Anda di halaman 1dari 9

Bab I

Pendahuluan
I.I. Latar Belakang

Bhinneka Tunggal Ika adalah motto atau semboyan yang dipilih oleh Muhammad Yamin,
I Gusti Bagus Sugriwa, dan Bung Karno sebagai perwakilan seluruh warga negara Indonesia
dalam menentukannya sebagai ideologi negara Indonesia. Semoboyan ini diambil dari kitab atau
kakawin Sutasoma karangan Empu Tantular. Semboyan tersebut adalah istilah dari bahasa
sansekerta dan terdiri dari suku tiga kata yakni Bhinneka yang berarti beragam atau beraneka,
Tunggal berarti satu, dan Ika berarti itu.1 Bagi bangsa Indonesia semboyan tersebut dipahami
sebagai filosofi bangsa yang terdiri dari beragam suku bangsa, bahasa, adat istiadat, agama, dan
sebagainya. Adanya makna Bhinneka tunggal ika menjadi pemersatu segalah bentuk perbedaan
dalam satu kesatuan yakni bangsa Indonesia.
Jauh sebelum masyarakat Barat mendengungkan wacana multikulturalisme, masyarakat
Indonesia telah hidup dengan kebhinekaan yang sangat kaya yang meliputi suku bangsa, bahasa,
adat istiadat, agama, dan sebagainya.2 Adanya perbedaan tersebut bukan saja menjadikan bangsa
Indonesia menjadi kaya akan keberagaman tersebut, namun Indonesia juga muncul sebagai
negara yang kuat. Kekokohan bangsa Indonesia dilambangkan dengan kegagahan burung Garuda
yang siap menopang dan menyatukan segala perbedaan.
Bhinneka Tunggal Ika pada kenyatannya merupakan warisan tradisi tentang harmonis dan
toleransi dalam setiap perbedaan yang kita miliki. Adanya keberagaman suku, bahasa, adat
istiadat, agama dan perbedaan lainnya dalam kesatuan Bhinneka Tunggal Ika merupakan suatu
harta berharga yang sulit ditemukan di belahan dunia lainnya. Harta inilah yang harus dijaga,
dilestarikan dan dihidupi oleh setiap warga negara Indonesia.
Selain menjunjung Bhinneka Tunggal Ika sebagai ideologi, bangsa Indonesia juga
menjunjung tinggi hukum negara. Pemerintah negara Indonesia terus berjuang untuk
menciptakan masyarakat yang aman dan adil bagi seluruh warga masyarakatnya. Hal ini terbukti
dengan adanya perubahan atau pembaharuan dalam hukum menuju ke arah yang lebih baik.

1
Fakta dibalik terciptanya semboyan Bhinneka Tunggal Ika. https://www.kincir.com/chillax/epic-life/fakta-di-balik-
terciptanya-semboyan-bhineka-tunggal-ika. ( diakses pada tanggal 4 Maret 2019, pkl. 20.00 wib)
2
Indah Wahyu Puji Utami & Aditya Nugroho Widiadi, Wacana Bhinneka Tunggal Ika dalam Buku Teks.
file:///C:/Users/USER/Downloads/WACANA_BHINEKA_TUNGGAL_IKA_DALAM_BUKU_TEKS_SEJARAH.
pdf. (diakses pada 4 Maret 2019, pkl. 20.30 wib)

1
Usaha tersebut untuk menemukan sebuah hukum yang mampu menghasilkan kebaikan umum
atau bonum commune bagi seluruh masyarakat Indonesia.

