Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MAKALAH :

PENDEKATAN PENGKAJIAN ISLAM


(Kajian Tentang Al-Qur’an Tafsir)

OLEH

NAMA : MERTA SARI


NIM : 19040202016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCA SARJANA IAIN KENDARI
2019

1
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat jibril
kepada Nabi Muhammad saw untuk digunakan sebagai pedoman bagi ummat
manusia. Al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran Islam, dan juga merupakan
pedoman hidup bagi setiap manusia. Al-Qur’an bukan sekedar memuat petunjuk
tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan
manusia dengan sesamanya, bahkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy (1980) menyatakan bahwa : untuk dapat memahami Al-Qur’an
dengan sempurna, bahkan untuk menterjemahkannya, diperlukan sejumlah ilmu
pengetahuan yang disebut dengan ilmu-ilmu Al-Quran, atau didalam istilah bahasa
Arab dikenal dengan istilah ulum al-Qur`an. Al-Qur’an turun dalam kurun waktu 23
tahun yang dapat dibagi kepada dua fase yaitu ayat-ayat yang turun di Mekkah
sebelum Hijrah (makiyyah) dan ayat-ayat yang turun sesudah Nabi Hijrah ke
Madinah. Semua ini membuktikan adanya hubungan dialektis antara ruang dan waktu
ketika dia diturunkan. Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa dipisahkan dari konteks
kesejarahanya, yang meliputi nilai-nilai social, budaya, politik, ekonomi dan nilai-
nilai religius yang hidup ketika itu. Subtansi ajaran Al-Qur’an tidak bermaksud
menciptakan masyarakat seragam diseluruh belahan bumi dan disepanjang masa
tetapi memberikan prinsip-prinsip umum yang memungkinkan terwujudnya pola
keseimbangan hidup dalam masyarakat tertentu dan pada gilirannya suasana
ketentraman di bawah ridha Tuhan atau menurut istilah Al-Qur’an terciptanya
baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur.
Sedangkan Tafsir adalah sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan yang
dikutip oleh Manna‟ al-Qaṭān ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan
lafadz-lafadz al-Qur‟an, tentang petunjuk-petunjuk, hukum-hukumnya baik ketika
berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan
baginya tersusun serta hal-hal yang melengkapinya.
Metode tafsir adalah cara yang ditempuh penafsir dalam menafsirkan al-
Qur‟an berdasarkan aturan dan tatanan yang konsisten dari awal hingga akhir.
Ulama‟-ulama‟ mengklasifikasikan metode-metode penafsiran al-Qur‟an menjadi
empat: metode tahliliy(tahlili), metode al-Ijmali (global), metode al-Muqaran
(komparatif) dan metode al-Maudui (tematis).
Selain dari defenisi-defenisi tersebut di atas, masih banyak lagi hal-hal dan istilah-
istilah penting yang harus kita diketahui dalam pendekatan pengkajian Islam terkait
Al-Qur’an dan Tafsir.oleh karena itu, melalui makalah ini penulis ingin mengulas
secara rinci tentang Qur’an dan Tafsir serta bagian-bagiannya.

2
1. Kunci-kunci Istilah dalah Studi Al-Qur’an
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab, dari akar kata qara’a yang berarti
“membaca”. Al-Qur’an adalah bentuk mashdar yang diartikan sebagai isim maf’ul
yaitu maqru, berarti yang dibaca.1 Al-Qur’an menurut istilah adalah kalam Allah
yang bersifat mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui
perantaraan Jibril dengan lafal dan maknanya dari Allah swt, yang dinukilkan secara
mutawatir, membacanya merupakan ibadah; dimulai dengan Surah al-Fatehah dan
diakhiri dengan surah An-Nas.2 Al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran Islam,
dan juga merupakan pedoman hidup bagi setiap manusia. Al-Qur’an bukan sekedar
memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya, bahkan hubungan manusia dengan alam
sekitarnya.3 Selain nama Al-Qur’an kitab suci ini juga memperkenalkan dirinya
dengan beberapa nama antara lain sebagai berikut: 1) Al-Kitab berarti buku/tulisan,
2) al-Furqan berarti pembela yang baik dan yang buruk, 3) al-Dzikr berarti pengingat/
pemberi peringatan, 4) Al-Tanzil berarti yang diturunkan. Dengan deimkian, untuk
dapat memahami ajaran Islam secara sempurna, maka langkah pertama yang harus
dilakukan adalah memahami Al-Qur’an. Al-Qur’an, sebagaimana diketahui,
diturunkan dalam bahasa Arab, baik lafal maupun uslubnya. Namun demikian,
tidaklah berarti bahwa semua orang Arab, atau orang yang mahir dalam bahasa Arab,
dapat memahami Al-Qur’an secara rinci. Bahkan menurut Ahmad Amin (1975)
para Sahabat sendiri tidak sanggup memahami kandungan Al-Qur’an dengan
hanya sekedar mendengarkannya dari Rasulullah saw, karena menurut beliau,
memahami Al-Qur’an tidak cukup dengan menguasai bahasa arab saja.
M. Qurais Shihab (1997) mendefinisikan Al-Qur’an sebagai : “firman-firman
Allah yang disampaikan oleh malaikat jibril sesuai redaksinya kepada Nabi
Muhammad saw, dan diterima oleh ummat Islam secara tawatir.
Maka dapat didefinisikan bahwa: Al-Qur’an adalah firman Allah swt yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat Jibril a.s sesuai
dengan redaksinya, yang memiliki kemukjizatan lafal, yang tertulis dalam mushaf,
dimulai dari suruh al-Fatihah sampai pada suruh al-Nas, dan disampaikan secara
mutawatir kepada umat Islam, dimana membacanya dinilai sebagai ibadah.
Berdasarkan pengertian ulum dan Al-Quran yang telah dikemukakan di atas maka
ulum yang didasarkan kepada Al-quran memberikan pengertian bahwa ilmu ini

1
Muhammad ‘Abd al-Azhim al-zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulumal-qur’an,Juz I, Beirut ;Dar al-Fikr,1998,h 43-
47
2 Shubi al-shalih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Beirut; Dar al-Ilmi li al Malayin,1997,h.18
3
Hasbi al-Shiddieqy, sejarah dan pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, Jakarta Bulan bintang,1974,h.60

3
merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an (Ramli
Abdul Wahid : 1994).4
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (1980) menyatakan bahwa : untuk dapat
memahami Al-Qur’an dengan sempurna, bahkan untuk menterjemahkannya,
diperlukan sejumlah ilmu pengetahuan yang disebut dengan ilmu-ilmu Al-Quran,
atau didalam istilah bahasa Arab dikenal dengan istilah ulum al-Qur`an.5
Menurut Muhammad Ali al-Shabuni, dan telah disepakati oleh para ulama
khususnya para ulama ushul fiqih definisi Alquran adala :
‫القرآن هو كالم هللا المعجز المنزل على خاتم األنبيـــــاء والمرسلين بواسطة األمــــــين‬
‫جــــبريل عليه السالم المكتوب فى المصاحف المنقول إليــــنا بالتـــواترالــــمتعبد بتالوته المبدوء‬
[3].‫بســورة الفاتحة المختتم بسورة الناس‬

