Anda di halaman 1dari 21

PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

BERKELANJUTAN

Pada tanggal 6 Agustus 2018, Asosiasi Pengajar Hukum


Internasional (APHI) atau Indonesian Society of International
Law Lecturers (ISILL) bekerja sama dengan Fakultas Hukum
Universitas Pattimura (FH Unpatti) Ambon menyelenggarakan
Simposium Nasional Dimensi Hukum Pengelolaan Sumber Daya
kelautan dan Perikanan Berkelanjutan di FH Unpatti. Kegiatan
ini diikuti oleh lebih dari 50 Pengajar Hukum Internasional dari
26 universitas di Indonesia. Acara dibuka oleh Wakil Gubernur
Provinsi Maluku. Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Dr.
(HC) Susi Pujiastuti yang seyogianya hadir namun berhalangan
dan diwakilkan oleh Ketua Badan Riset KKP. Plenary Session
menghadirkan pakar hukum laut Indonesia Prof. Melda Kamil
Ariadno, S.H., LL.M., Ph. D., yang juga merupakan Dekan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), KKP dan Badan Keamanan Laut (BAKAMLA). Kegiatan ini
rutin dilakukan setiap tahun sejak 3 tahun terakhir dan rencananya tahun depan akan menjadi tuan rumah
adalah Universitas Mulawarman, Samarinda.
Simposium ini juga menyelenggarakan call for paper. Ada sekitar 50 pengajar hukum internasional yang
melakukan presentasi tentang hasil penelitiannya terkait sumber daya kelautan dan perikanan di
Indonesia. Hadir mewakili BINUS dan sebagai salah satu pemakalah, Nirmala Many, Faculty Member
Business Law Department, yang membawakan makalah tentang “Urgensi Revisi UU Landas Kontinen
sebagai Upaya Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan secara Efektif”. Hasil makalah-makalah simposium ini
akan diterbitkan dalam bentuk buku. Simposium ini menghasilkan 3 rekomendasi, yaitu sebagai berikut:

1. Apresiasi terhadap KKP atas keberhasilannya dalam memerangi illegal fishing yang dilakukan oleh
kapal asing. Atas kebijakan tersebut, dua pilar utama dalam pengelolaan sumber daya kelautan
dapat diklaim telah dicapai, yaitu Kedaulatan (sovereignty) dan Keberlanjutan (sustainablity).
2. Pilar ketiga yaitu Kesejahteraan (Prosperity) belum dirasakan oleh sebagian besar masyarakat
pesisir terutama di Kepulauan Maluku. Dengan bertambahnya stok ikan secara nasional,
masyarakat nelayan Maluku tidak mendapatkan manfaat karena tidak dapat bersaing dengan
kapal-kapal penangkap ikan yang datang dari Pulau Jawa atau Pulau Sulawesi.
3. Alokasi APBN-APBD juga dirasakan terlalu berpatokan dengan luas daratan sehingga daerah-
daerah yang berbentuk kepulauan akan mendapatkan alokasi yang lebih sedikit dibandingkan
daerah yang memiliki daratan yang lebih besar. Pemerintah Pusat juga diharapkan memiliki
sensitifitas lebih terhadap kepada konteks dan nuansa daerah yang berbeda-beda. Jangan sampai
memaksakan kebijakan yang “one size fits all”.
Selain simposium, dalam kesempatan tersebut ASILL juga mengadakan Rapat Kerja Pengurus. Tiap-tiap
bidang membahas program kerja di area masing-masing. Ada 2 dosen tetap (faculty member) BL yang
menjadi Pengurus ASILL, yaitu Nirmala Many, Kordinator Kajian Hukum Maritim dan Muhammad Reza Zaki
bidang Penelitian dan Publikasi.

Sumber : https://business-law.binus.ac.id/2018/08/08/pengelolaan-sumber-daya-kelautan-dan-perikanan-
berkelanjutan/ 13 November 2019
Kolaborasi KKP dan BIG Mengelola Kelautan
Berkelanjutan. Seperti Apa?
oleh Tommy Apriando, Yogyakarta di 6 April 2015

Kesuksesan penerapan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam mengelola sumber
daya kelautan dan perikanan secara lestari dan berkelanjutan tak lepas dari peran serta
kementerian/lembaga terkait. Salah satunya adalah Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai salah satu
lembaga pemerintah yang menyelenggarakan tugas informasi geospasial di Indonesia, termasuk di bidang
kelautan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi


Pudjiastuti usai menandatangani kesepakatan
bersama antara KKP dan BIG dalam
penyelenggaraan informasi geospasial kelautan
pada Jumat (27/03/2015) mengatakan,
informasi geospasial kelautan sangat
diperlukan karena menjadi informasi utama
dalam mengelola sumber daya kelautan dan
perikanan secara berkelanjutan.

Tak hanya itu, data teknis geospasial


dibutuhkan untuk mendukung penegakan kedaulatan di laut, terutama dalam perundingan batas yurisdiksi
negara Indonesia dengan negara tetangga. Masalah pencegahan dan pemberantasan Illegal Unreported
and Unregulated (IUU) Fishing juga sangat bergantung pada pemanfaatan dan pengembangan basis data
informasi geospasial yang baik dan lengkap.

“Dengan begitu penanganan illegal fishing juga akan menjadi lebih mudah dilakukan, itu sebagai bentuk
upaya kita untuk menegakkan kedaulatan di laut”, kata Susi dalam siaran persnya.

Susi menjelaskan dengan adanya informasi geospasial kelautan yang lengkap dengan resolusi berdasarkan
tingkat keperluannya, maka aktivitas pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia bukan
lagi sebuah keniscayaan. Namun disadari bahwa keberadaan data informasi geospasial kelautan yang
mencakup wilayah Indonesia masih belum terintegrasi dengan baik. Data spasial yang berkualitas dan
terkelola dengan baik akan sangat berpengaruh bagi pengembangan ekonomi kelautan Indonesia di masa
yang akan datang.

“Keberhasilan pengelolaan kelautan sangat berpengaruh pada tersedianya data spasial mengenai suatu
tematik tertentu. Semisalnya, penentuan batas maritim di lautan dan pemetaan zona penangkapan ikan
dan pengelolaan sumber daya kelautan,” kata Susi.

Selain itu, menurut Susi, pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan yang berkelanjutan telah menjadi
isu global. Hal ini merujuk kepada fakta bahwa di beberapa belahan dunia, eksploitasi besar-besaran
terhadap sumber daya kelautan, seperti ikan, telah masuk kepada taraf yang sangat mengkhawatirkan.
Berbagai spesies ikan konsumsi semakin sulit ditemukan. Hal ini juga berdampak kepada masalah pada
pemberdayaan nelayan-nelayan tradisional. Apabila eksploitasi ikan skala besar terus berjalan seperti yang
ada saat ini, maka nelayan tradisional akan semakin terancam akibat sulitnya mendapatkan ikan.

“Kebijakan pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan menjadi prioritas kami karena semata-mata adalah
untuk kesejahteraan nelayan”, kata Susi.

Sementara itu Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi KKP, Lilly Aprilya Pregiwati dalam rilis
menyampaikan, kesepakatan bersama antara KKP dan BIG yang ditandatangani menjadi penting dan
strategis bagi kedua belah pihak. Sebagai lembaga pemerintah, keduanya memiliki konstribusi yang sangat
penting dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, sebagaimana visi Presiden Joko
Widodo.

contoh peta kelautan dari BIG. Sumber : BIG


Adapun ruang lingkup kesepakatan bersama meliputi penyelenggaraan informasi geospasial untuk
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, pemanfaatan dan pengembangan basis data informasi
geospasial terkait sumberdaya kelautan dan perikanan dan peningkatan infrastruktur informasi geospasial
nasional di bidang kelautan dan perikanan. Selain itu, penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang informasi geospasial terkait sumberdaya kelautan dan perikanan,
dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia di bidang informasi geospasial untuk pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan.

