Anda di halaman 1dari 36

Grand Case - Case Report Session

Spondilitis Tuberkulosa

Oleh :

Alya Binti Azmi 1840312772


Rizcha Sri Oktawaty 1840312207

Preseptor :
Dr.dr. Roni Eka Sahputra, Sp.OT (K) Spine

BAGIAN ILMU BEDAH


RSUP DR M DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Spondilitis tuberkulosa yang dikenal pula dengan nama Pott’s disease of

the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan salah satu kasus

penyakit tertua dalam sejarah. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh

Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara

kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut

tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut

oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.

Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberculosis tulang

dan sendi. Pada negera berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah

20 tahun, sedangkan pada Negara maju lebih sering mengenai pada usia yang

lebih tua. Perbandingan antara pria dan wanita, yaitu 1,5 : 2,1. Umumnya penyakit

ini menyerang orang-orang yang berada dalam keadaan sosial ekonomi rendah.

Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan

sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi

dapat terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban

(weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih

sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut,

tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang

(kurang lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-

tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area

2
thorako-lumbal terutama thorakal bagian bawah (umumnya T10) dan lumbal

bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini

pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti

dengan area servikal dan sakral.

Penyakit ini merupakan penyebab paraplegia (kelumpuhan) terbanyak

setelah trauma, dan banyak dijumpai di Negara berkembang. Spondilitis ini paling

sering ditemukan pada vertebra T8 – L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2.

Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang

sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada kasus-kasus tertentu

diperlukan tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan

dengan baik sebelum ataupun setelah penderita menjalani tindakan operatif. 1

1.2 Batasan Masalah

Case report session ini membahas definisi, etiologi, diagnosis dan

tatalaksana, serta laporan kasus spondilitis Tuberkulosis

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Case report session bertujuan untuk memberi informasi mengenai definisi,


etiologi, diagnosis dan tatalaksana, serta laporan kasus spondilitis Tuberkulosis.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Vertebrae

Gambar 1. Anatomi Vertebra. 2

Vertebra adalah tulang yang membentuk punggung yang mudah digerakkan.

Terdapat 33 vertebra pada manusia, 7 ruas vertebra cervicalis, 12 ruas vertebra

thoracalis, 5 ruas vertebra lumbalis, 5 ruas vertebra sacralis yang membentuk os

sacrum, dan 4 ruas vertebra coccygealis yang membentuk os coccygeus.3

Sebuah vertebra terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri

dari corpus vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae. Arcus

vertebrae dibentuk oleh dua “kaki” atau pediculus dan dua lamina, serta didukung

oleh penonjolan atau procesus yakni procesus articularis, procesus transversus,

dan procesus spinosus. Procesus tersebut membentuk lubang yang disebut

foramen vertebrale. Ketika tulang punggung disusun, foramen ini akan

membentuk saluran sebagai tempat medulla spinalis. Di antara dua vertebra dapat

4
ditemui celah yang disebut foramen intervertebrale. Dan di antara satu corpus

vertebra dengan corpus vertebra lainnya terdapat discus intervertebralis.3

2.2 Definisi

Spondilitis tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi oleh kuman

Micobacterium tuberculosis yang menyerang tulang belakang. Kuman ini

menyerang terutama di daerah paru. Ternyata dalam perjalanannya, kuman ini

tidak hanya menyerang paru, tetapi juga diketahui menyerang tulang belakang.

