BERKELANJUTAN
1. Apresiasi terhadap KKP atas keberhasilannya dalam memerangi illegal fishing yang dilakukan oleh
kapal asing. Atas kebijakan tersebut, dua pilar utama dalam pengelolaan sumber daya kelautan
dapat diklaim telah dicapai, yaitu Kedaulatan (sovereignty) dan Keberlanjutan (sustainablity).
2. Pilar ketiga yaitu Kesejahteraan (Prosperity) belum dirasakan oleh sebagian besar masyarakat
pesisir terutama di Kepulauan Maluku. Dengan bertambahnya stok ikan secara nasional,
masyarakat nelayan Maluku tidak mendapatkan manfaat karena tidak dapat bersaing dengan
kapal-kapal penangkap ikan yang datang dari Pulau Jawa atau Pulau Sulawesi.
3. Alokasi APBN-APBD juga dirasakan terlalu berpatokan dengan luas daratan sehingga daerah-
daerah yang berbentuk kepulauan akan mendapatkan alokasi yang lebih sedikit dibandingkan
daerah yang memiliki daratan yang lebih besar. Pemerintah Pusat juga diharapkan memiliki
sensitifitas lebih terhadap kepada konteks dan nuansa daerah yang berbeda-beda. Jangan sampai
memaksakan kebijakan yang “one size fits all”.
Selain simposium, dalam kesempatan tersebut ASILL juga mengadakan Rapat Kerja Pengurus. Tiap-tiap
bidang membahas program kerja di area masing-masing. Ada 2 dosen tetap (faculty member) BL yang
menjadi Pengurus ASILL, yaitu Nirmala Many, Kordinator Kajian Hukum Maritim dan Muhammad Reza Zaki
bidang Penelitian dan Publikasi.
Sumber : https://business-law.binus.ac.id/2018/08/08/pengelolaan-sumber-daya-kelautan-dan-perikanan-
berkelanjutan/ 13 November 2019
Kolaborasi KKP dan BIG Mengelola Kelautan
Berkelanjutan. Seperti Apa?
oleh Tommy Apriando, Yogyakarta di 6 April 2015
Kesuksesan penerapan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam mengelola sumber
daya kelautan dan perikanan secara lestari dan berkelanjutan tak lepas dari peran serta
kementerian/lembaga terkait. Salah satunya adalah Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai salah satu
lembaga pemerintah yang menyelenggarakan tugas informasi geospasial di Indonesia, termasuk di bidang
kelautan.
“Dengan begitu penanganan illegal fishing juga akan menjadi lebih mudah dilakukan, itu sebagai bentuk
upaya kita untuk menegakkan kedaulatan di laut”, kata Susi dalam siaran persnya.
Susi menjelaskan dengan adanya informasi geospasial kelautan yang lengkap dengan resolusi berdasarkan
tingkat keperluannya, maka aktivitas pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia bukan
lagi sebuah keniscayaan. Namun disadari bahwa keberadaan data informasi geospasial kelautan yang
mencakup wilayah Indonesia masih belum terintegrasi dengan baik. Data spasial yang berkualitas dan
terkelola dengan baik akan sangat berpengaruh bagi pengembangan ekonomi kelautan Indonesia di masa
yang akan datang.
“Keberhasilan pengelolaan kelautan sangat berpengaruh pada tersedianya data spasial mengenai suatu
tematik tertentu. Semisalnya, penentuan batas maritim di lautan dan pemetaan zona penangkapan ikan
dan pengelolaan sumber daya kelautan,” kata Susi.
Selain itu, menurut Susi, pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan yang berkelanjutan telah menjadi
isu global. Hal ini merujuk kepada fakta bahwa di beberapa belahan dunia, eksploitasi besar-besaran
terhadap sumber daya kelautan, seperti ikan, telah masuk kepada taraf yang sangat mengkhawatirkan.
Berbagai spesies ikan konsumsi semakin sulit ditemukan. Hal ini juga berdampak kepada masalah pada
pemberdayaan nelayan-nelayan tradisional. Apabila eksploitasi ikan skala besar terus berjalan seperti yang
ada saat ini, maka nelayan tradisional akan semakin terancam akibat sulitnya mendapatkan ikan.
“Kebijakan pengelolaan sumber daya laut berkelanjutan menjadi prioritas kami karena semata-mata adalah
untuk kesejahteraan nelayan”, kata Susi.
Sementara itu Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi KKP, Lilly Aprilya Pregiwati dalam rilis
menyampaikan, kesepakatan bersama antara KKP dan BIG yang ditandatangani menjadi penting dan
strategis bagi kedua belah pihak. Sebagai lembaga pemerintah, keduanya memiliki konstribusi yang sangat
penting dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, sebagaimana visi Presiden Joko
Widodo.
Kepala BIG, Priyadi Kardono dalam pemaparannya usai penandatangan kerja sama (27/03/2015)
mengatakan bahwa Indonesia yang merupakan negara maritim, dengan luas wilayah perairan 6.315.222
km2 dengan panjang garis pantai 99.093 km2 serta jumlah pulau 13.466 pulau yang bernama dan
berkoordinat.
“Diperlukan data dan informasi geospasial untuk membangun berbagai wilayah di seluruh Indonesia,
apalagi data informasi tentang kelautan dan perikanan,” kata Priyadi.
Ia menambahkan, dalam mendukung pembangunan wilayah kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil di
seluruh Indonesia, BIG menyediakan data dan informasi geospasial berupa Peta Rupabumi Indonesia (RBI)
berbagai skala, Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN), Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dengan
berbagai skala. BIG juga mendukung program nawacita di bidang kemaritiman diantaranya pembangunan
tol laut, dengan menyediakan informasi geospasial untuk mendukung pengembangan 24 pelabuhan di
seluruh wilayah Indonesia.
“BIG juga memetakan status batas Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK), Batas Maritim
NKRI serta pemetaan pulau kecil terluar,” kata Priyadi.
Kepala BIG juga menjelaskan bahwa untuk mengimplementasikan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy),
BIG menyediakan referensi tunggal IGD, mengkoordinasikan dan mengintegrasikan Informasi Geospasial
Tematik (IGT) yang diselenggarakan Kementerian dan Lembaga dalam bentuk Rakornas, Rakorda dan
Rakortek untuk mendukung Pokja IGT. Dalam hal dukungan untuk pembangunan kelautan, pesisir dan
pulau-pulau kecil, di dalam Pokja IGT dibentuk, Pokja Pemetaan Mangrove, Pokja Pemetaan Pulau-Pulau
Kecil dan Pokja Pemetaan Sumberdaya Pesisir dan Laut.
Priyadi berharap ke depan dapat dilakukan peningkatan kerjasama dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan kemaritiman berbasis IG melalui percepatan penyediaan data IG untuk mendukung rencana
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk itu perlu dukungan penganggaran yang memadai untuk
penyediaan data IG pesisir dan laut.
“Kesemua ini dilakukan agar pengelolaan data dan informasi geospasial dapat dilaksanakan secara efektif
baik di BIG maupun di K/L dan Pemerintah Daerah,” tambahnya.
BIG sendiri telah meluncurkan One Map IG Tematik untuk mendukung pembangunan pesisir, kelautan dan
perikanan, diantaranya Satu Peta Mangrove, Satu Peta Padang Lamun dan Satu Peta Karakteristik Laut
Nasional. Selain satu peta tersebut, BIG telah melakukan kegiatan antara lain Pemetaan Lahan Garam,
Pemetaan Ekosistem Pesisir Mangrove (Kerapatan, Spesies, Karbon), Pemetaan Ekosistem Pesisir Terumbu
Karang, Pemetaan Ekosistem Pesisir Habitat Lamun serta peta Pemetaan Ekoregion, Pemetaan
Karakteristik Laut, Pemetaan Arah dan Kecepatan Arus. Kesemuanya ini merupakan data dan informasi
geospasial untuk mendukung Tata Ruang Laut Nasional. Sementara itu, Abdul Halim selaku Sekjen KIARA
kepada Mongabay, pada Minggu, (29/03/2015) mengatakan, terhadap kerja sama tersebut harus bisa
mengatasi ego-sektoral kelembagaan negara terkait pengelolaan kondisi geografis kelautan. Dengan satu
peta dan data yang valid, kebijakan yang diambil akan lebih tepat, termasuk program pembangunannya
untuk kelautan yang berkelanjutan.
“Penting juga dalam sektor penegakan hukum, kerja sama tersebut seharusnya bisa memberikan
optimalisasi penegakan hukum di laut,” katanya.
Sumber : https://www.mongabay.co.id/2015/04/06/kolaborasi-kkp-dan-big-mengelola-kelautan-
berkelanjutan-seperti-apa/ 13 November 2019
Pengelolaan Potensi Laut Mesti Berkelanjutan - Agar Bisa Dinikmati
Generasi Penerus
Oleh: Munib Ansori Selasa, 09/12/2014
NERACA
Bogor – Sebagai negara maritim dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 17.504 buah
dan luas lautan mencapai 2/3 dari luas wilayah, Indonesia memiliki potensi sumberdaya kelautan dan
perikanan yang sangat besar. Potensi tersebut harus dikelola secara berkelanjutan agar di masa mendatang
bukan hanya tinggal cerita, namun benar-benar dapat dinikmati oleh para generasi penerus.
Demikian disampaikan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan
(BPSDM KP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Suseno Sukoyono, sebagai salah satu keynote
speech mewakili Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di acara Stakeholder Consultation
Workshop, di Bogor International Convention Center (BICC), Bogor, Senin (8/12).
Pembangunan kelautan dan perikanan ke depan menitikberatkan pada sumberdaya kelautan dan
perikanan. Untuk merealisasikan hal tersebut, beberapa waktu lalu KKP menerbitkan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan (Permen KP) tentang penghentian sementara (moratorium) perizinan usaha
perikanan tangkap, yakni Permen KP Nomor 56, 57, dan 58 Tahun 2014.
Untuk mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan tersebut, diperlukan Sumber
Daya Manusia (SDM) unggul. “Dengan demikian, pengembangan SDM kelautan dan perikanan dirasa
sangat penting karena mengelola sumberdaya alam pada hakekatnya adalah mengelola SDM-nya.
Pengembangan SDM ini dilakukan BPSDM KP melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan yang
terintegrasi,” ujar Suseno pada acara bertema “Indonesia Agri-Incorporated: Revolusi Pembangunan
Pertanian Menuju Visi Pertanian Indonesia 2045” yang diselenggarakan oleh DPP Himpunan Alumni IPB
dan Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB tersebut.
Pemikiran tersebut sejalan dengan Sasaran Perencanaan Pembangunan Nasional di Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) ketiga tahun 2015-2019, yaitu memantapkan pembangunan secara menyeluruh
dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumberdaya alam
yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Pengembangan SDM ini perlu berbagai perubahan, misalnya dalam bidang pendidikan KKP telah
menggunakan program vokasi dengan pendekatan teaching factory. Pendidikan vokasi dicirikan dengan
porsi 60% praktek dan 40% teori bagi tingkat pendidikan tinggi serta 70% praktek dan 30% teori untuk
tingkat pendidikan menengah. Sementara teaching factory merupakan penyelenggaraan pembelajaran
sesuai dengan proses produksi yang sebenarnya dan sesuai dengan tuntutan dunia usaha dan dunia
industri.
Sistem perekrutannya menggunakan persentase 40% anak pelaku utama kelautan dan perikanan, 40%
masyarakat umum, dan 20% mitra kerja sama. Lulusan yang dihasilkan tidak hanya sebagai tenaga kerja,
tetapi diprioritaskan menjadi wirausaha.
Adapun di bidang pelatihan, KKP telah melakukan perubahan, yakni pelatihan tidak hanya diselenggarakan
pemerintah saja, namun juga dari, oleh, dan untuk masyarakat melalui Pusat Mandiri Pelatihan Kelautan
dan Perikanan (P2MKP). Untuk memperlancar jangkauan kegiatan pelatihan bagi masyarakat karena
terbatasnya jumlah Balai Diklat KKP, dibentuk P2MKP tersebut yang kini jumlahnya mencapai 417 P2MKP di
berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, upaya mensertifikasi SDM kelautan dan perikanan sesuai dengan
standar kompetensi terus dilakukan dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Sementara itu, kegiatan penyuluhan dilakukan melalui peran penyuluh perikanan yang memanfaatkan
teknologi berbasis on line dalam penyuluhan, hasil koordinasi BPSDM KP dengan Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota seluruh Indonesia. Para penyuluh perikanan yang saat ini berjumlah 12.932 orang,
bertugas mendampingi dan membimbing para pelaku utama/usaha di lapangan, mencatat data, dan
Konsultan Keuangan Mitra Bank. Penyuluhan yang semula dilakukan secara konvensional dan bertatap
muka, kini dilakukan pula secara online.
Dalam melakukan kegiatannya, BPSDM KP bekerja sama dengan berbagai pihak di dalam dan luar negeri.
Kerja sama yang dilakukan baru-baru ini antara lain kuliah online melalui teleconference, pelatihan di Food
and Agriculture Organization (FAO), pelatihan Sertifikasi Penanganan Penyakit ikan di Michigan State
University, Amerika Serikat, sosialisasi Blue Economy di forum internasional, pelatihan observer di kapal
perikanan, pelatihan bagi negara Asia Pasific, dan beasiswa bagi negara Asia Pasifik di STP Jakarta dan
SUPM Waeheru.
Sumber : http://www.neraca.co.id/article/48408/pengelolaan-potensi-laut-mesti-berkelanjutan-agar-bisa-
dinikmati-generasi-penerus 13 November 2019
Pemanfaatan dan Pengembangan Kelimpahan
Sumber Daya Kelautan Indonesia Secara
Berkelanjutan
22 Agustus 2015 22:52 Diperbarui: 23 Agustus 2015 08:34 168 1 0
Memang sudah 70 tahun Indonesia merdeka dan sudah sangat sering kita membaca dan mendengar bahwa
Indonesia menjadi negara yang kepulauan yang terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 81.000
km, setara dengan 14% dari panjang garis pantai di dunia dan memiliki potensi yang sangat besar untuk
pengembagan industri maritim. Perkembangan dari industri maritim dan sektor budidaya perikanan
diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya para nelayan dan petani ikan yang
saat ini hidup dibawah tingkat kemiskinan. Disisi lain, pencapaian dari praktek keberlanjutan dan
manajemen sistem untuk melindungi lingkungan pantai masih jarang dan untuk itu usaha atau kegiatan yang
lebih harus dilakukan.
Seiring dengan tujuan dari Pemerintah saat ini untuk mengembangkan sektor kelautan dan menjadikan
Indonesia sebagai poros maritim dunia. Laut sebagai sumber pangan, poros maritim, serta alat dan sarana
pemersatu bangsa. Indonesia juga memiliki potensi yang sangat besar dalam marikultur industri, namun hasil
dari peningkatan produksi dan budidaya laut lainya masih perlu adanya perhatian khusus berkaitan dengan
akibat dari kegiatan ini terhadap lingkungan. Minimnya perhatian terhadap pelaksanaan lingkungan yang
keberlanjutan, seperti: degradasi dari lingkungan pantai, tumpang tindih dan konflik penggunaan daerah
pantai serta pelanggaran hukum berdasarkan manajemen dari kelautan dan lingkungan pantai. Oleh karena
itu, sangat penting untuk meningkatkan akuakultur teknologi dan membuat seperangkat manajemen yang
mengakomodasi kebutuhan untuk proses yang ramah lingkungan dan memperhatikan ketahanan pangan
Sejumlah ahli merekomendasikan penggunaan Sistem Pengambil Keputusan untuk mengaplikasikan
fleksibelitas dari dinamika lingkungan. Dengan sistem ini dapat digunakan untuk mengakomodir
kompleksitas dari masalah tersebut dan mendukung pengambilan keputusan yang terintegrasi antara sosial
ekonomi dan biogeofisik dari lingkungan serta dalam keputusan politik. Aplikasi dari sistem pendukung
keputusan ini yang diharapkan mampu untuk menjawab tantangan tersebut.
Sistem ini mempergunakan sistem informasi geografis dan informasi beresolusi tinggi dari hidrodinamika
kelautan terutama kedalaman air laut, kecepatan arus dan tinggi gelombang dari model hidraulika, informasi
kualitas air serta penggunaan wilayah pantai yang terintegrasi, untuk manajemen keberlanjutan industri
maritim yang menyediakan tinjauan detail dan komprehensif di tiga lokasi daerah terpencil di Indonesia.
Sebagai contoh: SPK ini digunakan untuk menentukan kesesuaian lahan dari 32 parameter budidaya
keramba jala apung (KJA) ikan kerapu yang memiliki harga komiditas tinggi baik untuk tujuan ekspor
maupun domestik. Menilai karakter penyebaran dari setiap lokasi yang menghasilkan pendugaan berbagai
daya dukung lingkungan, yaitu daya dukung produksi berdasarkan pada deposisi partikulat karbon dan daya
dukung ekologis yang merupakan akumulasi dari nitrogen terlarut dalam kolom air di lokasi yang sesuai.
Serta dilengkapi dengan analisis ekonomi berfokus pada kelayakan ekonomi yang dapat dikelola tanpa
merusak lingkungan dan berkelanjutan.
Berdasarkan hasil riset menunjukkan bahwa salah satu lokasi studi yaitu Pulau Galang merupakan daerah
sesuai untuk pengembangan budidaya KJA kerapu. Daerah ini memiliki daya dukung fisikal, produksi dan
ekologis yang cukup besar untuk menunjang kegiatan tersebut. Dilengkapi dengan kajian ekonomi yang
mengungkapkan bahwa nilai potensial ekonomi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan di daerah ini
berkisar antara 4,2 sampai 8 triliun.
Disamping itu, berdasarkan hasil model hidraulika yang di implementasikan pada tiga lokasi di Indonesia
menunjukkan bahwa ditemukannya lokasi yang potensial untuk pembangkit listrik tenaga arus laut,
gelombang laut maupun angin. Oleh karena itu dari hasil pengaplikasian SPK ini dapat juga dijadikan
sebagai salah satu acuan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan untuk kemandirian energi baru
terbaharukan yang merupakan masa depan energi nasional. Dengan menggunakan aplikasi SPK ini
kedepannya dapat juga dimanfaatkan untuk menentukan kegiatan pengembangan budidaya perikanan
maupun industri maritim lainnya seperti: ikan jenis lain, rumput laut maupun berbagai jenis kerang laut. Dan
juga dapat dijadikan sarana sebagai pemanfaatan teknologi untuk pemanfaatan dan pengembangan sumber
daya kelautan Indonesia pada daerah lainnya yang memiliki ribuan pulau dan garis pantai yang sangat
panjang, namun kondisi masyarakatnya masih jauh dari sejahtera.
Diharapkan kedepannya, sistem ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam membuat keputusan
maupun kebijakan dari pihak terkait. Semoga sistem ini dapat bermanfaat dan membuat kita sebagai anak
bangsa Indonesia mencapai kehidupan yang lebih baik lagi, khususnya bagi keluarga besar para nelayan dan
pengusaha bidang kemaritiman di Indonesia.
“Indonesia, I am coming”
“Jalesveva Jayamahe”.
https://www.kompasiana.com/pdgfgeu/55d89a8b7793730421ddae80/pemanfaatan-dan-pengembangan-
kelimpahan-sumber-daya-kelautan-indonesia-secara-berkelanjutan?page=all 13 November 2019
Pengelolaan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan: Adopsi
Konsep Sato Umi, Ini Harapan
BPPT
BPPT menerapkan konsep pengelolaan, budi daya perikanan, pesisir, kelautan berkelanjutan melalui teknologi
produksi perikanan budi daya ramah lingkungan atau Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA) yang
kemudian diperkenalkan dengan sebutan Sato Umi.
Konsep yang kemudian diperkenalkan dengan sebutan Sato Umi ini merupakan hasil
kerja sama BPPT dengan North Pacific Marine Science Organization, Ministry of
Agriculture, Forestry and Fisheries of Japan, dan Fisheries Research Agency of Japan.
"Konsep ini bukan hanya menggunakan pendekatan teknologi, tetapi juga dari sisi
sosial, ekonomi dan lingkungan," ujar Kepala Pusat Pembinaan, Pendidikan dan
Pelatihan BPPT, Suhendar I Sachoemar dalam workshop internasional di Gedung
BPPT, Jakarta, Rabu (7/10/2015).
Konsep itu sudah berhasil diterapkan di Jepang, Filipina dan Guatermala itu dan
diharapkan bisa memperbaiki daerah pesisir yang rusak akibat eksploitasi di Karawang
(Jawa Barat), Bantaeng (Sulawesi Selatan), Anambas (Kepulauan Riau) dan Tanah
Bumbu (Kalimantan Selatan).
Konsep yang diperkenalkan oleh Prof. Tetsuo Yanagi asal Jepang itu
mencakup Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA) berbasis sistem bioresirkulasi
untuk lahan tambak terbengkalai.
"Teknologi IMTA ini meminimalkan limbah organik maupun anorganik berasal dari sisa
pakan ikan dan kotoran hewan berupa nitrogen, fosfat, dan lainnya yang selama ini
merusak lingkungan pesisir untuk dijadikan sebagai pupuk bagi algae, rumput laut,
maupun bakau," papar Suhendar.
Konsep itu sudah diuji di Kabupaten Karawang sejak 2011, di mana tambak digunakan
untuk mengembangkan tiga ton per ha ikan nila, serta rumput laut hingga 10 ton per
ha, bahkan produksi bakau yang buahnya bisa dijadikan minuman jus.
"Ini adalah pengelolaan ekosistem yang zero-waste yang mengelola limbahnya sendiri
sehingga mampu memperbaiki kerusakan lingkungan di lokasi itu," katanya.
Catatan https://www.kompasiana.com/pdgfgeu/55d89a8b7793730421ddae80/pemanfaatan-dan-
pengembangan-kelimpahan-sumber-daya-kelautan-indonesia-secara-berkelanjutan?page=all 13/11/2019/
“Indonesia punya potensi produksi perikanan terbesar di dunia sekitar 65 juta ton per tahun dan baru 20 persennya yang
dimanfaatkan,” kata Prof. Dr.Ir. Rokhmin Dhanuri, M.S., Guru Besar Fakultas Pertanian dan Ilmu Kelautan IPB, di
Auditorium FTP UGM, Selasa (22/10) dalam pembekalan calon wisudawan pascasarjana UGM.
Rokhmin mengatakan sumber daya kelautan selama ini hanya dipandang sebelah mata dan dalam pemanfaatan sumber daya
kelautan tidak dilakukan secara profesional dan ekstraktif. Sehingga tidak mengherankan apabila sektor ekonomi kelautan
hanya berkontribusi kecil terhadap PDB Indonesia yakni sekitar 25 persen.
“Angka ini jauh lebih kecil ketimbang negara-negara yang wilayah lautnya lebih sempit dari pada Indonesia
seperti Thailand, Jepang, Korea Selatan, China, Silandia, dan Norwegia yang justru sektor ekonomi kelautannya
menyumbang kontribusi lebih besar antar 30-60 persen dari PDB masing-masing negara. Kalau melihat fakta tersebut maka
kinerja pembangunan kelautan Indonesia sampai sekarang masih jauh dari optimal,” urainya.
Menurutnya pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan sektor-sektor kelautan hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat
Indonesia dan orang-orang asing yang terlibat dalam berbagai kegiatan ekonomi kelautan moderen. Sementara mayoritas
penduduk pesisir lokal masing berada dalam kemiskinan.
Rendahnya kinerja pembangunan wilayah pesisir dan kelautan Indonesia, lanjut Rokhmin salah satunya dipengaruhi oleh
kebijakan politik ekonomi yang tidak kondusif. Dampaknya, potensi ekonomi kelautan yang cukup besar tersebut baru
dalam jumlah kecil yang dimanfaatkan untuk mensejahterakan rakyat. Ditambah lagi dalam pengelolaan sektor ekonomi
kelautan dilakukan secara tradisional dan berorientasi mendulang keuntungan finansial sebesar-besarnya tanpa
memperdulikan kelestarian lingkungan
“Dalam menjalankan bisnis kelautan moderen pun kurang melibatkan masyarakat di kawasan pesisir,” tambahnya.
Dikatakan Rokhmin pembangunan bidang kelautan dan pengembangan bisnis di sektor kelautan kedepan harus lebih
produktif, efisien, dan berdaya saing. Selain itu juga keuntungan usahanya harus bisa dinikmati oleh seluruh stakeholders
dan masyarakat pesisir secara berkeadilan dan bersifat ramah lingkungan.
Untuk dapat membangun sektor ekonomi dan unit bisnis kelautan yang berkelanjutan dalam praktiknya
seyogianya menerapkan prinsip -prinsip seperti setiap usaha harus memenuhi skala ekonominya, menggunkan integrated
supply chain management system berbasis inovasi, dan penguatan dan penguatan industri hulu dan hilir. Melakukan
pembangunan ramah lingkungan yang berkelanjutan, kerjasama sinergis antar sektor dan unit usaha, serta pembangunan
kluster ekonomi kelautan.
“Jika kita bisa melaksanakan pembangunan kelautan seperti itu maka tahun 2030 Indonesia bisa menjadi negara yang maju
dan makmur,”tutur Rokhmin.
Sementara Wiratni Budhijanto, Ph.D., dosen Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UGM dalam kesempatan itu menyorot
tentang pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan rakyat. Selama ini banyak dilakukan penelitian namun hasilnya
tidak menyentuh ke masyarakat. Terutama penelitian di bidang tepat guna yang selalu lekat dengan image mahal dan sulit
diaplikasikan di masyarakat.
“Justru hal itu menjadi tantangan yang harus dipecahkan oleh para peneliti, bagaimana menghilangkan kesan teknologi
yang identik dengan mahal dan sulit dan membuat teknologi menjadi sederhana dan terjangkau,” jelasnya. (Humas
UGM/Ika)
Indonesia memiliki luas lautan 2/3 lebih besar daripada luas daratannya. Hal ini
membuat kerja KKP sebagai kementerian yang bertanggung jawab untuk mengelola
sumber daya laut, terutama kelautan dan perikanan, sangat lah berat. WWF-
Indonesia sebagai organisasi nonprofit di Indonesia yang menaruh banyak perhatian
terhadap dan konservasi sumber daya kelautan dan perikanan, sejak 2010 telah
bekerja sama dengan KKP untuk menciptakan perikanan yang lebih baik di
Indonesia.
September lalu telah diadakan evaluasi mengenai kerja sama antara WWF-
Indonesia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diapresiasi dengan baik
oleh Seketaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja. Dan pada 17 Oktober 2014 kemarin,
WWF-Indonesia dan KKP sepakat untuk melanjutkan kerja sama pengelolaan
kelautan dan perikanan yang ditandai dengan Penandatanganan Kesepakatan
Bersama Tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan Berkelanjutan dan Bertanggung Jawab. Kesepakatan yang direncanakan
berlangsung hingga tahun 2017 ini dimaksudkan untuk memperkuat upaya
pemerintah Indonesia dalam memenuhi kebijakan terkait ketahanan, kedaulatan dan
keberlanjutan pangan terhadap produk-produk perikanan, khususnya di wilayah
Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle).
WWF-Indonesia sendiri telah lama bekerja untuk konservasi di wilayah Coral
Triangle, kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia
yang mencakup enam negara, termasuk Indonesia. Wilayah kerja Program Coral
Triangle WWF-Indonesia tersebar di seluruh wilayah perairan laut Indonesia dan
juga termasuk beberapa wilayah Perairan Umum Daratan (PUD). Untuk wilayah
perairan laut dan khususnya terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi
perairan, WWF-Indonesia memfokuskan pada pusat-pusat keanekaragaman hayati
seperti bentang laut Sunda Banda (Sunda Banda Seascape), bentang laut Kepala
Burung (Bird Head Seascape) dan bentang laut Sulu Sulawesi (Sulu Sulawesi
Marine Ecoregion). Sedangkan yang terkait dengan pengelolaan perikanan, wilayah
kerja WWF-Indonesia mengikuti Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), khususnya
dalam upaya merancang dan menerapkan model Ecosystem Approach to Fisheries
Management (EAFM).
Sumber : https://www.wwf.or.id/?36022/WWF-ID-Kawal...Perikanan-Indonesia
13/11/2019
06 November 2019
Honiara – Pemerintah Indonesia menghadiri pertemuan tahunan Pre dan The 15th Senior Official
Meeting (SOM) Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) yang
diselenggarakan pada tanggal 4-8 November 2019 di Honiara, Kepulauan Solomon. CTI-CFF merupakan
kerjasama tingkat regional bersama 5 negara lainnya yaitu Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini, dan
Kepulauan Solomon dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan dan lautan yang berkelanjutan,
perlindungan terumbu karang, dan ketahanan pangan
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Andi Rusandi
yang juga merupakan Ketua Delegasi Indonesia menyatakan bahwa pertemuan ini merupakan momen strategis
bagi Indonesia untuk menunjukan kepemimpinannya di tingkat regional dan global dalam pengelolaan sumber
daya perikanan dan lautan.
“Sesuai visi dan nisi Presiden RI agar Indonesia menjadi Pusat Maritim Dunia, sudah saatnya Indonesia
memberi dan menjadi contoh bagi negara lainnya di berbagai aspek untuk bidang Kelautan dan Perikanan”
tambah Andi dalam keterangannya. Pada kerja sama CTI-CFF, Indonesia merupakan negara yang paling maju
untuk pengelolaan sumber daya kelautannya baik untuk bidang konservasi, pengelolaan perikanan
berkelanjutan, maupun perencanaan ruang lautnya.
Sampai saat ini, Indonesia telah menyelesaikan 30 aksi dari total 40 aksi yang telah ditargetkan pada National
Plan of Action (NPOA), sedangkan 10 aksi lainnya masih on-going dan optimis pasti dapat selesai di tahun 2020
sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Brahmantya Satyamurti
Poerwadi, yang juga merupakan anggota Committee of Senior Officials (CSO) CTI-CFF Indonesia.
Pada SOM kali ini terdapat beberapa bahasan utama diantaranya adalah pergantian kepemimpinan di Regional
Secretariat yaitu untuk Executive Director dari Hendra Yusran Siry (Indonesia) ke Dr. Mohd. Khosairi Bin Mohd
Rajuddin (Malaysia) dan pengangkatan Deputy Executive Director for Program Services, Gustaaf Lumiu
(Indonesia); pembahasan Regional Plan of Action versi 2 pasca tahun 2020 (RPOA 2.0); dan rencana
penyelenggaraan the 2nd Leaders Summit tahun 2020 yang akan mempertemukan kepala negara dari 6 negara
anggota CTI-CFF.
Pada SOM-15 ini disepakati pembentukan Sub-Committee pada 3 Bentang Laut Prioritas yang keseluruhannya
melingkupi wilayah Indonesia yaitu Sulu-Sulawesi Seascape (Indonesia, Malaysia, dan Filipina), Bismarck
Solomon Seas Ecoregion (Indonesia, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon), dan Lesser Sunda
Seascape (Indonesia dan Timor Leste). Indonesia juga telah menyatakan kesiapannya untuk mensponsori
penyelenggaraan International Workshop on Marine Debris Elimination yang saat ini menjadi isu global melalui
program Indonesian Aid.
Delegasi Indonesia pada SOM-15 kali ini terdiri dari unsur Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Luar Negeri, Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri serta Mitra Pemerintah yang bergerak di bidang Kelautan dan
Perikanan.
