Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Lahan (land) atau sumberdaya lahan (land resources) menurut Sitorus


(2000) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan
vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap
penggunaan tanah. Dalam hal ini tanah juga mengandung pengertian ruang atau
tempat. Sumberdaya tanah merupakan sumberdaya alam yang sangat penting bagi
kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya alam diperlukan dalam setiap
kehidupan. Menurut Mintzberg (1997), lahan adalah hamparan di muka bumi
berupa suatu tembereng, (segment) sistem terestik yang merupakan suatu
perpaduan sejumlah sumberdaya alam dan binaan. Lahan juga merupakan wahana
sejumlah ekosistem. Lahan merupakan suatu wilayah (regional), yaitu suautu
satuan ruangan berupa suatu lingkungan hunian masyarakat manusia dan
masyarakat hayati yang lain. Menurut pengertian ekologi, lahan adalah habitat.
Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (interfensi)
manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik
material maupun spiritual (Sitorus, 2000). Dalam hal ini dapat berupa penggunaan
lahan utama atau penggunaan pertama dan kedua (apabila merupakan penggunaan
ganda) dari sebidang tanah, seperti tanah pertanian, tanah hutan, padang rumput
dan sebagainya. Jadi lebih merupakan tingkat pemanfaatan oleh masyarakat.
Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang
diberikan pada sebidang tanah untuk menjaga dan mempertinggi produksi lahan
tersebut. Lanskap adalah gabungan fitur-fitur buatan dan alamiah yang
membentuk karakteristik permukaan tanah, yang meliputi aspek spasial, tekstural,
komposisional dan dinamika tanah (Marsh, 1983). Irwan (1992), menyatakan
lanskap merupakan wajah dan karakter lahan atau panorama dengan segala
kehidupan apa saja yang ada didalamnya, baik yang bersifat alami, non alami atau
gabungan keduanya yang merupakan bagian total lingkungan hidup manusia
beserta makhluk hidup lainnya.
Motloch (1993), menyatakan lanskap dalam definisi kontemporernya
meliputi daerah yang masih liar dan daerah yang terhuni. Daerah yang masih liar
adalah lanskap alami dan daerah yang berpenghuni adalah lanskap buatan.
Lanskap juga berarti suatu keadaan pada suatu masa yang merupakan bagian
ekspresi dan pengaruh dari unsur-unsur ekologi, teknologi dan budaya. Pada lahan
pasca tambang terjadi perubahan kemampuan dari muka bumi, sehingga secara
estetika tanah pasca tambang tidak baik, baik dari segi kualitas maupun
kuantitasnya. Untuk itu perlu dilakukan sesuatu upaya reklamasi lahan agar dapat
meningkatkan kualitas lingkungan secara keseluruhan dan tanah dapat
bermanfaatkan kembali.
2

B.Rumusan Masalah

1) Bagaimanakah potensi lahan kering pada dataran tinggi ?


2) Kendala dilahan kering pada dataran tinggi ?
3) cara untuk mengatasi kendala tersebut ?

C.Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari makalah ini yaitu untuk mengetahui potensi dan kendala pada
lahan kering di dataran tinggi serta mengetahui cara/metode untuk mengatasi
kendala tersebut.
Kegunaan dari makalah ini sebagai bahan informasi bagi mahasiswa dan
petani potensi dan kendala pada lahan kering di dataran tinggi dan pendekatan
yang di gunakan untuk mengatasi masalah pada lahan kering di dataran tinggi.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lahan Kering

Lahan kering dapat didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak


pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun
atau sepanjang tahun (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
2005). Berdasarkan penggunaan lahan untuk pertanian, Badan Pusat Statistik
(BPS) mengelompokkan luas lahan kering menjadi lahan tegal atau kebun, ladang
atau huma, lahan sementara tidak diusahakan, dan rawa yang tidak ditanami.
Kadekoh (2007) mendefinisikan lahan kering sebagai lahan dimana pemenuhan
kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah
tergenang sepanjang tahun. Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering
umumnya selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan
sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai
(DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering
(kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air.

B. Jenis Lahan Kering

Berdasarkan ketinggian tempat (elevasi) dan topografi, lahan kering


dibedakan menjadi dataran rendah (elevasi < 700 m dpl.) dan dataran tinggi
(elevasi > 700 m dpl.), dengan luasan masing-masing sebesar 87,3 juta Ha dan
56,7 juta Ha. Lahan kering dataran rendah pada umumnya datar berombak,
berombak bergelombang, dan berbukit, sedangkan lahan kering dataran tinggi
umumnya bergelombang, berbukit, sampai bergunung (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Berdasarkan relief atau bentuk
wilayah, lahan kering dibedakan menjadi lahan datar berombak dengan lereng 3-8
10 persen, berombak bergelombang dengan lereng 8-15 persen, berbukit dengan
lereng 15-30 persen, dan bergunung dengan lereng 30 persen. Berdasarkan
kondisi iklim, lahan kering dibedakan menjadi lahan iklim basah dan iklim kering.
Lahan kering dataran rendah berada pada kondisi iklim basah pada ketinggian 700
m dpl dengan curah hujan tinggi (> 1500 mm/th) dengan masa hujan relatif
panjang. Sedangkan iklim kering mempunyai curah hujan relatif rendah (< 1500
4

mm/th) dengan masa curah yang pendek (3,5 bulan) (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005).
5

BAB III

PEMBAHASAN

A. Potensi Lahan Kering Pada Dataran Tinggi


Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai
potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran
dan buah- buahan) maupun tanaman tahunan dan peternakan. Berdasarkan Atlas
Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Pusat Penelitian dan
Pengem- bangan Tanah dan Agroklimat 2001), Indonesia memiliki daratan sekitar
188,20 juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan 40,20 juta ha lahan
basah (22%). Tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama karena
adanya faktor pembatas tanah seperti lereng yang sangat curam atau solum tanah
dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan. Dari total luas 148 juta ha, lahan
kering yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%),
sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan sisanya di
dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar bergelombang (lereng <
15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha. Lahan
dengan lereng 15-30% lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di
dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta
ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha.

B. Kendala Lahan Kering Pada Dataran Tinggi


Permasalahan dalam pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap
wilayah, baik aspek teknis maupun sosial-ekonomis. Namun, dengan strategi dan
teknologi yang tepat, berbagai masalah tersebut dapat diatasi.

Kesuburan tanah
Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang
rendah, ter- utama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah
menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk
dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman
pangan semusim. Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di
daerah tropis cepat menurun, mencapai 3060% dalam waktu 10 tahun (Brown
6

dan Lugo 1990 dalam Suriadikarta et al. 2002). Bahan organik memiliki peran
penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meski- pun
kontribusi unsur hara dari bahan or- ganik tanah relatif rendah, peranannya cukup
penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur
esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg dan Si (Suriadikarta et al. 2002).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tanah masam, yang
dicirikan oleh pH rendah (< 5,50), kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan
basa-basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati
batas me- racuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan
Sudjadi 1993; Soepardi 2001). Dari luas total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta
ha, 102,80 juta ha (69,46%) merupakan tanah masam (Mulyani et al. 2004). Tanah
tersebut didominasi oleh Inceptisols, Ultisols dan Oxisols dan sebagian besar
terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Lahan kering masam di wilayah
berbukit dan bergunung cukup luas, mencapai 53,50 juta ha atau 52% dari total
tanah masam di Indonesia. Tanah masam tersebut umumnya kurang potensial
untuk pertanian tanaman pangan karena tingkat kesuburannya rendah, lereng
curam dan solum dangkal.

Topografi
Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (>
30%) dan berbukit (1530%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90
juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam sangat peka
terhadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan semusim dan
curah hujannya tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan,
namun ke- nyataannya banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan
perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar bergelombang dengan lereng <
15%. Lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan mencakup 19,60
juta ha (Badan Pusat Statistik 2005), terutama untuk tanaman kelapa sawit,
kelapa dan karet.

Kepemilikan lahan

Tantangan yang lebih berat dan sukar di- atasi adalah permasalahan sosial
ekonomi, antara lain pemilikan lahan oleh petani cenderung menyempit. Data
7

sensus pertanian tahun 1993 dan 2003, serta hasil penelitian Puslitbangtanak
pada tahun 2002/2003 (Abdurachman et al. 2005) menunjukkan luas lahan
pertanian di Jawa cenderung menurun, sedangkan di luar Jawa sedikit meningkat.
Di lain pihak jumlah rumah tangga petani (RPT) meningkat secara signifikan
dari 22,40 juta menjadi 27,40 juta dalam sepuluh tahun terakhir. Luas
penguasaan lahan rata-rata nasional menurun dari 0,86 ha menjadi 0,73 ha per
RTP. Sejalan dengan itu, jumlah petani gurem (luas lahan garapan < 0,50 ha)
meningkat dari 10,80 juta RTP pada tahun 1993 menjadi 13,70 juta pada tahun 2003,
atau rata-rata meningkat 2,40%/tahun. Bila luas lahan pertanian tidak bertambah
secara signifikan seiring dengan laju per- tambahan penduduk maka jumlah petani
gurem akan makin bertambah dan peluang perambahan hutan meningkat.

C. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering


Dari segi luas, potensi lahan kering di Indonesia tergolong tinggi, namun
terdapat permasalahan biofisik dan sosial ekonomi yang harus diatasi untuk me-
ningkatkan produktivitasnya secara berkelanjutan. Beberapa tindakan untuk
menanggulangi faktor pembatas biofisik lahan meliputi pengelolaan kesuburan
tanah, konservasi dan rehabilitasi tanah, serta pengelolaan sumber daya air secara
efisien.

Pengelolaan Kesuburan Tanah

Pengelolaan kesuburan tanah tidak terbatas pada peningkatan kesuburan


kimiawi, tetapi juga kesuburan fisik dan biologi tanah. Hal ini berarti bahwa
pengelolaan kesuburan tanah tidak cukup dilakukan hanya dengan memberikan
pupuk saja, tetapi juga perlu disertai dengan pemeliharaan sifat fisik tanah
sehingga tersedia lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, kehidupan
organisme tanah, dan untuk mendukung berbagai proses penting di dalam tanah.
Salah satu teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang penting adalah pe-
mupukan berimbang, yang mampu me- mantapkan produktivitas tanah pada level
yang tinggi. Hasil penelitian Santoso et al. (1995) menunjukkan pentingnya
pemupukan berimbang dan pemantauan status hara tanah secara berkala. Peng-
gunaan pupuk anorganik yang tidak tepat, misalnya takaran tidak seimbang, serta
waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat mengakibatkan ke-
8

hilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun (Santoso dan Sofyan
2005). Hara yang tidak termanfaatkan tanaman juga dapat berubah menjadi
bahan pencemar. Praktek pemakaian pupuk oleh petani pada lahan-lahan mine-
ral masam, meskipun pada saat ini masih dilakukan dengan takaran rendah, dalam
jangka panjang dapat menimbulkan ke- tidakseimbangan kandungan hara tanah
sehingga menurunkan produktivitas tanaman.

Penerapan teknologi pemupukan organik juga sangat penting dalam pe-


ngelolaan kesuburan tanah. Pupuk orga- nik dapat bersumber dari sisa panen,
pupuk kandang, kompos atau sumber bahan organik lainnya. Selain menyum-
bang hara yang tidak terdapat dalam pupuk anorganik, seperti unsur hara mikro,
pupuk organik juga penting untuk mem- perbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Lahan
kering akan mampu menyediakan air dan hara yang cukup bagi tanaman bila
struktur tanahnya baik sehingga men- dukung peningkatan efisiensi pemupukan.
Jenis pupuk lain yang mulai ber- kembang pesat adalah pupuk hayati
(biofertilizer) seperti pupuk mikroba pelarut fosfat, pupuk mikroba pemacu
tumbuh dan pengendali hama, dan mikro- flora tanah multiguna. Pupuk hayati selain
mampu meningkatkan ketersediaan hara, juga bermanfaat untuk: 1) melindungi akar
dari gangguan hama penyakit, 2) men- stimulasi sistem perakaran agar ber-
kembang sempurna dan memperpanjang usia akar, 3) memacu mitosis jaringan
meristem pada titik tumbuh pucuk, kuncup bunga, dan stolon, 4) penawar racun be-
berapa logam berat, 5) metabolit pengatur tubuh, dan 6) bioaktivator perombak
bahan organik.
Di samping pemupukan, pengapuran juga penting untuk meningkatkan produk-
tivitas tanah masam, antara lain untuk mengurangi keracunan aluminium (Al).
Cara untuk menentukan takaran kapur yang perlu diberikan adalah dengan me-
nentukan sensitivitas tanaman dan kemudian mengukur kejenuhan Al dalam
tanah dengan analisis tanah (Dierolf dalam Santoso dan Sofyan 2005).
Konservasi Tanah dan Rehabilitasi Lahan