Spondilitis tuberkulosa dikenal juga sebagai penyakit Pott, paraplegi Pott. Nama

Pott itu merupakan penghargaan bagi Pervical Pott seorang ahli bedah

berkebangsaan Inggris yang pada tahun 1879 menulis dengan tepat tentang

penyakit tersebut. 3

Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas

(disebut juga abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari

akumulasi produk likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini

sebagian besar dibentuk dari leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel

basil. Abses di daerah lumbar akan mencari daerah dengan tekanan terendah

hingga kemudian membentuk traktus sinus/fistel di kulit hingga di bawah

ligamentum inguinal atau regio gluteal. Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari

lebih dari satu fokus infeksi vertebra. Hal ini disebut sebagai spondilitis TB non-

contiguous, atau “skipping lesion”. Peristiwa ini dianggap merupakan penyebaran

dari lesi secara hematogen melalui pleksus venosus Batson dari satu fokus infeksi

vertebra. Insidens spondilitis TB non-contiguous dijumpai pada 16 persen kasus

spondilitis TB. Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan

5
radiks terjadi akibat banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh

abses paravertebral, 2) subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan granulasi, 4)

vaskulitis, trombosis arteri/ vena spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural

atau 7) invasi duramater secara langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat

juga terjadi secara intradural melalui meningitis dan tuberkulomata sebagai space

occupying lesion. 4,5

2.3 Epidemiologi

Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya

berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang

tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa

merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan

sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk

masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah

berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam

kurun waktu 30 tahun terakhir. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris

insidensi penyakit ini mengalami peningkatan pada populasi imigran, tunawisma

lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV. 6

2.4 Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus).

Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium

tuberculosis, merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-

motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional.

Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tumbuh

6
secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6 – 8 minggu. Produksi

niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu

untuk membedakannnya dengan spesies lain. 6

2.5 Patogenesis

Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran

hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui

jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar

tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat

bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem

pulmoner dan genitourinarius. 6

Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbal yang

memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian

bawah vertebra di atasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui

pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan

banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih

70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,

sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra. 6

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal empat

bentuk spondilitis :

(1) Peridiskal / paradiskal

Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di

bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak

7
ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan

nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.

(2) Sentral

Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga

disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini

sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain

sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi

kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di

regio torakal. (6, 7)

(3) Anterior

Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas

dan di bawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped

karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola

ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan

melalui abses prevertebral di bawah ligamentum longitudinal anterior atau

karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral. 6, 7

(4) Bentuk atipikal

Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak

dapat diidentifikasikan. Termasuk di dalamnya adalah tuberkulosa spinal

dengan keterlibatan lengkung saraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis

spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina,

prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi

8
intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen

posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2% - 10%.6

Gambar 3. Bentuk Spondilitis Tuberkulosa.

Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari

vertebra. Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi

ke dalam korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior,

melibatkan dua atau lebih vertebra yang berdekatan melalui perluasan di bawah

ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus

intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan

oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang

jauh melalui abses paravertebral. 6

Terjadinya nekrosis perkejuan yang meluas mencegah pembentukan tulang

baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular

sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio thorakal. Discus

intervertebralis yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa.

Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam

ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus

9
vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder

karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan

semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang

menjadi nekrosis. 6

Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut

akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat

badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral

dan lengkung saraf posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk

kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat

kerusakan, level lesi, dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul

deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah

meluas. 6

Di regio thorakal, kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal

yang normal; di area lumbal hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbal

lordosis dimana sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior

sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya

bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar berat

badan disalurkan melalui prosesus artikular. 6

Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio thorakal, tulang-tulang

iga akan menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel

chest. Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya

fibrosis dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan

10
fibrosa itu mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra

yang kolaps. 6

Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan

kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkejuan,

dan tulang nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks

dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinal anterior. Cold abcesss ini

kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanjang bidang fasial

dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi aslinya. 6

Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan

menuju lipat paha di bawah ligamentum inguinal. Di regio thorakal, ligamentum

longitudinal menghambat jalannya abses, tampak pada radiogram sebagai

gambaran bayangan berbentuk fusiform radioopak pada atau sedikit di bawah

level vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi ruptur

ke dalam mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral yang

menyerupai „sarang burung‟. Terkadang, abses thorakal dapat mencapai dinding

dada anterior di area parasternal, memasuki area retrofaringeal atau berjalan

sesuai gravitasi ke lateral menuju bagian tepi leher. 6

Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul

pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Kompresi saraf sendiri dapat terjadi

karena kelainan pada tulang (kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena perluasan

langsung dari infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan dari tulang (seperti

epidural granuloma, intradural granuloma, tuberculous arachnoiditis). 6

11
Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia

yang dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara

akut ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan

peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Pada penelitian yang

dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada pasien

berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi

berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini. 6

2.6 Diagnosis

Anamnesis:

1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat

malam, demam yang berlangsung secara intermitten, berkurangnya

nafsu makan akan terlihat dengan jelas.

2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 2 minggu) berdahak atau

berdarah disertai nyeri dada.

3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri

yang menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak

sebagai nyeri di daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi

di thorakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan

intercostal. Pada lesi di bagian thorakal bawah maka nyeri dapat berupa

nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang

dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri, pasien akan menahan

punggungnya menjadi kaku.

12
4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang.

Langkah kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.

5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat

menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi

dan duduk dalam posisi dagu disanggah oleh satu tangannya, sementara

tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris

sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga

mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat

abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang

besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch

sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor

respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa

akan menyebabkan tetraparesis.

6. Infeksi di regio thorakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi

kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari

sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk

lututnya sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku.

Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan

mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak

dinding dada. Jika abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat

menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.

7. Di regio lumbal abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak

yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat

13
keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang

sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam

posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan

tangannya di atas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan

menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.

8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi

tulang belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi,

spondilolistesis, dan dislokasi.

9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit

neurologis). Terjadi pada kurang lebih 10 – 47% kasus. Insidensi

paraplegia pada spondilitis lebih banyak ditemukan pada infeksi di area

torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari

alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola

jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat

pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.

10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai demam dan

nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari

pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut

disebabkan karena tuberkulosa.6

Pemeriksaan fisik :

1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit di

atasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan

dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat

14
paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot

sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di

sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara

ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.

2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang

terkena.

3. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan di atas prosessus

spinosus vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness. 6

Pemeriksaan Penunjang :

1. Laboratorium :

a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari

100mm/jam.

b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein

Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi

pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium.

Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,

kemerahan dengan diameter ‡ 10mm di sekitar tempat suntikan selama 48

– 72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada – 20% kasus

dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang

immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau

disertai penyakit lain).

15
c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal),

sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-

paru yang aktif).

d. Hapusan darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang

bersifat relatif.

e. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin

haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang

sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih)

untuk menyingkirkan diagnosa banding.

f. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis

tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan

kemungkinan infeksi TB. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial

akan memberikan hasil yang lebih baik. 2. Radiologis : Gambarannya

bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.

2. Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya

tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).

3. Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti

adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat

setelah 3 – 8 minggu onset penyakit. Tahap awal tampak lesi osteolitik di

bagian anterior superior atau sudut inferior corpus vertebrae, osteoporosis

regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus

intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior yang

berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous.

16
Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa

yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi

lebih besar dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih

besar terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau

tall vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian

kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak

terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra

yang belum menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang melibatkan

vertebra thorakal.

Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan

psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan

kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang

mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat

penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh

karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran

abses). 6

17
Gambar 4. Gambaran Foto Polos Spondilitis Tuberkulosis. 8

Gambar 5. Gambaran Foto Polos Spondilitis Tuberkulosis. 8

18
4. CT Scan

Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio thorakal dan keterlibatan iga

yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung saraf posterior seperti

pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.

Gambar 6. Gambaran CT Scan menunjukkan


penghancuran signifikan elemen posterior tulang. 8

5. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat

kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang

belakang. Bermanfaat untuk :

 Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat

konservatif atau operatif.

19
 Membantu menilai respon terapi.

A B

Gambar 7. MRI Spondilitis Tuberkulosis. A dan B gambaran potongan sagital


dari vertebra thorakal, menunjukkan gambar disk space loss dan kompresi

20
vertebral dengan ekstensi jaringan lunak paravertebral (panah). C menunjukkan
abses paraspinal multiloculated besar. 8
2.7 Komplikasi

1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan

ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari

diskus intervertebralis (contoh : Pott‟s paraplegia – prognosa baik) atau dapat

juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi

tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi

sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan

mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena

invasi dura dan corda spinalis.

