Anda di halaman 1dari 10

Laporan Praktikum Hari/Tanggal: Selasa/ 21 Mei 2019 m.

k
Pendidikan Pancasila dan Dosen : Mufad Santoso, S.IP, Msc.
Kewarganegaraan/Bela Negara
Kelompok : 1 (Satu)

AKTUALISASI PANCASILA SEBAGAI BENTENG RADIKALISME DI


LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI

Disusun oleh:
Iqbal Fadillah Sastradikaria J3H917169

PROGRAM STUDI
TEKNOLOGI PRODUKSI DAN MANAJEMENPERIKANAN
BUDIDAYA SEKOLAH VOKASI
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mahasiswa dapat dikatakan sebuah komunitas unik yang berada di masyarakat, dengan
kesempatan dan kelebihan yang dimilikinya, mahasiswa mampu berada sedikit di atas
masyarakat. Mahasiswa juga belum tercekcoki oleh kepentingan-kepentingan suatu
golongan, ormas, parpol, dsb. Sehingga mahasiswa dapat dikatakan (seharusnya) memiliki
idealisme. Idealisme adalah suatu kebenaran yang diyakini murni dari pribadi seseorang
dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang dapat menggeser makna kebenaran
tersebut.
Berdasarkan berbagai potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh mahasiswa, tidak
sepantasnyalah bila mahasiswa hanya mementingkan kebutuhan dirinya sendiri tanpa
memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negaranya. Mahasiswa itu sudah bukan siswa
yang tugasnya hanya belajar, bukan pula rakyat, bukan pula pemerintah. Mahasiswa
memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan
diri dari masyarakat. Oleh karena itu perlu dirumuskan perihal peran, fungsi, dan posisi
mahasiswa untuk menentukan arah perjuangan dan kontribusi mahasiswa tersebut.
Sebenarnya, dengan mengamati lebih jauh mengenai karakter gerakan mahasiswa dapat
diperkirakan bahwa apakah demonstrasi yang dilakukan nantinya akan mengarah pada
kekerasan atau tidak.Keputusan manusia untuk melakukan kekerasan didorong oleh adanya
kesenjangan antara ekspektasi nilai dan kapabilitas nilai (Santoso,2002:4). Ekspektasi nilai
merupakan manifestasi sekumpulan norma yang diunggulkan oleh lingkungan sosial dan
kultural.Realitas di atas menunjukkan bahwa di satu sisi, tingkat respons mahasiswa
terhadap berbagai kebijakan seringkali direspon secara logika emosional. Respons
mahasiswa melalui demonstrasi dianggap menjadi ruang kontrol terhadap kebijakan dan
keputusan yang sering dianggap tidak memihak pada kepentingan mereka.
Gerakan mahasiswa mengaktualisasikan potensinya melalui sikap-sikap dan
pernyataan yang bersifat imbauan moral. Mereka mendorong perubahan dengan
mengetengahkan isu-isu moral sesuai sifatnya yang bersifat ideal. Ciri khas gerakan
mahasiswa ini adalah mengaktualisasikan nilai-nilai ideal mereka karena ketidakpuasan
terhadap lingkungan sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana aplikasi dari pendapat kedua pakar di atas untuk mewujudkan Aktualisasi
Pancasila Sebagai Benteng Radikalisme di Lingkungan Perguruan Tinggi.
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
PPKN/Bela Negara dan menambah pengetahuan tentang tujuan ideologi Pancasila terhadap
radikalisme.
PEMBAHASAN
Pancasila dipilih sebagai ideologi bangsa Indonesia karena nilai-nilainya berasal dari
kepribadian asli bangsa Indonesia sendiri. Pancasila memiliki fungsi dan kedudukan yang
penting dalam negara Indonesia yaitu sebagai jati diri bangsa Indonesia,sebagai ideologi
bangsa dan negara Indonesia, sebagai dasar filsafat negara, serta sebagai asas persatuan
bangsa Indonesia.Terdapat berbagai macam pengertian kedudukan Pancasila yang masing-
masing harus dipahami sesuai dengan konteksnya. Misalnya, Pancasila sebagai Pandangan
Hidup Bangsa Indonesia, sebagai Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, sebagai
Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia dan masih banyak kedudukan dan fungsi Pancasila
lainnya. Seluruh kedudukan dan fungsi Pancasila itu bukanlah berdiri secara sendiri-
sendiri, namun bilamana dikelompokkan, maka akan kembali pada dua kedudukan dan
fungsi Pancasila,yaitu sebagai Dasar Filsafat Negara dan sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia. Sebelum Pancasila dirumuskan dan disahkan sebagai Dasar Filsafat Negara,
nilainilainya telah ada pada bangsa Indonesia yang merupakan pandangan hidup, yaitu
berupa nilai-nilai adat-istiadat dan kebudayaan serta sebagai kausa materialis Pancasila.
