Anda di halaman 1dari 19

BAB I

DISTRIBUSI OBAT-OBATAN

Distribusi /Pemasaran Produk Obat-Obatan

Penjualan hasil produksi obat-obatan dari perusahaan farmasi di Indonesia pada


umumnya untuk konsumsi/pasaran dalam negeri. Namun ada juga sebagian hasil produksi yang
dijual ke luar negeri/diekspor. Jalur distribusi pemasaran obat-obatan untuk penjualan lokal
dilakukan melalui distributor atau Pedagang Besar farmasi (PBF) dengan cara penjualan putus
yang didukung dengan kontrak. PBF kemudian akan menyalurkannya ke apotek-apotek dan atau
toko obat yang kemudian dijual kepada konsumen. Sedangkan untuk penjualan ekspor biasanya
dikirimkan kepada perusahaan induknya atau groupnya, disamping juga diekspor kepada pihak
ketiga.
Dalam kontrak jasa perantara dengan Pedagang Besar Farmasi (PBF) pada umumnya
berisi tentang hak dan kewajiban. Ada suatu klausul tertentu yang cukup unik yaitu adanya
kewajiban bagi PBF untuk mengiklankan atau mengenalkan produk produsen obat dengan
beberapa cara salah satunya berupa pemberian suatu bonus atau imbalan kepada toko obat dan
apotek bila dapat menjual produk tertentu dalam jumlah tertentu.
Proses pemasaran produk obat-obatan mempunyai karakteristik tertentu. Untuk
pemasaran atau memperkenalkan produk obat-obatan yang dijual bebas dapat dilakukan secara
umum kepada publik baik melalui media cetak maupun media elektronika. Namun pemasaran
untuk obat-obatan yang termasuk dalam daftar G sesuai dengan kode etik kedokteran, tidak
boleh diiklankan secara langsung kepada umum.
Karena pemasaran atau memperkenalkan produk obat-obatan yang termasuk daftar G tidak
dapat dilakukan secara langsung, maka produsen obat dalam kegiatan pemasarannya biasanya
melakukan beberapa hal sebagai berikut:

1. Menggunakan jasa PBF dalam mendistribusikan dan memasarkan produknya.


2. Membuat acara launching/peluncuran produk baru baik dengan seminar maupun acara
simposium.
3. Menggunakan jasa detailer untuk memperkenalkan produknya kepada para dokter.
Selain berhubungan dengan jasa PBF, perusahaan farmasi dalam memasarkan produknya
juga berhubungan dengan rumah sakit, apotek dan toko obat. Kepada apotek, perusahaan farmasi
biasanya memberikan bonus bilamana rumah sakit atau apotek yang bersangkutan mampu
menjual obat-obatan tertentu sesuai dengan target yang telah ditentukan. Namun karena yang
berhubungan langsung dengan apotek atau rumah sakit adalah PBF, maka tidak semua bonus
yang diberikan kepada Apotek/Rumah Sakit ditanggung oleh perusahaan farmasi saja. Biasanya,
bonus dibebankan juga kepada PBF sesuai perjanjian yang telah disepakati. Selain itu biasanya
produsen obat juga dibebani pengeluaran-pengeluaran tertentu yang dilakukan oleh PBF dalam
rangka pemasaran produk, seperti pemasangan umbul-umbul maupun sebagai sponsor event-
event tertentu.
Penggunaan jasa detailer untuk memasarkan/memperkenalkan produk obat-obatan sudah
umum dilaksanakan pada industri farmasi. Para detailer merupakan pegawai tidak tetap
perusahaan, walaupun ada juga detailer yang menjadi pegawai tetap perusahaan produsen obat.
Wilayah kerja detailer dibagi-bagi menurut suatu kebijaksaan tertentu dari perusahaan, biasanya
per propinsi atau per kota Dati II. Para detailer inilah sebagai perpanjangan tangan produsen obat
mendekati para dokter guna memperkenalkan produknya. Semua pengeluaran yang dilakukan
detailer dalam rangka memasarkan produknya dapat dibebankan kepada produsen obat. Para
detailer diberikan uang muka atau istilahnya kas kecil untuk melakukan kegiatan pemasarannya.
Metode yang biasanya digunakan adalah Imprest Fund. Dalam melakukan pendekatan kepada
para dokter untuk menggunakan obat-obatan ditawarkan, adakalanya para detailer ini
menjanjikan suatu imbalan tertentu kepada para dokter tersebut dalam bentuk uang maupun
natura/kenikmatan lainnya dengan persetujuan dari manajemen produsen obat.
BAB II

BIAYA PEMASARAN

Biaya Pemasaran

Di dalam proses pemasaran obat-obatan akan timbul biaya-biaya baik yang terkait
langsung maupun tidak langsung dalam penjualan hasil produksi. Biaya pemasaran untuk produk
obat-obatan yang penggunaannya dapat dibeli bebas (obat OTC) biasanya berupa biaya iklan
melalui media massa antara lain : koran, majalah, televisi, radio dan billboard.
Biaya pemasaran atas produk obat-obatan yang dipakai/dibeli berdasarkan resep dokter
(obat daftar G) biasanya meliputi antara lain:
1. Biaya Simposium dan Ekshibisi : Biaya ini merupakan pengeluaran untuk memperkenalkan
produk perusahaan baik produk baru maupun produk lama, seperti antara lain :
1. Honor dan akomodasi para dokter yang mengikuti simposium/ekshibisi
2. Sewa tempat, sewa stan dan pemasangan banner/baliho
3. Biaya presentasi dan lain-lain.
2. Biaya promosi : Biaya ini merupakan pembayaran kepada dokter-dokter yang telah
menuliskan resep obat hasil produksi perusahaan kepada pasiennya, biaya ini dibayarkan melalui
Medical Representative.
3. Bonus : merupakan penghargaan berupa uang (black bonus) kepada distributor yang telah
berprestasi dalam pencapaian target yang telah ditetapkan. Biaya ini tidak sesuai dengan Surat
Dirjen Pajak No : SE-02/PJ.33/1998 tanggal 16 Maret 1998.
4. Promotion Materials : Biaya ini merupakan contoh obat yang diberikan kepada dokter-dokter
dalam rangka memperkenalkan produknya.
BAB III
PERUSAHAAN TERKAIT PEMASARAN OBAT

Perusahaan Yang Terkait Dalam Pemasaran Obat-Obatan

Sebagaimana telah diuraikan, rantai usaha industri farmasi di Indonesia dapat


digambarkan sebagai berikut :
Rantai produk/obat-obatan yang dihasilkan oleh produsen obat tidak langsung didistribusikan ke
konsumen akhir (pemakai) tetapi melalui jalur pemasaran yang melibatkan unit pemasaran baik
yang berasal dari internal perusahaan maupun dari pihak lain. Khusus untuk obat-obatan daftar
G, pemakaiannya harus memalui resep dokter sehingga konsumen juga tidak bisa langsung
membelinya di apotek. Peranan dari masing-masing unit pemasaran obat-obatan tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut.

3.1 Pedagang Besar Farmasi (PBF)

Pedagang Besar Farmasi (PBF) merupakan suatu perusahaan berbentuk badan hukum
yang melakukan kegiatan distribusi obat-obatan secara partai besar, berdasarkan ketentuan yang
berlaku.
Berbagai fungsi / jenis Pedagang Besar Farmasi, antara lain:

1. PBF Biasa, yaitu PBF yang membeli obat dari pabrik/PBF lainnya dan mendistribusikan
kepada Apotek/PBF lainnya atas obat-obatan yang tergolong dalam daftar G, daftar W,
dan bebas, dan kepada Toko Obat Berizin atas obat-obatan yang tergolong dalam daftar
W dan bebas.

2. PBF Penyalur Bahan Baku Obat, yaitu PBF Biasa yang juga memiliki izin khusus untuk
mengimpor dan menyalurkan bahan baku obat kepada industri farmasi atau PBF bahan
baku lainnya, sebagaimana diatur dalam Surat-Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
287/Men.Kes/SK/XI/76 Tanggal 18 November 1976.
3. PBF Penyalur Bahan Baku Obat Khusus kepada Apotek, yaitu PBF Biasa yang memiliki
izin khusus untuk menyalurkan bahan baku obat khusus kepada Apotek (Catatan : sampai
saat ini yang mendapat izin baru PBF PT. Kimia Farma).
4. PBF Penyalur Narkotika, yaitu PBF Biasa yang diberi izin khusus untuk menyalurkan
obat-obat berbahaya.
5. PBF Penyalur Obat Keras Tertentu, yaitu PBF Biasa yang diberi izin khusus untuk
menyalurkan Obat Keras Tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 213/Men.Kes/Per/IV/1985 Tanggal 22 April 1985.
6. PBF Terbatas, yaitu PBF Biasa yang diberi izin hanya menyalurkan obat-obat keluaran
suatu pabrik farmasi yang ditentukan dalam izin yang bersangkutan.

