Anda di halaman 1dari 3

Nama: Muhamad Anjas Prasetya

NIM: 1502170037
Kelas: KM-PIL-BR41-B-GAB

Pengaruh Mediamorfosis Terhadap Perubahan Sosial Budaya


Masyarakat Indonesia dan Dunia

Mediamorfosis adalah transformasi media komunikasi, yang biasanya ditimbulkan akibat


hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan persaingan
dan politik, serta berbagai inovasi dan teknologi. Mediamorfosis mendorong kita untuk
memahami semua bentuk sebagai bagian dari sebuah system yang saling terkait, dan mencatat
berbagai kesamaan dan hubungan yang ada antara bentuk bentuk yang muncul di masa lalu, masa
sekarang, dan yang sedang dalam proses kemunculannya. Media baru tidak akan muncul begitu
lama. Dan ketika bentuk bentuk media komunikasi yang baru muncul, bentuk bentuk yang
terdahulu biasanya tidak mati – terus berkembang dan beradaptasi.

Roger Fidler, Director of New Media for Knight-Ridder Inc., oleh banyak akademisi dan praktisi
komunikasi dan teknologi dianggap sebagai salah satu tokoh penting dalam kajian komunikasi dan
teknologi modern. Pada tahun 2003, Fidler menulis buku yang berjudul Mediaphorphosis:
Understanding New Media dengan bertitik tolak pada perubahan media – kovensional ke digital.

Secara umum, konvergensi media atau mediamorphosis dibagi menjadi 3 babak atau 3 stage
utama, diantaranya adalah Spoken Language, Written Language, dan Digital Language. Babak
pertama atau Spoken Language adalah sebuah babak atau era dimana semua masih bersifat
tradisional. Babak ini berhubungan dengan bagaimana seorang individu tergabung dalam
kelompok sosial tertentu dan mengasah kemampuan berpikirnya untuk menyelesaikan masalah-
masalah yang ada. Babak kedua atau biasa disebut Written Language adalah sebuah stage dimana
berkembangnya budaya media massa dan printed era. Di babak ini, mulai terjadi yang Namanya
konvergensi media atau mediamorphosis, dimana biasanya orang-orang hanya menulis atau
melakukan sesuatu secara tradisional dan menggunakan tangan tanpa bantuan media lain atau
mesin, di era ini mulai dikembangkan mesin cetak yang mempermudah manusia dalam
menyampaikan pesan informasi secara cepat dan tidak memerlukan tenaga yang banyak, karena
dibantu oleh mesin tik maupun mesin cetak yang bersifat massal. Digital Language adalah babak
besar ketiga yang berkembang karena perubahan zaman. Di babak ini, berkembang computer-
komputer, internet, serta media digital lainnya yang menjadi bagian dari pola komunikasi manusia.
Semua yang bersifat printed ataupun konvensional mulai ditinggalkan, dan beralih ke media digital
yang semakin cepat dan mudah digunakan. (Fidler, 1997).

Yang akan dibahas kali ini adalah bagaimana pengaruh konvergensi media atau mediamorphosis
terhadap perubahan sosial dan budaya masyarakat Indonesia maupun dunia, khususnya berkaitan
dengan Peningkatan Pilihan Media atau Media Choice.
Dalam konvergensi media atau mediamorphosis, pasti akan ada perkembangan media yang sangat
cepat bahkan sampai kita tidak menyadarinya. Salah satu yang membuat mediamorphosis menjadi
sebuah keuntungan adalah adanya Peningkatan Pilihan Media dalam masyarakat. Maksudnya
adalah, dengan terjadinya mediamorphosis ini, masyarakat akan dipermudah dengan
disuguhkannya banyak media atau platform baru, tentunya ini juga akan memberikan pengaruh
pada konsumsi media itu sendiri. Salahsatu contoh besar dan nyata adalah media franchise yang
mengembangkan karya atau produknya ke berbagai macam media dan platform baru yang
berkembang saat ini, atau biasa dikenal dengan istilah Transmedia Storytelling. Menurut Ryan
(2013, p. 89) Transmedia storytelling memiliki 2 pilar utama. Pilar pertama adalah adaptasi,
prequel, sequel yang biasanya dipasarkan dalam bentuk konvensional. Dan pilar kedua adalah
project dimana mereka memvisualisasikan cerita atau karya itu dalam bentuk baru berupa TV
Series, Drama Televisi agar bisa dijangkau oleh semua orang dengan bantuan media atau platform
baru itu.

Secara umum, konsep transmedia storytelling ini dapat dikembangan menjadi: pertama, anda bisa
membuat sebuah cerita yang hanya bisa diceritakan diberbagai macam media dan platform, atau
anda bisa mengambil satu cerita dari sebuah platform, dan menambahkannya ke berbagai media
untuk membuat ini semakin mudah dijangkau dan berfokus pada medianya. (Weaver, 2013, p. 8)
Contoh yang mungkin bisa diambil adalah, Pokemon adalah sebuah cerita yang dibuat sejak lama
dan berasal dari Jepang. Lalu, cerita pokemon ini semakin lama bertemu dengan mediamorphosis
yang membuat pokemon ini berkembang sehingga tersedia di banyak media dan platform, namun
biasanya cerita dan narasinya hampir sama di seluruh media itu. Berbeda dengan cerita Game Of
Thrones, Sherlock Holmes, atau The Walking Dead. Cerita-cerita tersebut memang tersedia
didalam banyak media dan platform juga, namun disetiap media dan platform itu memiliki cerita
yang berbeda, bisa kelanjutannya atau cerita Spin off. Contohnya, game The Walking Dead yang
tersedia hampir diseluruh platform game memiliki cerita lain yang berada diluar cerita utama. Ini
tentunya akan membuat cerita The Walking Dead akan berkembang semakin besar dan tidak
membosankan.

Strategi yang digunakan para pembuat cerita atau media franchise dalam memanfaatkan
mediamorphosis adalah, mereka akan membuat cerita tambahan atau episode yang berkaitan
dengan cerita utama tersebut. Misalnya, ada sebuah cerita di Netflix yang baru saja menyelesaikan
season 1 nya, dan mereka tengah berjalan membuat season 2 nya yang akan tayang 1 tahun
kemudian. Biasanya, sang produser atau pemilik cerita tersebut akan membuat cerita sampingan
atau cerita tambahan dari si cerita utama itu sendiri. Jadi, nanti di pertengahan season 1 dan season
2, akan ada sebuah web series yang tayang di Youtube dengan beberapa episode, yang akan
mengisi kekosongan sebelum season 2 tayang. Strategi ini bisa dibilang cukup efektif dari segi
pemasaran maupun pemanfaatan mediamorphosis ini. Pertama, produser ataupun pemilik cerita
dapat menggunakan media lain atau platform lain dalam mengembangkan cerita yang dibuatnya.
Tentu ini akan memberikan sensasi dan feel yang berbeda. Dan bagi para audience atau masyarakat
yang ingin mengikuti cerita tersebut, tidak merasa bosan karena ada gap antar season yang akan
tayang. Mereka pun jadi bisa lebih tau tentang bagaimana cara menggunakan media lain atau
platform lain jika mereka belum pernah menggunakannya demi bisa menonton episode atau cerita
lain yang tersedia dalam platform yang berbeda.
Jika ingin berbicara lebih dalam mengenai mediamorphosis khususnya peningkatan pilihan media
dan apa pengaruhnya terhadap sosial budaya masyarakat, kita bisa melihat bagaimana Marvel
Cinematic Universe yang menggunakan mediamorphosis dengan baik, serta memberikan
pengaruh terhadap sosial budaya masyarakat. Marvel Cinematic Universe berawal dari sebuah
komik kartun biasa yang dikenal dengan nama Marvel Comic Books. Marvel comic book
membuktikan bahwa penjualan komiknya bisa melampaui rata-rata dan memanjakan para fansnya
dengan cerita-cerita yang menarik. Seiring berkembangnya teknologi, termasuk media massa
maupun media digital, pada tahun 1993 Marvel entertainment membuat Marvel Studio yang
berkembang menjadi sebuah industry film besar. Dan yang membuat Marvel Cinematic Universe
menjadi semakin sukses adalah ketika mereka merilis film Iron Man pada tahun 2008. Itu benar-
benar sebuah revolusi film yang berasal dari sebuah komik biasa. Yang sebelumnya tidak pernah
terpikirkan sebuah cerita yang hanya tercetak didalam buku, kini bisa menjadi kenyataan dalam
sebuah film yang Panjang.

Dari situlah menghasilkan beberapa dampak terhadap perubahan sosial dan budaya masyarakat.
Dampak yang paling terasa dari berkembangnya Transmedia Storytelling adalah masyarakat jadi
bisa dibedakan berdasarkan perilakunya dalam mengkonsumsi konten Transmedia Storytelling ini.

Pertama, para penonton atau viewers yang selalu menunggu-nunggu dan aktif terlibat real-time
dalam menonton film, serial, atau episode-episode baru. Para penonton yang memiliki perilaku ini
akan selalu menunggu cerita ataupun episode yang akan tayang dalam setiap platform yang
tersedia. Mereka juga menunggu-nunggu bagian yang paling menegangkan atau paling kompleks
dalam cerita tersebut. Ini tentu akan menjadi sebuah perilaku yang kurang baik, apalagi jika anak-
anak di usia produktif kebawah yang memilikinya. Karena, perilaku ini bisa membuat seseorang
itu menjadi kecanduan akan menonton dan menantikan cerita itu berlanjut. Apalagi sekarang
media menyediakan banyak pilihan lain yang membuat seseorang itu semakin tidak bisa lepas. Ini
akan membuat seseorang itu menjadi sulit fokus kesatu hal, karena selalu terdistract dengan media
atau platform yang menayangkan kelanjutan dari cerita itu. Contoh lain yang ada di Indonesia
maupun luar negeri adalah, ketika film Avengers End Game sudah berakhir di bioskop, Marvel
Cinematic Universe kembali membuat cerita lain dari Avengers ini yang dibuat dalam bentuk
Game PC ataupun PS4. Para fansnya pun semakin semangat dan akhirnya membeli game itu
untuk dimainkan, demi mendapatkan cerita lain tentang Avengers ini. Tanpa disadari, sifat
konsumtif pun sudah tertanam di orang tersebut.
Kedua, penonton atau viewers jangka Panjang yang mencari pola-pola yang koheren dalam setiap
cerita atau episode. Ketiga, penonton atau viewers yang senang mengikuti koneksi-koneksi antara
setiap bagian cerita dan menemukan hal-hal yang tidak diduga dalam sebuah cerita atau episode.
(Murray, 1999, p. 257). Penonton yang memiliki perilaku kedua dan ketiga mungkin tidak
sefanatik orang yang memiliki perilaku pertama tersebut. Mereka tidak akan menunggu-nunggu
setiap episode baru yang akan keluar, namun mereka tetap mengikutinya sambil mencari-cari
koneksi-koneksi antar episode. Namun tetap saja perilaku-perilaku ini harus diawasi serta dibina
agar tidak menjadi individu yang konsumtif dengan menggunakan semua media atau platform
hanya untuk mendapatkan cerita eksklusif atau cerita tambahan lain.

Anda mungkin juga menyukai