Dalam pengertian inilah, maka antara Pancasila dengan bangsa Indonesia tidak dapat
dipindahkan sehingga Pancasila sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia. Setelah bangsa
Indonesia mendirikan negara, maka oleh pembentuk negara Pancasila disahkan menjadi
Dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai suatu bangsa dan negara, Indonesia memiliki
cita-cita yang dianggap paling sesuai dan benar, sehingga segala cita-cita, gagasan-
gagasan, ide-ide tertuang dalam Pancasila. Maka, dalam pengertian inilah Pancasila
berkedudukan sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia, sekaligus sebagai asas
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian, Pancasila sebagai
filsafat negara, secara objektif diangkat dari pandangan hidup yang sekaligus juga sebagai
filsafat hidup bangsa Indonesia yang telah ada dalam sejarah bangsa sendiri
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijakan dan kekuasaan yang dilakukan
senantiasa untuk rakyat (sila IV). Oleh karena itu rakyat adalah asal mula kekuasaan negara,
maka segala kebijakan, kekuasaan, dan kewenangan negara harus dikembalikan kepada
rakyat sebagai pendukung pokok negara. Dalam pelaksanaan politik praktis hal-hal yang
menyangkut kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta konsep pengambilan
keputusan, pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau
dengan kata lain harus memiliki legitimasi demokratis.Prinsip-prinsip dasar etika politik
itu dalam realisasi praksis pada kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara
korelatif diantara ketiganya.Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam
pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri maupun luar negeri,
ekonomi baik nasional maupun global, yang menyangkut rakyat, dan lainnya sekalian
berdasarkan hukum yang berlaku (legitimasi hukum), harus mendapat legitimasi rakyat
(legitimasi demokratis), dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi
moral). Misalnya kebijaksanaan harga BBM, Tarif Dasar Listrik, tarif telefon,
kebijaksanaan ekonomi mikro ataupun makro, reformasi infrastruktur politik serta
kebijaksanaan politik dalam maupun luar negeri harus didasarkan atas tiga prinsip
tersebut.50Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat
secara konkret dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, anggota
legislatif, maupun yudikatif, para pejabat negara, harus menyadari bahwa selain legitimasi
hukum dan legitimasi demokratis juga harus berdasar pada legitimasi moral. Karena suatu
kebijaksanaan itu sesuai dengan hukum belum tentu sesuai dengan moral. Saat ini, memang
peran pemuda khususnya mahasiswa belum memiliki arti penting. Namun di masa yang
akan datang, pemuda adalah generasi penerus bangsa yang akan mengisi semua pos-pos
pemerintahan. Oleh karena itu, teramat penting agar para pemuda terlebih dahulu
memahami nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila, sehingga kemudian dapat
menghayatinya untuk menjadi karakter yang menyatu dengan kehidupan. Dengan
demikian, pada saatnya nanti menjadi pemimpin bangsa ini, Pancasila benar-benar menjadi
dasar pijakan dalam rangka penyelenggaraan dan pelaksanaan negara untuk mewujudkan
Indonesia yang sejahtera dan Indonesia yang berkarakter. Biarkan saja, biarkan para
pemimpin kita saat ini dengan kejahiliahannya, kita para pemuda terus saja memperbaiki
diri, untuk menjadi manusia yang berkompetensi dan berintegritas, karena saatnya nanti
Indonesia akan berada ditangan kita, di tangan para pemuda.

Aktualisasi Pancasila dalam Lingkungan Perguruan Tinggi


1. Pemahaman Aktualisasi Aktualisasi adalah sesuatu mengaktualkan. Dalam masalah ini
adalah bagaimana nilai-nilai Pancasila itu benar-benar dapat tercermin dalam sikap dan
perilaku dari seluruh warga Negara, mulai dari aparatur dan pimpinan nasional sampai
kepada rakyat biasa. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara memerlukan kondisi dan iklim yang memungkinkan segenap
lapisan masyarakat yang dapat mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dan dapat terlihat
dalam perilaku yang sesungguhnya, bukan hanya sekedar lips service untuk mencapai
keinginan pribadi dengan mengajak orang lain mengamalkan nilai-nilai Pancasila,
sementara perilaku sendiri jauh lebih dari nilai-nilai Pancasila yang sesungguhnya.
Oleh sebab itu, merealisasikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara secara sesungguhnya dapat dilakukan melalui cara-cara berikut ini: a)
Aktualisasi Pancasila secara objektif, yaitu melaksanakan Pancasila dalam setiap aspek
penyelenggaraan Negara meliputi eksekutif, legislative dan yudikatif dan dalam bidang
kehidupan kenegaraan lainnya. b) Aktualisasi Pancasila secara subjektif, yaitu
pelaksanaan Pancasila dalam setiap pribadi, perseorangan, warga Negara, dan
penduduk. Pelaksanaan Pancasila secara subjektif sangat ditentukan oleh kesadaran,
ketaatan, serta kesiapan individu untuk mengamalkan Pancasila.
2. Tridarma Perguruan Tinggi Sesuai dengan tujuan perguruan tinggi sebagaimana
dinyatakan dalam PP No.30 Tahun 1990 k mententang Perguruan Tinggi, ialah
pergurua tinggi bertujuan menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan akademik dan/ atau professional yang dapat menerapkan,
mengembangkan dan / atau menciptakan ilmu pengetahuan teknologi dan / atau
kesenian, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, dan kesenian serta
menyumbangkan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya
kehidupan nasional. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut perguruan tinggi
memiliki motto yang dikenal “Tri Dharma Perguruan Tinggi”, yaitu pendidikan,
penelitian dan pengabdian. Perguruan tinggi (universitas) adalah tempat pertemuan
utama dari berbagai kelompok merupakan symbol dan kenyataan. Sebagai simbolis
karena di dalam sector modern perguruan tinggi dianggap sebagai lembaga paling
modern dan pembaruan. Tempat yang nyata karena merupakan satu tempat dimana
berangkat para intelektual, apakah mereka masih mahasiswa atau sudah menjadi dosen.
Universitas ialah sebuah pusat dengan peranannya menghasilkan pemimpin yang cocok
di masa kini dan mempelopori modernisasi. Perguruan tinggi di Indonesia mempunyai
moto dengan tiga fungsi, yaitu (1) tepat pengajaran dan pendidikan, (2) tempat
penelitan ilmiah, (3) alat pengabdian masyarakat. Universitas membentuk kader-kader
bangsa, ia menjadi “pabrik ahli”, menjadi tempat riset dilakukan, dan tempat
pengumpulan pengetahuan dan penambahan pengenalan ilmiah berdasarkan
rasionalisasi Barat. Namun, yang menjadi ciri khas di Indonesia ialah peranannya
sebagai pengabdi kepada rakyat (social engineering).
3. Budaya Akademik
a. Pemahaman Akademik berasal dari academia, yaitu sekolah yang diadakan Plato
(Pranarka, 1983:37- 375). Kemudian berubah menjadi istilah akademi yang
berkaitan dengan proses belajar-mengajar, sebagai tempat dilakukannya kegiatan
mengembangkan intelektual. Istilah akademi selanjutnya mencakup pengertian
kegiatan intelektual yang bersifat refleksif, kritis, dan sistematis. Dalam kaitannya
dengan nilai-nilai Pancasila ruang lingkup pemikiran akademik menurut Pranarka
(1983:37-375) adalah sebagai berikut. Pertama, pengolahan ilmiah mengenai
Pancasila, adanya atau eksistenti objektif Pancasila, Pancasila sebagai data empiris,
yaitu sebagai ideology, dasar Negara, dan sumber hukum yang terjadi di dalam
sejarah. Sasaran ini dilakukan dengan penelusuran ilmiah terutama dengan
menggunakan disiplin sejarah. Kedua, mengungkapkan ajaran yang terkandung
dalam Pancasila, yaitu mempelajari factor - faktor objektif yang membentuk adanya
Pancasila itu. Penelusurannya dilakukan dengan pendekatan disiplin ilmu
kebudayaan, termasuk di dalamnya ethnologi, anthropologi, sosiologi, hokum,
bahasa, dan ilmu kenegaraan. Dengan menggali factor-faktor yang ikut membentuk
perkembangan pemikiran mengenai Pancasila, dapat pula diungkapkan isi maupun
fungsi Pancasila secara analitis. Ketiga, renungan refleksif dan sistematis mengenai
Pancasila yang sifatnya diolah dengan dengan keyakinan-keyakinan pribadi
mengenai kebenaran-kebenaran yang sifatnya mendasari. Jenis pendekatan ketiga
ini adalah kegiatan intelektual yang dilakukan dalam rangka filsafat atau teologi.