Sumber : https://news.kkp.go.id/index.php/indonesia-pertahankan-komitmen-dalam-pengelolaan-sumber-daya-
kelautan-pada-wilayah-segitiga-karang/ 13/11/2013
Istilah ekonomi biru pertama kali diperkenalkan pada tahun 2010 oleh Gunter Pauli melalui bukunya yang
berjudul The Blue Economy: 10 years – 100 innovations – 100 million jobs. Ekonomi biru menerapkan
logika ekosistem, yaitu ekosistem selalu bekerja menuju tingkat efisiensi lebih tinggi untuk mengalirkan
nutrien dan energi tanpa limbah untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi semua kontributor dalam suatu
sistem. Selanjutnya, ekonomi biru menitikberatkan pada inovasi dan kreativitas yang meliputi variasi
produk, efisiensi sistem produksi, dan penataan sistem manajemen sumber daya.
Ekonomi biru kemudian berkembang dan sering dikaitkan dengan pengembangan daerah pesisir. Konsep
ekonomi biru sejalan dengan konsep ekonomi hijau yang ramah lingkungan dan difokuskan pada negara-
negara berkembang dengan wilayah perairan (laut), yang biasa dikenal dengan Small Island Development
States (SIDS). Ekonomi biru dalam hal ini ditujukan untuk mengatasi kelaparan, mengurangi kemiskinan,
menciptakan kehidupan laut yang berkelanjutan, mengurangi risiko bencana di daerah pesisir, dan mitigasi
serta adaptasi perubahan iklim.
Implementasi ekonomi biru secara global dianggap krusial mengingat 72 persen dari total permukaan bumi
merupakan lautan. Disamping itu, laut berfungsi sebagai salah satu sumber penyedia makanan dan pengatur
iklim dan suhu bumi sehingga kelestariannya perlu dijaga.
Konsep ekonomi biru sangat cocok untuk negara-negara dengan wilayah perairan yang cukup luas, seperti
Indonesia. Sekitar 75 persen dari total wilayah kedaulatan Indonesia merupakan wilayah perairan yang
terdiri dari laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan laut 12 mil. Wilayah laut Indonesia yang
sangat luas merupakan potensi yang penting dan perlu dipelihara serta ditingkatkan kualitasnya.
Berdasarkan Statistik Perikanan dan Akuakultur Tahun 2012 dari Food and Agriculture
Organization (FAO), Indonesia menduduki peringkat kedua dalam produksi perikanan tangkap dan
peringkat keempat dalam produksi perikanan budidaya. Indonesia juga tercatat sebagai negara kedua
terbanyak dalam hal jumlah kapal yang dimiliki setelah Tiongkok. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor
perikanan tercatat menampung 2.748.908 tenaga kerja pada tahun 2012, menduduki peringkat keempat
dunia.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa sektor perikanan, walaupun hanya menyumbang sekitar 2
persen dari total PDB Indonesia pada tahun 2013 namun memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dari
laju pertumbuhan PDB secara keseluruhan, yaitu sebesar 6,86 persen. Laju pertumbuhan sektor perikanan ini
lebih tinggi dibandingkan sektor pertambangan, industri manufaktur, konstruksi, dan jasa. Hal ini
menunjukkan potensi yang dapat dikembangkan di masa yang akan datang.
Kekayaan bawah laut merupakan salah satu modal Indonesia untuk menarik wisatawan, baik asing maupun
lokal. Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat terdapat 108 kawasan konservasi perairan dengan luas
15,78 juta ha, yang diharapkan dapat meningkat menjadi 20 juta ha pada tahun 2020. Keindahan bawah laut
di beberapa provinsi di Indonesia juga sudah sangat mendunia dan menjadi spot menyelam yang wajib
dikunjungi para divers, seperti Bunaken (Sulawesi Utara), Raja Ampat (Papua Barat), dan Wakatobi
(Sulawesi Tenggara).
Ekonomi biru sangat erat kaitannya dengan sektor-sektor berbasis perairan dan kelautan, seperti sektor
perikanan, transportasi, dan pariwisata. Keberlangsungan hidup biota laut sebagai bahan makanan dan mata
pencaharian bagi penduduk di sekitar laut menjadi fokus ekonomi biru guna mengurangi kemiskinan dan
kelaparan. Selain itu, laut dapat dimanfaatkan untuk memproduksi “energi biru” yang terbarukan, seperti
tenaga angin (wind), ombak (wave), panas (thermal), dan biomassa (biomass). Fakta bahwa Indonesia
memiliki berbagai potensi bahari yang besar dan melimpah sayangnya tidak tercermin dalam kondisi sosial
ekonomi masyarakat pesisir. Banyak nelayan yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan kondisi
lingkungan yang mengkhawatirkan. Terbatasnya kemampuan dan akses menuju pekerjaan yang lebih baik
merupakan beberapa alasan para nelayan tetap bertahan. Ditambah lagi, bantuan pemerintah berupa kapal
Inka Mina, misalnya, banyak mengalami kendala dalam operasionalisasinya (Kompas 26 November 2014).
Hasil tangkapan para nelayan tradisional juga sangat terbatas mengingat minimnya peralatan yang digunakan
jika dibandingkan dengan perusahaan penangkap ikan yang memiliki kapal dan peralatan lebih canggih.
Kalah bersaing, beberapa nelayan kemudian memutuskan untuk berhenti mencari ikan dan menjadi buruh
nelayan pada perusahaan ikan yang secara ekonomi tidak membuat mereka lebih baik.
Dengan keterbatasan pengetahuan dan ditambah lagi dengan tekanan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari menyebabkan aspek ekologi menjadi terabaikan. Penggunaan sarana dan prasarana penangkapan
ikan, seperti bom, potas, dan pukat harimau, cenderung merusak keanekaragaman hayati dan biota laut.
