Anda di halaman 1dari 13

MELSYA HALIM UTAMI 1102016118

1.1 Definisi

Intususepsi adalah suatu keadaan dimana segmen usus proksimal (


intususeptum ) berinvaginasi kedalam segmen distal ( intususipien
) serta kemudian di dorong ke distal oleh peristaltik usus. 2 ,3

1.2. Klasifikasi 6

Intususepsi dibedakan dalam 4 tipe :

1. Enterik : usus halus ke usus halus


2. Ileosekal : valvula ileosekalis mengalami invaginasi prolaps ke sekum dan menarik ileum
di belakangnya. Valvula tersebut merupakan apex dari intususepsi.
3. Kolokolika : kolon ke kolon.
4. Ileokoloika : ileum prolaps melalui valvula ileosekalis ke kolon.
Umumnya para penulis menyetujui bahwa paling sering intususepsi mengenai valvula
ileosekalis. Namun masih belum jelas perbandingan insidensi untuk masing-masing jenis
intususepsi. Perrin dan Linsay memberikkan gambaran : 39% ileosekal, 31,5 % ileokolika, 6,7%
enterik, 4,7 % kolokolika, dan sisanya adalah bentuk-bentuk yang jarang dan tidak khas (Tumen
1964).

1.3 Epidemiologi dan Etiologi 1, 4


Di Netherland dan Jerman, ditemukan angka kejadian intusepsi di bagian bedah anak 1.2–1.4%
dari keseluruhan pasien ( usia populasinya tidak di spesifikasi ). Di Australia , New Zealand dan
Amerika Serikat , insiden intusepsi tidak berbeda jauh dari yang di temukan di Eropa 0.50 –2.30
kasus per 1000 kelahiran hidup. Di china, insidensi yang dilaporkan adalah 0.77 kasus per 1000
kelahiran hidup; dari Kuwait 0.50 kasus per 1000 kelahiran hidup. Amerika serikat memiliki
angka insidens terendah , yaitu 0.24 kasus per 1000 anak > 1 tahun. Di Venezuela terdapat 0.33
kasus per 1000 anak > 2 tahun . 4

1
Ada perbedaan yang mencolok pada etiologi invaginasi, antara anak – anak dan dewasa. Pada
anak – anak penyebab atau etiologi terbanyak adalah idiopatik yang mana lead pointnya tidak
ditemukan. Penyebab terjadinya invaginasi bervariasi, diduga tindakan masyarakat tradisional
berupa pijat perut serta tindakan medis pemberian obat anti – diare juga berperan pada timbulnya
invaginasi sedangkan pada dewasa penyebab terbanyak adalah keadaan patologik intra lumen
oleh suatu neoplasma baik jinak maupun ganas sehingga pada saat operasi lead pointnya dapat
ditemukan. Keadaan patologik ini terjadi pada lumen usus, yaitu suatu neoplasma baik yang
bersifat jinak dan ganas, seperti apa yang pernah dilaporkan ada perbedaan kausa antara usus
halus dan kolon. Ataupun akibat hyperplasia kelenjar limfe usus halus ( Peyer’s patches /
Kelenjar limfe mesenterika ). Di Eropa , pembengkakan kelenjar limfe mesenterika ditemukan
19–50% pada pasien yang di operasi atau di investigasi dengan USG. Invaginasi yang terbanyak
pada usus halus adalah neoplasma yang bersifat jinak ( diverticle meckel’s, polip ). Etiologi
lainnya yang frekuensinya lebih rendah seperti tumor extra lumen seperti lymphoma, diaarhea,
riwayat pembedahan abdomen sebelumya, inflamasi pada appendiks, dan trauma tumpul
abdomen.

