i
Judul : Peningkatan Kapasitas Desa
144 + x halaman, 2016
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog dalam Terbitan (KDT)
ISBN : 978-602-6228-15-4
Cetakan 1, Desember 2016
Koordinator: Koordinator:
Andi Wahyudi AndiWahyudi
Peneliti: Anggota:
Mayahayati Kusumaningrum Dewi Sartika
Fani Heru Wismono Fani Heru Wismono
Dewi Sartika Lany Erinda Ramdhani
Lia Rosliana
Pembantu Peneliti: Mayahayati Kusumaningrum
Mariman Darto Siti Zakiyah
Siti Zakiyah
Sekretariat:
Lany Erinda Ramdhani
Penerbit:
PKP2A III LAN
Jl. HM. Ardans (Ring Road III
Samarinda 75124
www.samarinda.lan.go.id
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ii
Kata Pengantar
iii
Kecamatan Tenggarong Seberang, dan Kantor Kecamatan Marang Kayu
beserta para staf yang telah memfasilitasi tim peneliti dalam
penggalian data dan pelaksanaan FGD. Ketiga, para Kepala Desa,
pimpinan BPD dan LPM di wilayah tiga kecamatan tersebut yang telah
berpartisipasi dalam kegiatan FGD. Keempat, kepada Kepala Desa
Teluk Dalam, Desa Embalut, Desa Muara Kaman Ulu, Desa Bunga Jadi,
Desa Santan Ulu, dan Desa Santan Ilir beserta para staf yang telah
membantu dan melayani tim peneliti memberikan data dan informasi
selama proses penggalian data di lapangan. Selaini tu, terimakasih
juga kepada Bapak Mukti Ali Azis dari Kawal Institute dan Ibu Nazly
dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD)
Provinsi Kalimantan Timur yang telah memberikan saran dan pendapat
berkaitan dengan topik kajian ini, serta para pesertaeksposehasilkajian
ini.
Akhirnya, semoga semua kontribusi dari berbagai pihak dalam
kegiatan ini bisa memberikan nilai bagi perbaikan dan kemajuan desa
serta perkembangan ilmu pengetahuan.
iv
EXECUTIVE SUMMARY
v
empat aspek, yaitu regulasi dan kelembagaan, tatalaksana,
pengawasan, serta sumber daya manusia.
Mempertimbangkan berbagai peluang dan tantangan yang
dimiliki desa tersebut maka kajian ini memfokuskan pada peningkatan
kapasitas desa dalam perspektif disiplin Ilmu Administrasi Negara,
untuk mewujudkan visi UU Desa yang baru. Penekanan pembahasan
kajian ini adalah aspek kelembagaan dan sumber daya manusia desa,
terutama sumber daya aparatur desa. Adapun lokus kajian ini adalah
beberapa desa di Kabupaten Kutai Kartanegara, yaitu Desa Teluk
Dalam, Desa Embalut, Desa Muara Kaman Ulu, Desa Bunga Jadi, Desa
Santan Ulu dan Desa Santan Ilir. Desa Teluk Dalam dan Desa Embalut
berada di kecamatan Tenggarong Seberang yang merepresentasikan
desa yang berada dekat dengan kawasan perkotaan. Kemudian Desa
Muara Kaman Ulu dan Desa Bunga Jadi di kecamatan Muara Kaman
merupakan desa-desa yang berada di kawasan hulu. Selanjutnya Desa
Santan Ulu dan Desa Santan Ilir berada di kecamatan Marang Kayu
merupakan desa-desa yang dekat dengan kawasan pesisir.
vi
Di samping itu, kelengkapan perangkat pendukung organisasi
pemerintah desa dalam melaksanakan tugas-tugasnya juga masih
minim, misalnya Job Description pegawai dan staf dan Standar
Operating Procedure (SOP) dalam kegiatan-kegiatan internal maupun
pelayanan publik. Penguatan kapasitas desa dari aspek kelembagaan
perlu dilakukan dengan menyiapkan berbagai perangkat pendukung
kelembagaan seperti itu untuk memberikan kejelasan dalam
pelaksanaan tugas-tugas pegawai.
Dari aspek SDM, desa memerlukan kualitas SDM aparatur desa
yang berkompeten baik dalam pengelolaan sumber daya maupun
pelaksanaan tugas-tugas yang berkaitan dengan pelayanan, pembinaan
dan pemberdayaan masyarakat. Kondisi SDM desa di Kukar sangat
beragam dari pendidikan rendah hingga tinggi. Namun secara umum,
masih terdapat persoalan kapasitas desa. Minimnya kapasitas aparat
desa dalam pengelolaan sumber daya membuka peluang terjadinya
pelanggaran. Misalnya kompetensi dalam menyusun rencana kerja/
kegiatan, monitoring dan evaluasi kegiatan serta menyusun laporan
pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu, keberadaan Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, baik di kabupaten
maupun provinsi, memiliki peran yang penting dalam melakukan
pembinaan terhadap desa untuk meningkatkan kompetensi aparat desa
dan juga BPD.
Hal yang lebih menonjol dalam upaya mewujudkan self-governing
community dan local self-government adalah pendelegasian
kewenangan berdasarkan UU No. 6/2014 yang meliputi bidang urusan
penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembanguan desa,
pembinaan kemasyarakatan, serta pemberdayaan masyarakat desa.
Ini merupakan bentuk implementasi prinsip regionalism, yaitu praktek
transfer kekuasaan politik dan ekonomi kepada pemerintahan lokal.
Bahkan desa pun memiliki kewenangan membentuk badan usaha
sesuai kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Selain itu, pemilihan
kepala desa secara langsung yang telah berlangsung selama ini juga
menjadi salah satu contoh independensi desa dalam menentukan
pemimpinnya.
Dengan demikian, dalam beberapa hal prinsip-prinsip self-
governing community dan local self-government telah berjalan, namun
vii
belum seutuhnya. Karena desa masih mengalami intervensi dari level
pemerintah di atasnya, seperti dalam hal penentuan struktur
organisasinya. Berbagai keterbatasan yang dimiliki desa sehingga desa
masih sangat tergantung dari alokasi anggaran dari pemerintah pusat
dan daerah. Selain itu, minimnya kreatifitas desa dalam menghadapi
persoalan dan merespon kondisi lingkungan sekitarnya menjadikan
desa secara umum hanya berjalan as usual, tidak ada terobosan untuk
merespon kondisi di dalam diri dan di sekitarnya.
Saran Kebijakan
Pertama, mewujudkan desa mandiri perlu dilakukan dengan
memberikan kepercayaan yang besar kepada desa dan mengurangi
intervensi pusat terhadap hal-hal teknis pelaksanaan kewenangan desa.
Oleh karena itu, revisi terhadap Permendagri perlu dilakukan agar lebih
mengatur hal-hal yang bersifat umum dan normatif, bukan hal-hal yang
bersifat teknis. Kedua, perlunya sinkronisasi kebijakan antar kementerian
yang berkaitan dengan desa. Ketiga, penguatan kompetensi SDM desa
dan perangkat kelembagaan pemerintah desa untuk mempermudah
dan memperjelas pelaksanaan tugas-tugas kewenangan desa.
Keempat, mengoptimalkan peran Badan Pemberdayaan Masyarakat
dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten untuk melakukan
pembinaan kepada desa dalam mewujudkan desa mandiri serta
memberikan kesempatan luas kepada para stakeholders dan organisasi
non pemerintah untuk memberikan kontribusi terhadap upaya
pemberdayaan desa.
viii
Daftar Isi
ix
Bab V Penutup ............................................................................................ 137
A. Simpulan .................................................................................... 137
B. Saran ............................................................................................ 138
C. Implikasi Kebijakan ............................................................... 139
D. Keterbatasan ............................................................................ 139
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintahan desa, tidak bisa dipungkiri, merupakan level
pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat bawah. Hal ini
bisa terlihat dari beberapa hal. Misalnya dari sisi pelayanan publik,
sebagian pelayanan publik melibatkan peran aparatur di level
pemerintah desa sebelum diproses lebih lanjut ke unit-unit pelayanan
yang lain.Pemerintahan desa juga seringkali menjadi ujung tombak
bagi pemerintah daerah maupun pusat untuk melaksanakan berbagai
program dan kebijakan.Bahkan, tidak jarang peran pemerintahanlevel
desa juga terlihat dalam penyelesaian berbagai persoalan sosial di
masyarakat.
Di sisi lain, desa juga memiliki berbagai permasalahanyang sudah
lama dihadapi misalnya kemiskinan. Berdasarkan data BPS, jumlah
penduduk miskin di Indonesia pada semester 2 (September) 2015
mencapai 28.513.570 jiwa. Dari jumlah tersebut, 17.893.710 jiwa atau
62,76% penduduk miskin berada di kawasan perdesaan dan 10.619.860
jiwa atau 37,24% berada di kawasan perkotaan. Jumlah ini sedikit
menurun dibandingkan semester 1 tahun 2015 (Tabel 1).Dari sebaran
penduduk miskin tersebut, terlihat bahwa sebagian besar penduduk
miskin berada di kawasan perdesaan.
Tabel 1.1 Sebaran Penduduk Miskin Tahun 2015 (dalam ribu jiwa)
Sumber : BPS<http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/
1119>diunduh 3 Februari 2016
1
Namun demikian, dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di
kota maka desa memiliki jumlah penduduk miskin yang lebih besar
(lihat Tabel 2). Di sisi lain, ukuran garis kemiskinan yang digunakan di
desa selalu lebih rendah dibandingkan di kota. Misalnya pada
semester 2 tahun 2015, garis kemiskinan di kotasecara nasional adalah
Rp 356.378/kapita/bulan, sedangkan di desa Rp 333.034/kapita/bulan1.
Apabila menggunakan ukuran yang sama maka jumlah penduduk
miskin di desa menjadi lebih tinggi dari data tersebut. Hal ini berarti
beban desa dalam mengatasi persoalan kemiskinan penduduk lebih
besar dibandingkan kota. Ditambah dengan keterbatasan infrastruktur
serta akses terhadap pelayanan publik di kawasan perdesaan,
sementara masyarakat di kota relatif lebih menikmati fasilitas
infrastruktur dan akses terhadap pelayanan publik yang lebih baik.
Kesenjangan tersebut menuntut pemerintah dan desa harus bekerja
keras untuk mengejar ketertinggalan tersebut.
Sumber: BPS<http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1120>
diunduh 3 Februari 2016
1
Berdasarkan data BPS (http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1120) ukuran
garis kemiskinan setiap provinsi berbeda-beda, dan secara nasional (Indonesia),
perbandingan garis kemiskinan di kota dan desa adalah sebagaimana data tersebut.
2
Upaya mengejar ketertinggalan desa telah dilakukan pemerintah
sejak era 1970-an hingga saat ini melalui berbagai program. Pada era
1970-an hingga 1990-an, pemerintah membuat berbagai kebijakan
di sektor pertanian, industri, ekonomi dan infrastruktur. Di sektor
pertanian, pemerintah mengeluarkan kebijakan Bimas (Bimbingan
Massal), Inmas (Intensifikasi Massal), Insus (Intensifikasi Khusus), KUK
(Kredit Usaha Kecil) serta program transmigrasi.Di sektor industri,
program padat karya menjadi penekanan untuk menyerap tenaga
kerja.Di sektor ekonomi, kebijakan pemberian modal kerja melalui IDT
(Inpres Desa Tertinggal) untuk membantu masyarakat
mengembangkan potensi ekonomi. Sedangkan di sektor infrastruktur,
pemerintah membuat P3DT (Program Pengembangan Prasarana Desa
Tertinggal) serta Inpres pembangunan infrastruktur untuk membangun
prasarana pendidikan, kesehatan, jalan, jembatan, irigasi, dan
sebagainya (Wahidi, 2015 : 21-22).
Selanjutnya, pada era 2000-an berbagai program juga dibuat
sebagai upaya memampukan desa, misalnya PNPM (Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri Perdesaan. Program ini diadopsi
dari PPK (Program Pengembangan Kecamatan), dan menekankan pada
kegiatan pembangunan infrastruktur desa, pengelolaan dana bergulir
bagi kelompok perempuan, serta kegiatan di bidang pendidikan dan
kesehatan masyarakat di perdesaan. PNPM Mandiri Perdesaan memiliki
beberapa program pendukung yaitu PNPM Mandiri Generasi yang
menekankan aspek kesehatan dan pendidikan, PNPM Mandiri P2SPP
(Program Pengembangan Sistem Pembangunan Pastisipatif), PNPM
Mandiri R2PN (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pulau Nias), PNPM Mandiri
RESPEK (Rencana Strategi Pengembangan Kampung), dan PNPM
Mandiri Pasca Bencana yang ditujukan untuk perdesaan di daerah
bencana yaitu Sumatera Barat dan Jawa Barat (Wahidi, 2015 : 29-32).
Selain itu, masih ada PPIP (Program Pembangunan Infrastruktur
Perdesaan) yang merupakan bagian dari program PNPM Mandiri. PPIP
sesuai dengan namanya lebih fokus pada peningkatan infrastruktur
perdesaan yang meliputi:
1. Infrastruktur pendukung aksesibilitas, seperti jalan dan jembatan,
2. Infrastruktur pendukung produksi pangan, seperti irigasi perdesaan,
3. Infrastruktur pendukung pemenuhan kebutuhan dasar, seperti
penyediaan air bersih dan sanitasi perdesaan (Wahidi, 2015 : 61).
3
Di sisi lain, berbagai permasalahan juga dihadapi dalam upaya
meningkatkan kemampuan desa, baik dari sisi pemerintahan desa,
kondisi geografis desa, serta kondisi masyarakat perdesaan. Menurut
Suwardjo (2009), terdapat berbagai persoalan yang dihadapi
pemerintahan desa dalam melaksanakan tugas-tugasnya, yaitu:
1. Keterbatasan staf atau pegawai baik secara kualitas maupun
kuantitas yang berpengaruh terhadap pelaksanaan pemerintahan
desa;
2. Kualitas dan kuantitas pendampingan, pelatihan dan monitoring
perkembangan desa rendah sehingga berpengaruh terhadap
efektifitas dan efisiensi intervensi program;
3. Keterisolasian desa yang berakibat minimnya aksesibilitas
masyarakat terhadap pusat-pusat pelayanan publik;
4. Rendahnya kesejahteraan desa yang berkaitan dengan penyediaan
layanan dasar dan pengembangan ekonomi desa;
5. Kualitas dan kompetensi SDM desa yang masih rendah dan
terbatas;
6. Posisi ketokohan lokal yang dominan masih menjadi acuan dalam
pengambilan kebijakan baik yang bersifat kultural maupun formal
menyebabkan peran sistem pemerintahan desa didominasi
semangat feodalisme dan klientilisme (Suwardjo, 2009 : 62-63).
4
Ada beberapa bidang kewenangan, menurut Pasal 18 UU No.6/
2014, yang diberikan kepada desa, yaitu:
1. Penyelenggaraan pemerintahan desa;
2. Pelaksanaan pembangunan desa;
3. Pembinaan kemasyarakatan desa; dan
4. Pemberdayaan masyarakat desa.
5
APBD provinsi dan kabupaten/kota, hibah dan sumbangan serta
kemungkinan dana lain.
Dengan terbitnya UU Desa tersebut, terjadi pergeseran
pendekatan dari kewenangan desa yang bersifat target, sebagaimana
pada peraturan perundang-undangan sebelumnya, ke kewenangan
desa yang bersifat mandat. Selain itu, kedudukan desa menjadi
pemerintahan masyarakat yang merupakan kombinasi antara self-
governing community dan local self governmentyang berlandaskan asas
rekognisi dan subsidiaritas (Penjelasan Umum UU No.6/2014;
Silahuddin, 2015 : 9, 11) sebagai asas utama disamping asas-asas yang
lain2. Pendekatan yang baru dan dana yang dialokasikan untuk desa
tersebut akan menjadi tantangan bagi desa untuk memecahkan
berbagai persoalan yang dimiliki selama ini. Tiga aktor utama memiliki
peran penting dalam pelaksanaan kewenangan desa yang meliputi
Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa), Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), dan masyarakat desa.
Keberadaan UU baru tersebut merupakan fakta yuridis yang kuat
dimana memposisikan kedudukan desa pada tempat yang strategis
untuk menyelenggarakan pemerintahannya, mengelola segala
potensinya, melaksanakan pembangunan perdesaan serta
memberdayakan masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan kewenangan
dan alokasi penganggaran yang telah ditetapkan oleh UU. Pemerintah
Desa, dengan demikian menjadi seperti “pemerintah daerah (pemda)”
kecil, yang mempunyai otoritas untuk membuat membuat
perencanaan, menyusun kebijakan, menyusun anggaran,
mengimplementasikan serta mengevaluasi kebijakan. Semua itu
dilakukan untuk memberikan pelayanan publik kepada warganya,
pembangunan desa, pengembangan ekonomi dan pemberdayaan
masyarakat. Aktor di desa dituntut memiliki pengetahuan dan
ketrampilan yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut.
Pelaksanaan kewenangan yang diberikan UU No.6/2014 kepada
desa memerlukan penyesuaian kapasitas yang memadai. Dari sisi
2
Pada Penjelasan Umum UU No. 6/2014 memuat 13 asas pengaturan yang secara
berurutan meliputi: rekognisi, subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan,
kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi,
kesetaraan, pemberdayaan, dan keberlanjutan.
6
kapasitas anggaran, UU tersebut telah memberikan ruang kepada desa
untuk mendapatkan pendanaan melalui beberapa sumber pembiayaan
sebagaimana diatur pada Pasal 72. Selanjutnya desa perlu
menyesuaikan kapasitas institusi dan sumber daya manusia yang
dimiliki untuk melaksanakan kewenangannya. Sumber daya manusia
(SDM) desa yang berperan penting dalam pelaksanaan UU tersebut
meliputi tiga aktor utama yaitu Pemerintah Desa (Kepala Desa dan
Perangkat Desa), Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan masyarakat
desa.
Di sisi lain, kewenangan yang besar itu juga menyimpan potensi
masalah jika tidak dilakukan pengelolaan secara baik. Berbagai potensi
persoalan pengelolaan dana desa perlu mendapat perhatian dari
penyelenggara pemerintahan dan masyarakat desa. KPK menemukan
ada 14 potensi masalah pengelolaan dana desa dari aspek regulasi
dan kelembagaan, tatalaksana, pengawasan, serta sumber daya
manusia (‘KPK Temukan,’ 2015). Lebih dari itu, penyalahgunaan dana
desa bahkan sudah terjadi di berbagai daerah. Seperti yang terjadi di
Kabupaten Labuhanbatu Utara (Sumatera Utara), seorang Kepala Desa
menjadi terdakwa atas kasus dugaan korupsi Alokasi Dana Desa (ADD)
sehingga negara mengalamikerugian sebesar Rp 204 juta (Republika,
23 November 2015). Kemudian di Kudus (Jawa Tengah), seorang Kepala
Desa juga tersangkut dugaan korupsi dana kas desa senilai Rp 432
juta (Merdeka, 1 Maret 2016). Selanjutnya di Kabupaten Bandung Barat
(Jawa Barat), seorang Kepala Desa ditahan karena dugaan korupsi dana
bantuan gubernur kepada desa atas pengalihan penggunaan dana
rehabilitasi kantor untuk perbaikan jalan (Pikiran Rakyat, 13 Agustus
2015). Potensi penyalahgunaan dana untuk desa tidak hanya terjadi di
lingkungan pemerintahan desa, tetapi bisa juga bisa terjadi di luar
aparat pemerintahan desa. Seperti tenaga pendamping yang
berpotensi memanfaatkan kelemahan aparat desa dengan melakukan
korupsi dan kecurangan dalam pelaksanaan PNPM Mandiri di desa
(‘KPK Temukan,’ 2015).
Berbagai fakta dan potensi tersebut menunjukkan perlunya
penguatan kemampuan desa dalam mengelola potensi yang dimiliki
berdasarkan kewenangannya yang besar disertai alokasi anggaran yang
7
juga besar. Hingga 2014, tercatat ada lebih dari 81 ribu3 desa yang
tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan di Provinsi Kalimantan Timur
setidaknya terdapat 836 desa yang tersebar di tujuh kabupaten.
Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) memiliki jumlah desa terbanyak
yaitu 193 desa, disusul Kabupaten Kutai Barat (Kubar) sebanyak 190
desa dan Kabupaten Paser memiliki 139 desa (Tabel 3). Dengan
karakteristik wilayah yang luas serta jumlah penduduk yang sedikit,
pengelolaan desa di Kalimantan Timur tentu memiliki tantangan
tersendiri.
3
Berdasarkan data BPS, jumlah desa pada tahun 2014 tercatat sebanyak 81.626 desa
http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/858
8
B. Permasalahan
UU No. 6/2014 telah memberikan kewenangan yang besar
kepada desa disertai dengan dukungan sumber pendanaan untuk
melaksanakan kewenangannya. Selain itu, untuk mewujudkan visi UU
tersebut perlu didukung dengan institusi dan sumber daya manusia
(SDM) desa yang memadai. Institusi desa yang ada saat ini disusun
dalam konteks UU yang lama sehingga ada gap atau kesenjangan
dengan UU yang baru untuk mewujudkan self-governing community
dan local self-government. Sedangkan dari sisi SDM desa, setidaknya
tiga aktor utama desa yaitu pemerintah desa, BPD dan masyarakat
desa yang sangat berperan untuk mewujudkan self-governing
community dan local self-government tersebut. Kapasitas institusi dan
SMD desa menjadi isu penting karena hal ini berpotensi menjadi
kendala untuk mewujudkan visi UU tersebut apabila tidak dilakukan
penyesuaian. Oleh karena itu, muncul pertanyaan yaitu upaya atau
kebijakan apayang perlu dilakukan untuk meningkatkan kapasitas desa
sehingga bisa mandiri dan bisa memberikan kontribusi dalam
membangun daerah sesuai visi UU No. 6/2014? Permasalahan tersebut
menjadi fokus utama dalam penelitian ini.
C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengeksplorasi
berbagai kemungkinan solusi sebagai cara untuk meningkatkan
kapasitas desa dalam rangka melaksanakan kewenangan yang
dimilikinya. Dengan eksplorasi ini diharapkan bisa memberikan
gambaran empirik berkaitan dengan obyek yang diteliti (Thiel, 2014:15).
Hal ini karena keberadaan desa dengan kewenangan yang dimilikinya
merupakan potensi besar yang bisa memberikan kontribusi bagi
pemecahan persoalan desa dan juga diharapkan bisa memberikan
kontribusi bagi pembangunan daerah.
D. Ruang Lingkup
Penelitian ini dibatasi pada kapasitas desa dalam rangka
implementasi UU No.6/2014 untuk mewujudkan self-governing
community dan local self government. Fokus penelitian ini pada tiga
9
aktor desa yaitu Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa),
Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan masyarakat desa. Sedangkan
lokus penelitian ini adalah Kabupaten Kutai Kartanegara. Pemerintah
Kabupaten Kutai Kartanegara dan PKP2A III LAN (2008) melakukan
kategorisasi desa di kabupaten tersebut dalam rangka penyerahan
sebagian urusan pemerintahan kabupaten kepada desa berdasarkan
tipologi geografis. Kondisi geografis Kabupaten Kukar terdiri atas
kawasan hulu, perkotaan dan pesisir sehingga desa-desa di kabupaten
tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Kawasan hulu
merupakan kawasan yang berada di sekitar hulu sungai Mahakam dan
pada umumnya berada di sekitar kawasan hutan. Kawasan perkotaan
berada di sekitar ibukota kabupaten dan kota-kota kecamatan yang
memiliki akses lebih dekat ke kota. Sedangkan kawasan pesisir
merupakan kawasan hilir sungai Mahakam dan pantai. Karakteristik
geografis tersebut mempengaruhi potensi dan kondisi desa sehingga
menjadi pertimbangan penyerahan sebagian urusan pemerintahan
kabupaten kepada desa.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian
kualitatif biasanya diarahkan untuk melakukan eksplorasi dan deskripsi
terhadap topik penelitian dan bersifat induktif (Thiel, 2014 : 140).
Creswell (2014 : 185-186) merinci ada delapan karaktersitik penelitian
kualitatif yang meliputi kondisi lingkungan, peneliti sebagai instrumen
kunci, sumber data beragam, analisis data induktif, pentingnya
partisipan, desain lebih praktis, refleksivitas, dan gambaran yang holistik
atas isu atau permasalahan yang diteliti.
Selanjutnya, penelitian dalam lingkup administrasi negara,
menurut Thiel (2014 : 5, 28), pada umumnya lebih praktis untuk
menemukan solusi terhadap permasalahan dibanding pengembangan
teori. Ada tiga keunikan penelitian administrasi negara, yaitu pertama
minimnya teori dan model yang tersedia. Kedua, karena minim teori
dan model maka penelitian ini sering berkarakter induktif. Dan ketiga,
pada umumnya diterapkan di berbagai tempat untuk mencari solusi
praktis terhadap permasalahan daripada membangun teori (Thiel, 2014
: 27). Oleh Karena itu, penilitian ini berangkat dari keterbatasan yang
10
ada di desa serta mencari solusi pemecahan berkaitan dengan
diterapkannya UU No. 6/2014. Kemudian, pengambilan kesimpulan
dilakukan dengan menggunakan metode induktif yaitu melakukan
generalisasi berdasarkan kondisi empirik yang diperoleh dari
penggalian data.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu:
1. Focus Group Discussion (FGD). FGD merupakan salah satu opsi
dalam penggalian data melalui interview (Creswell, 2014 : 191).
Istilah lain juga sering digunakan untuk merujuk tipe interview
berkelompok ini, seperti focus group interview dan group interview
(Punch, 2014 : 146). Dalam metode interview ini, peneliti lebih
berperan sebagai fasilitator atau moderator dan melakukan
monitoring serta mencatat interaksi antar kelompok peserta (Punch,
2014 : 146-147). Penggunaan metode FGD dalam penelitian ini
dilakukan untuk menjaring informasi mengenai kondisi riil
kapasitas desa dan potensi yang dimiliki untuk melaksanakan
kewenangan desa. Forum FGD ini setidaknya melibatkan aparat
Pemerintah Desa, BPD, masyarakat desa, asosiasi desa, serta aparat
pemerintah daerah.
11
12
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
A. Desa
Tahun 2015 adalah tahun pertama dilaksanakannya UU No. 6
Tahun 2014 tentang Desa. Desa akan diberlakukan berbeda dari kondisi
sebelumnya. Kedudukan desa tidak lagi bersifat sub-nasional,
melainkan berkedudukan di wilayah Kabupaten/ Kota. Desa tidak lagi
berada di bawah struktur administratif terbawah apalagi perpanjangan
tangan dari pemerintah daerah. Desa juga dilandasi asas rekognisi
dan subsidiaritas yaitu kewenangan berdasarkan hak asal usul dan
kewenangan lokal berskala desa.Dengan terbitnya UU Desa
menegaskan bahwa desa bukan lagi sebagailocal state goverment tapi
sebagai pemerintahan masyarakat yang mengkombinasikan self
governing community dan local self government. UU Desa memberi
kesan adanya “Desa Baru”, baru dalam pengertian regulasi yang baru,
kedudukan desa, serta pola pengelolaan desa yang baru. Desa dalam
perspektif UU sebelumnya merupakan “Desa Lama”. Paradigma atau
cara pandang yang dibangun antara Desa Lama dengan Desa Baru
juga berbeda. Desa lama mengunakan asas atau prinsip desentralisasi-
residualitas, artinya desa hanya menerima delegasi kewenangan dan
urusan desa dari pemerintah kabupaten/kota. Desa hanya menerima
sisa tanggung jawab termasuk anggaran dari urusan yang berkaitan
dengan pengaturan desanya.
