Anda di halaman 1dari 18

Penatalaksanaan pada Penyakit Morbus Hansen

Siska (102012102), Elizabeth Chikita Putri (102013106), Yogi Adhitya Arganatha


(102013240), Jean Rosdiantoro (102014095), Joshua Tjantoso (102014131), Maria
Rosario Angelina Mella (102014154), Septin Permata Sari (102014274), Insan Kamil
(102015001)
Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone : (021) 5694-2061, fax : (021) 563-1731
Fkukridac2@gmail.com

Pendahuluan
Lepra (penyakit hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai oleh
adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput
lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata yang disebabkan oleh Mycobacterium
Leprae yang bersifat intraseluler obligat, saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu
kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kecuali susunan saraf pusat.1
Penyakit ini terutama menyerang kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air
susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung
Mycobacterium Leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi
tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak
lebih rentan daripada orang dewasa.
Sekitar 50% penderita kemungkinan tertular karena berhubungan dekat dengan
seseorang yang terinfeksi. Infeksi juga mungkin ditularkan melalui tanah, armadillo,
kutu busuk dan nyamuk. Sekitar 95% orang yang terpapar oleh bakteri lepra tidak
menderita lepra karena sistem kekebalannya berhasil melawan infeksi. Infeksi dapat
terjadi pada semua umur, paling sering mulai dari usia 20 sampai 30an tahun. bentuk
lepromatosa 2 kali lebih sering ditemukan pada pria.1,2

Pembahasan
Anamnesis
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan yaitu, identitas, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat obstri dan ginekologi (khusus
wanita), riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis sususan system dan anamnesis

1
pribadi (meliputi keadaan social ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan dan
lingkungan).
Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua atau anggota
keluarga terdekat sebagai penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku
bangsa dan agama. Indentitas perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien yang
dimaksud dan sebagai data penelitian.
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien ke
dokter atau mencari pertolongan. Dari hasil anamnesa didapatkan data bahwa pasien
datang dengan keluhan adanya bercak putih pada lengan kiri sejak 1 bulan dan tidak
ada rasa gatal.
Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis, terperinci dan
jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien
datang berobat. Riwayat penyakit terdahulu untuk mengetahui kemungkinan-
kemungkinan danya hubungan penyakit yang pernah ia derita dengan penyakitnya
sekarang.
Riwayat penyakit keluarga penting untuk mencari kemungkinan penyakit
herediter, familial atau penyakit infeksi. Riwayat pribadi meliputi data-data social,
ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Perlu ditanyakan apakah pasien mengalami
kesulitan dalam kehidupan sehari-hari seperti masalah keuangan, pekerjaan dan
asebagainya. Kebiasaan pasien yang harus ditanyakan kebiasaan merokok, minum
alcohol dan obat-obatan termasuk obat-obatan terlarang. Pasien yang sering
melakukan perjalan juga harus ditanyakan untuk mencari kemungkinan tertular
penyakit infeksi tertentu. Yang tidak kalah penting adalah menanyakan tentang
lingkungan tempat tinggal, termasuk keadaan rumah, sanitasi, sumber air minum,
ventilasi, tempat pembuangan samapah dan sebagainya. 1

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan adalah dengan memastikan status
lokalisasi dari bercak putih tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan pada seluruh bagian
tubuh, jika memang bercak putih sudah menyebar ke seluruh tubuh. Selain itu, perlu
juga memeriksa efloresensi atau sifat dari luka tersebut. Pada setiap kriteria dari lepra,