Dukungan Informasi Geospasial

Kepala BIG, Priyadi Kardono dalam pemaparannya usai penandatangan kerja sama (27/03/2015)
mengatakan bahwa Indonesia yang merupakan negara maritim, dengan luas wilayah perairan 6.315.222
km2 dengan panjang garis pantai 99.093 km2 serta jumlah pulau 13.466 pulau yang bernama dan
berkoordinat.

“Diperlukan data dan informasi geospasial untuk membangun berbagai wilayah di seluruh Indonesia,
apalagi data informasi tentang kelautan dan perikanan,” kata Priyadi.

Ia menambahkan, dalam mendukung pembangunan wilayah kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil di
seluruh Indonesia, BIG menyediakan data dan informasi geospasial berupa Peta Rupabumi Indonesia (RBI)
berbagai skala, Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN), Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dengan
berbagai skala. BIG juga mendukung program nawacita di bidang kemaritiman diantaranya pembangunan
tol laut, dengan menyediakan informasi geospasial untuk mendukung pengembangan 24 pelabuhan di
seluruh wilayah Indonesia.

“BIG juga memetakan status batas Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK), Batas Maritim
NKRI serta pemetaan pulau kecil terluar,” kata Priyadi.

Kepala BIG juga menjelaskan bahwa untuk mengimplementasikan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy),
BIG menyediakan referensi tunggal IGD, mengkoordinasikan dan mengintegrasikan Informasi Geospasial
Tematik (IGT) yang diselenggarakan Kementerian dan Lembaga dalam bentuk Rakornas, Rakorda dan
Rakortek untuk mendukung Pokja IGT. Dalam hal dukungan untuk pembangunan kelautan, pesisir dan
pulau-pulau kecil, di dalam Pokja IGT dibentuk, Pokja Pemetaan Mangrove, Pokja Pemetaan Pulau-Pulau
Kecil dan Pokja Pemetaan Sumberdaya Pesisir dan Laut.

Priyadi berharap ke depan dapat dilakukan peningkatan kerjasama dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan kemaritiman berbasis IG melalui percepatan penyediaan data IG untuk mendukung rencana
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk itu perlu dukungan penganggaran yang memadai untuk
penyediaan data IG pesisir dan laut.

“Kesemua ini dilakukan agar pengelolaan data dan informasi geospasial dapat dilaksanakan secara efektif
baik di BIG maupun di K/L dan Pemerintah Daerah,” tambahnya.

BIG sendiri telah meluncurkan One Map IG Tematik untuk mendukung pembangunan pesisir, kelautan dan
perikanan, diantaranya Satu Peta Mangrove, Satu Peta Padang Lamun dan Satu Peta Karakteristik Laut
Nasional. Selain satu peta tersebut, BIG telah melakukan kegiatan antara lain Pemetaan Lahan Garam,
Pemetaan Ekosistem Pesisir Mangrove (Kerapatan, Spesies, Karbon), Pemetaan Ekosistem Pesisir Terumbu
Karang, Pemetaan Ekosistem Pesisir Habitat Lamun serta peta Pemetaan Ekoregion, Pemetaan
Karakteristik Laut, Pemetaan Arah dan Kecepatan Arus. Kesemuanya ini merupakan data dan informasi
geospasial untuk mendukung Tata Ruang Laut Nasional. Sementara itu, Abdul Halim selaku Sekjen KIARA
kepada Mongabay, pada Minggu, (29/03/2015) mengatakan, terhadap kerja sama tersebut harus bisa
mengatasi ego-sektoral kelembagaan negara terkait pengelolaan kondisi geografis kelautan. Dengan satu
peta dan data yang valid, kebijakan yang diambil akan lebih tepat, termasuk program pembangunannya
untuk kelautan yang berkelanjutan.

“Penting juga dalam sektor penegakan hukum, kerja sama tersebut seharusnya bisa memberikan
optimalisasi penegakan hukum di laut,” katanya.

Sumber : https://www.mongabay.co.id/2015/04/06/kolaborasi-kkp-dan-big-mengelola-kelautan-
berkelanjutan-seperti-apa/ 13 November 2019
Pengelolaan Potensi Laut Mesti Berkelanjutan - Agar Bisa Dinikmati
Generasi Penerus
Oleh: Munib Ansori Selasa, 09/12/2014

NERACA

Bogor – Sebagai negara maritim dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 17.504 buah
dan luas lautan mencapai 2/3 dari luas wilayah, Indonesia memiliki potensi sumberdaya kelautan dan
perikanan yang sangat besar. Potensi tersebut harus dikelola secara berkelanjutan agar di masa mendatang
bukan hanya tinggal cerita, namun benar-benar dapat dinikmati oleh para generasi penerus.

Demikian disampaikan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan
(BPSDM KP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Suseno Sukoyono, sebagai salah satu keynote
speech mewakili Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di acara Stakeholder Consultation
Workshop, di Bogor International Convention Center (BICC), Bogor, Senin (8/12).

Pembangunan kelautan dan perikanan ke depan menitikberatkan pada sumberdaya kelautan dan
perikanan. Untuk merealisasikan hal tersebut, beberapa waktu lalu KKP menerbitkan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan (Permen KP) tentang penghentian sementara (moratorium) perizinan usaha
perikanan tangkap, yakni Permen KP Nomor 56, 57, dan 58 Tahun 2014.

Untuk mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan tersebut, diperlukan Sumber
Daya Manusia (SDM) unggul. “Dengan demikian, pengembangan SDM kelautan dan perikanan dirasa
sangat penting karena mengelola sumberdaya alam pada hakekatnya adalah mengelola SDM-nya.
Pengembangan SDM ini dilakukan BPSDM KP melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan yang
terintegrasi,” ujar Suseno pada acara bertema “Indonesia Agri-Incorporated: Revolusi Pembangunan
Pertanian Menuju Visi Pertanian Indonesia 2045” yang diselenggarakan oleh DPP Himpunan Alumni IPB
dan Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB tersebut.

Pemikiran tersebut sejalan dengan Sasaran Perencanaan Pembangunan Nasional di Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) ketiga tahun 2015-2019, yaitu memantapkan pembangunan secara menyeluruh
dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumberdaya alam
yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

Pengembangan SDM ini perlu berbagai perubahan, misalnya dalam bidang pendidikan KKP telah
menggunakan program vokasi dengan pendekatan teaching factory. Pendidikan vokasi dicirikan dengan
porsi 60% praktek dan 40% teori bagi tingkat pendidikan tinggi serta 70% praktek dan 30% teori untuk
tingkat pendidikan menengah. Sementara teaching factory merupakan penyelenggaraan pembelajaran
sesuai dengan proses produksi yang sebenarnya dan sesuai dengan tuntutan dunia usaha dan dunia
industri.

Sistem perekrutannya menggunakan persentase 40% anak pelaku utama kelautan dan perikanan, 40%
masyarakat umum, dan 20% mitra kerja sama. Lulusan yang dihasilkan tidak hanya sebagai tenaga kerja,
tetapi diprioritaskan menjadi wirausaha.

Adapun di bidang pelatihan, KKP telah melakukan perubahan, yakni pelatihan tidak hanya diselenggarakan
pemerintah saja, namun juga dari, oleh, dan untuk masyarakat melalui Pusat Mandiri Pelatihan Kelautan
dan Perikanan (P2MKP). Untuk memperlancar jangkauan kegiatan pelatihan bagi masyarakat karena
terbatasnya jumlah Balai Diklat KKP, dibentuk P2MKP tersebut yang kini jumlahnya mencapai 417 P2MKP di
berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, upaya mensertifikasi SDM kelautan dan perikanan sesuai dengan
standar kompetensi terus dilakukan dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

Sementara itu, kegiatan penyuluhan dilakukan melalui peran penyuluh perikanan yang memanfaatkan
teknologi berbasis on line dalam penyuluhan, hasil koordinasi BPSDM KP dengan Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota seluruh Indonesia. Para penyuluh perikanan yang saat ini berjumlah 12.932 orang,
bertugas mendampingi dan membimbing para pelaku utama/usaha di lapangan, mencatat data, dan
Konsultan Keuangan Mitra Bank. Penyuluhan yang semula dilakukan secara konvensional dan bertatap
muka, kini dilakukan pula secara online.

Dalam melakukan kegiatannya, BPSDM KP bekerja sama dengan berbagai pihak di dalam dan luar negeri.
Kerja sama yang dilakukan baru-baru ini antara lain kuliah online melalui teleconference, pelatihan di Food
and Agriculture Organization (FAO), pelatihan Sertifikasi Penanganan Penyakit ikan di Michigan State
University, Amerika Serikat, sosialisasi Blue Economy di forum internasional, pelatihan observer di kapal
perikanan, pelatihan bagi negara Asia Pasific, dan beasiswa bagi negara Asia Pasifik di STP Jakarta dan
SUPM Waeheru.

Sumber : http://www.neraca.co.id/article/48408/pengelolaan-potensi-laut-mesti-berkelanjutan-agar-bisa-
dinikmati-generasi-penerus 13 November 2019
Pemanfaatan dan Pengembangan Kelimpahan
Sumber Daya Kelautan Indonesia Secara
Berkelanjutan
22 Agustus 2015 22:52 Diperbarui: 23 Agustus 2015 08:34 168 1 0

Sebagai salah seorang Diktiers yang baru


menyelesaikan studi, perkenankan saya untuk
berterima kasih kepada para pejabat negara
Indonesia khususnya DIKTI karena dengan
kebijakan yang telah dihasilkan, saya diberi
kesempatan untuk melanjutkan studi S3 ke Coastal
Research Laboratory, Coastal Geosciences and
Engineering, Research and Technology Center
(FTZ) Büsum Mathematisch-
Naturwissenschaftliche Fakultät Universität Kiel,
Jerman.

Di hari yang berbahagia ini, saya mencoba untuk


membagikan sebuah pemikiran yang merupakan
hasil dari penelitian selama studi, berupa sebuah
sistem pengambil keputusan (SPK) yang telah dibuat dan diimplementasikan di 3 lokasi berbeda di
Indonesia. Singkatnya, dengan SPK ini atau lebih dikenal dengan Decision Support System, dapat digunakan
untuk mengambil keputusan: industri maritim yang berkelanjutan seperti apakah yang tepat untuk di
aplikasikan pada suatu daerah?. Karena setiap daerah maritim di Indonesia memiliki ciri khas tertentu
(secara fisik kelautan, kualitas perairan dan pemanfaatan lokasi perairan) yang tidak dimiliki daerah lainnya
disertai dengan kebijakan lokal yang berbeda.

Memang sudah 70 tahun Indonesia merdeka dan sudah sangat sering kita membaca dan mendengar bahwa
Indonesia menjadi negara yang kepulauan yang terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 81.000
km, setara dengan 14% dari panjang garis pantai di dunia dan memiliki potensi yang sangat besar untuk
pengembagan industri maritim. Perkembangan dari industri maritim dan sektor budidaya perikanan
diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya para nelayan dan petani ikan yang
saat ini hidup dibawah tingkat kemiskinan. Disisi lain, pencapaian dari praktek keberlanjutan dan
manajemen sistem untuk melindungi lingkungan pantai masih jarang dan untuk itu usaha atau kegiatan yang
lebih harus dilakukan.

Seiring dengan tujuan dari Pemerintah saat ini untuk mengembangkan sektor kelautan dan menjadikan
Indonesia sebagai poros maritim dunia. Laut sebagai sumber pangan, poros maritim, serta alat dan sarana
pemersatu bangsa. Indonesia juga memiliki potensi yang sangat besar dalam marikultur industri, namun hasil
dari peningkatan produksi dan budidaya laut lainya masih perlu adanya perhatian khusus berkaitan dengan
akibat dari kegiatan ini terhadap lingkungan. Minimnya perhatian terhadap pelaksanaan lingkungan yang
keberlanjutan, seperti: degradasi dari lingkungan pantai, tumpang tindih dan konflik penggunaan daerah
pantai serta pelanggaran hukum berdasarkan manajemen dari kelautan dan lingkungan pantai. Oleh karena
itu, sangat penting untuk meningkatkan akuakultur teknologi dan membuat seperangkat manajemen yang
mengakomodasi kebutuhan untuk proses yang ramah lingkungan dan memperhatikan ketahanan pangan
Sejumlah ahli merekomendasikan penggunaan Sistem Pengambil Keputusan untuk mengaplikasikan
fleksibelitas dari dinamika lingkungan. Dengan sistem ini dapat digunakan untuk mengakomodir
kompleksitas dari masalah tersebut dan mendukung pengambilan keputusan yang terintegrasi antara sosial
ekonomi dan biogeofisik dari lingkungan serta dalam keputusan politik. Aplikasi dari sistem pendukung
keputusan ini yang diharapkan mampu untuk menjawab tantangan tersebut.

Sistem ini mempergunakan sistem informasi geografis dan informasi beresolusi tinggi dari hidrodinamika
kelautan terutama kedalaman air laut, kecepatan arus dan tinggi gelombang dari model hidraulika, informasi
kualitas air serta penggunaan wilayah pantai yang terintegrasi, untuk manajemen keberlanjutan industri
maritim yang menyediakan tinjauan detail dan komprehensif di tiga lokasi daerah terpencil di Indonesia.
Sebagai contoh: SPK ini digunakan untuk menentukan kesesuaian lahan dari 32 parameter budidaya
keramba jala apung (KJA) ikan kerapu yang memiliki harga komiditas tinggi baik untuk tujuan ekspor
maupun domestik. Menilai karakter penyebaran dari setiap lokasi yang menghasilkan pendugaan berbagai
daya dukung lingkungan, yaitu daya dukung produksi berdasarkan pada deposisi partikulat karbon dan daya
dukung ekologis yang merupakan akumulasi dari nitrogen terlarut dalam kolom air di lokasi yang sesuai.
Serta dilengkapi dengan analisis ekonomi berfokus pada kelayakan ekonomi yang dapat dikelola tanpa
merusak lingkungan dan berkelanjutan.

Berdasarkan hasil riset menunjukkan bahwa salah satu lokasi studi yaitu Pulau Galang merupakan daerah
sesuai untuk pengembangan budidaya KJA kerapu. Daerah ini memiliki daya dukung fisikal, produksi dan
ekologis yang cukup besar untuk menunjang kegiatan tersebut. Dilengkapi dengan kajian ekonomi yang
mengungkapkan bahwa nilai potensial ekonomi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan di daerah ini
berkisar antara 4,2 sampai 8 triliun.

Disamping itu, berdasarkan hasil model hidraulika yang di implementasikan pada tiga lokasi di Indonesia
menunjukkan bahwa ditemukannya lokasi yang potensial untuk pembangkit listrik tenaga arus laut,
gelombang laut maupun angin. Oleh karena itu dari hasil pengaplikasian SPK ini dapat juga dijadikan
sebagai salah satu acuan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan untuk kemandirian energi baru
terbaharukan yang merupakan masa depan energi nasional. Dengan menggunakan aplikasi SPK ini
kedepannya dapat juga dimanfaatkan untuk menentukan kegiatan pengembangan budidaya perikanan
maupun industri maritim lainnya seperti: ikan jenis lain, rumput laut maupun berbagai jenis kerang laut. Dan
juga dapat dijadikan sarana sebagai pemanfaatan teknologi untuk pemanfaatan dan pengembangan sumber
daya kelautan Indonesia pada daerah lainnya yang memiliki ribuan pulau dan garis pantai yang sangat
panjang, namun kondisi masyarakatnya masih jauh dari sejahtera.

Diharapkan kedepannya, sistem ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam membuat keputusan
maupun kebijakan dari pihak terkait. Semoga sistem ini dapat bermanfaat dan membuat kita sebagai anak
bangsa Indonesia mencapai kehidupan yang lebih baik lagi, khususnya bagi keluarga besar para nelayan dan
pengusaha bidang kemaritiman di Indonesia.

“Indonesia, I am coming”

“Jalesveva Jayamahe”.

https://www.kompasiana.com/pdgfgeu/55d89a8b7793730421ddae80/pemanfaatan-dan-pengembangan-
kelimpahan-sumber-daya-kelautan-indonesia-secara-berkelanjutan?page=all 13 November 2019
Pengelolaan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan: Adopsi
Konsep Sato Umi, Ini Harapan
BPPT
BPPT menerapkan konsep pengelolaan, budi daya perikanan, pesisir, kelautan berkelanjutan melalui teknologi
produksi perikanan budi daya ramah lingkungan atau Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA) yang
kemudian diperkenalkan dengan sebutan Sato Umi.

Yulianisa Sulistyoningrum - Bisnis.com07 Oktober 2015 | 16:52 WIB

Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)


menerapkan konsep pengelolaan, budi daya perikanan, pesisir, kelautan berkelanjutan
melalui teknologi produksi perikanan budi daya ramah lingkungan atau Integrated Multi-
Trophic Aquaculture (IMTA).

Konsep yang kemudian diperkenalkan dengan sebutan Sato Umi ini merupakan hasil
kerja sama BPPT dengan North Pacific Marine Science Organization, Ministry of
Agriculture, Forestry and Fisheries of Japan, dan Fisheries Research Agency of Japan.

"Konsep ini bukan hanya menggunakan pendekatan teknologi, tetapi juga dari sisi
sosial, ekonomi dan lingkungan," ujar Kepala Pusat Pembinaan, Pendidikan dan
Pelatihan BPPT, Suhendar I Sachoemar dalam workshop internasional di Gedung
BPPT, Jakarta, Rabu (7/10/2015).

Konsep itu sudah berhasil diterapkan di Jepang, Filipina dan Guatermala itu dan
diharapkan bisa memperbaiki daerah pesisir yang rusak akibat eksploitasi di Karawang
(Jawa Barat), Bantaeng (Sulawesi Selatan), Anambas (Kepulauan Riau) dan Tanah
Bumbu (Kalimantan Selatan).

Konsep yang diperkenalkan oleh Prof. Tetsuo Yanagi asal Jepang itu
mencakup Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA) berbasis sistem bioresirkulasi
untuk lahan tambak terbengkalai.
"Teknologi IMTA ini meminimalkan limbah organik maupun anorganik berasal dari sisa
pakan ikan dan kotoran hewan berupa nitrogen, fosfat, dan lainnya yang selama ini
merusak lingkungan pesisir untuk dijadikan sebagai pupuk bagi algae, rumput laut,
maupun bakau," papar Suhendar.

Dengan demikian, pengelolaan tambak yang sebelumnya berbasis monospecies


diubah menjadi berbasis policulture, di mana satu tambak dimanfaatkan untuk udang,
kerang, kepiting atau ikan serta pengembangan algae, rumput laut, dan bakau untuk
menetralkan limbah.

Konsep itu sudah diuji di Kabupaten Karawang sejak 2011, di mana tambak digunakan
untuk mengembangkan tiga ton per ha ikan nila, serta rumput laut hingga 10 ton per
ha, bahkan produksi bakau yang buahnya bisa dijadikan minuman jus.

"Ini adalah pengelolaan ekosistem yang zero-waste yang mengelola limbahnya sendiri
sehingga mampu memperbaiki kerusakan lingkungan di lokasi itu," katanya.

Catatan https://www.kompasiana.com/pdgfgeu/55d89a8b7793730421ddae80/pemanfaatan-dan-
pengembangan-kelimpahan-sumber-daya-kelautan-indonesia-secara-berkelanjutan?page=all 13/11/2019/

Pembangunan Kelautan Indonesia Belum Optimal


Indonesia merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia. Sayangnya bangsa Indonesia belum memanfaatkan
secara maksimal potensi yang ada.

“Indonesia punya potensi produksi perikanan terbesar di dunia sekitar 65 juta ton per tahun dan baru 20 persennya yang
dimanfaatkan,” kata Prof. Dr.Ir. Rokhmin Dhanuri, M.S., Guru Besar Fakultas Pertanian dan Ilmu Kelautan IPB, di
Auditorium FTP UGM, Selasa (22/10) dalam pembekalan calon wisudawan pascasarjana UGM.

Rokhmin mengatakan sumber daya kelautan selama ini hanya dipandang sebelah mata dan dalam pemanfaatan sumber daya
kelautan tidak dilakukan secara profesional dan ekstraktif. Sehingga tidak mengherankan apabila sektor ekonomi kelautan
hanya berkontribusi kecil terhadap PDB Indonesia yakni sekitar 25 persen.

“Angka ini jauh lebih kecil ketimbang negara-negara yang wilayah lautnya lebih sempit dari pada Indonesia
seperti Thailand, Jepang, Korea Selatan, China, Silandia, dan Norwegia yang justru sektor ekonomi kelautannya
menyumbang kontribusi lebih besar antar 30-60 persen dari PDB masing-masing negara. Kalau melihat fakta tersebut maka
kinerja pembangunan kelautan Indonesia sampai sekarang masih jauh dari optimal,” urainya.

Menurutnya pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan sektor-sektor kelautan hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat
Indonesia dan orang-orang asing yang terlibat dalam berbagai kegiatan ekonomi kelautan moderen. Sementara mayoritas
penduduk pesisir lokal masing berada dalam kemiskinan.

Rendahnya kinerja pembangunan wilayah pesisir dan kelautan Indonesia, lanjut Rokhmin salah satunya dipengaruhi oleh
kebijakan politik ekonomi yang tidak kondusif. Dampaknya, potensi ekonomi kelautan yang cukup besar tersebut baru
dalam jumlah kecil yang dimanfaatkan untuk mensejahterakan rakyat. Ditambah lagi dalam pengelolaan sektor ekonomi
kelautan dilakukan secara tradisional dan berorientasi mendulang keuntungan finansial sebesar-besarnya tanpa
memperdulikan kelestarian lingkungan

“Dalam menjalankan bisnis kelautan moderen pun kurang melibatkan masyarakat di kawasan pesisir,” tambahnya.
Dikatakan Rokhmin pembangunan bidang kelautan dan pengembangan bisnis di sektor kelautan kedepan harus lebih
produktif, efisien, dan berdaya saing. Selain itu juga keuntungan usahanya harus bisa dinikmati oleh seluruh stakeholders
dan masyarakat pesisir secara berkeadilan dan bersifat ramah lingkungan.

Untuk dapat membangun sektor ekonomi dan unit bisnis kelautan yang berkelanjutan dalam praktiknya
seyogianya menerapkan prinsip -prinsip seperti setiap usaha harus memenuhi skala ekonominya, menggunkan integrated
supply chain management system berbasis inovasi, dan penguatan dan penguatan industri hulu dan hilir. Melakukan
pembangunan ramah lingkungan yang berkelanjutan, kerjasama sinergis antar sektor dan unit usaha, serta pembangunan
kluster ekonomi kelautan.
“Jika kita bisa melaksanakan pembangunan kelautan seperti itu maka tahun 2030 Indonesia bisa menjadi negara yang maju
dan makmur,”tutur Rokhmin.

Sementara Wiratni Budhijanto, Ph.D., dosen Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UGM dalam kesempatan itu menyorot
tentang pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan rakyat. Selama ini banyak dilakukan penelitian namun hasilnya
tidak menyentuh ke masyarakat. Terutama penelitian di bidang tepat guna yang selalu lekat dengan image mahal dan sulit
diaplikasikan di masyarakat.

“Justru hal itu menjadi tantangan yang harus dipecahkan oleh para peneliti, bagaimana menghilangkan kesan teknologi
yang identik dengan mahal dan sulit dan membuat teknologi menjadi sederhana dan terjangkau,” jelasnya. (Humas
UGM/Ika)

Sumber : https://ugm.ac.id/id/berita/8334-pembangunan-kelautan-indonesia-belum-optimal 13/11/2019


WWF Kawal Pengelolaan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan Indonesia

Oleh Novita Eka Syaputri

Indonesia memiliki luas lautan 2/3 lebih besar daripada luas daratannya. Hal ini
membuat kerja KKP sebagai kementerian yang bertanggung jawab untuk mengelola
sumber daya laut, terutama kelautan dan perikanan, sangat lah berat. WWF-
Indonesia sebagai organisasi nonprofit di Indonesia yang menaruh banyak perhatian
terhadap dan konservasi sumber daya kelautan dan perikanan, sejak 2010 telah
bekerja sama dengan KKP untuk menciptakan perikanan yang lebih baik di
Indonesia.

September lalu telah diadakan evaluasi mengenai kerja sama antara WWF-
Indonesia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diapresiasi dengan baik
oleh Seketaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja. Dan pada 17 Oktober 2014 kemarin,
WWF-Indonesia dan KKP sepakat untuk melanjutkan kerja sama pengelolaan
kelautan dan perikanan yang ditandai dengan Penandatanganan Kesepakatan
Bersama Tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan Berkelanjutan dan Bertanggung Jawab. Kesepakatan yang direncanakan
berlangsung hingga tahun 2017 ini dimaksudkan untuk memperkuat upaya
pemerintah Indonesia dalam memenuhi kebijakan terkait ketahanan, kedaulatan dan
keberlanjutan pangan terhadap produk-produk perikanan, khususnya di wilayah
Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle).
WWF-Indonesia sendiri telah lama bekerja untuk konservasi di wilayah Coral
Triangle, kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia
yang mencakup enam negara, termasuk Indonesia. Wilayah kerja Program Coral
Triangle WWF-Indonesia tersebar di seluruh wilayah perairan laut Indonesia dan
juga termasuk beberapa wilayah Perairan Umum Daratan (PUD). Untuk wilayah
perairan laut dan khususnya terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi
perairan, WWF-Indonesia memfokuskan pada pusat-pusat keanekaragaman hayati
seperti bentang laut Sunda Banda (Sunda Banda Seascape), bentang laut Kepala
Burung (Bird Head Seascape) dan bentang laut Sulu Sulawesi (Sulu Sulawesi
Marine Ecoregion). Sedangkan yang terkait dengan pengelolaan perikanan, wilayah
kerja WWF-Indonesia mengikuti Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), khususnya
dalam upaya merancang dan menerapkan model Ecosystem Approach to Fisheries
Management (EAFM).

Melalui program kelautannya, WWF-Indonesia mendukung pembentukan kawasan


konservasi perairan yang dicanangkan pemerintah serta mendorong reformasi
sektor perikanan yang berkelanjutan, khususnya dalam praktik budi daya tuna,
kerapu, kakap, dan udang. Dengan semangat maritim yang dibawa oleh
pemerintahan yang baru ini, diharapkan kerja sama antara WWF-Indonesia dengan
KKP dapat membawa pencerahan dalam konservasi kelautan dan perikanan di
Indonesia.

Sumber : https://www.wwf.or.id/?36022/WWF-ID-Kawal...Perikanan-Indonesia
13/11/2019

Indonesia Pertahankan Komitmen dalam Pengelolaan


Sumber Daya Kelautan pada Wilayah Segitiga Karang

06 November 2019
Honiara – Pemerintah Indonesia menghadiri pertemuan tahunan Pre dan The 15th Senior Official
Meeting (SOM) Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) yang
diselenggarakan pada tanggal 4-8 November 2019 di Honiara, Kepulauan Solomon. CTI-CFF merupakan
kerjasama tingkat regional bersama 5 negara lainnya yaitu Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini, dan
Kepulauan Solomon dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan dan lautan yang berkelanjutan,
perlindungan terumbu karang, dan ketahanan pangan

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Andi Rusandi
yang juga merupakan Ketua Delegasi Indonesia menyatakan bahwa pertemuan ini merupakan momen strategis
bagi Indonesia untuk menunjukan kepemimpinannya di tingkat regional dan global dalam pengelolaan sumber
daya perikanan dan lautan.

“Sesuai visi dan nisi Presiden RI agar Indonesia menjadi Pusat Maritim Dunia, sudah saatnya Indonesia
memberi dan menjadi contoh bagi negara lainnya di berbagai aspek untuk bidang Kelautan dan Perikanan”
tambah Andi dalam keterangannya. Pada kerja sama CTI-CFF, Indonesia merupakan negara yang paling maju
untuk pengelolaan sumber daya kelautannya baik untuk bidang konservasi, pengelolaan perikanan
berkelanjutan, maupun perencanaan ruang lautnya.

Sampai saat ini, Indonesia telah menyelesaikan 30 aksi dari total 40 aksi yang telah ditargetkan pada National
Plan of Action (NPOA), sedangkan 10 aksi lainnya masih on-going dan optimis pasti dapat selesai di tahun 2020
sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Brahmantya Satyamurti
Poerwadi, yang juga merupakan anggota Committee of Senior Officials (CSO) CTI-CFF Indonesia.

Pada SOM kali ini terdapat beberapa bahasan utama diantaranya adalah pergantian kepemimpinan di Regional
Secretariat yaitu untuk Executive Director dari Hendra Yusran Siry (Indonesia) ke Dr. Mohd. Khosairi Bin Mohd
Rajuddin (Malaysia) dan pengangkatan Deputy Executive Director for Program Services, Gustaaf Lumiu
(Indonesia); pembahasan Regional Plan of Action versi 2 pasca tahun 2020 (RPOA 2.0); dan rencana
penyelenggaraan the 2nd Leaders Summit tahun 2020 yang akan mempertemukan kepala negara dari 6 negara
anggota CTI-CFF.

Pada SOM-15 ini disepakati pembentukan Sub-Committee pada 3 Bentang Laut Prioritas yang keseluruhannya
melingkupi wilayah Indonesia yaitu Sulu-Sulawesi Seascape (Indonesia, Malaysia, dan Filipina), Bismarck
Solomon Seas Ecoregion (Indonesia, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon), dan Lesser Sunda
Seascape (Indonesia dan Timor Leste). Indonesia juga telah menyatakan kesiapannya untuk mensponsori
penyelenggaraan International Workshop on Marine Debris Elimination yang saat ini menjadi isu global melalui
program Indonesian Aid.
Delegasi Indonesia pada SOM-15 kali ini terdiri dari unsur Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Luar Negeri, Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri serta Mitra Pemerintah yang bergerak di bidang Kelautan dan
Perikanan.

