Anda di halaman 1dari 15

Gerakan Perempuan Anti Diskriminasi

Oleh. Mulara Halomoan

Abstrak

Perempuan lekat kaitannya dengan tindak diskriminasi, tersebut tak dapat dihindari
karena adanya subordinasi yang masih melekat pada perempuan. Dengan demikian
terjadilah ketimpangan gender antara perempuan dengan laki - laki. Peraturan-peraturan
yang berlaku di Indonesia mengenai kesetaraan hak antara laki-laki dengan perempuan
tidaklah dapat menjamin penghapusan diskriminasi pada perempuan. Berbagai upayah
telah dilakukan untuk mengurangi ketimpangan tersebut, namun hingga saat ini belum
terlihat adanya keseimbangan dalam relasi gender. Banyak tindak diskriminasi yang
dirasakan oleh perempuan mengatas namakan agama dan etnik. Kedudukan kaum
perempuan dalam kehidupan sosial diatur oleh tradisi, hak dan kewajiban kaum
perempuan lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki – laki. Kebiasaan yang sudah
berlangsung lama ini masih saja terjadi , dan telah dibuktikan oleh banyak pengamat
dan kritikus. Gerakan Perempuan yang muncul di Indonesia merupakan bentuk dari
ketidakpuasan atas kondisi sosial perempuan yang masih menjadi objek diskriminasi.
Tulisan ini akan membahas pergerakan perempuan di Indonesia yang salah satu
bentuknya adalah Kampanye Solidaritas Gerakan Perempuan Anti Kekerasan (GADIS).

Pengantar

Sejarah pergerakan Perempuan Indonesia terlahir sejak jaman penjajahan kolonial Belanda.
Kita mengenal pergerakan yang dilakukan oleh R.A Kartini, Dewi Sartika, dan pejuang-pejuang
lainnya yang merupakan tokoh pejuang wanita. Perjuangan perempuan di Indonesia
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan Indonesia. Meskipun
perjuangan perempuan telah dilakukan sejak lama dan peraturan perundang - undangan telah
mengatur kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan, ketimpangan gender masih sangat
terasa. Dengan adanya ketidaksamaan tersebut, wanita menjadi objek dari diskriminasi.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa perempuan Indonesia didiskriminasi melalui idiologi dari
agama dan entik. Hal tersebut dapat dirasakan dengan adanya budaya patriarki yang
menyelubungi kehidupan sosial perempuan di Indonesia. Dalam sejarah, perempuan lebih
rentan atau lebih banyak mengalami kekalahan dan penindasan karena faktor fisik, ekonomi,
dan sosial yang mebuatnya lebih lemah.Kedudukan kaum perempuan lebih rendah dari pada
laki – laki dikarenakan tradisi dan budaya yang ada, seperti yang telah disampaikan.
Perempuan layaknya seperti burung yang dipelihara dalam sangkar, dapat terbang namun tak
dapat terbang tinggi. Hal itu yang dapat mendefinisikan perempuan. Perkembangan feminisme
di Indonesia merupakan pendorong dari gerakan perempuan akan kondisi sosial mereka saat
ini.

Ada kondisi umu yang membuat perempuan sama dengan laki – laki, namun ada pula kodisi
khusus yang dimiliki perempuan yang membuatnya berbeda dengan laki – laki, tetapi bukan
berarti untuk dibedakan. Perbedaan dengan cara menilai positif adalah perbedaan yang melihat
perempuan dengan nilai dan cara beradanya yang berbeda dengan laki – laki. Nilai dan cara
berada perempuan dikonstruksikan dan dikondisikan oleh pengalaman – pengalaman
perempuan yang melahirkan, menyusui, merawat dan mempunyai tingkat kesensitifan serta
kepedulian yang besar. Nilai – nilai perempuan didasarkan pada etika kepedulian yang kental
melekat didalam sistem cara pandang dunia perempuan. Sedangkan perbedaan dengan cara
menilai negative adalah melihat nilai – nilai perempuan sebagai “yang lain” (other). Sehingga
denganmudah terjadi pengobjekan dan penindasan. Susan Wendell dalam tulisannya The
Social Construction of Dissability menunjukan bahwa dalam kasus “Ableism”, yaitu tindakan
diskriminasi terhadapa mereka yang cacat metal dan fisik terjadi karena fakto –faktor sosial –
diskontruksikan secara sosial. Dalam hampir semua tindakan diskriminasi, mengambil pola dari
pijakan awalnya bentuk-bentuk mitos, otherness, dan cara berfikir dikotomik. Hal ini pulalah
yang terjadi dalam bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Studi Terdahulu

Pergerakan mengenai perempuan di Indonesia semakin berkembang karena belum puasnya


perempuan atas kondisi sosial yang masih memiliki ketimpangan gender. Gerakan perempuan
berkembang dan dipengaruhi oleh aliran feminism. Banyak penulus yang mengkaji tentang
gerakan perempuan dan aliran feminism, salah satunya adalah Muhadjir Darwin yang mengkaji
gerakan permpuan kedalam jurnalnya yang berjudul “Gerakan Perempuan di Indonesia dari
Masa ke Masa”.

Tulisan ini menjelaskan bahwa gagasan kesetaraan gender bukanlah gagasan baru yang tidak
seluruhnya merupakan gagasan dari luar. Pergerakan perempuan sudah ada sejak sebelum
kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan munculnya pejuang - pejuang
perempuan pemberontak penjajahan Belanda, diantaranya adalah Cut Nyak Dien, Nyai Ageng,
Cut Meutia, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika dan R.A Kartini yang memperjuangkan
emansipasi dan pendidikan bagi kaum hawa bangsa Indonesia. Beberapa perempuan yang
telah disebut sebagai pelopor perjuangan perempuan sebenarnya hanya sebagian kecil dari
perjuang perempuan lain yang tak pernah dikenal, tetapi mereka tetap berjuang. Meskipun
bangsa Indonesia telah melewati perjalanan panjang hingga saat ini, hal tersebut belum
menjamin perempuan Indonesia akan kesetaraan mereka dengan kaum adam. Dalam tulisan
ini, penulis membahas pergerakan perempuan dari pra kemerdekaan sampai dengan
membahas pergerakan perempuan masa kini. Secara umum dapat dikatakan bahwa baik
sebelum kemerdekaan atau setelahnya, terdapat kemajuan akan pergerakan tersebut meski
belum terlihat kesetaraan yang nyata. Namun ada pula cukup bukti bahwa perempuan belum
sepenuhnya bebas dari diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Masih banyak perempuan yang
mengalami pelecehan, menjadi korban kekerasan, mengalami marginalisasi baik di rumah
tangga atau di tempat kerja. Terhadap perlakuan yang tidak adil tersebut, hokum belum
berpihak pada perempuan. Akibatnya masyarakat semakin tidak percaya pada pemerintah dan
lembaga penegak hukum.

Perempuan, seperti juga laki - laki, adalah warga Negara, dengan hak – hak kewarganegaraan
yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi oleh Negara karena perbedaan jenis kelamin, seperti
juga tidak dibenarkan adanya diskriminasi karena perbedaan agama, suku, bahasa, kelas,
ekonomi, dan sebagainya, karena hal ini bertentangan dengan prinsip - prinsip demokrasi dan
hak – hak asasi manusia yang universal. Perjuangan kesetaraan gender perlu mengalami
revilitasi. Perjuangan tersebut harus diletakan dalam kenteks keadilan sosial yang lenih luas,
yaitu membebaskan manusia dari segala bentuk diskriminasi atas dasar jenis kelamin, suku
atau agama. Dalam konteks ini ketimpangan gender tidak hanya menjadi masalah perempuan,
tetapi masalah semua anak bangsa. Demikian juga masyarakat yang berkeadilan gender tidak
hanya akan menguntungkan perempuan, tetapi juga laki – laki, karena majunya perempuan
akan berimplikasi pada kemajuan seluruh masyarakat.

Perkembangan Gerakan Perempuan dan Feminisme

Dari kajian yang dibahas oleh Muhadjir Darwin, pada umunya pergerakan perempuan di
Indonesia selalu berkaitan dengan sejarah bangsa kita. Muhadjir meyakini bahwa masih
banyaknya tindak diskriminasi yang dirasakan oleh kaum perempuan. Meskipun perkembangan
bangsa Indonesia telah melewati sejarah yang dapat dikatakan merupakan perkembangan
yang panjang, namun hal tersebut tetap saja terjadi. Kondisi sosial perempuan pada suatu
masa memperlihatkan dunia akan relasi terhadap gender suatu bangsa. Permasalahan-
permasalahan yang dialami perempuan memicu lahir dan berkembangnya pergerakan -
pergerakan perempuan.