Pendampingan desa itu bukan hanya sekedar menjalankan
amanat UU Desa, tetapi juga modalitas penting untuk mengawal
perubahan desa untuk mewujudkan desa yang mandiri dan inovatif.
Misi besar pendampingan desa adalah memberdayakan desa sebagai
self governing community yang maju, kuat, mandiri dan demokratis.
Kegiatan pendampinganmembentang mulai dari pengembangan
kapasitas pemerintahan, mengorganisir dan membangun kesadaran
kritis warga masyarakat, memperkuat organisasi-organisasi warga,
memfasilitasi pembangunan partisipatif, memfasilitasidan memperkuat
musyawarah desa sebagai arena demokrasidan akuntabilitas lokal,
13
merajut jejaring dan kerjasama desa, hingga mengisi ruang-ruang
kosong di antara pemerintah dan masyarakat.
UU Desa juga mengembangkan prinsip keberagaman,
mengedepankan azas rekognisi dan subsidiaritas desa. Lain daripada
itu, UU Desa ini mengangkat hak dan kedaulatan desa yang selama ini
terpinggirkan karena didudukan pada posisi sub nasional. Padahal,
desa pada hakikatnya adalah entitas bangsa yang membentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lahirnya inimengandung
paradigma dan konsep baru kebijakan tata kelola desa secara nasional.
UU Desa tidak menempatkan desa sebagai latar belakang Indonesia,
tapi halaman depan Indonesia. Dalam bagian penjelasan UU No. 6/
2014 tersebut dinyatakan bahwa tujuan UU ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah
ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa
dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
3. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat
desa;
4. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa
untuk pengembangan potensi dan aset Desa guna kesejahteraan
bersama;
5. Membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan
efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
6. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna
mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
7. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna
mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan
sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
8. Memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi
kesenjangan pembangunan nasional; dan
9. Memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
14
pengakuan dan penghormatan terhadap desa, sesuai dengan semangat
UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2 yang memberikan pengakuan dan
penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya.
Makna subsidiaritas menurut Eko (2014)memiliki tiga makna
antara lain; Pertama, subsidiaritas adalah lokalisasi penggunaan
kewenangan dan pengambilan keputusan tentang kepentingan
masyarakat setempat kepada desa. Kedua, negara bukan menyerahkan
kewenangan seperti asas desentralisasi, melainkan menetapkan
kewenangan lokal berskala Desa menjadi kewenangan desa melalui
undang-undang. Ketiga, pemerintah tidak melakukan campur tangan
(intervensi) dari atas terhadap kewenangan lokal desa, melainkan
melakukan dukungan dan fasilitasi terhadap desa. Pemerintah
mendorong, memberikan kepercayaan dan mendukung prakarsa dan
tindakan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat.
Desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat,
hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini
ditegaskan pada pasal 1 Angka 1 UU No. 6/2014, PP No. 43/2014
tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan
Permendesa PDTT No. 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa.
Kaderisasi desa menjadi kegiatan yang sangat strategis bagi
terciptanya desa yang kuat, maju, mandiri dan demokratis. Kaderisasi
desa meliputi peningkatan kapasitas masyarakat desa di segala
kehidupan, utamanya pengembangan kapasitas di dalam pengelolaan
desa secara demokratis.
Sebagai aktualisasi asas regoknisi dan subsidiaritas, desa akan
menerima transfer keuangan dari APBN dan APBD yang disebut Dana
Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk memenuhi kebutuhan
anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDesa). Pemenuhan
APBDesa akan memudahkan Desa menjalankan kewenangan
berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa.
15
Tabel 2.1 Perbedaan Desa Lama dan Baru dalam Perspektif UU Desa
16
Tabel 2.2 Catur Sakti dan Nawa Cita
B. Desa Mandiri
Membangun kemandirian desa dalam kerangka mewujudkan
Desa Membangun harus dimulai dari proses perencanaan desa yang
baik, dan diikuti dengan tatakelola program yang baik pula.
Pembangunan pedesaan yang efektif bukanlah semata-mata karena
adanya kesempatan melainkan merupakan hasil dari penentuan
pilihan-pilihan prioritas kegiatan, bukan hasil coba-coba, tetapi akibat
perencanaan yang baik.
Dalam konteks desa membangun, kewenangan lokal berskala
desa telah diatur melalui Permendes PDTT No. 1/2015, yang
menyebutkan bahwa kriteria kewenangan lokal berskala desa meliputi:
1. Kewenangan yang mengutamakan kegiatan pelayanan dan
pemberdayaan masyarakat;
2. Kewenangan yang mempunyai lingkup pengaturan dan kegiatan
hanya di dalam wilayah dan masyarakat desa yang mempunyai
dampak internal desa;
3. Kewenangan yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan
sehari-hari masyarakat desa;
4. Kegiatan yang telah dijalankan oleh desa atas dasar prakarsa desa;
5. Program kegiatan pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota dan pihak ketiga yang telah
diserahkan dan dikelola oleh desa; dan
6. Kewenangan lokal berskala desa yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan tentang pembagian kewenangan
pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
17
yang handal dan mumpuni sebagai pengelola desa sebagai self
governing community (komunitas yang mengelola pemerintahannya
secara mandiri). Di berbagai Negara, pemerintahan lokal desa
terbentuk sesuai sejarahnya masing-masing. Misalnya kondisi di Cina
pada masa lalu diungkapkan Hon (2004) banyak desa diluar jangkauan
pejabat pemerintah, aktivitas ritual desa lebih memberikan peran
dalam menata desa melaluipendekatan persuasif daripada
pemaksaan, konsensus publik daripada control birokrasi. Aktivitas ritual
desa mendorong masyarakat mewujudkan akuntabilitas dan kesatuan
di desa. Di kalangan masyarakat juga tumbuh kepekaan terhadap
identitas kolektif dengan melakukan berbagai upacara adat, dan hal
tersebut memungkinkan mereka memainkan peran tanpa pemerintah
pusat. Dengan demikian, budaya atau tradisi lokal di desa, memiliki
peran penting dalam membentuk self-governing community.
Sistem pemerintahan mandiri (self government) dalam sebuah
negara demokratis, menurut Vlaj (dalam Brezovšek , 2014),
memungkinkan pelayanan publik menjadi lebih efisien dan berkinerja
lebih baik daripada tersentralisasi. Selanjutnya Brezovšek (2014)
menyatakan prinsip-prinsip pemerintahan lokal yang mandiri, yaitu
adanya prinsip otonomi, subsidiaritas, dan regionalisme. Prinsip
otonomi merupakan kebebasan/independensi yang dimiliki di unit-
unit lokal. Subsidiaritas berkaitandengan pendelegasian pengambilan
keputusan kepada level yang lebih dekat dengan masyarakat.
Sedangkan regionalisme berkaitan dengan tranfer kekuasaan politik
dan ekonomi kepada pemerintahan di tingkat lokal.
Para ahli merinci setidaknya terdapat lima elemen dalam
konseplocal self-government sebagaimana disebutkan oleh Kauèiè dan
Grad (dalam Brezovšek, 2014). Lima elemen tersebut meliputimemiliki
wilayah komunitas lokal (teritorial), penekanan pada pelaksanaan
tugas-tugas komunita slokal sesuai dengan kepentingan penduduk
(fungsional), adanya akuntabilitas anggota komunitas yang
melaksanakan tugas-tugas tersebut melalui lembaga-lembaga local
self-government (organisasional), memiliki sumber daya materi dan
keuangan yang digunakan untuk melaksanakan tugas-tugasnya
(material dan keuangan), serta didasarkan atas alasan bahwa setiap
anggota komunitas tersebut menikmati status peran hukum dalam local
self-government (legal).
18
Selain itu, menurut Greer (dalam Brezovšek, 2014), berbagai
literatur menyebutkan ada tiga elemen normatif penting yang
digunakan sebagai dasar dari komunitas lokal mandiri di Eropa, yaitu
otonomi, demokrasi, dan efisiensi. Dalam sebuah local self-government,
otonomi harus dimiliki sebagai kewenangan untuk mengambil
keputusan yang lepas dari intervensi pemerintah pusat sehingga bisa
menghindari pemusatan kekuasaan di level pusat untuk menentukan
pilihan sesuai kondisi di komunitas lokal. Dalam hal elemen demokrasi,
keberadaan otoritas lokal sebagai platform politik dan adanya
kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
pemerintahan lokal. Elemen selanjutnya adalah efisiensi bahwa self
local-government bisa memberikan pelayanan publik yang lebih efisien
dan pencarian solusi terhadap persoalan lokal dan kemampuan
menyesuaikan diri terhadap lingkungan lokal.
Karakteristiklain dari local self-government yaitu transfer
pengambilan keputusan. Ini dijelaskan Brezovšek et al (dalam
Brezovšek, 2014) bahwa tugas utama local self-government adalah
pelimpahan pengambilan keputusan terhadap persoalan-persoalan
lokal kepada unit pemerintahan di tingkat lokal. Fungsi pengambilan
keputusan tersebut mengandung arti bahwa komunitas lokal mengakui
status pemerintahan mandiri yang otonom.
Dalam tulisan lain dijelaskan bahwa pemerintahan lokal mandiri
(local self government) merupakan bentuk otonomi diri pemerintah
daerah yang nyata dan efektif sebagai indikator negara demokrasi
lokal di negara manapun yang membutuhkan legislasi tepat dengan
jelasyang didefinisikan sebagai hak, tanggung jawab danmekanisme
kontrol, serta kemauan politik dandukungan yang berharga oleh
negara. selanjutnya, ECLSG (TheEuropean Charter of local Self-
Government) (dalam Babinova, 2011) merumuskan prinsip-prinsip dasar
local self-government yang terdiri atas prinsip hukum, organisasional,
dan otonomi keuangan otoritas pemerintahan lokal yang mandiri.
Prinsip dari ECLSG ini mengandung arti bahwa local self-
government merupakan lembaga pemerintahan lokal yang secara
otonom memiliki kekuasaan yang diatur berdasarkan hukum. Lembaga
ini memiliki kewenangan untuk menentukan struktur organisasinya
sesuai dengan kebutuhan lokal dan menyelenggarakan pemerintahan
19
secara efektif. Kemudian dari sisi keuangan, lembaga ini memiliki hak
atas kepemilikan dan pengelolaan sumber dayanya. Prinsip-prinsip
tersebut merupakan indikator utama dari keberadaan demokrasi lokal
dan pemerintahan lokal mandiri di suatu negara.
Untuk konteks Indonesia, desa baru pasca UU Desa dicirikan oleh
adanya perubahan pola pendampingan desa yaitu dari semula
berkarakter “kontrol dan mobilisasi-partisipasi”, berubah menjadi
fasilitasi gerakan pembaharuan desa sebagai komunitas yang mandiri.
Berlandaskan asas rekognisi dan subsidiaritas, pendampingan desa
mengutamakan kesadaran politik warga desa untuk terlibat aktif dalam
urusan di desanya secara sukarela sehingga arah gerak kehidupan di
desa merupakan akualitas kepentingan bersama yang dirumuskan
secara musyawarah mufakat dalam semangat gotong royong (Ghozali,
2015).
Makna kata “kader” sebagaimana lazim dipahami dalam sebuah
organisasi, adalah orang yang dibentuk untuk memegang peran penting
(orang kunci) dan memiliki komitmen dan dedikasi kuat untuk
menggerakan organisasi mewujudkan visi misinya. Dalam konteks desa,
kader desa adalah “orang kunci “ yang mengorganisir dan memimpin
rakyat desa bergerak menuju pencapaian cita-cita bersama. Kader desa
terlibat aktif dalam proses belajar sosial yang dilaksanakan oleh seluruh
lapiran masyarakat desa.
Kader-kader desa hadir di dalam pengelolaan urusan desa
melalui perannya sebagai kepala desa, anggota BPD, Kader
Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), tokoh adat, tokoh agama,
tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, pengurus/anggota kelompok
tani, pengurus/anggota kelompok nelayan, pengurus/anggota
kelompok perajin, pengurus/anggota kelompok perempuan. Kader
desa dapat berasal dari kaum perempuan dan laki-laki dalam
kedudukannya yang sejajar, mencakup warga desa dengan usia tua,
kaum muda maupun anak-anak.
Konsisten dengan mandat UU Desa, keberadaan kader desa yang
berasal dari warga desa itu sendiri berkewajiban untuk melakukan
upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat
dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku,
kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui
20
penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang
sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa.
Ada beberapa strategi yang secara umum dipraktikkan dalam
membangun kemandirian desa dari dalam. Pertama, membangun
kapasitas warga dan organisasi masyarakat sipil di desa yang kritis
dan dinamis. Proses pembentukan bangunan warga dan organisasi
masyarakat sipil biasanya dipengaruhi oleh faktor eksternal yang
mengancam hak publik. Meski demikian, keduanya adalah modal
penting bagi desa untuk membangun kedaulatan dan titik awal
terciptanya komunitas warga desa yang nantinya akan menjadi
kekuatan penyeimbang atas munculnya kebijakan publik yang tidak
responsif masyarakat. Kemunculan gerakan petani di kawasan Urut
Sewu Kebumen dan gerakan perempuan anti tambang di kawasan
pegungungan karst Rembang adalah salah satu contoh gerakan warga
desa yang berpangkal pada kesadaran individu warga desa merespon
ancaman dari luar terhadap kedaulatan sumber daya alam desa.
Gerakan warga desa di dua kabupaten tersebut pada hakikatnya adalah
penolakan rakyat, perempuan yang tidak dihargai hak kuasa mereka
atas alam. Alam bagi mereka adalah sumber penghidupan yang harus
menurun nilai ekonomisnya hingga anak cucu secara berkelanjutan.
Mereka menyadari bahwa sebagai warga desa, mereka adalah
pemangku lingkungan, sejarah dan budaya desa sebagai warisan para
pendahulu yang harus dilestarikan.
Sementara di Rappoa, Kabupaten Bantaeng, hadir kepala desa
muda bernama Irvan Darwin, yang progresif dan pro demokrasi. Kepala
desa ini memberikan contoh terkemuka tentang akuntabilitas,
transparansi dan responsivitas yang digerakkan dengan kepemimpinan
inovatif-progresif. Lewat kepemimpinan yang tegas dan inovatif, kepala
desa meminta seluruh perangkatnya mengajukan lamaran ulang
kepada kades, dan menyeleksi kembali perangkat desa, serta menata
sumberdaya sesuai kecakapan yang dimiliki. Tradisi baru ini merupakan
terapi kejut, yang tidak semua kepala desa berani melakukannya.
Namun hasilnya, kades Rappoa berhasil merapatkan tim pemdes
bergerak secara kolektif pada satu tujuan dalam pembangunan desa.
Di Rappoa, kades menempelkan semua peta sosial desa, termasuk
hasil RPJMDes, yang membuat seluruh informasi bisa diketahui dan
21
dibaca publik secara transparan. Selain itu kades membuat tradisi baru,
dimana setiap tahun, dilakukan pertanggungjawaban publik atas
jalannya pemerintahan desa, dihadapan warga. Dari tradisi ini warga
dapat mengetahui apakah kades akuntabel, yakni telah menjalankan
amanat RPJMDes atau belum (Eko, 2014).
Kedua, memperkuat kapasitas pemerintahan dan interaksi
dinamis antara organisasi warga dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa. Ada cukup banyak cerita kemandirian desa yang
ditopang oleh kecakapan pemerintahan desa karena proses interaksi
yang dinamis dengan organisasi warganya. Interaksi yang dinamis
antara organisasi warga dengan pemerintah desa akan menjadi energi
pembaharuan yang memiliki nilai lebih manakala bertemu dengan
local leadership kepala desa yang berkarakter mau mendengarkan
warga dan inovatif- progresif. Menguatnya kapasitas pemerintah desa
tentu tidak hanya tercermin pada kemampuan teknokratis aparatur
desa membuat perencanaan program/kegiatan pembangunan, tetapi
juga tercermin pada peran BPD membangun proses perumusan dan
pengambilan kebijakan yang dinamis.
Ketiga, membangun sistem perencanaan dan penganggaran
desa yang responsif dan partisipatif. Menuju sebuah desa mandiri dan
berdaulat tentu membutuhkan sistem perencanaan yang terarah di
ditopang partisipasi warga yang baik. Sebelum UU No. 6/2014 lahir,
desa telah mengenal sistem perencanaan pembangunan partisipatif.
Acuan atau landasan hukumnya waktu itu adalah UU No. 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah. Kewajiban desa membuat perencanaan
pembangunan dipertegas melalui PP No.72 Tahun 2005 tentang
Pemerintahan Desa sebagai regulasi teknis turunan dari UU No.32 Tahun
2004 tersebut.
Pada praktiknya, meskipun desa telah diwajibkan membuat
perencanaan, usulan program yang digagas masyarakat dan
pemerintah desa jarang sekali terakomodir dalam kebijakan
perencanaan pembangunan tingkat daerah. Tidak sedikit pemerintah
desa yang mengeluh karena daftar usulan program prioritas dalam
RKP Desa pada akhirnya terbengkelai menjadi daftar usulan saja. Meski
telah berkali-kali diperjuangkan melalui forum Musrenbangcam, forum
SKPD dan Musrenbangkab, usulan program prioritas dari desa itu pun
22
harus kandas karena kuatnya kepentingan pihak di luar desa dalam
mempengaruhi kebijakan pembangunan daerah. Pada akhirnya, kue
APBD lebih banyak terserap untuk membiayai program-program
daerah yang lebih besar. Kalau toh ada proyek pembangunan di desa,
desa hanya menjadi lokus proyek saja, bukan pelaksana apalagi
penanggung jawab proyek.
Meski dalam ketidakjelasan jaminan sistem perencanaan
pembangunan nasional sebagaimana diatur dalam UU SPPN tersebut,
desa terus berupaya mencari terobosan agar potensi penerimaan
anggaran desa yang kecil tetap bermanfaat bagi warganya. Sebelum
UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa membuka kran transfer fiskal dari
APBN ke desa melalui kabupaten dalam bentuk dana desa (DD), tidak
sedikit kabupaten yang telah memberlakukan kebijakan alokasi dana
desa (ADD). Meski secara nominal kecil, bahkan sangat tergantung
pada kebaikan penguasa kabupaten, desa tetap berjuang
mengalokasikan dana tersebut secara baik sehingga dapat
memperkecil derita warga miskin di desa. Dalam membangun sistem
belanja desa, pemerintah-pemerintah desa penerima ADD tetap
berupaya melandasinya dengan membangun sistem perencanaan desa
yang partisipatif dan responsif terhadap warga miskin.
Keempat, membangun kelembagaan ekonomi lokal yang mandiri
dan produktif.Saat ini banyaksekali tumbuh inisiatif desa membangun
keberdayaan ekonomi lokal. Keberhasilan di bidang ekonomi tersebut
tidak lepas dari kemampuan desa membangun perencanaan yang
konsisten, partisipatif dan disepakati dalam dokumen perencanaan
dan penganggaran desa (RPJMDesa, RKP Desa dan APB Desa). Sebagai
contoh, Desa Bleberan di Kabupaten Gunungkidul berhasil mendirikan
dan mengembangkan desa wisata dengan mengoptimalkan potensi
wisatanya berupa air terjun Sri Gethuk dan Goa Rancang Kencono. BUM
Desa dibentuk sebagai lembaga yang bertanggung jawab mengelola
ekonomi wisata desa tersebut. BUM Desa mulai disahkan dan bekerja
mulai tahun 2007. Ketelatenan para pengurus BUM Desa Bleberan
sebagai pihak yang diserahi pemerintah desa untuk mengelola kedua
obyek wisata tersebut membuahkan hasil. Setiap bulan penerimaan
BUM Desa tidak kurang dari Rp. 50 juta. Dari penerimaan sebesar itu,
BUM Desa Bleberan dapat menyumbang pemasukan desa sebesar
Rp20-an juta.
23
Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) yang didefinisikan Pasal 1
angka 6 UU No. 6/2014 tentang Desa, sebagai :
“… badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset,
jasa pelayanan dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat Desa.”
24
Sumber: Sutoro Eko (dalam Putra, 2015)
C. Kapasitas Desa
Morison (dalam Damayanti, Soeaidy, & Ribawanto, 2014) melihat
capacity building sebagai suatu proses untuk melakukan serangkaian
gerakan, perubahan multi-level di dalam individu, kelompok organisasi
dan sistem dalam rangka rangka untuk memperkuat penyesuaian
individu dan organisasi sehingga dapat tanggap terhadap perubahan
lingkungan yang ada.
Merilee S.Grindle (dalam Damayanti, Soeaidy, & Ribawanto,
2014) sebagai pakar capacity building yang lebih khusus mengkaji
dalam bidang pemerintahan memfokuskan capacity building pada tiga
dimensi, yaitu:
1. Development of the human resource
2. Strengthening organization; and
3. Reformation of institutions
25
berawal dari mengalirnya kebutuhan untuk mengalami suatu hal,
mengurangi ketidaktahuan dalam hidup, dan mengembangkan
kemampuan untuk beradaptasi menghadapi perubahan yang terjadi
setiap waktu. Dari tujuan tersebut strategi capacity buliding memberikan
gambaran untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia
pegawai, sehingga dapat berkontribusi terhadap pengembangan
kemampuan kolektif organisasi yang mengharapkan kinerja lebih baik.
Leba (2015) menjelaskan tentangkapasitas desa, terutama
pemerintah desa, bukan sekadar kesanggupan dan kelancaran
pemerintah desa menjalankan tugas pokok dan fungsinya atau
mengikuti prosedur administrasi yang sudah baku. Kapasitas dalam
konteks ini adalah penguasaan pengetahuan dan informasi maupun
keterampilan menerapkan instrumen kebijakan dan program untuk
menjalankan fungsi-fungsinya secara efektif dan efisien. Yang lebih
penting lagi, kapasitas merupakan prakarsa untuk melakukan inovasi
atau pembaharuan terhadap pengelolaan pembangunan,
pemerintahan dan kemasyarakatan agar desa berkembang lebih
dinamis dan maju mencapai visi-misi yang digariskan.
Tentu saja banyak daftar panjang kapasitas yang harus dimiliki
oleh desa. Tetapi, paling tidak, secara teoretis ada beberapa bentuk
kemampuan (kapasitas) yang perlu dikembangkan. Pertama, kapasitas
regulasi (mengatur). Kapasitas regulasi adalah kemampuan pemerintah
desa mengatur kehidupan desa beserta isinya (wilayah, kekayaan, dan
penduduk) dengan peraturan desa, berdasarkan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat setempat. Pengaturan bukan semata-mata bertujuan untuk
mengambil sesuatu (melakukan pungutan), tetapi begitu banyak
pengaturan yang berorientasi pada pembatasan kesewenang-
wenangan, perlindungan, pelestarian, pembagian sumberdaya (jabatan
desa, kekayaan desa, pelayanan publik), pengembangan potensi desa,
penyelesaian sengketa, dan seterusnya. Berbagai macam peraturan
desa pada prinsipnya dimaksudkan untuk menciptakan ketertiban,
keamanan, keseimbangan, keadilan, keberlanjutan dan lain-lain.
Kedua, kapasitas ekstraksi. Kapasitas ekstraksi adalah
kemampuan mengumpulkan, mengerahkan dan mengoptimalkan aset-
aset desa untuk menopang kebutuhan (kepentingan) pemerintah dan
warga masyarakat desa. Paling tidak, ada enam aset yang dimiliki desa:
26
(a) Aset fisik (kantor desa, balai dusun, jalan desa, sarana irigasi, dll);
(b) Aset alam (tanah, sawah, hutan, perkebunan, ladang, kolam, dll);
(c) Aset manusia (penduduk, SDM); (d) Aset sosial (kerukunan warga,
lembaga-lembaga sosial, gotong-royong, lumbung desa, arisan, dll);
(e) Aset keuangan (tanah kas desa, bantuan dari kabupaten, KUD,
BUMDes dan (f) Aset politik (lembaga-lembaga desa, kepemimpinan,
forum warga, BPD, rencana strategis desa, peraturan desa, dll).
Untuk meningkatkan kemampuan ekstraksi ini memang tidak
mudah, tetapi juga tidak terlalu sulit. Yang jelas tidak semuanya padat
modal, atau butuh dana besar. Umumnya langkah awal peningkatan
kemampuan ekstraksi dimulai dengan analisis potensi desa (termasuk
pemetaan tata ruang desa) yang kemudian dirumuskan menjadi
rencana strategis desa. Rencana strategis mencakup tentang visi desa,
yang kemudian dijabarkan menjadi rangkaian kebijakan, program dan
kegiatan. Seorang Lurah Desa yang diberi mandat selama lima tahun
memang bukan semata-mata untuk membangun praja tetapi
menghadapi tantangan yang berat, yaitu bagaimana dan kemana desa
akan dibawa selama lima tahun? Apakah Lurah sudah cukup puas
karena bersedia memberikan pelayanan kepada masyarakat nonstop
selama 24 jam, atau sudah sangat puas karena peranannya sebagai
“ujung tombak” dan “ujung tombok”? Tentu saja tidak.
Termasuk dalam kapasitas ekstraksi adalah kemampuan
pemimpin, terutama kepala desa, melakukan konsolidasi (merapatkan
barisan) terhadap berbagai aktor, baik BPD, lembaga desa, tokoh
masyarakat dan warga masyarakat. Misalnya kalau Kepala Desa dan
BPD masih saja ribut, maka tidak bakal membawa pemerintahan dan
pembangunan secara efektif, apalagi membawa visi-misi besar desa.
Karena itu berbagai unsur desa itu harus membangun kesepahaman,
keterbukaan, kemitraan, kebersamaan, saling mengisi untuk mengawal
visi-misi desa jangka panjang.
Ketiga, kapasitas distributif. Kapasitas distributif adalah
kemampuan pemerintah desa membagi sumberdaya desa secara
seimbang dan merata sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat
desa. Contoh yang paling nyata dalam hal ini adalah kemampuan
pemerintah desa merancang APBDES, terutama dalam hal pengeluaran
(alokasi). Umumnya pemerintah desa mempunyai kapasitas distributif
27
yang masih sangat lemah, karena sebagian besar alokasi keuangan
desa digunakan untuk belanja rutin perangkat desa, sementara dana
pembangunan masih sangat minim. Sudah minim, itu pun lebih banyak
dialokasikan untuk pembangunan fisik, sementara yang untuk alokasi
ekonomi produktif sangat terbatas.
Keempat, kapasitas responsif. Kapasitas responsif adalah
kemampuan untuk peka atau memiliki daya tanggap terhadap aspirasi
atau kebutuhan warga masyarakat untuk dijadikan sebagai basis dalam
perencanaan kebijakan pembangunan desa. Kemampuan ini harus
ditempa terus, sebab selama ini agenda perencanaan pembangunan
desa cenderung berangkat dari kepentingan elite desa.
Kelima, kapasitas jaringan dan kerjasama. Kapasitas jaringan
adalah kemampuan pemerintah dan warga masyarakat desa
mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak-pihak luar dalam
rangka mendukung kapasitas ekstraktif. Asosiasi kepala desa atau forum
BPD, misalnya, bisa digunakan sebagai wadah untuk membangun
kerjasama antardesa. Demikian juga kerjasama dengan perguruan
tinggi maupun LSM.
Selama ini pengembangan kapasitas desa hanya dimonopoli oleh
pemerintah supradesa dengan skema “pembinaan”, tetapi pembinaan
ini sebenarnya bukanlah pengembangan kapasitas yang betul-betul
dibutuhkan oleh para pengelola desa. Metodologi pembinaan
cenderung dari atas dan elitis, sehingga tidak mempunyai kontribusi
secara signifikan terhadap penguatan lima kapasitas desa. Sekarang
paradigma dan metodologi pembinaan itu harus ditinjau ulang. Jika
dulu pembinaan dimonopoli oleh pemerintah, maka sekarang ada
empat aktor utama yang secara langsung terlibat dalam upaya
pengembangan kapasitas desa.
Pertama, para pemangku kepentingan desa (Kepala Desa, BPD,
lembaga desa, tokoh masyarakat dan warga masyarakat). Artinya
mereka juga harus mengambil prakarsa dan bergerak sendiri untuk
mengembangkan kapasitas pada lingkup desa. Sekarang bukan
zamannya Kepala Desa selalu memberi petunjuk dan pengarahan,
melainkan harus mengembangkan proses belajar bersama dengan
unsur-unsur lain. Forum warga atau rembug desa merupakan wadah
yang bisa digunakan untuk belajar bersama, sekaligus
28
mengkonsolidasikan berbagai unsur desa. Membuat Perdes atau
APBDES secara bersama-sama (partisipatif) juga merupakan proses
belajar bersama untuk menempa kapasitas desa.
Kedua, pemerintah supradesa. Pemerintah pusat berperan
memberikan standar dan norma umum. Pemerintah provinsi
mempunyai perangkat dan bantuan. Pemerintah kabupaten mempunyai
kewenangan, kebijakan, tenaga, anggaran dan lain-lain yang sangat
dibutuhkan untuk memperkuat kapasitas desa. Selama beberapa tahun
terakhir pihak desa selalu menyampaikan aspirasi kepada kabupaten
agar pengembangan kapasitas, misalnya melalui skema pendidikan
dan pelatihan, dilakukan secara optimal. Pihak kabupaten telah
memberikannya tetapi dalam kapasitas yang terbatas, dengan alasan
klasik: “anggaran terbatas”. Sebenarnya ini merupakan persoalan
responsivitas. Jika Diklat Penjenjangan untuk PNS bisa diberikan secara
rutin, kenapa hal itu tidak bisa dilakukan kepada para perangkat desa,
toh kerja-kerja mereka juga membantu pemerintah. Tampaknya hal
ini perlu diperhatikan pemerintah kabupaten. Satu hal lagi, diklat (yang
terbatas) bagi desa itu juga butuh pembaharuan dari sisi metodologi
(metode, proses, substansi, dan sebagainya) supaya pengembangan
kapasitas betul-betul bermanfaat dan relevan.
Ketiga, perguruan tinggi atau universitas. Universitas mempunyai
mandat pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
antara lain juga dipersembahkan untuk mengembangkan kapasitas
para pengelola desa. Milsanya di STPMD “APMD”, pendidikan
dimaksudkan untuk memberikan makna pada setiap proses sosial-
politik desa, memberi sentuhan intelektual, dan membawa pencerahan
kepada desa. Penelitian dilakukan dalam rangka untuk menggali
sekaligus membahasakan kembali pengalaman dan cerita lokal
menjadi bahan pembelajaran maupun memperkaya khazanah
pengetahuan. Pengabdian kepada masyarakat merupakan komitmen
kepada desa, misalnya melalui KKN atau pelatihan dan pendampingan
kepada para pengelola desa.
Pengembangan dan peningkatan kapasitas dalam Kerangka
Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas mengacu kepada
kebutuhan akan; penyesuaian kebijakan-kebijakan dan peraturan-
peraturan, reformasi kelembagaan, modifikasi prosedur-prosedur kerja
29
dan mekanisme-mekanisme koordinasi, peningkatkan keterampilan dan
kualifikasi sumber daya manusia, perubahan sistem nilai dan sikap atau
perilaku sedemikian rupa, sehingga dapat terpenuhinya tuntutan dan
kebutuhan otonomi daerah, sebagai suatu cara pendekatan baru ke arah
pemerintahan, pengadministrasian dan pengembangan mekanisme-
mekanisme partisipatif yang tepat guna memenuhi tuntutan yang lebih
demokratis. Dengan demikian Kerangka Nasional Pengembangan dan
Peningkatan Kapasitas mengarahkan pemerintah daerah, dan dalam hal
ini pemerintah desa untuk mengembangkan dan meningkatan kerangka
kerja pemerintahan secara keseluruhan guna memenuhi tuntutan tugas
dan kewenangan yang diberikan (Asrori, 2014).
Tiga tingkat kemampuan yang harus dimiliki oleh perangkat
desa (Asrori, 2014) yaitu: 1) kemampuan dasar; 2) kemampuan
manajemen; 3) kemampuan teknis. Kemampuan dasar meliputi
pengetahuan tentang regulasi desa, pengetahuan tentang dasar-dasar
pemerintahan des, dan pengetahuan tentang tugas pokok dan fungsi.
Kemampuan manajemen meliputi manajemen SDM, manajemen
pelayanan publik, manajemen aset, dan manajemen keuangan.
Sedangkan kemampuan teknis meliputi penyusunan administrasi desa,
penyusunan perencanaan pembangunan, penyusunan anggaran,
penyusunan perdes, dan pelayanan publik.
30
Pemerintahan desa merupakan unit lini terdepan dalam
pelayanan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat, serta
menjadi tonggak utama untuk keberhasilan program pemerintah.
Memperkuat desa adalah wujud mempercepat ter wujudnya
kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka itulan perlunya perhatian
intens pada penempatan kewenangan sesuai kedudukan desa,
kepastian pendanaan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta
SDM mumpuni dalam pelayanan kepada masyarakat.
Definisi konsepsional dari penguatan kapasitasadalah proses
pemberian kekuatan kepada siapa yang tidak memiliki kekuatan
(Septianawati, Haryono, & Nurani, 2014). Pendekatan utama penguatan
adalah bahwa orang bukan obyek dari berbagai proyek pembangunan,
tetapi subyek dari upaya pembangunan mereka sendiri (Kartasasmita,
2003). Ada 12 indikator penguatan atau pemberdayaan masyarakat
yaitu partisipasi, penyampaian pendapat, perubahan kesadaran,
melakukan aksi, solidaritas, kerjasama, kreasi, penetapan tujuan,
negosiasi, kepuasan, kepercayaan diri, serta administrative dan
manajemen ekonomi (Fujikake, dalam Noviyanti, 2015).
Beberapa riset merekomendasikan terkait penguatan kapasitas
desa diantaranya (Ardilah, Makmur, & Hanafi, nd):
1. Kepala Desa sebagai pemimpin formal di desa yang merupakan
administrator pemerintah, administrator masyarakat dan
administrator pembangunan mempunyai peranan yang sangat
penting dalam menumbuhkan, menggerakkan dan meningkatkan
partisipasi masyarakat untuk ikut aktif dalam kegiatan
pembangunan desa. Oleh karena itu, diperlukan Kepala Desa yang
cakap, jujur, bijaksana dan mempunyai pengetahuan dan
keterampilan dalam menyelenggarakan pemerintahan desa serta
dilengkapi dengan perangkat desa yang berkualitas.
2. Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan dana bantuan Pemerintah
Kabupaten Jombang yang dimaksudkan untuk membiayai
program pemerintah desa dalam melaksanakan kegiatan
pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat, karena dengan
bantuan ini dapat membantu terlaksananya pembangunan desa
dalam hal pembiayaan atau pembangunan.
31
3. Tingkat pendapatan yang dimiliki oleh suatu masyarakat akan
mempengaruhi tingkat partisipasi mereka dalam pembangunan
desa, khususnya dalam bentuk swadaya uang. Seperti yang ada di
Desa Bareng dimana tingkat pendapatan masyarakatnya masih
rendah, hal ini berpengaruh terhadap tingkat partisipasi yang
mereka berikan dalam bentuk swadaya uang, yang mana tingkat
partisipasi-nya masih rendah atau kurang.
4. Pendidikan juga mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat
dalam pembangunan desa, dimana masyarakat yang
berpendidikan tinggi dapat membantu memudahkan upaya
Kepala Desa dalam menyampaikan informasi tentang program
pembangunan, dan di sisi lain masyarakat berpendidikan rendah
sangatlah membantu dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan
dalam hal partisipasi dalam bentuk tenaga.
34
Tabel 2.4 KPMD dan Pengorganisasian Pembangunan Desa
35
kekuasaan, hak dan kepentingan warga. Kapasitas teknokratis yang
diemban oleh KPMD sangatpenting tetapi tidak cukup untuk
memperkuat desa. Karena itu pendampingan oleh KPMD harus bersifat
politik. Politik dalam konteks ini bukan dalam pengertian keterlibatan
KPMD dalam perebutan kekuasaandi Desa, melainkankerja fasilitasi
untuk memperkuat pengetahuan dan kesadaran anggota masyarakat
desa tentang posisi dirinya sebagai warga desa yang sekaligus warga
negara Republik Indonesia (100% warga desa, 100% warga negara).
Dalam kerangka kerja politik, KPMD mendorong tumbuhnya sikap
sukarela dalam diri warga desa untuk terlibat aktif dalam urusan
desanya. Dengan demikian, kerja politik KPMD dimaknai sebagai upaya
menegakkan hak dan kewajiban desa sekaligus upaya menumbuhkan
dan menegakkan hakdan kewajiban warga desa. Pendekatan
pendampingan oleh KPMD yang berorientasi politik ini akan
memperkuat kuasa rakyat sekaligus membuat sistem desa menjadi
lebih demokratis dalam bingkai kedaulatan NKRI.
Untuk mengembangkan kapasitas Kader Desa, Pemerintah Desa
dapat membentuk beragam lembaga kemasyarakatan sebagai wadah
bagi warga mengaktualisasikan dirinya sebagai warga Desa. Lembaga-
lembaga tersebut dapat ditetapkan dengan peraturan desa dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Sebagaimana
selama ini, di Desa banyak model-model lembaga kemasyarakatan,
antara lain seperti Rukun Tetangga, Rukun Warga, karang taruna,
lembaga pemberdayaan masyarakat, dan sejenisnya. Lembaga
kemasyarakatan yang banyak terdapat di Desa itu idealnya harus bisa
menjadi arena masyarakat Desa untuk mengembangkan diri menjadi
Kader Desa yang mampu berperan untuk membangun desa. Lembaga-
lembaga tersebut bisa menjadi ruang bagi warga Desa merumuskan
dan mengusung aspirasi mereka dan berpartisipasi dalam perencanaan,
pelaksanaan dan mengawal pembangunan Desa. Bagi Kader Desa,
lembaga-lembaga itu bisa menjadi arena pembelajaran untuk
mengembangkan kapasitas mereka menjadi kader-kader
pemberdayaan masyarakat.
Selain bentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut, salah
satunya misalnya bisa juga dibentuk suatu lembaga yang menjadi pusat
kegiatan kemasyarakatan (community center) yang difungsikan sebagai
36
pusat informasi, pusat kegiatan dan pendampingan atau pusat advokasi
pendamping profesional (eksternal) melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
1. memfasilitasi pembentukan pusat kemasyarakatan (community
center) dengan melibatkan KPMD sebagai ruang publik untuk
aktivitas bersama dalam rangka pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat desa;
2. memfasilitasi pendayagunaan sarana/prasarana milik desa seperti
balai desa, gedung olah raga, gedung pertemuan, lapangan olah
raga, taman dll untuk dijadikan sebagai tempat/lokasi
diselenggarakannya kegiatan-kegiatan pusat kemasyarakatan
dengan melibatkan KPMD;
3. memfasilitasi unsur-unsur masyarakat seperti tokoh adat; tokoh
agama; tokoh masyarakat; tokoh pendidikan; perwakilan kelompok
tani; kelompok nelayan; kelompok perajin; kelompok perempuan;
dan kelompok masyarakat miskin untuk berpartisipasi aktif dalam
kegiatan-kegiatan pusat kemasyarakatan yang diorganisir oleh
KPMD;
4. memfasilitasi terbentuknya forum mitra desa dengan KPMD
sebagai motor penggerak dimana mitra desa tersebut terdiri dari
para penggiat pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa
untuk secara sukarela terlibat dalam kegiatan-kegiatan
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa;
5. memfaslitasi forum mitra desa bersama-sama dengan KPMD untuk
membentuk pusat kemasyarakatan (community center) di
kecamatan dan kabupaten/kota;
6. memfasilitasi forum mitra desa bersama-sama dengan KPMD untuk
membuat kegiatan-kegiatan pengabdian kepada masyarakat
sepeerti penerapan ilmu keagamaan, ilmu pengetahuan, teknologi
dan/atau seni tertentu untuk menunjang pengembangan konsep
pembangunan nasional, wilayah dan/atau daerah, pengembangan
sistem pendidikan dan pengembangan;
7. memfasilitasi kegiatan kemitraan dan pemberdayaan UKM usaha
kecil dan menengah dengan melibatkan KPMD; dan
8. kegiatan-kegiatan lain yang strategis dalam rangka
pengembangan pusat kemasyarakatan (community center) sesuai
dengan kondisi lokal desa dengan melibatkan KPMD.
37
Tabel 2.5 Perbedaan Konsep Membangun Desa (Pembangunan
Perdesaan) dan Desa Membangun (Pembangunan Desa)
38
membahas hal penting yang dapat digunakan untuk mengukur
perubahan sikap dan perilaku masyarakat mitra/dampingan melalui
kegiatan “membangun perencanaan bersama masyarakat” (Putra,
2015).
Pemberdayaan masyarakat desa yang berdampak nyata dalam
menghadirkan ketahanan masyarakat desa mensyaratkan adanya
budaya “ketaatan hukum” dalam diri warga desa. Aturan-aturan hukum
yang ada di UU Desa beserta seluruh aturan pelaksanaannya akan
efektif menjadi dasar hukum bagi tindakan pemerintah desa dan
masyarakat desa dengan syarat apabila aturan-aturan hukum
dimaksud ditaati dan dilaksanakan secara sukarela oleh jajaran
pemerintah desa, anggota BPD maupun unsur masyarakat desa.
Pemberdayaan masyarakat desa yang berperspektifkan penguatan
ketahanan masyarakat desa dengan sendirinya mengutamakan
revitalisasi kewarganegaraan Indonesia yang sarat dengan tindakan
sukarela dan semangat mengutamakan kepentingan umum di atas
kepentingan pribadi dan golongan. Selain itu, pemberdayaan
masyarakat ini juga masuk dalam ranah pelatihan dan advokasi hukum,
penguatan kelembagaan kemasyarakatan, serta pengembangan ruang
publik politik di desa-desa maupun antar desa dalam bentuk pusat
kemasyarakatan (community center) (Ihsan, 2015).
Pemberdayaan masyarakat desa harus menyentuh pada
perubahan pranata sosial dan kebijakan penyelenggara negara
dibidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, budaya
dan politik yang dihadapi oleh masyarakat desa. Untuk itu, dibutuhkan
strategi advokasi kebijakan publik yang tepat dan sederhana sehingga
mudah dilaksanakan sendiri oleh warga desa di lokasi dampingan.
Advokasi kebijakan publik di desa ini dapat dilakukan dengan berbagai
cara yang sederhana, misalnya dialog publik, kampanye publik,
audiensi dan lobi kepada pengambil kebijakan, dan sebagainya.
Semua upaya advokasi kebijakan publik dimaksudkan untuk
merubah atau mempengaruhi kebijakan publik yang akan berlaku
secara efektif di desa. Advokasi kebijakan publik ini ditujukan kepada
para pengambil keputusan di desa. Tetapi, advokasi kebijakan publik
juga dapat ditujukan kepada para pengambil keputusan di kabupaten/
kota yang memiliki wewenang untuk menyusun peraturan daerah yang
39
berdampak pada rumusan peraturan desa. Oleh sebab itu, pendamping
desa dalam rangka penguatan advokasi kebijakan publik perlu
melakukan kegiatan diantaranya:
1. Memfasilitasi pengembangan kapasitas kesatuan masyarakat
hukum adat dan/atau unsur masyarakat desa tentang pokok-pokok
kebijakan UU Desa berkaitan dengan pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat desa.
2. Memfasilitasi keterbukaan informasi kepada publik berkaitan
dengan :
• Rencana pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa;
• Rencana pendayagunaan anggaran dan aset desa;
• Materi pembahasan musyawarah desa tentang hal-hal strategis
yang meliputi : penataan desa; perencanaan desa; kerja sama
desa; rencana investasi yang masuk ke desa; pembentukan bum
desa; penambahan dan pelepasan aset desa; dan kejadian luar
biasa;
• Rancangan peraturan desa;
• Pagu indikatif desa dan program/proyek masuk desa; dan
• Informasi strategis lainnya yang sesuai dengan kondisi desa
dampingan
3. Memfasilitasi musyawarah desa sebagai ruang publik yang menjadi
wahana komunikasi antara pengambil keputusan dan warga desa,
maupun antara pemerintah kabupaten/kota dengan desa;
4. Memfasilitasi transparansi anggaran desa sehingga dapat tercipta
perencanaan anggaran desa secara partisipatif;
5. Memfasilitasi pengembangan jaringan di antara organisasi-
organisasi akar rumput (grassroots), seperti federasi, perserikatan,
dan organisasi pengayom lainnya;
6. Mempererat komunikasi dan kerjasama antara desa, pemerintah
daerah dan legislatif daerah dalam rangka pengintegrasian
pembangunan desa dengan pembangunan daerah kabupaten/
kota;
7. Memfasilitasi lobi-lobi antar instansi, pejabat, organisasi
kemahasiswaan, organisasi kemasyarakatan (NU dan
Muhammadiyah) dalam rangka penyusunan dan penetapan
kebijakan publik di kabupaten/kota yang berpihak kepada desa;
40
8. Memfasilitasi kampanye dan kerja-kerja media sebagai ajang
publikasi tentang penyusunan dan penetapan kebijakan publik;
dan
9. Kegiatan lainnya yang strategis dalam rangka advokasi kebijakan
publik sesuai dengan kondisi desa-desa dampingan
41
4. Memfasilitasi terbentuknya forum mitra desa yang terdiri dari para
penggiat pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa untuk
secara sukarela terlibat dalam kegiatan-kegiatan pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat desa;
5. Memfasilitasi forum mitra desa untuk membentuk pusat
kemasyarakatan (community center) di kecamatan dan kabupaten/
kota;
6. Memfasilitasi forum mitra desa untuk membuat kegiatan-kegiatan
pengabdian kepada masyarakat sepeerti penerapan ilmu
keagamaan, ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni tertentu
untuk menunjang pengembangan konsep pembangunan nasional,
wilayah dan/atau daerah, pengembangan sistem pendidikan dan
pengembangan;
7. Memfasilitasi kegiatan kemitraan dan pemberdayaan ukm usaha
kecil dan menengah;
8. Memfasilitasi kegiatan-kegiatan pelayanan masyarakat sebagai
katalisator pengembangan masyarakat madani; dan
9. Kegiatan-kegiatan lain yang strategis dalam rangka
pengembangan pusat kemasyarakatan (community center) sesuai
dengan kondisi desa-desa dampingan
43
44
BAB III
POTRET DESA DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
45
tersebut sebagian berbatasan dengan pusat pemerintahan Kabupaten
Kutai Kartanegara dan beberapa berbatasan dengan Kota Samarinda.
Sedangkan kecamatan yang berada di kawasan pesisir atau berdekatan
dengan laut yaitu Kecamatan Samboja, Muara Jawa, Anggana, Muara
Badak dan Marang Kayu (lihat Gambar 3.1).
46
seberang ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara yaitu Tenggarong yang
dipisahkan oleh Sungai Mahakam. Kecamatan ini juga memiliki
perbatasan dengan Kota Samarinda sehingga posisi kecamatan ini
diapit oleh dua kota. Dengan luas wilayah 464,25 km2 kecamatan ini
memiliki 18 desa dan dihuni oleh 69.477 jiwa pada tahun 2015 (BPS
Kab. Kutai Kartanegara, 2016c). Dan ketiga adalah Kecamatan Marang
Kayu yang merupakan salah satu kecamatan yang memiliki wilayah
pantai. W ilayah ini juga dilalui jalan utama provinsi yang
menghubungkan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda
dengan Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang. Wilayah Kecamatan
Marang Kayu memiliki luas 1.165,71 km2 dengan jumlah penduduk
29.286 jiwa yang tersebar di 11 desa (BPS Kab. Kutai Kartanegara,
2016d).
47
A. Kecamatan Muara Kaman
Kecamatan Muara Kaman termasuk salah satu kecamatan yang
lokasinya berada di kawasan hulu, namun posisi wilayah kecamatan
ini lebih dekat ke ibukota kabupaten dibandingkan kecamatan lain di
kawasan hulu, seperti Tabang, Kembang Janggut dan Kenohan. Tabang
merupakan kecamatan di kawasan hulu yang lokasinya paling ujung
dan paling jauh dari ibukota kabupaten, kemudian diikuti Kembang
Janggut dan Kenohan. Sedangkan Kecamatan Muara Kaman, Muara
Wis, Muara Muntai dan Kota Bangun termasuk kawasan hulu yang lebih
dekat dengan kawasan ibukota kabupaten. Kecamatan Muara Kaman
memiliki wilayah seluas 3.410,10 km2 dan memiliki 20 desa. Wilayah
kecamatan ini dihuni oleh 35.467 jiwa pada 2015 (BPS Kabupaten Kutai
Kartanegara, 2016b). Dua desa yang menjadi lokasi penelitian ini
adalah Desa Muara Kaman Ulu dan Desa Bunga Jadi.
48
infrastruktur jalan melalui Kecamatan Sebulu saat ini tidak begitu
bagus—kerusakan jalan cukup parah, terutama pada jarak sekitar 13
km terakhir menuju Desa Muara Kaman Ulu. Sarana transportasi umum
masih sangat minim, namun tersedia mobil carteran terjadwal dengan
frekuensi terbatas menuju dan dari Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur,
Samarinda. Akses jalan di dalam desa sebagian besar merupakan jalan
cor. Karakteristik jalan ini sangat cocok dengan posisi geografis Desa
Muara Kaman Ulu yang kegiatan perekonomiannya terpusat di
sepanjang Sungai Mahakam dan secara musiman terjadi banjir serta
sebagian wilayahnya merupakan daerah rawa.
Infrastruktur dasar di Desa Muara Kaman Ulu mudah diakses oleh
masyarakat. Fasilitas pendidikan formal, mulai dari PAUD sampai
dengan SMA tersedia, baik yang berstatus negeri maupun swasta.
Fasilitas kesehatan juga mudah diakses berupa Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas). Aliran listrik serta Air bersih juga telah
dirasakan oleh masyarakat Desa Muara Kaman Ulu. Aliran listrik
mendapatkan pasokan dari PLTD Tanjung Batu yang terletak di Ibu
Kota Kabupaten yang berjarak sekitar 97 km. Jauhnya jarak dari sumber
pembangkit ini menyebabkan voltase yang tidak stabil dan cukup
sering terjadinya pemadaman yang disebabkan oleh faktor alam.
Sementara itu, ketersediaan air bersih belum bisa melayani seluruh
masyarakat Desa Muara Kaman Ulu dikarenakan pasokan yang tidak
mengalir selama 24 jam serta sebagian besar masyarakat masih
menggunakan sumber air sungai untuk kebutuhan sehari-harinya.
Desa Muara Kaman Ulu memiliki potensi untuk pengembangan
sektor wisata. Muara Kaman, khususnya Desa Muara Kaman Ulu di masa
lalu diduga merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Kutai
(‘Kecamatan Muara’, nd.). Peninggalan Kerajaan Kutai masih dapat
dijumpai di desa ini berupa batu berbentuk balok panjang yang
diletakkan pada sebuah bangunan beratap yang terbuka. Setiap
tahunnya, tempat ini dikunjungi warga bali untuk keperluan ibadah
keagamaan. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, melaui Dinas
Pariwisata dan Budaya telah membangun situs di tempat tersebut
dengan nama “Situs Kerajaan Kutai Mulawarman Ing Martadipura”.
Situs ini juga telah ditetapkan menjadi Cagar Budaya oleh Kementerian
Pendidikan dan Kabudayaan. Namun demikian hanya sedikit
peninggalan kerajaan yang bisa dilihat pada situs tersebut.
49
Desa Muara Kaman Ulu berdasarkan penilaian Kementerian
Dalam Negeri termasuk dalam tipologi Perladangan. Komoditas
unggulan di wilayah ini adalah Kelapa Sawit dengan luasan wilayah
yang digunakan sebesar 20.000 ha. Namun demikian perkebunan sawit
dimiliki oleh perusahaan swasta dan BUMN yang hanya mampu
memberikan lapangan pekerjaan sebanyak 32,2% sari total 707 orang
yang tercatat memiki pekerjaan tetap di Desa Muara Kaman Ulu. Desa
Muara Kaman Ulu juga memiliki ladang /tegal yang cukup luas, yaitu
sebesar 261 ha yang sebagian besar merupakan lahan tidur. Sebagian
kecil dimanfaatkan untuk menanam buah semangka dengan hasil yang
menjanjikan. Satu hektar lahan untuk sekali panen bisa mencapai 250
kg. Namun saat ini baru sekitar 13 ha lahan yang dimanfaatkan oleh
pengusaha dari Jawa Timur, disamping tidak adanya masyarakat yang
berminat berkebun semangka juga faktor ketersediaan air yang
mempengaruhi keberhasilan budidaya buah semangka. Desa Muara
Kaman Ulu mendapatkan keuntungan dari posisinya yang sebagian
berada di tepian Sungai Mahakam untuk memanfaatkan kekayaan yang
berada di dalamnya, baik untuk perikanan tangkap maupun budidaya.
Penduduk yang memanfaatkan potensi sungai Mahakam sebagai
sumber mata pencaharaian sebanyak 30,7%.
Kegiatan perekonomian di Muara Kaman Ulu bisa dikatakan jauh
dari keramaian. Hal ini diindikasikan dengan aktivitas perdagangan di
pasar yang hanya terjadi pada hari Sabtu untuk perdagangan hasil
pertanian, perkebunan, dan kebutuhan pokok masyarakat serta
perdagangan kebutuhan sandang pada malam Minggu. Meskipun
belum tersedia supermarket atau mini market, lembaga perbankan
tersedia di wilayah ini seperti Kantor Kas Bank Kaltim KCP Tenggarong
serta Kantor Kas Keliling BRI yang beroperasi setiap hari Senin
menawarkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk membantu permodalan
masyarakat dalam mengembangkan usahanya.
b. Kapasitas Desa
Kelembagaan Desa
Struktur organisasi Desa Muara Kaman Ulu masih menggunakan
struktur lama yang terdiri Kepala Desa, Sekretaris Desa, 5 Kepala Urusan,
dan 3 Kepala Wilayah/Kepada Dusun. Dilihat dari banyaknya struktur,
Desa Muara Kaman Ulu saat ini mendekati penggunaan pola untuk
kategori Desa Swasembada atau Desa Swakarya jika merujuk pada
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 2015 tentang Struktur
Organisasi dan Tata Kerja Desa. Dengan lahirnya permendagri ini
seharusnya struktur Desa Muara Kaman Ulu (Gambar 1) telah
disesuaikan karena belum dapat mengakomodir bidang kewenangan
yang dimiliki oleh desa, yaitu pembinaan kemasyarakatan desa, dan
pemberdayaan masyarakat.