1.4 Patofisiologi
Invaginasi akan menimbulkan gangguan pasase usus ( obstruksi ) baik partiil maupun total dan
stranggulasi ( Boyd, 1956 ). Proses terjadinya invaginasi dimulai dengan hiperperistaltik usus
bagian proksimal yang lebih mobil menyebabakan usus masuk ke dalam lumen usus distal 
kemudian berkontraksi  terjadi edema  mengakibatkan terjadinya perlekatan yang tidak
dapat kembali normal sehingga terjadi invaginasi.
Sedangkan pada orang dewasa biasanya di awali adanya gangguan motilitas usus lainnya yang
terfiksir/ atau kurang bebas dibandingkan bagian lainnya,karena arah peristaltik adalah dari oral
ke anal sehingga bagian yang masuk ke lumen usus adalah yang arah oral atau proksimal,
keadaan lainnya karena suatu disritmik peristaltik usus. Akibat adanya segmen usus yang masuk
ke segmen usus lainnya akan menyebabkan dinding usus yang terjepit sehingga akan
mengakibatkan aliran darah menurun dan keadaan akhir adalah akan menyebabkan nekrosis
dinding usus.

1.5 Manifestasi klinis

2
Rasa sakit adalah gejala yang paling khas dan hampir selalu ada. Dengan adanya serangan rasa
sakit/kholik yang makin bertambah dan mencapai puncaknya, dan kemudian menghilang sama
sekali, diagnosis hampir dapat ditegakkan. Rasa sakit berhubungan dengan passase dari
intususepsi. Diantara satu serangan dengan serangan berikutnya, bayi atau orang dewasa dapat
sama sekali bebas dari gejala.
Selain dari rasa sakit gejala lain yang mungkin dapat ditemukan adalah muntah, keluarnya darah
melalui rektum, dan terdapatnya masa yang teraba di perut. Beratnya gejala muntah tergantung
pada letak usus yang terkena. Semakin tinggi letak obstruksi, semakin berat gejala muntah.
Hemathocezia disebabkan oleh kembalinya aliran darah dari usus yang mengalami intususepsi.
Terdapatnya sedikit darah adalah khas, sedangkan perdarahan yang banyak biasanya tidak
ditemukan. Pada kasus-kasus yang dikumpulkan oleh Orloof, rasa sakit ditemukan pada 90%,
muntah pada 84%, keluarnya darah perektum pada 80%dan adanya masa abdomen pada 73%
kasus (Cohn, 1976).

Gambaran klinis intususepsi dewasa umumnya sama seperti keadaan obstruksi usus pada
umumnya, yang dapat mulai timbul setelah 24 jam setelah terjadinya intususepsi berupa nyeri
perut dan terjadinya distensi setelah lebih 24 jam ke dua disertai keadaan klinis lainnya yang
hampir sama gambarannya seperti intususepsi pada anak-anak. Pada orang dewaasa sering
ditemukan perjalanan penyakit yang jauh lebih panjang, dan kegagalan yang berulang-ulang
dalam usaha menegakkan diagnosis dengan pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan-
pemeriksaan lain (Cohn, 1976). Adanya gejala obstruksi usus yang berulang, harus dipikirkan
kemungkinan intususepsi. Kegagalan untuk memperkuat diagnosis dengan pemeriksaan
radiologis seringkali menyebabkan tidak ditegakkanya diagnosis. Pemeriksaan radiologis sering
tidak berhasil mengkonfirmasikan diagnosis karena tidak terdapat intususepsi pada saat
dilakukan pemeriksaan. Intussusepsi yang terjadi beberapa saat sebelumnya telah tereduksi
spontan. Dengan demikian diagnosis intussusepsi harus dipikirkan pada kasus orang dewasa
dengan serangan obstruksi usus yang berulang, meskipun pemeriksaan radiologis dan
pemeriksaan-pemeriksaan laim tidak memberikan hasil yang positif.

Pada kasus intususepsi kronis ini, gejala yang timbul seringkali tidak jelas dan membingungkan
sampai terjadi invaginasi yang menetap. Ini terutama terdiri dari serangan kolik yang berulang,
yang seringkali disertai muntah, dan kadang-kadang juga diare. Pada banyak kasus ditemukan

3
pengeluaran darah dan lendir melalui rektum, namun kadang-kadang ini juga tidak ditemukan.
Gejala-gejala lain yang juga mungkin didapatkan adalah tenesmus dan anoreksia. Masa abdomen
dapat diraba pada kebanyakan kasus, terutama pada saat serangan (Tumen, 1964).

1.6 Diagnosis

Gejala klinis yang sering dijumpai berupa nyeri kolik sampai kejang yang ditandai dengan flexi
sendi koksa dan lutut secara intermiten, nyeri disebabkan oleh iskemi segmen usus yang
terinvaginasi. Iskemi pertama kali terjadi pada mukosa usus bila berlanjut akan terjadi
strangulasi yang ditandai dengan keluarnya mucus bercampur dengan darah sehingga tampak
seperti agar-agar jeli darah Terdapatnya darah samar dalam tinja dijumpai pada + 40%, darah
makroskopis pada tinja dijumpai pada + 40% dan pemeriksaan Guaiac negatif dan hanya
ditemukan mucus pada + 20% kasus. Diare merupakan suatu gejala awal disebabkan oleh
perubahan faali saluran pencernaan ataupun oleh karena infeksi. Diare yang disebut sebagai
gejala paling awal invaginasi, didapatkan pada 85% kasus. Pasien biasanya mendapatkan
intervensi medis maupun tradisional pada waktu tersebut. Intervensi medis berupa pemberian
obat-obatan. Hal yang sulit untuk diketahui adalah jenis obat yang diberikan, apakah suatu
antidiare (suatu spasmolitik), obat yang sering kali dicurigai sebagai pemicu terjadinya
invaginasi. Sehingga keberadaan diare sebagai salah satu gejala invaginasi atau pengobatan
terhadap diare sebagai pemicu timbulnya invaginasi sulit ditentukan.

Muntah reflektif menunjukkan telah terjadi suatu obstruksi, gejala ini dijumpai pada ± 75%
pasien invaginasi. Muntah dan nyeri sering dijumpai sebagai gejala yang dominan pada sebagian
besar pasien. Muntah reflektif terjadi tanpa penyebab yang jelas, mulai dari makanan dan
minuman yang terakhir dimakan sampai muntah bilus. Muntah bilus suatu pertanda ada refluks
gaster oleh adanya sumbatan di segmen usus sebelah anal. Muntah dialami seluruh pasien.
Gejala lain berupa kembung, suatu gambaran adanya distensi sistem usus oleh suatu sumbatan
didapatkan pada 90%. Gejala lain yang dijumpai berupa distensi, pireksia, Dance’s Sign dan
Sousage Like Sign, terdapat darah samar, lendir dan darah makroskopis pada tinja serta tanda-
tanda peritonitis dijumpai bila telah terjadi perforasi. Dance’s Sign dan Sousage Like Sign
dijumpai pada + 60% kasus, tanda ini patognomonik pada invaginasi. Masa invaginasi akan

4
teraba seperti batang sosis, yang tersering ditemukan pada daerah paraumbilikal. Daerah yang
ditinggalkan intususeptum akan teraba kosong dan tanda ini disebut sebagai Dance’s Sign.

Pemeriksaan colok dubur teraba seperti portio uteri, feces bercampur lendir dan darah pada
sarung tangan merupakan suatu tanda yang patognomonik. Pemeriksaan foto polos abdomen,
dijumpainya tanda obstruksi dan masa di kwadran tertentu dari abdomen menunjukkan dugaan
kuat suatu invaginasi. USG membantu menegakkan diagnosis invaginasi dengan gambaran target
sign pada potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney sign pada potongan longitudinal
invaginasi. Foto dengan kontras barium enema dilakukan bila pasien ditemukan dalam kondisi
stabil, digunakan sebagai diagnostik maupun terapetik.

TRIAS INVAGINASI :

 Anak mendadak kesakitan episodic, menangis dan mengankat kaki (Craping pain), bila
lanjut sakitnya kontinyu
 Muntah warna hijau (cairan lambung)
 Defekasi feses campur lendir (kerusakan mukosa) atau darah (lapisan dalam) = currant
jelly stool

Pemeriksaan Fisik :

 Obstruksi mekanis ditandai darm steifung dan darm counter.