Sumber : https://news.kkp.go.id/index.php/indonesia-pertahankan-komitmen-dalam-pengelolaan-sumber-daya-
kelautan-pada-wilayah-segitiga-karang/ 13/11/2013

Ekonomi Biru untuk Maritim Indonesia yang Berkelanjutan


09/12/2014 16:28:56

Oleh Rakhmindyarto dan Wesly F. Sinulingga, pegawai


Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan*)

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti


beberapa waktu yang lalu mengungkapkan bahwa
terdapat potensi peningkatan Pendapatan Negara Bukan
Pajak (PNBP) sebesar 25 triliun rupiah per tahun yang
belum dimanfaatkan dari sumber daya ikan dan sumber
daya non ikan. Tercatat 70 persen produksi minyak dan
gas nasional berasal dari wilayah pesisir dan lautan,
produksi perikanan tangkap Indonesia berada di
peringkat 2 dunia pada tahun 2012, dan luas terumbu
karang Indonesia sebesar 85.000 km2 (Ditjen
Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan).
Potensi maritim Indonesia yang demikian besar ditangkap sebagai salah satu visi misi unggulan
Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Meskipun demikian, di samping potensi besar ekonomi dan ekologi yang
tersimpan sebagai negara maritim, potensi kerusakan alam yang mungkin ditimbulkan akibat eksplorasi
berlebihan yang dapat mengancam keberlanjutan pembangunan hendaknya juga mendapat perhatian.

Ekonomi Biru, Harapan Baru

Istilah ekonomi biru pertama kali diperkenalkan pada tahun 2010 oleh Gunter Pauli melalui bukunya yang
berjudul The Blue Economy: 10 years – 100 innovations – 100 million jobs. Ekonomi biru menerapkan
logika ekosistem, yaitu ekosistem selalu bekerja menuju tingkat efisiensi lebih tinggi untuk mengalirkan
nutrien dan energi tanpa limbah untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi semua kontributor dalam suatu
sistem. Selanjutnya, ekonomi biru menitikberatkan pada inovasi dan kreativitas yang meliputi variasi
produk, efisiensi sistem produksi, dan penataan sistem manajemen sumber daya.

Ekonomi biru kemudian berkembang dan sering dikaitkan dengan pengembangan daerah pesisir. Konsep
ekonomi biru sejalan dengan konsep ekonomi hijau yang ramah lingkungan dan difokuskan pada negara-
negara berkembang dengan wilayah perairan (laut), yang biasa dikenal dengan Small Island Development
States (SIDS). Ekonomi biru dalam hal ini ditujukan untuk mengatasi kelaparan, mengurangi kemiskinan,
menciptakan kehidupan laut yang berkelanjutan, mengurangi risiko bencana di daerah pesisir, dan mitigasi
serta adaptasi perubahan iklim.

Implementasi ekonomi biru secara global dianggap krusial mengingat 72 persen dari total permukaan bumi
merupakan lautan. Disamping itu, laut berfungsi sebagai salah satu sumber penyedia makanan dan pengatur
iklim dan suhu bumi sehingga kelestariannya perlu dijaga.

Potensi Perairan Laut Indonesia

Konsep ekonomi biru sangat cocok untuk negara-negara dengan wilayah perairan yang cukup luas, seperti
Indonesia. Sekitar 75 persen dari total wilayah kedaulatan Indonesia merupakan wilayah perairan yang
terdiri dari laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan laut 12 mil. Wilayah laut Indonesia yang
sangat luas merupakan potensi yang penting dan perlu dipelihara serta ditingkatkan kualitasnya.

Berdasarkan Statistik Perikanan dan Akuakultur Tahun 2012 dari Food and Agriculture
Organization (FAO), Indonesia menduduki peringkat kedua dalam produksi perikanan tangkap dan
peringkat keempat dalam produksi perikanan budidaya. Indonesia juga tercatat sebagai negara kedua
terbanyak dalam hal jumlah kapal yang dimiliki setelah Tiongkok. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor
perikanan tercatat menampung 2.748.908 tenaga kerja pada tahun 2012, menduduki peringkat keempat
dunia.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa sektor perikanan, walaupun hanya menyumbang sekitar 2
persen dari total PDB Indonesia pada tahun 2013 namun memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dari
laju pertumbuhan PDB secara keseluruhan, yaitu sebesar 6,86 persen. Laju pertumbuhan sektor perikanan ini
lebih tinggi dibandingkan sektor pertambangan, industri manufaktur, konstruksi, dan jasa. Hal ini
menunjukkan potensi yang dapat dikembangkan di masa yang akan datang.

Kekayaan bawah laut merupakan salah satu modal Indonesia untuk menarik wisatawan, baik asing maupun
lokal. Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat terdapat 108 kawasan konservasi perairan dengan luas
15,78 juta ha, yang diharapkan dapat meningkat menjadi 20 juta ha pada tahun 2020. Keindahan bawah laut
di beberapa provinsi di Indonesia juga sudah sangat mendunia dan menjadi spot menyelam yang wajib
dikunjungi para divers, seperti Bunaken (Sulawesi Utara), Raja Ampat (Papua Barat), dan Wakatobi
(Sulawesi Tenggara).

Tantangan Ekonomi Biru di Indonesia

Ekonomi biru sangat erat kaitannya dengan sektor-sektor berbasis perairan dan kelautan, seperti sektor
perikanan, transportasi, dan pariwisata. Keberlangsungan hidup biota laut sebagai bahan makanan dan mata
pencaharian bagi penduduk di sekitar laut menjadi fokus ekonomi biru guna mengurangi kemiskinan dan
kelaparan. Selain itu, laut dapat dimanfaatkan untuk memproduksi “energi biru” yang terbarukan, seperti
tenaga angin (wind), ombak (wave), panas (thermal), dan biomassa (biomass). Fakta bahwa Indonesia
memiliki berbagai potensi bahari yang besar dan melimpah sayangnya tidak tercermin dalam kondisi sosial
ekonomi masyarakat pesisir. Banyak nelayan yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan kondisi
lingkungan yang mengkhawatirkan. Terbatasnya kemampuan dan akses menuju pekerjaan yang lebih baik
merupakan beberapa alasan para nelayan tetap bertahan. Ditambah lagi, bantuan pemerintah berupa kapal
Inka Mina, misalnya, banyak mengalami kendala dalam operasionalisasinya (Kompas 26 November 2014).
Hasil tangkapan para nelayan tradisional juga sangat terbatas mengingat minimnya peralatan yang digunakan
jika dibandingkan dengan perusahaan penangkap ikan yang memiliki kapal dan peralatan lebih canggih.
Kalah bersaing, beberapa nelayan kemudian memutuskan untuk berhenti mencari ikan dan menjadi buruh
nelayan pada perusahaan ikan yang secara ekonomi tidak membuat mereka lebih baik.

Dengan keterbatasan pengetahuan dan ditambah lagi dengan tekanan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari menyebabkan aspek ekologi menjadi terabaikan. Penggunaan sarana dan prasarana penangkapan
ikan, seperti bom, potas, dan pukat harimau, cenderung merusak keanekaragaman hayati dan biota laut.
Pendekatan ekonomi biru menitikberatkan pada investasi kreatif dan inovatif yang pada akhirnya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Jenis usaha
dan lapangan kerja baru sebenarnya dapat diterapkan di sekitar daerah pesisir. Bisnis daur ulang sampah,
misalnya, dapat menjadi alternatif solusi membersihkan lingkungan sekitar pantai, menciptakan lapangan
kerja baru, dan mengurangi sampah (zero waste).

