Karya Ilmiah Akhir Ners ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua
sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan
benar.
NPM : 0806333625
Tanda Tangan :
ii
HALAMAN PENGESAHAN
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 10 Juli 2013
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIAN) ini.
Penulisan KIAN ini dilakukan dalam rangka memenuhi mata ajar Karya Ilmiah
Akhir Ners Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya menyadari
bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi
saya untuk menyelesaikan penyusunan KIAN ini. Oleh karena itu , saya ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Dewi Irawaty, MA., PhD selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
(2) Riri Maria, S.Kp., MANP selaku koordinator mata ajar Karya Ilmiah
Akhir Ners (KIAN) Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
(3) Henny Permatasari, S.Kp., M.Kep., Sp.Kom.selaku koordinator mata ajar
Praktik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (PKKMP) Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
(4) Yulia, S.Kp., MN., Ph.D. selaku dosen pembimbing KIAN yang telah
menyediakan waktu, tenaga, pikiran dan kesabaran untuk mengarahkan
saya dalam menyusun KIAN ini.
(5) Pihak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, khususnya pihak ruang rawat
Penyakit Dalam lantai 7A Gedung A, yang telah bekerjasama dan selalu
memberikan bantuan, masukan, serta pengalaman yang sangat berharga
selama di lahan praktik
(6) Ayah, Ibu, dan keluarga yang selalu memberikan doa, motivasi, dan
dukungan finansial selama profesi dan penyusunan KIAN ini.
(7) Teman-teman FIK UI 2008, yang telah banyak memberikan semangat dan
motivasi dalam penyusunan KIAN ini.
(8) Semua pihak yang telah membantu penyusunan KIAN ini dan tidak bisa
disebutkan satu per satu.
iv
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas kebaikan
semua pihak yang telah ikut berkontribusi dalam penyelesaian penyusunan
KIAN ini. Semoga KIAN ini membawa manfaat bagi berbagai pihak, terutama
pengembangan ilmu kesehatan.
`
Depok, 10 Juli 2013
Penulis
v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Pada Tanggal : 10 Juli 2013
Yang menyatakan
Kata Kunci : baroreflek, gagal jantung, gagal jantung kongestif, latihan napas
lambat dalam, napas lambat dalam
Congestive heart failure is inability of the heart to pump blood adequately to meet
the need of body metabolism. Unhealthy lifestyle which is often found in urban
communities can be the cause of congestive heart failure. This final clinical
nursing report aimed to analyze nursing care for patient with congestive heart
failure in an Internal Medicine Ward, 7th Floor Zone A, Dr. Cipto Mangunkusumo
Hospital. Introducing of Slow Deep Breathing Exercise to increase arterial
baroreflex sensitivity is required both for nurses and patients.
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINAL ..................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iii
KATA PENGANTAR ................................................................................iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .....................vi
ABSTRAK ................................................................................................ vii
ABSTRACT ............................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..............................................................................................ix
DAFTAR TABEL .......................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xii
1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................... 4
1.1.1 Tujuan Umum ...................................................................... 4
1.1.2 Tujuan Khusus ...................................................................... 4
1.4 Manfaat Penulisan ......................................................................... 4
ix Universitas Indonesia
2.2.4 Pengaruh Latihan Napas Lambat Dalam (Slow Deep
Breathing Exercise) untuk Meningkatkan Sensitivitas
Baroreflek dan Aktivitas Vagal ......................................... 24
5. PENUTUP ........................................................................................... 67
5.1 Kesimpulan .................................................................................. 67
5.2 Saran ............................................................................................ 68
x Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Daftar Obat Injeksi dan Oral yang Diresepkan ................... 32
xi Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
1 Universitas Indonesia
2
darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik, yaitu konsumsi oksigen
(Black & Hawks, 2009). Penyakit ini dapat disebabkan oleh berbagai penyakit
kardiovaskuler lain yang mendahuluinya, seperti penyakit jantung koroner, infark
miokardium, stenosis katup jantung, perikarditis, dan aritmia (Smeltzer & Bare,
2002; Muttaqin, 2009). Hasil Riskesdas tahun 2008 menunjukkan penyakit gagal
jantung menempati urutan ketiga terbanyak jumlah pasien penyakit jantung di
rumah sakit di Indonesia dan menempati urutan kedua tertinggi tingkat kefatalan
kasus jantung, yaitu sebesar 13.42 %, pada tahun 2007 (Depkes, 2008).
Penyakit gagal jantung dapat mengakibatkan berbagai kerusakan yang
berdampak pada kualitas hidup penderita. Salah satu kerusakan yang terjadi
adalah kerusakan pada baroreflek arteri. Baroreflek arteri merupakan mekanisme
dasar yang terlibat dalam pengaturan tekanan darah (Tzeng et. al., 2009). Tzeng
et. al. (2009) menyatakan bahwa kerusakan baroreflek arteri berhubungan dengan
kematian pada penyakit kardiovaskuler. Kerusakan lain yang biasa terjadi pada
penyakit gagal jantung adalah kerusakan fungsi paru-paru. Kerusakan fungsi paru-
paru dapat secara tidak langsung berkontribusi pada penurunan saturasi oksigen
dan menurunkan aktivitas fisik (Bernardi et. al., 1998).
Kerusakan baroreflek arteri dan fungsi paru-paru, yang menyebabkan
ketidakadekuatan fungsi kardiorespiratori, mendorong para peneliti bidang
kesehatan melakukan penelitian terhadap intervensi yang dapat diberikan.
Bernardi et. al. (2002) melakukan penelitian dengan memberikan latihan napas
lambat dalam (slow deep breathing exercise) pada pasien CHF. Tingkat
pernapasan yang lambat dapat memberikan beberapa efek pada sistem
kardiorespiratori pasien CHF antara lain meningkatkan saturasi oksigen,
meningkatkan ventilasi/perfusi, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan
mengurangi sensasi dispnea, serta mengurangi aktivitas kemoreseptor dan saraf
simpatis (Bernardi et. al., 2002).
Bernardi et. al. (2002) melakukan penelitian untuk melihat efek latihan
nafas lambat dalam dengan judul Slow Breathing Increases Baroreflex Sensitivity
in Patients With Chronic Heart Failure. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 81
pasien CHF dan 21 individu sehat sebagai kontrol. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa bernafas lambat dalam dapat meningkatkan sensitivitas baroreflek dan
Universitas Indonesia
3
aktivitas vagal pada pasien gagal jantung sehingga meningkatkan saturasi oksigen,
efektifitas ventilasi, toleransi aktivitas, dan mengurangi aktivitas simpatis yang
berlebihan (Bernardi et. al.,2002). Hasil-hasil diatas dapat memberikan manfaat
pada penderita gagal jantung maupun penyakit kardiovaskular lain yang
mengalami kerusakan sensitivitas baroreflek yang mungkin memiliki nilai
prognostik yang merugikan.
Penelitian Bernardi et. al. dapat diterapkan oleh perawat dalam
memberikan perawatan pada pasien CHF untuk meningkatkan kualitas
pernapasan. Kualitas pernapasan yang baik dapat mempertahankan kualitas
oksigenasi. Oksigenasi merupakan kebutuhan yang esensial karena secara
patofisiologis gangguan kebutuhan oksigenasi dapat menyebabkan hipoksia sel
(Muttaqin, 2009). Hipoksia sel dapat menyebabkan kematian pada sel dan
menurunkan fungsi organ. Kematian sel pada sel jantung dapat memperburuk
gagal jantung karena menyebabkan penurunan kerja pompa jantung. Penurunan
kerja pompa jantung mengakibatkan gangguan sirkulasi dan berakibat pada
kurang terpenuhinya kebutuhan oksigenasi tubuh. Dampak oksigenasi yang buruk
berupa intoleransi aktivitas serta syok kardiogenik dan kematian ( Muttaqin, 2009;
Smeltzer & Bare, 2002).
Universitas Indonesia
4
1.4.Manfaat Penulisan
KIAN ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:
1. Perawat
KIAN ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi perawat
dalam memberikan intervensi keperawatan pada pasien CHF guna meningkatkan
kualitas dan perbaikan kesehatan.
Universitas Indonesia
5
2. Mahasiswa Keperawatan
KIAN ini diharapkan dapat menjadi sarana meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dalam memberikan intervensi keperawatan kepada pasien CHF
sebagai bekal saat terjun ke klinik.
3. Penelitian Keperawatan
KIAN ini diharapkan dapat menjadi data dasar dalam penelitian
selanjutnya yang berhubungan dengan intervensi keperawatan pada pasien CHF,
terutama terkait latihan napas lambat pelan.
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Etiologi
Gagal jantung disebabkan oleh keadaan atau hal-hal yang dapat
melemahkan atau merusak miokardium. Keadaaan atau hal-hal tersebut dapat
berasal dari dalam jantung itu sendiri, atau disebut faktor intrinsik, dan faktor luar
yang mempengaruhi kerja jantung, atau disebut dengan faktor ekstrinsik. Kondisi
yang paling sering menyebabkan gagal jantung adalah kelainan struktur dan
fungsi jantung yang mengakibatkan kegagalan fungsi sistolik ventrikel kiri
(Cowie & Kirby, 2003).
6 Universitas Indonesia
7
2.1.2.2.Faktor Ekstrinsik
Beberapa faktor ekstrinsik yang dapat menyebabkan gagal jantung
meliputi kondisi yang dapat meningkatkan afterload (seperti hipertensi),
peningkatan stroke volume akibat kelebihan volume atau peningkatan preload ,
dan peningkatan kebutuhan (seperti tirotoksikosis, kehamilan). Kelemahan pada
ventrikel kiri tidak mampu menoleransi perubahan yang masuk ke ventrikel kiri.
Kondisi ini termasuk volume abnormal yang masuk ke ventrikel kiri, otot jantung
ventrikel kiri yang abnormal, dan masalah yang menyebabkan penurunan
kontraktilitas otot jantung (Black & Hawks, 2009; Ignatavicius & Workman,
2006)
Universitas Indonesia
8
2.1.3.1. Penuaan
Penuaan akan mnyebabkan penurunan fungsi sistem tubuh, termasuk
fungsi sistem kardiovaskular. Penurunan fungsi sistem kardiovaskular terjadi
seiring perubahan-perubahan yang terjadi akibat penuaan. Perubahan-perubahan
yang terjadi tersebut meliputi yaitu terjadinya kekakuan dinding ventrikel kiri
akibat peningkatan kolagen, penurunan penggantian sel miosit yang telah mati,
kekakuan dinding arteri, dan gangguan sistem konduksi kelistrikan jantung akibat
penurunan jumlah sel pace maker. Kekakuan dinding ventrikel kiri dapat
menyebabkan penurunan curah jantung sehingga menyebabkan stimulus inotropik
dan kronotropik serta terjadi dilatasi pembuluh darah. Proses tersebut ditambah
dengan adanya kekakuan dinding arteri menyebabkan hipertensi. Oleh karena itu,
biasanya lansia memiliki tekanan darah lebih tinggi dibanding individu usia muda.
Gangguan kelistrikan jantung dapat menyebabkan kematian mendadak pada
individu (Leslie, 2004; Stanley & Bare, 2007)
2.1.3.2.Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu kondisi yang dapat menyebabkan gagal
jantung. Joint National Committee of Prevention Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure VII (JNC VII) tahun 2003 mendefinisikan
hipertensi sebagai keadaan dimana tekanan sistolik diatas 140 mmHg dan tekanan
diastolik lebih dari 90 mmHg (Leslie, 2004; Zakiyah 2008). Menurut
Framingham, hipertensi adalah penyebab gagal jantung kongestif paling sering
terutama pada kelompok umur 30-62 tahun (Kumala, 2009). Berdasarkan analisa
survey First National Health and Nutrition Examination, risiko relatif gagal
jantung diantara pasien dengan hipertensi jika dibandingkan dengan populasi
secara umum, diperkirakan 1,4 kali lebih besar (Kumala, 2009). Hipertensi
sendiri dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan hipertensi antara lain faktor genetik, peningkatan usia, obesitas, diet
tinggi garam, peningkatan konsumsi alkohol, merokok dan kurangnya aktivitas
(Leslie, 2004).
Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui dua mekanisme.