 Teraba massa seperti sosis di daerah subcostal yang terjadi spontan ( Sousage Like Sign )
 Nyeri tekan (+)
 Dancen sign (+)  Sensasi kekosongan padakuadran kanan bawah karena masuknya
sekum pada kolon ascenden
 RT : pseudoportio(+), lender darah (+) Sensasi seperti portio vagina akibat invaginasi
usus yang lama

Radiologis
Foto abdomen 3 posisi :

Tanda obstruksi (+) : Distensi, Air fluid level, Hering bone (gambaran plika circularis usus)

5
Foto abdomen 3 posisi

Colon In loop berfungsi sebagai :

 Diagnosis : cupping sign, letak invaginasi


 Terapi : Reposisi dengan tekanan tinggi, bila belum ada tanda2 obstruksi dan kejadian <
24 jam
Reposisi dianggap berhasil bila setelah rectal tube ditarik dari anus barium keluar
bersama feses dan udara

Pada orang dewasa diagnosis preoperatif keadaan intususepsi sangatlah sulit, meskipun pada
umumnya diagnoasis preoperatifnya adalah obstruksi usus tanpa dapat memastikan kausanya
adalah intususepsi, pemerikasaan fisik saja tidaklah cukup sehingga diagnosis memerlukan
pemeriksaan penunjang yaitu dengan radiologi (barium enema, ultra sonography dan computed
tomography), meskipun umumnya diagnosisnya didapat saat melakukan pembedahan.

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan fisik. Pada
penderita dengan intususepsi yang mengenai kolon, barium enema mungkin dapat memberi
konfirmasi diagnosis. Mungkin akan didapatkan obstruksi aliran barium pada apex dari
intususepsi dan suatu cupshaped appearance pada barium di tempat ini.

Ketika tekanan ditingkatkan, sebagian atau keseluruhan intususepsi mungkin akan tereduksi. Jika
barium dapat melewati tempat obstruksi, mungkin akan diperoleh suatu coil spring appearance
yang merupakan diagnostik untuk intususepsi. Jika salah satu atau semua tanda-tanda ini
ditemukan, dan suatu masa dapat diraba pada tempat obstruksi, diagnosis telah dapat ditegakkan
(Cohn 1976).

6
Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebagian kasus intususepsi mempunyai riwayat perjalanan
penyakit yang khronis, bahkan kadang-kadang mencapai waktu bertahun – tahun. Keadaan ini
lebih sering ditemukan pada orng dewasa daripada anak-anak (Tumen 1964). Biasanya
ditemukan suatu kelainan lokal pada usus namun Goodal (cit Tumen, 1964) telah mengumpulkan
dari literatur 122 kasus intususepssi khroni primeir pada orang dewasa. Beberapa penulis tidak
menyetujui konsep bahwa intususepsi tersebut berlangsung terus menerus dalam waktu demikian
lama. Stallman (cit Tumen 1964) mempertanyakan tepatnya penggunaan istilah intususepsi
kronis. Goldman dan Elman (cit Tumen 1964) mengemukakan keyakinannya bahwa penderita
tidak mungkin dapat bertahan hidup dengan intususepsi yang berlangsung lebih dari 1 minggu.
Para penulis ini berpendapat, hal yang paling mungkin telah terjadi pada kasus seperti ini adalah
adanya reduksi spontan dan rekurensi yang terjadi berganti-ganti. Adanya mesenterium yang
panjang, yang memungkinkan invaginasi terjadi tanpa gangguan sirkulasi,kemungkinan dapat
menyebabkan terpeliharanya integritas striktural usus. Serangan ini dapat berulang dalam waktu
yang lama dengan status kesehatan penderita yang relatif baik, sampai akhirnya terdapat suatu
serangan yang demikian beratnya sehingga tidak dapat tereduksi spontan, dan tindakan bedah
menjadi diperlukan.

Mendiagnosis intususepsi pada dewasa sama halnya dengan penyakit lainnya yaitu melalui :

1. Anamnesis , pemeriksaan fisik ( gejala umum, khusus dan status lokalis seperti diatas).
2. Pemeriksaan penunjang ( Ultrasonography, Barium Enema dan Computed Tomography)

7
CT Scan Abdomen
Intususepsi yang digambarkan pada CT scan merupakan gambaran klasik seperti pada USG yaitu target
sign. Intususepsi temporer dari usus halus dapat terlihat pada CT maupun USG, dimana sebagian besar
kasus ini secara klinis tidak signifikan(2).

USG ABDOMEN
Pada tampilan transversal USG, tampak konfigurasi usus berbentuk ‘target’ atau ‘donat’
yang terdiri dari dua cincin echogenisitas rendah yang dipisahkan oleh cincin hiperekoik, tidak
ada gerakan pada donat tersebut dan ketebalan tepi lebih dari 0,6 cm. Ketebalan tepi luar lebih
dari 1,6 cm menunjukkan perlunya intervensi pembedahan. Pada tampilan logitudinal
tampak pseudokidney sign yang timbul sebagai tumpukan lapisan hipoekoik dan
hiperekoik(2,3,4,6).

Pemeriksaan USG selain sebagai diagnostik, juga dapat digunakan untuk membantu
mendiferensiasikan tipe dari intususepsi. Park et al (2007) melaporkan bahwa intususepsi transien
dari usus kecil lebih sering terlokalisir pada kuadran kanan bawah atau region periumbilikal,
memiliki diameter anteroposterior yang lebih kecil (1,38 cm vs 2,53 cm), memiliki garis luar
yang lebih tipis (0,26 cm vs 0,53 cm), dan tidak memiliki nodus limfatikus, dimana berbanding
terbalik dengan intususepsi ileocolic(2).

8
Sebuah studi oleh Munden et al (2007) mendukung penemuan ini, dengan diameter
anteroposterior rata-rata adalah 1,5 cm pada intususepsi ileoileal dan 3,7 cm pada intususepsi
ileocolic dan panjang rata-ratanya berkisar 2,5 cm dan 8,2 cm secara respektif(2).

Diagnosis Banding

1. Gastroenteritis, bila diikuti dengan intususepsi dapat ditandai jika dijumpai perubahan
rasa sakit, muntah dan perdarahan.

2. Divertikulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.

3. Disentri amoeba, disini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya obstipasi, bila
disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan demam.

4. Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.

5. Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali dan pada colok
dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit perianal, sedangkan pada
intususepsi didapati adanya celah.

1.7 Penatalaksanaan

Dasar pengobatan adalah :

1. Koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit.


2. Menghilangkan peregangan usus dan muntah dengan selang nasogastrik.
3. Antibiotika.
4. Laparotomi eksplorasi.

Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya pertolongan diberikan, jika


pertolongan kurang dari 24 jam dari serangan pertama, maka akan memberikan prognosa yang
lebih baik.

Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak sejak dahulu mencakup
dua tindakan :

9
Reduksi hidrostatik
Metode ini dengan cara memasukkan barium melalui anus menggunakan kateter dengan tekanan
tertentu. Pertama kali keberhasilannya dikemukakan oleh Ladd tahun 1913 dan diulang
keberhasilannya oleh Hirschprung tahun 1976.

Reduksi manual (milking) dan reseksi usus


Pasien dengan keadaan tidak stabil, didapatkan peningkatan suhu, angka lekosit, mengalami
gejala berkepanjangan atau ditemukan sudah lanjut yang ditandai dengan distensi abdomen,
feces berdarah, gangguan sistema usus yang berat sampai timbul shock atau peritonitis, pasien
segera dipersiapkan untuk suatu operasi. Laparotomi dengan incisi transversal interspina
merupakan standar yang diterapkan di RS. Dr. Sardjito. Tindakan selama operasi tergantung
kepada penemuan keadaan usus, reposisi manual dengan milking harus dilakukan dengan halus
dan sabar, juga bergantung kepada ketrampilan dan pengalaman operator. Reseksi usus
dilakukan apabila pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan cara manual, bila viabilitas
usus diragukan atau ditemukan kelainan patologis sebagai penyebab invaginasi. Setelah usus
direseksi dilakukan anastomose “end to end” apabila hal ini memungkinkan, bila tidak mungkin
maka dilakukan exteriorisasi atau enterostomi.

