Makalah Lahan Marginal
Makalah Lahan Marginal
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
B.Rumusan Masalah
Tujuan dari makalah ini yaitu untuk mengetahui potensi dan kendala pada
lahan kering di dataran tinggi serta mengetahui cara/metode untuk mengatasi
kendala tersebut.
Kegunaan dari makalah ini sebagai bahan informasi bagi mahasiswa dan
petani potensi dan kendala pada lahan kering di dataran tinggi dan pendekatan
yang di gunakan untuk mengatasi masalah pada lahan kering di dataran tinggi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lahan Kering
mm/th) dengan masa curah yang pendek (3,5 bulan) (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005).
5
BAB III
PEMBAHASAN
Kesuburan tanah
Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang
rendah, ter- utama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah
menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk
dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman
pangan semusim. Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di
daerah tropis cepat menurun, mencapai 3060% dalam waktu 10 tahun (Brown
6
dan Lugo 1990 dalam Suriadikarta et al. 2002). Bahan organik memiliki peran
penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meski- pun
kontribusi unsur hara dari bahan or- ganik tanah relatif rendah, peranannya cukup
penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur
esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg dan Si (Suriadikarta et al. 2002).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tanah masam, yang
dicirikan oleh pH rendah (< 5,50), kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan
basa-basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati
batas me- racuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan
Sudjadi 1993; Soepardi 2001). Dari luas total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta
ha, 102,80 juta ha (69,46%) merupakan tanah masam (Mulyani et al. 2004). Tanah
tersebut didominasi oleh Inceptisols, Ultisols dan Oxisols dan sebagian besar
terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Lahan kering masam di wilayah
berbukit dan bergunung cukup luas, mencapai 53,50 juta ha atau 52% dari total
tanah masam di Indonesia. Tanah masam tersebut umumnya kurang potensial
untuk pertanian tanaman pangan karena tingkat kesuburannya rendah, lereng
curam dan solum dangkal.
Topografi
Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (>
30%) dan berbukit (1530%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90
juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam sangat peka
terhadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan semusim dan
curah hujannya tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan,
namun ke- nyataannya banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan
perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar bergelombang dengan lereng <
15%. Lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan mencakup 19,60
juta ha (Badan Pusat Statistik 2005), terutama untuk tanaman kelapa sawit,
kelapa dan karet.
Kepemilikan lahan
Tantangan yang lebih berat dan sukar di- atasi adalah permasalahan sosial
ekonomi, antara lain pemilikan lahan oleh petani cenderung menyempit. Data
7
sensus pertanian tahun 1993 dan 2003, serta hasil penelitian Puslitbangtanak
pada tahun 2002/2003 (Abdurachman et al. 2005) menunjukkan luas lahan
pertanian di Jawa cenderung menurun, sedangkan di luar Jawa sedikit meningkat.
Di lain pihak jumlah rumah tangga petani (RPT) meningkat secara signifikan
dari 22,40 juta menjadi 27,40 juta dalam sepuluh tahun terakhir. Luas
penguasaan lahan rata-rata nasional menurun dari 0,86 ha menjadi 0,73 ha per
RTP. Sejalan dengan itu, jumlah petani gurem (luas lahan garapan < 0,50 ha)
meningkat dari 10,80 juta RTP pada tahun 1993 menjadi 13,70 juta pada tahun 2003,
atau rata-rata meningkat 2,40%/tahun. Bila luas lahan pertanian tidak bertambah
secara signifikan seiring dengan laju per- tambahan penduduk maka jumlah petani
gurem akan makin bertambah dan peluang perambahan hutan meningkat.
hilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun (Santoso dan Sofyan
2005). Hara yang tidak termanfaatkan tanaman juga dapat berubah menjadi
bahan pencemar. Praktek pemakaian pupuk oleh petani pada lahan-lahan mine-
ral masam, meskipun pada saat ini masih dilakukan dengan takaran rendah, dalam
jangka panjang dapat menimbulkan ke- tidakseimbangan kandungan hara tanah
sehingga menurunkan produktivitas tanaman.
penelitian me- nunjukkan budi daya tanaman pangan semusim tanpa disertai
konservasi tanah menyebabkan erosi berkisar antara 46351 t/ha/tahun (Sukmana
1994; 1995).