Mekanisme pertama yaitu terjadinya hipertrofi ventrikel kiri akibat peningkatan
Universitas Indonesia
9
afterload dan vasokontriksi akibat efek aktivasi saraf simpatis yang menyebabkan
kepayahan otot jantung dalam memopa darah (Black & Hawks, 2009; Kumala,
2009; Zakiyah, 2008). Mekanisme kedua merupakan timbulnya penyakit jantung
koroner. Hal ini disebabkan oleh menurunnya sirkulasi darah ke pembuluh
koroner akibat adanya hipertensi (Black & Hawks, 2009). Hipertensi juga dapat
menyebabkan aterosklerosis yang dapat menjadi faktor primer terjadinya stroke
dan penyakit jantung koroner. Proses ini disebabkan karena tekanan yang tinggi
mendorong LDL kolesterol menjadi lebih mudah masuk ke dalam tunika intima
(Zakiyah, 2008).
2.1.3.3.Diabetes Melitus
Masalah kardiovaskular merupakan salah satu komplikasi makrovaskular
diabetes melitus. Komplikasi ini terjadi akibat dari perubahan aterosklerotik pada
pembuluh darah. Aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh arteri koroner
menyebabkan insiden infark miokard. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
penyakit arteri koroner menyebabkan 50% hingga 60% dari semua kematian pada
pasien diabetes. Percepatan aterosklerosis berkaitan dengan faktor-faktor
mencakup kenaikan kadar lemak darah, hipertensi, merokok, obesitas, kurang
aktivitas fisik, dan riwayat keluarga. Sementara itu, faktor risiko terjadinya
diabetes meliputi kurang aktivitas fisik, obesitas (Body mass index [BMI] lebih
dari atau sama dengan 25 kg/m2), memiliki hipertensi, kadar kolesterol HDL
rendah (sama dengan atau kurang dari 35 mg/dl) atau kadar trigliserida tinggi
(sama dengan atau lebih dari 250 mg/dl), riwayat atau sedang mengalami
kerusakan toleransi glukosa, riwayat penyakit arteri perifer, dan riwayat keluarga
(Leslie, 2004; Smeltzer & Beare, 2002).
2.1.3.4.Merokok
Merokok juga dapat menjadi penyebab terjadinya gagal jantung.Hal ini
disebabkan karena di dalam rokok terkandung banyak zat kimia yang dapat
merugikan tubuh. Nikotin merupakan salah satu zat kimia dalam rokok yang dapat
menyebabkan efek berbahaya pada pembuluh darah akibat pelepasan katekolamin
dan vasokontriksi pembuluh darah. Efek yang ditimbulkan dari proses tersebut
Universitas Indonesia
10
adalah timbulnya hipertensi dan efek negatif akibat adanya hipertensi. Sebanyak
30% dari kasus penyakit jantung koroner dan sekitar 90% kasus peripheral
vascular disease (PVD) dapat terjadi pada perokok dari populasi yang tidak
mengalami penyakit diabetes. Burn dalam Leslie (2004) melaporkan bahwa
seorang yang berhenti merokok setelah 15 tahun menjadi perokok akan berisiko
mengalami infark miokard atau kematian akibat penyakit jantung koroner.
Seseorang yang didiagnosa menderita penyakit jantung koroner sebanyak kurang
dari 50% memiliki risiko mengalami kematian jantung akibat infark (Leslie, 2004;
Kumala, 2009).
2.1.3.5.Obesitas
Salah satu penyebab gagal jantung yang lain adalah obesitas. Obesitas
memiliki hubungan secara tidak langsung dengan terjadinya penyakit arteri
koroner. Hal tersebut dapat terjadi karena obesitas dapat menyebabkan hipertensi,
dislipidemia, penurunan kolesterol HDL dan kerusakan toleransi glukosa. Hasil
penelitian yang dilakukan dalam 14 tahun menunjukkan wanita usia paruh baya
dengan BMI lebih dari 23 dan kurang dari 25 memiliki peningkatan risiko terkena
penyakit jantung koroner, dan laki-laki usia 50 hingga 65 tahun dengan BMI lebih
dari 25 tetapi kurang dari 29 memiliki peningkatan resiko terkena penyakit
jantung koroner sebesar 72%. Seseorang dengan obesitas juga berisiko untuk
mengalami hipertrofi ventrikel kiri yang juga dapat mengakibatkan gagal jantung
kongestif. Obesitas dapat disebabkan oleh pola makan yang berlebihan dan tidak
terkontrol serta kurangnya aktivitas fisik (Eckel, 2013; Leslie, 2004)
Universitas Indonesia
11
penyakit jantung meningkat tiga kali lipat. Klinik Riset Lipid di Amerika Serikat
menemukan bahwa terdapat korelasi yang sebanding antara kadar kolesterol darah
dan risiko penyakit jantung (Zakiyah, 2009). Salah satu penyebab tingginya kadar
kolesterol dalam darah adalah berasal dari pola makan sesorang. Merokok,
hipertensi, kadar HDL rendah, riwayat keluarga, dan usia merupakan faktor risiko
yang mempengaruhi kadar kolesterol LDL (Leslie, 2004)
2.1.4. Patofisiologi
Gagal jantung terjadi ketika curah jantung tidak mencukupi kebutuhan
metabolisme yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga mekanisme kompensasi
teraktivasi. Mekanisme kompensasi untuk meningkatkan curah jantung antara lain
dilatasi ventrikel, peningkatan stimulasi sistem saraf simpatis, dan aktivasi sistem
renin-rngiotensin (Black & Hawks, 2009; Muttaqin, 2009). Mekanisme tersebut
membantu meningkatkan kontraksi dan mengatur sirkulasi, tetapi jika terus
menerus berlangsung dapat menyebabkan pertumbuhan otot jantung yang
abnormal dan remodeling jantung (Black & Hawks, 2009).
2.1.4.1.Fase Kompensasi
a) Dilatasi Ventrikel
Dilatasi ventrikel merupakan pemanjangan jaringan-jaringan otot
sehingga meningkatkan volume dalam ruang jantung. Dilatasi menyebabkan
peningkatan preload dan curah jantung karena otot yang teregang
berkontraksi lebih kuat (Hukum Starling). Akan tetapi, dilatasi memiliki
keterbatasan sebagai mekanisme kompensasi. Otot yang teregang, pada suatu
titik akan menjadi tidak efektif. Kedua, dilatasi jantung membutuhkan
oksigen lebih banyak. Hipoksia pada jantung dapat menurunkan kemampuan
kontraksi jantung (AHA, 2012; Black & Hawks, 2009; Brown & Edwards,
2005).
Universitas Indonesia
12
Universitas Indonesia
13
2.1.4.2.Fase Dekompensasi
Fase dekompensasi terjadi setelah kegagalan dari fase kompensasi. Fase
ditandai dengan remodeling dan aktivitas aktivasi neurohormonal yang terus
menerus. Remodelling merupakan perubahan pada beberapa struktur yang terjadi
pada ventrikel selama fase dekompensasi. Hal tersebut merupakan hasil dari
hipertrofi sel otot jantung dan aktivasi sistem neurohormonal yang terus menerus.
Mekanisme tersebut bertujuan untuk meningkatkan curah jantung dengan
melakukan dilatasi ventrikel. Akibat lain dari dilatasi ventrikel ini adalah
peningkatan stress pada dinding ventrikel. Sel otot jantung akan mengalami
hipertrofi yang mengakibatkan pengerasan dinding ventrikel untuk mengurangi
stress. Perubahan pada otot jantung seperti penurunan kontraktilitas otot jantung,
Universitas Indonesia
14
Universitas Indonesia
15
Universitas Indonesia
16
Pada gagal jantung dengan kegagalan ventrikel kiri, manifestasi yang biasanya
muncul antara lain dispnea, paroxysmal nocturnal disease (PND), pernapasan
cheyne-stokes, batuk, kecemasan, kebingungan, insomnia, kerusakan memori,
kelelahan dan kelemahan otot, dan nokturia. Sementara itu, gagal jantung dengan
kegagalan ventrikel kanan biasanya mengakibatkan edema, pembesaran hati
(hepatomegaly), penurunan nafsu makan, mual, dan perasaan begah.
2.1.6. Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung yang digunakan di kancah internasional untuk
mengelompokkan gagal jantung adalah klasifikasi menurut New York Heart
Association (NYHA) . NYHA mengkasifikasikan gagal jantung menurut derajat
dan beratnya gejala yang timbul. Klasifikasi tersebut dapat dijelaskan pada tabel
di bawah ini:
Universitas Indonesia
17
Tabel 2.1. Klasifikasi Gagal Jantung Menurut New York Heart Association
(NYHA)
Kriteria Kelas
Tidak ada pembatasan pada aktivitas fisik. Ketika melakukan I
aktivitas biasa tidak menimbulkan gejala lelah, palpitasi, sesak
nafas atau angina.
Aktivitas fisik sedikit terbatas. Ketika melakukan aktivitas biasa II
dapat menimbulkan gejala lelah, palpitasi, sesak nafas atau angina
tetapi akan merasa nyaman ketika istirahat.
Ditandai dengan keterbatasan-keterbatasan dalam melakukan III
aktivitas. Ketika melakukan aktivitas yang sangat ringan dapat
menimbulkan lelah, palpitasi, sesak nafas.
Tidak dapat melakukan aktivitas dikarenakan ketidaknyamanaan. IV
Keluhan-keluhan seperti gejala isufisiensi jantung atau sesak
nafas sudah timbul pada waktu pasien beristirahat. Keluhan akan
semakin berat pada aktivitas ringan.
(sumber : American Heart Association, 2011)
Universitas Indonesia
18
2.1.7. Komplikasi
Gagal jantung kongestif dapat menyebabkan beberapa komplikasi.
Komplikasi utama dari gagal jantung kongestif meliputi efusi pleura, aritmia,
pembentukan trombus pada ventrikel kiri, dan pembesaran hati (hepatomegaly).
1) Efusi Pleura
Efusi pleura merupakan hasil dari peningkatan tekanan pada
pembuluh kapiler pleura. Peningkatan tekanan menyebabkan cairan transudat
pada pembuluh kapiler pleura berpindah ke dalam pleura. Efusi pleura
menyebabkan pengembangan paru-paru tidak optimal sehingga oksigen yang
diperoleh tidak optimal (Brown & Edwards, 2005)
2) Aritmia
Pasien dengan gagal jantung kongestif kronik memiliki kemungkinan
besar mengalami aritmia. Hal tersebut dikarenakan adanya pembesaran
ruangan jantung (peregangan jaringan atrium dan ventrikel) menyebabkan
gangguan kelistrikan jantung. Gangguan kelistrikan yang sering terjadi adalah
fibrilasi atrium. Pada keadaan tersebut, depolarisasi otor jantung timbul
secara cepat dan tidak terorganisir sehingga jantung tidak mampu
berkontraksi secara normal. Hal tersebut menyebabkan penurunan cardiac
output dan risiko pembentukan trombus ataupun emboli. Jenis aritmia lain
yang sering dialami oleh pasien gagal jantung kongestif adalah ventricular
takiaritmia, yang dapat menyebabkan kematian mendadak pada penderita
(Blake & Hawks, 2009; Brown & Edwards, 2005; Leslie, 2004)
3) Pembentukan Trombus Pada Ventrikel Kiri
Penyumbatan trombus pada ventrikel kiri dapat terjadi pada pasien
gagal jantung kongestif akut maupun kronik. Kondisi tersebut diakibatkan
oleh adanya pembesaran ventrikel kiri dan penurunan curah jantung.
Kombinasi kedua kondisi tersebut meningkatkan terjadinya pembentukan
trombus di ventrikel kiri. Hal yang paling berbahaya adalah bila terbentuk
emboli dari trombus tersebut karena besar kemungkinan dapat menyebabkan
stroke (Brown & Edwards, 2005)
Universitas Indonesia
19
2.1.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terhadap pasien gagal jantung harus dilakukan agar tidak
terjadi perburukan kondisi. Tujuan pentalaksanaan adalah untuk menurunkan
kerja otot jantung, meningkatkan kemampuan pompa ventrikel, memberikan
perfusi adekuat pada organ penting, mencegah bertambah parahnya gagal jantung
dan merubah gaya hidup (Black & Hawks, 2009). Penatalaksanaan dasar pada
pasien gagal jantung meliputi dukungan istirahat untuk mengurangi beban kerja
jantung, pemberian terapi farmakologis untuk meningkatkan kekuatan dan efisien
kontraksi jantung, dan pemberian terapi diuretik untuk menghilangkan
penimbunan cairan tubuh yang berlebihan (Smeltzer & Bare, 2002).
Penatalaksanaan pasien gagal jantung dapat diterapkan berdasarkan dari tujuan
yang ingin dicapai, yaitu :
1) Menurunkan Kerja Otot Jantung
Penurunan kerja otot jantung dilakukan dengan pemberian diuretik,
vasodilator dan beta-adrenergic antagonis (beta bloker). Diuretik merupakan
pilihan pertama untuk menurunkan kerja otot jantung. Terapi ini diberikan
untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal (Smeltzer & Bare,
2002). Diuretik yang biasanya dipakai adalah loop diuretic, seperti furosemid,
yang akan menghambat reabsorbsi natrium di ascending loop henle. Hal
tersebut diharapkan dapat menurunkan volume sirkulasi, menurunkan
preload, dan meminimalkan kongesti sistemik dan paru (Black & Hawks,
2009). Efek samping pemberian diuretik jangka panjang dapat menyebabkan
hiponatremi dan pemberian dalam dosis besar dan berulang dapat
mengakibatkan hipokalemia (Smeltzer & Bare, 2002). Hipokalemia menjadi
Universitas Indonesia
20
efek samping berbahaya karena dapat memicu terjadinya aritmia (Black &
Hawks, 2009).
Pemberian vasodilator atau obat-obat vasoaktif dapat menurunkan
kerja miokardial dengan menurunkan preload dan afterload sehingga
meningkatkan cardiac output (Black & Hawks, 2009; Smeltzer & Bare,
2002). Sementara itu, beta bloker digunakan untuk menghambat efek sistem
saraf simpatis dan menurunkan kebutuhan oksigen jantung (Black & Hawks,
2009). Pemberian terapi diatas diharapkan dapat menurunkan kerja otot
jantung sekaligus
2) Elevasi Kepala
Pemberian posisi high fowler bertujuan untuk mengurangi kongesti
pulmonal dan mengurangi sesak napas. Kaki pasien sebisa mungkin tetap
diposisikan dependen atau tidak dielevasi, meski kaki pasien edema karena
elevasi kaki dapat meningkatkan venous return yang akan memperberat beban
awal jantung (Black & Hawks, 2009)
3) Mengurangi Retensi Cairan
Mengurangi retensi cairan dapat dilakukan dengan mengontrol asupan
natrium dan pembatasan cairan. Pembatasan natrium digunakan digunakan
dalam diet sehari-hari untuk membantu mencegah, mengontrol, dan
menghilangkan edema. Restriksi natrium <2 gram/hari membantu diuretik
bekerja secara optimal. Pembatasan cairan hingga 1000 ml/hari
direkomendasikan pada gagal jantung yang berat (Black & Hawks, 2009;
Smeltzer & Bare, 2002; Davis, Hobbs, dan Lip, 2004).
4) Meningkatkan Pompa Ventrikel Jantung
Penggunaan adrenergic agonist atau obat inotropik merupakan salah
satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan pompa
ventrikel jantung. Obat-obatan ini akan meningkatkan kontraktilitas miokard
sehingga meningkatkan volume sekuncup. Salah satu inotropik yang sering
digunakan adalah dobutamin. Dobutamin memproduksi beta reseptor beta
yang kuat dan mampu meningkatkan curah jantung tanpa meningkatkan
kebutuhan oksigen otot jantung atau menurunkan aliran darah koroner.
Pemberian kombinasi dobutamin dan dopamin dapat mengatasi sindroma low
Universitas Indonesia
21
cardiac output dan bendungan paru (Black & Hawks, 2009; Diklat
Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit DR. Cipto Mangunkusumo, 2008).
5) Pemberian Oksigen dan Kontrol Gangguan Irama Jantung
Pemberian oksigen dengan nasal kanula bertujuan untuk mengurangi
hipoksia, sesak napas dan membantu pertukaran oksigen dan karbondioksida.
Oksigenasi yang baik dapat meminimalkan terjadinya gangguan irama
jantung, salah satunya aritmia. Aritmia yang paling sering terjadi pada pasien
gagal jantung adalah atrial fibrilasi (AF) dengan respon ventrikel cepat.
Pengontrolan AF dilakukan dengan dua cara, yakni mengontrol rate dan
rithm (Black & Hawks, 2009; Diklat Pelayanan Jantung Terpadu Rumah
Sakit DR. Cipto Mangunkusumo, 2008).
6) Mencegah Miokardial Remodelling
Angiotensin Converting Enzyme inhibitor atau ACE inhibitor terbukti dapat
memperlambat proses remodeling pada gagal jantung. ACE inhibitor
menurunkan afterload dengan memblok produksi angiotensin, yang
merupakan vasokonstriktor kuat. Selain itu, ACE inhibitor juga
meningkatkan aliran darah ke ginjal dan menurunkan tahanan vaskular ginjal
sehingga meningkatkan diuresis. Hal ini akan berdampak pada peningkatan
cardiac output sehingga mencegah remodeling jantung yang biasanya
disebabkan oleh bendungan di jantung dan tahanan vaskular. Efek lain yang
ditimbulkan ACE inhibitor adalah menurunkan kebutuhan oksigen dan
meningkatkan oksigen otot jantung (Black & Hawks, 2009; Diklat Pelayanan
Jantung Terpadu Rumah Sakit DR. Cipto Mangunkusumo, 2008).
7) Merubah Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup menjadi kunci utama untuk mempertahankan
fungsi jantung yang dimiliki dan mencegah kekambuhan. Penelitian Subroto
(2002) mendapatkan hubungan yang bermakna antara faktor ketaatan diet,
ketaatan berobat, dan intake cairan dengan rehospitalisasi klien
dekompensasi kordis. Bradke (2009) mengidentifikasi faktor-faktor
penyebab terjadinya rawat inap ulang pada pasien gagal jantung kongestif
antara lain kurangnya pendidikan kesehatan tentang bagaimana perawatan
diri di rumah, penggunaan obat-obatan yang tidak tepat, kurang komunikasi
Universitas Indonesia
22
Universitas Indonesia
23
2.2.3. Teknik Latihan Napas Lambat Dalam (Slow Deep Breathing Exercise)
Latihan napas lambat dalam yang akan digunakan mengacu pada teknik
napas dalam dan teknik latihan napas yang diteliti oleh Bernardi et. al. (2002).
Langkah-langkah latihan napas lambat dalam sebagai berikut:
1. Atur pasien dengan posisi semi fowler atau duduk
2. Kedua tangan pasien diletakkan di atas perut
3. Anjurkan melakukan napas secara lambat dan dalam melalui hidung, yakni
bernapas sebanyak 6 kali per menit dilakukan selama 4 menit. Satu kali
napas dilakukan dalam hitungan 10 detik, yaitu : (1) tarik napas selama 4
detik, rasakan abdomen mengembang saat menarik napas; (2) tahan napas
selama 3 detik; (3) kerucutkan bibir, keluarkan pelan-pelan melalui mulut
selama 3 detik, rasakan abdomen bergerak ke bawah.
4. Ulangi langkah a sampai c selama 3 kali siklus (12 menit) dengan jeda 2
menit setiap siklusnya
5. Latihan slow deep breathing dilakukan dengan frekuensi 3 kali sehari
Universitas Indonesia
24
( Bernardi et. al., 2002; Smeltzer and Bare, 2008; University of Pittsburgh
Medical Centre, 2003 dalam Sepdianto, 2008)
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
3.1.1.2. Aktivitas/Istirahat
Pasien merupakan pensiunan dari suatu pabrik mesin. Aktivitas yang
sering dilakukan ketika di rumah adalah membaca, bermain dengan cucu, dan
berkebun di area rumah. Pasien mengalami keterbatasan aktivitas sejak
26 Universitas Indonesia
27
mengalami sakit jantung yaitu tidak mampu melakukan aktivitas berat seperti
berkebun, jalan jauh dan aktivitas olahraga. Pasien biasanya tidur pukul 21.00-
22.00 sampai 04.00-05.00. dan mengatakan saat ini tidak mengalami insomnia
atau kesulitan untuk tidur. Akan tetapi, sebelumnya pasien pernah mengalami
insomnia ketika keluhan sesak dan nyeri dada timbul.
Respon terhadap aktivitas yang teramati pada tanggal 7-8 Mei 2013,
pasien hanya beraktivitas di tempat tidur dengan posisi duduk atau high fowler
dengan ganjalan 2 bantal. Pada posisi tersebut, pasien kadang masih mengeluh
sesak. Keadaan pasien mulai membaik sejak tanggal 9 Mei 2013. Hal tersebut
nampak dari berkurangnya keluhan sesak dan pasien mampu berjalan ke kamar
mandi untuk BAK dan olahraga kecil untuk menggerak-gerakkan kaki dengan
posisi duduk. Setelah berjalan dari kamar mandi pasien mengeluh sedikit sesak
tetapi hilang setelah istirahat. Tidak ada keluhan pasien setelah berolahraga kecil.
Pada tanggal 10 Mei 2013 pasien telah mampu berjalan ke kamar mandi sendiri
dan olahraga ringan tanpa keluhan sesak. Pasien tampak segar.
Universitas Indonesia
28
3.1.1.3. Eliminasi
Eliminasi pasien baik tanpa ada keluhan yang diungkapkan. Pasien BAB
1x sehari tanpa kesulitan dan BAB lembek. BAB terakhir pada pagi hari. Tidak
ada perdarahan yang terlihat pada feses, tidak ada hemoroid, maupun keluhan
konstipasi. Pasien menggunakan obat laksatif sesuai instruksi dokter. Jumlah urin
dalam 24 jam sebanyak 1500-5000cc dengan penggunaan lasix dan
spironolacton. Pada pemeriksaan abdomen tidak ada nyeri tekan di keempat
kuadran abdomen dan teraba massa atau pengerasan di area abdomen. Bising usus
positif, yaitu sebanyak 12x/menit
3.1.1.4. Makanan/Cairan
Pasien diberikan diet lunak 1900 kalori. Penyajian makanan dilakukan 3x
dalam sehari. Pasien biasanya hanya habis 1/3-1/2 porsi yang diberikan. Pasien
mengatakan bosan dengan menu makanan yang disajikan. Pasien mendapat
makanan selingan berupa buah dan biasanya pasien menghabiskan makanan
selingan yang diberikan. Pasien dilakukan restriksi cairan dan hanya
diperbolehkan minum sebanyak 600 cc/ hari. Pasien telah mengetahui restriksi
cairan yang diberlakukan padanya dan mematuhi aturan dari dokter.
Pasien mengatakan kehilangan nafsu makan. Pada awal pengkajian
(tanggal 7-8 Mei 2013) pasien hanya makan 2-5 sendok makan dari porsi makan
yang diberikan RS. Pasien mengatakan sedang merasa sesak dan pusing. Akan
tetapi, sejak tanggal 9 Mei keadaan pasien membaik dan berangsur-angsur nafsu
makan membaik. Saat ini pasien mampu menghabiskan setengah porsi hingga
seluruh porsi habis. Pasien mengatakan tidak ada mual, muntah, nyeri ulu hati,
maupun alergi terhadap makanan. Berat badan pasien sebesar 63 kg, tinggi badan
175 cm, dan IMT 20.58 kg/cm2. Pasien mengatakan dahulu sering mengkonsumsi
makanan yang manis-manis dan goreng-gorengan, serta gemar membeli masakan
berlemak dan tinggi kolesterol. Kebiasaan minum kopi dikatakan jarang dilakukan
oleh pasien, tetapi kebiasaan merokok selama 30 tahun, telah dilakukan pasien
Universitas Indonesia
29
dari usia remaja dan biasanya habis 1 bungkus rokok dalam satu hari. Pasien telah
berhenti merokok selama 3 tahun.
Kondisi mulut dan gigi pasien masih bagus. Penampilan lidah bersih,
berwarna merah muda pucat, membran mukosa agak kering. Kondisi gigi masih
bagus dan masih banyak yang utuh, 3 gigi geraham telah lepas, tidak ada karies
gigi, gusi bersih berwarna merah muda, gusi tidak berdarah.
3.1.1.5. Neurosensori
Pasien mengatakan sejak 1 hari SMRS hingga saat ini merasakan pusing
seperti berputar. Kebas dan kesemutan tidak pernah dirasakan oleh pasien.
Penglihatan pasien mengalami gangguan (hipermetropi) sehingga pasien
menggunakan kacamata untuk membantu membaca. Pendengaran pasien masih
bagus dan tidak ada keluhan gangguan pendengaran. Penciuman pasien baik, tidak
ada sputum, maupun polip. Status mental pasien stabil, emosi terkontrol, dan afek
sesuai. Kemampuan mengingat masih bagus. Kemampuan bicara pasien lancar,
baik, jelas, dan tidak pelo.
3.1.1.6. Nyeri
Pasien tidak memiliki keluhan nyeri. Pasien hanya mengeluhkan pusing
dan sesak. Pada saat sesak napas atau pusing pasien cenderung emosional dan
lebih sensitive, serta lebih banyak diam.
3.1.1.7. Pernapasan
Pasien mengeluh sesak napas yang dirasakan terjadi hilang timbul,
terutama setelah melakukan aktivitas atau tidur. Pasien mengeluh batuk tidak
berdahak. Pasien mengalami emfisema dan memiliki riwayat TB paru. Pasien
merupakan perokok aktif selama 30 tahun dan telah berhenti merokok sejak 2
tahun yang lalu. Saat ini pasien menggunakan O2 melalui nasal kanul ketika sesak.
Aktivitas pernapasan pasien yang teramati yaitu kedalaman pernapasan sedang
dan kedua dada tampak simetris. Hasil auskultasi paru-paru terdengar bronchial,
bronkovesikuler, vesikuler, ronkhi basah di kedua lapang paru. Pasien tidak
tampak sianosis. Pada awal pengkajian ketika keluhan sesak masih sering.
Universitas Indonesia
30
Semenjak tanggal 9 Mei 2013 keluhan sesak tidak timbul dan pasien keadaan
emosi pasien stabil dan tidak tampak adanya kegelisahan.
3.1.1.8. Keselamatan
Pasien memiliki gangguan penglihatan, yaitu hipermetropi. Gangguan
penglihatan ini telah diatasi oleh pasien dengan menggunakan kacamata bantu
baca. Tidak tampak adanya lesi, luka, ulkus dekubitus, gatal-gatal maupun
kemerahan. Kekuatan umum pasien baik, tonus otot ada dan baik. Rentang gerak
pasien tidak terbatas dan tidak ada parastesia maupun paralisis. Cara berjalan
pasien agak sempoyongan pada awal pengkajian, tetapi berangsur-angsur
keseimbangan membaik.
Universitas Indonesia
31
Universitas Indonesia
32
b. Terapi Intravena
Terapi intravena yang diberikan berupa heparin 10.000 IU/2mg (2
cc/jam) dan lasix 2 mg x 12 ampul dalam spuit 30 cc (1cc/jam)
Universitas Indonesia
33
Universitas Indonesia
34
Universitas Indonesia
35
Universitas Indonesia
36
Universitas Indonesia
38
Universitas Indonesia
40
Universitas Indonesia
41
Universitas Indonesia
42
Universitas Indonesia
43
Universitas Indonesia
44
Universitas Indonesia
45
Tabel 3.6. Hasil Pencatatan Tekanan Darah Harian Selama Latihan Napas Lambat
Dalam
Hari Latihan Tekanan Darah (mmHg)
Hari ke-1 80-100/60-70
Hari ke-2 80-100/60-70
Hari ke-3 80-100/60-70
Hari ke-4 100/60-70
Hari ke-5 100/60-70
Hari ke-6 100/60-70
Hari ke-7 100/60-70
Hasil yang terlihat pada tabel menunjukkan adanya peningkatan pada nilai
sistol, sedangkan nilai diastol tidak mengalami perubahan. Nilai sistol, yang
mengalami peningkatan pada hari ke-3 latihan, selanjutnya mengalami nilai sistol
yang stabil di angka 100 mmHg pada hari ke-4 hingga ke-7 latihan.
Tabel 3.7. Hasil Pencatatan Jumlah Denyut Nadi dalam Satu Menit Harian
Selama Latihan Napas Lambat Dalam
Jumlah Denyut Nadi dalam
Hari Latihan
Satu Menit ( kali/menit)
Hari ke-1 88-92
Hari ke-2 88-92
Hari ke-3 88-92
Hari ke-4 88-92
Hari ke-5 86-92
Hari ke-6 80-88
Hari ke-7 80-88
Hasil yang terlihat pada tabel menunjukkan adanya penurunan jumlah denyut
nadi dalam satu menit. Pada awal latihan, pasien mengalami denyut nadi tertinggi
pada angka 92 kali denyut nadi per menit dan terendah pada angka 88 kali per menit.
Denyut nadi terendah pasien didapat pada hari ke-7 latihan yaitu pada angka 80 kali
denyut nadi per menit.
Universitas Indonesia
47
Tabel. 3.8. Hasil Pencatatan Jumlah Napas dalam Satu Menit Harian Selama Latihan
Napas Lambat Dalam
Hasil yang terlihat pada tabel menunjukkan adanya penurunan jumlah napas
dalam satu menit. Pada hari ke-1 latihan, jumlah napas dalam satu menit mencapai 24
kali per menit. Jumlah napas dalam satu menit terendah dalam satu menit terjadi pada
hari ke-6 dan ke-7 latihan, yaitu pada angka 18 kali per menit.
Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS SITUASI
48 Universitas Indonesia
49
Universitas Indonesia
50
Universitas Indonesia
51
Universitas Indonesia
52
Universitas Indonesia
53
Universitas Indonesia
54
ventrikel kiri, seperti dilatasi ventrikel kiri dan fungsi sistolik ventrikel kiri
menurun (LVEF 10%)
Perubahan fungsi jantung merupakan akibat dari terjadinya perubahan
struktur jantung dan adanya penyakit arteri koroner (AHA, 2012; Black &
Hawks,2009). Perubahan tersebut menyebabkan penurunan elastisitas dan
kontraktilitas jantung dalam memompakan darah sehingga jumlah darah yang
mampu di pompakan ke tubuh dari ventrikel kiri setiap denyutan jantung (fraksi
ejeksi) menjadi berkurang (Black & Hawks, 2009; Leslie, 2004). Proses tersebut
mengakibatkan rendahnya tekanan darah. Denyut nadi dalam satu menit akan
menjadi cepat akibat pengaruh aktivitas saraf simpatis dan sistem renin-
angiotensin, akan tetapi teraba lemah karena kekuatan kontraksinya melemah.
Proses tersebut sesuai dengan data yang didapatkan pada pasien, yaitu tekanan
darah 80/60 mmHg dan jumlah nadi sebanyak 90-100x/menit teraba lemah dan
cepat. Jumlah denyut nadi berada pada ambang batas normal dapat disebabkan
karena pemberian captopril. Captopril merupakan jenis beta bloker yang
digunakan untuk menghambat efek sistem saraf simpatis dan menurunkan
kebutuhan oksigen jantung (Black & Hawks, 2009).
Keluhan sesak yang timbul merupakan akibat kegagalan fungsi sistolik
untuk memompakan darah ke jaringan secara adekuat. Kegagalan ini
menyebabkan jumlah sisa darah di ventrikel kiri pada akhir diastolik meningkat
sehingga menurunkan kapasitas ventrikel untuk menerima darah dari atrium.
Kondisi tersebut tidak memungkinkan untuk menerima seluruh darah yang datang
dari vena pulmonalis dan tekanan di atrium kiri meningkat. Hal tersebut
mengakibatkan aliran balik darah di vena pulmonalis ke paru-paru karena jantung
tidak mampu menyalurkannya sehingga terbentuk bendungan darah di paru-paru
(AHA, 2012; Black & Hawks, 2009). Bendungan ini akan mengganggu proses
pertukaran gas yang mengakibatkan keluhan sesak. Pasien diberikan tidur dalam
posisi high fowler pada awal masuk untuk mengurangi sesak dan semi fowler
seiring terjadi pebaikan sesak.
Penurunan curah jantung dan pembesaran ventrikel kiri pada pasien juga
dapat menyebabkan komplikasi berupa oleh pembentukan trombus. Kombinasi
kedua kondisi tersebut meningkatkan terjadinya pembentukan trombus di
Universitas Indonesia
55
ventrikel kiri. Hal yang paling berbahaya adalah bila terbentuk emboli dari
trombus tersebut karena besar kemungkinan dapat menyebabkan stroke (Brown &
Edwards, 2005). Oleh karena itu, pasien diberikan heparin 10.000 IU/2mg sebagai
antikoagulan untuk mencegah pembentukan trombus.
Universitas Indonesia
56
bernapas saat berbaring dengan posisi supine sehingga biasannya akan menopang
tubuh bagian atas dan kepala diatas dua bantal. Hal ini disebabkan karena aliran
balik darah di vena pulmonalis ke paru-paru karena jantung tidak mampu
menyalurkannya sehingga menimbulkan atau bahkan memperberat bendungan di
paru-paru (AHA, 2012). Intervensi yang biasanya diberikan pada pasien dengan
hal tersebut adalah dengan memberikan memberikan posisi highfowler. Pemberian
posisi highfowler bertujuan untuk mengurangi kongesti pulmonal dan mengurangi
sesak napas (Black & Hawks, 2009). Pasien pada kasus ini awalnya diberikan
posisi highfowler. Akan tetapi, pasien hanya diberikan ganjalan 2 bantal atau
posisi semifowler karena pasien telah merasa nyaman dan tidak sesak dalam posisi
tersebut seiring dengan perbaikan kondisinya. Penumpukan cairan di paru akibat
aliran balik darah ke paru-paru mengakibatkan keluhan batuk pada pasien (AHA,
2012). Hal tersebut tampak pula pada pasien yang mengalami batuk produktif dan
keluhan batuk menurun seiring perbaikan bendungan paru.
Bendungan pada paru-paru juga dapat mengakibatkan komplikasi yang
disebut efusi plura. Hal ini juga tampak pada hasil rontgen dada pasien tanggal 27
Mei 2013 yang menunjukkan adanya efusi pleura kanan. Efusi pleura merupakan
hasil dari peningkatan tekanan pada pembuluh kapiler pleura. Peningkatan
tekanan menyebabkan cairan transudat pada pembuluh kapiler pleura berpindah
ke dalam pleura. Efusi pleura menyebabkan pengembangan paru-paru tidak
optimal sehingga oksigen yang diperoleh tidak optimal (Brown & Edwards,
2005). Hasil pemeriksaan AGD pada tanggal 7 Mei menunjukkan nilai PO2
rendah, yaitu 74.00 mmHg, serta saturasi oksigen yang rendah pula, yaitu 94.30%.
Hal-hal tersebut menyebabkan keluhan sesak pada pasien. Oleh karena itu, pasien
diberikan bantuan oksigen dengan nasal kanul sebesar 4 liter per menit.
Universitas Indonesia
57
terdapat asites dengan shifting dullness positif. Hal tersebut sesuai dengan proses
terjadinya CHF yang mengakibatkan timbulnya edema sebagai manifestasi klinis.
Proses patofisiologi timbulnya edema merupakan manifestasi klinis yang
biasanya diakibatkan oleh kegagalan ventrikel kiri. Kegagalan ventrikel kiri
menyebabkan ventrikel kanan mengalami dilatasi dan hipertrofi karena harus
bekerja keras untuk memompa darah ke paru-paru akibat adanya peningkatan
tekanan pada sistem pembuluh darah di paru-paru. Kegagalan mekanisme tersebut
menyebabkan aliran dari vena cava berbalik kebelakang dan menyebabkan
bendungan di sistem pencernaan, hati, ginjal, kaki, dan sakrum (AHA, 2012;
Black dan Hawks, 2009). Asites juga dapat menyebabkan perasaan mual dan
begah akibat adanya asites yang menekan lambung atau saluran cerna (AHA,
2012). Hal itulah yang menyebabkan pasien juga mengalami penurunan nafsu
makan akibat begah dan mual. Akan tetapi, nafsu makan meningkat seiring
perbaikan edema dan asites. Selain akibat masalah kegagalan ventrikel kanan,
edema juga dapat disebabkan oleh kerusakan ginjal sementara proses aktivasi
renin-angiotensin-aldosteron terus berlanjut.
Perbaikan asites dan edema dilakukan dengan restriksi cairan, retriksi
natrium, dan pemberian diuretik. Restriksi cairan yang diberlakukan pada pasien
adalah sebesar 600 cc per 24 jam. Mengurangi retensi cairan dapat dilakukan
dengan mengontrol asupan natrium dan pembatasan cairan. Restriksi natrium < 2
gram/hari membantu diuretik bekerja secara optimal dan pembatasan cairan
hingga 1000 ml/hari direkomendasikan pada gagal jantung yang berat (Black &
Hawks, 2009; Smeltzer & Bare, 2002; Davis, Hobbs, dan Lip, 2004). Restriksi
natrium dilakukan dengan melakukan kolaborasi bersama dietisien untuk
menyediakan menu makan yang aman untuk pasien jantung. Pada kondisi ini
perawat memegang peran yang sangat penting untuk memonitor kepatuhan pasien
dalam menjalankan diet dan pembatasan cairan. Keluarga pasien dan pasien
menyadari betul akan pentingnya restriksi cairan sehingga selalu mencatat minum
dan jumlah BAK setiap hari
Pasien juga diberikan diuretik dan ACE inhibitor. Diuretik diberikan untuk
memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal. Diuretik yang biasanya dipakai
adalah loop diuretic, seperti furosemid, yang akan menghambat reabsorbsi
Universitas Indonesia
58
natrium di ascending loop henle (Smeltzer & Bare, 2002). Hal tersebut diharapkan
dapat menurunkan volume sirkulasi, menurunkan preload, dan meminimalkan
kongesti sistemik dan paru (Black & Hawks, 2009). Diuretik yang diberikan pada
pasien adalah kombinasi diuretik golongan furosemid dan spironolakton.
Penelitian Wang & Gottlieb (2008) menyebutkan pula bahwa penggunaan diuretik
loop sebagai agonist aldosteron apabila digunakan terpisah maupun kombinasi
terbukti efektif dalam manajemen terhadap edema pulmonal dan vaskular.
Spironolakton merupakan diuretik hemat kalium yang bekerja menghambat
aldosteron di tubula distal (Ignatavicius & Workman, 2006). ACE inhibitor juga
diberikan pada pasien. ACE inhibitor dapat meningkatkan aliran darah ke ginjal
dan menurunkan tahanan vaskular ginjal sehingga meningkatkan diuresis (Black
& Hawks, 2009; Diklat Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit DR. Cipto
Mangunkusumo, 2008). ACE inhibitor juga mencegah stimulasi aldosteron yang
dapat mereabsorbsi natrium sehingga meningkatkan jumlah cairan di dalam tubuh.
Hasil pemberian intervensi diatas terlihat dari monitor intake output yang
dilakukan perawat. Hasil pendokumentasian pemantauan menunjukkan jumlah
balans cairan pasien yang selalu negatif (lebih besar output daripada input) dan
perbaikan edema maupun asites. Hal ini tampak dari penampilan klinis pasien
yang menunjukkan penurunan lingkar perut, penurunan edema ekstremitas, dan
tidak adanya bendungan pada paru-paru dari hasil rontgen dada tanggal 5 Mei
2013.
Universitas Indonesia
59
Universitas Indonesia
60
Universitas Indonesia
61
foto atau menelepon cucu merupakan hal yang dilakukan pasien untuk mengusir
kebosanan selama dirawat di rumah sakit.
4.3. Analisis Intervensi Latihan Napas Lambat Dalam (Slow Deep Breathing
Exercise) pada Pasien Kelolaan
Intoleransi aktivitas merupakan masalah yang sering didapatkan pada
pasien dengan CHF. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari kerusakan jantung
dan fungsi pernapasan yang dapat menyebkan penurunan saturasi oksigen dan
kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik (Bernardi et. al.’ 1998). Bernapas
lambat dalam merupakan salah satu intervensi yang dapat diberikan pada pasien
CHF dengan intoleransi aktivitas. Intervensi ini telah dibuktikan oleh Bernardi et.
al. (2002) dalam penelitiannya yang berjudul “Slow Breathing Increases Arterial
Baroreflex Sensitivity in Patients With Chronic Heart Failure” untuk
meningkatkan saturasi oksigen dan toleransi aktivitas.
Bernardi et. al. (2002) melakukan penelitian dengan metode Randomized
Controlled Trial (RCT). Metode ini diterapkan terhadap 81 pasien dengan CHF
dan 21 orang sehat sebagai kontrol. Pasien CHF yang menjadi responden
merupakan pasien CHF yang telah 2 minggu tidak mengalami perubahan tanda
gejala dan manifestasi klinis. Bernardi et. al. juga menerapkan kriteria ekslusi
yaitu tidak mengalami fibrilasi atrium, merokok dalam 2 tahun terakhir, dan
memiliki penyakit paru. Hal ini diharapkan agar hasil dari intervensi dapat jelas
terlihat dan tidak ada faktor perancu yang mempengaruhi hasil, misalnya jika
intervensi diberikan pada pasien dengan penyakit paru tentu mungkin saja tidak
menunjukkan perubahan yang signifikan karena struktur atau fungsi paru telah
mengalami gangguan. Pasien sebagau responden CHF berusia 57-59 tahun, berat
badan 73-77 kg, tinggi badan 169-171 cm, dan BMI 25.3-26.1 kg/m2. Mayoritas
pasien CHF yang ikut dalam penelitian memiliki fungsional kelas II dan memiliki
penyakit arteri koroner. Sementara itu, individu yang berperan sebagai kontrol
berusia antara 53-57 tahun, berat badan 65-71 kg, tinggi badan 167-171 cm, dan
BMI berkisar antara 22.4-24.0.
Intervensi yang dilakukan adalah dengan mengukur EKG, pernapasan, dan
tekanan darah pasien CHF dan kontrol selama 5 menit bernapas spontan, 4 menit
Universitas Indonesia
62
bernapas dikontrol dengan melakukan 15 kali napas dalam 1 menit, dan 4 menit
bernapas dikontrol dengan melakukan 6 kali napas dalam 1 menit. Pada
pengukuran napas spontan didapatkan jumlah pernapasan pada pasien CHF
sebanyak 15.7-16.7 kali napas dalam satu menit dan pada kontrol sebanyak 12.1-
14.6 kali napas dalam satu menit, serta rendahnya sensitivitas baroreflek pada
pasien CHF dibandingkan kontrol.
Pernapasan lambat dengan bernapas sebanyak 6 kali dalam satu menit
menunjukkan perubahan sensitivitas baroreflek yang signifikan dibandingkan
dengan pernapasan lambat dengan bernapas sebanyak 15 kali dalam satu menit.
Jika dibandingkan dengan hasil saat napas spontan, bernapas lambat menunjukkan
hasil adanya peningkatan pada lama napas dalam satu menit, menurunkan
ketidakstabilan tekanan darah dan secara signifikan meningkatkan sensitivitas
baroreflek pada pasien CHF dan kontrol. Akan tetapi, peningkatan sensitivitas
baroreflek pada pasien CHF tetap lebih rendah bila dibandingkan dengan control.
Pasien dengan CHF ringan cenderung memiliki sensitivitas baroreflek yang lebih
besar. Akan tetapi, sensitivitas baroreflek diantara kelas fungsional CHF tidak
meunjukkan perbedaan yang signifikan pada pernapasan ini jika dibandingkan
dengan saat bernapas spontan. Bernapas pelan pada kelompok CHF dapat
menurunkan tekanan darah, baik sistolik maupun diastolik.
Bernardi et. al. (2002) memaparkan bahwa sensitivitas baroreflek dapat
ditingkatkan secara signifikan dengan bernapas lambat, baik pada pasien dengan
CHF maupun pada individu sehat. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara
peningkatan akivitas vagal dan penurunan aktivitas simpatis yang dapat
menurunkan denyut nadi dan tekanan darah. Penurunan kecepatan bernapas juga
dapat meningkatkan volume tidal . Fakta menunjukkan bahwa aktivitas simpatis
akan meningkat dengan tingkat pernapasan yang cepat dan akan menurun dengan
tidal volume yang lebih tinggi. Penurunan tekanan darah dan reflek kemoreseptor
juga dapat teramati selama menghirup napas secara lambat dan dalam. Bernapas
lambat dalam juga ditemukan mampu meningkatkan saturasi oksigen karena
peningkatan pergerakan otot pernapasan dan diafragma sehingga dapat
meningkatkan kemampuan aktivitas dengan menurunkan timbulnya dispnea dan
kelelahan (Bernardi et.al., 2002).
Universitas Indonesia
63
Universitas Indonesia
64
turun dari 114-120 mmHg menjadi 106-114 mmHg, sedang pada pasien
didapatkan peningkatan sistolik dari 80 mmHg menjadi 100 mmHg. Pada
penelitian Bernardi menunjukkan adanya peningkatan aktivitas parasimpatis yang
menyebabkan penurunan tekanan sistolik. Peningkatan sistolik pada pasien dapat
menunjukkan adanya peningkatan curah jantung yang disebabkan oleh
peningkatan aktivitas parasimpatis. Peningkatan aktivitas parasimpatis pada
pasien dapat terlihat dari penurunan jumlah denyut nadi dan jumlah pernapasan
dalam satu menit. Perbaikan perfusi dan fungsi pernapasan dimanifestasikan oleh
penurunan keluhan sesak dan peningkatan toleransi aktivitas pasien. Hasil
intervensi ini menunjukkan bahwa latihan napas lambat dalam dapat mengatasi
intoleransi aktivitas dengan meningkatkan sensitivitas baroreflek arteri. Meskipun
demikian, peningkatan toleransi aktivitas pada pasien sejalan dengan perbaikan
kondisi yang dialami sebagai efek pengobatan yang diberikan.
Latihan napas lambat dalam untuk mengatasi intoleransi aktivitas, dengan
meningkatkan sensitivitas baroreflek arteri, belum menjadi intervensi yang
familiar di lingkungan ruang rawat. Pemberian latihan napas lambat dalam
biasanya diberikan oleh perawat ketika pasien mengeluh nyeri atau cemas. Survey
yang dilakukan terhadap 8 perawat di ruang rawat penyakit dalam menunjukkan
seluruh perawat ruang hanya mengetahui napas lambat dalam untuk intervensi
nyeri dan cemas. Hal ini menyebabkan intervensi napas lambat dalam tidak
pernah diberikan untuk meningkatkan saturasi oksigen dan toleransi aktivitas
kepada pasien CHF dengan intoleransi aktivitas. Intervensi untuk intoleransi
aktivitas yang biasa diberikan oleh perawat ruang adalah pembatasan aktivitas dan
pemberian istirahat yang cukup.
Universitas Indonesia
65
Universitas Indonesia
66
tujuan intervensi tercapai. Kemampuan sebagai konselor ini tidak dimiliki oleh
semua perawat karena kemampuan ini membutuhkan pengetahuan dan pelatihan
yang cukup. Intervensi ini juga biasa dilakukan oleh mahasiswa keperawatan yang
telah mengambil jenjang S2. Sementara itu, sebagian besar perawat ruangan
masih memiliki pendidikan D3 dan belum terpapar pengetahuan mengenai CBT.
Hal ini dapat disikapi dengan melakukan pelatihan mengenai CBT pada perawat
ruangan. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah pihak rumah sakit
menyediakan konselor yang telah terlatih dan bertugas memberikan intervensi
pada pasien.
Pengetahuan akan berbagai intervensi untuk pasien menjadi hal penting
dan utama bagi perawat. Selain CBT, perawat ruangan juga belum familiar
dengan intervensi napas lambat dalam untuk meningkatkan sensitivitas baroreflek
sehingga dapat memperbaiki fungsi kardiopulmonal dan toleransi aktivitas.
Sebagian besar perawat hanya mengetahui tujuan pemberian intervensi napas
lambat dalam adalah untuk mengurangi cemas atau nyeri. Padahal intervensi
napas lambat dapat dijadikan alternatif intervensi untuk membantu mengatasi
intoleransi aktivitas pada pasien CHF. Oleh karena itu, pengenalan intervensi
napas lambat dalam untuk meningkatkan sensitivitas baroreflek perlu diberikan
kepada perawat ruangan, baik dengan mengadakan pelatihan formal maupun
pengenalan informal saat berinteraksi dengan perawat ruangan.
Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah secara adekuat untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh akan oksigen dan nutrisi. Penyakit
ini disebabkan oleh kondisi yang melemahkan keadaan jantung, yang
merupakan akibat dari adanya peningkatan usia, hipertensi, diabetes,
merokok, obesitas, dan tingginya tingkat kolesterol dalam darah.
Penatalaksanaan CHF diperlukan untuk mencegah perburukan kondisi.
2. Penyakit CHF yang dialami oleh Tn. B merupakan akibat dari gaya hidup
yang kurang baik, seperti kebiasaan merokok, konsumsi goreng-gorengan,
makan makanan berlemak, tinggi kolesterol dan manis, yang mengakibatkan
terjadinya penyakit-penyakit yang melemahkan kondisi jantung, seperti
hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit arteri koroner.
3. Masalah keperawatan yang ditemukan pada Tn. B adalah penurunan curah
jantung, kelebihan volume cairan, gangguan pertukaran gas, dan intoleransi
aktivitas. Kecemasan merupakan masalah keperawatan yang dapat timbul
apabila keempat masalah keperawatan utama tidak ditangani dengan baik.
Mekanisme koping positif dapat membantu mengatasi kecemasan
4. Latihan napas lambat dalam (slow deep breathing exercise) mampu
meningkatkan sensitivitas baroreflek arteri, sehingga dapat menurunkan
keluhan sesak dan toleransi aktivitas pasien.
5. Pemberian Cognitive Behaviour Therapy (CBT) bersama pendidikan
kesehatan untuk meningkatkan kepatuhan regimen terapi dalam pemberian
asuhan keperawatan dan latihan napas lambat dalam sebagai intervensi
intoleransi aktivitas pada pasien CHF
6. Perawat ruangan perlu diberikan pengenalan CBT dan latihan napas lambat
dalam untuk meningkatkan sensitivitas baroreflek arteri.
66 Universitas Indonesia
67
5.2. Saran
5.2.1. Bagi Perawat
KIAN ini dapat digunakan oleh perawat untuk meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan dalam memberikan intervensi keperawatan pada pasien CHF
sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan dan
perbaikan kondisi pasien. Perawat juga dapat memberikan alternatif intervensi,
yaitu napas lambat dalam , untuk dimasukkan ke dalam diagnosa intoleransi
aktivitas.
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
A.C. Nielsen (2005) Asia Pacific Retail and Shopper Trends 2005: Tren Pembeli
dan Ritel Asia Pasifik 2005. Oktober 2, 2011.
http://www.acnielsen.de/pubs/documents/RetailandShopperTrendsAsia200
5.pdf.
AHA. (2012). Understand your risk for heart failure. Mei 22, 2013.
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/UnderstandYourRis
kforHeartFailure/Understand-Your-Risk-for-Heart-
Failure_UCM_002046_Article.jsp
Anderson, D. (2008). Bernapas lambat dan dalam bisa turunkan tekanan darah.
Mei 23, 2013. http://www.keluargasehat.com
Bernardi et.al. (1998). Effect of breathing rate on oxygen saturation and exercise
performance in chronic heart failure. The Lancet, 351, 1308-1311
69 Universitas Indonesia
70
Bernardi et. al. (2002). Slow breathing increases arterial baroreflex sensitivity in
patients with chronic heart failure. Journal of The American Heart
Association, 105, 143-145
Black, Joice M. & Hawks, Jane H. (2009). Medical surgical nursing: clinical
management for positive outcomes (8th ed). Singapore: Elsevier
Brown, Diane & Edwards, Helen. (2005). Lewi’s medical surgical nursing:
assessment and management of clinical problems. Marricksville: Elsevier
Bustan, M.N. (2004). Epidemiologi penyakit tidak menular. Jakarta: Rineka Cipta
Cowie, M.R. & Kirby, M. (2003). Managing heart failure in primary care: a
practical guide. Oxdashire: Bladon Medical Publishing
Davis, R.C., Hobbs, F.D.R., dan Lip, G.Y.H. (2000). ABC of heart failure: history
and epidemiology. BMJ 2000, 320, 39-42.
Departemen Kesehatan RI. (2008). Profil kesehatan Indonesia 2006. Mei 22,
2013.
http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Profil%20Kesehatan%20In
donesia%202008.pdf
Departemen Kesehatan RI. (2010). Profil kesehatan Indonesia 2006. Mei 22,
2013.
http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Profil%20Kesehatan%20In
donesia%202010.pdf
Universitas Indonesia
71
DeWalt et. al. (2006). A heart failure self-management program for patients of all
literacy levels: a randomized, controlled trial. BMC Health Services
Research, 6, 30
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., and Geissler, A.C. (2000). Nursing care
plans: guideines for planning and documentating patient care. (I Made
Kariasa dan Ni Made Sumarwati, Penerjemah). Philadelphia: F.A. Davis
Company
Dunbar et. al. (2005). Family education and support interventions in heart failure:
a pilot study. Nursing Research, 54, 158-166
Eckel, R.H. (2013). Obesity and heart disease: a statement for healthcare
professionals from Nutrition Committee, American Heart Association. Juni
29, 2013. http://circ.ahajournals.org/content/96/9/3248.full
Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2006). Medical surgical: critical thinking
for collaborative care 5th ed. St. Louise Missouri: Elsevier
Ihdaniyati, A.I. & Ambarwati, W.N. (2008). Hubungan tingkat kecemasan dengan
mekanisme koping pada pasien gagal jantung kongestif di RSU Pandan
ARang Boyolali. Berita Ilmu Keperawatan, 4(1), 163-168
Joohan, J. (2000). Cardiac output and blood pressure. Mei 19, 2013.
http://www.google.co.id/imgres?imgurl/CO/andMAP/MAPfactors.jpg&im
grefurl.
Lee. (2009). Bernapas secara positif untuk otak. Jakarta: Prestasi Pustaka
Universitas Indonesia
72
Polikandrioti, M. (2008). Health failure and health related quality of life. Health
Science Journal, 2(3): 119-120
Powell et. al. (2010). Self management counceling in patients with heart failure.
JAMA: Journal of the American Medical Association, 304, 1331-1338
Riegel et. al. (2009). State of the science: promoting self-care in person with heart
failure, a scientific a statement from the American heart association.
Circulation, 120, 1141-1163
Sethares, K.A. & Elliott, K. (2004). The effect of tailored message intervention on
heart failure readmission rates, quality of life and benefit and barier beliefs
in persons with heart failure. Heart & Lung, 33, 249-260
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2002). Brunner & Suddarth’s textbook
of medical surgical nursing 8th ed. (Agung Waluyo et. al., Penerjemah).
Philadelphia: Lippincott
Smeulders et. al. (2010). Nurse-led self management group programme for
patients with congestive heart failure: randomized controlled trial. Journal
of Advanced Nursing, 66, 1487-1499
Universitas Indonesia
73
Wang, D. & Gottlieb, S. (2008). Diuretics: still the mainstay of treatment. Critical
Care of Medicine, 36 (1), s89-s94
Wilkinson, J.M., and Ahern, N.R. (2012). Prentice hall nursing diagnosis
handbook. (9th ed.). (Esty Wahyuningsih, Penerjemah). New Jersey:
Pearson Education Inc.
Yehle et. al. (2009). The effect of shared medical visits on knowledge and self-
care in patients with heart failure: a pilot study. Heart & Lung, 38, 25-33
Universitas Indonesia
Lampiran 1. Web of Causation (WOC) Masalah Keperawatan pada Bapak B
Retensi tek hidro permea Asites,
makanan NA+air tek onko bilitas edema
Makanan merokok RA
manis berkolesterol A
vasokon Perfusi
nikotin triksi ginjal
LDL darah Galop CO TD rendah
Glukosa
katekolamin Fase
dlm darah
Kom
pen Inefektif Kegagalan LV
vasokontriksi Dilatasi LV volume
insulin sasi kontraksi
elastisitas
independen
hipertensi
Aktv katekol kontraktili Kerja ot. Hipertrofi kardio
aterosklero
Sel endotel afterload simpatis amin tas jantung miokard megali
sis
Proses Infeksi
inflamasi TB
Lampiran 2. Rencana Asuhan Keperawatan pada Bapak B
Diagnosa
Rencana Tindakan Keperawatan
Keperawatan Rasional
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Penurunan curah Setelah o Tanda-tanda vital Mandiri:
jantung diberikan dalam batas normal: o Auskultasi nadi apical; kaji frekuensi, irama o Biasanya terjadi takikardi (meskipun pada saat
asuhan TD 100-120/60-80 jantung. istirahat) untuk mengkompensasi penurunan
keperawatan mmHg, Nadi 50- kontraktilitas ventrikuler.
selama 12x24 100x/menit, RR 16- o Catat bunyi jantung. o S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja
jam, penurunan 24x/menit pompa. Irama gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan
curah jantung o Haluaran urin adekuat sebagai aliran darah ke dalam sermabi yang distensi.
dapat teratasi (0,5-1 cc/kgBB/jam) Murmur dapat menunjukkan inkompetensi/stenosis
atau dikontrol. o Balans cairan katup.
seimbang o Palpasi nadi perifer. o Penurunan curah jantung dapat menunjukkan
o parameter menurunnya nadi radial, popliteal, dorsalis pedis,
hemodinamik dalam dan postibial. Nadi mungkin cepat hilang atau tidak
batas normal teratur untuk dipalpasi, dan pulsus alternan (denyut
o Melaporkan kuat lain dengan denyut lemah) mungkin ada.
penurunan episode o Pantau tekanan darah. o Pada GJK dini, sedang atau kronis tekanan darah
dispnea, angina. dapat meningkat sehubungan dengan SVR. Pada
o Ikut serta dalam HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi
aktivitas yang mengkompensasi dan hipotensi tak dapat normal
mengurangi beban lagi.
kerja jantung. o Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis. o Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer
sekunder tehadap tidak adekuatnya curah jantung,
vasokonstriksi dan anemia. Sinosis dapat terjadi
sebagai refraktori GIK. Area yang sakit sering
berwarna biru atau belang karena peningkatan
kongesti vena.
o Pantau haluaran urine, catat penurunan o Ginjal berespon untuk menurunkan curah jantung
Diagnosa
Rencana Tindakan Keperawatan
Keperawatan Rasional
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
haluaran dan kepekatan/konsentrasi urine. dengan menahan cairan dan natrium. Haluaran urin
biasanya menurun selam sehari karena perpindahan
cairan ke jaringan tetapi dapat meningkat pada
malam hari sehingga cairan berpindah kembali ke
sirkulasi bila pasien tidur.
o Kaji perubahan pada sensori, contoh letargi, o Dapat menunjukkan tidak adekuatnya perusi serebral
bingung, sekunder tehadap penurunan curah jantung.
o Berikan istirahat semi rekumben pada o Istirahat fisik harus dipertahankan selama GIK akut
tempat tidur atau kursi. Kaji dengan atau refraktori untuk memperbaiki efisiensi kontraksi
pemeriksaan fisik sesuai indikasi. jantung dan menurunkan kebutuhan/konsumsi
oksigen miokard dan kerja berlebihan.
o Berikan istirahat psikologi dengan o Stres emosi menghasilkan vasokonstriksi, yang
lingkungan tenang; menjelaskan meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan
manajemen medik/keperawatan; membantu frekuensi/kerja jantung.
pasien menghindari situasi stress,
mendengar/berespon terhadap ekspresi
perasaan/takut.
o Berikan pispot di samping tempat tidur. o Pispot digunakan untuk menurunkan kerja ke kamar
Hindari aktivitas respons Valsava, contoh mandi atau kerja keras menggunakan bedpan.
mengejan selama defekasi, menahan nafas Manuver valsava menyebabkan rangsang vagal
selama perubahan posisi. diikuti dengan takikardi, yang selanjutnya
berpengaruh pada fungsi jantung/curah jantung.
o Hindari tekanan pada bawah lutut. Dorong o Menurunkan stasis vena dan dapat menurunkan
olahraga aktif/pasif. Tingkatkan insiden thrombus/pembentukan embolus.
ambulasi/aktivitas sesuai toleransi.
o Periksa nyeri tekan betis, menurunnya nadi o Menurunnya curah jantung, bendungan/stasis vena
pedal, pembengkakan, kemerahan local dan tirah baring lama meningkatkan resiko
atau pucat pada ektremitas. tromboflebitis.