2
efloresensi juga mempunyai sifat yang berbeda. Pada lepra tipe TT (tuberculosis),
efloresensi berupa macula eritematosa bulat atau lonjong, permukaan kering, batas
tegas, anestesi, bagian tengah sembuh, bakteriologi negative, tes lepromin positif
kuat. Tipe BT (borderline tuberculoid), efloresensi berupa macula eritomatosa tidak
teratur, batas tidak tegas, kering, mula-mula akan ada tanda kontraktur, anestesi,
bakteriologi bisa negative atau positif. Tipe BB (mid borderline) macula eritomatosa,
menonjol, bentuk tidak teratur, kasar ada lesi satelit, penebalan saraf dan kontraktur,
pemeriksaan baketeriologi positif, tes lepromin negative. Tipe BL (borderline
lepramatosa) berupa macula infiltrate merah mengkilat, tidak teratur, batas tidak
tergas, pembengkakan saraf, pemeriksaan bakteriologi ditemukan banyak basil, tes
lepromin negative. Tipe LL ( lepramatosa) berupa infiltrate difus berupa nodul
simetri, permukaan mengkilat, saraf terasa sakit, anestesi, pemeriksaan bakteriologi
positif kuat, tes lepromin negative.2
Selain pemeriksaan fisik kulit, harus pula dilakukan pemeriksaan saraf tepi pasien
(n.ulnaris, n.radialis, n.aurikulas magnus, n.poplitea), mata (lagoftalmus), tulang
(kontraktur atau absorbs) dan rambut (alis mata, kumis dan lesi sendiri). Pemeriksaan
anestesi (baal) dan sensitifitas bisa dilakukan dengan tes panas dingin ataupun dengan
jarum. Tes keringat dengan melakukan tes Gunawan, yaitu dengan pensil tinta dibuat
garis pada lesi hingga keluar lesi, lalu pasien melakukan olahraga samapai
berkeringat. Selanjutnya dilihat pada bagian mana tinta melebur karena keringat dan
bagian tinta yang tidak melebur karena anhidrasi. Dari hasil pemeriksaan fisik
didapatkan macula hipopigmentasi positif dengan anestesi. 3

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu mengegakkan
diagnosis dan pengamatan pengbatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit
atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan
terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN.

3
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan scalpel steril. Setelah lesi
tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar
menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah
yang akan menganggu gambaran sediaan. Irisan yang dibuat harus sampai di
dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang
diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang didalamnya
mengandung kuman M. leprae. 2
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai +6. 0 bila tidak
ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP)
+1 : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam 100 lapangan pandangan.
+2 : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam 10 lapangan pandangan.
+3 : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan
+4 : 10 - 100 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan
+5 : 100 – 1000 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+6 : > 1000 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan.

Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi


pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua
lesi yang dibuat sediaan.
Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan
jumlah solid dan nonsolid.
Jumlah M. leprae yang berbentuk utuh atau solid per 100 Mycobacterium
leprae
1. Bentuk utuh (solid) dengan dinding yang tidak terputus dan menyerap zat
warna secara merata
2. Bentuk pecah-pecah atau terputus-putus (fragmented) dengan dinding terputus
sebagian atau seluruhnya.
3. Bentuk butir-butir (granulated): seperti titik-titik (butir-butir) tersusun
membentuk garis lurus atau berkelompok.
4. Bentuk globus : sejumlah kuman kusta (50 – 200 kuman) yang utuh (solid)
atau putus-putus (fragmented) atau butir-butir (granulated) berkelompok
dalam suatu bentuk ikatan atau lingkaran.

4
5. Bentuk kelompok (clumps) : sejumlah kuman kusta bentuk butir-butir
(granulated) membentuk kelompok (pulau-pulau) tersendiri dengan lebih dari
± 500 BTA. 3

2. Pemeriksaan histopatologik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar dari paru,
sel glia dari otak dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah tugas makrofag
adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman masuk, akibatnya akan
bergantung pada system imunitas selular (SIS) orang itu. Apabila SIS-nya tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. datangnya histiosit ke tempat
kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya factor kemotatik.3

3. Pemeriksaan serologic
Pemeriksaan serologic kusta didasarkan atas terbentuknya antibody pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Antibody pada tubuh seseorang
yang terinfeksi dapat bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibody anti
phenolic glycolipid -1 (PGL-1) dan antibody antiprotein 16 kD serta 35 kD. 2

Diagnosis kerja
Penyakit kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit kronik yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium leprae yang terjadi pada kulit dan saraf tepi. Manifestasi
klinis dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spektrum yang berada diantara dua
bentuk klinis yaitu lepromatosa dan tuberkuloid. Pada penderita kusta tipe
lepromatosa menyerang saluran pernafasan bagian atas dan kelainan kulit berbentuk
nodula, papula, makula dan dalam jumlah banyak. Sedangkan pada penderita kusta
tipe tuberkuloid lesi kulit biasanya tunggal dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa.3