Terapi intususepsi pada orang dewasa adalah pembedahan. Diagnosis pada saat pembedahan
tidak sulit dibuat. Pada intususepsi yang mengenai kolon sangat besar kemungkinan
penyebabnya adalah suatu keganasan, oleh karena itu ahli bedah dianjurkan untuk segera
melakukan reseksi, dengan tidak usah melakukan usaha reduksi. Pada intususepsi dari usus halus
harus dilakukan usaha reduksi dengan hati-hati. Jika ditemukan kelainan telah mengalami
nekrose, reduksi tidak perlu dikerjakan dan reseksi segera dilakukan (Ellis, 1990). Pada kasus-
kasus yang idiopatik, tidak ada yang perlu dilakukan selain reduksi (Aston dan Machleder, 1975
cit Ellis, 1990). Tumor benigna harus diangkat secara lokal, tapi jika ada keragu-raguan
mengenai keganasan, reseksi yang cukup harus dikerjakan.

1. Pre-operatif
Penanganan intususepsi pada dewasa secara umum sama seperti penangan pada kasus obstruksi
usus lainnya yaitu perbaikan keadaan umum seperti rehidrasi dan koreksi elektrolit bila sudah
terjadi defisit elektrolit

10
2.Durante Operatif
Penanganan secara khusus adalah melalui pembedahan laparotomi, karena kausa terbanyak
intususepsi pada dewasa adalah suatu keadaan neoplasma maka tindakan yang dianjurkan adalah
reseksi anastosmose segmen usus yang terlibat dengan memastikan lead pointnya, baik itu
neoplasma yang bersifat jinak maupun yang ganas.

Tindakan manual reduksi tidak dianjurkan karena risiko:


1. Ruptur dinding usus selama manipulasi
2. Kemungkinan iskemik sampai nekrosis pasca operasi
3. Kemungkinan rekurensi kejadian intususepsi
4. Ileus yang berkepanjangan akibat ganguan otilitas
5. Pembengkakan segmen usus yang terlibat

Batas reseksi pada umumnya adalah 10cm dari tepi – tepi segmen usus yang terlibat, pendapat
lainnya pada sisi proksimal minimum 30 cm dari lesi, kemudian dilakukan anastosmose end to
end atau side to side.
Pada kasus-kasus tertentu seperti pada penderita AIDS, lesi/lead pointnya tidak ditemukan maka
tindakan reduksi dapat dianjurkan, begitu juga pada kasus retrograd intususepsi pasca
gastrojejunostomi tindakan reduksi dapat dibenarkan, keadaan lainya seperti intususepsi pada
usus halus yang kausanya pasti lesi jinak tindakan reduksi dapat dibenarkan juga, tetapi pada
pasien intususepsi tanpa riwayat pembedahan abdomen sebelumnya sebaiknya dilakukan reseksi
anastosmose .

11
3. Pasca Operasi

 Hindari Dehidrasi
 Pertahankan stabilitas elektrolit
 Pengawasan akan inflamasi dan infeksi
 Pemberian analgetika yang tidak mempunyai efek menggangu motilitas usus

Pada invaginasi usus besar dimana resiko tumor ganas sebagai penyebabnya adalah besar,
maka tidak dilakukan reduksi (milking) tetapi langsung dilakukan reseksi. Sedangkan bila
invaginasinya pada usus halus reduksi boleh dicoba dengan hati-hati , tetapi bila terlihat ada
tanda necrosis, perforasi, oedema, reduksi tidak boleh dilakukan, maka langsung direseksi
saja (Elles , 90). Apabila akan melakukan reseksi usus halus pada invaginasi dewasa
hendaknya dipertimbangkan juga sisa usus halus yang ditinggalkan, ini untuk menghindari /
memperkecil timbulnya short bowel syndrom.