I.2. Rumusan Masalah


Tulisan yang berjudul “Hukum Positivistik dan Hukum Kodrat Manusia dalam kaitannya
dengan Bonum Commune” merupakan sebuah tulisan yang dibuat berdasarkan adanya fenomena
keberpihakan hukum kepada mereka yang lebih berkuasa. Akibatnya timbul ketidakadilan antara
masyarakat kecil dan para penguasa. Hukum tidak lagi dilihat berdasarkan benar atau tidaknya
suatu tindakan. Dengan demikian apakah bonum commune masih bisa diperjuangkan?
Berdasarkan fenomena di atas penulis ingin melihat bonum commune berdasarkan realitas yang
ada dan idealnya dengan membandingkan hukum kondrat manusia dan hukum positivisme.
Maka pertayaan panduan dalam tulisan ini adalah bagaimana perbandingan hukum kodrat
manusia dan hukum positivisme dalam kaitannya dengan menciptakan bonum commune.

I.3. Tujuan Penulisan


Segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki tujuannya masing-masing, begitupun
dengan penulisan karya tulis ini. Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah pertama-
tama untuk memenuhi prasyarat ujian akhir semester mata kulia seminar Thomas Aquinas
(Hukum Kodrat) fakultas filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Adapun tujuan
lainya adalah penulis ingin secara jelas menemukan perbandingan di antara kedua hukum
tersebut dalam kaitannya dengan menciptakan bomum commune.

2
Bab II
Isi
I.I. Hukum Positivistik
Berbicara tentang positivisme legal tentu tidak terlepas dalam kaitannya dengan Agus
Comte yang dikenal sebagai bapak positivisme. Adanya paham ini adalah usahanya dalam
menggunakan metode empiris ilmu-ilmu alam untuk mengamati dalam memprediksi perilaku
manusia.3 Dalam kaitannya dengan hukum, positivisme legal memiliki makna yang tentu serupa
dengan ilmu alam dan sosial. Dalam bukunya Cours de Philosophie Positive, dia mulai memakai
istilah filsafat positif dan terus menggunakannya dengan arti yang konsisten di sepanjang
bukunya. Kata filsafat dia artikan sebagai sistem umum tentang konsep-konsep manusia,
sedangkan positif diartikannya sebagai teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang
teramati. Dengan kata lain, positif sama dengan faktual, atau apa yang berdasarkan fakta-fakta.
Dalam hal ini, positivisme menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-
fakta.4

Ketika kaum positivisme tersebut mengamati hukum sebagai obyek kajian, ia


menganggap hukum hanya sebagai gejala sosial. Kaum positivisme pada umumnya hanya
mengenal ilmu pengetahuan yang positif, demikian pula positivisme hukum hanya mengenal satu
jenis hukum, yakni hukum positif. Positivisme hukum hanya dikaji dari aspek lahiriahnya, apa
yang muncul bagi realitas kehidupan sosial, tanpa memandang nilai-nilai dan norma-norma
seperti keadilan, kebenaran, kebijaksanaan, dan lain-lain yang melandasi aturan-aturan hukum.5
Positivisme sejak abad XVIII-XIX di Barat juga memberikan pengaruh besar pada studi hukum.
Pemikiran hukum menjadi legal positivistik, yaitu hukum yang terpisah dari moralitas; hukum

3
Theo Huijbers, Filsafat hukum dalam lintas sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, hal. 123.
4
Wahyuni, Sri, Pengaruh Positivisme dalam Perkembangan Ilmu Hukum dan pembangunan Indonesia. Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
http://ejournal.uinsuka.ac.id/syariah/almazahib/article/download/1342/1164. Diunduh pada tanggal 20 Mei 2019.
Pkl. 20.35 WIB.
5
Najwan, Johni, Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum.
https://www.researchgate.net/publication/265267903_Implikasi_Aliran_Positivisme_Terhadap_Pemikiran_Hukum_
1_Oleh. Diunduh padsa tanggal 20 Mei 2019. Pkl. 20.10 WIB

3
yang diterapkan secara resmi melalui legislasi negara.6 Dalam pengaruh paradigma positivistik
ini, hukum bertumpu pada kepastian legal-formal.

Tidak adanya perhatian bagi kaum positivisme hukum atas nilai-nilai dan norma-norma
seperti keadilan, kebenaran, kebijaksanaan inilah yang terkadang menimbulkan perbedaan atau
bahkan pertentangan dalam suatu negara. Oleh karena mengabaikan apa yang terdapat di balik
hukum, yakni berupa nilai-nilai kebenaran, kesejahteraan dan keadilan yang seharusnya ada
dalam hukum, maka positvisme hanya berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Hukum adalah perintah-perintah dari manusia (command of human being).

b. Tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral, antara hukum yang ada (das
sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen).

c. Analisis terhadap konsep-konsep hukum yang layak dilanjutkan dan harus dibedakan
dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari
undangundang, serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.

d. Keputusan-keputusan (hukum) dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-


peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan
sosial, kebijaksanaan, dan moralitas.

e. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan


oleh penalaran rasional, pembuktian, atau pengujian.7

Hukum positivisme sendiri karena berada dalam suatu negara, maka hukum ini
bersumber pada para pihak yang berwenang. Hukm-hukum tersebut diumumkan untuk diketahui
oleh setiap warga negara. Sehingga hukum ini dapat berjalan seafektif mungkin.

I.II. Hukum Kodrat Manusia dalam pandangan Thomas Aquinas


6
Wahyuni, Sri, Pengaruh Positivisme dalam Perkembangan Ilmu Hukum dan pembangunan Indonesia. Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
http://ejournal.uinsuka.ac.id/syariah/almazahib/article/download/1342/1164. Diunduh pada tanggal 20 Mei 2019.
Pkl. 20.35 WIB
7
Najwan, Johni, Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum.
https://www.researchgate.net/publication/265267903_Implikasi_Aliran_Positivisme_Terhadap_Pemikiran_Hukum_
1_Oleh. Diunduh padsa tanggal 20 Mei 2019. Pkl. 20.10 WIB

4
Tentunya kita tidak asing lagi dengan apa yang disebut dengan hukum, namun apakah
kita sungguh-sungguh tahu dan memahami hukum? Atau menayakan dari mana hukum itu
berasal serta siapa yang membuatnya? Sadar atau tidak saat ini kita hidup dalam berbagai macam
hukum. Sebut saja hukum negara Indonesia atau hukum gereja katolik. Dalam setiap tingkah
laku, tutur kata serta semua kegiatan kita seakan ada yang membatasi kita. Kesadaraan kita
batas-batas tersebut merupakan kesadaran kita pula akan adanya hukum.
Thomas Aquinas dalam penjelasannya tentang hukum mengatakan bahwa ada empat jenis
hukum yakni hukum abadi, hukum positif ilahi, hukum kodrat manusia dan juga hukum positif
manusia. Keempat hukum ini bukanlah terpisah pada masing-masingnya, melainkan berkaitan
satu sama lain. Sebut saja hukum kodrat manusia yang adalah bentuk partisipasinya dalam
hukum abadi.8
Selanjutnya penulis akan menjabarkannya satu persatu dalam membahas ke empat hukum
yang telah disebutkan di atas. Hukum abadi dipahami sebagai hukum yang dibuat oleh Allah
sendiri bagi manusia. Disebut sebagai hukum abadi karena hukum ini bersifat kekal atau abadi.
Allah menciptakan hukum di luar waktu, namun hukum ini berlaku abadi bagi manusia. Hukum
positif Ilahi atau dikenal juga sebagai hukum Tuhan. Hukum ini dapat dilihat pada sepuluh
perintah Allah. Adanya hukum ini membantu manusia dalam mencapai kebahagiaan tertingginya
yang abadi.9 Hukum kodrat dipandang sebagai sutau bentuk partisipasi manusia dalam hukum
abadi. Hukum ini ada dalam diri setiap manusia untuk membedakan baik dan buruk. Adanya
hukum kodrat mansuia selalu mengarahkan pada baik baik dan menghidari yang jahat. Hukum
positif manusia dapat dikatakan sebagai partisipasinya dalam hukum kodrat manusia. 10 Hukum
ini adalah hukum yang kita jalani sebagai warga negara Indonesia. Hukum ini boleh dipahami
sebagai hukum yang mengatur hal-hal partikular dari hukum kodtar manusia.
Hukum sediri dipahaminya sebagai sebuah produk dari akal budi. Adanya hukum pun
ditujukan demi suatu tujuan yakni bonum commune. Namun apakah ini berarti bahwa semua
manusia yang berakal budi dapat membuat hukum? Hukum sesungguhnya hanya dapat dibuat
oleh mereka yang memiliki otoritas atau yang berwenang layaknya raja, presiden dan perdana