Perkembangan pergerakan perempuan terbagi kedalam empat bagian. Hal tersebut merupakan
implikasi dari perkembangan bangsa Indonesia masa kolonial, kemerdekaan sampai pada saat
ini. (Gadis Arivia : 2006). Pada tahap pertama, pergerakan perempuan muncul karena adanya
persoalan hak memilih dan pemilihan pejabat negara serta permasalahan yang paling utama
dan sering diperbincangkan adalah persoalan hak pendidikan yang dikemukakan pada zaman
penjajahan Belanda. Pada periode ini, gerakan perempuan lebih bersifat individual dan tidak
terlepas dari pengaruh kemunculan feminism liberal pada abad ke – 18 di daratan Eropa. Salah
satu pengaruh dari gerakan perempuan pada periode ini adalah ide bahwa keterbelakangan
perempuan akibat oleh kurangnya kesempatan perempuan dalam mendapatkan pendidikan.
Periode ini ditandai dengan pendirian sekolah – sekolah untuk perempuan, seperti Sekolah Istri
yang didirikan oleh Dewi Sartika di Bandung pada tahun 1904, Sekolah Perempuan yang
didirikan oleh R. A Kartini di Semarang pada tahun 1912. Pergerakan perempuan pada periode
ini sejalan dengan perjuangan kaum pria yang juga berfokus pada pemberian kesempatan
untuk warga pribumi agar mendapatkan pendidikan. Menurut Suryochondro (1995), organisasi
organisasi perempuan yang terbentuk pada periode ini antara lain adalah Pawiyatan Wanito
(Magelang, 1915), Percintaan Ibu Kepada Anak Temurum – PIKAT (Manado, 1917), Purborini
(Tegal, 1917), Aisyiyah atas bantuan Muhammadiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo
(Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poetri Boedi Sedjati (Surabaya, 1919), Wanita
Katolik (Yogyakarta, 1924) dan oraganisasi – organisasi lainnya yang berdiri saat kolonial
Belanda.1

Pada tahap kedua, memunculkan persoalan politis yang berada pada basis massa dan
perkumpulan untuk memajukan baik keterampilan maupun publik perempuan yang ditemui
pada masa pra kemerdekaan. Pada masa ini juga tujuan gerakan perempuan adalah untuk
melawan kemiskinan dan ketidak adilan, memperjuangkan kesamaan politik, hak memperoleh
pendidikan dan kesempatan kerja. Diskriminasi terhadap perempuan tidak berkurang meskipun
secara legal telah ada jaminan hak politik perempuan yang pada saat ini dikeluarkan pada
masa orde lama yaitu pada pasal 27 UUD 1945 dan UU no. 80 tahun 1958 tentang persamaan
upah pekerja laki – laki dengan perempuan. Pada masa ini, organisasi perempuan yang
terbentuk harus bernaung di bawah partai politik, kondisi ini dimulai pada tahun 1960 yang
mengharuskan oraganisasi massa bernaung di bawah partai politik. Wadah organisasi

1
Paulus Wirutomo, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2012) hlm. 180
pergerakan perempuan Indonesia merdeka diganti dengan Persatuan Negara Wanita Indonesia
(Perwani) dan Wanita Negara Indonesia (Wani) yang kemudian bergabung dan menjadi
Persatuan Wanita Republik Indonesia.2

Pada tahap ketiga, pada masa orde baru, menampilkan wacana tugas – tugas domestik
perempuan sebagai mana yang diinginkan negara. Pada masa orde baru posisi perempuan
lebih banyak dititik beratkan pada perannya sebagai ibu rumah tangga. Hal ini dibakukan pada
UU tentang Perkawinan pada tahun 1974, Undang-undang tersebut melegalkan kedudukan laki
– laki dan permpuan yang tadinya hanya sebagai hasil budaya menjadi sesuatu yang memiliki
ketetapan hukum karena dibakukan dalam sebuah undang – undang. 3

Dan pada era reformasi sampai saat ini yang masuk pada tahap keempat, memunculkan
pergerakan – pergerakan liberal yang bertemakan anti kekerasan terhadap perempuan.
Perjuangan perempuan sejak tahun 1998 hingga saat ini adalah perluasan perjuangan yang
didukung oleh jaringan nasional dan internasional. Perjuangan ini bertujuan mencapai keadilan
gender dan bersifat inklusif melalui peningkatan wawasan perempuan dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat, 4

Dari penjelasan tersebut, pergerakan perempuan memiliki perkembangan, namun tetap saja
masih ada tuntutan yang merupakan ketidak puasan atas kondisi sosial yang nyata terhadap
hak perempuan. Pada dasarnya, teori - teori feminism telah mengembangkan pemikiran yang
luar biasa tentang persoalan – persoalan ketidak adilan sosial serupa dengan perkembangan
pergerakan peremuan di Indonesia. Gelombang pertama mengajukan pertanyaan –
pertanyaan bersifat sosiologis serta peranan perempuan di dalamnya yang telah
dipermasalahkan kedudukan dan posisi perempuan. Gelombang ke dua memberikan
penjelasan umum tentang konsep fundamental penindasan terhadap perempuan dab respon
terhadap kritik - kritik Marxisme.

Feminisme tidak pernah tertarik untuk membangun suatu teori yang abstrak dengan prinsip-
prinsip universal. Feminisme sering kali mengambil posisi epistimologis yang menentang suatu
pencarian rasionalistik dan sistem universal. Sebaliknya, pencarian feminism selalu ditekankan
pada pengalaman moral. Feminis Annette Baier dimana dikutip oleh Gadis Arivia (2006:37)
mengatakan bahwa perempuan dalam perdebatan moralnya mempunyai kehendak yang

2
Paulus Wirutomo, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2012) hlm. 184
3
Ibid, hlm. 186
4
Ibid, hlm. 187
berbeda dari laki – laki. Perempuan lebih menitik beratkan nilai – nilai etika yang berarti bagi
kehidupannya. Perempuan hidup didalam masyarakat yang nilai – nilai kefeminimannya
dianggap remeh dan tidak penting, seluruh eksistensinya sebagai perempuan disubordinasikan.
Dalam masyarakat yang patriarkis, seluruh aturan universum berlaku pada sistem “aturan laki –
laki” (the law of father). Sifat egois yang berpusat pada kemauan laki – laki sehingga dunia
public menjadi dominasi laki – laki.5

Sebagian para feminis mengarapkan agar adanya solusi cepat lewat aksi-aksi politis. Hal
tersebut dihasilkan baik itu oleh kaum perempuan sendiri, mahasiswa, gerakan HAM ataupun
pemerintah. Hal tersebut diharapkan agar program –program yang dirancang dan dihasilkan
oleh pemerintah diharapkan berpijak pada keadilan gender serta memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya untuk kemajuan perempuan.

Diskriminasi dan Ketertinggalan Perempuan

Diskriminasi merujuk kepada pelayanan atau perlakuan yang tidak adil terhadap individu
tertentu, di mana pelayanan atau perlakuan ini dibuat berdasarkan kumpulan yang diwakili
oleh individu yang lebih dominan. Diskriminasi menjadi suatu hal yang biasa dijumpai dalam
masyarakat dan bertumpu pada kecenderungan manusia untuk membeda - bedakan manusia.
Diskriminasi dianggap sebagai sesuatu yang tidak adil berdasarkan prinsip “setiap manusia
harus diberi hak dan peluang yang sama” (equal opportunity). Jika seseorang
diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik gender, ras, agama dan kepercayaan,
aliran politik, kondisi fisik atau karakteristik lain yang diduga merupakan dasar dari
tindakan diskriminasi, jelas hal ini telah menyalahi prinsip dasar hak manusia. Jadi,
diskriminasi secara singkat, bisa kita simpulkan sebagai perlakuan terhadap orang atau
kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu. Sementara itu dalam
pengertian lain diskriminasi dapat juga diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap
individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender, ras, agama, umur, atau
karakteristik yang lain. Dari kedua definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa inti
dari diskriminasi adalah perlakuan berbeda-beda terhadap manusia.6

Tatanan kehidupan umat manusia yang didominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan
menurut Collins (1975) sebagaimana dikutip oleh Megawangi (1999: 86) sudah menjadi akar

5
Gadis Arivia, Feminisme : Sebuah Kata Hati, (Jakarta: Kompas, 2006)
6
Doortje D. Turangan, Karya Ilmiah : Upayah Pemberdayaan Perempuan dan Hak Asasi Manusia, (Manado:
Universitas Sam Ratulangi, 2008)
sejarah yang panjang. Dalam tatanan itu, menurut Simone de Beauvoir (2003: ix) perempuan
ditempat kan sebagaithe second human being (manusia kelas dua), yang berada di bawah
superioritas laki-laki. Perempuan selalu dianggap bukan makhluk penting, melainkan sekedar
pelengkap yang diciptakan dari dan untuk kepentingan laki-laki. Akibatnya, ada
pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan lebih banyak
ditempatkan di ranah domestik, sedangkan laki-laki berada di ranah publik. Akibat yang paling
jelas dari situasi sosial seperti di atas adalah ter jadinya diskriminasi terhadap
perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan diterjemahkan sebagai segala bentuk
pembedaan, pengecualian, atau pembatasan yang diberlakukan atas dasar jenis kelamin
yang bertujuan mengurangi atau menghapus kan pengakuan atas penikmatan atau
pelaksanaan oleh perempuan tanpa mempertimbangkan status mereka, hak asasi mereka,
dan kemerdekaan mereka dalam sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan lainlain
(JP, 2006: 150).

