Anda di halaman 1dari 6

Pertanyaan

Benign Prostate Hyperplasia (BPH)


1. Jelaskan yang dimaksud dengan Benign Prostate Hyperlasia (BPH)!
2. Jelaskan etiologi/faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya BPH!
3. Jelaskan fisiologis normal dari kelenjar prostat? Dan Bagaimana patofisologi dari
BPH?
4. Bagaimana gambaran klinis yang terjadi pada penderita BPH (Gambaran tanda dan
gejala serta uji)?
Gambaran tanda dan gejala yang terjadi pada penderita Benign Prostate Hyperplasia
(BPH) yaitu tingkat keparahan gejala pembesaran prostat jinak bisa berbeda pada tiap
penderita, tetapi umumnya akan memburuk seiring waktu. Gejala utama penderita
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah gangguan saat buang air kecil, yang bisa
berupa:
1. obstruksi pada saluran keluar
 Pancaran lemah, hisitansi, intermitensi, menetes/dribbling, mengedan saat
berkemih, retensi urin akut.
2. Ketidakstabilan detrusor menyebabkan :
 Frekuensi, urgensi, nokturia, dysuria, inkontinensia.
3. Akhirnya terjadi kegagalan otot detrusor dan retensi kronis
 Kandung kemih yang teraba atau dapat diperkusi, inkontinensia.
 Pembesaran prostat yang licin pada pemeriksaan
(Grace & Borley, 2006).

Uji yang dilakukan yaitu dilakukan


Untuk mendiagnosis BPH, dokter umumnya menggunakan kuesioner Skor Gejala
Prostat Internasional (IPSS) untuk mengevaluasi tingkat keparahan gejala. Dirancang
oleh American urological Association (AUA), IPSS adalah alat penting untuk
menentukan masalah prostat pada tahap awal, untuk mengikuti perkembangan BPH dan
untuk melacak efek pengobatan. IPSS terdiri dari 7 pertanyaan, dicetak dalam skala
dari 0-5:
Gejalanya dinilai sebagai : Sedang skor 1 sampai 7
Sedang skor 8 sampai 19
parah: skor 20 sampai 35 Selain itu, dokter juga dapat melakukan beberapa tes berikut
untuk mendiagnosa kondisi tersebut:
Pemeriksaan rektal digital (DRE)
Dokter memasukkan jari yang bersarung melalui anus pasien ke dalam rektum untuk
menilai ukuran, bentuk, simetri dan konsistensi prostat, merasakan nodul dan
kekerasan, dan memeriksa rektum dan anus pada saat yang bersamaan. Namun, tes ini
saja tidak cukup untuk mendiagnosa tingkat penyumbatan atau tingkat keparahan
kondisi.
Tes urin (urinalisis)
Tes urine memeriksa apakah ada darah dalam urin, infeksi atau proteinuria.
Tes darah antigen spesifik prostat (PSA)
PSA adalah protein yang diproduksi oleh prostat. Peningkatan kadar PSA dapat
mengindikasikan masalah prostat. Tes darah PSA bisa membantu menyaring kanker
prostat.
Uroflowmetry
Uroflowmetry mengukur laju alir urin, tingkat penyumbatan dan membantu memantau
efek pengobatan.
USG transrectal (TRUS)
Tes ultrasound memberikan pengukuran prostat dan menunjukkan jumlah residu urin
di kandung kemih.
Uji fungsi kandung kemih
Mengencangkan untuk mengeluarkan urin karena sulit buang air kecil dapat
menyebabkan kandung kemih lemah dari waktu ke waktu. Tes fungsi kandung kemih
diperlukan untuk memeriksa seberapa baik kandung kemih bekerja.
Tes Urodynamics
Tes Urodynamics mengukur volume urin dan tekanan di kandung kemih, laju alir urin
dan urine sisa di kandung kemih.
Sistoskopi
Teleskop fleksibel yang terang (cystoscope) dimasukkan ke dalam uretra untuk
memeriksa kandung kemih untuk tanda-tanda penyumbatan atau kelainan.
Dalam beberapa kasus, tes lebih lanjut mungkin diperlukan untuk memastikan
diagnosis. Tes ini meliputi tes urine sisa postvoid, ultrasonografi, urogram intravena,
MRI (magnetic resonance imaging / MRI), sinar-X atau pielogram intravena (IVP).
(Mochtar et al., 2015)

5. Dalam pentalaksanaan BPH dapat diberikan beberapa pilihan tergantung dari kondisi
pasien diantaranya adalah (1)konservatif (watchful waiting), (2) terapi medikamentosa,
(3) pembedahan (4) lain--‐lain.
a. Jelaskan yang dimaksud dengan (watchful waiting) dan apa pertimbangan
pemilihan tindakan tersebut?
Pemilihan Konservatif karena Terapi konservatif pada BPH dapat berupa
watchful waiting yaitu pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi
perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini
ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan
yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Karena terapi tersebut dianggap
aman karena hanya dilakukan pemantauan tanpa ada mendapatkan tindakan
terapi. Pada watchful waiting ini, pasien diberi penjelasan mengenai segala
sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
(1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan
malam,
(2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada
kandung kemih (kopi atau cokelat),
(3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin,
(4) jangan menahan kencing terlalu lama.
(5) penanganan konstipasi Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3-6
bulan) untuk menilai perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry,
maupun volume residu urine. Jika keluhan berkemih bertambah buruk, perlu
dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.

(Mochtar et al., 2015)

b. Terapi obat yang dapat diberikan pada penderita BPH adalah


i. a-­‐blocker
Pengobatan dengan α-blocker bertujuan menghambat kontraksi otot polos
prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih dan uretra.
Beberapa obat α1- blocker yang tersedia, yaitu
 Terazosin dosis untuk Benign Prostatic Hyperplasia Dosis awal: 1 mg oral
sekali sehari pada waktu tidur. Dosis pemeliharaan: Peningkatan secara
bertahap hingga 2 mg, 5 mg, atau 10 mg sekali sehari untuk mencapai
perbaikan gejala yang diinginkan. Jika salah satu dari efek samping
berikut terjadi saat menggunakan terazosin, periksakan dengan
dokter atau perawat sesegera mungkin. Efek samping yang sering
terjadi secara umum yaitu:
1. Pusing
2. Kurang umum terjadi:
3. sakit dada
4. pusing ringan ketika bangun dari posisi berbaring atau
duduk
5. pingsan (tiba-tiba)
6. denyut jantung cepat atau tidak teratur
7. detak jantung berdebar
8. sesak napas
9. pembengkakan kaki atau kaki yang lebih rendah
10. langka
11. peningkatan berat badan

 Doksazosin 1 mg oral sekali sehari


 Alfuzosin Dosis oral yang dianjurkan adalah 10 mg, dapat
dikonsumsi sehari sekali, segera setelah makan.
 Tamsulosin 0.4 mg secara oral yang cukup diberikan sekali sehari.

ii. 5a-­‐reductase inhibitor


5α-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis sel
epitel prostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 20 – 30%. 5a-
reductase inhibitor juga dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% dari nilai
yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker
prostat. Saat ini, terdapat 2 jenis obat 5α-reductase inhibitor yang dipakai untuk
mengobati BPH, yaitu finasteride dan dutasteride. Efek klinis
finasteride atau dutasteride baru dapat terlihat setelah 6 bulan.
 Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml dan dutasteride di
gunakan bila volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi pada
pemberian finasteride atau dutasteride ini minimal, di antaranya dapat
terjadi disfungsi ereksi, penurunan libido, ginekomastia, atau
timbul bercak-bercak kemerahan di kulit.

Merek dagang: Reprostom, Alopros, Proscar, Finpro, Prostacom,


Reprosid
Dosis: 5 mg per hari, selama minimal 6 bulan.

Efek samping:
Efek samping yang mungkin muncul setelah mengonsumsi finasteride
adalah:
 Disfungsi ereksi
 Gangguan ejakulasi
 Nyeri pada buah zakar
 Depresi
 Menurunnya libido
Beberapa efek samping dapat berbahaya. Segera temui dokter apabila
terjadi efek samping berikut ini:
 Masalah pada payudara (seperti nyeri, perubahan ukuran, atau muncul
benjolan)
 Ruam
 Gatal-gatal
 Pembengkakan pada bibir dan wajah
 Sulit bernapas atau menelan

iii. Lain-lain (terapi kombinasi dan Fitoterapi)


Jelaskan bagaimana mekanisme kerja golongan obat tersebut terhadap
kondisi BPH, sebutkan nama obat yang termasuk dalam golongan obat
tersebut (secara spesifik sebutkan yang tersedia di Indonesia), cara
penggunaan pada penderita BPH dan efek samping yang umum terjadi
pada penggunaannya.

 α1-blocker + 5α-reductase inhibitor


Terapi kombinasi α1-blocker (alfuzosin, doksazosin, tamsulosin) dan
5α-reductase inhibitor (dutasteride atau finasteride) bertujuan untuk
mendapatkan efek sinergis dengan menggabungkan manfaat yang
berbeda dari kedua golongan obat tersebut, sehingga meningkatkan
efektivitas dalam memperbaiki gejala dan mencegah perkembangan
penyakit. Waktu yang diperlukan oleh α1-blocker untuk memberikan
efek klinis adalah beberapa hari, sedangkan 5α-reductase inhibitor
membutuhkan beberapa bulan untuk menunjukkan perubahan klinis
yang signifikan. Data saat ini menunjukkan terapi kombinasi
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan monoterapi dalam
risiko terjadinya retensi urine akut dan kemungkinan diperlukan terapi
bedah. Akan tetapi, terapi kombinasi juga dapat meningkatkan risiko
terjadinya efek samping. Efek samping yang dapat terjadi yaitu
Disfungsi ereksi, gangguan ejakulasi, nyeri pada buah zakar, depresi,
menurunnya libido.

 α1-blocker + antagonis reseptor muskarinik


Terapi kombinasi α1-blocker dengan antagonis reseptor muskarinik
bertujuan untuk memblok α1-adrenoceptor dan cholinoreceptors
muskarinik (M2 dan M3) pada saluran kemih bawah. Terapi kombinasi
ini dapat mengurangi frekuensi berkemih, nokturia, urgensi, episode
inkontinensia, skor IPSS dan memperbaiki kualitas hidup dibandingkan
dengan α1- blocker atau plasebo saja. Pada pasien yang tetap mengalami
LUTS setelah pemberian monoterapi α1-blocker akan mengalami
penurunan keluhan LUTS secara bermakna dengan pemberian anti
muskarinik, terutama bila ditemui overaktivitas detrusor (detrusor
overactivity). Efek samping dari kedua golongan obat kombinasi, yaitu
α1-blocker dan antagonis reseptor muskarinik telah dilaporkan lebih
tinggi dibandingkan monoterapi. Pemeriksaan residu urine harus
dilakukan selama pemberian terapi ini. Efek samping

Dapus
Grace, A. P & N. R. Borley. 2006. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Penerbit Erlannga,
Jakarta.

Mochtar, C. A., R. Umbas., D. M. soebadi., N. rasyid. 2015. Panduan Penatalaksanaan Klinis


Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia/BPH). Ikatan Ahli Urologi
Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai