Anda di halaman 1dari 5

Kasus Suap Proyek Bupati Indramayu

Jakarta - KPK resmi menetapkan Bupati Indramayu Supendi sebagai tersangka


kasus suap berkaitan dengan proyek di Dinas PUPR. Supendi diduga menerima
suap untuk memuluskan pihak swasta mengerjakan proyek proyek di Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten Indramayu.
"Sejalan dengan peningkatan status penanganan perkara ke penyidikan, KPK
menetapkan 4 orang tersangka," kata Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan dalam
konferensi pers di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa
(15/10/2019).
Empat tersangka tersebut adalah:
Sebagai penerima
1. Supendi selaku Bupati Indramayu
2. Omarsyah selaku Kepala Dinas PUPR Kabupaten Indramayu
3. Wempy Triyono selaku Kepala Bidang Jalan di Dinas PUPR
Kabupaten Indramayu
4. Sebagai pemberi Carsa selaku swasta
Supendi, Omarsyah, dan Wempy diduga menerima uang dalam besaran yang
berbeda-beda dari Carsa. Uang itu diduga berkaitan dengan 7 proyek di Dinas
PUPR yang nilai totalnya kurang-lebih Rp 15 miliar.

Direktur Visi Integritas, Ade Irawan mengatakan sektor infrastruktur memang paling
rawan korupsi ketimbang sektor lain seperti pertanian dan pendidikan. Selain
anggaran jumbo, pengadaan barang dan jasa dalam proyek infrastruktur yang minim
pengawasan menjadi pangkal masalah korupsi di Kementerian PUPR maupun Dinas
PU. "Dari mulai penganggaran, dilanjutkan pas proses tender, biasanya akan
formalitas, Karena pemenang sudah ditentukan sebelumnya. Lalu pas implementasi
proyek, maka proyek dikorupsi. Cara umum mark up, spesifikasi barang dibuat
rendah," ucap Ade saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (15/10/2019).
Kasus Korupsi Pelabuhan Bupati Seruyan

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan mantan


Bupati Seruyan, Kalimantan Tengah, Darwan Ali sebagai tersangka dalam kasus
korupsi proyek Pelabuhan Laut Teluk Segintung tahun 2007-2012. " Febri
menyampaikan, Darwan diduga mengatur agar proyek tersebut dimenangkan oleh
PT Swa Karya Jaya (PT SKJ) yang salah satu direkturnya merupakan kawan dekat
Darwan. KPK menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses lelang proyek
tersebut, mulai dari pengambilan dokumen lelang yang hanya satu hari, dokumen
prakualifikasi dan penawaran lelang yang diduga dipalsukan, serta panitia lelang
yang mengabaikan ketidaklengkapan dokumen PT SKJ. Di samping itu, Darwan
diduga mengubah nilai kontrak proyek dari Rp 112.736.000 menjadi Rp 127.411.481
atau sekitar 13,02 persen. "Adendum ini melebihi ketentuan Perpres 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang dan Jasa yang menyebutkan maksimal menambah
pekerjaan adalah sebanyak 10 persen," kata Febri. Tak hanya itu, Darwan diduga
beberapa kali menerima transfer sejumlah Rp 687.500.000 dari PT SKJ melalui
anaknya. "Dalam perkara ini, diduga keuangan negara dirugikan sekitar Rp 20,84
miliar," kata Febri. Febri juga menyampaikan, penetapan Darwan sebagai tersangka
berdasarkan pemeriksaan terhadap 32 saksi serta penggeledahan rumah Darwan di
kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Atas dugaan tersebut, Darwan disangka melanggar
Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 KUHP.
Era Kepemipinan Hatta Ali 20 Hakim Terjerat Korupsi

Dunia peradilan kembali dirundung awan gelap. Satu orang Hakim serta pihak
swasta dan juga seorang pengacara ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena
diduga terlibat praktik korupsi di lingkungan Pengadilan Negeri Balikpapan (4/5).
Pihak-pihak yang terjaring operasi tangkap tangan itu diduga terkait dengan upaya
memenangkan sebuah perkara yang sedang disidangkan pada pengadilan tersebut.
Tentu ini semakin menguatkan kesimpulan bahwa ada persoalan serius dalam
konteks pengawasan di lingkungan Mahkamah Agung.

Kejadian ini harusnya menjadi bahan refleksi yang serius bagi dua institusi
pengawas hakim, yakni Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial. Tertangkapnya
Hakim karena tersangkut kasus korupsi mengkonfirmasi sistem pengawasan yang
belum berjalan secara optimal. Kedepan dua lembaga tersebut penting untuk
merumuskan ulang grand design pengawasan, bahkan jika diperlukan dapat
melibatkan KPK sebagai pihak eksternal.

Sebelumnya ICW sempat memetakan pola korupsi yang terjadi di sektor pengadilan.
Setidaknya ada 3 (tiga) tahapan. Pertama, saat mendaftarkan perkara. Yang
dilakukan dalam tahapan ini adalah dalam bentuk permintaan uang jasa. Ini
dimaksudkan agar salah satu pihak mendapatkan nomor perkara lebih awal lalu
oknum di pengadilan mengiming-imingi dapat mengatur perkara tersebut.

Kedua, tahap sebelum persidangan. Korupsi pada tahap ini adalah untuk
menentukan majelis hakim yang dikenal dapat mengatur putusan. Ketiga, saat
persidangan. Modus ini yang paling sering dilakukan, caranya dengan menyuap
para Hakim agar putusannya menguntungkan salah satu pihak. Gambaran pola
tersebut patut untuk dijadikan perhatian bersama agar kedepan tidak ada lagi pihak
yang menambah catatan kelam dunia pengadilan Indonesia.

Seorang Hakim yang terlibat kasus korupsi sebenarnya tidak hanya bersinggungan
pada regulasi hukum saja, akan tetapi juga melanggar kode etik.

Terakhir yang patut menjadi sorotan juga adalah terkait dengan tingkat kepercayaan
publik pada lembaga pengadilan. Sudah barang tentu dengan penindakan yang
dilakukan KPK terhadap oknum Hakim di Pengadilan Negeri Balikpapan akan
semakin meruntuhkan citra pengadilan di mata masyarakat. Sebelumnya hal ini
terbukti dengan rilis survei yang dikeluarkan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI)
pada tahun 2018 lalu yang menempatkan sektor pengadilan pada tiga urutan
terbawah dalam lembaga rawan terjadi korupsi.
Kasus Korupsi PLTU Riau

Pada hari Jumat, 13 Juli 2018 Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan Operasi
Tangkap Tangan (OTT) Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih di
rumah dinas Menteri Sosial nya. Eni divonis 6 Tahun penjara oleh majelis hakim
pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Eni merupakan salah satu anggota
Fraksi Partai Golkar yang terbukti menerima suap Rp 4,750 miliar dari Johannes
Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd. Suap
tersebut dimaksudkan agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent
Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau
1. Proyek tersebut rencananya akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali
Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering
Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo[1]. Eni beberapa kali mengadakan pertemuan
antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir
yang saat ini pun menjadi tersangka atas pengembangan kasus Korupsi
pembangunan PLTU Riau-1. Hal ini dilakukan Eni agar Kotjo mendapatkan proyek
PLTU tersebut.

Kasus korupsi tersebut diawali Kotjo yang meminta bantuan kepada Setya Novanto
yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar
untuk mendapat akses dengan Direktur PLN yaitu Sofyan Basir. Novanto pun
akhirnya mempertemukan Kotjo dengan Eni yang menjabat sebagai anggota DPR
yang membidangi energi, riset, teknologi, dan lingkungan hidup. Dan ia meminta Eni
untuk selalu mengawal Kotjo sampai ia mendapatkan proyek PLTU Riau-1. Selain
itu, Eni juga terbukti menerima gratifikasi Rp 5,6 miliar dan 40.000 dollar Singapura.
Uang tersebut diberikan oleh sejumlah direktur dan pengusaha di bidang minyak dan
gas. Uang tersebut akan digunakan Eni untuk kegiatan kampanye suaminya yang
mengikuti pemilihan Bupati di Temanggung.

Perbuatan Eni membuat ia melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11
UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor
20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara Kotjo telah melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau paasal
13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 61 ayat (1) KUHP.
Korupsi Massal Wakil Rakyat Daerah

Sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD kota malang telah ditetapkan sebagai


tersangka korupsi oleh KPK. Sekarang DPRD Kota Malang hanya tersisa 4 anggota.
Ke-41 anggota DPRD Kota Malang tersebut diduga menerima uang suap dari Wali
Kota Malang (nonaktif) Moch Anton, yang juga menjadi tersangka. Uang suap senilai
Rp 12,5 juta-Rp 50 juta per anggota ini dimaksudkan untuk memuluskan
pengesahan APBD Perubahan Kota Malang Tahun 2015.

Korupsi secara massal yang dilakukan oleh para wakil rakyat di Kota Malang tentu
saja ironis dan memprihatinkan. DPRD yang seharusnya menjalankan fungsi
pengawasan terhadap kerja eksekutif justru berkolaborasi untuk melakukan korupsi.
Peristiwa ini tidak saja berimbas hanya ke Kota Malang, tetapi menimbulkan
ketidakpercayaan rakyat kepada hampir semua parlemen di daerah.

Berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch, bentuk korupsi anggota Dewan


daerah adalah penyuapan dan penyalahgunaan anggaran. Praktik korupsi terjadi
dalam tugas dan kewenangan yang dimiliki DPRD, yaitu pengawasan, penyusunan
anggaran, dan pembuatan peraturan. Nilai suap yang diterima mulai dari belasan
juta hingga miliaran rupiah. Besarannya sangat bergantung pada kedudukan
anggota tersebut dalam DPRD. Tentu saja jatah suap untuk pimpinan DPRD atau
fraksi lebih besar daripada anggota biasa.

Setidaknya ada lima modus korupsi yang umumnya dilakukan rombongan anggota
DPRD. Pertama, menerima suap untuk memuluskan laporan pertanggungjawaban
kepala daerah atau penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Suap cara ini sering kali disebut ”uang ketok palu”. Agar tidak ada penolakan dari
legislatif, kepala daerah harus mengeluarkan uang suap untuk pimpinan maupun
semua anggota DPRD.

Kedua, menambah pendapatan anggota dan pimpinan Dewan secara tidak sah
melalui pos anggaran DPRD. Ketiga, menitipkan proyek atau alokasi khusus melalui
anggaran yang diusulkan pemerintah. Keempat, penggunaan dana APBD tidak
sesuai peruntukan dan tanpa bukti pendukung. Kelima, suap dalam proses
penyusunan dan pengesahan sebuah peraturan daerah.

Anda mungkin juga menyukai