Artinya : Alquran ialah Kalam Allah yang (memiliki) mikjizat, diturunkan


kepada penutup para Nabi dan rasul, dengan melalui perantara Malaikat Jibril AS,
ditulis dalam berbagai mushhaf, dinukilkan kepada kita dengan cara tawatur
(mutawatir), yang dianggap ibadah dengan membacanya, dimulai dengan surat
Fatihah, dan ditutup dengan surat al-Nas.
b. Al-Kitab
Definisi Al-kitab adalah menurut bahasa artinya “ yang ditulis “. Kitab adalah
mashdar yang dinamkan dengan makna isim maf’ul yaitu “maktub” yang ditulis.
Dalam ‘uruf syara’ (istilah ahli agama), kitab itu diartikan dan dimaksudkan “
kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallohu ‘Alaihi
Wasallam,yakni Alquran. Maka ta’rif Al-kitab, sama dengan ta’rif Alquran.[2]
c. Wahyu
Adapun definisi wahyu Syekh Muhammad Abduh :
[4]‫ عرفان يجده الشخص من نفسه مع اليقين بأنه من قبل هللا بواسطة أو بغير واسطة‬: ‫الوحي‬

Artinya : Wahyu ialah pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya


sendiri dengan keyakinan penuh, bahwa pengetahuan itu datang ( berasal) dari Allah
Swt, baik (penyampaiannya itu ) melalui perantara atau tidak.
Pengertian senada, dikemukakn oleh al-Sayyad Rasyid Ridha yang
memformulasikan wahyu dengan “ Suatu ilmu yang dikhususkan untuk para nabi
dengan tidak mereka usahakan dan tidak mereka pelajari. Wahyu adalah suatu
pengetahuan yang mereka peroleh dalam dirinyna dengan tidak berijtihat ( lebih
dahulu ) yang disertai oleh suatu pengetahuan yang timbul dengan sendirinya dan
diyakini bahwa yang mencampakkan ke dalam diri mereka adalah Allah yang Maha
Kuasa.[5]

4
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur‟an, op. cit., h. 57

5
M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, (Sleman: Teras, 2005), h. 37

4
d. Ilham
Kata ilham berasal dari kata yang berarti menelan. Keika berubah kewazan if’al,
yakni alhma yulhimu ilhaman, maka kata ilham bermakna menelan dalam
artimenghujamkan ke dalam jiwa, Allah berfirman; Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. Asy-Syams : 8)
Muhammad Rasyid Ridha dalam Al-Wahyul Muhammadi memberikan
pengertian, bahwa ilham adalah suatu perasaan emosional yang diyakini oleh jiwa
yang karnanya jiwa itu terdorong untuk melakukan yang dikehendakinya oleh
dorongan ilham itu, tanpa disertai kesadaran jiwa sendiri dari mana datangnya,
keadaannya hamper sama dengan persaan lapar, dahaga, sedih, senang dan
sebagainya.

Pengertian Ulum al-Qur’an


Ulum al-qur’an berasal dari bahasa Arab, kata majemuk yang terdiri dari dua
kata, yaitu ulum al-qQur’an(jamak dari ilm,ilmu) yang berarti ilmu-ilmu dan al-
Quran kitab suci umat Islam.
Istilah ulum al-Qur’an , secara etimologi, merupakan gabungan dari dua kata
bahasa Arab: Ulum dan al-Qur’an . kata ulum adalah bentuk jamak dari kata ilm
yang merupakan bentuk masdar dari kata alima, ya’lamu yang berarti : mengetahui
(Mahmud Yunus: 1990).6 Dalam kamus al-Muhit kata alima disinonimkan dengan
kata arafa (mengetahui, mengenal). Dengan demikian, kata ilm semakna dengan
ma’rifah yang berarti “pengetahuan”. Sedangkan ulum berarti: sejumlah
pengetahuan. Adapun kata Qur’an, dari segi isytiqaqnya, terdapat beberapa
perbedaan pandangan dari para ulama. Anatara lain, sebagaimana yang diungkapkan
oleh muhammad bin Muhammad Abu Syaibah (1992) dalam kitab Al-Madkhal li
Dirasah al-Qur’an al-Karim, sebagai berikut:
1. Qur’an adalah bentuk masdar dari qara’a , dengan demikian,
kata Qur’an berarti “bacaan”. Kemudian kata ini selanjutnya, sebagaimana bagi
kitab suci yang diturunkan oleh Allh swt. Kepada nabi Muhammad saw, pendapat ini
didasarkan pada firman Allah artinya “apabila telah kami selesai membacanya maka
ikutilah bacaannya. (QS. Al Qiyamah : 18). Antara lain yang berpendapat demikian
adalah al-Lihyan (w.215 H).
2. Qur’an adalah kata sifat dari al-qar’u yang bermakna al-jam’u
(kumpulan).
Selanjutnya digunakan sebagai nama bagi kitab suci yang diturunkan
kepada nabi Muhammad saw, alasan yang dikemukakan adalah karena Al-

6
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur‟an, (Bandung: Pustaka Setia,2004), h. 94

5
Qur’an terdiri dari sekumpulan surah dan ayat, memuat kisah-kisah, perintah dan
larangan, dan juga karena Al-Qur’anmengumpulkan inti sari dari kitab- kitab
yang diturunkan sebelumnya. Pendapat ini, antara lain dikemukakan oleh al-Zujaj
(w.311 H). 3. Kata al-Qur’an adalah ism alam, bahkan kata bentukkan dan
sejak awal digunakan sebagai nama bagi kitab suci yang diturunkan oleh Allah
SWT kepada nabi Muhammad saw, pendapat ini diriwayatkan dari Imam Syafi’y
(w.204 H).
Sementara itu, secara terminology ulum al-Quran didefinisikan oleh para
pakar dibidang ini, dengan sangat beragam. Namun demikian, semua pengertian
yang dimaksud tidak akan dikemukakan dalam tulisan ini. Berikut ini dikemukakan
dua pengertian ulum al- Qur’an, masing-masing dikemukakan oleh Manna
al_Qattan dan Muhammad Abd al-Azim al-Zarqaniy.
Ulum al- Qur’an , menurut Manna’ al-Qattan (1973) adalah: “Ilmu yang
mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an, dari segi
sebab turunnya, pengumpulan dan urutan-urutannya, pengetahuan tentang ayat-ayat
makkiyyah dan madaniyyah, nasikh dan mansukh, mahkam dan mutasyabih, dan
hal-hal lain yang berkaitan dengan Al-Qur’an.7
Selanjutnya, al-Zarqaniy (tanpa tahun) memberikan definisi yang tidak jauh
berbeda dengan al-Qattan, bahwa ulum al- Qur’an adalah: “Beberapa pembahasan
yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari segi turunnya, susunannya,
pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, tafsirnya, kemukjizatan, naskh dan
mansukhnya, penolakan dari hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya,
dan sebagainya”
Dua definisi tentang ulum al-Quran yang dikemukakan di atas, pada
dasarnya tidak memiliki perbedaan yang berarti. Keduanya justru sepakat dalam dua
hal penting, yaitu : Pertama, bahwa ulum al- Qur’an adalah sejumlah ilmu
pengetahuan yang membahas tentang Al-Qur’an. Kedua, masing-masing membuka
peluang kemungkinan masuknya aspek lain ke dalam pembahasan ulum al- Qur’an,
dalam pengertian bahwa, keduanya tidak memberikan batasan yang pasti tentang
jumlah ilmu-ilmu yang masuk dalam kategori ulum al- Quran.
Sedangkan perbedaan yang Nampak pada keduanya hanya pada aspek
pembahasan yang ditampilkan, yang menurut penulis, semata-mata hanya sebagai
contoh untuk memudahkan pemahaman terhadap definisi yang dimaksud. Dengan
demikian, yang dimaksud ulum al-Qur’an adalah sejumlah ilmu pengetahuan yang
secara khusus membahas tentang Al-Qur’an dari berbagai aspeknya. Sehingga sangat
sulit untuk menentukan berapa banyak cabang dari ilmu. ini. Abu Bakar bin al-
Arabiy (w.544 H0. Misalnya, menyebutkan bahwa ulum al- Qur’an terdiri atas

7
Muhammad al-Zuhayli, marja al-ulum al-Islamiyyah; ta’rifuhu, Tarikhuha,A’immatuha,
Ulama’uha,Mashadiruha,Kutubuha, Damaskus; Dar al-Ma’rifah t.th,h 141