Diagnosis banding
1. Vitiligo
Makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung
sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan
makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu
hipotesis autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan

5
terhadap bahan kimia. Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid
Hashimoto, anemia pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral,
karena melanosit terbentuk dari neural crest maka diduga faktor neural
berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol.
Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek
merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh
darah, terhadap respon transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis
autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi
dopaquinon. Produk – produk dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin.
Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung
tangan dan fenol pada detergen.
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang
paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari,
periofisial pada mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan
bagian fleksor. Lesi bilateral atau simetris. Mukosa jarang terkena, kadang –
kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat
dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak
segmental, vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya
sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat pada mukosa.
Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial adalah
depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan
stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas
tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang
menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.2,3

2. Ptiriasis versikolor
Penyakit ini disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdapat
flora normal yang berhubungan dengan Ptiriasis versikolor yaitu Pitysporum
orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan
miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen.
Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun penderita dsedangkan faktor
eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat. Hipopigmentasi dapat
disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh Malaize furfur

6
yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek
sitotoksik terhadap melanin.
Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak
berwarna – warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus,
fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda,
papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik
akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).3

3. Ptiriasis alba
Bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya.
Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan
menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi pitiriasis alba sering
dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun (30-40%). Wanita dan pria sama banyak.
Lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah muda atau
sesuai warna kulit dengan skuama halus. Setelah eritema menghilang, lesi yang
dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus.
Diduga penyebab penyakit ini adalah karena danya infeksi Streptococcus,
tetapi belum dapat dibuktikkan. Atas dasar riwayat penyakit dan distribusi lesi
diduga impetigo dapat merupakan factor pencetus. Sabun dan sinar matahari
bukan merupakan factor yang berpengaruh. 2

Etiologi
Mycobacterium adalah bakteri berbentuk batang aerob yang tidak membentuk
spora. Meskipun bakteri ini tidak terwarnai dengan mudah, sekali terwarnai, bakteri
ini dapat menahan warnanya walaupun diberikan asam atau alcohol, oleh sebab itu
disebut basil “tahan asam”.
Mycobacterium leprae ini belum dikultivasi pada medium bakteriologik tidak
hidup. Organisme ini menyebabkan lepra. Terdapat lebih dari 10 juta kasus lepra,
terutama di Asia. Basil tahan-asam yang khas secara tunggal, dalam bentuk kelompok
yang parallel, atau massa globular biasanya ditemukan pada serpihan kulit atau
membran mukosa (terutama septum nasal) pada lepra lepromatosa. Basilnya sering
ditemukan dalam sel endotel pembuluh darah atau dalam sel mononuclear. Ketika
basil yang berasal dari lepra manusia (serpihan jaringan bawah nasal) diinokulasi ke
dalam kaki tikus, lesi granulomatosa local timbul dengan multiplikasi basil yang

7
terbatas. Binatang pemakan serangga (trenggiling) yang diinokulasi mengalami lepra
lepromatosa yang hebat. 4

Pathogenesis
Sebenarnya Mycobacterium leprae mempunyai pathogenesis dan daya inhasi
yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan
derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang dapat sembuh sendiri
atau progresif. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya
daripada intensitas infeksinya.3
Intensitas respon imun spesifik diperantai sel terhadap M. leprae berkaitan
kelas penyakit histologic dan klinis. Individu dengan penyakit tuberkuloid poler
memiliki respon seluler yang lebih jinak terhadap M.leprae dan beban basiler yang
rendah sedangkan pasien lepra lepramatosa tidak memiliki respon seluler yang dapat
dideteksi terhadap basil lepra.5
Defek pada imunitas yang diperantai sel (imunitas seluler) pada pasien
lepramatosis sangatlah khas. Mereka tidak menderita karena peningkatan morbiditas
yang menyertai infeksi oleh pathogen seperti virus, protozoa, atau jamur yang
memerlukan imunitas seluler dan mereka tidak memiliki peningkatan risiko
neoplasma. Pasien lepra lepramatosa memiliki peningkatan jumlah limfosit CD8+
(supresor) dalam sirkulasi yang dapat diaktifkan oleh antigen M.leprae secara
spesifik, dan limfosit yang ada pada granulomanya hampir semata-mata CD8+.
Sebaliknya sel CD4+(penolong) dominan diantara sel T pada lesi kulit tubuh pasien
lepra tuberkuloid. 4
Pada akhir tuberkuloid paucibacillary spektrum, kulit dan saraf lesi memiliki
karakteristik yang berkembang dengan baik T helper tipe 1 sel respon imun ( Th1 ) -
dimediasi dan memiliki beberapa asam - cepat basil yang menunjukkan adanya
organisme . Bentuk kusta biasanya dikaitkan dengan beban rendah organisme dan
beberapa lesi kulit . Sebaliknya , pada akhir lepromatous multibasiler spektrum, Th2 -
jenis respon imun seluler mendominasi , dengan berbagai lesi kulit yang mengandung
banyak basil asam - cepat . Bentuk hasil infeksi pada beberapa lesi kulit progresif dan

8
dapat secara ekstensif melibatkan saraf perifer . Antara kedua ekstrem ini fenotipik
adalah kontinum sangat bervariasi dari penyakit klinis yang ditandai oleh respon
kekebalan dinamis untuk M. leprae.5

Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula
merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong
didalamnya. Reaksi ini dapat terjadi pada penderita sebelum mendapat pengobatan
maupun sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai 1 tahun
sesudah memulai pengobatan.

Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta, misalnya :


1. Penderita dalam kondisi lemah
2. Kurang gizi
Jenis reaksi sesuai proses terjadinya dibedakan atas 2 tipe yaitu: reaksi tipe I dan
reaksi tipe II
a. Reaksi Tipe I ( Reaksi reserval, Reaksi Up grading)
Terjadi pada penderita tipe PB maupun MB dan kebanyakan terjadi pada 6
bulan pertama pengobatan, reaksi tipe I terjadi akibat meningkatnya respon
kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta di kulit dan saraf penderita.
Disini terjadi pergeseran tipe kustanya kearah PB.
1.Gejala-gejala
Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada
saraf), gangguan fungsi saraf tepi dan kadang-kadang gangguan keadaan umum
penderita (konstitusi).
2. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipe I ini dapat dibedakan menjadi
reaksi ringan dan reaksi berat.
3.Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 6-12 minggu atau lebih.

b. Reaksi Tipe II (Reaksi ENL= Reaksi Eritema Nodosom Leprosum)

9
Terjadi pada penderita tipe MB dan merupakan reaksi humoral, dimana kuman
kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi antigen. Tubuh membentuk antibodi
dan komplemen (Antigen + antibodi + komplemen = immunokompleks).
1.Gejala-gejala
Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi, neuritis (nyeri tekan) dan
gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh.
2. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi
berat.
3. Perjalanan reaksi biasanya berlangsung selama 3 minggu atau lebih. Kadang-
kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama. 5

Gejala klinis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakteriologis,
histopatologis dan imunologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang
terpenting dan paling sederhana. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh
seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk
tipe klinis bergantung pada system imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik
akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan
gambaran lepromatosa.
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah sprektrum determinate pada
penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu :
TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
BT : Borderline tuberculoid
BB : Mid borderline
BL : Borderline lepromatous
LL : Lepramatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100% merupakan tipe
yang stabil, berarti tidak ungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepramatosa
polar, yakni lepramatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin
berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li tipe borderline atau campuran, berarti
campuran antar tuberkuloid dan lepramatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri
atas 50% tuberkuloid dan 50% lepramatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,
sedang BL dan Li lebih lepramatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang
labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik kearah TT maupun ke arah LL.

10
a. Tipe Tuberkuloid tuberkuloid (TT)
Lesi berupa bercak makuloanestetik dan hipopigmentasi yang terdapat di semua
tempat terutama pada wajah dan lengan, kecuali: ketiak, kulit kepala (scalp),
perineum dan selangkangan. Batas lesi jelas berbeda dengan warna kulit
disekitarnya. Hipopigmentasi merupakan gejala yang menonjol. Lesi dapat
mengalami penyembuhan spontan atau dengan pengobatan selama tiga tahun.

b. Tipe borderline tuberkuloid (BT)


Gejala pada lepra tipe BT sama dengan tipe TT, tetapi lesi lebih kecil, tidak
disertai adanya kerontokan rambut, dan perubahan saraf hanya terjadi
pembengkakan.

c. Tipe Mid Borderline (BB)


Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan beberapa hasil, dan tes lepromin
memberikan hasil negatif. Lesi kulit berbentuk tidak teratur, terdapat satelit yang
mengelilingi lesi, dan distribusi lesi asimetris. Bagian tepi dari lesi tidak dapat
dibedakan dengan jelas terhadap daerah sekitarnya. Gejala-gejala ini disertai
adanya adenopathi regional.

d. Tipe Borderline Lepromatous (BL)


Lesi pada tipe ini berupa macula dan nodul papula yang cenderung asimetris.
Kelainan syaraf timbul pada stadium lanjut. Tidak terdapat gambaran seperti
yang terjadi pada tipe lepromatous yaitu tidak disertai madarosis, keratitis,
uslserasi maupun facies leonine.

e. Tipe Lepromatosa (LL)


Lesi menyebar simetris, mengkilap berwarna keabu-abuan. Tidak ada
perubahan pada produksi kelenjar keringat, hanya sedikit perubahan sensasi. Pada
fase lanjut terjadi madarosis (rontok) dan wajah seperti singa, muka berbenjol-
benjol (facies leonine).3-5

Epidemologi
Masalah epidermologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum
diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan kulit yaitu melalui kontak angsung

11
antarkulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae
masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.5
Masa tunasnya sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun umumnya
beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun.
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di
seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut. Factor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah pathogenesis
kuman penyebab, cara penularan, keadaan social ekonomi dan lingkungan, varian
genetic yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan
adanya reservoir diluar manusia. Penyakit kusta masa kini lain dengan kusta tempo
dulu, tetapi meskipun demikian masih banyak hal-hal yang belum jelas diketahui,
sehingga masih merupakan tantangan yang luas bagi para ilmuwan untuk
pemecahannya. 3,5
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel
rambut, kelenjar keringat, dan air susus ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat
banyak mengandung M. leprae yang bersal dari traktus respiratorius atas. Tempat
implamantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua
umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-
anakdi bawah umur 14 tahun didapatkan ± 11,39%, tetapi anak di bawah umur 1
tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita di bawah usia 1 tahun penting
dilakukan untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital. Frekuensi
tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun. 5

Penatalaksanaan
Non medika mentosa
 Pengobatan profilaksis dengan dosis yang lebih rendah dari pada dosis
therapeutik.
 Vaksinasi dengan BCG yang juga mempunyai daya profilaksis terhadap lepra.
 Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi
pengobatan akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus
rajin mengambil obat di puskesmas dan tidak boleh putus obat.
 Jika dalam masa pengobatan, tiba-tiba badan pasien menjadi demam, nyeri di
seluruh tubuh, disertai bercak-bercak kemerahan, maka harus segera mencari
pertolongan ke saranan pelayanan kesehatan.

12
 Penyakit ini mengganggu syaraf sehingga mungkin akan terjadi kecacatan jika
tidak ada tindakan pencegahan.
 Cuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan sabun, terutama yang banyak
mengandung pelembab, bukan detergen.
 Rendam jari kaki/tangan sekitar 20 menit dengan air dingin. Apabila kulit sudah
lembut, gosok kaki dengan busa agar kulit kering terkelupas.
 Untuk menambah kelembaban dapat diolesin minyak (baby oil).
 Secara teratur periksa kaki, apakah ada luka, kemerahan atau nyeri dan segera
mencari pertolongan medis.
 Proteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai sepatu, hindari berjalan jauh
atau menghindari bersentuhan dengan benda-benda tajam. 6

Medika mentosa
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin. Untuk mencegah
resistensi, pengobatan tuberculosis telah menggunakan multi drug treatment (MDT).

Sulfon

Sulfon merupakan suatu derivate 4-4 diamino difenil sulfon (DDS=Dapson),


obat leprostatik yang sudah lama digunakan namun masih merupakan pilihan utama,
sebelum terjadinya resistensi. Mekanisme kerja obat ini adalah dengan menghambat
kompetitif Para Amino Benzoid Acid (PABA), sama dengan sulfonamide.

Farmakokinetik
Absorpsi : lambat pada saluran cerna. Kadar puncak dicapai dalam wakti 1-3 jam,
dengan T½ sekitar 10-50 jam.
Distribusi : tersebar ke seluruh jaringan dan cairan tubuh, dengan ikatan protein
plasma 50-70%.
Metabolism : di hati dengan cara asetilasi yang dipengaruhi oleh factor genetic.
Eksresi : di urin, 70-80% dalam bentuk metabolit, yang dapat dihambat oleh
Probenizid.
Efek samping DDS anatar lain adalah nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik,
leukopenia, insomnia, neruropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik,
hepatitis.

13
Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS
dengan dosis 10 mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan.
Rifampisin tidak boleh diberikan monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan
terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh
diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya. Efek
samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksis, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.

Klofazimin (lamprene)
Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari atau
3x100 mg setiap minggu. Juga bersifat antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada
penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200 mg-300 mg/hari namun awitan
kerja baru timbul setelah 2-3 minggu. Efek sampingnya ialah warna merah kecoklatan
pada kulit, dan warna kekuningan pada sclera, sehingga mirip icterus, apalagi pada
dosis tinggi, yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek
samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi yakni nyeri abdomen, nausea,
diare, anoreksi dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurun berat badan. 6

Komplikasi

Didunia, lepra mungkin merupakan penyebab tersering kerusakan tangan.


Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari-jemari
ataupun ekstremitas bagian distal, juga sering terjadi kebutaan.

Fenomena Lucio, yang ditandai oleh atritis, terbatas pada pasien penyakit
lepramatosadifus, infiltratif, dan non-noduler. Kasus klinis yang berat menyerupai
bentuk lain vaskulitisnekrotikans dan menyebabkan tingginya angka mortalitas.

Amiloidosis sekunder merupakan penyakit pada penyakit lepramatosa berat,


terutama pada eritemanodosumleprosum kronik.

Lepra dan infeksi virus imunodefisiensi manusia (human immunodeficiency


virus) amatlah mengejutkan, dengan adanya pengalaman dengan penyakit
mikrobakterium lain dan respon imun yang rumit terhadap M. leprae, infeksi HIV

14
yang menyertai tampaknya hanya memiliki sedikit pengaruh pada manifestasi klinis
atau perjalanan alamiah penyakit lepra. Laporan yang bersifat anekdot mengesankan
bahwa angka kekambuhan setelah selesainya terapi yang terinfeksi HIV, dan pasien
positif HIV dengan lepra dini atau subklinis bisa kemungkinan lebih besar untuk
mengalami penyakit yang nyata. Bila terjadi bersamaan, lepra juga bisa mempercepat
perjalanan penyakit HIV. 7

Prognosis

Lepra adalah penyakit yang dapat disembuhkan. Pada bentuknya yanglebih


ringan, penyakit ini dapat sembuh sendiri. Dari beberapa orang yang terinfeksi,
kurang dari 5% akan mengembangkan gejala klinis.

Pada lepra tuberkuloid, pada saat pengobatan dilakukan, prognosis sangat


baik. Apabila perubahan pigmen luas, kulit dapat saja tidak sembuh sempurna.
Apabila anastesia luas, sensasi dapat saja tidak sembuh sempurna. Apabila saraf telah
terinfiltrasi secara berat, anastesia bisa permanen. Pelindung tangan dan kaki akan
diperlukan.

Pada lepra lepromatosa, lebih cepat pengobatannya, maka prognosis juga lebih
baik. Prognosa menjadi lebih buruk bila reaksi erythemanodusumleprosum (ENL)
akut atau persisten timbul.

Pada lepra borderline, prognosis dilindungi pada awalnya. Ketidakstabilan


imunologi pada penyakit menempatkan kelompok ini pada risiko reaksi dan
deformitas setelah keadaan reaksi. Kelompok ini cenderung pada deformitas serius
atau dapat menjadi lepra lepromatosa.

Relaps dapat terjadi, terutama jika pengobatan belum selesai sepenuhnya.