52
Gambar 3.2 Struktur Organisasi Pemerintah Desa Muara Kaman
Ulu
53
Dilihat dari kewenangan yang dijalankan oleh Desa, peran utama
Desa sebagian besar dilaksanakan oleh Kepada Wilayah/Dusun, yaitu
pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan
pemberdayaan masyarakat desa. Sementara Kades, Sekretaris, Kasi,
dan Kaur hanya menjalankan fungsi penyelenggaraan urusan
pemerintahan. Kewenangan-kewenangan yang dimiliki aparat desa
ini berbanding terbalik dengan kondisi real yang terjadi selama ini.
Perubahan yang cukup dramatis ini pastinya tidak akan mudah untuk
segera direalisasikan mengingat sampai saat ini belum ada persiapan
terhadap perubahan peran tersebut.
Komposisi struktur kelembagaan desa yang diatur dalam
Permendagri Nomor 84 tahun 2015 tidak menitikberatkan pada
pelaksanaan core business baru Desa yang diamanatkan oleh Undang-
Undang, malah sebaliknya lebih banyak mengakomodir pelaksanaan
fungsi-fungsi administratif sehingga tidak sejalan dengan filosofi
lahirnya undang-undang tentang Desa. Struktur ini juga tidak sejalan
dengan teori organisasi yang menekankan struktur kelembagaan lebih
menitikberatkan pada perwujudan tujuan organisasi.
Dalam Peraturan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 7 Tahun 2016
tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Pemerintahan Desa
sebagai aturan pelaksanaan Permendagri Nomor 84 Tahun 2015, telah
menguraikan fungsi dari Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Urusan,
Kepala Seksi, dan Kepala Dusun. Peraturan ini seharusnya diturunkan
lagi dalam Peraturan Desa untuk mengatur uraian tugas tidak hanya
pejabat Pemerintah Desa, namun juga BPD, LPM, serta Fungsional
umum (Pelaksana) sehingga lebih operasional dalam pelaksanaannya
dan tidak lagi menimbulkan kegamangan bagi aparat Desa terhadap
ruang lingkup kewenangan yang dimiliki. Permasalahan belum jelasnya
ruang lingkup pengawasan oleh BPD di Desa Muara Kaman Ulu bisa
diatasi dengan adanya peraturan Desa yang mengatur SOTK
berdasarkan aturan di atasnya serta kesepakatan bersama untuk
beberapa hal yang belum jelas atau belum diatur. Hal ini bisa dilakukan
berbarengan dengan perubahan struktur organisasi Desa Muara Kaman
Ulu.
54
Ketatalaksanaan
Business process dalam suatu organisasi memegang peran
penting dalam mewujudkan tujuan organisasi. Semakin tinggi tingkat
kompleksitas suatu organisasi maka semakin dibutuhkan suatu prosedur
atau mekanisme yang jelas, distandarkan dan diformalkan organisasi
sebagai jaminan konsistensi kualitas dalam pemberian layanan atau
pelaksanaan tugas lainnya. Selain itu juga untuk menghindari
kemungkinan terjadinya penyimpangan, serta menghindarkan/
meminimalisir dari kesalahan administrasi atau dampak hukum dari
pelaksana yang menjalankan kewenangannya.
Pemerintahan Desa Muara Kaman Ulu selama ini dijalankan
dengan prinsip kekeluargaan dan kegotong-royongan, dimana prinsip
“kepercayaan” menjadi modal dalam penyelenggaraan pemerintahan
Desa. Masyarakat tidak menuntut adanya formalitas aturan tentang
mekanisme kerja atau pemberian layanan yang dilaksanakan oleh
aparat Desa. Asalkan mendapatkan pelayanan, berapapun lamanya
waktu menunggu dan harus bolak-balik untuk melengkapi syarat
pengurusan layanan tidak akan dipersoalkan. Hal ini menyebabkan
aparatur desa cenderung menyukai status quo sehingga terjebak pada
bidang kerja yang sempit dan berfokus pada kepentingan diri sendiri.
Padahal dengan semakin menguatnya kewenangan yang dimiliki,
business process menjadi faktor kunci keberhasilan pelaksanaan
program dan kegiatan serta pemberian pelayanan kepada masyarakat
yang berkualitas.
Aparat desa hingga saat ini cenderung melaksanakan apa yang
menjadi kebiasaan dalam rutinitas kerjanya. Kondisi aparatur yang
cenderung tidak berubah (masa kerja sampai pensiun kecuali Kepala
Desa) serta perilaku masyarakat desa yang cenderung permisif dan
berlaku seolah sebagai “abdi” menjadi penyebab aparatur desa
selama ini tidak memikirkan sebuah sistem manajemen pengelolaan
desa yang menjamin pelaksanaan kegiatan dan pelayanan yang lebih
cepat dan berkualitas.
Mekanisme kerja internal dan antar lembaga dalam Pemerintahan
Desa yang jelas dan formal harus dapat menggantikan pola kerja yang
cenderung pada pola hubungan kekerabatan di Desa Muara Kaman
Ulu. Pola ini cenderung menimbulkan rasa “sungkan”, dan “ewuh
55
pakewuh” antar aparat dalam pelaksanaan tupoksi organisasi,
keengganan untuk mengkritisi kebijakan yang tidak/kurang sesuai, atau
menegur tindakan yang salah baik lembaga maupun individu.
Dampaknya permasalahan-permasalahan desa tidak pernah tuntas
dalam penanganannya. Sementara itu, keterbukaan belum menjadi
pilihan dalam pelaksanaan tupoksi Desa Muara Kaman Ulu saat ini.
56
Gambar 3.3 Komposisi Aparatur Desa Muara Kaman Ulu
57
Kartanegara yang notabene merupakan pembina pemerintahan Desa
untuk turut mengembangkan kompetensi aparatur desa bahkan juga
belum memiliki roadmap pengembangan SDM aparatur Desa.
Defisitnya anggaran Kabupaten Kutai Kartanegara sudah seharusnya
tidak menjadi alasan untuk mengesampingkan pengembangan
kompetensi aparatur Desa karena masih banyak alternatif model
pengembangan kompetensi yang bisa dilakukan. Desa dengan peran
barunya selayaknya seperti “pemerintah daerah kecil” sehingga
pelatihan teknis dan manajerial menjadi kebutuhan mendesak sebagai
syarat mutlak berhasilnya implementasi UU No. 6 Tahun 2015.
Selain permasalahan kompetensi, kesejahteraan aparat Desa
juga perlu mendapat perhatian oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
dan Pemerintah Kabupaten, khususnya di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Secara umum bahwa standar gaji aparat desa Muara Kaman Ulu masih
di bawah Upah Minimum Kabupaten. Tuntutan profesionalisme dan
harapan yang tinggi akan terwujudnya kemandirian desa tentunya
harus dibarengi dengan sistem penggajian yang menjamin kehidupan
aparat desa beserta keluarganya. Menjadi aparat desa saat ini
bukanlah merupakan pekerjaan sampingan, namun membutuhkan
keseriusan dari aparatur untuk melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya, bahkan harus terbiasa dengan jam kerja yang tidak menentu
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini
menyebabkan sebagian aparatur Desa saat ini hanya menggantungkan
kehidupannya pada penghasilan dari pekerjaannya sebagai aparat
Desa.
58
pembangunan desa dan masih sebatas pada kewajiban untuk
melibatkan masyarakat sebagai prasyarat ditetapkannya perencanaan
dan penganggaran Desa. Kecenderungan masyarakat Desa Muara
Kaman Ulu yang merasa puas dengan kondisi ekonomi mereka saat
ini sebagai dampak banyaknya bantuan langsung kepada masyarakat
kurang mampu pada kebijakan pembangunan desa sebelumnya dan
juga kekayaan alam yang cukup berlimpah pada musim-musim tertentu
juga berkonstribusi terhadap sulitnya aparat desa untuk bersama-sama
masyarakat mengembangkan Desa. Sangatlah sulit bagi aparat desa
untuk mewujudkan Desa mandiri tanpa adanya komitmen bersama
antara aparat desa dengan masyarakat desa itu sendiri.
Peran serta masyarakat yang masih cukup tinggi di Desa Muara
Kaman Ulu adalah dalam proses perencanaan kegiatan. Dalam proses
perencanaan pembangunan, masyarakat berpartisipasi mengusulkan
kegiatan melalui musyawarah RT. Selanjutnya kegiatan tersebut secara
berjenjang dimusyawarahkan sampai tingkat desa untuk menjadi
program yang definif dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP
Desa) tanpa melibatkan langsung masyarakat. Pada tahap pelaksanaan
kegiatan, masyarakat tidak secara langsung terlibat, baik dalam
prosesnya pelaksanaan maupun dalam pengawasannya. Hanya
masyarakat yang menjadi sasaran pemberdayaan yang terlibat aktif
dalam pelaksanaan pembangunan Desa dan Pemberdayaan
Masyarakat. Proses pemberdayaan melibatkan aparat Desa (Kasi dan
Kepala Dusun) serta Lembaga Pemberdayaan Masyarakat. Sementara
itu pengawasan pelaksanaan kegiatan dilaksanakan oleh Badan
Permusayawaratan Desa.
59
selayaknya berperan seperti DPR/D (legislasi, penganggaran, dan
pengawasan) dalam penyelenggaraan pemerintahan seharusnya dapat
mengembangkan peran mereka dalam mengedukasi masyarakat
dalam memahami model pembangunan desa saat ini disamping oleh
aparat desa sendiri mengingat mereka merupakan wakil masyarakat
dalam pemerintahan desa. BPD harus bisa menjadi mediator dalam
menjembatani kepentingan Pemerintah Desa dan masyarakat dalam
pembangunan desa, serta menjadi katalisator dalam mewujudkan
kemandirian desa. Peran ideal ini tentunya harus diimbangi pula dengan
kapasitas BPD. Anggota BPD yang masih minim pengalaman serta
pemahaman akan tugas barunya dalam penyelenggaraan pemerintah
desa menjadi kendala tersendiri untuk mendukung desa dalam
mewujudkan kemandiriannya.
Sementara itu, dari namanya, Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat (LPM), sudah semestinyanya memiliki peran penting dalam
kegiatan pemberdayaan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan
Desa yang saat ini lebih kompleks ruang lingkup pemberdayaan
masyarakatnya, menyebabkan LPM menjadi kurang maksimal dalam
menjalankan kewenangannya. Lagi-lagi kendala yang dihadapi oleh
LPM Desa Muara Kaman Ulu adalah bahwa mereka belum memiliki
kapasitas yang mumpuni dalam model pemberdayaan apalagi bahwa
arah pemberdayaan masyarakat Desa lebih kepada upaya
memampukan masyarakat Desa dalam kehidupan ekonomi mereka
atau memandirikan masyarakat dalam bidang ekonomi. Peran aparat
desa dan LPM yang belum maksimal dalam pemberdayaan masyarakat
menjadi sulit untuk menyukseskan program pemberdayaan masyarakat
yang digadang-gadang dalam mewujudkan desa mandiri, maju, kuat
dan demokratis sebagaimana yang diamanahkan Undang-Undang
Desa.
Penganggaran Desa
Filosofi Dana desa sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan
pembangunan desa melalui peningkatan pelayanan publik di desa,
memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan
60
pembangunan antar desa serta memperkuat masyarakat desa sebagai
subjek dari pembangunan. Secara spesifik penggunaan dana telah
ditetapkan prioritas penggunaannya oleh kementerian terkait setiap
tahunnya. Pada tahun 2016, dana desa diprioritaskan untuk
pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
Dalam PP Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP
Nomor 43 Tahun 2014 tentang aturan pelaksanaan UU Nomor 4 Tahun
2014 tentang Desa telah ditetapkan bahwa alokasi ADD untuk
penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat desa paling banyak
sebesar 60% untuk Desa dengan total ADD sampai dengan 500 Juta,
sementara desa dengan total ADD lebih dari 900 Juta hanya sebesar
30%. Pada penerapannya persentasi anggaran tersebut tidak hanya
diperuntukkan untuk penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat
desa namun juga untuk membiayai operasional perkantoran. Hal ini
harus dimaklumi mengingat dana desa tujuannya adalah untuk
mempercepat pembangunan wilayah perdesaan dan pemberdayaan
masyarakat.
Pada tahun 2015, Desa Muara Kaman Ulu memiliki APBDesa
sebesar Rp. 3.004.576.871. Alokasi untuk belanja pegawai sebesar 21,7%
sementara alokasi untuk belanja barang dan jasa sebesar 8,3% sehingga
total alokasi untuk belanja pegawai dan operasional sebesar 30%.
Sisanya sebesar 70% seluruhnya diperuntukkan untuk belanja modal.
Dilihat dari struktur belanja pegawai dan barang dan jasa, desa
memiliki beban besar tidak langsung untuk operasional desa, seperti
Belanja Operasional Lembaga Kemasyarakatan (RT, LPM, PKK, Karang
Taruna, Lembaga Adat Biasa, KPM, Posyandu), pemberian uang yang
diserahkan kepada masyarakat/kelompok masyarakat, dan honorarium
petugas sosial yaitu sebesar 17,82%. Beban ini secara signifikan
mengurangi alokasi anggaran desa untuk pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat.
Desa Muara Kaman Ulu pada tahun 2015 masih memprioritaskan
pembangunan sarana dan prasarana desa, seperti prasarana jalan dan
irigasi. Pemberdayaan masyarakat masih banyak terkait dengan
pembangunan sarana prasarana desa yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat belum mengarah pada model pemberdayaan yang
langsung menumbuhkan ekonomi masyarakat. Pembanguan sarpras
61
desa sangat penting untuk mendorong dan menumbuhkan ekonomi
desa, namun dampaknya tidak bisa langsung dirasakan oleh
masyarakat sehingga model pemberdayaan ekonomi masyarakat tidak
bisa dikesampingkan.
Model pengembangan usaha kecil melalui bantuan modal
peralatan di Desa Muara Kaman Ulu belum optimal bahkan bisa
dikatakan masih mengalami kegagalan. Pemerintah Desa Muara
Kaman Ulu telah menganggarkan pengadaan kolam terpal untuk
budidaya ikan masyarakat, namun sebagian besar penerima bantuan
mengalami kegagalan bahkan berhenti dalam melanjutkan usahanya.
Karakteristik Desa Muara Kaman Ulu yang berada di sepanjang alur
Sungai Mahakam bisa jadi telah mempengaruhi pola masyarakat dalam
budidaya ikan darat sehingga perlu penyesuaian yang cukup lama untuk
merubah pola budidaya ikan dalam kolam terpal. Oleh karena itu, perlu
dirancang model pemberdayaan yang dikaitkan dengan potensi desa
dan rencana pengembangan desa. Sementara itu, Pemerintah Desa
Muara Kaman Ulu belum memiliki rencana pembangunan jangka
menengah yang tersinergi dengan pembangunan sarpras desa dan
model pemberdayaan masyarakat. Menurut Kepala Desa Muara Kaman
Ulu yang menilai bahwa pola pikir masyarakat yang cenderung memiliki
prinsip “semuanya (setiap RT atau RW) harus mendapatkan bantuan
sarana produksi yang sama” juga memiliki andil akan sulitnya
pengembangan program dan kegiatan berbasis potensi dan
karakteristik lokal.
Desa Muara Kaman Ulu telah memiliki rencana pembangunan
jangka menengah, namun hanya sebatas matriks program, kegiatan
dan pembiayaan. Untuk mewujudkan desa mandiri, selaras dengan
lahirnya UU No. 6 Tahun 2014, Pembangunan Jangka Menengah Desa
seharusnya diselaraskan dengan arah pengembangan desa sehingga
program dan kegiatan yang direncanakan oleh desa dapat terintegrasi
dengan rencana anggaran untuk merealisasikan pengembangan desa.
Dalam Peraturan Menteri Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi,
penggunaan dana desa untuk pembangunan desa digolongkan pada
dua tipologi desa, yaitu desa tertinggal yang ditekankan pada
penyediaan sarpras untuk pemenuhan kebutuhan atau akses kehidupan
masyarakat desa, dan desa berkembang yang memprioritaskan
62
pembangunan sarpras pelayanan umum, dan sosial dasar dan yang
berdampak pada perluasan skala ekonomi dan investasi desa
(membuka lapangan kerja, padat teknologi tepat guna, dan investasi
melalui pengembangan BUMDesa). Sementara itu pada perencanaan
kegiatan pemberdayaan masyarakat desa digolongkan dalam 3 (tiga)
tipologi desa, yaitu desa tertinggal, berkembang, dan maju dan/atau
mandiri. Desa tertinggal berorientasi pada membuka lapangan kerja
dan atau usaha baru, bantuan penyiapan infratruktur kerja dan usaha
warga (dari proses produksi sampai pemasaran), serta pemenuhan
kebutuhan atau akses kehidupan masyarakat. Desa berkembang
memprioritaskan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas kerja dan/
atau proses produksi dan pemasaran serta pemenuhan kebutuhan atau
akses modal/fasilitas keuangan. Sementara desa maju dan/atau
mandiri mengembangkan program visioner dengan menjadikan desa
sebagai lumbung ekonomi atau capital rakyat.
Penggunaan dana desa yang didasarkan pada tipologi desa
(tertinggal, berkembang, maju dan/atau mandiri) akan menyebabkan
kesenjangan menuju kemandirian semakin lebar. Hal ini juga disebabkan
oleh alokasi dana desa yang relatif merata (komposisi 90:10), dimana
hanya sekitar 10% pembedanya padahal kebutuhan pengembangan
desa menuju kemandirian desa lebih tinggi untuk daerah tertinggal
dan berkembang. Desa tertinggal meskipun memiliki peluang untuk
melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat, namun tentunya akan
lebih menitikberatkan pembangunan sarpras yang memang masih
sangat dibutuhkan. Ketersediaan anggaran yang hampir sama akan
menyebabkan desa tertinggal sangat jauh mengejar ketertinggalan
dari desa berkembang dan maju mengingat dampak pembangunan
sarpras pada pertumbuhan ekonomi desa baru bisa dirasakan oleh
masyarakat pada jangka menengah (Medium term).
Desa Muara Kaman Ulu pada tahun 2015 lebih menitikberatkan
pembangunan sarpras untuk pemenuhan kebutuhan atau akses
kehidupan masyarakat desa. Porsi anggaran untuk pemberdayaan
masyarakat sangat kecil sehingga keberlanjutannya sulit untuk
dipertahankan. Meskipun ada keinginan kuat untuk melakukan
pemberdayaan masyarakat serta melaksanakan pembangunan sesuai
dengan potensi desa, kebijakan verifikasi perencanaan program dan
63
anggaran yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten bisa
menghambat pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa jika
tidak ada kesamaan persepsi terhadap arah pengembangan desa.
Dokumen RPJM Desa sangat penting sebagai media yang
menjembatani komunikasi antara Desa dengan Pemerintah Kabupaten.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Desa telah memahami filosofi
dari RPJM Desa disaat dokumen RPJM Desa sendiri belum dimiliki oleh
semua Desa, termasuk Desa Muara Kaman Ulu.
64
Untuk sumber daya manusia di Desa Bunga Jadi rata-rata
penduduknya berlatar belakang pendidikan SMP dan SMA. Ada
sejumlah sarjana yang dihasilkan dari Desa Bunga Jadi, dengan
kebanyakan spesialisasi ke pendidikan. Selain petani, warga desa juga
memiliki pekerjaan sebagai PNS, wiraswasta, pedagang, teknisi, serta
bekerja di sektor privat/ swasta. Namun memang sebagian besar
bekerja sebagai petani, baik sawah maupun kebun.
Saat ini Desa Bunga Jadi terdiri dari 5 Dusun, yaitu: 1.) Dusun
Sugih Kurnia I menaungi RT 01 s.d. RT 07; 2) Dusun Sugih Kurnia II,
menaungi RT 08 s.d. RT 14 dan RT 26; 3) Dusun Bukit Betali menaungi
RT 15, 16, 17, 25, dan RT 27; 4) Dusun Benua Harapan menaungi RT 18
s.d RT 20, serta; 5) Dusun Koram Baru yang menangui RT 21 s.d. RT 24
dan RT 28. Jumlah penduduk adalah 3771 jiwa dengan jumlah Kepala
Keluarga yaitu 1044 KK.
Infrastruktur di Desa Bunga Jadi sudah bagus, yang terdiri dari
bangunan/ gedung Pemerintahan Desa, jalan penghubung desa yang
sudah dicor, serta jembatan. Namun demikian masih perlu dibangunan
infrastruktur pendukung lainnya. Kondisi Desa Bunga Jadi bisa dilihat
dari gambar berikut ini:
65
a. Permasalahan Umum di Desa Bunga Jadi
Beberapa isu yang muncul di Desa Bunga Jadi dan cukup menarik
untuk dibahas antara lain sebagai berikut:
Aparatur Desa
Permasalahan budaya tertib, baik administrasi maupun kegiatan
menjadi permasalahan internal aparatur di Desa Bunga Jadi. Pj. Kepala
Desa yang sebelumnya berasal dari aparatur di Kecamatan menemukan
permasalahan tersebut. Sehingga saat ini mulai ada pembenahan.
Perubahan yang coba dimulai adalah untuk aparatur yang melakukan
perjalanan dinas, maka pulangnya harus membuat laporan perjalanan
sekaligus mempresentasikan. Artinya permasalahan faktor
kepemimpinan dapat mempengaruhi tertib administrasi, salah satu
tujuannya dalam rangka pengembangan kapasitas aparatur.
Saat ini juga terjadi perubahan pada lingkup koordinasi antar
lembaga desa dan para aparatur desa. Pada dasarnya aparatur desa
dan BPD sudah mulai bersinergi. Istilah yang dibangun untuk
menggambarkan betapa dinamis nya hubungan yang dibangun
digambarkan dengan semboyan “Lebih baik bakar depan daripada
bakar akhirnya”. Artinya untuk pembahasan dalam rangka
pembangunan desa harus total. Tidak menjadi permasalahan berdebat
di awal asal diakhirnya dapat disepakati dan dihasilkan solusi yang
bermanfaat luas bagi masyarakat desa. Keharmonisan juga Nampak
pada setiap kegiatan yang dilakukan, dipastikan terdapat unsur aparat
desa, BPD, dan juga LPM yang mewakili disana.
Saat ini desa Bunga Jadi dipimpin oleh Pj. Kepala Desa Karena
belum ada Kepala Desa definitif. Kekosongan ini terjadi Karena
memang Kabupaten Kutai Kartanegara baru akan melakukan pemilihan
kepala desa serentak di medio tahun 2016. Kekosongan yang terjadi
saat ini oleh Pj. Kepala Desa dimanfaatkan untuk melakukan
pembenahan di sisi administrasi dan kultur aparatur desa.
66
terkendala dalam penafsiran aturan perundangan yang berbeda antara
pemerintah daerah dan pemerintah desa. Sehingga menurut aparatur
desa, perlu banyak diskusi dan sosialisasi dengan pihak-pihak terkait,
baik dari kecamatan, kabupaten, dan tingkat diatasnya.
Desa tidak bisa sembarangan membentuk Perdes baru, artinya
pembentukannya harus merupakan prioritas desa dan memang urgen
untuk dibentuk. Contoh, untuk mengidentifikasi pungutan apa saja yang
memungkinkan dilakukan di tingkat desa. Perdes yang sudah dibentuk
antara lain, Perdes Jum’at Bersih, Perdes Pungutan Desa yang saat ini
sedang dilakukan proses perubahan, dan lain-lain.
Selain itu, Perdes APBDes harus segera diselesaikan agar
pencairan dana desa dan ADD segera dilakukan. Artinya saat ini kenapa
anggaran tersebut belum cair, karena masing-masing desa masih ada
yang belum selesai dalam penyusunan Perdes APBDes nya. Kendala
dalam penyusunan aturan desa tersebut adalah saat ini di desa harus
menggali potensi desa sendiri. Adanya keterbatasan pemahaman dan
implementasi teknis pembahasan substansi Perdes menjadi kendala
saat ini. Kasus di Desa Bunga jadi untuk saat ini belum punya bengkok,
namun punya dana desa dan ADD yang relatif lebih besar dibanding
desa-desa di Jawa. Namun, saat ini rencananya akan dilakukan
pembahasan untuk membuat perdes bengkok desa untuk mengelola
tanah desa seluas 600 Ha.
Menurut BPD, kebijakan pendanaan desa sebaiknya menyentuh
semua aspek di desa. Program PNPM seharusnya berlanjut, karena
dapat dikelola sesuai kebutuhan di desa, melingkupi anggaran prioritas
yang menyentuh hajat hidup orang banyak, anggaran campuran,
anggaran untuk perempuan, dan lain-lain.
Dari sudut pandang perangkat desa, mereka telah berupaya
berkerja maksimal, namun pendapatan belum sepadan. Bekerja di desa
ini bekerja perlu biaya operasional lebih besar Karena letak kantor
desa yang cukup jauh, sedangkan keluarga para aparatur di rumah
juga perlu makan. Artinya masih ada gap dalam hal pendapatan. Apa
yang terjadi saat ini masih belum seimbang. Ibarat tanaman kalau tidak
di pupuk bagaimana bisa tumbuh. Ini relevan dengan kenyataan
dilapangan bahwa pendapatan/ insentif yang sesuai akan mendorong
kinerja aparatur desa.
67
Honorarium atau pun gaji perangkat desa pernah diberikan per
triwulan. Namun demikian, akan lebih baik kalau gaji perangkat desa
ini diberikan per bulan. Jika belum ada aturan, sebaiknya pemerintah
kabupaten membuat aturan yang jelas dan sesuai kondisi di lapangan
mengenai permasalahan ini. Perangkat desa ini banyak melakukan
pekerjaan pelayanan, tapi jika pemasukan sehari-hari terhambat
bagaimana para perangkat desa ini fokus bekerja melayani masyarakat.
Menurut aparatur untuk menghindari sering telatnya gaji/ honor,
seharusnya bayar honor/ gaji perangkat desa ditarik ke Pemerintah
Daerah supaya tidak mengganggu ADD. Jadi ADD yang diterima fokus
untuk pengembangan program/ kegiatan yang memang dibutuhkan
di desa berdasarkan identifkasi permasalahan oleh aparatur desa dan
juga BPD serta LPM.
68
permasalahan tani lewat desa, namun masih terhambat di Kabupaten.
Harapannya adalah pengembangan desa bukan hanya di sektor
pertanian tanaman pangan saja, namun juga di sektor perkebunan.
Padi, jagung, dan kedelai (pajale) dapat dikembangkan di Desa
Bunga Jadi khususnya, dan desa lain disekitarnya pada umumnya.
Sehingga bisa dikatakan bahwa sebenarnya potensi pertanian di Desa
Bunga Jadi ini sangat besar. Jika dikembangkan akan mendorong
kekuatan ekonomi kerakyatan dan ketahanan pangan. Bagaimana
membangun sistem dan kapasitas masyarakat dan aparatur desa agar
bisa mencapai kinerja agar ekonomi kerakyatan dan ketahanan pangan
tadi bisa bergerak naik, itu yang masih menjadi masalah.
Masalah teknis lain di sektor pertanian antara lain adalah, PH
tanah di desa Bunga jadi rendah (5,5), sehingga produksi pertanian
khususnya padi, hanya bisa menghasilkan kurang lebih 4 – 4,5 ton/Ha.
Jaman dahulu terdapat program pengapuran yang bisa membantu
menjaga kondisi tanah, namun saat ini sudah tidak ada lagi program
pengapuran tersebut. Padahal seharusnya program itu dilakukan secara
kontinyu oleh pemerintah daerah. Namun SKPD terkait tidak pernah
lagi memasukkan program tersebut. Sehingga para petani di Desa
Bunga Jadi dan sekitarnya yang memiliki tanah ber PH rendah menjadi
bertanya-tanya, sebenarnya apakah SKPD Dinas Pertanian paham atau
tidak dengan berbagai permasalahan di lapangan.
Dari sisi LPM memberikan pandangan bahwa sebenarnya untuk
menetralisir PH tanah bisa dilakukan dengan potensi yang ada di desa.
Banyak sapi yang kotorannya bisa dimanfaatkan untuk permasalahan
tersebut. Namun demikian pemanfaatannya masih belum dikelola
dengan baik.
Permasalahan lain di sektor pertanian adalah saat ini tidak terjadi
keseimbangan antara hasil pertanian dengan harga pupuk dan ongkos
tenaga kerja. Menurut masyarakat desa keberhasilan sektor pertanian
di desa tergantung dari hasil pertaniannya. Bagaimana cara
menguatkan para petani, jika harga hasil pertanian di tingkat petani
seringkali rendah yang mengakibatkan ambruknya perekonomian di
desa. Sehingga hasil pertanian lebih baik dibuang daripada dijual
Karena harganya tidak sesuai dengan ongkos/ biaya yang telah
dikeluarkan. Kejadian ini pernah terjadi di Desa Bunga Jadi.
69
Pemasaran hasil pertanian juga masih menjadi kendala. Obat-
obatan untuk pertanian sulit dan jika ada harganya begitu mahal.
Masyarakat bertanya apakah bisa SKPD terkait dapat melakukan kontrol
harga obat-obatan pertanian yang beredar di desa. Selama harga
obat-obatan pertanian terlalu tinggi, bagaimana mungkin para petani
bisa sejahtera. Saat ini jika membeli pupuk dibatasi, dan kiosnya pun
sudah ditentukan. Selainitu banyak pengembang pertanian dan
perkebunan swasta yang terindikasi juga menggunakan pupuk subsidi.
Sehingga para petani tidak bisa bersaing dengan mereka, akibatnya
para penyuplai pupuk di tingkat desa kesulitan membagi distribusi
pupuk karena jumlahnya menjadi terbatas sekali.
Para petani menganggap bahwa saat ini yang belum bagus
kinerjanya adalah pada Dinas Pertanian. Sebagai contoh ketika Wakil
Bupati melakukan tinjauan ke desa, beliau marah pada saat turun ke
desa karena diminta macam-macam oleh para petani, seperti: pupuk,
bibit/ benih, alat pertanian, pestisida, dll. Menurut laporan Dinas terkait,
katanya sudah cukup, tapi pada saat turun langsung ke lapangan
ternyata ditemukan masih kurang. Sehingga diragukan validitas laporan
yang masuk, mana yang benar. Kenyataan dilapangan menunjukkan
jika memang para petani masih perlu banyak hal, tapi setiap tahun
dianggarkan, anggarannya selalu sisa. Sehingga ada indikasi jika
program dan kegiatan yang direncanakan di level SKPD tidak tepat
sasaran.
Menyikapi kesejahteraan petani memang perlu dilakukan
peningkatan SDM di Desa. Saat ini untuk petani sawah saat ini terjadi
pergeseran budaya. Mereka merasakan kehilangan kebiasaan
bergotong-royong. Persawahan sering tidak adil menerima distribusi
air, karena oleh kelompok-kelompok tani atau oleh para petani sendiri,
ditutup untuk kepentingan pengairan sawahnya sendiri atau
kelompoknya. Mungkin harus ada pembinaan dari SKPD terkait untuk
membangun kembali rasa kegotong-royongan di tingkat desa.
Bagaimana parit ini berfungsi secara maksimal perlu dibuatkan sistem
yang seharusnya bisa dipikirkan bukan hanya di level desa, tapi juga
di tingkat yang lebih tinggi lagi.
Harapan yang muncul dari berbagai permasalahan yang ada di
level masyarakat Desa Bunga Jadi, bahwa mereka ingin desanya
70
menjadi penghasil beras bukan penerima bantuan raskin. Mereka rindu
jika kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah bukan hanya wacana,
tapi action dilapangan.
b. Kapasitas Desa
Harapan yang timbul pasca adanya Undang-Undang Desa
dengan posisi, peran dan kewenangan desa, maka kewenangan desa
yang sebelumnya hanya bersifat target, namun saat ini kewenangan
desa lebih bersifat mandat. Kedudukan desa untuk menjadi self
governing community dan local self government, memberikan posisi
dan peran yang sangat besar dan luas dalam mengatur dan mengurus
desa. Model pembangunan yang dulunya bersistem Government driven
development atau community driven development, sekarang bersistem
Village driven development.
Mengacu pada harapan dan kondisi ideal sesuai aturan
perundangan tentu memiliki gap dengan kenyataan di tataran desa.
Meskipun demikian, adanya peraturan perundangan akan mendorong
para pengampu/ pelaksana pemerintahan desa untuk menuju kearah
kondisi ideal tersebut.
Untuk lebih mengkritisi kondisi desa (dari hasil temuan lapangan)
maka ada beberapa analisis dalam rangka mengurangi gap antara
kondisi riil di desa dengan kondisi ideal aturan perundangan, sesuai
dengan UU No. 6/2014 tentang Desa:
Pemerintahan Desa
Pada dasarnya payung hukum penyelenggaraan pemerintahan
desa di Kabupaten Kutai Kartanegara sudah memadai. Beberapa
aturan hukum tersebut antara lain:
a) Perda No. 3 Tahun 2015 tentang Pemilihan dan Pemberhentian
Kepala Desa;
b) Perbup No. 7 Tahun 2016 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintah Desa;
c) Perbup No. 8 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Desa;
d) Perbup No. 12 Tahun 2016 tentang Perubahan Perbup No. 50 Tahun
2015 tentang Tata Cara Pembagian Dana Desa Dari APBN;
71
e) Perbup No. 13 Tahun 2016 tentang Pedoman Pembangunan Desa;
f) Perbup No. 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengadaan Barang
dan Jasa di Desa.
72
a) Buku Data Peraturan Desa;
b) Buku Keputusan Kepala Desa;
c) Buku Administrasi Kependudukan;
d) Buku Data Inventaris;
e) Buku Data Aparat;
f) Buku Administrasi Pajak dan Retribusi;
g) Buku Data Tanah;
h) Buku Agenda Ekspedisi;
i) Buku Profil Desa;
j) Buku Data Induk Penduduk;
k) Buku Data Mutasi Penduduk;
l) Buku Rekapitulasi Jumlah Penduduk Akhir Bulan;
m) Buku Registrasi Pelayanan Penduduk;
n) Buku Data Penduduk Sementara;
o) Buku Anggaran Penerimaan;
p) Buku Anggaran Pengeluaran Pegawai dan Pembangunan;
q) Buku Kas Umum;
r) Buku Kas Pembantu Penerimaan, dan;
s) Buku Kas Pembantu Pengeluaran Rutin dan Pembangunan
73
Melihat potensi desa, daya dukung institusional, dan juga
anggaran yang ada maka sesungguhnya Desa Bunga Jadi bisa segera
berfokus pada pengembangan tidak hanya pertanian namun juga pada
bidang budidaya tanaman kebun (hortikultura). Pengembangan ini
tentu saja memiliki beberapa fase, dan pada tahap awal bisa dilakukan
penguatan kapasitas petani dan pekebunnya.
Selain itu penguatan kapasitas aparatur desa dalam hal statistik
sederhana bisa dilakukan. Hal ini dilakukan dalam rangka penguatan
basis data yang diperlukan untuk pengembangan menjadi desa
pertanian dan perkebunan. Saat ini, informasi yang dimiliki berdasarkan
buku profil desa masih belum lengkap. Oleh karenanya menjadi
penting untuk sama-sama antara aparatur dan juga para petani dan
pekebun untuk saling membagikan informasi yang terus menerus di
update datanya. Sehingga Desa Bunga Jadi memiliki data yang sifat
nya time series/ tahunan sebagai dasar menentukan berapa banyak
kebutuhan hasil pertanian dan perkebunan untuk konsumsi sendiri dan
juga untuk memenuhi permintaan pasar di luar Desa Bunga Jadi.
Berdasarkan permasalahan yang muncul dari hasil wawancara
mendalam, didapat bahwa faktor pendukung keberhasilan pertanian
dan perkebunan di Desa Bunga Jadi juga ditentukan oleh distribusi
pupuk, dan penggunaan pupuk oleh para petani dan pekebun. Tidak
adanya kebijakan yang implementatif di lapangan menyebabkan masih
seringnya para petani mendapatkan pasokan pupuk untuk lahan
pertaniannya. Sebenarnya, alternatif pupuk kompos cukup berpotensi
di Desa Bunga Jadi. Namun, belum ada kesepakatan diantara para
petani yang tergabung dalam Gapoktan, dalam penggunaan pupuk
organik tersebut. Sehingga pemakaiannya masih terbatas dikalangan
tertentu saja. Namun sekali lagi potensi tersebut cukup besar apabila
masing-masing kelompok tani bisa bekerja sama mengelolanya.
Program dan kegiatan dari pemerintah kabupaten yang dirasa
masih kurang menjadikan pengembangan pertanian sedikit terhambat.
Masih belum sinkronnya antara perencanaan di tingkat kabupaten
dengan kebutuhan ditingkat desa masih sering terjadi. Akibatnya para
petani di desa menjadi apatis menyikapi program dan kegiatan dari
pemerintah kabupaten, karena tidak berbasis pada data dan kenyataan
di lapangan. Oleh karenanya perlu dukungan konkrit dari pemerintah
74
kabupaten mengatasi permasalahan tersebut. SKPD terkait perlu turun
kelapangan, mengumpulkan informasi dan duduk bersama mencari
solusi di tingkat desa, sebelum di diskusikan dan selanjutnya menjadi
kebijakan di tingkat kabupaten. Situasi duduk bersama dan berdiskusi
menjadi harapan masyarakat Desa Bunga Jadi setiap kali kebijakan
dibuat, agar pada saat diimplementasikan, kebijakan tersebut bisa
optimal, dan memberi manfaat langsung kepada desa.
75
maupun pada level implementasi kebijakannya.
Salah satu cara untuk mendorong percepatan pencapaian kondisi
desa yang mandiri, adalah dengan melakukan peningkatan kapasitas
pada Sumber Daya Manusianya. Tentu, peningkatan ini dengan
memperhatikan kondisi sumber daya yang ada saat ini. Melihat
komposisi penduduk desa yang ada, maka peningkatan kapasitas dalam
hal teknis implementatif dan praktis lebih cocok dibanding dengan
hal-hal yang sifatnya teoretis.
Pada level pemerintah daerah perlu membuat kebijakan yang
diturunkan menjadi program dan kegiatan yang terlebih dahulu benar-
benar berdasarkan kebutuhan/ prioritas yang ada di desa. Permasalahan
dan kebutuhan yang ada untuk setiap desa tentu berbeda-beda, namun
bisa dilakukan clustering. Sehingga untuk Desa Bunga Jadi sebagai
desa berbasis pertanian, tentu akan mendapatkan bantuan program
dan kebijakan yang selaras dengan kebutuhan desanya.
Munculnya ketidak sinkronan antara kebijakan dan implementasi
kebijakan seperti diuraikan di permasalahan, menjadi indikasi tidak
match/ tidak sesuainya kebutuhan dengan program dan kegiatan yang
turun ke desa. Tidak hanya alokasi anggaran saja yang turun ke desa,
namun pengelolaan anggaran sesuai dengan kebutuhan perlu
dilakukan pendampingan.
Program dan kegiatan yang bisa dilakukan secara bertahap
antara lain adalah:
a) Pendidikan dan pelatihan penyelenggaraan pemerintahan desa
bagi aparatur desa. Hal ini dimaksudkan tidak hanya membekali
para aparatur dengan pengetahuan yang cukup mengenai
penyelenggaraan pemerintahan desa saja, tetapi juga melatih
mereka untuk lebih tertib administrasi, akuntabel, memiliki kinerja
tinggi, dan melayani sepenuh hati.
b) Pelatihan dan pendampingan pertanian bagi kelompok-kelompok
tani sesuai dengan kebutuhan yang muncul dari para petani itu
sendiri.
c) Advokasi dan pendampingan pengelolaan keuangan desa, yang
bersinergi antara apparat desa, BPD, LPM, dan komponen
masyarakat lainnya. Sehingga penggunaan anggaran bisa efektif-
efisien dan tepat sasaran.
76
d) Advokasi, pelatihan, serta pendampingan untuk menggali dan
memberdayakan potensi desa yang ada. Pengembangan potensi
pertanian dari tradisional ke modern, maupun rencana
pengembangan hortikultura perlu perencanaan yang matang dari
hulu sampai hilir. Sehingga pada saat diimplementasikan semua
komponen masyarakat bisa bersinergi dan mencapai hasil yang
optimal.
e) Dukungan serta komitmen yang kuat dari Kepala Daerah untuk
mengembangkan Desa menjadi desa yang mandiri agar tercapai
tujuan desa sebagai self governing community dan local self
government dalam waktu yang tidak lama.
77
Kecamatan Tenggarong Seberang memiliki luas wilayah 464,25 km2
dengan jumlah penduduk 69.477 jiwa pada 2015 yang tersebar di 18
desa (BPS Kabupaten Kutai Kartanegara, 2016c). Desa yang menjadi
lokus penelitian ini adalah Desa Teluk Dalam dan Desa Embalut.
78
Gambar 3.5 Aset-Aset Pemkab Kutai Kartanegara di Desa Teluk
Dalam
79
Jumlah penduduk Desa Teluk Dalam berdasar sensus di tahun
2014 sebesar 1.694 jiwa,dengan kepala keluarga 462 KK. Jumlah
penduduk usia 6 s/d 15 tahun adalah 326 jiwa, dan usia 16 s/d 60
tahun adalah 920 jiwa atau sekitar 54,31% adalah usia produktif.
Masyarakat desa Teluk Dalam mata pencaharian terbesarnya adalah
wiraswasta 24,03 %. Dari 462 KK yang ada, yang termasuk penduduk
miskin di desa ini kurang lebih 74 KK di tahun 2014. Dari segi
pendidikan, penduduk desa teluk dalam yang telah lulus SLTA/sederajat
hingga S2 mencapai 32,8%.
Perekonomian masyarakat desa Teluk Dalam, menurut Kades,
untuk bertani di Desa Teluk Dalam saat masih serba salah, dikarenakan
minimnya lahan yang ada, sarana pertanian juga belum lengkap dan
belum mendapat dukungan. Ada 19 petani aktif di Desa Teluk Dalam.
Sedangkan masyarakat yang memiliki usaha ternak/unggas dan
perikanan yang meliputi ternak ayam, sapi, kolam terpal, burung wallet,
keramba, budidaya lebah madu, ternak jangkrik sejumlah 64 orang.
Selain tani dan ternak, sebagian masyarakat juga bekerja di sektor
swasta. Masyarakat di sektor swasta sejumlah 47 orang, wiraswasta
407 orang, dan untuk karyawan swasta 30 orang. Minimnya lahan untuk
pertanian, menurut Kepala Desa juga karena masyarakat yang dulunya
banyak menjual tanah-tanahnya karena faktor ekonomi, sehingga
banyak tanah kaplingan, seperti di belakang Putri Karang Melenu, dan
di sekitar RS Parekesit, di belakang RS maupun di belakang Kantor
Desa yang memang dekat dengan RS, termasuk aset Pemkab yang
juga berada di wilayah desa, termasuk asrama atlet, serta perumahan
yang cukup banyak, sehingga lahan pertanian atau perkebunan sulit
dijalankan di Desa Teluk Dalam. Namun untuk peternakan masih
berpotensi untuk dikembangkan, khususnya sapi. Sedangkan untuk
ternak lain, seperti kambing pernah dilaksanakan, namun tidak bertahan
lama, juga pengembangan keramba, dikarenakan faktor cuaca tidak
mendukung, juga sulit dilaksanakan. Berbeda dengan beberapa desa
lainnya di Kecamatan Tenggarong Seberang, Desa Teluk Dalam tidak
memiliki/bukan merupakan area tambang, sehingga dari pihak aparat
sendiri dengan banyaknya aset Pemkab, muncul warung-warung
masyarakat di lahan Pemkab yang diantisipasi aparat desa dengan
Surat Pernyataan siap membongkar bila di kemudian hari diminta
kembali oleh Pemkab.
80
Fasilitas ekonomi seperti pasar, bank dan minimarket bagi
masyarakat desa Teluk dalam cukup mudah diakses dengan lokasi yang
dekat kabupaten. Dengan banyaknya aset Pemda, seperti RS Parekesit,
dan mulai ramainya Jembatan Kukar serta maraknya perumahan,
menggeliatkan perekonomian sekitarnya dengan bermunculan usaha-
usaha di sepanjang jalan menuju Jembatan. Rumah daerah pinggir
jalan rata-rata berdagang/berjualan sembako dan usaha lainnya. Dari
profil desa di tahun 2014, diperoleh data:
81
Permasalahan Umum di Desa Teluk Dalam
Terbitnya UU No. 6/2014 arahnya untuk mewujudkan desa yang
mandiri, dimana ada keterlibatan semua pihak untuk pembangunan
desa. Bagi aparat desa, hadirnya UU ini disikapi dengan berbagai
pendapat yang pada dasarnya berupaya menjalankan amanat Undang-
undang.
Beberapa pernyataan unsur/aparat desa di wilayah Kecamatan
Tenggarong terkait ‘kebingungan’ mereka bahwa:
1) “Undang-Undang No 6, muncul di tahun 2014, namun sampai hari
ini hanya Perbup yang ada dan kesannya terburu-buru, dan yang
jadi korban adalah desa, dari segi aturan, karena tidak jelas, juga
dari segi pengelolaan, karena ada ketidaksinkronan antara
Inpektorat di Kabupaten dengan Permendes, dalam artian Undang-
Undang yang digunakan sama, namun dalam menerjemahkannya
berbeda, dan ini berimbas ke bawah/desa. Pada saat pemeriksaan
oleh Inspektorat, sebenarnya telah diverifikasi oleh Kecamatan dan
Bapemas, namun Inspektorat bilang salah, jadi setidaknya ada
juknis dan juklak yang jelas dalam menjalankan”.
2) “Secara teknis, Peraturan Bupati No 7 tahun 2016 dan SE Bupati
Kukar menjelaskan diberlakukannya perubahan struktur organisasi
desa mulai tahun 2016, dan terkait status desa masih
membingungkan (swadaya, dan lainnya), yang online itu,
sedangkan RAPBDes, baru 2 desa yang mengajukan, dan desa lain
masih dalam proses”.
3) “Mau melaksanakan yang ini, takut dengan UU yang lain, serba
salah untuk melakukan pembangunan desa, karena jangan sampai
desa membuat suatu kebijakan, yang akhirnya bertentangan
dengan peraturan”.
4) “Di desa masih bingung, mengikuti Kementerian Dalam Negeri
ada Kementerian Desa, sebaiknya satu saja yang harus diikuti
sehingga kami tidak bingung, dan lebih fokus dalam menerapkan”
5) “Aturan/regulasi dari pusat membingungkan”
6) “Untuk pelimpahan kewenangan kami masih ‘meraba-raba’, belum
ada rambu-rambu bahkan surat kayu, tambang juga bagaimana
kewenangan kami terkait surat-surat”.
82
Dari berbagai pernyataan aparat desa di atas, nampak masih
banyak ‘kebingungan’ dari aparat desa terkait penerapan UU baru
tersebut. Bahwa Pemerintah Kabupaten telah menerbitkan Peraturan
Bupati sebagai penerapan dari Undang-undang ini, diantaranya dengan
Perbup No. 7 tahun 2016 tentang struktur organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa, Perbup No. 8 Tahun 2016 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Desa, Perbup No. 12 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Peraturan bupati No. 50 tahun 2015 tentang Tata cara
Pembagian dan Penetapan Rincian Dana Desa untuk setiap desa di
Kabupaten Kutai Kartanegara, Perbup No. 13 Tahun 2016 tentang
Pedoman Pembangunan Desa, Perbup No. 14 Tahun 2016 tentang Tata
cara Pengadaan Barang dan jasa di desa serta Perda No. 3 tahun 2015
tentang Pemilihan dan Pemberhentian Kepala Desa. Namun, bagi
aparat desa di berbagai Peraturan tersebut masih sulit dipahami untuk
diterapkan. Terindikasi bahwa sosialisasi penerapan UU Desa dan
berbagai Peraturan Bupati dan Peraturan Daerah yang mengikutinya
belum diterima dan dipahami oleh aparat desa. Permasalahan lain
yang nampak adalah ada ‘kebingungan’ dari aparat untuk mengacu/
menjalankan Peraturan-peraturan dari pusat (Kementerian),
bagaimana mensinergikan peraturan Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Desa agar dapat diterapkan. Bahkan ada ketakutan dari
aparat desa untuk menyiapkan peraturan desa agar tidak bertentangan
dengan peraturan-peraturan di atasnya dalam upaya penyelenggaraan
pembangunan di desanya.
Permasalahan lain yang disampaikan adalah adanya anggapan
bahwa rencana/usulan yang disampaikan dari desa ke kabupaten
hanya akan menjadi usulan. Usulan yang disampaikan desa, belum
diakomodir/tertangguhkan hingga beberapa tahun. Aspirasi
masyarakat dari bawah masih dianggap belum diakomodir di
kabupaten. Adanya sikap pesimistik ini tentunya akan menghambat
upaya pembangunan desa itu sendiri, padahal dengan UU Desa
sebenarnya desa melalui BUMDes dapat mendayagunakan segala
potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber
daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa. BUMDes juga dapat menghimpun
tabungan dalam skala lokal masyarakat desa antara lain melalui
83
pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam. Hal ini mengarah
kepada terwujudnya desa mandiri. Aparat desa dan masyarakat desa
di’pancing’ untuk kreatif dan inovatif dalam menggerakan
pembangunan desanya.
Dari segi kesiapan SDM (aparat) desa, ternyata cukup banyak
SDM yang merupakan sarjana, namun disampaikan oleh beberapa
Kades, bahwa meskipun Sarjana banyak, namun kinerjanya belum
terlihat. Permasalahan lainnya terkait SDM Desa masih dianggap belum
sesuai harapan dan membutuhkan pelatihan, disamping pimpinan/
Kades tetap memberikan arahan dan bimbingan dan tidak tergantung
dengan pelatihan yang membutuhkan anggaran/dana. Permasalahan
lain di bidang SDM adalah pelatihan yang diberikan kepada perangkat
desa nyatanya karena pergantian pemimpin/kepala desa, komponen/
perangkat desa ikut diganti, termasuk perangkat yang sudah ikut
pelatihan, sehingga kemampuan aparat desa masih kurang.
Begitu pula dengan dengan BPD, yang seharusnya sinergi dengan
kepala desa dan perangkatnya dalam menjalankan pemerintahan desa,
namun kenyataannya masih banyak BPD yang belum mengerti tupoksi
dan peraturan perundang-undangan, sehingga juga perlu dilakukan
pembinaan. Dalam pelaksanaan pembangunan desa, aparat desa, yakni
Kades dan perangkatnya bersama dengan BPD saling terbuka, bahu
membahu dalam membangun desa, BPD mengawasi dan memberikan
masukan terhadap penyelenggaraan pembangunan desa, sehingga
sinergi antara BPD dengan aparat desanya.
Pada UU No. 6/2014 Pasal 72, sumber pendapatan desa terdiri
pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah
kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan
daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, alokasi anggaran dari
APBN, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/
Kota serta hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.
Bantuan keuangan dari ABPD diberikan sesuai dengan kemampuan
keuangan Pemda yang bersangkutan. Dalam Permendagri No. 113
tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, PAD Desa terdiri atas
a) hasil usaha (antara lain hasil BUMDes, dan tanah kas desa), b) hasil
aset, c) swadaya, partisipasi, dan gotong royong, dan d) Lain-lain
pendapatan asli desa (antara lain hasil pungutan desa). Bagi pemerintah
84
kabupaten yang mengandalkan sektor pertambangan, dengan
pengaruh turunnya harga hasil pertambangan menjadikan anggaran
yang diterima untuk pengelolaan desanya berkurang. Hal ini menjadi
permasalahan umum di hampir seluruh desa di Kecamatan Tenggarong
Seberang. Bahwa dengan kewenangan yang besar di satu sisi memberi
kesempatan bagi aparat desa untuk membangun desanya, namun hal
ini juga mengindikasikan semakin besarnya beban aparat desa, dan
tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraannya. Karenanya
desa harus mandiri, agar ketika ada penurunan pada PAD Kabupaten,
desa tetap mandiri dan tidak terpengaruh, dengan PAD Desa yang
besar, meskipun Dana Perimbangan kecil, pembangunan desa terus
berjalan.
Permasalahan di Desa Teluk Dalam tidak jauh berbeda, adanya
kebingungan penerapan UU No. 6/2014, dan dalam upaya
menerapkannya akan segera membentuk BUMDes untuk
menggerakkan ekonomi masyarakatnya. Begitu pun dalam hal
anggaran, adanya penurunan dana ADD menjadi keluhan bagi aparat
desa untuk menggiatkan peran lembaga dan organisasi desa karena
justru dari ADD kegiatan fisik swakelola lembaga. Anggaran desa yang
memang sudah kecil semakin kecil. Anggaran yang ada diarahkan untuk
membayar gaji aparat desa, termasuk insentif kepada 4 Ketua RT di
wilayah Desa Teluk Dalam. Upaya membentuk BUMDes diharapkan
dapat memberdayakan masyarakat desa dan meningkatkan
kemandirian desa. Permasalahan tentang SDM oleh Kepala desa
disampaikan lebih kepada kuantitas, kurangnya tenaga/perangkat desa
untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, apalagi dengan
penambahan kewenangan yang menjadi tanggung jawab aparat desa.
Secara kualitas, selalu dianggarkan pelatihan kepada perangkat dan
perwakilan lembaga untuk peningkatan kapasitas SDM.
Dengan kewenangan yang baru, pemerintah desa diminta untuk
tidak hanya menyelenggarakan urusan pemerintahan, namun
diantaranya harus mampu memberdayakan dan membina masyarakat
desa. Berdasarkan profil Desa Teluk Dalam 2014 diketahui beberapa
permasalahan di bidang ekonomi yang berkaitan dengan SDM Desa
Teluk Dalam, yakni 1) 70 persen penduduknya tidak memiliki
penghasilan tetap dan pengangguran. Bila ditilik lagi, sebanyak 15
85
persen penduduknya merupakan pengangguran, 15 persen sebagai
buruh kasar, dan 10 persen menjadi petani dan ladang; 2) Hasil
pertanian kurang. Selain karena memang lahan-lahan telah dijual dan
beralih menjadi tanah kapling, hal ini karena minat masyarakat untuk
bertani kurang, alat dan perlengkapan pertanian juga kurang dan
adanya gagal panen karena hama dan bencana banjir; 3) Pengangguran
yang semakin bertambah karena kurangnya lapangan pekerjaan. Oleh
Pemerintah desa, disebutkan bahwa ini terjadi karena banyak
perusahaan yang merugi dan mengurangi pekerjanya serta kurang
disiplinnya pekerja; 4) Kekurangan modal usaha; 5) keterampilan di
bidang industri kecil masih kurang. Ini disebabkan karena belum adanya
pelatihan di bidang industri kecil dan usaha rumah tangga; dan 6)
kualitas SDM-nya masih rendah dalam pengembangan ekonomi.
Bahwa kemampuan dalam berwiraswasta masih belum mencukupi,
ditambah belum adanya mitra kerja. Selain itu masyarakat masih
menganggap pemberian bantuan usaha sebagai bantuan sosial, dan
pemanfaatan dana produktif menjadi konsumtif.
Kapasitas Desa
Pemerintah Desa Teluk Dalam terdiri dari Kepala desa, Sekretaris
desa, Kepala Urusan Pemerintahan, Kepala Urusan Pembangunan,
Kepala Urusan Umum, Unsur pelaksana teknis Bendahara desa yang
mengelola pembukuan keuangan, dan dibantu seorang Pelaksana
Penatausahaan Keuangan desa. Unsur lain dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa di Teluk Dalam adalah Badan Permusyawaratan
Desa (BPD). Badan Permusyawaratan Desa merupakan lembaga yang
melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil
dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan
secara demokratis. Untuk jumlah anggota Badan Permusyawaratan
Desa ditetapkan dengan jumlah gasal, dan paling sedikit 5 orang dan
paling banyak 9 orang dengan memperhatikan wilayah, perempuan,
penduduk, dan kemampuan keuangan desa. Sebagai mitra Kepala desa
dan perangkatnya dalam penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan kepada masyarakat desa, fungsi BPD sesuai UU Desa
adalah membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa
bersama Kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi
86
masyarakat desa dan melakukan pengawasan kinerja Kepala desa. BPD
Desa Teluk Dalam terdiri dari 1 orang Ketua, 1 orang Wakil Ketua, 1
orang Sekretaris dan 1 orang anggota. Anggota Badan
Permusyawaratan Daerah Desa Teluk Dalam terdiri dari 3 komisi yang
sekaligus melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan,
meliputi hukum, keuangan dan pembangunan. Jika dibandingkan
dengan jumlah yang minimal dalam Perbup No. 7 Tahun 2016, yang
mensyaratkan jumlah gasal dalam keanggotaan BPD, maka BPD Desa
Teluk Dalam perlu berbenah menata keanggotaannya yang masih
dibawah batas minimal dan berjumlah genap.
87
yang menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif dalam
kegiatan pembangunan di desa. Lembaga desa yang ada di Desa Teluk
Dalam diantaranya Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), PKK,
Karang Taruna, RT, Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) dan
Lembaga Perkreditan Rakyat (LPD). LPM (dalam Profil desa Teluk Dalam
2014) berfungsi untuk menampung, memfasilitasi dan menyalurkan
aspirasi masyarakat desa. PKK berfungsi untuk menampung kegiatan
ibu-ibu di Desa Teluk Dalam, khususnya dalam pengurusan Posyandu
dan kegiatan keagamaan. Karang Taruna memfasilitasi kegiatan anak
muda di desa, yang diarahkan pada upaya peningkatan perekonomian
desa. Rukun Tetangga sebagai lembaga kemasyarakatan desa yang
membantu pelaksanaan tugas pelayanan pemerintahan, perencanaan
pembangunan, ketertiban dan pemberdayaan masyarakat desa. Rukun
Tetangga (RT) di Desa Teluk Dalam hanya 4 RT. Jumlah ini berbeda
jauh dengan beberapa desa lainnya di Kecamatan Tenggarong
Seberang, yang memiliki hingga 20-an RT. Dalam Undang-Undang
disebutkan mempertimbangkan bahwa RT dan RW walaupun
merupakan lembaga kemasyarakatan, namun perannya yang
membantu pelayanan pemerintahan di tingkat terdepan ke masyarakat,
maka dapat dialokasikan insentif kepada RT dan RW dalam belanja
desa. Dengan penurunan ADD yang diterima desa, beberapa desa di
Tenggarong Seberang yang memiliki cukup banyak RT ini (bahkan yang
hanya 4 RT) lebih berkonsentrasi pada pembiayaan penyelenggaraan
pemerintahan, namun tetap berupaya menjalankan Undang-Undang
Desa yang baru untuk melaksanakan pembangunan desa, pembinaan
kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Lembaga
lainnya, KPM berfungsi memberdayakan masyarakat desa dalam hal
pembangunan desa. LPM dan KPM yang ada di desa ini secara fungsi
menunjukkan adanya upaya dari kelompok masyarakat untuk
memberdayakan masyarakat, namun jika dilihat kembali ke
permasalahan yang ada di Desa Teluk Dalam, nampak bahwa upaya
pemberdayaan masyarakat khususnya dalam peningkatan
kesejahteraan/ekonomi masyarakatnya masih belum jalan. Pelimpahan
kewenangan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat ke Pemerintah
Desa dengan adanya Undang-undang yang baru, ditambah dengan
akan dibentuk BUMDes di Desa Teluk Dalam sebagai upaya desa untuk
peningkatan ekonomi dan pembangunan, pemberdayaan masyarakat
88
desa dan nantinya juga sarana untuk pemberian bantuan untuk
masyarakat miskin melalui hibah, bansos, dan kegiatan dana bergulir
yang ditetapkan dalam APBD Desa. Dengan kondisi kualitas SDM desa
yang diakui masih rendah khususnya dalam pengembangan
ekonominya, menjadi ‘PR’ besar bagi Pemerintah desa untuk berupaya
terus menggali potensi desanya dan berinovasi dalam upaya
pemberdayaan masyarakatnya. Posisi/letak desa yang banyak/dekat
dengan aset pemerintah kabupaten seharusnya bisa bisa dilihat juga
sebagai keuntungan bagi arah pembangunan Desa Teluk Dalam.
Sedangkan LPD sebenarnya merupakan lembaga yang dibentuk
dan dimodali oleh Pemerintah Kabupaten, yang mempunyai fungsi
usaha pinjaman lunak untuk disalurkan kepada masyarakat yang
mempunyai usaha produktif supaya mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa.
Pelibatan unsur masyarakat dalam memantau dan terlibat dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa, menurut Kepala Desa terus
dilaksanakan. Pendekatan kegotongroyongan diterapkan Pemerintah
desa dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pelibatan dalam
perencanaan pembangunan desa mulai dengan Musren RT yang
selanjutnya dibawa ke Musrenbangdes yang juga dipantau oleh aparat
kecamatan dengan melibatkan semua unsur masyarakat, dari
pemerintah desa, BPD dan lembaga kemasyarakat desa. Pemerintah
desa juga sering mengadakan rapat-rapat lain yang melibatkan
lembaga-lembaga dan BPD, yang dilakukan hampir sebulan sekali,
dan bila ada permasalahan yang membutuhkan masukan dari
masyarakat langsung mengundang lembaga-lembaga tersebut.
89
prasarana umum lainnya, dengan total jumlah penduduk perempuan
sebanyak 1.110 orang dan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1.283,
dan total keseluruhan adalah 2.393 jiwa. Mata pencaharian mayoritas
penduduk Desa Embalut adalah bekerja pada sektor pertambangan,
kemudian disusul dengan sektor pertanian.
Desa Embalut mempunyai visi “Mewujudkan masyarakat yang
sejahtera melalui peningkatan sumber daya manusia”. Sedangkan
misinya adalah :
1. Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan;
2. Mengembangkan agribisnis berbasis kelompok;
3. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
4. Meningkatkan pelayanan masyarakat;
5. Mengembangkan ekonomi masyarakat desa;
6. Meningkatkan sarana dan prasarana keagamaan.
90
Prestasi ini cukup membanggakan karena penghargaan yang diraih
bukan hanya pada ranah lokal saja, tetapi sudah pada tingkat nasional.
Prestasi tersebut juga disinyalir sebagai buah keberhasilan Kepala Desa
dan jajarannya dalam memanfaatkan kemajuan teknologi untuk
menciptakan sistem informasi dan kinerja pemberdayaan masyarakat
secara online.
Selain jalan, infrastruktur dasar lainnya seperti pendidikan dan
kesehatan juga dimiliki oleh Desa Embalut. Sampai dengan saat ini
terdapat dua buah lembaga pendidikan agama, satu buah tempat
bermain anak, satu buah Taman Kanak-Kanak, satu buah Sekolah Dasar,
satu buah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan satu buah Sekolah
Lanjutan Tingkat Akhir. Semua gedung yang dipakai untuk kegiatan
belajar mengajar tersebut masih berstatus sewa, dan belum memiliki
gedung sendiri. Selain sekolah, juga terdapat satu unit perpustakaan
desa / kelurahan yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan
masyarakat. Untuk sarana kesehatan, desa ini memiliki satu unit rumah
sakit bersalin, satu unit toko obat, tiga unit posyandu, dua unit
puskesmas pembantu, dan satu unit puskesmas.
Dari profil Desa Embalut Tahun 2015, juga diketahui bahwa untuk
sarana dan prasarana lain sudah cukup lengkap dimiliki oleh Desa
Embalut. Misalnya saja untuk penerangan / listrik, air bersih, tempat
ibadah, sarana olahraga, sarana komunikasi dan informasi, serta sarana
91
transportasi bisa dikatakan tidak menjadi masalah di desa tersebut.
Tetapi fasilitas ekonomi seperti bank, minimarket, dan toko-toko besar
tidak dapat ditemukan di desa ini. Toko kelontong sederhana milik
beberapa warga menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat untuk
membeli beberapa kebutuhan rumah tangga, dan juga dimanfaatkan
anak-anak mereka untuk membeli aneka jajanan ringan, selain Koperasi
Unit Desa (KUD) yang juga telah dibentuk, serta “pasar hambat”
(hambat = pagi) yang juga telah memiliki bangunan sendiri.
92
dilakukan pada tahun 2015, sehingga anggaran yang tersisa
dimasukkan kembali pada dana desa tahun 2016. Ke depannya,
Desa Embalut akan terus melakukan program semenisasi jalan
sehingga pembangunan jalan yang baik dapat dilakukan secara
merata. Sampai dengan saat ini tercatat sejauh 3 km jalan besar
yang merupakan akses utama menuju Desa Embalut masih belum
mengalami proses semenisasi.
3. Tahun 2016, Desa Embalut mengalami defisit anggaran, sehingga
beberapa program kegiatan mengalami penyesuaian dengan
anggaran yang tersedia. Namun dengan adanya kondisi ini tidak
membuat Kepala Desa Embalut beserta jajarannya berhenti untuk
berupaya melakukan pembangunan desa. Hal yang dilakukan
dalam menghadapi kondisi ini adalah dengan memanajemen
biaya atau anggara secara optimal. Upaya lain yang dilakukan
adalah dengan memanfaatkan program CSR yang dimiliki oleh
perusahaan-perusahaan yang ada di sekitar desa, yang sampai
dengan saat ini tercatat dua perusahaan yang masih beroperasi,
yaitu PT. Kitadin dan PT. Gerbang Daya Mandiri. Perusahaan
menawarkan bantuan materi yang dituangkan dalam bentuk
program dan kegiatan yang diusulkan oleh pemerintah desa sesuai
dengan kebutuhan. Misalnya di tahun 2016 ini Desa Embalut
mendapatkan total dana Rp. 180.000.000,- dari perusahaan, yang
diimplementasikan dalam beberapa program kegiatan di segala
aspek, yaitu aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan,
infrastruktur, dan lain sebagainya.
4. Adanya dana atau anggaran desa yang sangat terbatas membuat
pegawai yang bekerja di kantor desa tidak dapat secara maksimal
meningkatkan kompetensinya melalui program diklat atau
pelatihan berbayar. Namun demikian, adanya program diklat atau
pelatihan baik yang dilakukan oleh pihak Kabupaten Kutai
Kartanegara, maupun Provinsi Kalimantan T imur telah
dimanfaatkan secara maksimal.
94
nelayan, satu unit forum komunikasi kader pemberdayaan masyarakat,
dan satu lembaga adat. Sedangkan untuk menjaga keamanan dan
ketertiban di lingkungan masyarakat, Desa Embalut membentuk
organisasi Siskamling dengan 10 orang jumlah anggota Hansip /
Linmas. Secara rutin, Kepala Desa akan memberikan laporan kinerja
penyelenggaraan tugas, wewenang, hak serta kewajibannya keapada
BPD, Camat, dan Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai bentuk
transparansi dan akuntabilitas.
Dilihat dari aspek pendidikan, sumber daya manusia yang
diperkerjakan di Kantor Desa Embalut memiliki kualifikasi pendidikan
yang tinggi, dimana saat ini mereka dipimpin oleh seorang Kepala
Desa yang mempunyai pendidikan terakhir S3 (Doktor), dan Seketaris
Desa mempunyai pendidikan terakhir Strata 2. Sedangkan untuk
pegawai lainnya mengenyam berbagai macam pendidikan terakhir,
mulai dari SD sampai dengan Strata 1. Demikian pula halnya dengan
BPD yang ada, dimana Ketuanya memiliki pendidikan terakhir SLTA,
Sekretarisnya lulusan Diploma, dan anggota lainnya juga memiliki latar
belakang pendidikan yang berbeda pula, mulai dari SD sampai dengan
SLTA. Namun sejak tahun 2007, sekitar 80% pegawai telah mengenyam
pendidikan S1, karena Kepala Desa selalu berusaha menekankan
kepada pegawainya untuk terus melanjutkan pendidikan yang lebih
tinggi lagi agar kualitas dan kompetensi yang ada dapat terus
meningkat.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Desa Embalut juga
telah memiliki sebuah kantor Desa yang sangat representatif, yang di
dalamnya dilengkapi dengan berbagai macam informasi yang
menghiasi dinding-dinding kantor. Dari beberapa desa yang tim
kunjungi di Kecamatan Tenggarong Seberang ini, gedung kantor desa
ini merupakan gedung yang paling baik dan representatif. Berikut ini
merupakan beberapa gambar yang dapat menggambarkan situasi dan
kondisi kantor tersebut.
95
Gambar 3.10 Tampak Depan Kantor Desa Embalut
96
menyusun sebuah Master Plan yang dinamakan dengan Master Plan
Desa Embalut Impian, yang bertujuan untuk meningkatkan
pembangunan Desa Embalut dalam jangka menengah dan jangka
panjang.
97
Walaupun didominasi kawasan hutan dan perkebunan, namun
desa ini diuntungkan dengan lokasinya yang merupakan akses utama
menuju Kabupaten Kutai Timur (Kutim) dan Kota Bontang. Hal ini
karena Desa Santan Ulu dilalui jalan provinsi yang merupakan jalan
utama penghubung Kota Samarinda dengan Kabupaten Kutim dan
Kota Bontang. Bahkan akses masyarakat di desa tersebut terhadap
pusat perbelanjaan lebih dekat ke Kota Bontang dan Samarinda
daripada ke Tenggarong (ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara). Oleh
karena itu, pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat desa ini
tergantung dari dua kota tersebut.
Dari aspek demografis, berdasarkan Perdes Santan Ulu No 2/
2014, desa ini dihuni oleh 5.382 jiwa penduduk dari segala usia,
sehingga kepadatan penduduk di desa ini sekitar 3,75 atau hampir 4
penduduk per km2. Sebagian besar penduduk (3.947 jiwa) bermata
pencaharian sebagai petani, kemudian 132 jiwa berprofesi sebagai
pedagang. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian, termasuk
perkebunan, merupakan sektor dominan yang menjadi sandaran hidup
masyarakat di desa ini. Sedikitnya jumlah pedagang (132 orang) dan
sektor jasa (15 orang) menunjukkan bahwa sektor perdagangan dan
jasa belum berkembang dengan baik di desa ini. Akses yang lebih
mudah ke Kota Bontang menjadi salah satu faktor masyarakat desa
ini memilih Bontang sebagai tujuan utama dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Untuk menunjang mobilitas menuju pusat-pusat perekonomian
dan kesehatan, masyarakat lebih mengandalkan kendaraan pribadi
karena minimnya sarana angkutan umum. Hanya ada satu angkutan
umum yang beroperasi sehari sekali menuju Kota Bontang yang oleh
masyarakat disebut dengan istilah “Taksi Terong”. Istilah taksi, di
kalangan masyarakat Kutai Kartanegara, Samarinda dan sekitarnya
merujuk pada mobil angkutan kota untuk umum. Taksi Terong
merupakan mobil angkutan umum yang berwarna ungu seperti warna
terong. Dengan minimnya sarana angkutan umum tersebut, maka
kendaraan pribadi menjadi andalan utama. Sedangkan bagi
masyarakat yang tidak memiliki kendaraan pribadi lebih mengandalkan
taksi terong tersebut atau menumpang kendaraan lain yang melintas.
Fasilitas pasar, pada saat penggalian data penelitian ini dilakukan,
98
sudah tersedia dalam kondisi baru selesai dibangun tetapi belum
beroperasi. Lokasi pasar yang berjarak sekitar 100 meter dari jalan
raya belum didukung akses jalan yang memadai. Jalan masuk menuju
pasar masih berupa jalan tanah (belum ada pengerasan jalan) sehingga
pada saat hujan menjadi sulit untuk dilewati. Belum beroperasinya
pasar ini menyebabkan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap
pusat-pusat perdagangan dan pasar di Kota Bontang.
Selanjutnya, kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan dan
pendidikan telah terbantu dengan tersedianya fasilitas kesehatan dan
pendidikan. Di bidang kesehatan, di desa ini telah tersedia sebuah
puskesmas pembantu yang dilengkapi sarana mobil ambulan, tiga
bidan praktek, 5 Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), satu Posyandu
Lansia, serta tiga dukun bayi. Ini memberikan kemudahan bagi
masyarakat dalam mengakses fasilitas kesehatan tingkat dasar.
Sedangkan di bidang pendidikan, di desa ini telah tersedia fasilitas
pendidikan mulai dari level pendidikan dini hingga sekolah lanjutan
atas. Jumlah fasilitas pendidikan tersebut meliputi empat PAUD dan
TK, empat SD, satu SLTP, satu SMA Filial, serta dua Madrasah.
Untuk mendukung pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan desa, anggaran desa ini pada tahun 2015 tercatat
sebesar Rp 4.331.023.640. Berdasarkan Ringkasan APBDesa tahun 2015,
semua pendapatan desa ini berasal dari dana transfer yaitu alokasi
dana desa (ADD). Tidak ada pendapatan asli desa serta pendapatan
yang berasal dari sumber lain. Dengan demikian, desa ini sepenuhnya
tergantung dari alokasi anggaran dari pemerintah kabupaten melalui
ADD. Dengan semua potensi dan dukungan yang dimiliki tersebut,
desa Santan Ulu telah menetapkan visinya yaitu: Bersama Rakyat
Membangun Desa Menuju Masyarakat Lebih Sejahtera dan Berkeadilan.
99
sangat membantu operasionalisasi pemerintahan dan pembangunan
di desa. Di sisi lain, suntikan subsidi ADD menyebabkan partisipasi
masyarakat dalam berbagai kegiatan desa menjadi menurun. Hal ini
karena ada anggapan di sebagian masyarakat bahwa semua urusan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa sudah
dibiayai pemerintah melalui ADD. Demikian juga tenaga kerja untuk
perawatan berbagai fasilitas umum di desa dipersepsikan sudah
mendapat insentif dari pemerintah, akibatnya masyarakat enggan
terlibat berbagai kegiatan desa misalnya kerja bakti.
Kemudian di Desa Santan Ulu, ada beberapa permasalahan yang
dihadapi Desa Santan Ulu. Pertama, ketergantungan desa terhadap
kucuran ADD sangat tinggi bahkan mencapai 100% anggaran desa
berasal dari ADD. Dana ini dipergunakan untuk operasional
pemerintahan desa, belanja pegawai, penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan, serta pembinaan dan pengembangan masyarakat.
Perubahan angka ADD, dengan demikian sangat berpengaruh terhadap
pelaksanaan aktivitas pemerintahan di desa.
Kedua, keterbatasan sarana transportasi umum yang ada di desa
ini menyebabkan terbatasnya mobilitas masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, seperti menuju tempat sekolah, tempat bekerja
dan perbelanjaan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, hanya
ada satu angkutan umum yang melayani masyarakat desa ini.
Selebihnya masyarakat hanya mengandalkan kendaraan pribadi bagi
yang memiliki kendaraan, sedangkan bagi masyarakat yang tidak
memiliki kendaraan pribadi maka lebih mengandalkan mencari
tumpangan kepada orang lain.
Ketiga, keterbatasan sarana ekonomi/perdagangan untuk
menunjang kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat desa ini sangat
menggantungkan belanja kebutuhan barang dari kota lain yaitu
Bontang dan Samarinda karena belum beroperasinya pasar yang bisa
dijadikan tempat belanja mereka. Selain itu, keterbatasan infrastruktur
listrik juga menjadi persoalan bagi masyarakat di desa ini. Hanya
sebagian rumah tangga yang teraliri listrik, sedangkan sebagian lain
belum bisa menikmati fasilitas listrik. Selanjutnya, kebutuhan air bersih
di desa ini diperoleh dari air sumur dan sebagian mengandalkan air
tadah hujan untuk keperluan hidup mereka.
100
Gambar 3.11 Pasar Desa Santan Ulu Belum Beroperasi.
(Foto diambil tanggal 26 Mei 2016)
b. Kapasitas Desa
Kelembagaan Desa
Desa Santan Ulu pada saat ini memiliki enam dusun yang masing-
masing dipimpin oleh Kepala Dusun. Enam dusun tersebut meliputi
Dusun Wira I, Wira II, WIra III, Wonorejo, Damai, dan Suka Makmur.
Para kepala dusun tersebut merupakan kepala territorial atau
kewilayahan level dusun yang terdiri atas beberapa RT. Sedangkan di
lingkungan Sekretariat Desa, terdapat enam jabatan Kepala Urusan
(Kaur) yang terdiri atas Kepala Urusan Pemerintahan, Kepala Urusan
Ekonomi dan Pembangunan, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat,
Kepala Urusan Ketentraman dan Ketertiban, Kepala Urusan Keuangan,
dan Kepala Urusan Umum. Para Kaur tersebut, karena posisinya di bawah
Sekretaris Desa, maka memiliki tugas membantu Sekretaris Desa dalam
memberikan dukungan kesekretariatan dalam pelaksanaan tugas-tugas
desa.
Namun, tidak ada jabatan Kepala Seksi atau jabatan dengan
nomenklatur lain yang seharusnya melaksanakan tugas-tugas lini
organisasi yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan desa
sebagaimana dianggarkan dalam APBDesa yang terdapat alokasi
pembangunan desa, sehingga tugas pembangunan desa tersebut
dibebankan ke sekretariat. Sedangkan berdasarkan Permendagri No.
84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah
Desa dan Perda Kabupaten Kutai Kartanegara No. 7 tahun 2016 tentang
101
Struktur Organisas dan Tata Kerja Pemerintah Desa, di bawah jabatan
Kepala Desa terdapat jabatan Sekretaris Desa, Kepala Seksi dan Kepala
Pelaksana Kewilayahan atau Kepala Dusun. Di bawah Sekretaris Desa
terdapat dua jabatan Kepala Urusan yaitu Kepala Urusan Umum dan
Perencanaan serta Kepala Urusan Keuangan. Sedangkan jabatan Kepala
Seksi terdiri atas Kepala Seksi Pemerintahan dan Kepala Seksi
Kesejahteraan Rakyat dan Pelayanan. Dengan demikian struktur
organisasi yang ada saat ini belum mengakomodir ketentuan dari
Permendagri dan Perda yang baru. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penyesuaian terhadap struktur organisasi pemerintah desa sehingga
bisa melaksanakan tugas-tugasnya dalam rangka mewujudkan visi
menjadi desa yang mandiri sebagaimana diamanatkan UU Desa.
Penganggaran Desa
Dilihat dari sisi anggaran, Pemerintahan Desa Santan Ulu
memiliki ketergantungan mutlak kepada subsidi pemerintah melalui
dana ADD (Alokasi Dana Desa). Berdasarkan APBDesa tahun 2015 yang
sebesar Rp. 4,3 miliar semuanya merupakan transfer ADD dan tidak
ada dana dari sumber lain misalnya pendapatan asli desa maupun
usaha desa. Dana sebesar ini digunakan untuk belanja pegawai,
kebutuhan operasional, penyelenggaraan pemerintahan desa serta
102
pelaksanaan pembangunan desa. Untuk belanja pegawai tercatat
sebesar Rp. 743.175.000 atau 17,2% dari APBDesa, operasional
pemerintahan desa termasuk BPD dan RT sebesar Rp. 409.219.000 atau
9,5%, penyelenggaraan pemerintah desa sebesar Rp. 623.665.700 atau
14,4% dan untuk pelaksanaan pembangunan desa sebesar Rp.
2.201.719.829 atau 50,8%. Dengan demikian terdapat sisa anggaran
sebesar Rp. 146,9 juta atau sekitar 8,1% dari total APBDesa.
Struktur anggaran desa ini mencerminkan lemahnya kemampuan
keuangan desa untuk menyelenggarakan pembangunan dan
penyelenggaraan pemerintahan desa secara mandiri. Walaupun desa
ini diuntungkan dengan lokasinya yang dilalui jalan antar kota
sehingga tidak mempermudah akses warganya, tetapi hal ini ternyata
tidak membuat perekonomian di desa ini berkembang pesat. Praktis
apabila terjadi perubahan alokasi ADD maka akan berpengaruh secara
langsung terhadap kemampuan keuangan desa ini.
103
Di sisi masyarakat, partisipasi masyarakat dalam berbagai
aktivitas desa menurun, sebagaimana terungkap dalam FGD. Tetapi
partisipasi masyarakat dalam bentuk lain masih terlihat seperti aktivitas
kelompok-kelompok masyarakat, misalnya keberadaan kelompok tani
“Olah Bebaya Wadah Etam” di Desa Santan Ulu ini. Keberadaan
kelompok tani ini tidak lepas dari mata pencaharian masyarakat yang
sebagian besar adalah petani. Dari sisi pendidikan masyarakat,
sebagian besar masyarakat di desa ini berpendidikan SD lebih dari
1300-an orang, berpendidikan setingkat SLTP hamper 600 orang, dan
SLTA 630-an orang. Di samping itu, masyarakat yang berpendidikan
diploma (D1-D3) ada 32 orang dan S1 ke atas ada 38 orang.
104
Kartanegara sekitar 4 jam dari desa Santan Ilir dengan menggunakan
kendaraan roda empat atau roda dua. Namun kondisi Jalan sudah
cukup baik dengan jalan cor/ beton. Sarana dan prasarana jalan dalam
desa dengan kondisi baik ( jalan tanah/ cor/beton) sepanjang 26 Km
atau unit, sedangkan jalan yang rusak sekitar 11 km atau unit. Tidak
ada angkutan antar desa di Desa Santan Ilir sehingga penduduk
menggunakan kendaraan pribadi untuk akses antar desa. Karena akses
jalan yang cukup jauh ke Ibu Kota Kecamatan apalagi ibukota
Kabupaten, penduduk banyak memilih pergi ke Kota Bontang melalui
Kelurahan Bontang Lestari yang berbatasan langsung untuk berbagai
urusan, seperti bila ada yang sakit maupun untuk akses perekonomian.
Penerangan telah menggunakan listrik namun masih terbatas siang
hari,pada malam hari masih banyak gangguan penerangan. Untuk
ketersediaan air masyarakat mengandalkan air tadah hujan dan air
gallon untuk kegiatan sehari-hari hal ini dilakukan karena di Desa santan
Ilir tidak ada PDAM. Terdapat bantuan CSR dari perusahaan Indominco
yang memberikan air bersih secara cuma-cuma kepada masyarakat
setiap satu minggu sekali.
Desa Santan Ilir menurut hasil Klasifikasi, Kategori dan tipologi
Dirjen Bina Pemerintahan Desa kementrian Dalam Negeri pada tahun
2015 adalah desa dengan tipologi pesisir/ nelayan. Hal ini selaras
dengan luas wilayah Desa Santan Ilir berdasarkan profil Desa Santan
Ilir tahun 2015 bahwa luas wilayah desa terdiri atas tepi pantai seluas
500 ha/m² , luas desa dataran rendah 2.500 ha/m², luas desa kawasan
rawa 2.500 ha/m²,luas desa kawasan gambut 6.500 ha/ m², dan luas
desa aliran sungai 180ha/m². Dengan topografi tersebut potensi
andalan dari Desa Santan Ilir adalah nelayan dan petani serta kebun
kelapa sawit milik masyarakat.
Fasilitas ekonomi di Desa Santan Ilir tergolong sederhana hanya
ada beberapa took dan warung milik masyarakat, tidak terdapat mini
market . Tidak terdapat Bank namun masyarakat mendirikan koperasi
simpan pinjam yang merupakan milik masyarakat sendiri. Fasilitas
kesehatan terdapat Puskesmas Pembantu dengan tenaga medis terdiri
dari bidan dan perawat sedangkan dokter belum ada di Desa santan
Ilir. Praktek bidan maupun dokter secara mandiri tidak ada begitupula
dengan klinik swasta. Masyarakat apabila mendesak dan perlu bantuan
105
medis yang sangat kritis mengandalkan mobil masyarakat untuk pergi
ke puskesmas Marang Kayu. Bahkan penduduk lebih memilih ke RSUD
Bontang yang lebih dekat dari Desa Santan Ilir. Namun masyarakat
masih terkendala oleh Jamkesda yang tidak bias diterima di RSUD
Bontang. Saat ini sedang diusahakan agar BPJS dapat digunakan di
Kabupaten Bontang oleh penduduk Desa santan Ilir. Dikarenakan letak
geografis yang lebih dekat dengan RSUD Bontang. Fasilitas pendidikan
yang terdapat di Desa Santan Ilir diantaranya PAUD milik swasta yang
meminjam gedung Desa, terdapat beberapa TK yaitu 3 buah TK, SD
Negeri ada 3 buah, untuk SMP sederajat tidak ada sehingga penduduk
memilih ke Desa Santan Tengah karena di sana terdapat SMP . Sekolah
SMA sederajat terdapat 1 buah SMA Negeri. Komunitas lokal yang
terdapat di Desa Santan Ilir adalah Koperasi simpan Pinjam serta
Kelompok perkebunan dan Nelayan.
106
sebagaimana fungsinya, seperti BPD mempunyai fungsi controlling
agar pemerintahan Desa berjalan sesuai dengan perencanaan, namun
tidak mencampuri urusan pemerintahan desa yang dilakukan oleh
apparat desa. Ketika semua berjalan sesuai fungsinya maka perencaan
desa dapat berjalan sesuai dengan hasil musyawarah desa. Sinergitas
dan kerjasama harus terus dilaksanakan baik secara fisik, maupun
pelaksanaan tugas.
Dalam kurun waktu selama berjalannya Undang-undang tersebut
yaitu selama kurang lebih 1,5 tahun dan implementasinya telah berjalan
sekitar 1 tahun, yaitu mulai pertengahan tahun anggaran 2015 sampai
dengan saat ini yaitu pertengahan tahun anggaran 2016. Dalam kurun
waktu tersebut berdasarkan hasil Focus group discussion yang diadakan
pada tanggal 24 Mei 2016 di Kecamatan Marangkayu Kab. Kutai
kartanegara yang dihadiri oleh kepala desa, BPD dan tokoh masyarakat
desa terungkap bahwa masih banyaknya regulasi yang tumpeng tindih
yang masih membingungkan peemrintah desa dalam mengaplikasikan
Undang-undang tersebut terutama dalan hal Anggaran Dana Desa (
ADD ). Pemerintahan Desa masih berhati-hati dalam pelaksanaannya
karena regulasi belum jelas juknis nya. Begitupun dengan Desa Santan
Ilir , karena Anggaran Pendapatan Belanja Desa ( APBDes) bersumber
dari ADD, sehingga regulasi yang jelas sangat diperlukan. Berdasarkan
Peraturan desa Santan Ilir Nomor 10 Tahun 2015 .Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa Tahun anggaran 2015 adalah sekitar 3 Milyar.
b. Kapasitas Desa
Kelembagaan Desa
Berdasarkan penilaian Kementerian Dalam Negeri pada tahun
2014, Desa Santan Ilir memiliki tipologi Desa Swadaya sehingga
struktur organisasi yang diperkenankan adalah 2 (dua) buah urusan, 2
(dua) buah seksi di sekretariat, dan Unsur Pelaksana Kewilayahan
(kepala Dusun) dengan jumlah proporsional terhadap kondisi desa
dan kemampuan keuangan desa. Melihat struktur yang saat ini dimiliki,
Desa Santan Ilir memiliki kelebihan struktur organisasi, yaitu satu
urusan. Perubahan struktur organisasi ini menjadi permasalahan serius
di Desa Santan Ilir mengingat bahwa Kepala Urusan yang telah dilantik
dan ditetapkan dengan Peraturan Desa berlaku sampai dengan usia
107
pensiun. Selain itu adanya Bendahara dan PPTK Desa juga menjadi
permasalahan sendiri apakah tidak seharusnya menjadi Kepala Urusan
Keuangan.
Pada tahun 2016 ini Struktur Organisasi dan Tata kerja Pemerintah
Desa Santan Ilir sudah berubah sesuai dengan kebutuhan organisasi
dan menyesuaikan dengan tipologi Desa Swadaya sehingga terdapat
2 (dua) buah urusan, 2 (dua) buah seksi di sekretariat, dan Unsur
Pelaksana Kewilayahan (kepala Dusun) dengan jumlah proporsional
terhadap kondisi desa dan kemampuan keuangan desa. Adapun
struktur terbaru berdasarkan Perbup No. 7/2016 adalah sebagai berikut:
108
tugas dari masing-masing aparat desa belum ada serta Standar
Operasional prosedur juga belum ada.
Dilihat dari kewenangan yang dijalankan oleh Desa, peran utama
Desa sebagian besar dilaksanakan oleh Kepada Wilayah/Dusun, yaitu
pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan
pemberdayaan masyarakat desa. Sementara Kades, Sekretaris, Kasi,
dan Kaur hanya menjalankan fungsi penyelenggaraan urusan
pemerintahan. Padahal dalam kenyataannya Kades, Sekretaris Kasi dan
Kaur menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan pembangunan di Desa.
Desa Santan Ilir sendiri saat ini Kepala Desa masih dijabat oleh Pj.
Kades yang merupakan apparat kecamatan sehingga lebih banyak
berada di Kecamatan, otomatis apparat Desa yang berperan adalan
sekretaris Desa Yang menjadi ujung tombak pemerintahan di Desa
Santan Ilir.
Dalam Peraturan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 7 Tahun 2016
tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Pemerintahan Desa
sebagai aturan pelaksanaan Permendagri Nomor 84 Tahun 2015, telah
menguraikan fungsi dari Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Urusan,
Kepala Seksi, dan Kepala Dusun. Peraturan ini seharusnya diturunkan
lagi dalam Peraturan Desa untuk mengatur uraian tugas tidak hanya
pejabat Pemerintah Desa, namun juga BPD, LPM, serta Fungsional
umum (Pelaksana) sehingga lebih operasional dalam pelaksanaannya
dan tidak lagi menimbulkan kegamangan bagi aparat Desa terhadap
ruang lingkup kewenangan yang dimiliki. Permasalahan belum jelasnya
ruang lingkup pengawasan oleh BPD di Desa Santan Ilir bisa diatasi
dengan adanya peraturan Desa yang mengatur SOTK berdasarkan
aturan di atasnya serta kesepakatan bersama untuk beberapa hal yang
belum jelas atau belum diatur.
109
cepat bertindak dan setiap saat berada di Kantor Kepala Desa untuk
memberikan pelayanan kepada Masyarakat. Bila hal ini dibiarkan dan
berlanjut lama tentu akan menghalangi kemajuan pelayanan
masyarakat di Desa Santan Ilir.
Bila melihat komposisi SDM aparatur maka akan terlihat seperti
grafik di bawah ini :
110
sejalan dengan penghasilan yang baik. Dengan penghasilan yang
terjamin maka aparat desa akan lebih berkonsentrasi untuk pelayanan
kepada masayarakat sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai
aparatur desa.
Peran masyarakat
Undang-undang Desa nomor: 6 tahun 2014 lahir dengan tujuan
dintaranya adalah untuk memperkuat masyarakat desa sebagai subjek
pembangunan. Sebagai Subjek pembangunan berarti masyarakat
diharapkan mampu aktif dan berperan serta dalam segala kegiatan
pembangunan desa. Pada kenyataannya di Desa Santan Ilir
masyarakatnya memang telah aktif berperan serta dalam
pembangunan mereka masih menganut azas gotong royong dan
musyawarah dalam melakukan pembangunan . Dengan jumlah
penduduk sebanyak 2.357 jiwa yang terdiri atas 480 Kepala keluarga.
Masyarakat Desa santan Ilir merupakan pendatang dengan suku
bangsa bugis sebanyak 2325 jiwa dan suku Jawa sebanyak 32 jiwa,
dimana 100% penduduknya adalah muslim. Berdasarkan data tersebut
maka penduduk Desa Santan Ilir cenderung homogen. Hal tersebut
dapat menjadi modal untuk terus mengaktifkan peran serta masyarakat
dalam pembangunan.
111
Walaupun telah terbit Undang-undang Desa Nomor 6 tahun 2014
nampaknya masyarakat masih belum mengetahui dan masyarakat
masih belum ada perubahan yang signifikan untuk meningkatkan lagi
peran serta masyarakat dalam pembangunan. Perekonomian Nampak
menggeliat dengan peran serta masyarakat dalam meramaikan pasar
yang tempatnya telah disediakan oleh pemerintah Desa.walaupun
pelaksanaannya masih 1 minggu sekali pasar tersebut
beroperasi.Masyarakat Desa Santan Ilir Nampak menonjol berperan
aktif adalah ketika merencanakan anggaran Desa. Melalui murenbang
yang diadakan oleh pemerintah desa dengan BPD dan LPM bersama-
sama merancang anggaran desa agar dapat dilaksanakan demi
kemajuan pembangunan desa.
112
terutama terlihat aktif pada saat musrenbang desa dan perencanaan
anggaran desa.
Badan Pemberdayaan Desa dipilih secara langsung oleh
masyarakat dan proporsional dengan jumlah penduduk. Di Desa
Santan Ilir Badan Pe,berdayaan Desa telah berkolaborasi dan
bekerjaaama dengan baik dengan apparat desanya. Gedung BPD juga
berada disamping Kantor kepala Desa sehingga memudahkan bila
ada kegaiatan yang mendesak dan dilakukan bersama-sama. Tugas
Kontroling dari BPD juga berjalan dengan lancar di Desa Santan Ilir
.Dengan adanya sinergitas antara BPD, apparat Desa dan juga tokoh
masyarakat lainnya maka pembangunan desa diharapkan mampu
berjalan dengan baik.
Penganggaran Desa
Bila melihat struktur anggaran berdasarkan anggaran
pendapatan dan belanja desa ( APB Des) yang tertuang dalam
Peraturan Desa Santan Ilir Nomor 10 Tahun Anggaran 2015 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa berjumlah Rp. 3.119.119.637
( Tiga Milyar Seratus Sembilan Belas Juta Seratus Sembilan Belas Ribu
Enam ratus Tiga Puluh Tujuh Rupiah) yang kesemuanya berasal dari
Alokasi Dana Desa ( ADD). Penghasilan asli desa sendiri tidak ada.
Penganggaran desa diperuntukan penghasilan tetap dan operasional
sebanyak kurang lebih Rp.800 juta, untuk bidang Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa sekitar Rp. 200 juta, anggaran pembangunan desa
sebanyak 1,5 milyar, Bidang Pembinaaan Kemasarakatan sekitar Rp. 8
juta, dan bidang pemberdayaan masyarakat sekitar Rp. 500 juta.
Komposisi anggaran memang dititik beratkan pada Pembangunan
Desa yaitu infrastruktur dan sarana dan prasarana desa. Karena letak
desa yang jauh dari ibu kota kabupaten dan juga kondisi geografis
yang berbatasan dengan kabupaten lain serta berada di ujung kab.
Kutai Kartanegara mendorong untuk pembangunan infrastruktur yang
baik.
113
114
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
115
juga dikemukakan oleh peserta FGD bahwa salah satu persoalan
pemerintahan desa adalah banyaknya regulasi dan mengonfirmasi
hasil kajian KPK bahwa salah satu persoalan desa adalah persoalan
regulasi dan kelembagaan (“KPK Temukan”, 2015). Dengan berlakunya
regulasi dari Kemendagri tersebut maka seluruh desa di Indonesia harus
menggunakan peraturan tersebut dalam menyusun struktur
organisasinya.
Salah satu aspek yang menentukan kelancaran dan keberhasilan
pemerintahan dalam melaksanakan tugas adalah kelembagaan yang
bekerja secara efektif dan optimal. Lembaga pemerintah dibentuk
berdasarkan kebutuhan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dan
meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan masyarakat (Wursanto,
dalam PKP2A III LAN, 2006, h. 13). Dewasa ini peran pemerintahan
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya telah menjadi sorotan
masyarakat sehingga diperlukan penguatan kapasitas kelembagaan
pemerintahan termasuk pemerintahan desa yang berhubungan
langsung dengan masyarakat desa. Penguatan Kapasitas pemerintah
dapat diartikan sebagai upaya membangun organisasi, sistem,
kemitraan, manusia dan proses secara benar untuk menjalankan agenda
atau rencana tertentu (Faozan, dalam PKP2A III LAN, 2006, h. 13-14).
Kelembagaan tidak hanya membicarakan masalah, namun juga
berbicara mengenai tugas dan fungsi organisasi yang menentukan
struktur organisasi, uraian tugas setiap unit/anggota organisasi, aturan
organisasi, hirarki kewenangan, tingkatan hierarki, dan spesialisasi yang
digambarkan dalam suatu unit kerja (Daft, 2007). Hirarki kewenangan,
tingkatan hirarki, dan spesialisasi secara eksplisit juga tergambar dalam
struktur organisasi.
Struktur organisasi disusun dengan menggunakan berbagai
alternatif model kelembagaan untuk mewujudkan tujuan organisasi.
Perubahan struktur kelembagaan diperlukan untuk merespon
perubahan lingkungan, teknologi, ukuran, fungsi organisasi, budaya,
dan sebagainya. Menurut Daft (2007:190), terdapat 3 (tiga) komponen
dalam mendef inisikan struktur kelembagaan organisasi yaitu,
menunjukkan hubungan pelaporan secara formal; mengidentifikasi
pengelompokan individu dalam sebuah departemen; dan memastikan
komunikasi, koordinasi, dan integrasi antar departemen yang efektif.
116
Dengan demikian, kelembagaan merupakan salah satu faktor
kritis dalam pemerintahan desa. Struktur Pemerintah Desa yang lama
masih belum mencerminkan struktur organisasi yang tepat untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintah desa. Jabatan-jabatan yang ada
lebih banyak merupakan jabatan di lingkungan sekretariat yang tugas
intinya adalah memberikan dukungan administratif pemerintahan desa
dalam menjalankan tugas-tugas pokoknya. Kecuali Kepala Desa dan
Kepala Dusun, para aparat di desa merupakan Kepala Urusan dan staf
sekretariat. Namun demikian, para Kepala Urusan yang posisinya di
bawah Sekretaris Desa juga terlibat dalam pelaksanaan tugas-tugas
lini karena tidak ada jabatan yang melaksanakan tugas-tugas lini
organisasi.
Keadaan ini secara umum terjadi di desa lokus penelitian yang
masih menggunakan struktur lama, tetapi sudah ada desa yang
menggunakan struktur baru berdasarkan Permendagri tersebut.
Mengingat bahwa struktur pemerintah desa ini diatur dan dibuat secara
seragam di semua desa dalam satu kabupaten maka kondisi
kelembagaan di satu desa sama dengan desa lain di Kabupaten Kutai
Kartanegara, kecuali yang sudah menggunakan struktur organisasi baru.
Dengan demikian, persoalaan kelembagaan di semua desa di
kabupaten ini memiliki permasalahan yang sama, karena di samping
kesamaan struktur desa juga memiliki kewenangan yang sama. Desa
walaupun memiliki kewenangan untuk menyusun peraturan desa
bersama BPD, tetapi pemerintah desa tidak berani membuat terobosan
untuk menyusun struktur organisasinya sendiri sesuai dengan kebutuhan
desa. Hal ini selain karena keterbatasan kapasitas aparat desa juga
karena sistem dan budaya birokrasi yang selalu menunggu regulasi
sebagai dasar hukum untuk melakukan suatu tindakan atau membuat
kebijakan.
Terbitnya Permendagri No. 84/2015 dan Perbup No. 7/2016
memberikan perubahan baru dalam kelembagaan desa. Perbup ini
menunjukkan bahwa struktur pemerintah desa di Kabupaten Kutai
Kartanegara memisahkan tugas-tugas lini yang dilaksanakan oleh
Kepala Seksi dan tugas-tugas dukungan (supporting) yang dilaksanakan
oleh Kepala Urusan. Berdasarkan Perbup ini, desa bisa memiliki dua
sampai tiga jabatan Kepala Seksi yang bertanggung jawab langsung
117
kepada Kepala Desa dan dua sampai tiga Kepala Urusan yang
bertanggung jawab kepada Sekretaris Desa.
Jumlah jabatan Kepala Seksi dan Kepala Urusan tersebut
ditentukan oleh klasifikasi desa yang bersangkutan, yaitu meliputi desa
swadaya, swakarya dan swasembada. Desa yang termasuk dalam
klasifikasi desa swadaya hanya bisa memiliki dua Kepala Urusan dan
dua Kepala Seksi. Sedangkan desa yang termasuk dalam klasifikasi
desa swakarya dan swasembada bisa membentuk tiga Kepala Urusan
dan tiga Kepala Seksi. Gambar 4.1 berikut merupakan struktur organisasi
pemerintah desa yang merupakan lampiran dari Permendagri No. 84/
2015. Struktur tersebut sudah cukup menggambarkan bentuk organisasi
pemerintah desa. Dalam Permendagri juga telah diatur jumlah Kepala
Urusan dan Kepala Seksi yang bisa dibentuk oleh desa berdasarkan
klasifikasinya yaitu swadaya, swakarya dan swasembada.
Disebutkan pada Pasal 11 bahwa desa swasembada wajib
memiliki 3 (tiga) urusan dan 3 (tiga) seksi. Ini artinya tidak ada pilihan
bagi desa yang sudah masuk kalsifikasi swasembada untuk membentuk
struktur organisasi dengan tiga Kepala Urusan dan tiga Kepala Seksi.
Selanjutnya, desa swakarya dapat memiliki 3 (tiga) urusan dan 3 (tiga)
seksi. Artinya untuk desa dengan klaf isikasi swakarya memiliki
kesempatan membentuk struktur organisasi dengan jumlah jabatan
Kepala Urusan dan Kepala Seksi masing-masing maksimal tiga jabatan.
Sedangkan desa swadaya disebutkan memiliki 2 (dua) urusan dan 2
(dua) seksi. Artinya dalam struktur organisasi desa ini paling banyak
bisa memiliki dua Kepala Urusan dan dua Kepala Seksi.
118
Gambar 4.1 Struktur Organisasi Pemerintah Desa Berdasarkan
Permendagri No. 84/2015
119
struktur yang lebih kecil misalnya dua Kepala Urusan dan dua Kepala
Seksi. Hal ini berbeda dengan Permendagri No. 84/2015 pada Pasal
11 ayat (3) yang menyatakan bahwa desa swakarya dapat memiliki
tiga urusan dan tiga seksi. Kata “dapat” di ayat tersebut memberikan
pilihan kepada desa swakarya untuk membentuk struktur yang lebih
ramping, karena kata “dapat” tersebut memiliki makna bahwa
membentuk tiga unit Kepala Urusan dan tiga unit Kepala Seksi bukan
sebuah kewajiban.
120
juga telah ditentukan dalam Permendagri No. 84/205 dan Perbup No.
7/2016. Dengan demikian, pemerintah desa hanya menerapkan di
masing-masing desanya sesuai dengan klasifikasinya.
121
sehingga juga menjadi sorotan aparat di desa. Dalam FGD di Kantor
Kecamatan Marang Kayu, seorang Kepala Desa mengemukakan
keluhannya sebagai berikut:
“Aturan (regulasi) dari pusat tidak merekomendasikan situasi yang
ada, dibuat untuk seluruh Indonesia, tentunya antara Jawa,
Sumatera, dan Kalimantan sangat berbeda, tentunya SDMnya juga.
… Kalau membuat aturan coba dikaji dulu, jangan aturan dibuat
untuk semua desa,”(FGD Kec Marang Kayu, 24 Mei 2016).
122
Penguatan kelembagaan merupakan salah satu syarat yang
penting bagi upaya mewujudkan desa mandiri. Dari sisi kelembagaan,
bidang kewenangan yang diberikan UU desa kepada desa sudah
terakomodir dalam struktur organisasi baru berdasarkan Permendagri
dan Perbup. Hal ini tercermin dari tugas Kepala Desa yang dituangkan
dalam dua peraturan tersebut mencakup empat bidang kewenangan
desa. Kemudian beberapa jabatan Kepala Seksi mencerminkan
pelaksanaan bidang kewenangan yang dimiliki desa. Hanya saja,
penurunan tugas dari Kepala Desa ke Kepala Seksi tidak berimbang
antara desa swadaya dengan desa swasembada dan swakarya. Pada
desa swadaya, terdapat jabatan Kepala Seksi Kesejahteraan dan
Pelayanan. Sedangkan pada desa swasembada dan swakarya jabatan
tersebut dipecah menjadi dua yaitu Kepala Seksi Kesejahteraan dan
Kepala Seksi Pelayanan.
Kepala Seksi Kesejahteraan dan Pelayanan di desa swadaya
memiliki beban tugas yang lebih banyak dibandingkan Kepala Seksi
Kesejahteraan dan Kepala Seksi Pelayanan di desa swasembada dan
desa swakarya. Sedangkan Kepala Seksi Pemerintahan di tiga jenis
desa (swadaya, swakarya, dan swasembada) memiliki beban tugas yang
sama.
Disebutkan di Pasal 9 Permendagri No. 84/2015 dan Pasal 10
Perbup No. 7/2016 bahwa dalam rangka membantu Kepala Desa
sebagai pelaksana tugas operasional, Kepala Seksi Pemerintahan
mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. melaksanakan manajemen tata praja pemerintahan;
b. menyusun rancangan regulasi desa;
c. pembinaan masalah pertanahan;
d. pembinaan ketentraman dan ketertiban;
e. pelaksanaan upaya perlindungan masyarakat;
f. melaksanakan administrasi kependudukan;
g. penataan dan pengelolaan wilayah; dan
h. Pendataan dan pengelolaan profil desa.
123
a. melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana perdesaan;
b. pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan;
c. melaksanakan sosialisasi dan motivasi masyarakat di bidang budaya,
ekonomi, politik, lingkungan hidup; dan
d. pemberdayaan keluarga, pemuda, olah raga, dan karang taruna.
124
yang besar hingga ke aspek teknis seperti pada Permendagri dan
Perbup seperti itu justru kontradiktif dengan semangat dan visi UU
desa yang ingin mewujudkan desa mandiri dengan konsep self-
governing community dan local self-government.
Kemudian dilihat dari aspek perangkat pendukung kelembagaan,
desa-desa pada umumnya masih belum dilengkapi dengan berbagai
perangkat seperti uraian tugas (job description) pegawai, prosedur kerja
(SOP), analisis jabatan, dan sebagainya. Kecuali tugas-tugas jabatan
struktural yang sudah dituangkan di Perbup No. 7/2016, pegawai atau
aparat di level staf masih belum memiliki uraian tugas yang jelas.
Ketiadaan perangkat pendukung tersebut bukan saja membuat
pembagian kerja kepada staf menjadi tidak jelas dan berpotensi
tumpang tindih antar sesama staf, tetapi juga tidak jelasnya standar
dalam proses penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat.
125
Kondisi aparat pemerintah di desa-desa lokus kajian ini masih
banyak yang memiliki kualifikasi berpendidikan di bawah SLTA, tetapi
ada juga yang memiliki kualifikasi pendidikan Sarjana, Master dan
Doktor. Hal ini mencerminkan sangat variatifnya kualifikasi pendidikan
aparat desa di Kabupaten Kutai Kartanegara, terutama di desa lokus
kajian ini. Selain itu, kompetensi aparat pemerintah desa merupakan
satu hal yang tidak kalah penting sebagai faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas desa. Karena tugas aparat
pemerintah desa tidak hanya memberikan pelayanan administratif
seperti memberikan layanan pengurusan berbagai surat pengantar dan
surat keterangan, tetapi juga memberikan pembinaan masyarakat,
pemberdayaan kemasyarakatan dan pelaksanaan pembangunan.
Dengan kondisi yang ada saat ini, realistiskah pemerintah desa bisa
melaksanakan tugas-tugasnya untuk mewujudkan cita-cita UU baru
menjadi desa mandiri? Ini memerlukan perjalanan yang masih panjang
untuk bisa mewujudkan cita-cita tersebut.
Misalnya dalam hal pelaksanaan pembangunan desa, diperlukan
aparat yang memiliki kompetensi menyusun rencana anggaran,
melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan, serta menyusun laporan
pelaksanaan kegiatan. Hal ini juga dikemukakan dalam Permendagri
No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. Apabila
melakukan lelang berbagai proyek dengan nilai tinggi maka aparat
pemerintah desa perlu memiliki kemampuan mengadakan lelang
barang dan jasa pemerintah. Berbagai tugas seperti ini memerlukan
kompetensi yang memadai. Oleh karena itu, peningkatan kompetensi
aparat pemerintah desa dan pendampingan terhadap desa mendesak
untuk dilakukan. Peran Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Desa (BPMPD) dan aparat di kantor kecamatan sangat
strategis untuk melaksanakan tugas-tugas pendampingan tersebut.
Kompetensi secara umum diartikan sebagai karakteristik
seseorang yang memiliki elemen pengetahuan (knowledge),
ketrampilan (skills) dan sikap (attitudes) tertentu. Namun, McShane dan
Travaglione (2007, h. 37) secara lebih luas memasukkan skills, knowledge,
aptitutes, values, drivers dan karakteristik lain yang mendorong kinerja
tinggi. Peningkatan kompetensi aparat pemerintah desa, sebagai aktor
126
utama dalam pemerintahan desa, merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan kapasitas desa dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Selain aparat pemerintah desa, lembaga-lembaga di tingkat
desa seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat (LPM) serta masyarakat desa juga ikut
menentukan keberhasilan pembangunan desa. Selama ini, menurut
pengakuan narasumber dalam kegiatan FGD, peran lembaga-lembaga
di desa seperti BPD sudah cukup aktif dalam berbagai kegiatan desa.
Peran BPD misalnya terlihat dalam penyusunan RPJMDes, RKPDes dan
RAPBDes. Sementara peran LPM dalam memberdayakan masyarakat
di desa masih minim. Minimnya aktivitias pemberdayaan masyarakat
karena minimnya kapasitas aparat pemerintah desa, BPD dan LPM,
bahkan masih ada yang belum memahami mengenai tugas dan fungsi
BPD dan LPM. Melihat kondisi tersebut di atas, maka diperlukan
pemberdayaan terhadap para anggota lembaga tersebut sebelum
mereka terlibat dalam tugas-tugas pemberdayaan masyarakat.
Selain itu, diperlukan juga pendampingan sebagaimana
ditegaskan pada Pasal 128 PP No. 43/2014 bahwa pendampingan
kepada masyarakat desa dilakukan oleh pemerintah (pusat) maupun
pemerintah daerah dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa.
Pendampingan terhadap pemberdayaan masyarakat diperlukan selain
karena amanat PP, tetapi juga karena minimnya kapasitas aparatur di
desa. Jika kapasitas aparatur di desa masih minim maka mustahil
mereka bisa melakukan pemberdayaan kemasyarakatan.
Desa-desa di Kabupaten Kutai Kartanegara yang tersebar dari
kawasan hulu hingga hilir memiliki karakteristik yang berbeda serta
kemudahan akses yang juga berbeda. Kemampuan aparat desa di desa
pun berbeda dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik tugas-tugas
teknis maupun administratif. Bahkan untuk membuat laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan atau tugas pun belum
semua aparat desa mampu melakukannya, apalagi melaksanakan
tugas-tugas yang lebih rumit dengan regulasi yang juga lebih rumit
dan harus diikuti. Hal ini dikemukakan peserta FGD sebagai berikut:
127
“Kita di pesisir dalam mengikuti Perbup masih bisa 75% keatas.
Bayangkan saudara-saudara kita yang di hulu. Ini sering kita temui,
karena kemampuan SDM yang tidak mumpuni dengan beban
yang berat sehingga supaya bisa jalan, mau gak mau dipasrahkan
kepada yang lebih pinter, mau gak mau pake duit, ini yang kita
temui, baik pembuatan SPJ, maupun APBDes seringkali (seperti)
itu,” (FGD Kec Marang Kayu, 24 Mei 2016).
128
Kedua, dilihat dari aspek tata laksana, potensi masalah
pengelolaan dana desa meliputi:
a. Kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi
oleh desa;
b. Satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa
dalam menyusun APBDes belum tersedia;
c. Transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban
APBDes masih rendah;
d. Laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti
standar dan rawan manipulasi; serta
e. APBDes yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan
yang diperlukan desa.
129
tugasnya dengan baik. Namun, pembangunan kapasitas pemerintahan
desa juga memerlukan waktu yang tidak singkat, oleh karena itu, upaya
pemberdayaan masyarakat juga perlu melibatkan berbagai pihak baik
dari pemerintah daerah maupun lembaga-lembaga non pemerintah
daerah.
Di sisi lain, pembangunan desa tidak bisa hanya bergantung dari
peran pemerintahan di desa dan bantuan dari pemerintah daerah
setempat. Kreatif itas masyarakat menjadi modal penting untuk
mewujudkan desa yang maju dan mandiri. Terlalu sering mendapat
bantuan dari pemerintah menjadikan masyarakat menjadi tergantung
dan mengharapkan bantuan pemerintah. Hal ini juga disampaikan
peserta FGD bahwa bantuan yang sering diberikan oleh pemerintah
pusat maupun pemerintah kabupaten membentuk persepsi masyarakat
terhadap pembangunan di desa. Dengan seringnya bantuan yang
diterima desa, sebagian masyarakat beranggapan bahwa semua
kegiatan desa dan pendanaan pembangunan desa sudah ditanggung
oleh pemerintah termasuk insentif untuk tenaga kerja. Akibatnya,
partisipasi masyarakat dalam kegiatan di desa menurun.
Fenomena ini menjadi dilema dalam pembangunan desa di satu
sisi banyak desa sangat tergantung dari bantuan pemerintah. Di sisi
lain, hal ini menciptakan apatisme sebagian masyarakat. Apabila upaya
pembangunan desa saja masih menghadapi kendala seperti ini maka
cita-cita ‘desa membangun negara’ hanya akan menjadi sesuatu yang
utopis. Karena untuk mewujudkan desa mandiri yang mampu
membangun maka harus ada kekuatan dari dalam desa untuk bangkit
dan bergerak. Bantuan dari pemerintah hendaknya menjadi stimulus
upaya menggerakkan desa, bukan justru membuat desa menjadi sangat
tergantung dari bantuan.
Padahal pelibatan masyarakat dalam pembangunan desa bisa
menggali potensi yang dimiliki desa. Seperti pengembangan kampung
ekowisata berbasis masyarakat lokal di Desa Bendosari, Kabupaten
Malang, kegiatan ini melibatkan pemerintah desa, organisasi lokal serta
masyarakat lokal. Upaya pengembangan kapasitas dilakukan melalui
program-program pelatihan dan pemberdayaan masyarakat yang
memfokuskan pada tiga point penting, yakni (a) Pengembangan SDM
masyarakat lokal; (b) Penguatan organisasi sistem manajemen aparatur
130
Pemerintah Desa; (c) Reformasi kelembagaan pada organisasi-
organisasi lokal. Pengembangan kampung ekowisata ini menghasilkan
manfaat pada meningkatnya kualitas manusia dan perekonomian
masyarakat lokal yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan
masyarakat, membaiknya infrastruktur desa, dan meluasnya lapangan
pekerjaan bagi masyarakat. Faktor Pendukung penerapan capacity
building berupa potensi sumberdaya alam, tingginya rasa antusiasme
masyarakat sekitar kawasan ekowisata untuk ikut berpartisipasi secara
langsung dalam membantu menyiapkan wisata alternatif untuk
mengembangkan potensi-potensi ekowisata, serta peran Pemerintah
Desa yang sangat kuat untuk menjadikan desa ini sebagai tempat
wisata alam. Faktor Penghambat adalah rendahnya kualitas SDM
pengelola, keterbatasan dana, Pemerintah Daerah setempat yang
belum aktif dalam mendukung penyediaan sarana dan prasarana
kegiatan ekowisata serta belum memberikan bantuan secara finansial
yang dirintis oleh desa (Damayanti et al., 2014).
131
kemandirian desa dengan menggunakan Indeks Desa Membangun
(IDM). Klasifikasi tersebut meliputi:
1. Desa mandiri atau desa swasembada;
2. Desa maju atau desa pra-swasembada;
3. Desa berkembang atau desa madya;
4. Desa tertinggal atau desa pra-madya;
5. Desa sangat tertinggal atau desa pratama.
132
terlihat dari pelaksanaan pemilihan kepala desa dan anggota BPD yang
melibatkan masyarakat secara langsung. Desa atau masyarakat desa
memiliki independensi untuk mengajukan calon pemimpinnya dan
memilihnya melalui pemilihan kepala desa yang demokratis, bahkan
hal ini sudah berlangsung jauh sebelum praktek pemilihan kepala
daerah dan presiden secara langsung diterapkan di Indonesia. Dalam
hal ini, desa bisa disebut sebagai pioner pemilihan pemimpin secara
langsung dan demokratis.
Kedua, prinsip subsidiaritas berkaitan dengan pendelegasian
pengambilan keputusan kepada level yang lebih dekat dengan
masyarakat. Dalam hal pengelolaan atau pelaksanaan urusan
pemerintahan desa, UU No. 6/2014 memberikan penguatan dan
pengakuan terhadap otonomi desa. Namun, dalam banyak hal masih
terjadi intervensi terhadap pemerintahan desa. Penentuan struktur
organisasi desa merupakan contoh pengambilan keputusan yang masih
diatur secara rigid oleh level pemerintah pusat (melalui Permendagri)
dan kabupaten/kota. Bahkan hal-hal teknis seperti pelaksanaan rapat
pembangunan desa pun diatur melalui permendagri, seperti pada
Bagian Kedua dan Ketiga Permendagri No. 114/2014 tentang
Pembangunan Desa. Padahal di kalangan masyarakat desa sudah
memiliki tradisi musyawarah dalam menyelesaikan persoalan umum
yang dihadapi, termasuk dalam pembangunan desa.
Ketiga, prinsip regionalisme berkaitan dengan tranfer kekuasaan
politik dan ekonomi kepada pemerintahan di tingkat lokal. Pemberian
kewenangan kepada desa menunjukkan adanya upaya tranfer
kekuasaan politik tersebut berkaitan dengan tugas-tugas
pembangunan desa, pembinaan masyarakat dan pemberdayaan
kemasyarakatan. Selain itu, desa juga bisa membentuk lembaga-
lembaga ekonomi, misalnya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes),
sebagai salah satu sumber pendapatan desa.
Dari ketiga prinsip tersebut ternyata belum semua prinsip
dilaksanakan secara utuh untuk mewujudkan desa yang mandiri dengan
semangat self-governing community dan local self-government. Upaya
mewujudkan self-governing community dan local self-government di
level desa, masih terikat oleh aturan-aturan yang dibuat oleh
pemerintah sendiri baik level pusat dan kabupaten. Keleluasaan untuk
133
mengatur hal-hal teknis seharusnya bisa diserahkan kepada desa karena
desa yang lebih memahami kebutuhannya serta memiliki mekanisme
tersendiri dalam pengambilan keputusan. Desa yang pada umumnya
memiliki budaya atau tradisi lokal memiliki peran penting dalam
membentuk self-governing community (Hon, 2004). Sedangkan level
pemerintah di atasnya seharusnya lebih berfungsi sebagai pembina
desa, dan aturan-aturan tentang desa seharusnya lebih normatif dan
bersifat general bukan aturan-aturan teknis yang justru membatasi
kreatifitas desa dalam mengelola sumber dayanya.
Peran pemerintah pusat dan kabupaten dalam pemberdayaan
masyarakat dan pemerintahan desa masih sangat minim dan lebih
fokus pada pengelolaan anggaran. Di sisi lain, pemerintah baik pusat
maupun kabupaten belum mempersiapkan kapasitas desa untuk
menuju desa mandiri dengan konsep self-governing community dan
local self-governing. Dengan kondisi seperti ini maka terwujudnya desa
mandiri tersebut masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, kebijakan
pembinaan desa oleh pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten
perlu juga diarahkan pada peningkatan kapasitas desa sehingga desa
bisa memampukan diri sendiri, tidak hanya fokus pada pengelolaan
anggaran serta proyek-proyek f isik di desa, tetapi juga pada
pengembangan kualitas aparat pemerintah desa dan BPD.
Tidak hanya itu, beberapa strategi membangun kemandirian
desa juga dapat dilakukan dengan cara :
1. Membangun kapasitas warga dan organisasi masyarakat sipil di
desa yang kritis dan dinamis;
2. Memperkuat kapasitas pemerintahan dan interaksi dinamis antara
organisasi warga. Ini tidak terlepas dari peran kepemimpinan
Kepala Desa dan taktisnya peran BPD dalam merumuskan dan
menelorkan kebijakan;
3. Membangun sistem perencanaan dan penganggaran desa yang
responsif dan partisipatif; serta
4. Membangun kelembagaan ekonomi lokal yang mandiri dan
produktif.
134
pengembangan kapasitas aparatur desa, perangkat dan kelembagaan
desa. Berbagai pengembangan kapasitas itu diperlukan dalam
pengelolaan desa diantaranya kapasitas ekstraksi dalam
mengoptimalkan aset sumber daya untuk keperluan hajat hidup orang
banyak, kapasitas regulasi dalam mengurus pemerintahan desa
berdasarkan peraturan desa dan kebutuhan masyarakat setempat,
kapasitas distributif dalam membagi sumberdaya secara seimbang
sesuai prioritas kebutuhan masyarakat desa, kapasitas responsif dalam
merespon aspirasi untuk perencanaan kebijakan pembangunan desa,
kapasitas jaringan dan kerja sama dalam membangun sinergitas
dengan pihak eksternal.
Wajibnya beberapa kemampuan berikut ini dimiliki oleh
perangkat desa yaitu kemampuan dasar, kemampuan manajemen, dan
kemampuan teknis. Kemampuan dasar meliputi pengetahuan tentang
regulasi desa, pengetahuan tentang dasar-dasar pemerintahan desa,
dan pengetahuan tentang tugas pokok dan fungsi. Kemampuan
manajemen meliputi manajemen SDM, manajemen pelayanan publik,
manajemen aset, dan manajemen keuangan. Sedangkan kemampuan
teknis meliputi penyusunan administrasi desa, penyusunan perencanaan
pembangunan, penyusunan anggaran, penyusunan peraturan desa, dan
pelayanan publik.
Kreatifitas desa dalam merespon kondisi di sekitarnya bisa dilihat
dari beberapa praktek terobosan yang telah dilakukan di berbagai
desa di beberapa daerah. Hal ini bisa dijadikan sebagai benchmarking
desa dalam menghadapi berbagai persoalan di sekitarnya. Tempo
memilih tujuh desa unggulan karena terobosan yang telah dilakukan
di beberapa kategori, yaitu Desa Jabiren di Kabupaten Pulang Pisau
(Kalimantan Tengah) di kategori penjaga lingkungan, Desa Blang
Krueng di Kabupaten Aceh Besar (Aceh) di kategori sadar pendidikan,
Desa Dermaji di Kabupaten Banyumas (Jawa Tengah) di kategori
teknologi, Desa Mengwi di Kabupaten Badung (Bali) di kategori
pemberdayaan ekonomi, Desa Lalang Sembawa di Kabupaten
Banyuasin (Sumatera Selatan) di kategori sadar kesehatan, Desa
Kanonang Dua di Kabupaten Minahasa (Sulawesi Utara) di kategori
desa pemekaran inovatif, dan Desa Nita di Kabupaten Sikka (Nusa
Tenggara Timur) di kategori transparansi anggaran (‘Tujuh Kampung’,
2016).
135
Contoh-contoh best practice ini bisa dijadikan referensi bagi desa-
desa lain bahwa kreatifitas dan kepekaan SDM desa merupakan faktor
penting untuk menyelesaikan masalah di desa sebagai upaya
mewujudkan desa mandiri. Misalnya Desa Jabiren di Kabupaten Pulang
Pisau, yang menjadi desa unggulan di kategori penjaga lingkungan,
telah melakukan upaya pencegahan kebakaran lahan gambut dengan
cara membuat parit dan mengalirkan air dari bengawan menuju lahan
gambut serta membuat sumur bor di kawasan lahan tersebut. Dengan
cara ini, lahan gambut yang kering menjadi basah karena terlairi air
dari bengawan dan sumur bor. Berbagai upaya tersebut dilakukan oleh
masyarakat desa secara swadaya (‘Desa Unggulan’, 2016).
Desa-desa di Kabupaten Kutai Kartanegera yang tersebar dari
kawasan hulu hingga hilir tentunya memiliki karakteristik yang berbeda,
baik dari sisi fisik, geografis maupun sosial budaya. Kreatifitas dan
kepekaan SDM desa, dengan demikian ditantang untuk tumbuh dalam
merespon kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat setempat.
136
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian di muka bisa disimpulkan bahwa penerapan
prinsip self-governing community dan local self-government di desa lokus
belum bisa berjalan sepenuhnya, tetapi hanya berjalan sebagian. Hal
ini menyebabkan perwujudan desa menjadi self-governing community
dan local self-government masih jauh dari harapan. Bukan saja karena
faktor internal desa tetapi juga faktor eksternal dari pemerintah, yaitu
tingginya intervensi terhadap desa bahkan sampai ke hal-hal teknis
serta tidak sinkronnya kebijakan antar kementerian yang berkaitan
dengan desa. Sedangkan dari sisi internal desa, berbagai keterbatasan
dimiliki desa sehingga desa masih sangat tergantung dari bantuan
pemerintah pusat dan daerah, misalnya dalam hal alokasi anggaran
untuk desa, serta minimnya kompetensi dan kreatifitas aparat desa
dalam melaksanakan tugasnya di tengah keterbatasan yang dimiliki.
Berbagai permasalahan klasik desa sudah sering diungkap,
misalnya minimnya infrastruktur sehingga menyebabkan keterisolasian
desa dan sulitnya akses masyarakat desa terhadap pusat-pusat
pelayanan publik. Di daerah lokus sebagian besar desa telah memiliki
infrastruktur yang memadai, seperti jalan cor maupun jalan aspal.
Terutama desa-desa yang dekat dengan kawasan perkotaan atau desa
yang dilalui jalan antar kota. Demikian juga fasilitas pendidikan dan
kesehatan secara umum telah tersedia di desa, kecuali fasilitas
penerangan/listrik dan air bersih yang belum merata di semua desa.
Persoalan lain yang terdapat di desa lokus justru minimnya kreatifitas
desa dalam menghadapi keterbatasan yang dimiliki.
Dengan kewenangan yang dimiliki serta alokasi anggaran dari
pusat maupun pemerintah daerah maka seharusnya bisa menjadi
stimulan bagi desa untuk kreatif dalam memanfaatkan sumber daya
yang dimiliki dan menggali potensinya. Namun, ketergantungan
terhadap bantuan tersebut justru membuat desa menjadi pasif dan
senantiasa mengharapkan bantuan. Desa hendaknya bisa belajar dari
137
desa-desa lain yang lebih kreatif dalam merespon permasalahan dan
kondisi di sekitarnya dengan melibatkan masyarakat dan stakeholders
yang peduli terhadap desa. Jika hal ini bisa dilakukan maka ini akan
menjadi modal awal untuk mewujudkan desa mandiri dalam konsep
self-governing community dan local self-government sebagaimana
dicita-citakan oleh UU Desa.
B. Saran
Berdasarkan hasil kajian tersebut maka dirumuskan beberapa
saran yang perlu dilakukan baik oleh pemerintah pusat, kabupaten,
desa, dan para stakeholders. Pertama, mengurangi intervensi
pemerintah pusat terhadap desa, yaitu dengan cara melakukan revisi
terhadap Permendagri No. 84/2015. Kebijakan berupa revisi tersebut
hendaknya diikuti dengan revisi Perbup Kukar No. 7/2016. Regulasi
dari pemerintah pusat dan kabupaten hendaknya mengatur hal-hal
yang bersifat umum, misalnya jumlah maksimal jabatan Kepala Urusan
dan Kepala Seksi di organisasi pemerintah desa, bukan hal teknis
hingga menentukan jumlah dan nomenklatur jabatan untuk masing-
masing tipe desa. Selanjutnya, desa diberikan keleluasaan untuk
menentukan jumlah dan nomenklatur jabatan di lingkungannya dengan
batasan maksimal yang telah ditentukan.
Kedua, diperlukan sinkronisasi kebijakan antar kementerian,
terutama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
(Kemendes PDTT), misalnya dalam menentukan klasifikasi desa. Karena
perbedaan klasif ikasi desa membingungkan dan berpotensi
menghasilkan data yang berbeda-beda tentang perkembangan dan
kemajuan desa.
Ketiga, penguatan kompetensi SDM desa dan perangkat
pendukung kelembagaan pemerintah desa. Dari sisi SDM desa,
penguatan kompetensi perlu dilakukan dengan cara memampukan
aparat desa dalam menyusun perencanaan program dan kegiatan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta penyusunan laporan
pelaksanaan program dan kegiatan desa. Sedangkan dari sisi
kelembagaan perlu dilakukan pembenahan dengan melengkapi
berbagai perangkat pendukung kelembagaan, yaitu uraian tugas (job
138
description) pegawai, SOP (Standar Operaitng Procedure), Standar
Pelayanan, dan sebagainya. Berbagai perangkat pendukung tersebut
diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan tugas-tugas organisasi,
menciptakan kejelasan tugas pegawai serta pelayanan publik.
Keempat, mengoptimalkan peran Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD), stakeholders dan
organisasi non pemerintah untuk memberikan kontribusi terhadap
upaya pemberdayaan desa. BPMPD sebagai satuan kerja di lingkungan
pemerintah kabupaten memiliki tugas-tugas yang berkaitan dengan
pembinaan dan pemberdayaan desa, baik pemerintah desa maupun
masyarakat desa. Instansi ini perlu memfasilitasi berbagai SKPD untuk
menciptakan sinkronisasi perencanaan daerah dan SKPD yang
berkaitan dengan desa sehingga benar-benar sesuai dengan kebutuhan
desa. Selain itu, membuka kesempatan kepada para stakeholders dan
organisasi non pemerintah untuk memberikan kontribusi
pemberdayaan dan pembangunan desa sehingga bisa membantu
meringankan beban desa dalam upaya memampukan dirinya.
C. Implikasi Kebijakan
Mengurangi intervensi pemerintah pusat dan kabupaten
terhadap desa berimplikasi terhadap revisi peraturan perundang-
undangan yang terkait, seperti Permendagri No. 84/2015 dan Perbup
No. 7/2016. Regulasi tersebut hendaknya lebih mengatur desa secara
umum danmemberikan keleluasaan yang lebih besar kepada desa
untuk mengatur hal-hal teknis sesuai kebutuhan dan kondisi masing-
masing desa.
D. Keterbatasan
Kajian ini dilakukan lebih fokus pada sisi kelembagaan dan SDM
aparat desa, sehingga kajian ini tidak menjangkau langsung masyarakat
desa secara luas. Oleh karena itu, pembahasan kapasitas masyarakat
desa dalam mendukung upaya mewujudkan desa sebagai self-
governing community dan local self-government perlu dilakukan kajian
tersendiri. Pembahasan kapasitas masyarakat desa akan melengkapi
pembahasan kapasitas desa menjadi lebih komprehensif dari berbagai
sisi.
139
DAFTAR PUSTAKA
140
Babinova, O. (2011). Local Self-Government in Ukraine : Strategic
Priorities and Problems of Realization. Journal of Public
Administration and Policy Research , 3 (4), 98-105.
BPS Kabupaten Kutai Kartanegara. (2016a). Kutai Kartanegara dalam
Angka 2016. Tenggarong: BPS Kabupaten Kutai Kartanegara.
BPS Kabupaten Kutai Kartanegara. (2016b). Statistik Daerah Kecamatan
Muara Kaman tahun 2016. Tenggarong: BPS Kabupaten Kutai
Kartanegara.
BPS Kabupaten Kutai Kartanegara. (2016c). Statistik Daerah Kecamatan
Tenggarong Seberang tahun 2016. Tenggarong: BPS Kabupaten
Kutai Kartanegara.
BPS Kabupaten Kutai Kartanegara. (2016d). Statistik Daerah Kecamatan
Marang Kayu tahun 2016. Tenggarong: BPS Kabupaten Kutai
Kartanegara.
BPS, Garis Kemiskinan Menurut Provinsi, 2013-2015. Online: <http://
www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1120> diakses 3
Februari 2016.
BPS, Jumlah Desa Menurut Provinsi, 2004-2014. Online: <http://
www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/858> diakses 3
Februari 2016.
BPS, Jumlah Penduduk Miskin Menurut Provinsi, 2013-2015. Online:
<http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1119>
diunduh 3 Februari 2016.
Brezovšek, M. (2014). Local Self-Government in Slovenia : Theoritical
and Historical Aspect. Ljubljana: Faculty of Social Sciences,
University of Ljubljana.
Creswell, J.W. (2014). Research Design: qualitative, Quantitative, and
Mixed Methods Approaches (Edisi ke-4). Thousand Oaks: Sage
Publications.
Daft, R.L. (2007). Understanding the Theory and Design of Organizations,
Mason: Thomson.
Damayanti, E., Soeaidy, M. S., & Ribawanto, H. (2014). Strategi Capacity
Building Pemerintah Desa dalam Pengembangan Potensi
Kampoeng Ekowisata Berbasis Masyarakat Lokal (Studi di
141
Kampoeng Ekowisata, Desa Bendosari, Kecamatan Pujon,
Kabupaten Malang). Jurnal Administrasi Publik (JAP) , 2 (3),
464-470.
Eko, S. (2014). Desa Membangun Indonesia. Retrieved Januari 26, 2016,
from Jaringan Komunikasi Desa: http://www.jarkomdes.com
Fajri, R., Setyowati, E., & Siswidiyanto. (20xx). Akuntabilitas Pemerintah
Desa pada Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) Studi pada
Kantor Desa Ketindan, Kecamatan Lawang, Kabupaten
Malang). Jurnal Administrasi Publik (JAP) , 1099-1104.
Ghozali, D. A. (2015). Buku 4; Kader Desa : Penggerak Prakarsa
Masyarakat Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia.
Hill, M. (2013). The Public Policy Process (Edisi ke-6). Essex: Pearson.
Hon, T. K. (2004). Cultural identity and Local Self-Government, a Study
of Liu Yizheng’s History of Chinese Culture. Modern China , 30
(4), 506-542.
Ihsan, M. M. (2015). Buku 8; Ketahanan Masyarakat Desa. Jakarta:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Trasmigrasi Republik Indonesia.
Leba, E. G. (2015). Kapasitas Desa dalam Pelaksanaan Otonomi Desa.
Onilne: http://www.academia.edu/6688453/KAPASITAS_
DESA_dalam_PELAKSANAAN_OTONOMI_DESA diunduh 26
Januari 2016.
McShane, S. & Travaglione, T. (2007). Organizational Behaviour on the
Pacific Rim, Edisi ke-2, North Ryde: McGraw-Hill Australia.
Mustakim, M. Z. (2015). Buku 2; Kepemimpinan Desa. Jakarta:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Trasmigrasi Republik Indonesia.
Noviyanti, E. (2015). Review Community Empowerment Evaluation
(Metode Evaluasi Pemberdayaan Fujikake): Studi Kasus
Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Provinsi DKI
Jakarta. Online: http://www.kompasiana.com/evlina.
ko m p a s i a n a . c o m / r e v i e w - c o m u n i t y - e m p o we r m e n t-
evaluation-metode-evaluasi-pemberdayaan-fujikake-studi-
142
kasus-program-pemberdayaan-masyarakat-kelurahan-
provinsi-dki-jakarta_5528b4576ea834c80a8b459a diunduh 29
September 2016
Pemkab Kukar dan PKP2A III LAN. (2008). Kajian Penyusunan Naskah
Akademik Penyerahan Urusan Pemerintahan kepada Desa di
Kabupaten Kutai Kartanegara. Samarinda: Pemkab Kukar &
PKP2A III LAN, tidak diterbitkan.
Peraturan Desa Santan Ilir No. 10 Tahun 2015 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Tahun Anggaran
2015.
Peraturan Desa Santan Ulu No. 2 Tahun 2014 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa Tahun 2014-2018.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114 Tahun 2014 tentang
Pembangunan Desa.
Perda Kabupaten Kutai Kartanegara No. 7 tahun 2016 tentang Struktur
Organisas dan Tata Kerja Pemerintah Desa.
Permendagri No. 84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Pemerintah Desa.
PKP2A III LAN. (2006). Model Kelembagaan Pengelolaan Kawasan
Perbatasan Dalam Rangka Percepatan Pembangunan Sosial
ekonomi Wilayah Perbatasan. Samarinda: PKP2A III LAN.
Punch, K.F. (2014). Introduction to Sosial Research: Quantitative and
Qualitative Approaches (Edisi ke-3). London: Sage Publication.
Putra, A. S. (2015). Buku 7 ; Badan Usaha Milik Desa : Spirit Usaha Kolektif
Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia.
Septianawati, R., Haryono, B. S., & Nurani, F. (2014). People’s
Empowerment Throgh National Program for rban Self
Community Empowerment (Studies on The Province of
Revolving Financial in The Village of Jabon, sub-Distict of
Jombang, Jombang Regency). Jurnal Administrasi Publik (JAP),
837-843.
Silahuddin, M. (2015). Kewenangan Desa dan Regulasi Desa. Jakarta:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi.
143
Suwardjo, H. W. (2009). Penguatan Pemerintahan Desa: Pengalaman
Empirik Kepemimpinan Desa. dalam PKP2A III LAN.
Pengembangan Kapasitas Pemerintah Desa dan
Pengembangan Pelayanan di Tingkat Desa. Samarinda: PKP2A
III LAN, hal. 55-63.
Thiel, S.V. (2014). Research Methods in Public Administration and Public
Management: An Introduction. London & New York: Routledge.
Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Wahidi, R. (2015). Membangun Perdesaan Modern, Tata Kelola
Infrastruktur Desa. Bogor: Indec.
144