6
77.450 ilmu, sesuai dengan banyaknya kata-kata dalam Al- Qur’an dikalikan
empat. Sebab setiap kata dalam Al-Qur’an memiliki makna zahir batin, terbatas dan
tak terbatas.* Sedangkan al-Sayutiy (w.911 H) dalam kitabnya al- Itqan fiy “Ulum al-
Qur’an” menyebutkan 80 macam ilmu Al Qur’an, bahkan menurut beliau jumlah
tersebut masih dapat dibagi hingga mencapai 300 macam atau lebih.8
Namun demikian, diantara sekian banyak cabang dari ulum al- Qur’an
tersebut, menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (1990), ada 17 cabang di antaranya
yang paling utama, yaitu :
1. Ilm Mawatin al-Nuzul , yaitu ilmu yang menerangkan tempat-tempat
turunnya ayat.
2. Ilm Tawarikh al-Nuzul, yaitu ilmu yang menerangkan dan menjelaskan
masa turunnya ayat dan tertib turunnya.
3. Ilm Asbab al-Nuzul, yaitu ilnu yang menerangkan sebab-sebab yang melatar
belakangi turunya ayat.
4. Ilm Qira’ah, yaitu yang menerangkan tentang macam-macam bacaan Al-
Qur’an, mana yang sahih dan mana yang tidak sahih.
5. Ilm al-Tajwid, yaitu ilmu tentang cara membaca Al-Qur’an, tempat memulai
danpemberhentiannya, dan lain-lain.
6. Ilm Garib al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang makna kata-kata
(lafal)yang ganjil, yang tidak lazim digunakan dalam bahasa sehari-hari.
7. Ilm I’rab al-Qur’ani, yaitu ilmu yang membahas tentang kedudukan suatu
lafal dalam kalimat (ayat), begitu pula tentang harakatnya.
8. Ilm Wujud wa al-Nazarir, yaitu ilmu yang menjelaskan tentang lafal-lafal
dala Al-Qur’an yang meiliki banyak arti, dan menerangkan makna yang
dimaksud pada suatu tempat.
9. Ilm Ma’rifah al-Muhkam wa al-Mutasyabih, yaitu ilmu yang membahas
tentang ayat-ayat yang dipandang muhkam dan ayat-ayat yang dianggap mutasyibah.
10. Ilm Nasikh wa al-Mansukh, yaitu imu yang menerangkan tentang ayat-ayat
yang dianggap mansukh oleh sebagian ulama.
11. Ilm Bada’ii al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang keindahan
susunan ayat-ayat Al-Qur’an, menerangkan aspek-aspek kesusasteraan Al-Qur’an,
serta ketinggi balagahnya.
12. Ilm I’jaz al-Qur’an, yaitu ilmu yang secara khusu membahas tentang segi-
segi kemukjizatan Al-Qur’an.
13. Ilm Tanasub Ayat al-Quran, yaitu ilmu yang membahas tentang kesesuaian
suatu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya.

8
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 380
Mundzir Hitami, Pengantar Studi al-Qur‟an Teori dan pendekatan, (Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta, 2012), h. 46

7
14. Ilm Aqsam al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang arti dan tujuan
sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an.
15. Ilm Amsal al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang
perumpamaan- perumpamaan yang terdapat dalam Al-Qur’an.
16. Ilm Jidal al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang bentuk-bentuk
debatan yang dikemukakan dalam Al-Qur’an, yang ditujukan kepada segenap kaum
musyrikin, dan lain-lain.
17. Ilm Adab Tilawah al-Qur’an, yaitu ilmu yang membahas segala aturan
yang harus dipakai dan dilaksanakan dalam membaca Al-Qur’an.
Demikianlah beberapa cabang dari ulum al-Qur’an yang paling utama. Ilmu-
ilmu Al-Qur’an tersebut teramat penting dalam memahami dan menafsirkan Al-
Qur’an, sehingga sebagian ulama menyebutkan ulum al-Qur’an dengan istilah usul
al-tafsir, dan T.M Hasbi Ash Shiddieqy menyebutkan pula dengan nama ilmu-ilmu
tafsir.

Sejarah dan Perkembangan Ulumul Qur’an


Sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, ulum al-Qur’an tidak lahir
sekaligus, melainkan melalui proses pertumbuhan dan perkembangan. Istilah ulum
al-Qur’an itu sendiri tidak dikenal pada masa awal pertumbuhan Isam. Istilah ini
baru muncul pada abad ke 3, tapi sebagaian ulama berpandangan bahwa istilah ini
lahir sebagai ilmu yang berdiri sendiri pada abad ke 5. Karena ulumul Qur’an dalam
arti, sejumlah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an, baru muncul dalam karya
Ali bin Ibrahim al-Hufiy (w.340), yang berjudul al-Burhan fiy Ulum al-Quran (Al
Zarqaniy :35).
Untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan ulum al-Qur’an,
berikut ini akan diuraikan secara ringkas sejarah perkembangannya.
Pada masa Rasulullah saw, hingga masa kekhalifahan Abu Bakar (12 H–
13H) dan Umar (12 H-23H) ilmu Al-Qur’an masih diriwayatkan secara lisan.† Ketika
zaman kekhalifaan Usman (23H-35H) dimana orang Arab mulai bergaul dengan
orang-orang non Arab, pada saat itu Usman memerintahkan supaya kaum muslimin
berpegangan pada mushaf induk, dan membakar mushaf lainnya yang mengirimkan
mushaf kepada beberapa daerah sebagai pegangan. Dengan demikian, usaha yang
dilakukan oleh Usman dalam mereproduksikan naskah Al-Qur’an berarti beliau
telah meletakkan dasar ilm rasm al-Qur’an (Subhiy Salih: 1977).
Selanjutnya, pada masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib, (35H-40H) beliau
telah memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwali (w.69 H) untuk meletakkan kaedah-
kaedah bahasa Arab. Usaha yang dilakukan oleh Ali tersebut, dipandang sebagai
peletakan dasar ilmu I’rab al-Qur’an.

8
Adapun tokoh-tokoh yang berjasa dalam menyebarkan ulum al- Qur’an
melalui periwayatan, adalah :
1. Khulafa al-Rasyidin, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai
bin Ka’ab, Abu Musa al-Asya’ariy, dan Abdullah bin Zubair. Mereka itu dari
golongan sahabat.
2. Mujahid, Ata, Tkrimah, Qatadah, Hasan Basri, Said bin Jubair, dan Zaid
bin Aslam. Mereka golongan tabi’in di Madinah.
3. Malik bin Anas, dari golongan tabi’I tabi’in, beliau memperoleh ilmunya
dari Zaid bin Aslam.
Mereka inilah yang dianggap orang-orang yang meletakkan apa yang
sekarng ini dikenal dengan ilmu tafsir, ilmu asbab al-Nuzul, ilmu nasikh dan
mansukh, ilmu garib al-Qur’an, dan lain-lain. (Al Zarqaniy : 30 – 31).
Pada abad kedua hijriah, upaya pembukaan ulum al-Qur’an mulai dilakukan,
namun pada masa ini perhatian ulama lebih banyak terfokus pada tafsir. Diantara
ulama tafsir pada masa ini adalah : Sufyan Sau’ry (w.161 H), Sufyan bin Uyainah
(w.198 H). wakil-wakil al-Jarah (w.197 H), Sybah bin al-Hajjaj (w.160 H). Muqatil
bin Sulaiman (w.150 H). Tafsir-tafsir mereka umumnya memuat pendapat-pendapat
sahabat dan tabi’in. (Abu Syahbah: 1992)
Pada masa selanjutnya, abad ke 3 H, muncullah Muhammad ibn Jarir al-
Tabariy (w.310 H) yang menyusun kitab tafsir yang bermutu karena banyak memuat
hadis-hadis sahih, ditulis dengan rumusan yang baik. Di samping itu, juga memuat
I’rab dan kajian pendapat.‡ Pada masa ini juga telah disusun beberapa ulu>m al
Qur’ani yang masing-masing berdiri sendiri, antara lain: Ali ibn al-Madiniy
(w.234H) menyusun kitab tentang asbab al-nuzul, Abu Ubaid al-Qasim ibn Sallam
(w.224H) menyusun kitab tentang naskh dan mansukh. Ibnu Qutaibah (w.276 H)
menyusun kitab tentang musykil al-Qur’an, Muhammad bin Ayyub al-Darls (294 H)
menyusun tentang ayat yang turun di Mekah dan Madinah. Dan Muhammad ibn
Khalf ibn al-Mirzaban (w.309) menyusun kitab al-Hawiy fiy Ulu>m al-
Qur’an.(Subhiy Salih: 1977)
Pada abad ke 4 H, lahir beberapa kitab ulu>m al-Qur’an, seperti: Aja’ib
ulu>m al-Qur’an karya Abu Bakar Muhammad ibn al-Qasim al-Anbary (w.328 H),
dalam kitab ini dibahas tentang kelebihan dan kemuliaan Al-Qur’an, turunnya Al-
Qur’andalam tujuh huruf, penulisan mushaf, jumlah surah, ayat dan kata dalam Al-
Qur’an. Di samping itu, Abu al-Hasan al-Asy’ary (w.324 H) menyusun kitab al-
Mukhtazan fiy Ulum al-Quran, Abu Bakar al-Sajastaniy (w.330 H) menyusun kitab
tentang Garib al-Qur’an, Abu Muhammad al-Qasab Muhammad ibn Ali al-Karkhiy
(w.sekitar 360 H) menyusun kitab Nakt al-Qur’an al-Dallah al-Bayan fiy Anwa al-
Ulum wa al-Ahkam al-Munabbiah’an Ikhtilaf al-Anam. Pada masa ini juga

9
Muhammad ibn Ali al-Adfawiy (w.388 H) menyusun al-Istigna’ fiy Ulum al-
Qur’an.
Pokok-Pokok Kajian Ulum Al-Qur’an
A. Kronologi Al-Qur’an
 Kajian Tentang Ayat Pertama dan Terakhir
Terdapat beberapa perbedaan tentang hari pertama turunnya al-qur’an dan
ayat yang pertama turun. Penda pat yang paling kuat ialah Al-Qur’an diturnkan pada
hari senin, 17 Ramdhan tahun 41 dari kelahiran Nabi bertepatan dengan 6 Agustus
610 M. Dasar penetapan tanggal 17 Ramdhan sesuai dengan Q.s al-Anfal/8;41
“Jika kamu beriman kepada Allah dan dengan sesuatu yang telah kami
turunkan kepada hamba Kami pada hari furqan, hari bertemu dua pasukan. Yang
dimaksud “hari bertemunya dua pasukan” ialah hari bertemunya tentara Islam dan
tentara musyrikin Quraisy dalam pertempuran badar yang jatuh pada 17 Ramdahan
tahun kedua Hijrah. Sedangkan hari furqan yaitu hari pertama kali al-Quran
diturunkan. Adapun hari terakhir turunnya al-qur’an menurut mayoritas (jumhur)
ulama yaitu pada hari Jum’at tanggal 9 Zulhijjah tahun 10 Hijrah bertepatan dengan
bulan Maret 632 M. pada wkatu Nabi Muhammad saw sedang menjalani wuquf di
arafah yang kemudian terkenal dengan Haji wada (haji terakhir dalam kehidupan
Nabi). Sekitar tiga bulan setelah ayat ini diturunkan Rasulullah wafat, yaitu pada hari
senin 12 Rabi’ul Awal tahun 11H, bertepatan tanggal 7 Juni 632M.
Ayat paling terakhir turunnya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw adalah
Q.s. al-Maidah /5:3: “ Hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku telah
cukupkan untukmu nikmat-Ku dan Aku ridha islam menjadi agamamu. Ada sebagian
ulama meriwayatkan bahwa surah yang diturunkan terakhir ialah surah al-Nashr/110:
1-3: “ Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat
manusia masuk agama Allah dengann berbondong-bondong. Maka bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu dan memohonlah ampun kepadanya. Sesungguhnya dia
maha penerima taubat”.

 Ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah


Ayat-ayat makiyah turun selama 12 tahun 5 bulan dan 13 hari. Tepatnya mulai
17 Ramadhan tahun41 hingga awal Rabiulawal tahun 54 dari kelahiran Nabi saw.
Perbandingan ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah berkisar 19/30 dan yang
diturunkan di Madinah berkisar 11/30. Al-Qur’an yang berjumlah 114 surah dimulai
dari surah Al-Fatiha sampai surah Al-Nas. Disebut surah Makiyah tidak berarti
seluruh ayat yang ada dalam surah tersebut diturunkan di Mekkah sebelum Hijrah;
sebaliknya sekalipun disebut surah madaniyah tidak berarti seluruh ayat di dalamnya
diturunkan di Madinah. Penamaan itu hanyalah karena surah tersebut memuat
mayoritas ayat Makiyah atau Madaniyah.

10
Ciri-ciri ayat dan surah makiyah sebagai berikut;
1. ayat dan surah Makiyah umumya pendek, sedangkan ayat dan surah
Madaniyah umunya panjang.
2. Umunya ayat dan surah Makiyah berbicara tentang masalah ketuhidan.
Sedangkan ayat dan surah Madaniyah pada umunya berbicara tentang
masalah kemasyarakatan.
3. Setiap surah yang di dalamnya mengandung ayat sajaddah adalah
Makiyah.
4. Setiap surah yang mengandung lafal Kalla adalah Makiyah
5. Surah-surah yang mengandung kisah para Nabi dan umat terdahulu,
kecuali surah al-Baqarah adalah Makiyah
6. Setiap surah yang dimulai dengan huruf-huruf muqaththa’ah, kecuali
surah al-baqarah dan surah al_imran adalah Makiyah.sedangkan surah al-
Rad masih diperselisihkan para Ulama.
 Munasabah Al-Qur’an
Munasabah menurut bahasa berarti musyakalah (keserupaan) dan muqarabah
(kedekatan). Sedangakan menurut istilah ulum al-qur’an berarti pengetahuan tentang
berbagai hubungan di dalam al-Qur’an. Hubungan-hubungan tersebut meliputi;
1. Hubungan antara satu surah dengan surah sebelumnya.
2. Hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan surah
3. Hubungan antara fawatih alswar( ayat pertama yang terdiri dari beberapa
huruf) dengan isi surah.
4. Hubungan antara ayat pertama denagan ayat terakhir dalam surah
5. Hubungan antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu surah
6. Hubungan anatara kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat.
7. Hubungan antara fashilah dengan isi ayat.
8. Hubungan antara penutup surah dengan awal surah berikut.

B. Asbab al-Nuzul
Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk dalam menghadapi berbagai situasi.ayat-ayat
tersebut diturunkan dalam keadaan dan waktu yang berbeda-beda. Kata
asbab(tunggal;sabab) berarti alasan atau sebab. Asbab al-Nuzul berarti pengetahuan
tentang sebab-sebab diturunkannya suatu ayat. Unsur-unsur yang penting diketahui
perihal asbabal-Nuzul ialah adanya satu atau beberapa kasus yang menyebabkan
turunya satu atau beberapa ayat dan ayat-ayat itu dimaksudkan untuk memberikan
penjelasan terhadap kasus itu. Tujuan utama al-Qur’an adalah hendak
mentraformasikan umat nabi Muhammad dari situasi yang lebih buruk ke situasi yang
lebih baik menurut ukuran Tuhan.