2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di thorakal ke

dalam pleura. 6

2.8 Diagnosis Banding

1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).

Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen

menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih

corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi

tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.

2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari

pemeriksaan laboratorium.

3. Tumor / penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin‟s disease, eosinophilic

granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewing‟s sarcoma). Metastase dapat

menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan

21
spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara

radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus

sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.

4. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh

karena tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut

superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal. 6

2.9 Terapi

Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :

1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit.

2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis.

Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi

menjadi :

A. Terapi Konservatif

1. Pemberian nutrisi yang bergizi.

2. Terapi anti tuberkulosa.

 Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (5 mg/kg/hari – 300

mg/hari), rifamipicin (8-12 mg/kg/hari atau 450 – 600 mg/hari),

pyrazinamide (15-30mg/kg/hari), streptomycin (15 mg/kg/hari – 1

g/kg/hari) dan ethambutol (15-25 mg/kg/hari). Pemberian obat-obatan saja

dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau terbatas tanpa disertai

dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama 6 – 12 bulan atau

hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang. Terapi yang lama,

dapat menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi, sementara

22
bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak

patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder sehingga butuh obat anti

tuberkulosa sekuder yaitu para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide,

cycloserine, kanamycin dan capreomycin.6

3. Istirahat tirah baring (resting)

Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang

belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase

aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan

mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur

dapat berlangsung 3 – 4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan

melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis

ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu

makan dan berat badan meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris

menunjukkan penurunan laju endap darah. Pada pemeriksaan radiologis tidak

dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester. 6

B. Terapi Operatif

Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi

kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis.

Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3 – 4 minggu pemberian terapi obat

antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak

memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan

operasi secara langsung dan untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil

23
sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang

belakang yang terlibat. 6

Selain indikasi di atas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga

diindikasikan bila : (6)

1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi.

2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan.

3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase.

4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan
mengancam atau kifosis berat saat ini.
5. Penyakit yang rekuren
2.10 Pencegahan

Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain

Mycobacterium bovis yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG

akan menstimulasi immunitas, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa

menimbulkan hal-hal yang membahayakan. 6

Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung

Disease tetap menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu

yang rutin pada negara-negara dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada

beberapa kasus seperti pada AIDS aktif). Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk

neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak yang lebih besar dan dewasa. 6

Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang dewasa maka yang

lebih penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan sputum

berbasil tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah

24
menular. Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi

masyarakat sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi. 6

Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian

5mg/kg/hari selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi

tuberkulosa. 6

2.11 Prognosis

Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia

dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis

serta terapi yang diberikan. 6

a. Mortalitas

Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring

dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien

didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).

b. Relaps

Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan

regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.

c. Kifosis

Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetik

secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis

atau kegagalan pernapasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.

d. Defisit neurologis

25
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara

spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis

membaik dengan dilakukannya operasi dini.

26
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. OY
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 23 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku Bangsa : Minangkabau
Alamat : Dadok Tunggul Hitam, Padang

3.2 Anamnesis
Seorang pasien laki-laki berumur 23 tahun datang ke RSUP Dr M Djamil
Padang tanggal 2 Desember 2019 dengan keluhan:
Keluhan Utama
Lemah keempat tungkai yang dirasakan bertambah sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
● Lemah keempat tungkai yang dirasakan bertambah sejak 1 minggu yang
lalu. Lemah pada tangan kanan mulai 2 bulan yang lalu, diikuti tangan kiri
1 bulan yang lalu. Kedua-dua tungkai kaki mulai melemah sejak 1 minggu
yang lalu.
● Nyeri pada bahu kanan bagian belakang sejak 4 bulan terakhir. Nyeri
terutama dirasakan saat membawa sesuatu di bahu. Tidak terdapat
bengkak, dan tidak ada perubahan warna kulit pada tulang belakang.
● Kebas dan kesemutan pada keempat tungkai sejak 2 bulan yang lalu.
Kebas tidak berterusan dan bertambah sewaktu pasien beraktivitas.
● Tidak ada penurunan berat badan.
● BAB dan BAK tidak ada keluhan.
● Batuk tidak ada.
● Demam tidak ada.