Pendekatan ekonomi biru menitikberatkan pada investasi kreatif dan inovatif yang pada akhirnya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Jenis usaha
dan lapangan kerja baru sebenarnya dapat diterapkan di sekitar daerah pesisir. Bisnis daur ulang sampah,
misalnya, dapat menjadi alternatif solusi membersihkan lingkungan sekitar pantai, menciptakan lapangan
kerja baru, dan mengurangi sampah (zero waste).
Untuk dapat mendukung implementasi ekonomi biru yang berorientasi pada kreativitas dan inovasi,
pemerintah perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat pesisir sehingga mampu
“bereksperimen” dengan limbah, by-product, dan produk ikutan hasil laut. Dengan peningkatan inovasi dan
sosialisasi iptek pertanian dan kelautan diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penangkapan dan budidaya
hasil laut. Infrastruktur yang mendukung efisiensi kegiatan maritim, seperti pelabuhan, aspek pengolahan
dan pemasaran hasil perikanan juga perlu mendapat perhatian lebih. Dengan memelihara kualitas
keanekaragaman hayati laut, ekonomi biru diharapkan dapat mendukung pembangunan berkelanjutan
Sumber : https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/ekonomi-biru-untuk-maritim-indonesia-
yang-berkelanjutan/ 13/11/2019
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
PERIKANAN YANG BERKELANJUTAN
Manajemen Sumberdaya Perikanan
Sebagaimana diketahui bahwa sumberdaya
perikanan adalah sumberdaya yang dapat
pulih (renewable) yang berarti bahwa apabila tidak
terganggu, maka secara alami kehidupan akan
terjaga keseimbangannya, dan akan sia-sia bila tidak
dimanfaatkan. Apabila pemanfaatannya tidak
seimbang dengan daya pulihnya maka sumberdaya
tersebut dapat terdegradasi dan terancam
kelestariannya, yang sering dikenal sebagai tangkap
berlebih (overfishing). Untuk menghindari
kemungkinan terjadinya kondisi tangkap lebih maka
perlu adanya pengelolaan sumberdaya perikanan.
Prinsip dasar yang mendasari ide pengelolaan
adalah bahwa pemanfaatan sumberdaya harus didasarkan pada sistem dan kapasitas daya dukung (carrying
capacity) alamiahnya (Saputra, 2009). Besar kecilnya hasil tangkapan tergantung pada jumlah stok alami yang
tersedia di perairan dan kemampuan alamiah dari habitat untuk menghasilkan biomass.
1. Pendekatan Pengelolaan Perikanan
Salah satu pertanyaan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah bagaimana memanfaatkan
sumberdaya tersebut sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya
tetap terjaga. Secara implisit pertanyaan tersebut mengandung dua makna, yaitu makna ekonomi dan makna
konservasi atau biologi. Dengan demikian, pemanfaatan optimal sumberdaya ikan mau tidak mau harus
mengakomodasi kedua disiplin ilmu tersebut. Oleh karena itu, pendekatan bio-ekonomi dalam pengelolaan
sumberdaya ikan merupakan hal yang harus dipahami oleh setiap pelaku yang terlibat dalam pengelolaan
sumberdaya ikan.
Pertimbangan Biologi
Sebagai populasi atau komunitas yang hidup, sumberdaya hayati laut mampu membarui dirinya melalui proses
pertumbuhan dalam ukuran (panjang) dan massa (bobot) individu selain pertambahan terhadap populasi atau
komunitas melalui reproduksi (yang biasa disebut dalam dunia perikanan sebagai rekrutmen).
Dalam populasi yang tidak dieksploitasi, mortalitas total mencakup mortalitas alami yang terdiri dari proses-
proses seperti pemangsaan, penyakit, dan kematian melalui perubahan-perubahan drastisdari lingkungan dan lain-
lain. Dalam populasi yang dieksploitasi, mortalitas total terdiri dari mortalitas alami plus mortalitas penangkapan.
Tugas utama dari pengelolaan perikanan adalah menjamin bahwa mortalitas penangkapan tidak melampaui
kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam atau merusak kelestarian dan produktivitas dari populasi
ikan yang sedang dikelola.
Sharif juga mencontohkan bahwa belum ada peraturan yang bisa dijadikan landasan untuk
membuat Tata Ruang Laut Nasional, yang ada baru tata ruang laut hingga 12 mil
(sebagaimana dimanatkan UU No. 27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 1/2014). Maka dari itu,
kehadiran UU Kelautan sangat diperlukan agar kebijakan nasional pengelolaan laut
terintegrasi.
Undang-Undang Kelautan
Undang-Undang Kelautan mempunyai fokus, yaitu: 1) Mainstreaming dan percepatan
pembangunan kelautan nasional ke depan; 2) Breakthrough terhadap permasalahan
peraturan perundangan yang ada; 3) Outward looking terhadap kepentingan kelautan bagi
bangsa Indonesia ke depan; 4) Menetapkan yang belum diatur dalam UU yang sudah ada
di bidang kelautan; dan 5) Mengacu pada UNCLOS dan kondisi geografis Indonesia,
ungkap Sjarief Widjaja, Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Lilly Aprilya Pregiwati, Kepala Pusat
Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Sumber https://www.antaranews.com/berita/450134/indonesia-perlu-regulasi-untuk-kelola-sumber-daya-
kelautan 13/11/2019