Pengobatan, pembedahan, dan rehabilitasi dapat mencegah atau mengurangi
deformitas yang disebabkan lepra. 8

Pencegahan

Penyakit kusta adalah penyakit yang memberi stigma yang sangat besar besar
pada masyarakat, sehingga penderita kusta menderita tidak hanya karena penyakitnya
saja, juga dijauhi atau dikucilkan oleh masyarakat. Hal tersebut sebenarnya lebih
banyak disebabkan karena cacat tubuh yang tampak menyeramkan. Cacat tubuh

15
tersebut sebenarnya lebih banyak disebabkan karena cacat tubuh yang tampak
menyeramkan. Cacat tubuh tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila diagnosis dan
penanganan penyakit dilakukan secara dini. Demikian pula diperlukan pengetahuan
berbagai hal yang dapat menimbulkan kecacatan dan pencegahan kecacatan, sehingga
tidak menimbulkan cacat tubuh yang tampak menyeramkan. Identifikasi dan
pengobatan penderita kusta merupakan kunci pengawasan. Anak- anak dari orang tua
yang teinfeksi diberikan kemoprofilaksis dengan sulfon sampai orang tua tidak
infeksius lagi. Jika salah satu anggota dalam keluarga menderita lepra lepromatosa,
maka profilaksis demikian diperlukan bagi anak-anak dalam keluraga tersebut. 3,6

Pencegahan primodial
Pencegahan primodial yaitu upaya pencegahan pada orang-orang yang belum
memiliki faktor resiko penyakit kusta melalui penyuluhan. Penyuluhan tentang
penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan
masyarakat oleh petugas kesehatan sehingga masyarakat dapat memelihara,
meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta.

Pencegahan primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan seseorang yang
telah memiliki faktor resiko agar tidak sakit. Tujuan dari pencegahan primer adalah
untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab
penyakit dan faktor-faktor resikonya. Untuk mencegah terjadinya penyakit kusta,
upaya yang dilakukan adalah memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan
tempat tinggal, personal hygiene, deteksi dini adanya penyakit kusta dan penggerakan
peran serta masyarakat untuk segera memeriksakan diri atau menganjurkan orang-
orang yang dicurigai untuk memeriksakan diri ke puskesmas.

Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan penyakit dini yaitu
mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit
dan menghindari komplikasi. Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengobati
penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui
diagnosis dini dan pemberian pengobatan. Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan

16
dengan melakukan diagnosis dini dan pemeriksaan neuritis, deteksi dini adanya reaksi
kusta, pengobatan secara teratur melalui kemoterapi atau tindakan bedah. 2,5

Kesimpulan
Lepra (penyakit hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai oleh
adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput
lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata yang disebabkan oleh Mycobacterium
Leprae yang bersifat intraseluler obligat, saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu
kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas. Penyakit ini terutama menyerang
kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin.
Sputum dapat banyak mengandung Mycobacterium Leprae yang berasal dari traktus
respiratorius atas. Gejala klinis dapat berupa kelainan saraf tepi (kerusakaan dapat
bersifat sensorik, motorik, dan autonomik). Morbus Hansen jika didiagnosis dini dan
pengobatan tepat dan segera menghasilkan prognosis baik.

Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B. Buku ajar penyakit dalam. Ed 5. Jakarta : INterna


Publishing; 2009.h.25-76, 2871-80
2. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Ed 2. Jakarta : EGC;
2004.h.154-8
3. Wolf K, Johnson RA. Fritz Patrick’s color atlas and sypnosis of clinical
dermatology. 6th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2009.p.665-71
4. Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta: EGC;
2007.h.355
5. Djuanda A, Hemzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta:
Bada Penerbit FKUI; 2010.h. 77-83, 100-1, 296-7, 333.
6. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. Edisi V.
Jakarta: FKUI; 2011.h.633-5.
7. Ahmad H, Asdie. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Ed ke-13.
Jakarta: EGC; 2002.h.133.799-808, 963-74,1060-3.

17
8. Jones R. H, Vivo D. C. D, Darras B. T. Neuromuculardisorders of infancy,
childhood, andadolescence: a clinician’sapproach. USA: Butterworth-
Heinemann; 2004.h. 516.

18

Anda mungkin juga menyukai