Diagnosa
Rencana Tindakan Keperawatan
Keperawatan Rasional
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
o Jangan beri preparat digitalis dan laporkan o Insiden toksisitas tinggi (20%) karena
dokter bila perubahan nyata terjadi pada menyempitnya batas antara rentang terapeutik dan
frekuensi jantung atau irama atau tanda toksik. Digoksin harus dihentikan pada adanya kadar
toksisitas digitalis. obat toksik, frekuensi jantung lambat, atau kadar
Kolaborasi : kalium rendah.
o Berikan oksigen tambahan dengan kanula o Meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan
nasal/masker sesuai indikasi. miokard untuk melawan efek hipoksia/iskemia.
o Berikan obat sesuai indikasi. o Banyaknya obat dapat digunakan untuk
meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki
kontraktilitas, dan menurunkan kongesti.
Diuretic, contoh furosemid Tipe dan dosis diuretic tergantung pada derajat
(Lasix); asam etakrinik (decrin); gagal jantung dan status fungsi ginjal.
bumetanid (Bumex); Penurunan preload paling banyak digunakan
spironolakton (Aldakton) dalam mengobati pasien dengan curah jantung
relative normal ditambah dengan gejala
kongesti. Diuretik blok reabsorpsi diuretic,
sehingga mempengaruhi reabsorpsi natrium dan
air.
Vasodilator, contoh nitrat (nitro- Vasodilator digunakan untuk meningkatkan
dur, isodril); arteriodilator, contoh curah jantung, menurunkan volume sirkulasi
hidralazin (Apresoline); (vasodilator) dan tahanan vaskuler sistemik
kombinasi obat, contoh prazosin (arteeiodilator), juga kerja ventrikel.
(Minippres).
Digoksin (Lanoxin). Meningkatkan kekuatan kontraksi miokard dan
memperlambat frekuensi jantung dengan
menurunkan konduksi dan memperlama periode
refraktori pada hubungan AV untuk
meningkatkan efesiensi/curah jantung.
Diagnosa
Rencana Tindakan Keperawatan
Keperawatan Rasional
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Captopril (Capoten); lisinopril Inhibitor ACE dapat digunakan untuk
(Prinivil); enalapril (Vasotec). mengontrol gagal jantung dengan menghambat
konversi angiotensin dalam paru dan
menurunkan vasokonstriksi, SVR, dan TD.
Morfin sulfat. Penurunan tahanan vaskuler dan aliran balik
vena menurunkan kerja miokard.
Menghilangkan cemas dan mengistirahatkan
siklus umpan balik cemas/pengeluaran
katekolamin/cemas.
Tranquilizer/sedatif. Meningkatkan istirahat/relaksasi dan
menurunkan kebutuhan oksigen dan kerja
miokard.
Antikoagulan, contoh heparin Dapat digunakan secara profilaksis untuk
dosis rendah, warfarin mencegah pembentukan thrombus/emboli pada
(Coumadin). adanya factor resiko seperti statis vena, tirah
baring, disritmia jantung, dan riwayat episode
trombolik sebelumnya.
o Pemberian cairan IV, pembatasan jumlah o Karena adanya peningkatan tekanan ventrikel kiri,
total sesuai indikasi. Hindari cairan garam. pasien tidak dapat mentolerir peningkatakn volume
cairan (preload). Pasien GJK juga mengeluarkan
sedikit natrium yang menyebabkan retensi cairan
dan meningkatkan kerja miokard.
o Pantau/ganti elektrolit. o Perpindahan cairan dan pengguanaan diuretic dapat
mempengaruhi elektrolit (khususnya kalium dan
klorida) yang mempengaruhi irama jantung dan
kontraktilitas.
o Pantau seri EKG dan perubahan foto dada. o Deprsi segmen ST dan datarnya gelombang T dapat
terjadi karena peningkatan kebutuhan oksigen
Diagnosa
Rencana Tindakan Keperawatan
Keperawatan Rasional
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
miokard, meskipun tak ada penyakit arteri koroner.
Foto dada dapat menunjukkan pembesaran jantung
dan perubahan kongesti pulmonal.
o Pantau pemeriksaan laboratorium, contoh o Peningkatan BUN/kreatinin menunjukkan
BUN dan kreatinin. hipoperfusi/gagal ginjal.
o Pemeriksaan fungsi hati (AST, LDH). o AST/LDH dapat meningkat sehubungan dengan kongesti
hati dan menunjukkan kebutuhan untuk obat dengan
dosis lebih kecil yang didetoksikasi oleh hati.
o PT/APTT/pemeriksaan koagulasi. o Mengukur perubahan pada proses koagulasi atau
keefektifan terapi antikoagulan.
o Siapkan untuk insersi/mempertahankan alat o Mungkin perlu untuk memperbaiki bradisritmia tak
pacu jantung, bila diindikasikan. responsive terhadap intervensi obat yang dapat
berlanjut menjadi gagal kongesti/menimbulkan
edema paru.
o Siapkan pembedahan sesuai indikasi. o Gagal kongesti sehubungan dengan aneurisma
ventrikuler atau disfungsi katup dapat membutuhkan
aneurisektomi atau penggantian katup untuk
memperbaiki kontraksi/fungsi miokard.
Gangguan Setelah o Tanda-tanda vital Mandiri
pertukaran gas dilakukan dalam batas normal: o Auskultasi bunyi napas, tandai daerah paru o Memperkirakan adanya perkembangan
tindakan TD 100-120/60-80 yang mengalami penurunan/kehilangan komplikasi/infeksi pernapasan, misalnya
keperawatan mmHg, Nadi 50- ventilasi, dan munculnya bunyi atelektasis/pneumonia. Catatan: PCP umumnya
selama 6 x24 100x/menit, RR 16- adventisius misalnya krekels, mengi, berkembang sebelum terjadinya perubahan pada
jam, pertukaran 24x/menit ronkhi suara napas
gas dapat o Tidak mengalami o Catat kecepatan/kedalaman pernapasan, o Takipnea, sianosis, tak dapat istirahat, dan
efektif sesak napas/sianosis sianosis, penggunaan otot peningkatan napas menunjukkan kesulitan
o bunyi napas dari hasil aksesoris/penigkatan kerja pernapasan dan pernapasan dan adanya kebutuhan untuk
Diagnosa
Rencana Tindakan Keperawatan
Keperawatan Rasional
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
sinar X bagian dada munculnya dispnea, ansietas meningkatkan pengawasan/intervensi medis
yang bersih o Tinggikan kepala tempat tidur. Usahakan o Meningkatkan fungsi pernapasan yang optimal dan
meningkat pasien untuk berbalik, batuk, menarik mengurangi aspirasi atau infeksi yang ditimbulkan
o hasil pemeriksaan napas sesuai kebutuhan karena atelektasis
laboratorium AGD o Hisap jalan napas sesuai kebutuhan, o Membantu membersihkan jalan napas, sehingga
dalam rentang normal gunakan teknik steril dan lakukan tindakan memungkinkan terjadinya pertukaran gas dan
: PCO2 =35-45, PO2 pencegahan, misalnya menggunakan mencegah komplikasi pernapasan
=21-25, HCO3= masker, pelindung mata
75-100, Sat O2 o Kaji perubahan tingkat kesadaran o Hipoksemia dapat terjadi akibat adanya perubahan
=95-98 tingkat kesadaran mulai dari ansietas dan kekacauan
o tidak ada keluhan mental sampai kondisi tidak responsif
sesak/ keluhan sesak o Selidiki keluhan tentang nyeri dada o Nyeri dada pleuritis dapat menggambarkan adanya
menurun pneumoni non spesifik atau efusi pleura berkenaan
dengan keganasan
o Berikan periode istirahat yang cukup o Menurunkan konsumsi oksigen
diantara waktu aktivitas perawatan.
Pertahankan lingkungan yang tenang
Kolaborasi
o Pantau/buat kurva hasil pemeriksaan o Menunjukkan status pernapasan, kebutuhan
GDA/nadi oksimetri perawatan/keefektifan pengobatan
o Tinjau ulang sinar X dada o Adanya infiltrasi meluas memungkinkan terjadinya
pneumonia atau PCP, sementara daerah
kongesti/konsoidasi menunjukkan komplikasi
pernapasan yang lain, misalnya atelektasis atau lesi
KS
o Instruksikan untuk menggunakan o Mendorong teknik pernapasan yang tepat dan
spirometer intensif. Lakukan fisioterapi meningkatkan pengembangan paru. Melepaskan
Diagnosa
Rencana Tindakan Keperawatan
Keperawatan Rasional
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
dada, misalnya perkusi, vibrasi, dan sekresi, mengeluarkan mukus yang menyumbat
drainase postural untuk meningkatkan bersihan jalan napa. Catatan:
Paa waktu terjadi lesi kulit multipel, fisioterapi dada
mungkin akan dihentikan
o Berikan tambahan oksigen yang o Mempertahankan ventilasi/oksigenasii efektif untuk
dilembabkan melalui cara yang sesuai, mencegah/memperbaiki krisis pernapasan
misalnya melalui kanula, masker,
intubasi.ventilasi mekanis.
o Berikan obat Antimikroba, misalnya o Pilihan terapi tergantung pada situasi
Trimetoprim (Bactrim, Septra); individu/infeksi organisme. Catatan: Bactrim adalah
Pentamidin isetionat (Pentam) obat pilihan sebagai profilaksis (pada jumlah T4
mencapai 200) untuk mencegah pneumonia PCP
o Bronkodilator, ekspektoran, depresan o Mungkin diperlukan untuk meningkatkan/
batuk mempertahankan jalan napas atau untuk membantu
membersihkan sekresi
o Siapkan/bantu pelaksanaan prosedur o Mungkin diperlukan untuk membersihkan mukus
seperti bronkoskopi penyumbat, mengambil spesimen untuk
pemeriksaan dalam menegakkan diagnosa
(biopsi/lavase)
Kelebihan volume Setelah o Balans cairan Mandiri:
cairan diberikan seimbang (masukan o Pantau haluaran urine, catat jumlah dan o Haluaran urine mungkin sedikit dan pekat
asuhan sama dengan warna saat hari dimana diuresis terjadi. (khususnya selama sehari) karena penururnan perfusi
keperawatan pengeluaran) ginjal. Posisi telentang memebantu diuresis,
selama 6x24 o Urin output 0,5-1 sehingga haluaran urine dapat ditingkatkan pada
jam, kelebihan cc/KgBB/jam malam/selama tirah baring.
volume cairan o Bunyi nafas o Pantau/hitung keseimbangan pemasukan o Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan
dapat teratasi bersih/jelas (tidak dan pengeluaran selama 24 jam. cairan tiba-tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun
Diagnosa
Rencana Tindakan Keperawatan
Keperawatan Rasional
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
atau berkurang. ada krekel, ronkhi) edema/asites masih ada.
o Tanda-tanda vital o Pertahankan duduk atau tirah baring dengan o Posisi telentang meningkatkan filtrasi ginjal dan
dalam rentang posisi semifowler selama fase akut. menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan
normal : TD 100- diuresis.
129/60-80 mmHg, o Buat jadwal pemasukan cairan, digabung o Melibatkan pasien dalam program terapi dapat
Nadi 50-100x/menit, dengan keinginan minum bila mungkin. meningkatkan perasaan mengontrol dan kerjasama
RR 16-24x/menit) Berikan perawatan mulut/es batu sebagai dalam pembatasan.
o Tidak ada bagian dari kebutuhan cairan.
penambahan berat o Timbang berat badan tiap hari. o Catat perubahan ada/hilangnya edema sebagai
badan respons terhadap terapi. Peningkatan 2.5 kg
o Tidak ada edema. menunjukkan kurang lebih 2L cairan. Sebaliknya,
o Menyatakan diuretic dapat mengakibatkan cepatnya
pemahan tentang kehilangan/perpindahan cairan dan kehilangan berat
pembatasan caiaran badan.
individual. o Kaji distensi leher dan pembuluh perifer. o Retensi cairan berlebihan dapat dimanifestasikan
Lihat area tubuh dependen untuk edema oleh pembendungan vena dan pembentukan edema.
dengan/tanpa pitting; catat adanya edema Edema perifer mulai pada kaki/mata kaki (atau area
tubuh umum (anasarka). dependen) dan meningkat sebagai kegagalan paling
buruk. Edema pitting adalah gambaran secara umum
hanya setelah retensi sedikitnya 5 kg cairan.
Peningkatan kongesti vaskuler (sehubungan dengan
gagal jantung kanan) secara nyata mengakibatkan
edema jaringan sistemik.’
o Ubah posisi dengan sering. Tinggikan kaki o Pembentukan edema, sirkulasi melambat, gangguan
bila duduk. Lihat permukaan kulit, pemasukan nutrisi dan imobilisasi/tirah baring lama
pertahanakan tetap kering dan berikan merupakan kumpulan stressor yang mempengaruhi
bantalan sesuai indikasi. integritas kulit dan memerlukan intervensi
pengawasan ketat/pencegahan.
Diagnosa
Rencana Tindakan Keperawatan
Keperawatan Rasional
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
o Auskultasi bunyi nafas, catat penurunan o Kelebihan volume cairan sering menimbulkan
dan/atau bunyi tambahan, contoh krekels, kongesti paru. Gejala edema paru dapat
mengi. Catat adanya peningkatan dispnes, menunjukkan gagal jantung kiri akut. Gejala
takipnea, ortopnea, dispnea noktyurnal pernafasan pada gagal jantung kanan (dispnea,
paroksismal, batuk persisiten. batuk, otopnea) dapat timbul lambat tetapi lebih sulit
membaik.
o Selidiki keluhan dispnea ekstrem tiba-tiba, o Dapat menunjukkan terjadinya komplikasi (edema
kebutuhan untuk bangun dari duduk, paru/emboli) dan berbeda dari ortopnea dan dispnea
sensasi sulit bernafas, rasa panic atau nocturnal paroksismal yang terjadi lebih cepat dan
ruangan sempit. memerlukan intervensi segera.
o Pantau TD dan CVP (bila ada). o Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan
kelebihan volume cairan dan dapat menunjukkan
terjadinya/peningkatan kongesti paru, gagal jantung.
o Kaji bising usus. Catat keluhan anoreksia, o Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat
mual, distensi abdomen, konstipasi. mengganggu fungsi gaster/intestinal.
o Berikan makanan yang mudah dicerna, o Penurunana motilitas gaster dapat berefek merugikan
porsi kecil dan sering. pada digestif dan absorpsi. Makan sedikit dan sering
meningkatkan digesti/mencegah ketidaknyamanan
abdomen.
o Ukur lingkar abdomen sesuai indikasi. o Pada gagal ajntung lanan lanjut, cairan dapat
berpindah ke dalam area peritoneal, menyebabkan
meningkatnya lingkar abdomen (asites).
o Dorong untuk menyatakan perasaan o Ekpresi perasaan/masalah dapat menurunkan
sehubungan dengan pembatasan stress/cemas, yang mengeluarkan energi dan dapat
menimbulkan perasaan lemah.
o Palpasi hepatomegali. Catat keluhan nyeri o Perluasan gagal jantung menimbulkan kongesti
abdomen kuadran kanan atas/nyeri tekan. vena, menyebabkan distensi abdomen, pembesaran
hati, dan nyeri. Ini akan mengganggu fungsi hati dan
Diagnosa
Rencana Tindakan Keperawatan
Keperawatan Rasional
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
mengganggu /memperpanjang metabolisme obat.
o Catat peningkatan letargi, hipotensi, kram o Tanda defesit kalium dan natrium yang dapat terjadi
otot. sehubungan denga perpindahan cairan dan terapi
diuretic.
Kolaborasi :
o Pemberian obat sesuai indikasi.
Diuretik, contoh furosemid (Lasix); Meningkatkan laju aliran urine dan dapat
bumetadine (Bumex) menghambat reabsorpsi natrium/klorida pada
tubulus ginjal.
Tiazid dengan agen pelawan kalium, Meningkatkan diuresis tanpa kehilangan kalium
contoh spironolakton (Aldakton). berlebihan.
Tambahan kalium contoh K Dur. Mengganti kehilangan kalium sebagai efek
samping terapi diuretic, yang dapat
mempengaruhi fungsi jantung.
o Mempertahankan cairan/pembatasan o Menurunkan air total tubuh/mencegah reakumulasi
natrium sesuai indikasi. cairan.
o Konsul dengan ahli diet. o Perlu memberikan diet yang dapat diterima pasien
yang memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan
natrium.
o Pantau foto torak. o Menunjukkan perubahan indikasif
peningkatan/perbaikan kongesti paru.
o Kaji dengan torniket rotasi/flebotomi, o Meskipun tidak sering digunakan, penggantian
dialysis, atau ultrafiltrasi sesuai indikasi cairan mekanis dilakukan untuk mempercepat
penurunana volume sirkulasi, khususnya pada edema
paru refraktori pada terapi lain.
Intoleransi aktivitas Setelah o Tanda-tanda vital Mandiri:
diberikan dalam batas normal: o Periksa tanda vital sebelum dan segera o Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktiviyas
asuhan TD 100-120/60-80 setelah aktivitas, khususnya bila pasien karena efek obat (vasodilatasi), perpindahan cairan
Diagnosa
Rencana Tindakan Keperawatan
Keperawatan Rasional
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
keperawatan mmHg, Nadi 50- mengguanakan vasodilator, diuretic, (diuretik) atau pengaruh fungsi jantung.
selama 4x24 100x/menit, RR 16- penyekat beta.
jam, klien 24x/menit o Catat respons kardiopulmonal terhadap o Penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk
mampu o Berpartisipasi pada aktivitas, catat takikardi, disritmia, dispnea,
meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas,
aktivitas sesuai aktivitas yang berkeringat, pucat. dapat menyebabkan peningkatan segera pada
kemampuannya diinginkan, frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen, juga
. memenuhi kebutuhan peningkatan kelelahan dan kelemahan.
perawatan diri o Kaji presipitator/penyebab kelemahan o Kelemahan adalah efek samping beberapa obat (beta
sendiri. contoh, pengobatan, nyeri, obat. bloker, traquilizer, dan sedatif). Nyeri dan program
o Mencapai penuh stress juga memerlukan energi dan
peningkatan toleransi menyebabkan kelemahan.
aktivitas yang dapat o Ajarkan dan motivasi latihan slow deep o Latihan slow deep breathing dapat meningkatkan
diukur, dibuktikan breathing exercise, yaitu latihan nafas reflek vasovagal serta meningkatkan saturasi O2
oleh menurunnya dalam sebanyak 6x nafas/menit selama sehingga pernapasan lebih efektif dan menurunkan
kelemahan dan minimal 4 menit dan dilakukan 2x dalam intoleransi aktivitas
kelelahan dan tanda sehari
vital DBN selama o Evaluasi peningkatan intoleransi aktivitas. o Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi
aktivitas. o Berikan bantuan dalam aktivitas perawatan jantung daripada kelebihan aktivitas.
diri sesuai indikasi. Selingi periode o Pemenuhan kebutuhan perawatan diri pasien tanpa
aktivitas dengan periode istirahat. mempengaruhi stress miokard/kebutuhan oksigen
Kolaborasi : berlebihan.
o Implementasikan program rehabilitasi o Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari
jantung/aktivitas. kerja jantung/konsumsi oksigen berlebihan.
Penguatan dan perbaikan fungsi jantung dibawah
stress, bila disfungsi jantung tidak dapat membaik
kembali..
Lampiran 3. Satuan Acara Pembelajaran Congestive Heart Failure (CHF)
IV. Metode
1. Diskusi
2. Demonstrasi
V. Media
1. Leaflet
VII. Evaluasi
1. Evaluasi struktur
- Tersedianya media
- Mahasiswa, pasien dan keluarga pasien bertemu sesuai kontrak
waktu yang telah disepakati
2. Evaluasi proses
- Pelaksanaan sesuai rencana
- Pasien dan keluarga aktif dalam diskusi dan tanya jawab
- Pasien dan keluarga mengikuti kegiatan dari awal hingga
selesai
3. Evaluasi hasil
Setelah dilakukan penyuluhan pasien dan/ atau keluarga mampu:
Menyebutkan pengertian gagal jantung kongestif dengan bahasa
sendiri dengan tepat
Menyebutkan 3 dari 7 penyebab gagal jantung kongestif dengan
tepat
Menyebutkan 4 dari 8 tanda-tanda gagal jantung kongestif dengan
tepat
Menyebutkan 6 dari 7 cara perawatan pasien dengan gagal jantung
kongestif di rumah
Mendemonstrasikan latihan napas pelan dan dalam dengan benar
Keadaan dimana jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolik (suplai O2 dan nutrisi tidak sesuai dengan
kebutuhan tubuh)
Sesak nafas
Batuk
Denyut nadi meningkat
Kelelahan setelah melakukan aktivitas
Gelisah
Bengkak pada kaki, tangan, dan / atau perut
Pucat, lemas
Kuku dan mulut kebiruan
Sesak memberat
Nyeri dada yang memberat
Kaki bengkak
BAK sedikit atau tidak ada BAK sama sekali
Lampiran 4. Leaflet Congestive Heart Failure (CHF
faktor lain : stress,
APA ITU GAGAL kehamilan, penyakit paru
JANTUNG KONGESTIF?
Keadaan dimana jantung TANDA-TANDA GAGAL
tidak mampu memompa darah JANTUNG KONGESTIF?
yang cukup untuk memenuhi Sesak nafas
kebutuhan metabolik (suplai Batuk
Pengertian dan Cara O2 dan nutrisi tidak sesuai Denyut nadi meningkat
Perawatannya dengan kebutuhan tubuh) Kelelahan setelah melakukan
aktivitas
MENGAPA Gelisah
Bengkak pada kaki, tangan,
BISA
dan / atau perut
TERJADI?
Pucat, lemas
kelainan otot Kuku dan mulut
jantung kebiruan
hipertensi
Oleh
peradangan otot jantung
Astutiningrum Puspa D., S.Kep
penyumbatan pembuluh
darah koroner
gangguan katup jantung
Fakultas Ilmu Keperawatan anemia
Universitas Indonesia
2013
Konsumsi makanan yang
KAPAN HARUS DIBAWA KE
BAGAIMANA CARA mengandung serat untuk
mencegah susah buang air besar
RUMAH SAKIT ATAU
PERAWATAN DI PELAYANAN KESEHATAN?
( sayuran dan buah-buahan )
RUMAH?
Hindari makanan yang asin Sesak memberat
Istirahat yang cukup
Pembatasan konsumsi garam 2- Nyeri dada yang memberat
Melakukan aktivitas sesuai 3 g/hari atau setengah peres Kaki bengkak
toleransi, bila mulai terasa lelah
sendok makan jika disertai BAK sedikit atau tidak ada
segera istirahat
hipertensi atau bengkak
Olahraga sesuai toleransi, misal BAK sama sekali
Melakukan pembatasan minum
jalan kaki, senam-senam kecil, sesuai anjuran dokter
dan latihan napas pelan dan
Minum obat dari dokter secara
dalam
rutin
Konsumsi makanan rendah
Saat ke kamar mandi pintu
kolesterol (makanan
jangan ditutup
berkolesterol : daging ayam,
Kontrol ke pelayanan kesehatan
daging sapi, kuning telor, min. 2 minggu sekali untuk
makanan bersantan, dll) mengetahui perkembangan
Konsumsi protein cukup
kesehatan
( kacang-kacangan seperti
buncis, wotel, kacang panjang,
tahu, tempe, ikan, telur)