Erosi bukan hanya mengangkut material tanah, tetapi juga hara dan
bahan organik, baik yang terkandung di dalam tanah maupun yang berupa input
pertani- an. Erosi juga merusak sifat fisik tanah. Oleh karena itu, penerapan teknik
konser- vasi merupakan salah satu prasyarat keberlanjutan usaha tani pada lahan
ke- ring. Target yang harus dicapai adalah menekan erosi sampai di bawah batas
toleransi, dengan kisaran antara 1,1013,50 t/ha/tahun, bergantung pada sifat tanah
dan substratanya (Thompson dalam Arsyad 2000). Untuk menekan erosi sam-
pai di bawah ambang batas toleransinya, beberapa jenis teknik konservasi dapat
diterapkan dengan memperhatikan per- syaratan teknis (Agus et al. 1999).
Teras bangku merupakan teknik konservasi yang banyak diterapkan di Jawa
dan Bali. Teknik ini telah dikembangkan secara luas sejak tahun 1975 melalui inpres
penghijauan (Siswomartono et al. 1990). Teras bangku cukup disukai petani, dan
juga efektif mencegah erosi dan aliran permukaan (Abdurachman dan Sutono
2005). Beberapa teknik konservasi lain dapat dijadikan alternatif, seperti teras
gulud untuk tanah yang dangkal (< 40 cm), rorak atau teknik konservasi vegetatif
seperti alley cropping dan strip rumput. Selain murah, teknik konservasi vegetatif
memiliki keunggulan lain, yaitu dapat ber- fungsi sebagai sumber pakan dan pupuk
hijau atau bahan mulsa, bergantung pada jenis tanaman yang digunakan. Dalam
prakteknya, penerapan teknik konservasi mekanik sering dikombinasikan dengan
teknik vegetatif, karena efektif dalam mengendalikan erosi (Dariah et al. 2004;
Santoso et al. 2004) dan lebih cepat diadopsi petani.
Pengaturan pola tanam dengan mengusahakan permukaan lahan selalu
tertutup oleh vegetasi dan/atau sisa-sisa tanaman atau serasah, juga berperan pen-
ting dalam konservasi tanah. Pengaturan proporsi tanaman semusim dan tahunan
pada lahan kering juga penting; makin curam lereng sebaiknya makin tinggi
proporsi tanaman tahunan. Pengaturan jalur penanaman atau bedengan yang
searah kontur juga berkontribusi dalam mencegah erosi.
tivitas lahan kering. Hasil penelitian me- nunjukkan bahwa pengolahan tanah yang
berlebihan dapat merusak struktur tanah (Larson dan Osborne 1982; Suwardjo et
al. 1989) dan menyebabkan kekahatan bahan organik tanah (Rachman et al.
2004). Olah tanah konservasi (OTK) me- rupakan alternatif penyiapan lahan yang
dapat mempertahankan produktivitas lahan tetap tinggi (Brown et al. 1991;
Wagger dan Denton 1991). OTK dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran atau
pembalikan tanah, mengintensifkan peng- gunaan sisa tanaman atau bahan lainnya
sebagai mulsa, kadang-kadang (namun tidak dianjurkan) disertai penggunaan
herbisida untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu lainnya.
Rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi dapat mendukung optimalisasi
lahan kering, antara lain dengan menanam legum penutup tanah atau tanaman
penghasil bahan organik lainnya, khususnya yang bersifat in situ seperti alley
cropping dan strip cropping. Penggunaan bahan pembenah tanah baik organik
maupun mineral juga dapat merehabilitasi lahan terdegradasi.
Pertanian lahan kering tidak memerlukan banyak air, seperti halnya budi
daya padi sawah, sementara ketersediaan lahan kering masih luas. Selain itu,
teknologi pengelolaan lahan kering cukup banyak tersedia. Namun, pemanfaatan
kedua komponen tersebut dan pelaksanaannya di lapangan memerlukan
perencanaan dan strategi yang tepat.
