Direktur Visi Integritas, Ade Irawan mengatakan sektor infrastruktur memang paling
rawan korupsi ketimbang sektor lain seperti pertanian dan pendidikan. Selain
anggaran jumbo, pengadaan barang dan jasa dalam proyek infrastruktur yang minim
pengawasan menjadi pangkal masalah korupsi di Kementerian PUPR maupun Dinas
PU. "Dari mulai penganggaran, dilanjutkan pas proses tender, biasanya akan
formalitas, Karena pemenang sudah ditentukan sebelumnya. Lalu pas implementasi
proyek, maka proyek dikorupsi. Cara umum mark up, spesifikasi barang dibuat
rendah," ucap Ade saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (15/10/2019).
Kasus Korupsi Pelabuhan Bupati Seruyan
Dunia peradilan kembali dirundung awan gelap. Satu orang Hakim serta pihak
swasta dan juga seorang pengacara ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena
diduga terlibat praktik korupsi di lingkungan Pengadilan Negeri Balikpapan (4/5).
Pihak-pihak yang terjaring operasi tangkap tangan itu diduga terkait dengan upaya
memenangkan sebuah perkara yang sedang disidangkan pada pengadilan tersebut.
Tentu ini semakin menguatkan kesimpulan bahwa ada persoalan serius dalam
konteks pengawasan di lingkungan Mahkamah Agung.
Kejadian ini harusnya menjadi bahan refleksi yang serius bagi dua institusi
pengawas hakim, yakni Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial. Tertangkapnya
Hakim karena tersangkut kasus korupsi mengkonfirmasi sistem pengawasan yang
belum berjalan secara optimal. Kedepan dua lembaga tersebut penting untuk
merumuskan ulang grand design pengawasan, bahkan jika diperlukan dapat
melibatkan KPK sebagai pihak eksternal.
Sebelumnya ICW sempat memetakan pola korupsi yang terjadi di sektor pengadilan.
Setidaknya ada 3 (tiga) tahapan. Pertama, saat mendaftarkan perkara. Yang
dilakukan dalam tahapan ini adalah dalam bentuk permintaan uang jasa. Ini
dimaksudkan agar salah satu pihak mendapatkan nomor perkara lebih awal lalu
oknum di pengadilan mengiming-imingi dapat mengatur perkara tersebut.
Kedua, tahap sebelum persidangan. Korupsi pada tahap ini adalah untuk
menentukan majelis hakim yang dikenal dapat mengatur putusan. Ketiga, saat
persidangan. Modus ini yang paling sering dilakukan, caranya dengan menyuap
para Hakim agar putusannya menguntungkan salah satu pihak. Gambaran pola
tersebut patut untuk dijadikan perhatian bersama agar kedepan tidak ada lagi pihak
yang menambah catatan kelam dunia pengadilan Indonesia.
Seorang Hakim yang terlibat kasus korupsi sebenarnya tidak hanya bersinggungan
pada regulasi hukum saja, akan tetapi juga melanggar kode etik.
Terakhir yang patut menjadi sorotan juga adalah terkait dengan tingkat kepercayaan
publik pada lembaga pengadilan. Sudah barang tentu dengan penindakan yang
dilakukan KPK terhadap oknum Hakim di Pengadilan Negeri Balikpapan akan
semakin meruntuhkan citra pengadilan di mata masyarakat. Sebelumnya hal ini
terbukti dengan rilis survei yang dikeluarkan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI)
pada tahun 2018 lalu yang menempatkan sektor pengadilan pada tiga urutan
terbawah dalam lembaga rawan terjadi korupsi.
Kasus Korupsi PLTU Riau
Pada hari Jumat, 13 Juli 2018 Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan Operasi
Tangkap Tangan (OTT) Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih di
rumah dinas Menteri Sosial nya. Eni divonis 6 Tahun penjara oleh majelis hakim
pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Eni merupakan salah satu anggota
Fraksi Partai Golkar yang terbukti menerima suap Rp 4,750 miliar dari Johannes
Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd. Suap
tersebut dimaksudkan agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent
Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau
1. Proyek tersebut rencananya akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali
Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering
Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo[1]. Eni beberapa kali mengadakan pertemuan
antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir
yang saat ini pun menjadi tersangka atas pengembangan kasus Korupsi
pembangunan PLTU Riau-1. Hal ini dilakukan Eni agar Kotjo mendapatkan proyek
PLTU tersebut.
Kasus korupsi tersebut diawali Kotjo yang meminta bantuan kepada Setya Novanto
yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar
untuk mendapat akses dengan Direktur PLN yaitu Sofyan Basir. Novanto pun
akhirnya mempertemukan Kotjo dengan Eni yang menjabat sebagai anggota DPR
yang membidangi energi, riset, teknologi, dan lingkungan hidup. Dan ia meminta Eni
untuk selalu mengawal Kotjo sampai ia mendapatkan proyek PLTU Riau-1. Selain
itu, Eni juga terbukti menerima gratifikasi Rp 5,6 miliar dan 40.000 dollar Singapura.
Uang tersebut diberikan oleh sejumlah direktur dan pengusaha di bidang minyak dan
gas. Uang tersebut akan digunakan Eni untuk kegiatan kampanye suaminya yang
mengikuti pemilihan Bupati di Temanggung.
Perbuatan Eni membuat ia melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11
UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor
20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara Kotjo telah melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau paasal
13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 61 ayat (1) KUHP.
Korupsi Massal Wakil Rakyat Daerah
Korupsi secara massal yang dilakukan oleh para wakil rakyat di Kota Malang tentu
saja ironis dan memprihatinkan. DPRD yang seharusnya menjalankan fungsi
pengawasan terhadap kerja eksekutif justru berkolaborasi untuk melakukan korupsi.
Peristiwa ini tidak saja berimbas hanya ke Kota Malang, tetapi menimbulkan
ketidakpercayaan rakyat kepada hampir semua parlemen di daerah.
Setidaknya ada lima modus korupsi yang umumnya dilakukan rombongan anggota
DPRD. Pertama, menerima suap untuk memuluskan laporan pertanggungjawaban
kepala daerah atau penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Suap cara ini sering kali disebut ”uang ketok palu”. Agar tidak ada penolakan dari
legislatif, kepala daerah harus mengeluarkan uang suap untuk pimpinan maupun
semua anggota DPRD.
Kedua, menambah pendapatan anggota dan pimpinan Dewan secara tidak sah
melalui pos anggaran DPRD. Ketiga, menitipkan proyek atau alokasi khusus melalui
anggaran yang diusulkan pemerintah. Keempat, penggunaan dana APBD tidak
sesuai peruntukan dan tanpa bukti pendukung. Kelima, suap dalam proses
penyusunan dan pengesahan sebuah peraturan daerah.