Untuk dapat mendukung implementasi ekonomi biru yang berorientasi pada kreativitas dan inovasi,
pemerintah perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat pesisir sehingga mampu
“bereksperimen” dengan limbah, by-product, dan produk ikutan hasil laut. Dengan peningkatan inovasi dan
sosialisasi iptek pertanian dan kelautan diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penangkapan dan budidaya
hasil laut. Infrastruktur yang mendukung efisiensi kegiatan maritim, seperti pelabuhan, aspek pengolahan
dan pemasaran hasil perikanan juga perlu mendapat perhatian lebih. Dengan memelihara kualitas
keanekaragaman hayati laut, ekonomi biru diharapkan dapat mendukung pembangunan berkelanjutan

Sumber : https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/ekonomi-biru-untuk-maritim-indonesia-
yang-berkelanjutan/ 13/11/2019

PENGELOLAAN SUMBERDAYA
PERIKANAN YANG BERKELANJUTAN
Manajemen Sumberdaya Perikanan
Sebagaimana diketahui bahwa sumberdaya
perikanan adalah sumberdaya yang dapat
pulih (renewable) yang berarti bahwa apabila tidak
terganggu, maka secara alami kehidupan akan
terjaga keseimbangannya, dan akan sia-sia bila tidak
dimanfaatkan. Apabila pemanfaatannya tidak
seimbang dengan daya pulihnya maka sumberdaya
tersebut dapat terdegradasi dan terancam
kelestariannya, yang sering dikenal sebagai tangkap
berlebih (overfishing). Untuk menghindari
kemungkinan terjadinya kondisi tangkap lebih maka
perlu adanya pengelolaan sumberdaya perikanan.
Prinsip dasar yang mendasari ide pengelolaan
adalah bahwa pemanfaatan sumberdaya harus didasarkan pada sistem dan kapasitas daya dukung (carrying
capacity) alamiahnya (Saputra, 2009). Besar kecilnya hasil tangkapan tergantung pada jumlah stok alami yang
tersedia di perairan dan kemampuan alamiah dari habitat untuk menghasilkan biomass.
1. Pendekatan Pengelolaan Perikanan
Salah satu pertanyaan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah bagaimana memanfaatkan
sumberdaya tersebut sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya
tetap terjaga. Secara implisit pertanyaan tersebut mengandung dua makna, yaitu makna ekonomi dan makna
konservasi atau biologi. Dengan demikian, pemanfaatan optimal sumberdaya ikan mau tidak mau harus
mengakomodasi kedua disiplin ilmu tersebut. Oleh karena itu, pendekatan bio-ekonomi dalam pengelolaan
sumberdaya ikan merupakan hal yang harus dipahami oleh setiap pelaku yang terlibat dalam pengelolaan
sumberdaya ikan.

a. Pengaturan Musim Penangkapan Ikan (MPI)


b. Penutupan Daerah Penangkapan Ikan
c. Selektifitas Alat Tangkap
d. Pelarangan Alat Tangkap
e. Kuota Penangkapan Ikan
f. Pengendalian Upaya Penangkapan Ikan
2. Tujuan Pengelolaan Perikanan
Tujuan pengelolaan seperti dikemukakan diatas adalah pemanfaatan dalam jangka panjang atas sumberdya
perikanan secara berkelanjutan. Untuk mewujudkan tujuan ini diperlukan pendekatan proaktif dan berusaha secara
aktif menemukan cara untuk mengoptimalkan keuntungan ekonomi dan social dari sumberdaya yang tersedia.

a. Maximum Sustainable Yield (MSY)


MSY adalah hasil tangkapan terbesar yang dapat dihasilkan dari tahun ke tahun oleh suatu perikanan. Konsep
MSY didasarkan atas suatu model yang sangat sederhana dari suatu populasi ikan yang dianggap sebagai unit
tunggal. Konsep ini dikembangkan dari kurva biologi yang menggambarkan yield sebagai fungsi dari effort dengan
suatu nilai maksimum yang jelas, terutama bentuk parabola dari model Schaefer yang paling sederhana.
MSY memiliki beberapa keuntungan :
1) Konsep ini didasarkan pada gambaran yang sederhana dan mudah dimengerti atas reaksi suatu stok ikan
terhadap penangkapan. Setiap nelayan akan memahami bahwa dari stok berukuran kecil, dan demikian juga
sebaliknya.
2) MSY ditentukan dengan suatu ukuran fisik yang sederhana, yakni berat atau jumlah ikan yang ditangkap,
sehingga menghindarkan perbedaan-perbedaan dalam wilayah suatu negara ataupun antar negara, dibandingkan
dengan kriteria lainnya (misalnya harga hasil tangkapan atau penurunan biaya operasi).
Dibalik kelebihan-kelebihan tersebut sebenarnya terdapat beberapa kelemahan mendasar yaitu bahwa konsep ini
tidak cukup memiliki dasar berpijak yang cukup kuat. Banyak stok ikan yang sifat dinamikanya tidak dapat dilukiskan
dengan gambaran yang demikian sederhana, atau dapat ditentukan dengan mudah, sehingga sangat sulit
menentukan letak MSY dari sumberdaya tersebut. Selain itu konsep ini tidak dapat menampung berbagai
kompleksitas seperti interaksi suatu populasi dengan populasi-populasi lainnya, adanya struktur umur dalam populasi,
adanya fluktuasi rekrutmen, dan lain-lain.

b. Maximum Economic Yield (MEY)


Pengkajian secara teoritis telah menyimpulkan untuk mengganti MSY dengan pendekatan Maximum
Economic Yield (MEY), atau Maximum Rent. Net Economic Yield cenderung menjadi nol (0) dalam suatu sumberdaya
perikanan yang tidak dikelola, mungkin menjadi sangat kecil pada saat penangkapan berada pada tingkat MSY, dan
akan mempunyai nilai maksimum pada suatu tingkat upaya sedikit lebih kecil dari pada nilai yang menghasilkan hasil
tangkapan yang terbesar.
Beberapa keuntungan penggunaan model MEY sebagai tujuan pengelolaan, selain yang telah disebutkan juga model
ini sangat fleksibel dan dapat diadaptasikan untuk analisis cost and benefit bagi nelayan komersial, rekreasional, para
pengolah, konsumen, dan lain-lain, yang kegiatan usahanya berkaitan dengan perikanan. Selain itu konsep ini dapat
diaplikasikan terhadap setiap model biologi, dan berbeda dengan konsep MSY, MEY tiodak berdasarkan konsep
ekuilibrium.
Kelemahan yang paling menonjol dari penggunaan net economic yield sebagai tujuan pengelolaan ialah bahwa model
ini tergantung pada harga ikan yang tertangkap serta satuan biaya penangkapan yang bervariasi dari tahun ke tahun,
dari negara ke negara. Oleh karena itu, net economic yield tidak memberikan nilai pasti yang tetap untuk tujuan suatu
pengelolaan.

c. Optimum Sustainable Yield (OSY)


Istilah Optimum Sustainable Yield (OSY) dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk mempertimbangkan segala
keuntungan dan kerugian yang sering digolongkan ke dalam biologi, ekonomi, hukum (legal), sosial dan politik.
Pertimbangan sosial menjadi salah satu kunci dalam tujuan pengelolaan dengan pendekatan ini. Hal ini dapat
dipahami karena hasil ekonomi yang optimal hanya akan bermakna jika diikuti oleh keuntungan maksimal secara
sosial berupa pengurangan angka pengangguran atau penyediaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, dan
resolusi konflik.