27
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat tuberkulosis sejak 3 bulan yang lalu, namun hanya mendapatkan
OAT selama 2 minggu lalu terputus obat. Pasien kembali mendapatkan
OAT selama 6 bulan sejak satu bulan yang lalu.
 Riwayat tumor tidak ada.
 Diabetes Melitus tidak ada.
 Hipertensi tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga


● Tidak ada keluarga dengan riwayat tuberkulosis.
● Riwayat tumor dalam keluarga tidak ada.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi dan Kebiasaan


● Pasien seorang wiraswasta
● Pasien tidak merokok

3.3 Pemeriksaan Fisik (3 Desember 2019)


Vital Sign
Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/menit
Frekuensi nafas : 24 x / menit
Suhu : 37°C

Status Generalisata
- Kepala : tidak ada kelainan
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
isokhor, reflek cahaya +/+

28
- Kulit : turgor kulit baik
- Hidung : tidak ada kelainan
- Telinga : tidak ada kelainan
- Mulut : tidak ada kelainan
- Leher : tidak ada pembesaran limfonodi pada regio colli
- Thoraks
a. Paru-paru :
Inspeksi : simetris kiri = kanan
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
b. Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : irama reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, NT (-), NL(-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
- Ekstremitas : edema (-), CRT < 2 detik, akral hangat

Status lokalis
- Corpus vertebralis:
Look : Deformitas (-)
Tanda radang (-).
Feel : Teraba benjolan setinggi C4-C5, konsistensi keras, batas tegas,
imobil, fluktuasi (-), nyeri tekan (-), suhu benjolan sama dengan
sekitarnya.
Move : ROM terbatas

29
Pemeriksaan Neurologi
A. Sensorik : +/+
B. Motorik : 555 555
555 555
C. Refleks fisiologis : ++/++
D. Refleks patologis : +/-
-Refleks Hoffman-Tromner positif pada tangan kanan

3.4 Pemeriksaan penunjang


- Pemeriksaan Laboratorium (3 Desember 2019)
Angka Normal
Hb 14,6 gr/dL 12-16 gr/dL
Ht 46% 37-43%
Leukosit 9,750 mm3 5.000-10.000/mm3
Trombosit 274.000/mm3 150.000-400.000/mm3
Kalsium 9,3mg/dL 8,1-10,4mg/dL
GDS 89 mg/dL <20mg/dL
CRP (Kualitatif) (-)
Kesan : Normal
- Rontgen

30
31
- MRI

32
Tampak: Destruksi corpus vertebrae C4-C5, diskus intervertebralis C4-C5
menyempit, dan paravertebrae abses.
Kesan : Spondilitis (TB) C4-C5
- Kultur cairan abses
Hasil : ditemukan M.Tuberkulosis
3.5 Diagnosis
Spondilitis Tuberkulosa C4-C5
3.6 Penatalaksanaan
− PCT 3x1 tab
− Alpentin 1x1 tab
− Vit B kompleks 1x1 tab
− OAT RHZE 600/300/1000/750 mg (po)