8
Ramon Nadres, “Hukum Kodrat”, bahan ajar mata kulia Seminar Thomas Aquinas, fakultas Filsafat Universitas
Katolik Widya Mandala Surabaya, 2019.
9
S. Th. I.II.q.90. a.4
10
S. Th. I.II.q.90. a. 3

5
mentri. Suatu hukum tentu sudah seharunya diumumkan agar hukum tersebut diketahui dan
memeiliki manfaat yang lebih besar.11
Akal budi manusia mengarahkan manusia pada kebahagiaan. Dengan demikian hukum
yang adalah produk dari akal budi juga tentu mengarakan manusia kepada kebahagiaan. Namun
dalam kasus ini hukum membawa mansuia bukan pribadi melainkan sebuah komunitas yang
besar pada kebahagiaan. Karena negara adalah komunitas sempurna, maka hukum yang dibuat
oleh pemimpin negara tentu harus membawa kebahagiaan bagi seluruh warga negara.

I.III. Analisis
Sesuai dengan apa yang penulis tujuhkan pada tulisan ini, maka penulis akan membuat
perbandingan antara ke dua hukum ini. Hal pertama yang ingin penulis bandingkan adalah
sumber hukum. Ada perbedaan di antara keduanya yakni hukum kodrat berumber pada
partisipasinya dalam hukum abadi, sedangkan hukum positivisme bersumber pada meraka yang
berwenang dalam membuat hukum dalam suatu negara. Penjelasan di atas juga sekaligus
menjelaskan tentang perbandingan hukum kodrat mansuia dan hukum positivisme dalam hal
kebenaran. Karena hukum positivisme bersumber dari mereka yang berwenang maka
kebebnarannya ada pada mereka yang berwenang tersebut. Sedangkan hukum kodrat manusia
karena bersumber pada hukum abadi maka kebenarannya juga tergantung pada hukum abadi
(akal budi Allah).
Selain itu perbandingan lainnya adalah berkaitan dengan tujuan dibuatnya hukum yakni
demi bonum commune, hukum kodrat manusia karena selalu mengarahkan kepada yang baik
maka tujuannya tentu menciptkan bonum commune. Penulis mempertanyakan tujuan apa yang
dikejar oleh hukum positivisme? Apakah bonum commune ? Jika ya, mengapa hukum
positivisme mengabaikan nilai-nilai dan norma-norma seperti keadilan, kebenaran,
kebijaksanaan?
Dalam kasus-kasus tertentu nampak adanya ketegangan di antara kedua macam hukum
ini. Sebut saja salah satu jalan mencapaian kebaikan umum adalah sikap adil atau keadilan.
Bagaimana keduanya bisa sampai pada sikap yang adil? Dalam kasus seorang anak miskin yang
lapar mencuri makanan. Dalam kasus ini tentu hukum positivisme langsung memfonis bahwa
anak tersebut bersalah karena dia telah mencuri. Namun berdasarkan hukum kodrat manusia

11
S.Th. I.II. q. 90. a.4.

6
keputusannya tidak semudah itu. Hukum kodrat tentu akan melihat dari berbagai sisi perihal
alasan dan kondisi anak tersbut mencuri. Dari kasus ini kita dapat melihat ada perbedaan sudut
pandang kedua hukum tersebut.
Tidak dapat disalahkan jika positivisme hukum memiliki pandangan yang demikian. Hal
ini sesungguhnya dikarenakan oleh pandangan dasarnya dalam hukum yang tidak
memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma seperti keadilan, kebenaran, kebijaksanaan. Namun
penulis melihat pihak-pihak yang berwenang dalam hukum positivisme telah melalukan terbaik
yang bisa mereka lakukan untuk menciptakan kebaikan umum.
Sesungguhnya hukum kodrat dapat dengan jelas dilihat nilai moral yang terkandung di
dalamnya. Hal ini terbukti dari ungkapan Thomas yang mengatakan hukum kodrat mengarahkan
kepada yang baik dan menolak yang jahat. Adanya hukum kodrat dalam diri kita dan juga akal
budi sesungguhnya dapat membantu kita dengan mudah untuk menentukan pilihan yang benar,
baik, adil dan lain sebagainya. Berbeda dengan ini, hukum positivisme lebih melihat nilai hukum
dari nilai moral, sehingga apa yang diputuskan didasarkan pada sumber hukum tersebut tanpa
melihat embel-embel nilai moralitas.

7
Bab III
Penutup
III.I. Kesimpulan
Setelah melihat hukum positivisme dan hukum kodrat manusia dan menemukan
perbandingan di dalamnya dalam kaitannya dengan bonum commune penulis melihat hukum
kodrat manusia memiliki kemungkinan lebih besar untuk menciptakan bonum commune. Namun
bukan berarti adanya hukum positivisme tidak mengupakan bonum Commune, melainkan
hukum positivisme adalah jalan terbaik yang bisa diberikan oleh para pembuat hukum
positivisme untuk menciptakan bonum commune.
Kedua hukum ini pada dasarny adalah sama yakni hukum, namun berbeda dalam
pelaksanaannya. Hukum kodrat dalam pelaksanaannya memperhatikan dua aspek yakni hukum
dan moral, sedangkan hukum positivisme hanya melihat satu aspek saja yakni hukum. Namun
pada intinya kedua hukum ini memiliki persamaan lain yakni sama-sama memiliki sumber
hukum yang mana sumber hukum pada masing-masing hukum berbeda. Persamaan lainnya
adalah sama-sama diumumkan dengan tujuan yang sama agar diketahui oleh orang lain. Dalam
kasus-kasus tertentu kedua hukum ini bisa bertentangan, karena bersumber dari pembuat hukum
yang berbeda.

8
Daftar pustaka:
 Aquinas Thomas, Summa Theologiae, I-II
 Huijbers Theo, Filsafat hukum dalam lintas sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982.
 Ramon Nadres, “Hukum Kodrat”, bahan ajar mata kulia Seminar Thomas
Aquinas, fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, 2019
 Wahyuni, Sri, Pengaruh Positivisme dalam Perkembangan Ilmu Hukum dan
pembangunan Indonesia. Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
http://ejournal.uinsuka.ac.id/syariah/almazahib/article/download/1342/1164.
DIUNDUH PADA TANGGAL 201 Mei 2019. Pkl. 20.35 WIB.
 Najwan, Johni, Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum.
https://www.researchgate.net/publication/265267903_Implikasi_Aliran_Positivis
me_Terhadap_Pemikiran_Hukum_1_Oleh. Diunduh padsa tanggal 20 Mei 2019.
Pkl. 20.10 WIB.
 Fakta dibalik terciptanya semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
https://www.kincir.com/chillax/epic-life/fakta-di-balik-terciptanya-semboyan-
bhineka-tunggal-ika. ( diakses pada tanggal 4 Mei 2019, pkl. 20.00 wib)
 Indah Wahyu Puji Utami & Aditya Nugroho Widiadi, Wacana Bhinneka Tunggal
Ika dalam Buku Teks.
file:///C:/Users/USER/Downloads/WACANA_BHINEKA_TUNGGAL_IKA_DA
LAM_BUKU_TEKS_SEJARAH.pdf. (diakses pada 4 Mei 2019, pkl. 20.30 wib)

Anda mungkin juga menyukai