Alison Jagger, seorang feminis, memberi penjelasan ketertindasan perempuan sebagai berikut7:

1. Perempuan secara historis merupakan kelompok yang tertindas.


2. Bahwa ketertindasan perempuan sangat meluas di hampir seluruh masyarakat
manapun.
3. Bahwa ketertindasan perempuan merupakan bentuk yang paling dalam dan
ketertindasan yang paling sulit untuk dihapus dan tidak dapat dihilangkan dengan
perubahan - perubahan sosial seperti penghapusan kelas masyarakat tertentu.
4. Bahwa penindasan terhadap perempuan menyebabkan kesengsaraan yang amat
sangat terhadap korbannya, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif, walaupun
kesengsaraan tersebut tidak tampak karena adanya ketertutupan , baik yang dilakukan
oleh pihak penindas maupun tertindas.
5. Bahwa pemahaman penindasan terhadap perempuan pada dasarnya memberikan
model konseptual untuk mengerti bentuk – bentuk lain penindasan.

Diskriminasi yang dirasakan oleh perempuan merupakan implikasi dari ketimpangan gender
yang mereka alami. Meskipun di Indonesia memiliki hukum yang dapat menjamin penegakan
hak – hak perempuan, namun perempuan masih saja menjadi objek dari diskriminasi. Peraturan
yang dibuat oleh pemerintah bak pisau bermata dua yang dapat melukai mereka dari segala
sisi. Banyak peraturan perundang – undangan yang terindikasi melanggar hak – hak dari

7
Arivia, Gadis, Filsafat Berperspektif Feminis, Yayasan Jurnal Perempuan, 2003, hlm 100 - 103
perempuan. Pemerintah secara resmi telah menganut dan menetapkan kesepakatan atas
persamaan antara perempuan dan laki-laki sebagaimana termuat dalam UUD 45 Pasal 27.
Namun demikian, dalam perkembangannya, beberapa UU yang selama ini berlaku di
Indonesia, disadari mempunyai arti yang masih diskriminatif terhadap perempuan. Seperti
dalam UU mengenai sistem pengupahan tenaga kerja perempuan, tunjangan keluarga dan
tunjangan kesehatan-perempuan dianggap lajang sehingga suami dan anak-anak tidak
mendapatkan tunjangan sebagaimana yang diterima pekerja laki-laki. Ketentuan ini termuat
dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7 Tahun 1990 tentang Upah, PP No. 37 Tahun
1967 tentang Sistem Pengupahan di lingkungan perusahaan negara, Peraturan Menteri
Pertambangan No.2/P/M/1971, Peraturan Menteri Pertanian No.K440/01/2/1984 dan
No.01/GKKU/3/1978 dan SE Menaker No.4/1988 tentang tunjangan kesehatan, serta pasal 8
UU No.7/1983, pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan No. 947/KMK/04/1983 dan Pasal 8 UU No.
10/1994 tentang prosedur memperoleh NPWP. Selain itu, berdasarkan data Komnas
perempuan tahun 2012, telah teridentifikasi ada sekitar 282 peraturan daerah yang diduga bias
gender. Sejumlah peraturan perundangan tersebut tidak mampu mengakomodir kesetaraan
gender yang telah dijamin oleh UUD. Padahal, kesetaraan gender dimaknai sebagai kesamaan
kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai
manusia dalam berperan dan berpartisipasi dan menerima manfaat pembangunan di segala
bidang kehidupan.

Kekerasan Terhadap Perempuan

Persoalan yang melekat pada kasus ketimpangan gender adalah kasus kekerasan. Hal tersebut
dilatarbelakangin oleh kondisi perempuan yang lebih lemah dari kaum laki – laki. Kekerasan
dapat dibagi menjadi dua yaitu kekerasan fisik dan kekerasan non fisik atau psikis. Hal tersebut
dapat terjadi kepada perempuan dimanapun dan kapanpun. Peta kekerasan terhadap
perempuan dengan segala macam bentuk dan situasi yang dialami dapat dilihat di tabel
dibawah ini :

Relasi Personal Relasi Kerja Relasi Situasi Konflik


Kemasyarakatan
Bentuk Tekanan Diskriminasi Pelecehan Penembakan,
psikologis, kerja dalam seksual, pembunuhan,
kekerasan fisik, ragam bentuk, pemerkosaan, penganiayaan,
pelecehan pelecehan praktek-praktek penculikan, kerja
seksual, seksual, budaya, paksa pelecehan
pemerkosaan, pemerkosaan, perdagangan seksual,
eksploitasi penyiksaan perempuan, pemerkosaan,
ekonomi, seksual pornografi penyiksaan seksual,
pekerja perbudakan seksual,
keluarga, intimidasi berbasis
bentuk-bentuk gender
penghalangan
pemenuhan
kebutuhan
Lokasi Rumah tinggal, Tempat kerja, Komunitas, Tempat umum,
dan tempat lain dan tempat lain tempat umu, markas tentara,
yang yang tempat rumah korban,
memungkinkan memungkinkan penampungan tempat pengungsian
Pelaku Anggota Majikan, Warga Tentara, sipil
keluarga, mandor, masyarakat bersenjata, orang
mantan suami / sesama pekerja yang memiliki
pacar hubungan relasi
Korban Istri, anak Pekerja wanita Perempuan Perempuan sipil,
perempuan dewasa, perempuan
perempuan pengungsi,
dibawah umur, perempuan tahanan
anak jalanan
Sumber : Paulus Wirutomo, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
2012) hlm. 197