3.7 Prognosis
- Quo ad vitam : bonam
- Quo ad sanam : bonam
- Quo ad functionam : bonam

33
BAB IV

DISKUSI

Telah dilaporkan kasus seorang pasien laki-laki berusia 23 tahun datang ke


RSUP Dr M Djamil Padang pada tanggal 2 Desember 2019 dengan lemah
keempat anggota gerak yang bertambah sejak 1 minggu yang lalu. Saat inspeksi
tidak nampak adanya benjolan dan tidak ada deformitas namun pada palpasi
teraba benjolan setinggi C4-C5 dengan konsistensi keras dan batas tegas. Dari
keluhan ini terdapat beberapa kemungkinan dari keluhan utama, yaitu adanya
infeksi tulang dan tumor tulang. Namun infeksi pada tulang belakang ini tidak
memiliki tanda-tanda radang (rubor, kolor, dolor, dan fungtio laesa). Infeksi yang
tidak ada tanda radangnya adalah infeksi oleh Mycobacterium tuberkulosis yang
dikenal dengan Cold Abscess. Jika curiga tumor, biasanya tumor diiringi dengan
rasa nyeri yang bersifat difus dan terus menerus, pasien juga tidak memiliki
riwayat tumor pada lokasi lain dan riwayat tumor pada keluarga. Pasien tidak
mengalami batuk kronis ataupun keringat yang banyak pada malam hari. Namun
karena keluhannya, pasien dilakukan rontgen dan MRI dengan curiga ke arah
Spondilitis. Saat dilakukan drainase dan dilakukan kultur ditemukan bakteri
M.Tuberkulosis.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan bengkak yang tidak nyeri dan tidak
fluktuatif setinggi C4-C5. Pasien dapat mengangkat kedua tangan dan dapat
melawan gaya berat dan mengatasi sedikit tahanan yang diberikan, namun
genggaman tangan pasien melemah terutama tangan kanan. Pasien dapat
mengangkat kedua kaki dan dapat melawan gaya berat dan mengatasi sedikit
tahanan yang diberikan namun pasien tidak mampu untuk berdiri sendiri. Hal ini
dapat disebabkan penekanan pada medula spinalisnya. Pada refleks Hoffman-
Tromner didapatkan positif pada tangan kanan pasien yang diakibatkan lesi upper
motor neuron jaras kortikospinal. Pada pemeriksaan rontgen dan MRI ditemukan
destruksi corpus vertebrae C4-C5, diskus intervertebralis C4-C5 menyempit, dan
paravertebrae abses dengan kesan spondilitis (TB) C4-C5. Dari data-data diatas
diagnosis spondilitis tuberkulosis C4-C5 dapat ditegakkan.

34
Terapi pada penyakit spondilitis tuberkulosis adalah terapi konservatif dan
terapi pembedahan. Terapi konservatif bertujuan untuk memperbaiki keadaan
umum, eliminasi kuman penyebab serta mempersiapkan pasien yang akan
dilakukan tindakan pembedahan. Terapi konservatif dilakukan dengan bedrest,
Alpentin 1x1 tablet, Parasetamol 3X1 tab, Vitamin B Kompleks 1x1 tablet dan
OAT RHZE 600/300/1000/750 mg (po) selama 6 bulan. Terapi pembedahan yang
dilakukan adalah dekompresi dan stabilisasi serta dilakukan pengambilan sampel
cairan abses untuk kultur dan sensitivity test.

35
DAFTAR PUSTAKA
1. Rasjad C, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Jakarta: hal 144-149
2. Buranda T, Djayalangkara H, Datu A, dkk. Anatomi Umum. FKUH;
Makassar: 2008.
3. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3.
Jakarta: EGC; 2010.
4. Polley P, Dunn R. Noncontiguous spinal tuberculosis: incidence and
management. Eur Spine J (2009) 18:1096–110

5. Infectious and noninfectious infl ammatory disease affecting the spine.


Dalam: Byrne TN, Benzel EC, Waxman SG. Disease of the Spine and
Spinal Cord. Oxford University Press Inc. 2000. c. 9 h.325 – 335.

6. Albar Z. Medical treatment of Spinal Tuberculosis. Cermin Dunia


Kedokteran No. 137, 2002

7. Garg RK, Somvanshi DS (2011) Spinal tuberculosis: A review. J Spinal


Cord Med 34: 440-454.
8. Irul. 2012. Spondilitis TB. (Online).
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3530707), diakses tanggal
30 April 2018)

36

Anda mungkin juga menyukai