Erosi merupakan salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan


kering, terutama yang dimanfaatkan untuk usaha tani tanaman semusim seperti
tanaman pangan (Abdurachman dan Sutono 2005; Kurnia et al. 2005). Hasil
9

penelitian me- nunjukkan budi daya tanaman pangan semusim tanpa disertai
konservasi tanah menyebabkan erosi berkisar antara 46351 t/ha/tahun (Sukmana
1994; 1995).
Erosi bukan hanya mengangkut material tanah, tetapi juga hara dan
bahan organik, baik yang terkandung di dalam tanah maupun yang berupa input
pertani- an. Erosi juga merusak sifat fisik tanah. Oleh karena itu, penerapan teknik
konser- vasi merupakan salah satu prasyarat keberlanjutan usaha tani pada lahan
ke- ring. Target yang harus dicapai adalah menekan erosi sampai di bawah batas
toleransi, dengan kisaran antara 1,1013,50 t/ha/tahun, bergantung pada sifat tanah
dan substratanya (Thompson dalam Arsyad 2000). Untuk menekan erosi sam-
pai di bawah ambang batas toleransinya, beberapa jenis teknik konservasi dapat
diterapkan dengan memperhatikan per- syaratan teknis (Agus et al. 1999).
Teras bangku merupakan teknik konservasi yang banyak diterapkan di Jawa
dan Bali. Teknik ini telah dikembangkan secara luas sejak tahun 1975 melalui inpres
penghijauan (Siswomartono et al. 1990). Teras bangku cukup disukai petani, dan
juga efektif mencegah erosi dan aliran permukaan (Abdurachman dan Sutono
2005). Beberapa teknik konservasi lain dapat dijadikan alternatif, seperti teras
gulud untuk tanah yang dangkal (< 40 cm), rorak atau teknik konservasi vegetatif
seperti alley cropping dan strip rumput. Selain murah, teknik konservasi vegetatif
memiliki keunggulan lain, yaitu dapat ber- fungsi sebagai sumber pakan dan pupuk
hijau atau bahan mulsa, bergantung pada jenis tanaman yang digunakan. Dalam
prakteknya, penerapan teknik konservasi mekanik sering dikombinasikan dengan
teknik vegetatif, karena efektif dalam mengendalikan erosi (Dariah et al. 2004;
Santoso et al. 2004) dan lebih cepat diadopsi petani.
Pengaturan pola tanam dengan mengusahakan permukaan lahan selalu
tertutup oleh vegetasi dan/atau sisa-sisa tanaman atau serasah, juga berperan pen-
ting dalam konservasi tanah. Pengaturan proporsi tanaman semusim dan tahunan
pada lahan kering juga penting; makin curam lereng sebaiknya makin tinggi
proporsi tanaman tahunan. Pengaturan jalur penanaman atau bedengan yang
searah kontur juga berkontribusi dalam mencegah erosi.