Gejala short bowel syndrom menurut Schrock, 1989 adalah:


1. Adanya reseksi usus yang etensif
2. Diaarhea
3. Steatorhe
4. Malnutrisi

Apabila usus halus yang tersisa 3 meter atau kurang akan menimbulkan gangguan nutrisi dan
gangguan pertumbuhan. Jika usus halus yang tersisa 2 meter atau kurang fungsi dan
kehidupan sangat terganggu. Dan jika tinggal 1 meter maka dengan nutrisi prenteralpun tidak
akan adequat. (Schrock, 1989).

1.8. Memahami dan menjelaskan komplikasi invaginasi


Intususepsi dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Komplikasi lain yang dapat terjadi
adalah dehidrasi dan aspirasi dari emesis yang terjadi. Iskemia dan nekrosis usus dapat
menyebabkan perforasi dan sepsis. Nekrosis yang signifikan pada usus dapat menyebabkan
komplikasi yang berhubungan dengan “short bowel syndrome”. Meskipun diterapi dengan
reduksi operatif maupun radiografik, striktur dapat muncul dalam 4-8 minggu pada usus yang
terlibat.

12
1.9. Memahami dan menjelaskan pencegahan invaginasi
Salah satu pencegahan yang dapat dilakukan ialah dengan tidak memberikan makanan padat
selain asi pada bayi dibawah 6 bulan karena sistem pencernaan dan daya tahan tubuh bayi belum
sempurna. Vaksin rotavirus generasi lama diketahui dapat menimbulkan intususepsi pada
bayi/anak yang mendapatkannya. Akibatnya pemakaian vaksin ini kemudian dilarang. Vaksin
rotavirus generasi yang baru telah diantisipasi untuk tidak menyebabkan hal yang sama sebelum
dipakai secara massal pada bayi dan anak. Tidak ada obat atau cara untuk mencegah terjadinya
intususepsi yang diketahui sampai saat ini.

1.10. Memahami dan menjelaskan prognosis invaginasi

Kematian disebabkan oleh intususepsi idiopatik akut pada bayi dan anak-anak sekarang
jarang di negara maju. Sebaliknya, kematian terkait dengan intususepsi tetap tinggi di beberapa
Negara berkembang. Pasien di negara berkembang cenderung untuk datang ke pusat kesehatan
terlambat, yaitu lebih dari 24 jam setelah timbulnya gejala, dan memiliki tingkat intervensi
bedah, reseksi usus dan mortalitas lebih tinggi.
Mortalitas secara signifikan lebih tinggi (lebih dari sepuluh kali lipat dalam kebanyakan
studi) pada bayi yang ditangani 48 jam setelah timbulnya gejala daripada bayi yang ditangani
dalam waktu 24 jam setelah onset pertama. Angka rekurensi dari intususepsi untuk reduksi
nonoperatif dan operatif masing-masing rata-rata 5% dan 1-4%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hanz-Iko Huppertz Prof. Dr , Montse Soriano-Gabarro MD, MSc , Elisabetta Franco Prof , Urlich Desselberger
MD, Judith Wolleswinkel-van den Bosch PhD , Carlo Giaquinto MD ,et all. Intussusception Among Young
Children in Europe. The Pediatric Infectious Disease Journal , 2006 January 25 (1) 22-27.
2. Sabiston DC. Buku Ajar Bedah. Edisi ke-1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. 2010. p270-272
3. Gabriel Conder , John Rendre, et all. Abdominal Radiology – Intussusception , Cambrige University Press.
4. J Holder , G.K Von Schulthess et all. Disease of the abdomen and pelvis , 2006 . Springer science , Italy. p218-
223 .
5. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. 2005.
p627-629

6. Di unduh dari http://kedokteranugm.com/?tag=ugm/invaginasi .

13

Anda mungkin juga menyukai