11
C. Penulisan (rasm) al-Qur’an
Rasm berasal dari kata rasama, yarsamu berarti menggambar atau melukis. Istilah
rasm dalam ulum al-Quran diartikan sebagai pola penulisan al-Quran yang digunakan
Usman Ibn affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membuka Al-Qur’an.
Kemudian pola penulisan tersebut dijadikan dalam penulisan kembali atau pengadaan
mushaf al-qur’an. Pola penulisan ini kemudian lebih popular dengan nama rasm
Utsmani.
D. Qira’ah al-Qur’an
Kata qira’ah seakar kata dengan al-qur’an dari kata qara berarti membaca. Qira’ah
adalah bentuk mashadar ( verbal noun) dari kata qara’ah menurut istilah, qira’ah
adalah ilmu untuk mengetahui tata cara pengucapan lafal al-qur’an, baik yang
disepakati maupun yang diperdebatkan ahli qiraat, seperti pengguruan huruf( hadazf)
penepatan huruf ( itsbat), pemberian harakat ( tahrik), pemebrian tanda sukun (
taskin), pemisahan huruf ( fashl), penymbungan huruf( washl), penggantian lafa-lafal
tertentu( ibdal), dll yang diperoleh melalui indera pendengaran.
Qira’ah berbeda dengan tajwid. Qira’ah menyangkut cara pengucapan lafal, kalimat,
dan dialek ( lahjah) kebahsaan al-Quran. Sedangkan tajwid, sesuai dengan
pengertiannya, adalah pengucapan huruf al-quran secara tertib, sesuai dengan
makhraj dan bunyi asaknya. Jadi tajwid menyangkut tata cara dan kaidah-kaidah
teknis yang dilakukan untuk memperindah bacaan al-Qur’an.
Informasi tentang qir a’ah diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui
pendengaran(sima’i) dari Nabi oleh para sahabat mengenai bacaan ayat-ayat alquran,
kemudian ditiru dan diikuti tabi’indan generasi-generasi sesudahnya hingga sekarang.
Cara ain ialah melalui riwayat yang diperoleh melalui hadis-hadis yang disandarkan
kepada Nabi atau sahabat-sahabatnya.

2. Tafsir
Tafsir secara etimologi (bahasa), kata “tafsīr” diambil dari kata “fassara –
yufassiru - tafsīrān” yang berarti keterangan atau uraian.9 Sedangkan Tafsir menurut
terminologi (istilah), sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan yang dikutip oleh
Manna‟ al-Qaṭān ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz
al-Qur‟an, tentang petunjuk-petunjuk, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri
maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya tersusun
serta hal-hal yang melengkapinya10
Menurut al-Kilbiy dalam kitab at-Taṣliy, sebagaimana yang telah dikutip oleh
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudlali. Tafsir ialah mensyarahkan al- Qur‟an,

9 Rosihan Anwar, Ulum al-Qur‟an, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 209


10 Manna‟ al-Qaṭān, Pembahasan Ilmu al-Qur‟an 2, Terj. Halimudin, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995),h.164

12
menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya
atau dengan isyarat, ataupun dengan tujuannya 11
Menurut Ali Ḥasan al-‟Ariḍ, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang
cara mengucapkan lafadz al-Qur‟an makna-makna yang ditunjukkan dan hukum-
hukumnya baik ketika berdiri sendiri atau pun tersusun serta makna-makna yang
12
dimungkinkan ketika dalam keadaan tersusun.
Pengertian yang dimaksud dalam Lisan al-Arab dengan “kasyf al- mugaṭṭa”
(membuka sesuatu yang tertutup), dan tafsir ialah membuka dan menjelaskan maksud
yang sukar dari suatu lafal. Pengertian ini yang dimaksudkan oleh para ulama
tafsir dengan “al-īḍāḥ wa al-tabyīn” (menjelaskan dan menerangkan).13 Dari
sini dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah menjelaskan dan menerangkan tentang
keadaan al-Qur‟an dari berbagai kandungan yang dimilikinya kepada apa
yang dikehendaki oleh Allah sesuai kemampuan penafsir.

 Metode Tafsir
Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau
jalan.14 Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bahasa Arab
menerjemahkannya dengan manhaj dan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut
mengandung arti: cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud
(dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.15
seperangkat tatanan dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan al-
Qur‟an. Adapun metodologi tafsir adalah analisis ilmiah tentang metode-metode
menafsirkan al-Qur‟an.11
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa metode tafsir adalah cara
yang ditempuh penafsir dalam menafsirkan al-Qur‟an berdasarkan aturan dan
tatanan yang konsisten dari awal hingga akhir.
Studi tentang metodologi tafsir masih terbilang baru dalam khazanah
intelektual umat Islam. Ilmu metode dijadikan objek kajian tersendiri jauh setelah
tafsir berkembang pesat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika metodologi
tafsir tertinggal jauh dari kajian tafsir itu sendiri.12 Dalam perkembangan
metodologi selanjutnya, Ulama‟-ulama‟ mengklasifikasikan metode-metode
penafsiran al-Qur‟an menjadi empat:
1. Metode Taḥlīliīy

11 Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Angkasa, 2005), h. 87
12 Ali Ḥasan al-„Ariḍ, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akrom (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1994), h.
5. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h 66
14
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),h.54
15 Ahmad Syukri Saleh.Metodologi Tafsir Al-quran Kotemporer dalam pandangan Fazlul Rahman(Jambi: Sulthan

Thaha Press, 2007) h.39

13
Metode tafsir Taḥlīliīy juga disebut metode analisis yaitu metode penafsiran
yang berusaha menerangkan arti ayat-ayat al-Quran dengan berbagai seginya,
berdasarkan urutan ayat dan surat dalam al-Qur‟an muṣḥaf Utsmani dengan
menonjolkan pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat dengan
ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadits-hadits Nabi Saw., yang ada kaitannya
denga ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta pendapatpara sahabat dan ulama-ulama
lainnya. 16
Dalam melakukan penafsiran, mufassir (penafsir) memberikan perhatian
sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya
dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat14.
Sehingga terlihat seperti pembahasan yang parsial, dari tiap-tiap ayat yang
ditafsirkan oleh para mufasir.
Langkah-Langkah Metode Taḥlīliīy
Dalam menafsirkan al-Qur‟an, mufassir biasanya melakukan sebagai berikut:
1) Menerangkan hubungan (munāsabah) baik antara satu ayat dengan ayat lain
maupun antara satu surah dengan surah lain.
2) Menjelaskan sebab-sebab turunya ayat (asbāb al- nuzūl).
3) Menganalisis mufradat (kosa kata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab.
Untuk menguatkan pendapatnya, terutama dalam menjelaskan mengenai bahasa ayat
bersangkutan, mufassir kadang kadang juga mengutip syair-syair yang berkembang
sebelum dan pada masanya.
4) Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
5) Menerangkan unsur-unsur fashāḥah, bayān dan i‟jāznya, bila dianggap perlu.
Khususnya, apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung keindahan balāgah.
6) Menjelaskan hukum yang bisa ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya
apabila ayat-ayat aḥkām, yaitu berhubungan dengan persoalan hukum.
7) Menerangkan makna dan maksud syara‟ yang terkandung dalam ayat bersangkutan.
Sebagai sandarannya, mufassir mengambil manfaat dari ayatayat lainnya, hadits Nabi
SAW, pendapat para sahabat dan tabi‟in, di samping ijtihad mufassir sendiri.
Apabila tafsir ini bercorak al- tafsīr al-„ilmi (penafsiran dengan ilmu pengetahuan),
atau al-tafsīr al- adābi al-ijtimā‟i mufassir biasanya mengutip pendapat para
ilmuwan sebelumnya, teori-teori ilmiah modern, dan lain sebagainya.16
Metode Taḥlīliīy kebanyakan dipergunakan para ulama masa-masa klasik
dan pertengahan. Di antara mereka, sebagian mengikuti pola pembahasan
secara panjang lebar (ithnab), sebagian mengikuti pola singkat (ijaz) dan sebagian

16
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur‟an, op. cit., h. 57
12M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, (Sleman: Teras, 2005), h. 37
13
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur‟an, (Bandung: Pustaka Setia,2004), h. 94

14
mengikuti pula secukupnya (musawah) mereka sama- sama menafsirkan al-Qur‟an
dengan metode Taḥlīliīy , namun dengan corak yang berbeda-beda.17
b. Contoh-contoh Kitab Tafsir
Di antara contoh-contoh kitab tafsir yang menggunakan metode Taḥlīliīy ialah:
1) Al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟an karangan Syaikh Imam al-Qurṭūbi
2) Jāmi‟ al-Bayān „an Takwīl Ayyi al-Qur‟an, karangan Ibn Jarīr al- Thabariy.
3) Tafsīr al-Qur‟an al-„Aẓīm, karangan al-Hāfidz Imad al-Din Abi al-Fida‟ Ismāil
bin Katsȋr al-Quraisyi al-Danasyqi.
4) Al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur‟an, karangan al-„Allamah al-Sayyid Muhammad
Husyan al- Thabaṭaba‟i.18
2. Metode Ijmālī
Metode Ijmālī dalah menafsirkan al-Qur‟an dengan cara menjelaskan ayat-ayat al-
Qur‟an dengan singkat dan global, yaitu penjelasannya tanpa menggunakan uraian
atau penjelasan yang panjang lebar, dan kadang menjelaskan kosa katanya saja.17
Menurut Asy-Syibarsyi, sebagaimana yang telah dikutip oleh Badri
Khaeruman, mendefinisikan bahwa metode tafsir ijmali adalah sebagai cara
menafsirkan al-Qur‟an dengan mengetengahkan beberapa persoalan, maksud dan
tujuan yang menjadi kandungan ayat-ayat al-Qur‟an.20 Dengan metode ini mufassir
tetap menempuh jalan sebagaimana metode Taḥlīliīy, yaitu terikat kepada susunan-
susunan yang ada di dalam muṣḥaf Ustmani. Hanya saja dalam metode ini mufassir
mengambil beberapa maksud dan tujuan dari beberapa ayat yang ada secara global.
Dengan metode ini mufassir menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur‟an secara garis
besar. Sistematika mengikuti urutan surah-surah al-Qur‟an dalam muṣḥaf Ustmani,
sehingga makna-makna dapat saling berhubungan. Dalam menyajikan makna-
makna ini mufassir menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-
Qur‟an sendiri dengan menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat
penghubung, sehingga memberi kemudahan kepada para pembaca untuk
memahaminya.22 Dengan kata lain makna yang diungkapkan itu biasanya
diletakkan di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui jumhur
ulama‟, dan mudah dipahami orang. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an
dengan metode ini, mufassir juga meneliti, mengkaji, dan menyajikan asbāb al-

17
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), h. 70
18Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 380
19
Mundzir Hitami, Pengantar Studi al-Qur‟an Teori dan pendekatan, (Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta, 2012), h. 46
20Badri Khaeruman, op. cit., h. 98
21
Ibid., h. 99
22
Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Ciputat: PT. Ciputat
Press, 2005), h.
23
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 185
24
Ali Ḥasan al-„Ariḍ, op. cit., h.74

15
nuzūl atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti
hadits-hadits yang berhubungan dengannya. 23

a. Contoh-contoh Kitab Tafsir


Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan Metode Ijmālī adalah :
1) Tafsīr al-Jalālain karya Jalal al-Din al-Suyuṭi dan Jalal al-Din al- Mahally
2) al-Tafsīr al-Mukhtaṣar karya Commite Ulama (Produk Majlis Tinggi
Urusan Ummat Islam)
3) ṣafwah al-Bayān li Ma‟aniy al-Qur‟an karya Husnain Muhammad Makhmut
4) Tafsīr al-Qur‟an karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh al-Fairuz Abady.24
3. Metode Muqāran
Metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang yang
mebahas suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau
antar ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-
pendapat para ulama‟ tafsir dengan menonojolkan segi perbedaan tertentu dari
obyek yang dibandingkan.25
1. Macam-macam Metode Muqāran. Dari pemaparan di atas, metode muqāran ini
menjadi tiga bagian yaitu:
a. Perbandingan ayat al-Qur‟an dengan ayat lain26 Yaitu ayat-ayat yang memiliki
persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda, atau
ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang
(diduga) sama. Pertentangan makna di antara ayat-ayat al-Qur‟an dibahas dalam ilm
al-nasikh wa al-mansukh.18
Dalam mengadakan perbandingan ayat dengan ayat yang berbeda
redaksi di atas ditempuh beberapa langkah: (1) menginventarisasi ayat-ayat al-Qur‟an
yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam
kasus berbeda; (2) mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan
perbedaan redaksi; (3) meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan
menghubungkannya dengan kasuskasus yang dibicarakan ayat
bersangkutan; dan (4) melakukan perbandingan.28 Perbedaan-perbedaan redaksi yang
menyebabkan adanya nuansa perbedaan makna seringkali disebabkan perbedaan
konteks pembicaraan ayat dan konteks turunnya ayat bersangkutan. Karena itu, „ilm
al- munasabah dan „ilm asbāb al-nuzūl sangat membantu melakukan al-tafsir al-
muqāran dalam hal perbedaan ayat tertentu dengan ayat lain. Namun, esensi
nilainya pada dasarnya tidak berbeda.
18Hamdani, Pengantar Studi al-Qur‟an, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), h. 137
26Mundzir Hitami, op. cit., h. 47
27Azyumardi Azra (ed.), op. cit., h. 186
28Ibid., h. 189
29
M. Quraish Shihab, et. al, op. cit., 188

16
b. Perbandingan ayat al-Qur‟an dengan Hadits30
Dalam melakukan perbandingan ayat al-Qur‟an dengan hadits yang terkesan
berbeda atau bertentangan ini, langkah pertama yang harus ditempuh adalah
menentukan nilai hadits yang akan diperbandingkan dengan ayat al-Qur‟an. Hadits
itu haruslah shahih. Hadits dhaif tidak diperbandingkan, karena disamping nilai
otentitasnya rendah, dia justru semakin bertolak.31 karena pertentangannya dengan
ayat al-Qur‟an. Setelah itu mufassir melakukan analisis terhadap latarbelakang
terjadinya perbedaan atau pertentangan antara keduanya.32
c. Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lain
Mufassir membandingkan penafsiran ulama‟ tafsir, baik ulama‟ salaf maupun
khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an, baik yang bersifat manqūl
(pengutipan) maupun yang bersifat ra‟yu (pemikiran).19 Dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur‟an tertentu ditemukan adanya perbedaan di antara ulama‟ tafsir.
Perbedaan itu terjadi karena perbedaan hasil ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan
dan sudut pandang masing-masing.35Sedangkan dalam hal perbedaan penafsiran
mufassir yang satu dengan yang lain, mufassir berusaha mencari, menggali,
menemukan dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila
mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi
masing-masing.
2. Contoh-contoh Kitab Tafsir
a. Durrat al-Tanzīl wa Qurrat al-Takwīl (Mutiara al-Qur‟an dan
Kesejukan al-Takwīl), karya al-Khātib al-Iskāfi.
b. Al-Burhān fī Tajwih Mutasyabih al-Qur‟an (Bukti Kebenaran dalam
Pengarahan Ayat-ayat Mutasyabih al-Qur‟an), karangan Tāj al-Qara‟ al-Kirmāni.37

4. Metode Mauḍū’i

Metode mauḍū‟i ialah metode yang membahas ayat-ayat al- Qur‟an sesuai
dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan
dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang
terkait dengannya, seperti asbāb al-nuzūl, kosakata, dan sebagainya. Semua
dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-

19Hamdani, op. cit., h. 138


31Azyumardi Azra (ed.), op. cit., h. 190
32Al-Ḥayy Al-Farmawy, op. cit., h. 31
33Ali Ḥasan al-„Ariḍ, op. cit., h. 75
34Azyumardi Azra (ed.), op. cit., h. 191
35Said Agil Husin al-Munawar, op. cit., h. 73
36
Ibid., h.191

17
fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal
dari al-Qur‟an, hadis, maupun pemikiran rasional.20
Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur‟an tidak dilakukan ayat demi ayat,
melainkan mengkaji al-Qur‟an dengan mengambil sebuah tema khusus dari
berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-
Qur‟an.39 Prinsip utama dari metode tematik adalah mengangkat isu-isu doctrinal
kehidupan, isu sosial ataupun tentang kosmos untuk dikaji dengan teori al- Qur‟an,
sebagai upaya menemukan jawaban dari al-Qur‟an terkait tema tersebut.40
Dari pengertian di atas, akan timbul dua pemahaman terkait metode mauḍū‟i.
Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur‟an dengan menjelaskan
tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surah
tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut. sehingga satu
surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan.41
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang
dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur‟an dan sedapat
mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian
menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur‟an secara utuh tentang
masalah yang dibahas itu.42
Menurut al-Farmawiy metode mauḍū‟i ada dua bentuk penyajian:
a) Mauḍū‟i Surat yaitu menjelaskan suatu surah secara keseluruhan dengan
menjelaskan isi kandungan surah tersebut, baik yang bersifat umum atau khusus dan
menjelaskan keterkaitan antara tema yang satu dengan yang lainnya, sehingga surah
itu nampak merupakan suatu pembahasan yang sangat kokoh dan cermat.21
1. Langkah-langkah Mauḍū‟i Surat
Dalam hal langkah-langkah yang ditempuh untuk menentukan metode
mauḍū‟i surat, Muṣṭafā Muslim mengklasifikasikan menjadi empat langkah yaitu:
a) Pengenalan nama surat
b) Deskripsi tujuan surat dalam al-Qur‟an
c) Pembagian surat ke dalam beberapa bagian
d) Penyatuan tema-tema ke dalam tema utama.44
2. Contoh kitab tafsir dengan metode ini adalah:

20Muhammad Amin Suma, op. cit., h. 390


38Al-Ḥayy Al-Farmawy, op. cit., h. 52
39Muḥammad Baqir aṣ-Ṣadr, op. cit., h. 14
40
Ibid., h. 17
21Tim Sembilan, Tafsir Mauḍū‟i al-Muntaha, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), Jilid I, h. 20
42
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 74
43Al-Ḥayy Al-Farmawy, op. cit., h. 35
44Muṣṭafā Muslim, Mabāḥiṡ fī al-Tafsīr al-Mauḍu‟ī, (Damaskus: Dār al-Qalam, 2000), h.
28-29

18
a) karya Syaikh Mahmud Syaltut (Tafsīr al-Qur‟an al-Karīm)
b) karya Muhammad al-Ghazali (Naḥwa Tafsīr al-Mauḍū‟i li suwar al-quran
Al-karim
c) Karya al-Husaini Abu Farhah (al-Futūḥāt al-Rabbāniyyah fī al-Tafsīr al- Mauḍū‟i
li al-āyāt al-Qur‟āniyyah).45
b. Mauḍū‟i atau Tematik
Metode mauḍū‟i atau tematik, bentuk kedua ini menghimpun pesan- pesan
al-Qur‟an yang terdapat tidak hanya pada satu surat saja.46 Tafsir dengan metode
mauḍū‟i ialah menjelaskan konsep al-Qur‟an tentang suatu masalah/tema tertentu
dengan cara menghimpun seluruh ayat al- Qur‟an yang membicarakan tema
tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut di kaji secara komprehensif,
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbāb al-nuzūl-
nya, munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para mufassir tentangr makna
masing-masing ayat secara par sial, serta aspek-aspek lainnya yang dipandang
penting. Ayat-ayat tersebut dipandang sebagai satu kesatuan yang integral
membicarakan suatu tema (mauḍū‟i) tertentu didukung oleh berbagai fakta dan data,
dikaji secara ilmiah dan rasioanal.22
1. Langkah-langkah Mauḍū‟i atau Tematik
Langkah-langkah yang ditempuh dalam metode yang kedua ini adalah:
a) Memilih atau menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara tematik
b) Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang
ditetapkan, ayat makiyyah dan madaniyyah.
c) Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya,
disertai pengetahuan mengenai latarbelakang turunnya ayat atau asbāb al-nuzūl.
d) Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing
suratnya.
e) Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna,
dan utuh (outline).
f) Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila dipandang perlu, sehingga
pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
g) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara
menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan
antara pengertian yang „ām dan khāṣ, antara yang muṭlaq dan yang muqayyad,
mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat
yang nāsikh dan mansūkh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu

22Ahmad Syukri Saleh, op. cit., h. 53


46
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1997), h. xiii

19
muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian
ayat kepada makna-maknab yang sebenarnya tidak tepat.48
2. Contoh-contoh Kitab Tafsir
Diantara contoh-contoh kitab tafsir dengan metode mauḍū‟i atau tematik
adalah:
a) Karya Syeikh Mahmud Syaltut (‫)باتك هم ىده نأرقال‬
b) Karya Ustadz Abbas Mahmud al-„Aqqad (‫)جأرملا يف نأرقال‬
c) Karya Ustadz Abu al-A‟la al-Maududy (‫)اترلا يف نأرقال‬
d) Karya Ustadz Muhammad Abu zahrah (‫)جديقعلا يف نأرقال‬
49
e) Karya Dr. Ahmad kamal Mahdy (‫)خايآ مسقال يف نأرقال‬

 Corak Tafsir
Dalam bahasa Indonesia kosakata corak menunjuk berbagai konotasi
antara lain bunga atau gambar-gambar pada kain, anyaman dan sebagainya. Misalnya
dikatakan corak kain itu kurang bagus; dapat berkonotasi berjenis-jenis warna pada
warna dasar. Misalnya dikatakan dasarnya putih, coraknya merah, dan dapat pula
berkonotasi kata sifat yang berarti paham, macam atay bentuk tertentu misalnya
adalah corak politiknya tidak tegas. Dalam kamus Indonesia Arab, kosakata corak
diartikan dengan ‫( نول‬warna) dan ‫( لكش‬bentuk).23
Menurut Nashruddin Baidan corak tafsir adalah suatu warna, arah, atau
kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya
tafsir.52 Dari sini disimpulkan bahwa corak tafsir adalah ragam, jenis dan
kekhasan suatu tafsir. Dalam pengertian yang lebih luas adalah nuansa atau sifat
khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi
intelektual seseorang mufassir, ketika menjelaskan maksud-maksud dari al-Qur‟an.
Penggolongan suatu tafsir pada suatu corak tertentu bukan berarti hanya
memiliki satu ciri khas saja, melainkan setiap mufassir menulis sebuah kitab
tafsir sebenarnya telah banyak menggunakan corak dalam hasil karyanya, namun
tetap saja ada corak yang dominan dari kitab tafsirnya, sehingga corak yang
dominan inilah yang menjadi dasar penggolongan tafsir tersebut.
Para ulama‟ tafsir mengklasifikasikan beberapa corak penafsiran al-Qur‟an
antara lain adalah:
1. Corak Sufi. Penafsiran yang dilakukan oleh para sufi pada umumnya
diungkapkan dengan bahasa misktik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat

23Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indoneisa, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h. 220
51Rusyadi, Kamus Indonesia-Arab, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), h. 181
52Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, op.cit., h. 388
53
Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, op.
cit., h. 71

20
dipahami kecuali orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk menghayati
ajaran taṣawuf.24 Corak ini ada dua macam
a. Taṣawuf Teoritis. Aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-Qur‟an
berdasarkan teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran-ajaran orang-orang sufi.
Penafsir berusaha maksimal untuk menemukan ayat-ayat al-Qur‟an tersebut, faktor-
faktor yang mendukung teori, sehingga tampak berlebihan dan keluar dari
dhahir yang dimaksudkan syara‟ dan didukung oleh kajian bahasa. Penafsiran
demikian dan di tolak dan sangat sedikit jumlahnya. Karya-karya corak ini terdapat
pada ayat-ayat al-Qur‟an secara acak yang dinisbatkan kepada Ibnu Arabi dalam
kitab al-futuhat makkiyah dan al-Fushuh.54
b. Taṣawuf Praktis. Yang dimaksud dengan taṣawuf praktis adalah tasawuf yang
mempraktekan gaya hidup sengsara, zuhud dan meleburkan diri dalam ketaatan
kepada Allah. Para tokoh aliran ini menamakan tafsir mereka dengan al-Tafsir al-
Isyari yaitu menta‟wilkan ayat-ayat, berbeda dengan arti dhahir-nya berdasar
isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh para pemimpin suluk,
namun tetap dapat dikompromikan dengan arti dhahir yang dimaksudkan.
Di antara kitab tafsir tasawuf praktis ini adalah Tafsīr al-Qur‟anul Karīm oleh
Tusturi dan Haqāiq al-Tafsīr oleh al-Sulami.55
1. Corak Falsafi
Tafsir falsafi adalah cara penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an dengan menggunakan
teori-teori filsafat. Penafsiran ini berupaya mengompromikan atau mencari titik
temu antara filsafat dan agama serta berusaha menyingkirkan segala pertentangan di
antara keduanya. Di antara ulama yang gigih menolak para filosof adalah Hujjah al-
Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab
lain untuk menolak paham mereka. Tokoh yang juga menolask filsafat adalah Imam
Fakhr Ad-Din Ar-Razi, yang menulis sebuah kitab tafsir untuk menolak paham
mereka kemudian diberi judul Mafātiḥ al-Gaib. Kedua, kelompok yang menerima
filsafat bahkan mengaguminya. Menurut mereka, selama filsafat tidak bertentangan
dengan agama Islam, maka tidak ada larangan untuk menerimanya. ulama yang
membela pemikiran filsafat adalah adalah Ibn Rusyd yang menulis
pembelaanya terhadap filsafat dalam bukunya at-Tahafut at-Tahafut, sebagai
sanggahan terhadap karya Imam al-Ghazali yang berjudul Taḥāfut al-
Falāsifah.25

56. Muhammad Nor Ichwan, Tafsir „Ilmiy Memahami al-Qur‟an Melalui Pendekatan Sains
Modern, (Jogja: Menara Kudus, 2004), h. 115- 116
57Ali Ḥasan al-„Ariḍ, op. cit., h. 59
58
Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, op.
cit., h. 71

21
2. Corak Fiqih atau Hukum
Akibat perkembangannya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih,
yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan
penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.57 Salah satu kitab tafsir
fiqhi adalah kitab Ahkām al-Qur‟an karangan al-Jasshash.58
3. Corak Sastra
Corak Tafsir Sastra adalah tafsir yang didalamnya menggunakan kaidah-
kaidah linguistik. Corak ini timbul akibat timbul akibat banyaknya orang non-
Arab yang memeluk Agama Islam serta akibat kelemahan orang Arab sendiri
dibidang sastra yang membutuhkan penjelasan terhadap artikandungan Al-Qur‟an
dibidang ini. Corak tafsir ini pada masa klasik diwakili oleh Zamakhsyari
dengan Tafsirnya al-Kasyāf.59
4. Corak „Ilmiy
Tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-
ilmu pengetahuan umum dari temuan-temuan ilmiah yang didasarkan pada al-
Qur‟an. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa al-Qur‟an memuat seluruh ilmu
pengetahuan secara global.60 Salah satu contoh kitab tafsir yang bercorak Ilmiy
adalah kitab Tafsīr al-Jawāhir, karya Tanṭawi Jauhari.61

5. Corak al-Adāb al-Ijtimā‟i


Tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir becorak al-Adāb al-
Ijtimā‟i ini termasuk Tafsīr bi al-Ra‟yi. Namun ada juga sebagian ulama yang
mengategorikannya sebagai tafsir campuran karena presentase atsar dan akad sebagai
sumber penafsiran dilihatnya seimbang. Salah contoh tafsir yang bercorak
demikian ini adalah Tafsīr al-Manar.

59M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, op. cit., h. 72


60
Amin al-Khuli dan Nashr Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, Terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta: Adab
Press, 2004), h. 28
61
Ibid., h. 29

22
Kesimpulan

‘Ulum al-Qur’an adalah beberapa pembahasan yang terkait dengan Al-


Qur’an dari segi : tempat, waktu dan sebab turunya wahyu, lafal dan uslub
bahasanya, kesusasteraan (Balaghah)-nya, penulisannya, pengumpulannya,
bacaannya, naskh-mansukhnya, tafsirnya dan hal-hal lain yang terkait dengan Al-
Qur’an. ‘Ulum al-Qur’an yang terdiri dari berbagai macam dan cabangnya tidak lahir
sekaligus, melainkan mellui proses perkembangan yang dapat dibagi ke dalam fase-
fase : (1) fase periwayatan, mulai zaman Rasulullah saw hingga awal abad ke-2 (2)
fase lahirnya cabang-cabang ulum quran dan kodifikasinya, mulai abad ke 2, hingga
abad ke-5 dan (3) fase kondifikasi ‘ulum al-Qur’an sebagai suatu ilmu yang
mencakup berbagai ilmu Al-Qur’an, yaitu sejak abad ke-5 hingga saat ini. Tafsir
adalah sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan yang dikutip oleh Manna‟ al-Qaṭān
ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur‟an, tentang
petunjuk-petunjuk, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika
tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal yang
melengkapinya.
Metode tafsir adalah cara yang ditempuh penafsir dalam menafsirkan al-
Qur‟an berdasarkan aturan dan tatanan yang konsisten dari awal hingga akhir.
Ulama‟-ulama‟ mengklasifikasikan metode-metode penafsiran al-Qur‟an menjadi
empat: metode tahliliy(tahlili), metode al-Ijmali (global), metode al-Muqaran
(komparatif) dan metode al-Maudui (tematis).

23
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Nor Ichwan, Tafsir „Ilmiy Memahami al-Qur‟an Melalui Pendekatan


Sains Modern, (Jogja: Menara Kudus, 2004)
Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
Shihab, H.M Quraish Membumikan al-Qur‟an,Mizan,Bandung 1992
Amin al-Khuli dan Nashr Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, Terj. Khairan
Nahdiyyin, (Yogyakarta: Adab Press, 2004)
Ahmad Syukri Saleh. Metodologi Tafsir alquran kotemporer dalam pandangan
Fazlur Rahman (Jambi: Suthan Thaha Press,2007)
Syalabi, Ahmad, sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1979.
Amin al-Khuli dan Nashr Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, Terj. Khairan
Nahdiyyin, (Yogyakarta: Adab Press, 2004)
Muhammad Nor Ichwan, Tafsir „Ilmiy Memahami al-Qur‟an Melalui Pendekatan
Sains Modern, (Jogja: Menara Kudus, 2004)

24

Anda mungkin juga menyukai