektronik lain. Teknologi
utamanya digunakan untuk memproduksi, memproses, menyimpan, dan
menerapkan informasi. Jika individu masyarakat industri belajar keahlian
teknis, maka individu masyarakat posindustri mengembangkan kemampuan
teknologi informasi menggunakan komputer dan perangkat teknologi
informasi lain sebagai alat bantu kerja. Masyarakat posindustri cenderung
mengembangkan softskill ketimbang hard skill. Percepatan pekerjaan
masyarakat posindustri berkali-kali lipat masyarakat industri. Produksi
barang lewat tenaga manusia dalam masyarakat posindustri lebih sedikit.
Akibatnya, terjadi peralihan besar-besaran tenaga kerja untuk menjalani
profesi guru, penulis, sales, penjual pulsa, operator telepon, termasuk bisnis
online (e-business). Industri yang berkembang mengarah pada produksi
softskill ketimbang hardskill. Masyarakat posindustri dihadang oleh kian
merenggangnya kohesi sosial, rumitnya varian kriminalitas, serta rusaknya
lingkungan akibat aktivitas masyarakat sebelumnya (industrial).
Kelima masyarakat evolutif Lenski ada di Indonesia, berkelindan satu
samalain, kendati kuantitas penganutnya berbeda satu sama lain.
Masyarakat pemburu danperamu hingga kini masih dapat ditemui di
pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kendati jumlahnya kian
sedikit, terhimpit proses pembukaan wilayah oleh masyarakat pendatang,
mereka tetap masyarakat Indonesia yang punya hak hidup, bermata pencaharian,
serta mengembangkan kebudayaannya. Masyarakat hortikultural Indonesia
ditandai konsep umum perladangan berpindah. Masyarakat seperti
initerutama masih terdapat di wilayah Kalimantan dan Sulawesi.
Masyarakat pastoral terdapat di kepulauan Nusa Tenggara, wilayah
Indonesia yang punya padang rumputyang luas guna mempraktekkan
kehidupan menggembala. Masyarakat agraris (termasuk nelayan) masih
merupakan elemen terbesar masyarakat Indonesia dan iniditandai masih
adanya Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan,
kendati ditandai perhatian mereka yang setengah hati. Masyarakat
industrial menempati ruang hidup di kota-kota besar. Masyarakat
Posindustrial menggejala dikota-kota industri Indonesia, yang kendati
kuantitas definitifnya sulit diprediksi, tetapi dipastikan meningkat seiring
mewabahnya penggunaan teknologi telepon seluler, dan didukung
pengembangan kabel internet.
➢ Proses Terbentuknya Masyarakat menurut Karl Max
Dalam pembentukan masyarakat, Max menggunakan peran konflik.
Menurut prespektif ini, sejarah masyarakat ditandai pertentangan kelas.
Klasifikasi Lenski atas kelima jenis masyarakat yang didasarkan pengaruh
teknologi material) atas cara produksi, membuat analisis masyarakat lewat
prespektif konflik lebih mudah dipahami. Marx adalah teoritisi konflik
paling terkemuka, dan bahkan sejak awal telah meringkas perubahan
masyarakat versi Lenski kedalam konsepnya yaitu Materialisme historis.
Konsep ini menjelaskan bahwa sejarah masyarakat tidak lain tersusun
berdasarkan cara-cara produksi material. Materialisme historis beroperasi
dalam kaidah materialisme dialektis. Materialisme dialektis menyatakan
bahwa setiap cara produksi di setiap tahapan perkembangan masyarakat
menghasilkan struktur-struktur sosial khas yang saling bertentangan.
Masyarakat baru kemudian muncul sebagai buah pertentangan antar
struktur masyarakat lama. Bagi Marx, bukan gagasan yang menciptakan
masyarakat melainkan cara-cara produksi material-lah yang menciptakan
gagasan. Justru cara-cara produksi-lah yang menciptakan aneka gagasan
manusia seputar masyarakat. Inilah penjelasan singkat mengenai
materialisme historis. Karena Marx menggunakan cara produksi ekonomi
sebagai monofaktor kekuatan penggerak perubahan masyarakat maka ia dikenal
menganut determinisme ekonomi.
➢ Proses terbentuknya Masyarakat menurut Max Weber
Max Weber mengakui peran teknologi bagi perkembangan masyarakat.