3. Pertimbangan Pengelolaan Perikanan


Seandainya sumberdaya hayati laut bukan tidak terbatas dan bukan tidak terusakkan, maka kita dapat saja
membiarkan manusia untuk memanfaatkannya dan menyalahgunakan pemanfaatan itu dengan cara semena-
mena.Produksi dan potensi perikanan dibatasi oleh sejumlah faktor yang dapat dikelompokkan ke dalam biologi,
ekologi dan lingkungan, teknologi, sosial, kultural dan ekonomi.

Pertimbangan Biologi
Sebagai populasi atau komunitas yang hidup, sumberdaya hayati laut mampu membarui dirinya melalui proses
pertumbuhan dalam ukuran (panjang) dan massa (bobot) individu selain pertambahan terhadap populasi atau
komunitas melalui reproduksi (yang biasa disebut dalam dunia perikanan sebagai rekrutmen).
Dalam populasi yang tidak dieksploitasi, mortalitas total mencakup mortalitas alami yang terdiri dari proses-
proses seperti pemangsaan, penyakit, dan kematian melalui perubahan-perubahan drastisdari lingkungan dan lain-
lain. Dalam populasi yang dieksploitasi, mortalitas total terdiri dari mortalitas alami plus mortalitas penangkapan.
Tugas utama dari pengelolaan perikanan adalah menjamin bahwa mortalitas penangkapan tidak melampaui
kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam atau merusak kelestarian dan produktivitas dari populasi
ikan yang sedang dikelola.

Indonesia Perlu Regulasi untuk kelola


Sumber Daya Kelautan
Senin, 25 Agustus 2014 15:37 WIB

Jakarta, 25 Agustus 2014 (ANTARA) -


- Sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia dengan luas laut mencapai 5,8
juta km2 yang terdiri dari perairan
teritorial 3,1 juta km2 dan ZEE
Indonesia 2,7 km2 dan terdiri dari
17.508 buah pulau dengan panjang
pantai mencapai 104.000 km.
Indonesia memiliki berbagai potensi
sumberdaya alam yang melimpah, oleh karena itu diperlukan payung hukum yang
mengatur keseluruhan sektor yang terkait dengan sumber daya kelautan secara terpadu.
Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan di Jakarta, Senin (25/8).

Sharif menjelaskan kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan diawali dengan


Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 yang kemudian ditetapkan menjadi UU
No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Pada tahun 1982 ditetapkan dalam konvensi
hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 yaitu United Nations Convention On The Law of The
Sea atau UNCLOS 1982. Sebagai konsekuensi dari UNCLOS 1982, Indonesia dituntut
untuk menyelesaikan hak dan kewajiban dalam mengelola sumberdaya kelautan
berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982, antara lain menyelesaikan penataan batas maritim
(perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas
kontinen). Tentunya seluruh wilayah laut tersebut harus dikelola dan dimanfaatkan sebaik-
baiknya dan secara berkelanjutan. Pengelolaan dan pemamfaatan sumberdaya kelautan,
meliputi:

1. Mengenal berbagai-bagai jenis laut Indonesia dengan berbagai ketentuannya


2. Mengenal dan menghormati hak-hak internasional atas perairan Indonesia
3. Mengenal berbagai-bagai sumberdaya alam yang terdapat di berbagai-bagai perairan
tersebut, baik yang dalam wilayah kedaulatan maupun di luarnya, maupun yang hidup,
yang tidak hidup.
4. Mampu mempertahankan kedaulatan wilayah, kewenangan, keamanan, keselamatan,
kesatuan dan persatuan nasional dalam memanfaatkan ruang laut maupun sumberdaya
yang ada di dalamnya.
5. Mampu menghapuskan IUU fishing dan mencegah segala macam bentuk
penyelundupan dan pelanggaran hukum di perairan Indonesia, baik di wilayahnya
maupun di daerah kewenangannya.
6. Mampu memelihara lingkungan laut dan memanfaatkan sumberdaya alamnya secara
sustainable.
7. Menetapkan dan mengelola berbagai perbatasan maritim dengan negara tetangga serta
menjaga keamanan berbagai perbatasan tersebut.
8. Mampu memajukan dan menjaga keselamatan pelayaran melalui perairan Indonesia.
9. Mampu memanfaatkan otonomi daerah yang konstruktif mengenai kelautan.
10. Mampu memanfaatkan sumberdaya alam dan ruang diluar perairan Indonesia
seperti di laut bebas dan di dasar laut internasional.

Sharif menambahkan untuk mengelola dan memenfaatkan sumberdaya kelautan


dibutuhkan regulasi atau undang-undang (UU) yang memuat dasar filosofis, sosiologis dan
yuridis, serta sesuai dengan konsepsi geopolitik bangsa. Karena itu, keberadaan UU yang
mengatur pemanfatan wilayah laut secara komprehensif adalah sangat urgen. Saat ini,
setidaknya terdapat 23 UU sektoral yang terkait dengan bidang kelautan, tapi tidak ada UU
yang mengintegrasikan berbagai UU tersebut.

Sharif juga mencontohkan bahwa belum ada peraturan yang bisa dijadikan landasan untuk
membuat Tata Ruang Laut Nasional, yang ada baru tata ruang laut hingga 12 mil
(sebagaimana dimanatkan UU No. 27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 1/2014). Maka dari itu,
kehadiran UU Kelautan sangat diperlukan agar kebijakan nasional pengelolaan laut
terintegrasi.

Undang-Undang Kelautan
Undang-Undang Kelautan mempunyai fokus, yaitu: 1) Mainstreaming dan percepatan
pembangunan kelautan nasional ke depan; 2) Breakthrough terhadap permasalahan
peraturan perundangan yang ada; 3) Outward looking terhadap kepentingan kelautan bagi
bangsa Indonesia ke depan; 4) Menetapkan yang belum diatur dalam UU yang sudah ada
di bidang kelautan; dan 5) Mengacu pada UNCLOS dan kondisi geografis Indonesia,
ungkap Sjarief Widjaja, Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sjarief menjelaskan dengan adanya UU kelautan, diharapkan dapat menjadi instrumen


regulasi untuk mewujudkan bidang kelautan sebagai bidang andalan (leading sector)
dalam pembangunan nasional, sehingga Indonesia bisa disebut sebagai negara maritim.
Negara Maritim adalah negara yang mampu memanfaatkan laut, walaupun negara
tersebut mungkin tidak punya banyak laut tetapi mempunyai kemampuan teknologi, ilmu
pengetahuan, peralatan, dan lain-lain untuk mengelola dan memanfaatkan laut tersebut,
baik ruangnya maupun kekayaan alamnya.Banyak negara kepulauan atau negara pulau
yang tidak atau belum menjadi negara maritim. Indonesia, menurut hemat saya adalah
negara kepulauan yang sedang menuju atau bercita-cita menjadi Negara maritim.

Sjarief menambahkan, secara historis, Rancangan Undang-undang (RUU) tentang


Kelautan sudah sangat lama dibahas, baik di pemerintah, DPR, DPD, maupun antara
pemerintah, DPD dan DPR. Pemerintah, dalam hal ini diwakili Kementerian Kelautan dan
Perikanan bersama dengan DPD dan DPR, saat ini tengah melakukan finalisasi terhadap
RUU Kelautan tersebut, dan diharapkan pada masa periode kabinet saat ini RUU Kelautan
bisa disyahkan menjadi undang-undang.

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Lilly Aprilya Pregiwati, Kepala Pusat
Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan

Sumber https://www.antaranews.com/berita/450134/indonesia-perlu-regulasi-untuk-kelola-sumber-daya-
kelautan 13/11/2019

Anda mungkin juga menyukai