Dapat dilihat bahwa banyak bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan karena perbedaan
yang mereka miliki oleh laki-laki. Perempuan dinilai lemah dan laki – laki lebih kuat.

Perempuan , Agama, Politik dan Budaya

Agama, politik dan budaya, ketiganya memiliki kaitan terhadap diskriminasi perempuan, dimana
dalam agama dan budaya mengatur tentang hal – hal yang harus dilaksanakan dan yang tidak
dilaksanakan, serta batasan – batasan yang harus dipatuhi. Sedangkan politik merupakan
aspek yang didalamnya memiliki kaitan terhadap hak – hak perempuan. Apa kaitanya agama
dengan perempuan ? Agama mengatur hal – hal yang baik dan buruk yang harus dilakukan
serta yang dilarang. Dalam agama mengatur tentang kodrat laki – laki yang lebih tinggi sebagai
iman dalam keluarga. Selain itu dalam kebudayaan, yaitu adat istiadat, kondisi sosial
perempuan Indonesia sebagian besar diselubungi oleh budaya patriarki yang dianut
kebanyakan etnik di Indonesia. Banyak adat istiadat yang mendiskriminasi kaum perempuan
contohnya adalah dalam kebanyakan etnis di Indonesia yang menggunakan mas kawin dalam
pernikahan. Hal tersebut disimbolkan sebagai bentuk jual beli yang dilakukan oleh pengantin
laki – laki dengan keluarga pengantin perempuan. Dalam pembagian warisan, kebanyakan adat
di Indonesia menganut sistem pembagian waris terhadap keturunan laki – laki dan masih
banyak adat – adat yang mengenyampingkan kehadiran perempuan sebagai sosok yang sama
statusnya dengan kaum laki-laki.

Dalam politik di Indonesia, masih adanya tindak diskriminasi yaitu sedikitnya perwakilan kaum
perempuan dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Meskipun Indonesia pernah dikepalai oleh
seorang wanita, hal tersebut tak membawa angina segar dalam kesetaraan gender di dalam
perpolitikan Indonesia. Selain itu terdapat berbagai bentuk peraturan baik undang - undang
maupun peraturan yang menjadi bias dan mendiskriminasi kaum perempuan.

Contoh Pasal - Pasal yang Bermasalah dalam Kebijakan Publik di Indonesia

Kebijakan Tema
UU Nomor 62 tahun 1958 tentang Memberikan jaminan hak yang sama bagi laki
Kewarganegaraan – laki dan perempuan untuk memperoleh dan
mempertahankan kewarganegaraan. Tapi
Undang – undang kewarganegaraan tersebut
masih memberlakukan asas kesatuan dalam
kewarganegaraan (one person in the law
doctrine) yakni bahwa suami atau bapaklah
yang menentukan kewarganegaraan anaknya
(pasal 1c, d, dan e)
Pasal 31 dan 34 UU nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan yang mengukuhkan
pembakuan peran atara perempuan dan laki –
laki, dengan menyatakan suami sebagai
kepala keluarga dan wajib memberi nafkah
kepada istri dan keluarganya, sedangkan istri
adalah ibu rumah tangga yang wajib
mengurusi rumah tangga dengan sebaik –
baiknya. Akibatnya, perempuan dan laki – laki
mempunyai akses dan control yang berbeda
terhadap sumber daya ekomomi, sosial dan
politik.
PP 45 Tahun 1990 PP ini telah mendiskriminasikan perempuan
yang menjadi istri kedua untuk mengundurkan
diri dari pekerjaanya, sedangkan laki – laki
yang berpoligami tidak mendapatkan sanksi
apapun.
UU nomor 23 Tahun 1992 Satu – satunya undang – undang yang
mengatur tentang kesehatan adalah UU No.
23 tahun 1992. Jika dilihat dari sudut hak –
hak perempuan, UU ini banyak memberikan
perhatian pada masalah pengaturan jarak
kelahiran (pasal 13) dan kesehatan ibu hamil
(pasal 14). Pasal UU 15 kesehatan
memberikan kemungkinan dilakukannya
tindak tertentu untuk menyelamatkan ibu dan
anaknya. Pada pasal 15 memberikan syarat
kepada penanganan medis bahwa yang untuk
melakukan penanganan harus mendapatkan
persetujuan dari suami ataupun orang tua dan
rekomendasi dari dua orang ahli lainnya.
Dengan demikiam dapat dikatakan bahwa
perempuan dalah kondisi tersebut tidak
memiliki hak atau kontrol atas tubuhnya
sendiri.
UU nomor 5 tahun 1997 Adanya ketentuan larangan kerja malam untuk
perempuan disebabkan karena digunakannua
pendekatan protektif – regulative, yang
didasarkan pada asumsi peran gender,
terutama untu melindungi fungsi reproduksi
perempuan. UU tersebut bahkan menegaskan
dalam penjelasannya bahwa larangan ini
diberlakukan karena malam hari merupakan
waktu permpuan untuk keluarganya.
Pasal 285 KUHP Pasal 285 KUHP tentang perkosaan hanya
menghukum pelaku yang melakukan
perkosaan terhadap perempuan yang bukan
istri nya. Ini berarti hukum tidak memberikan
proteksi kepada perempuan yang mengalami
kekerasan seksual dari suaminya. Dengan
kata laim, pasal 285 KHUP mendiskriminasi
perempuan berdasarkan status
perkawinannya. Di samping itu, pengertian
kekerasan sangat sempit yang hanya terbatas
pada kekerasan fisik dan proses pembuktian
dalam kenyataan juga tidak berpihak atau
melindungi korban
Sumber : Sumber : Paulus Wirutomo, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2012) hlm. 194

GADIS (Gerakan Perempuan Anti Diskriminasi) sebagai Solidaritas Gender

Gerakan perempuan di Indonesia muncul karena ketidakpuasan yang dialami oleh perempuan
Indonesia terhadap kondisi sosial perempuan saat ini. Perempuan masih dijadikan nomor dua
meskipun regulasi tentang kesetaraan gender telah diusung sejak lama. Meski dunia telah
memperingati hari perempuan sedunia hampir selama seabad ini. Hadirnya lembaga
pemberdayaan perempuan dan lembaga – lembaga lainnya yang mengedepankan hak dan
suara perempuan, namun masih saja terjadi kasus tindak diskriminasi dan kekerasan. Naasnya
kejadiaan tersebut seharusnya sudah tidak ada lahi karena pemerintah Indonesia meratifikasi
CEDAW (Convention on the elimination of All Forms of Discrimination against Women) melalui
UU No. 7 Tahun 1984 sehingga seharusnya pemerintah memiliki tanggung jawab untuk
mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak – hak perempuan. Hingga tahun 2010,
Indonesia memiliki sekitar 156 perda – perdes diskriminatif dan UU yang bias yang tadi sudah
dibahas sedikit pada kajian Perempuan , Agama, Politik dan Budaya. Perda dan perdes yang
diskriminatif tersebut mencakup aturan berpakaian bagi perempuan , larangan keluar malam,
kriminalisasi PSK, pornografi dan aturan – aturan lain yang bukan hanya mengancam dan
mengintimidasi perempuan tetapi juga mendiskriminasi perempuan sehingga timpangnya
kesetaraam gender dengan kaum laki – laki.

Dengan kasus diskriminasi terhadap perempuan tersebut dan berbagai kasus pelanggaran
terhadap hak dan suara perempuan, hal tersebut menjadi ransangan terhadap kaum organisasi
maupun non organisasi perempuan untuk mencanangkan suatu gerakan sebagai bentuk dari
solidaritas kaum perempuan. Hal tersebut terjadi di berbagai wilayah yang tersebar di
Indonesia. Gerakan solidaritas tersebut juga diprakarsai karena adanya tindak kekerasan dan
diskriminasi yang terjadi akhir - akhir ini di Indonesia yang mengatas namakan agama dan
budaya. Negara seolah – olah tidak mampu dalam menangani kelompok – kelompok yang
mengatas namakan agama dalam menegakan kaidah – kaidah mereka dengan menggunakan
kekerasan dan mengintiminasi kaum minoritas dan kaum perempuan. Untuk itu solidaritas
perempuan dalam rangkaian Kampanye Gerakan Anti Diskriminasi (GADIS) yang konsern
terhadap perjuangan – perjuangan hak dan suara kaum perempuan dalam kesetaraan gender,
keadilan, dan kemanusiaan. Oleh sebab itu gerakan yang dilaksanakan pada 8 Maret 2011 dari
Patung Kuda Medan Merdeka Barat sampai di depan Istana Negara menuntu beberapa pokok
sebagai berikut :