Pengolahan tanah secara intensif merupakan penyebab penurunan produk


10

tivitas lahan kering. Hasil penelitian me- nunjukkan bahwa pengolahan tanah yang
berlebihan dapat merusak struktur tanah (Larson dan Osborne 1982; Suwardjo et
al. 1989) dan menyebabkan kekahatan bahan organik tanah (Rachman et al.
2004). Olah tanah konservasi (OTK) me- rupakan alternatif penyiapan lahan yang
dapat mempertahankan produktivitas lahan tetap tinggi (Brown et al. 1991;
Wagger dan Denton 1991). OTK dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran atau
pembalikan tanah, mengintensifkan peng- gunaan sisa tanaman atau bahan lainnya
sebagai mulsa, kadang-kadang (namun tidak dianjurkan) disertai penggunaan
herbisida untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu lainnya.
Rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi dapat mendukung optimalisasi
lahan kering, antara lain dengan menanam legum penutup tanah atau tanaman
penghasil bahan organik lainnya, khususnya yang bersifat in situ seperti alley
cropping dan strip cropping. Penggunaan bahan pembenah tanah baik organik
maupun mineral juga dapat merehabilitasi lahan terdegradasi.

D. STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KERING

Pertanian lahan kering tidak memerlukan banyak air, seperti halnya budi
daya padi sawah, sementara ketersediaan lahan kering masih luas. Selain itu,
teknologi pengelolaan lahan kering cukup banyak tersedia. Namun, pemanfaatan
kedua komponen tersebut dan pelaksanaannya di lapangan memerlukan
perencanaan dan strategi yang tepat.
Identifikasi Lahan yang Sesuai

Cara yang dapat digunakan untuk meng- identifikasi lahan yang sesuai
untuk per- tanian, terutama lahan alang-alang dan semak belukar adalah dengan
mengguna- kan peta penggunaan lahan skala 1:250.000 yang
ditumpangtepatkan dengan peta arahan tata ruang pertanian. Dengan cara ini,
diperoleh data tentang lahan kering cadangan seluas 22,39 juta ha, yang terdiri
atas 7,08 juta ha sesuai untuk tanaman pangan semusim dan 15,31 juta ha untuk
tanaman tahunan.
Untuk memperoleh data yang lebih tepat, harus digunakan peta tanah atau peta
kesesuaian dan peta penggunaan lahan dengan skala yang lebih besar, misalnya
1:50.000 atau lebih baik lagi skala 1:25.000. Selain itu, data biofisik lahan perlu
11

ditunjang dengan informasi sosial- ekonomi, terutama status kepemilikan lahan,


sehingga pengembangan pertanian tidak terbentur pada permasalahan non- teknis,
yang dapat menggagalkan pen dayagunaan lahan kering yang telah
direncanakan.
Seleksi Teknologi Tepat Guna

Teknologi pengelolaan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan telah


tersedia, baik teknologi konservasi tanah, pening- katan kesuburan tanah,
pengelolaan bahan organik tanah, dan pengelolaan air. Dari sekumpulan teknologi
tersebut, perlu diseleksi teknologi yang tepat guna, sesuai dengan kondisi lahan
(tanah, air, dan iklim) dan petani. Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih dulu
karakteristik lahan dan kondisi petani agar teknologi yang terpilih betul-betul
efektif dan dapat di- adopsi petani.
Karakteristik lahan dapat diketahui melalui pemetaan skala detail
(1:50.000 atau 1:25.000), atau lebih detail, skala 1:10.000 atau 1:5.000. Dengan
menggunakan peta dengan skala sangat detail, pemilihan komoditas dan
teknologi dapat dilakukan dengan lebih tepat. Aspek sosial-ekonomi petani
dapat diketahui dengan melaksanakan survei lapangan, misalnya dengan
menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA).
Diseminasi Teknologi

Diseminasi dan adopsi teknologi pada umumnya berjalan lambat,


termasuk teknologi pengelolaan lahan (tanah, air dan iklim). Teknologi tersebut
disebarkan melalui seminar, simposium, jurnal serta media cetak dan elektronik.
Namun akses penyuluh apalagi petani ke media tersebut relatif terbatas, sehingga
cara dan media penyampaian tersebut kurang efektif. Oleh karena itu, diperlukan
metode diseminasi secara langsung kepada petani, yang lebih mendekatkan sumber
teknologi dengan petani sebagai calon pengguna teknologi.
Salah satu terobosan dalam diseminasi teknologi pertanian adalah melalui
Prima Tani (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2006), yang bertujuan
untuk mempercepat diseminasi dan adopsi teknologi inovatif, terutama yang
dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Melalui program ini, pertanian lahan kering,
termasuk pengembangan budidaya padi gogo, palawija dan sebagainya, misalnya
dengan introduksi benih unggul, pe- mupukan, dan rotasi tanaman, dapat
12

berkembang lebih cepat dan mampu meningkatkan produksi bahan pangan


nasional secara signifikan.

Peningkatan Penelitian Pertanian Lahan Kering

Penelitian padi saat ini lebih terfokus pada padi sawah, yang telah
menghasilkan berbagai varietas unggul dan teknologi budidaya seperti
pengendalian hama/ penyakit, pemupukan, dan pengairan. Penelitian dan
pengembangan padi gogo jauh tertinggal. Sejalan dengan itu, minat dan upaya
petani untuk mengembangkan padi gogo juga relatif rendah, tercermin dari luas
pertanaman setiap tahun yang jauh lebih rendah dari luas lahan sawah. Ke depan,
penelitian dan pengembangan pertanian lahan kering perlu mendapat perhatian
yang lebih besar, ter- masuk pembiayaannya. Akan lebih baik bila penelitian
diarahkan pada teknologi pengelolaan padi gogo dan palawija sebagai bagian
dari sistem usaha tani ( farming system) yang disesuaikan dengan kondisi
spesifik lokasi. Penelitian hendaknya dilaksanakan secara kompre- hensif, dalam
arti peneliti tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi dalam suatu tim dari berbagai
disiplin ilmu, sehingga dapat menghasilkan teknologi yang efektif dan
menguntungkan.
13

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan

1) Di wilayah dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan mencakup
2,10 juta ha. Namun, lahan tersebut sebagian besar telah digunakan untuk
berbagai kepentingan, baik pertanian maupun nonpertanian. Lahan kering yang
dapat digolongkan sebagai cadangan untuk tanaman pangan semusim tersedia
sekitar 7,08 juta ha, yang saat ini berupa lahan alang-alang atau semak-belukar
2) Upaya pengelolaan lahan kering untuk meningkatkan produksi bahan
pangan menghadapi permasalahan teknis dan sosial-ekonomis, antara lain lahan
berlereng terjal, kesuburan tanah rendah, kemasaman tinggi, kekurangan air irigasi,
dan status kepemilikan lahan tidak jelas. Berbagai masalah tersebut perlu diatasi
dengan menerapkan teknologi, kelembagaan dan kebijakan pemerintah yang tepat.
3) Berbagai teknologi pengelolaan lahan kering telah tersedia, mencakup
pengelolaan kesuburan tanah, pengendalian erosi (konservasi tanah), rehabilitasi
lahan, dan pengelolaan sumber daya air secara efisien. Yang menjadi masalah
adalah lemahnya diseminasi teknologi inovatif kepada para petani dan lambat
nya adopsi teknologi tersebut.

B. Saran
Adapun saran untuk makalah ini yaitu perlu dilakukan penelitian tentang
pengeloaan lahan kering di dataran tinggi agar bisa dikelola secara efektif dan
efisien
14

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A. dan S. Sutono. 2005. Teknologi pengendalian erosi lahan


berlereng. hlm. 103-145. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan
Kering: Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Adiningsih, J.S. dan M. Sudjadi. 1993. Peranan sistem bertanam lorong (alley
cropping) dalam meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering
masam. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Agus, F., A. Abdurachman, A. Rachman, S.H. Talao’ohu, A. Dariah, B.R.
Prawiradiputra, B. Hafif, dan S. Wiganda. 1999. Teknik Konservasi
Tanah dan Air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan
Reboi- sasi Pusat. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Agus, F., E. Surmaini, dan N. Sutrisno. 2005. Teknologi hemat air dan irigasi
suplemen. hlm. 223-245. Dalam Teknologi Pengelola- an Lahan Kering:
Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budhyastoro. 2004. Teknologi konservasi
mekanik. hlm. 109-132. Dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering
Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor.

Anda mungkin juga menyukai