Identifikasi Lahan yang Sesuai
Cara yang dapat digunakan untuk meng- identifikasi lahan yang sesuai
untuk per- tanian, terutama lahan alang-alang dan semak belukar adalah dengan
mengguna- kan peta penggunaan lahan skala 1:250.000 yang
ditumpangtepatkan dengan peta arahan tata ruang pertanian. Dengan cara ini,
diperoleh data tentang lahan kering cadangan seluas 22,39 juta ha, yang terdiri
atas 7,08 juta ha sesuai untuk tanaman pangan semusim dan 15,31 juta ha untuk
tanaman tahunan.
Untuk memperoleh data yang lebih tepat, harus digunakan peta tanah atau peta
kesesuaian dan peta penggunaan lahan dengan skala yang lebih besar, misalnya
1:50.000 atau lebih baik lagi skala 1:25.000. Selain itu, data biofisik lahan perlu
11
Penelitian padi saat ini lebih terfokus pada padi sawah, yang telah
menghasilkan berbagai varietas unggul dan teknologi budidaya seperti
pengendalian hama/ penyakit, pemupukan, dan pengairan. Penelitian dan
pengembangan padi gogo jauh tertinggal. Sejalan dengan itu, minat dan upaya
petani untuk mengembangkan padi gogo juga relatif rendah, tercermin dari luas
pertanaman setiap tahun yang jauh lebih rendah dari luas lahan sawah. Ke depan,
penelitian dan pengembangan pertanian lahan kering perlu mendapat perhatian
yang lebih besar, ter- masuk pembiayaannya. Akan lebih baik bila penelitian
diarahkan pada teknologi pengelolaan padi gogo dan palawija sebagai bagian
dari sistem usaha tani ( farming system) yang disesuaikan dengan kondisi
spesifik lokasi. Penelitian hendaknya dilaksanakan secara kompre- hensif, dalam
arti peneliti tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi dalam suatu tim dari berbagai
disiplin ilmu, sehingga dapat menghasilkan teknologi yang efektif dan
menguntungkan.
13
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1) Di wilayah dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan mencakup
2,10 juta ha. Namun, lahan tersebut sebagian besar telah digunakan untuk
berbagai kepentingan, baik pertanian maupun nonpertanian. Lahan kering yang
dapat digolongkan sebagai cadangan untuk tanaman pangan semusim tersedia
sekitar 7,08 juta ha, yang saat ini berupa lahan alang-alang atau semak-belukar
2) Upaya pengelolaan lahan kering untuk meningkatkan produksi bahan
pangan menghadapi permasalahan teknis dan sosial-ekonomis, antara lain lahan
berlereng terjal, kesuburan tanah rendah, kemasaman tinggi, kekurangan air irigasi,
dan status kepemilikan lahan tidak jelas. Berbagai masalah tersebut perlu diatasi
dengan menerapkan teknologi, kelembagaan dan kebijakan pemerintah yang tepat.
3) Berbagai teknologi pengelolaan lahan kering telah tersedia, mencakup
pengelolaan kesuburan tanah, pengendalian erosi (konservasi tanah), rehabilitasi
lahan, dan pengelolaan sumber daya air secara efisien. Yang menjadi masalah
adalah lemahnya diseminasi teknologi inovatif kepada para petani dan lambat
nya adopsi teknologi tersebut.
B. Saran
Adapun saran untuk makalah ini yaitu perlu dilakukan penelitian tentang
pengeloaan lahan kering di dataran tinggi agar bisa dikelola secara efektif dan
efisien
14
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, J.S. dan M. Sudjadi. 1993. Peranan sistem bertanam lorong (alley
cropping) dalam meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering
masam. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Agus, F., A. Abdurachman, A. Rachman, S.H. Talao’ohu, A. Dariah, B.R.
Prawiradiputra, B. Hafif, dan S. Wiganda. 1999. Teknik Konservasi
Tanah dan Air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan
Reboi- sasi Pusat. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Agus, F., E. Surmaini, dan N. Sutrisno. 2005. Teknologi hemat air dan irigasi
suplemen. hlm. 223-245. Dalam Teknologi Pengelola- an Lahan Kering:
Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budhyastoro. 2004. Teknologi konservasi
mekanik. hlm. 109-132. Dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering
Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor.