Teuku Muhammad Hasan
Teuku Muhammad Hasan
Kehidupan Awal
Teuku Muhammad Hasan dilahirkan tanggal 4 April 1906 sebagai Teuku Sarong, di
Sigli, Aceh. Ayahnya, Teuku Bintara Pineung Ibrahim adalah Ulèë Balang di Pidie
(Ulèë Balang adalah bangsawan yang memimpin suatu daerah di Aceh). Ibunya
bernama Tjut Manyak.
Dia bersekolah di Sekolah Rakyat (Volksschool) di Lampoeh Saka 1914-1917. Pada
tahun 1924 bersekolah di sekolah berbahasa Belanda Europeesche Lagere School
(ELS), dilanjutkan ke Koningen Wilhelmina School (KWS) di Batavia (sekarang
Jakarta). Kemeudian beliau masuk Rechtschoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).
Masa-masa di Belanda
Pada usia 25 tahun, T.M Hasan memutuskan untuk bersekolah di Leiden University,
Belanda. Selama di Belanda, beliau bergabung dengan Perhimpunan Indonesia
yang dipelopori oleh Muhammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid
Djojodiningrat dan Nasir Datuk Pamuntjak. Selain kesibukannya sebagai
mahasiswa, Hasan juga menjadi aktifis yang mengadakan kegiatan-kegiatan
organisasi baik di dalam kota maupun di kota-kota lain di Belanda
Hasan mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Master of Laws) tahun 1933.
Selain itu, Hasan juga menjadi komisaris organisasi pendidikan yang bernama
Perkumpulan Usaha Sama Akan Kemajuan Anak (PUSAKA). Tujuan organisasi ini
adalah untuk mendirikan sebuah sekolah rendah berbahasa Belanda seperti
Hollandsch-Inlandsche School.
Aktifitas kependidikan Hasan yang lain ialah mendirikan Perguruan Taman Siswa di
Kutaraja pada tanggal 11 Juli 1937. Dalam kepengurusan lembaga yang diprakarsai
oleh Ki Hajar Dewantara ini, Hasan menjadi ketua dengan sekretaris Teuku Nyak
Arief. Sesaat setelah pembentukannya, Hasan mengirim utusannya yaitu, Teuku M.
Usman el Muhammady untuk menemui Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta.
Tujuannya adalah memohon agar Taman Siswa memperluas jaringannya, yakni
dengan mendirikan cabang di Aceh. Berdasarkan permohonan tersebut, Majelis
Luhur Taman Siswa mengirim tiga orang guru ke Aceh, yaitu Ki Soewondo
Kartoprojo beserta istrinya yang juga sebagai guru dan Soetikno Padmosoemarto.
Dalam waktu yang relatif singkat, Hasan dan pengurus Taman Siswa di Kutaraja
berhasil membuka 4 (empat) sekolah Taman Siswa di Kutaraja, yaitu sebuah Taman
Anak, Taman Muda, Taman Antara dan Taman Dewasa.
Berkat pengalaman di bidang pendidikan tersebut, Hasan memutuskan pergi ke
Batavia dan bekerja sebagai pengawai di Afdeling B, Departemen Van Van
Onderwijsen Eiredeienst (Departemen Pendidikan). Selain itu, ia juga pernah
menjadi pegawai di kantor Voor Bestuurshervarming Buintengewesten. Kemudian
pada tahun 1938, Hassan kembali lagi ke Medan untuk bekerja pada kantor
Gubernur Sumatera sampai tahun 1942. Pada era penjajahan Jepang ini, yakni
antara tahun 1942 sampai 1945, Hasan tetap berada di Medan dan bekerja sebagai
Ketua Koperasi Ladang Pegawai Negeri di Medan, kemudian menjadi Penasehat
dan Pengawas Koperasi Pegawai Negeri di Medan dan Pemimpin Kantor
Tinzukyoku (Kantor permohonan kepada Gunsaibu) di Medan. Ketika Jepang
hendak angkat kaki dari Aceh tahun 1945, Hasan adalah sedikit dari tokoh-tokoh
Aceh yang memiliki kesadaran kebangsaan dan bersedia bergabung dengan para
nasionalis di Jakarta.
Pada 7 Agustus 1945 Mr. Teuku Muhammad Hasan dipilih menjadi anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno[3].
Hasan, dalam pidatonya mengenai mosi tersebut mengatakan bahwa kelompok Tiga
Besar (Shell, Stanvac dan Caltex)[8] pada hakekatnya menerima lima kali lebih
banyak dari pada yang dilaporkannya. Ia berpendapat bahwa hal itu disengaja agar
harga minyak mentah lebih murah dari yang semestinya, dan sebagai bukti dia
mengutip sebuah penawaran dari suatu kelompok perusahaan minyak Jepang yang
bersedia membayar minyak mentah Rp.950 per ton, dibandingkan dengan Rp.100
per ton yang dilaporkan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia
dalam kaitannya dengan pembayaran pajak. Kedua, menurut Mr. T. M Hasan,
perusahaan-perusahaan minyak itu dengan sengaja mempertinggi ongkos
operasinya secara tidak wajar.
Yang menarik di sini adalah pembicaraan yang dilakukan oleh Hasan dengan para
pejabat perusahaan minyak asing tidak lama setelah isi mosi itu diumumkan. Mereka
mengusulkan pembagian keuntungan berdasarkan pola 50:50. Hal ini dijawab
Hasan bahwa dengan pola demikian dikhawatirkan biaya operasi akan bisa di mark-
up menjadi lebih tinggi. Ia kemudian mengajukan usul balasan agar hasil produksi
minyak di Indonesia dibagi saja antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan
minyak asing atas dasar sama banyak. Usulan Hasan tersebut membuat para bos
perusahaan minyak asing tercengang dan tidak berani bersuara.[9][10].
Efek dari mosi ini adalah dibentuknya Panitia Negara Urusan Pertambangan
(PNUP), dan pada Maret 1956 Mr. T.M. Hasan ditunjuk sebagai ketua[11], dan
berhasil menasionalisasi beberapa perusahan minyak asing menjadi Permina (1957)
dan Pertamin (1961). Kedua perusahaan ini pada tahun 1968 digabung menjadi
Pertamina.[12]. [13]
Kehidupan Berikutnya
Mr. Teuku Muhammad Hasan mendirikan Universitas Serambi Mekkah di Banda
Aceh[14], dan menulis buku. Salah satu bukunya adalah Sejarah Perminyakan di
Indonesia (diterbitkan oleh Yayasan Sari Pinang Sakti, 1985)[15].
Penghargaan
Pada tahun 1990, Universitas Sumatera Utara menganugerahkan gelar Doctor
Honoris Causa[16].
Mr. Teuku Muhammad Hasan dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh
Pemerintah Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor
085/TK/Tahun 2006 tertanggal 3 November 2006[17].
Sebuah jalan di Banda Aceh dinamakan Jalan Mr. Teuku Muhammad Hasan[18].