Perbedaannya adalah teologi renungan fundamental mengenai Pancasila
dilaksanaka renungan berdasarkan kepada wahyu yang diimani, sedangkan dalam
filsafat renungan mendasar mengenai Pancasila dilaksanakan atas dasar keyakinan
pemikiran dan pengalaman manusiawi. Keempat, studi perbandingan ajaran
Pancasila dengan ajaran lain. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam rangka pemikiran
filosofi, teologi, atau kegiatan ilmiah. Namun masing-masing mempunyai
metodologinya sendiri-sendiri. Studi perbandingan ini mempunyai persyaratan
yang banyak. Ajaran-ajaran Pancasila maupun ajaran lain diselami terlebih dahulu,
dan baru kemudian dibandingkan. Didalam studi seperti ini masing-masing ajaran
berkedudukan sebagai Normans et normata satu dengan yang lain. Kelima,
pengolahan ilmiah mengenai pelaksanaan Pancasila, yaitu masalah pelaksanaan
atau operasionalisasinya. Pemikiran akademik itu dapat bergerak dalam ruang
lingkup das sain maupun das sollen. Dalam kaitan dengan pemikiran akademis itu,
baik ilmu dilasafat maupun teologi dapat mempunyai focus kepada ruang lingkup
kenyataan seperti adanya ataupun kepada ruang lingkup pelaksanaan praktis. Ada
dua dimensi yang yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan pendekatan
ilmiah untuk mempelajari Pancasila itu. Pertama, mengembangkan suatu teori
ilmiah untuk mempelajari Pancasila, dimensi ini menyentuh aspek proses dan
metodologi. Kedua, mengembangkan teoriteori ilmiah dengan Pancasila sebagai
landasannya, dimensi ini menyentuh aspek substansi.
b. Kebebasan Akademik Istilah kebebasan akademik digunakan sebagai padanan dari
konsep Inggris academic freedom, yang menurut Arthur Lovejoy adalah kebebasan
seorang guru atau seorang peneliti di lembaga pengembangan ilmu untuk mengkaji
serta membahas persoalan yang terdapat dalam bidangnya, serta mengutarakan
kesimpulan-kesimpulannya, baik melalui penerbitan maupun melalui perkuliahan
kepada mahasiswanya, tanpa campur tangan dari penguasa politik atau keagamaan
atau dari lembaga yang memperkerjakannya, kecuali apabila metode-metode yang
digunakannya dinyatakan jelas-jelas tidak memadai atau bertentangan dengan etika
professional oleh lembaga-lembaga yang berwenang dalam bidang keilmuannya
(Mochtar Buchari 1995). Sesuai dengan ketentuan yang dindyatakan dalam PP
No.30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan kebebasan akademik
dan otonomi keilmuan, antara lain sebagai berikut: 1) Kebebasan akademik
merupakan kebebasan yang dimiliki anggota akademik untuk secara bertanggung
jawab dan mandiri melaksanakan kegiatan akademik yang terkait dengan
pendidikan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2) Kebebasan mimbar
akademik berlaku sebagai bagian dari kebebasan akademik yang memungkinkan
dosen menyampaikan pikiran dan pendapat di perguruan tinggi yang bersangkutan
sesuai dengan norma dan kaidah keilmuan. 3) Otonomi keilmuan merupakan
kegiatan keilmuan yang berpedoman pada norma dan kaidah keilmuan yang harus
ditaati oleh pada anggota sivitas akademik.
4. Kampus sebagai Moral Force Pengembangan Hukum dan HAM Pembicaraan
tentang kampus mengingatkan kita kepada kehidupan ilmiah dengan ciri utama
kebebasan berfikir dan berpendapat, kreativitas, argumentative, tekun, dan melihat
jauh ke depan sambil mencari manfaat praktis dari suatu ide ataupun penemuan.
Perpaduan cirri tersebut di dalam kehidupan kampus melahirkan gaya hidup
tersendiri yang merupakan variasi dari corak kehidupan yang menjadikan kampus
sebagai pedoman dan harapan masyarakat. Gambaran klasik yang lebih bertumpu
kepada kehidupan akademik itu, sesungguhnya lebih mewakili fokus kehidupan
kampus pada abad kesembilan belas masa colonial dulu. Setelah jatuhnya rezim
pemerintahan Orde Baru akibat dari perbedaan misi dan visi dengan kalangan
kampus yang semakin meruncing, maka kehadiran kampus sebagai usaha
meluruskan jalannya kehidupan bernegara tidak dapat disangkal lagi. Namun,
jatuhnya Soeharto kehidupan kenegaraan meninggalkan setumpuk permasalahan
yang tidak mudah diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat. Permasalahan
utama yang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka pendidikan Pancasila ini
adalah pembangunan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Apabila berbagai
persoalan utama dalam kehidupan ketatanegaraan kita semenjak kemerdekaan
tidak lepas dari kekuatan moral dari kalangan kampus, maka reformasi yang
menjadi tuntutan utama kalangan kampus tertentu tidak lepas dari upaya mereka
dalam mencari solusi pemecahannya.Reformasi menyeluruh yang dikehendaki
oleh semua lapisan masyarakat dewasa ini adalah tuntutan agar kedaulatan rakyat
dalam penyelenggaraan Republik Indonesia ditegakkan. Oleh sebab itu,
perwujudan Negara berdasarkan kepada hokum dan pemerintahan yang
konstitusional benar-benar dapat diabadikan untuk memenuhi aspirasi dan
kepentingan rakyat sesuai dengan tujuan Negara. Hukum di Indonesia dalam
rangka prakteknya belum mengembirakan, karena kesadaran hokum dikalangan
supra-struktur dan infra-struktur masih memprihatinkan. Permasalahan yang actual
tentang hokum di Indonesia yang mendesak untuk dicarikan solusinya adalah
masalah independensi institusi lembaga peradilan, law enforcement, dan masalah
HAM. Kenyataan bahwa Republik Indonesia adalah berdasarkan hokum, bukan
kekuasaan belaka, hokum menjanjikan untuk menjadi sarana yang terpercaya guna
melakukan usaha rekayasa social. Tugas penting dan berat yang diterima sarjana
hokum termasuk kalangan kampus adalah menciptakan masyarakat Indonesia baru
yang didasarkan pada Pancasila melalui hokum. Rekayasa social tersebut menurut
Satjipto (1991) dimulai dari sumber nilai-nilai yang merupakan orientasi tertinggi
dalam teknik pengaturan hokum. Penjabaran Pancasila ke dalam postulat hokum
terlebih dahulu, sebagai langkah sistematis memasukan Pancasila ke dalam sistem
hokum Indonesia. Postulat hokum yang diusulkan dan didasarkan pada Pancasila
ini dimulai dengan diinginkan dalam suatu masyarakat yang berdasarkan Pancasila.
Dalam perkembangan penegakan hokum sepangjang masa pemerintahan Indonesia
Orde Lama dan khususnya orde baru banyak kasus hokum menunjukkan gejala
kian dalamnya pengaruh kekuasaan terhadap lembaga peradilan dan aparat
penegak hokum. Masyarakat hampir setiap saat mempersoalkan mental dan etika
aparat penegak hokum dengan terjadinya perlakuan tidak manusiawi (Pelanggaran
HAM). Banyak keputusan peradilan bertentangan dengan perasaan keadilan
masyarakat, seperti kasus kerusuhan 27 Juli 1996, kasus santet di Banyuwangi,
penembakan mahasiswa di Universitas Trisakti, semanggi berdarah, Ambon,
Ketapang, Sambas, Kasus Kekayaan mantan Presiden Soeharto, dan lain
sebagainya. Penegakan HAM, khususnya untuk menyatakan untuk menyatakan
apa yang dianggap benar, seharusnya menjamin bahwa kemakmuran yang
diperoleh oleh suatu Negara secara nyata di rakyat kecil dapat menikmatinya.