1. Mencabut semua peraturan atau kebijakan yang mendiskriminasi dan mengkriminalisasi


perempuan termasuk SKB 3 Mentri No. 3 Tahun 2008.
2. Memastikan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) memenuhi unsur pemenuhan hak
– hak konstirusi perempuan dan kelompok minoritas.
3. Memberentikan pemproduksian peraturan diskriminatif terhadap perempuan karena
bertentangan dengan Undang – Undang Dasar 1945 , UU No. 7 Tahun 1984 tentang
Ratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No, 39 tahun
1999 tentang HAM , dan UU No . 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti
Penyiksaan.
4. Memastikan bahwa negara memberikan perlindungan atas jebebasan dan ruang gerak,
serta terhindar dari segala jenis dan bentuk ancaman sebagai wujud perlindungan hak
konstitusi sebagai perempuan, sebagai kelompol minoritas, dan sebagai warga negara
Indonesia.

Dengan adanya Kampanye Gerakan Perempuan Anti Diskriminasi (GADIS) tersebut, dapat
dikatakan bahwa gerakan yang dilakukan perempuan masih berjalan sampai saat ini.
Kampanya tersebut dapat dikatakan sebuh gerakan karena merupakan bentuk dari aksi kolektif
dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu, dilakukan
dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh aktor - aktor yang diikat rasa
solidaritas dan identitias kolektif yang kuat melebihi bentuk - bentuk ikatan dalam koalisi dan
kampanye bersama. Kampanye tersebut terjadi karena adanya kesamaan kondisi dan memiliki
kesamaan tujuan terhadap gerakan tersebut.

Menurut sudut pandang Psikologis, teori ketidakpuasan (discontent theory) berpandangan


bahwa akar dari gerakan terletak pada perasaan ketidakpuasan. Solidaritas perempuan
tersebut merasa kondisi sosial perempuan sangan tertindas yang menjadikan mereka tidak
puas. Terdapat bayak ragam ketidakpuasan, mulai dari luapan emosional kaum perempuan
yang merasa dikorbankan oleh ketidakadilan. Sedangkan dalam sudut pandang sosiologi,
menurut teori Deprivasi Relatif menunjukan bahwa kaum perempuan merasa kecewa karena
adanya kesenjangan anatara harapan dan kenyataan. Dalam orientasi dari gerakan “GADIS”
kita dapat melihat bahwa gerakan tersebut merupakan gerakan yang menitikan pada orientasi
nilai, yaitu merubah nilai budaya, norma dan sistem kepercayaan. Hal tersebut dilakukan
dengan penggalangan kampanya tersebut.

Sumber : www.google.com

Kesimpulan

Sejarah panjang gerakan perempuan di Indonesia menunjukkan bahwa perempuan telah


memberiwarna tersendiri bagi pembelajaran demokratisasi di Indonesia. Namun meskipun
perjalanan bangsa Indonesia telah panjang dan perempuan memberikan kontribusi yang
banyak, status kesetaraan gender belum dirasakan oleh perempuan Indonesia. Banyak tindak
diskriminasi yang dirasakan oleh perempuan mengatas namakan agama dan etnik. Kedudukan
kaum perempuan dalam kehidupan sosial diatur oleh tradisi, hak dan kewajiban kaum
perempuan lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki – laki. Munculnya gerakan perempuan
adalah dalam memperjuangkan hak dan suara bagi kaum perempuan yang diselimuti oleh
kabut budaya dan agama yang sebagian besar membuat kesetaraan gender menjadi timpang.
Gerakan perempuan di Indonesia telah muncul sejak sebelum kemerdekaan Indonesia sampai
saat ini. Dengan demikian para kaum perempuan yang melakukan pergerakan tersebut dapat
dikatakan tidak puas dan merasa kecewa akan kondisi sosialnya sampai saat ini. Gerakan
tersebut muncul karena kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang mereka alami.

Daftar Pustaka

De Beauvoir. Simone. The Second Sex Kehidupan Perempuan, diterjemahkan oleh Toni
B. Febrianton., dkk. Jakarta: Pustaka Prometea, 2003.

Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda. Jakarta : Mizan, 1999.

Jurnal Perempuan, 2003.

Arivia, Gadis. Feminisme : Sebuah Kata Hat. Jakarta : Kompas, 2006.

Wirutomo, Paulus. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2012.

Vreede, Cora – De Stuers. Sejarah Perempuan Indonesia : Gerakan dan Pencapaian. Jakarta :
Komunitas Bambu, 2008.

http://www.google.com

Anda mungkin juga menyukai