Namun, Weber tidak sepakat dengan determinisme ekonomi Marx. Jika
Marx menganut materialisme historis, maka Weber dapat dikatakan
menganut idealism historis. Bagi Weber, masyarakat terbentuk lewat
gagasan atau cara berpikir manusia. Dalam hal ini, Weber bertolak belakang
dengan Marx yang justru mengasumsikan gagasan tidak lebih proyeksi
cara-cara produksi ekonomi.
3. Unsur-Unsur Masyarakat
Menurut Soerjono Soekanto alam masyarakat setidaknya memuat
unsur sebagai berikut ini :
1. Berangotakan minimal dua orang.
2. Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.
3. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan
manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan
hubungan antar anggota masyarakat.
4. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta
keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus
dipenuhi agar sekumpolan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai
masyarakat.
1. Ada sistem tindakan utama.
2. Saling setia pada sistem tindakan utama.
3. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
4. Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran /reproduksi
manusia.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya
dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada:
masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat
bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut
masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri
dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari
masyarakat agrikultural tradisional.
Sementara itu, ada yang membagi unsur-unsur dalam masyarakat
menjadi dua yaitu bahasa dan agama. Berikut penjelasannya:
1. Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi dan juga alat interaksi antar
manusia. Bahasa merupakan salah satu faktor terjadinya interaksi sosial di
masyarakat. Bahasa memungkinkan manusia membentuk hubungan
rohaniah. Secara jasmaniyah warga masyarakat terpisah antara satu dengan
lainnya tetapi secara rohaniah mereka berhubungan. Tanpa hubungan
rohaniah masyarakat tidak terbentuk. Interaksi timbullah kerja sama dan
kehidupan bersama antara kelompok pribadi itu, sehingga terbentuklah
masyarakat.
2. Agama
Manusia bersahaja dahulu ketika pada awal pembentukan pengetahuan,
menghadapi alam dan peristiwa-peristiwa alam dalam kehidupan dengan
penuh tanda tanya. Mana yang tak terjawaboleh pengetahuan mereka yang
dangkal mereka pulangkan pada hal-hal yang gaib. Apa yang tak terjawab
oleh pengetahuan mereka yang dangkal, dipulangkan pada agama,antara lain
tentang hidup mati, keraguan dan ketakutan dalam mengahadapi berbagai
peristiwa, harapan setelah meniggalkan dunia ini. Tanpa agama manusia
terdampar pada kehidupan jasmaniah saja. Tanpa kehidupan rohaniah lenyap
tempat tegak etika dan moral serta kepercayaan kehidupan di seberang
kubur.4
4. Bentuk-Bentuk Masyarakat
Masyarakat yang terdiri dari sekumpulan orang, kemudian membentuk
perkumpulan yang setiap kelompoknya berbeda-beda. Berikut
bentuk-bentuk kelompok masyarakat:
1) Masyarakat Tradisional
Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya
masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Jadi, masyarakat
4
Kaelani, 2000, Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan, Bumi Aksara, hal.159
tradisional di dalam melangsungkan kehidupannya berdasarkan
pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lamayang masih diwarisi
dari nenek moyangnya. Kehidupan mereka belum terlalu
dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berasal dari luar
lingkungan sosialnya. Masyarakat ini dapat juga disebut masyarakat
pedesaan atau masyarakat desa. Masyarakat desa adalah
sekelompok orang yang hidup bersama, bekerja sama, dan
berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir
seragam.5
2) Masyarakat Modern
Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar
warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke
kehidupan dalam peradaban dunia masa kini. Perubahan-Perubahan
itu terjadi sebagai akibat masuknya pengaruh kebudayaan dari luar
yang membawa kemajuan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
seimbang dengan kemajuan di bidang lainnya seperti ekonomi,
politik, hukum, dan sebagainya. Bagi negara-negara sedang
berkembang seperti halnya Indonesia. Pada umumnya masyarakat
modern ini disebut juga masyarakat perkotaan atau masyarakat
kota.6
3) Masyarakat Transisi
Masyarakat transisi ialah masyarakat yang mengalami
perubahan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lainnya.
Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi ke arah
kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan
mulai masuk ke sektor industri.
Ciri-ciri masyarakat transisi adalah: adanya pergeseran dalam
bidangpekerjaan, adanya pergeseran pada tingkat pendidikan,
mengalami perubahan ke arah kemajuan, masyarakat sudah mulai
5
(Baruta, Imran. 2011. Masyarakat Tradisional dan Masyarakat Modern. Dipublikasikan di
7
(Pambudi, Angga Restu. 2011. Ciri-Ciri Masyarakat Tradisional dan Modern. Dipublikasikan di
http://anggarestupambudi.wordpress.com/2011/11/17/ciri-ciri-masyarakat-tradisional-dan-modern/
8
Azyumardi Azra, 2003,Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, Masyarakat Madani,
Jakarta: Tim ICCE UIN, hal.243
9
Dawan Rahardjo, 1987, Islam dan Modernisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi Nurcholish
Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, hal.21
10
Rustam Ibrahim, 1998,Civil Society dan LSM di Indonesia dalam Kastorius Sinaga (ed) Menuju
Masyarakat Madani, Jakarta: INPI-Pact, hal.21
Dengan demikian, komponen utama masyarakat madani adalah individu,
organisasi sipil, pers masyarakat, kampus atau akademisi, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan kelompok-kelompok diskusi yang hak-hak sipil dan
hak-hak politiknya dilindungi. Menurut Kuntowijoyo, bahwa masyarakat
madani berwatak dinamis, terbuka dan kenyataan riil dalam sejarah, bukan
masyarakat yang utopis dan bisa dilihat dari berbagai sudut pandang baik dari
kacamata agama, aliran pemikiran ataupun mazhab filsafat.
Dalam sejarahnya, ada dua hal yang terdokumentasi sebagai masyarakat
madani yaitu:
1. Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2. Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjian Madinah antara
Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang
beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj.
Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk
saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial,
menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW
sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap
keputusan-keputusannya, dan memberikankebebasan bagi penduduknya
untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya.
11
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholis Madjid,
Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001.
12
Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam
Islam Indonesia (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 44
13
Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 1995), 30-31.
Sementara itu, Amien Rais yang pemikirannya lebih kepada politik
islam yang berpendapat bahwa negara bukan merupakan negara islam namun
harus menganut demokrasi modern. Dalam pemikirannya bahwa masyarakat
madani menurut pandangan Amien Rais, yang lebih mendefinisikan pada
istilah Islamic State atau Negara Islam tidak ada dalam al-Quran maupun dalam
Sunnah. Oleh karena itu, menurut Amien Rais, tidak ada perintah dalam Islam
untuk menegakkan Negara Islam. Yang ada adalah khilafah, yaitu suatu misi
kaum Mislimin yang harus ditegakkan di muka bumi ini untuk memakmurkan
sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah swt., maupun Rasul-Nya. Adapun
cara pelaksanaanya, lanjut Amien Rais, al-Quran tidak menunjukkan secara
terperinci, tetapi dalam bentuk global saja. Amien mencontohkan Saudi Arabia,
sebagai suatu negara yang aneh dalam zaman modern ini, dan para pemimpinya
menyatakan tidak perlu konstitusi karena mereka sudah mempunyai sandaran
syari’ah Islam. Namun, bagi Amien aplikasi syari’ah Islam sendiri di sana
begitu sempit, dan jauh dari idealisme Islam itu sendiri. Amien menyebutkan,
seperti prinsip-prinsip monarkhi Saudi Arabia itu sendiri sudah bertabrakan
dengan prinsip-prinsip ajaran Islam di bidang kemasyarakatan dan politik.14
14
http://adieth12.blogspot.co.id/2013/06/pemikiran-nurcholish-madjid-dan-amien_8471.html diunduh
pada 07 Juli 2017 Jam 20.10
belum memadai. Agama-agama suku hidup dalam claim dan domain yang
terbatas, tidak berhubungan satu dengan lainnya. Keadaan seperti ini tidak
banyak berubah sampai datang pengaruh agama yaitu agama Hindu dan
Budha dengan tingkat peradabannya masing-masing.
2. Pluralisme kompetitif. Pluralisme jenis kedua ini kira-kira mulai abad 13
ketika agama islam mulai berkembang di Indonesia, dan kemudian disusul
dengan kedatangan agama Barat atau agama Kristen (baik katolik maupun
Protestan) pada kira-kira abad 15. konflik dan peperangan mulai terjadi
diantara kerajaan islam di pesisir dengan sisa-sisa kekuatan Majapahit di
pedalaman Jawa. Ketika penjajah dating dengan konsep “God, Gold, and
Glory”, persaingan antara Islam dan Kristen terus berlangsung hingga akhir
abad 19.
3. Pluralisme Modern atau pluralisme organik. Di awal abad ke 20, puncak
dominasi Belanda atas wilayah nusantara tercapai dengan didirikannya
“negara” Nederland Indie. Kenyataan negara ini menjadi sebuah
kesatuan organic yang memiliki satu pusat pemerintah yang mengatur
kehidupan berdasarkan hukum dan pusat kekuasaan yang riil. Pluralisme
SARA memang diperlemah, disegregasikan dan dibuat terfragmentasikan
demi kepentingan Belanda. Kemudian upaya-upaya mansipasi SARA pun
terjadi dalam peristiwa Sumpah pemuda 1928 dan proklamasi
kemerdekaan 1945.15
15
Th. Sumartana, Pluralisme, Konflik, dan Dialog; Refleksi tentang Hubungan antar Agama di Indonesia
Muhammad SAW segera setalah hijrah di Madinah.16“Ummah” dalam bahasa
arab menunjukan pengertian komunitas keagamaan tertentu, yaitu komunitas
yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama. Secara umum, seperti
disyaratkan al-Qur’an, “ummah” menunjukan suatu komunitas yang
mempunyai basis solidaritas tertentu atas dasar komitmen keagamaan, etnis,
dan moralitas.
Dalam perspektif sejarah, “ummah” yang dibangun oleh Nabi
Muhammad SAW di Madinah dimaksudkan untuk membina solidaritas di
kalangan para pemeluk Islam (kaum Muhajirin dan kaum Anshar). Khusus bagi
kaum muhajirin, konsep “ummah” merupakan sistem sosial alternatif pengganti
sistem sosial tradisional, sistem kekabilahan dan kesukuan yang mereka
tinggalkan lantaran memeluk Islam. Hal di atas menunjukan bahwa konsep
“ummah” mengundang konotasi sosial, ketimbang konotasi politik.
Istilah-istilah yang sering dipahami sebagai cita-cita sosial Islam dan memiliki
konotasi politik adalah “khilafah”, “dawlah” dan “hukumah”. Istilah pertama,
“khilafah”, disebutkan sembilan kali dalam al-Qur’an, tapi kesemuanya bukan
dalam konotasi sistem politik, tapi dalam konteks misi kehadiran manusia di
muka bumi. Oleh karena itu, penisbatan konsep “khilafah” dengan institusi
politik tidak mempunyai landasan teologis. Begitu pula dengan istilah
“dawlah”, yang diartikan negara (nation state) dan dipahami sebagai
masyarakat madani yang harus di tegakkan, tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Kata “hukumah” yang diartikan pemerintah juga tidak terdapat dalam
al-Qur’an. Al-Qur’an memang banyak menyebut bentuk-bentuk dari akar kata
“hukumah”yaitu “hukama”, tapi dalam pengertian dan konteks yang berbeda.
Ayat-ayat al-Qur’an yang dipakai untuk menunjukan adanya pemerintahan
Islam, seperti yang terdapat dalam teori “hakamiyan” (pemerintahan
ilahi).Namun, perlu dicatat bahwa pengertian kata-kata “yahkumu” dalam
ayat-ayat tersebut tidak menunjukan konsep pemerintahan.17
Sementara itu, madinah adalah derivasi dari kosa kata Arab yang
mempunyai dua pengertian. Pertama, madinah berarti kota atau disebut dengan
16
Warson M, Ahmad, 1984, “Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia”, Yogyakarta: Pondok Pesantren
“Al-Munawir”. Hal.95
17
Din Syamsudin, 2002,Etika Agama dalam membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos,
Hal. 95
"masyarakat kota. Kedua, “masyarakat berperadaban” karena madinah adalah
juga derivasi dari kata tamaddun atau madaniyah yang berarti
“peradaban”, yang dalam bahasa Inggris dikenal
sebagai civility dan civilization. Kata sifat dari kata madinah adalah madani.18
Adapun secara terminologis, masyarakat madani adalah komunitas
Muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasul Allah
SAW dan diikuti oleh keempat al-Khulafa al-Rasyidun. Masyarakat madani
yang dibangun pada zamanNabi Muhammad SAW tersebut identik
dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi
keadaban atau civility. Model masyarakat ini sering dijadikan model
masyarakat modern, sebagaimana yang diakui oleh seorang sosiolog Barat,
Robert N. Bellah, dalam bukunya The Beyond of Belief (1976). Bellah, dalam
laporan penelitiannya terhadap agama-agama besar di dunia, mengakui bahwa
masyarakat yang dipimpin Rasul Allah SAW itu merupakan masyarakat yang
sangat modern untuk zaman dan tempatnya, karena masyarakat Islam kala itu
telah melakukan lompatan jauh ke depan dengan kecanggihan tata sosial dan
pembangunan sistem politiknya.19
Nabi Muhammad SAW melakukan penataan negara tersebut, dengan
cara : (1) membangun infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol dan
perangkat utamanya. (2) menciptakan kohesi sosial melalui proses
persaudaraan antara dua komunitas yang berbeda, yaitu Quraisy dan Yatsrib,
serta komunitas Muhajirin dan Anshar dalam bingkai
solidaritas keagamaan. (3) membuat nota kesepakatan untuk
hidup berdampingan dengan komunitas lain, sebagai sebuah masyarakat
pluralistik yang mendiami wilayah yang sama, melalui Piagam Madinah. (4)
merancang sistem negara melalui konsep jihad fi sabilillah (berjuang di jalan
Allah). Dengan dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang dibangun oleh
Nabi Muhammad SAW merupakan negara dan masyarakat yang kuat dan solid.
Peristiwa hijrah telah menciptakan keberagaman penduduk Madinah. Penduduk
Madinah tidak terdiri dari Suku Aus, Khazraj dan Yahudi saja, tetapi
18
A H Hujair Sanaky, 2002, Paradigma Pendidikan Islam : Membangun Masyarakat Madani
Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insani Press, Hal.30
19
Hatta, Ahmad. 2001. Peradaban yang Bagaimana? Rincian Misi Negara Tauhid Madinah. http: //
rully-indrawan.tripod.com pada tanggal 14 Desember 2016
juga Muhajirin Quraisy dan suku-suku Arab lain. Nabi SAW menghadapi
realitas pluralitas, karena dalam struktur masyarakat Madinah yang baru
dibangun terdapat beragam agama, yaitu: Islam, Yahudi, Kristen, Sabi’in, dan
Majusi—ditambah ada pula yang tidak beragama (atheis) dan bertuhan banyak
(polytheis). Struktur masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh
Nabi SAW di atas pondasi ikatan iman dan akidah yang nilainya lebih tinggi
dari solidaritas kesukuan (ashabiyah) dan afiliasi-afiliasi lainnya.
Selain itu, masyarakat pada saat itu terbagi ke dalam beberapa
kelompok yang didasarkan atas ikatan keimanan, yaitu: mu'minun, munafiqun,
kuffar, musyrikun, dan Yahudi. Dengan kata lain, masyarakat Madinah pada
saat itu merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang majemuk atau
plural. Kemajemukan masyarakat Madinah diawali dengan membanjirnya
kaum Muhajirin dari Makkah, hingga kemudian mengakibatkan munculnya
persoalan-persoalan ekonomi dan kemasyarakatan yang harus diantisipasi
dengan baik. Dalam konteks itu, sosialisasi sistem persaudaraan menjadi
kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan. Untuk mengatasi persoalan
tersebut, Nabi Muhammad SAW bersama semua unsur penduduk madinah
secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat Madinah yang mengatur
kehidupan dan hubungan antar komunitas, yang merupakan komponen
masyarakat majemuk di Madinah. Kesepakatan hidup bersama yang dituangkan
dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai “Piagam Madinah” (Mitsaq
al-Madinah) dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah
manusia. Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi
satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan konstitusional dan hukum
di dunia. Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya
diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang
agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya
pertahanan secara bersama. Dalam piagam tersebut juga ditempatkan hak-hak
individu, yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan,
persaudaraan (al-ukhuwwah) antaragama, perdamaian, toleransi, keadilan
(al-'adalah), tidak membeda-bedakan (anti diskriminasi), dan menghargai
kemajemukan.
Dengan kemajemukan tersebut, Nabi Muhammad SAW mampu
mempersatukan mereka. Fakta ini didasarkan pada: pertama, mereka hidup
dalam wilayah Madinah sebagai tempat untuk hidup dan bekerja
bersama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam satu umat untuk
mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan secara bersama-sama. Ketiga,
mereka menerima Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang
otoritas politik yang legal dalam kehidupan. Otoritas tersebut juga dilengkapi
dengan institusi peraturan yang disebut Piagam Madinah yang berlaku
atas seluruh individu dan setiap kelompok.
Dalam konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat berada
dalam satu ikatan yang disebut ummah. Yaitu suatu masyarakat yang terdiri
dari berbagai kelompok sosial yang disatukan dengan ikatan sosial dan
kemanusiaan yang membuat mereka bersatu menjadi ummah wahidah. Oleh
karena itu, perbedaan agama bukan merupakan penghambat dalam
mencipatakan suasana persaudaraan dan damai dalam masyarakat plural.
Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa agama
bukanlah satu-satunya faktor ikatan sosial dalam suatu umat, melainkan ada
faktor universal yang dapat mendukung terwujudnya suatu umat, yaitu unsur
kemanusiaan. Karenanya unsur kemanusiaan sangat dominan dalam kehidupan
manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk politik. Demikian juga
Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum al-Ummah fi Hadharat
al-Islam, menyatakan bahwa umat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW
di Madinah merupakan umat yang sekaligus bersifat agama dan politik.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat yang dibentuk Nabi
Muhammad SAW di kota Madinah bersifat terbuka, karena Nabi mampu
menghimpun semua komunitas atau golongan penduduk Madinah, baik
golongan yang menerima risalah tauhid beliau maupun yang menolak.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa sebenarnya
masyarakat madani yang bernilai peradaban itu dibangun setelah Nabi
Muhammad SAW melakukan reformasi dan transformasi pada individu yang
berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak. Dalam praktiknya, iman dan
moralitaslah yang menjadi landasan dasar bagi Piagam Madinah.
Prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut menjadi dasar bagi semua aspek
kehidupan, baik politik, ekonomi, dan hukum pada masa Nabi SAW.
Masyarakat Madinah yang dibangun Nabi SAW itu sebenarnya identik
dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi
keadaban atau peradaban. Nabi SAW menjadikan masyarakat Madinah pada
saat itu sebagai classless society (masyarakat tanpa kelas), yaitu tidak
membedakan antara si kaya dan si miskin, atasan dan bawahan, namun, semua
sama dimata hukum. Dari uraian di atas, secara terminologis masyarakat
madani yang berkembang dalam konteks Indonesia setidaknya berada dalam
dua pandangan, yakni, masyarakat Madinah dan masyarakat sipil (civil society).
Keduanya tampak berbeda, tetapi sama. Berbeda, karena memang secara
historis keduanya mewakili budaya yang berbeda, yakni masyarakat Madinah
yang mewakili historis peradaban Islam. Sedangkan masyarakat sipil adalah
hasil dari peradaban Barat, seperti telah dipaparkan di atas. Perbedaan lainnya,
masyarakat Madinah menjadi tipe ideal yang sangat sempurna, karena
komunitas masyarakat dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
Apabila masyarakat madani diasosiasikan sebagai penguat peran masyarakat
sipil, maka masyarakat madani hanya bertahan di era empat al-Khulafa’
al-Rasyidun. Setelah itu, masyarakat Islam kembali kepada masa monarki, di
mana penguasaan negara (state power) kembali menjadi besar, dan peran
masyarakat (society participation) menjadi kecil. Oleh sebab itu, ketiga prinsip
yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai elemen penting
terbentuknya “masyarakat madani”, yaitu masyarakat yang memegang teguh
ideologi yang benar, berakhlak mulia, bersifat mandiri secara
kultural-politik-ekonomi, memiliki pemerintahan sipil, memiliki prinsip
kesederajatan dan keadilan, serta prinsip keterbukaan.
20
Azumardi Azra, Menuju Masyarakat adani, Vi