Bagaimanakah usaha merealisasikan perjuangan menegakkan HAM untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat secara merata? Apabila kita memperhatikan
peranan kampus sebagaimana diuraikan di atas jelas peranan kampus memiliki
peranan yang sangat besar. Kampus melalui kajian ilmiah, mimbar akademik yang
bebas, budaya akademik, dan berfikir rasional objektif dengan menggunakan
metodologi ilmiah dalam kerangka pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi, akan
mempunyai peluang yang sangat besar untuk berperan serta sebagai kekuatan
moral (moral force) untuk mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menghadapi Radikalisme
Dalam masa orde baru, untuk menanamkan dan memasyarakatkan kesadaran akan nilai-nilai
Pancasila dibentuk satu badan yang bernama BP7. Badan tersebut merupakan penanggung jawab
(leading sector) terhadap perumusan, aplikasi, sosialisasi, internalisasi terhadap pedoman penghayatan
dan pengamalan Pancasila, dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Saat ini
Pancasila adalah ideologi yang terbuka., dan sedang diuji daya tahannya terhadap gempuran, pengaruh
dan ancaman ideologi-ideologi besar lainnya, seperti liberalisme (yang menjunjung kebebasan dan
persaingan), sosialisme (yang menekankan harmoni), humanisme (yang menekankan kemanusiaan),
nihilisme (yang menafikan nilai-nilai luhur yang mapan), maupun ideologi yang berdimensi
keagamaan. Pancasila, sebagai ideologi terbuka pada dasarnya memiliki nilai-nilai universal yang sama
dengan ideologi lainnya, seperti keberadaban, penghormatan akan HAM, kesejahteraan, perdamaian
dan keadilan. Dalam era globalisasi, romantisme kesamaan historis jaman lalu tidak lagi merupakan
pengikat rasa kebersamaan yang kokoh. Kepentingan akan tujuan yang akan dicapai lebih kuat
pengaruhnya daripada kesamaan latar kesejarahan. Karena itu, implementasi nilai-nilai Pancasila, agar
tetap aktual menghadapi ancaman radikalisme harus lebih ditekankan pada penyampaian tiga message
berikut : 1. Negara ini dibentuk berdasarkan kesepakatan dan kesetaraan, di mana di dalamnya tidak
boleh ada yang merasa sebagai pemegang saham utama, atau warga kelas satu. 2. Aturan main dalam
bernegara telah disepakati, dan Negara memiliki kedaulatan penuh untuk menertibkan anggota
negaranya yang berusaha secara sistematis untuk merubah tatanan, dengan cara-cara yang melawan
hukum. 3. Negara memberikan perlindungan, kesempatan, masa depan dan pengayoman seimbang
untuk meraih tujuan nasional masyarakat adil dan makmur, sejahtera, aman, berkeadaban dan merdeka.
Nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945 yang harus tetap diimplementasikan itu adalah : Ø
Kebangsaan dan persatuan Ø Kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia
Ø Ketuhanan dan toleransi Ø Kejujuran dan ketaatan terhadap hukum dan peraturan Ø Demokrasi dan
kekeluargaan Ketahanan Nasional merupakan suatu kondisi kehidupan nasional yang harus diwujudkan
dan dibina secara terus menerus secara sinergis dan dinamis mulai dari pribadi, keluarga, lingkungan
dan nasional yang bermodalkan keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
pengembangan kekuatan nasional. Salah satu unsur ketahanan nasional adalah Ketahanan Ideologi.
Ketahanan Ideologi perlu ditingkatkan dalam bentuk : Ø Pengamalan Pancasila secara objektif dan
subjektif Ø Aktualisasi, adaptasi dan relevansi ideologi Pancasila terhadap nilai-nilai baru Ø
Pengembangan dan penanaman nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam seluruh kehidupan berbangsa,
bermasyarakat. Membentengi Pemuda Dari Radikalisme. Pemuda adalah aset bangsa yang sangat
berharga. Masa depan negeri ini bertumpu padakualitas mereka. Namun ironisnya, kini tak sedikit kaum
muda yang justru menjadi pelaku terorisme. Serangkaian aksiterorisme mulai dari Bom Bali-1, Bom
Gereja Kepunton, bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton,hingga aksi penembakan Pos Polisi
Singosaren di Solo dan Bom di Beji dan Tambora, melibatkan pemuda. Sebut saja, Dani Dwi Permana,
salah satu pelaku Bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, yang saat itu berusia 18 tahun dan baru
lulus SMA. Fakta di atas diperkuat oleh riset yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan
Perdamaian(LaKIP). Dalam risetnya tentang radikalisme di kalangan siswa dan guru Pendidikan
Agama Islam (PAI) di Jabodetabek, LaKIP menemukan sedikitnya 48,9 persen siswa menyatakan
bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral. Rentannya pemuda terhadap
aksi kekerasan dan terorisme patut menjadi keprihatinan kita bersama. Banyak fayang menyebabkan
para pemuda terseret ke dalam tindakan terorisme, mulai dari kemiskinan, kurangnya pendidikan agama
yang damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat kebangsaan, kurangnya
pendidikan kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus
modernitas negatif. Untuk membentengi para pemuda dan masyarakat umum dari radikalisme dan
terorisme. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menggunakan upaya pencegahan
melalui kontra-radikalisasi (penangkalan ideologi). Hal ini dilakukan dengan membentuk Forum
Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di daerah, Pelatihan anti radikal-terorisme bagi ormas,
Training of Trainer (ToT) bagi sivitas akademika perguruan tinggi, serta sosialiasi kontra radikal
terorisme siswa SMA di empat provinsi.
Secara sederhana radikalisme merupakan suatu pemikiran atau sikap yang ditandai oleh
beberapa hal yang menjadi karakteristiknya, yaitu pertama, sikap tidak toleransi dan tidak mau
menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yaitu sikap yang merasa
paling benar sendiri dan menganggap orang lain salah. Ketiga, sikap eksklusif, yaitu
membedakan diri dari kebiasaan kebanyakan orang. Keempat, sikap revolusioner, yaitu sikap
yang cenderung ingin menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya (Lisa, 2014).
Sejarah kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran kelompok fundamentalisme
dalam islam lebih di rujuk karena dua faktor, yaitu: 1. Faktor internal Faktor internal adalah
adanya legitimasi teks keagamaan, dalam melakukan “perlawanan” itu sering kali
menggunakan legitimasi teks (baik teks keagamaan maupun teks “cultural”) sebagai
penopangnya. untuk kasus gerakan “ekstrimisme islam” yang merebak hampir di seluruh
kawasan islam (termasuk indonesia) juga menggunakan teks-teks keislaman (Alquran, hadits
dan classical sources kitab kuning) sebagai basis legitimasi teologis, karena memang teks
tersebut secara tekstual ada yang mendukung terhadap sikap-sikap eksklusivisme dan
ekstrimisme ini. Faktor internal lainnya adalah dikarenakan gerakan ini mengalami frustasi
yang mendalam karena belum mampu mewujudkan cita-cita berdirinya ”negara islam
internasional” sehingga pelampiasannya dengan cara anarkis; mengebom fasilitas publik dan
terorisme. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen
keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas
oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya,
dan bukan agama. 2. Faktor eksternal Faktor eksternal terdiri dari beberapa sebab di antaranya
: pertama, dari aspek ekonomi politik, kekuasaan depostik pemerintah yang menyeleweng dari
nilai-nilai fundamental islam. Itu artinya, rezim di negara-negara islam gagal menjalankan
nilai-nilai idealistik islam. Rezim-rezim itu bukan menjadi pelayan rakyat, sebaliknya berkuasa
dengan sewenang-wenang bahkan menyengsarakan rakyat. Penjajahan Barat yang serakah,
menghancurkan serta sekuler justru datang belakangan, terutama setelah ide kapitalisme global
dan neokapitalisme menjadi pemenang. Satu ideologi yang kemudian mencari daerah jajahan
untuk dijadikan “pasar baru”. Industrialisasi dan ekonomisasi pasar baru yang dijalankan
dengan cara-cara berperang inilah yang sekarang hingga melanggengkan kehadiran
fundamentalisme islam. Kedua, faktor budaya, faktor ini menekankan pada budaya barat yang
mendominasi kehidupan saat ini, budaya sekularisme yang dianggap sebagai musuh besar yang
harus dihilangkan dari bumi. Ketiga, faktor sosial politik, pemerintah yang kurang tegas dalam
mengendalikan masalah teroris ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih
maraknya radikalisme di kalangan umat islam.
DAFTAR PUSTAKA
Mochtar, Bukhari. 1995. Transformasi Pendidikan : Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Raharjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum.Bandung: Citra Aditya Bakti.
Laisa, Emna. 2014. “Islam dan Radikalisme”. Islamuna 1, 1: 1-18.

Anda mungkin juga menyukai