3.2 Apotek

Apotek merupakan suatu perusahaan/sarana tempat pengabdian apoteker, yang


melakukan distribusi obat langsung kepada pasien/apotek lainnya/poliklinik, untuk obat-obat
yang termasuk Golongan G atas resep dokter, dan obat-obat bebas terbatas (W) maupun obat
bebas. Apotek tersebut didirikan berdasarkan peraturan Pemerintah No.26/1965, jo PP. 25 Tahun
1980, jo Permenkes No. 26/MenKes/Per/I/1981 jo Surat Keputusan Menteri Kesehatan masing-
masing:No.278/Men.Kes/SK/V/1981,No.279/Men.Kes/SK/V/1981,danNo.280/Men.Kes/SK/V/1
981 tertanggal 30 Mei 1981. Selanjutnya dalam Paket Kebijaksanaan Deregulasi Tanggal 28 Mei
1990 dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 244/Men.Kes /SK/V/1990.

3.3 Toko Obat

Toko Obat dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

1. Toko Obat Berizin, ialah suatu usaha tempat mendistribusikan obat secara eceran
langsung kepada konsumen, yaitu obat-obat yang termasuk dalam daftar W (bebas
terbatas) dan obat bebas. Toko Obat Berizin tersebut didirikan berdasarkan Permenkes
No. 167/Kab/B. VII/72 Tanggal 28 Agustus 1972. Penanggung-jawab teknis farmasi
Toko Obat Berizin adalah Asisten Apoteker.
2. Toko Obat Biasa, ialah suatu usaha yang sebagian besar kegiatannya mendistribusikan
obat secara eceran langsung kepada para konsumen, yaitu obat-obat bebas saja
BAB IV

MENGATASI FRAUD DAN FRAUDULENT FINANSIAL REPORTING

1. DEFINISI KECURANGAN (FRAUD) DAN KECURANGAN LAPORAN KEUANGAN


(FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING)
FRAUD (kecurangan) adalah tindakan ilegal yang dilakukan satu orang atau
sekelompok orang secara sengaja atau terencana yang menyebabkan orang atau kelompok
mendapat keuntungan, dan merugikan orang atau kelompok lain. Sementara FRAUDULENT
FINANCIAL REPORTING (kecurangan laporan keuangan) adalah salah saji atau pengabaian
jumlah dan pengungkapan yang disengaja dengan maksud menipu para pemakai laporan.

o Contoh Jenis Perusahaan Yang Melakukan FRAUD (Kecurangan)


Nama perusahaan:
1. LEMBAGA KEUANGAN
2. TELEKOMUNIKASI
3. TRANSPORTASI
4. UTILITIES
5. ENERGI
o Contoh Perusahaan Yang Pernah Melakukan FFR
1. ENRON
2. SATYAM
3. PT. KIMIA FARMA

2. PROFIL FRAUD
Profil tidak menunjukan secara khusus ciri-ciri satu orang, melainkan memberi gambaran
mengenai berbagai ciri dari suatu kelompok orang seperti : rentan umur, jenjang pendidikan,
kelompok sosial (kelas atas, menengah, bawah), bahkan kelompok etnis dst.
Seperti :
1. Suka mengambil resiko
2. Egois
3. Ingin mengetahui (misalnya, ia mengambil waktu untuk menanyakan sistem informasi
perusahaan dan berbagai kaitan antar sistem)
4. Keinginan untuk mengabaikan atau melanggar ketentuan dan sedapat mungkin mencari
jalan pintas.
5. Bekerja sepanjang hari bahkan diakhir pekan, sehingga memberi kesan bahwa ia pekerja
keras.
6. Dibawah tekanan dan penyendiri, meskipun pada saat yang sama ia mempunyai
hubungan kerja yang erat dengan pemasok tertentu.
7. Termotivasi dengan ketamakan dan hadiah-hadiah yang bersifat materi.
8. Ia menganggap auditor, inspektur atau atasannya sebagai musuh.

3. JENIS – JENIS FRAUD


1) Employee Fraud (kecurangan pegawai)
Kecurangan yang dilakukan oleh pegawai dalam suatu organisasi kerja.
2) Manajement Fraud (kecurangan manajemen)
Kecurangan yang dilakukan oleh pihak manajemen dengan menggunakan laporan
keuangan/transaksi keuangan sebagai sarana fraud, biasanya dilakukan untuk mencurangi
pemegang kepentingan (stakeholders) yang terkait organisasinya.
3) Customer Fraud
Kecurangan yang dilakukan oleh konsumen/pelanggan, misalnya kecurangan oleh pihak
kontraktor/konsultan terhadap satuan kerja proyek.
4) E-Commerse Fraud
Kecurangan yang dilakukan akibat adanya transaksi melalui internet (misalnya
pengadaan lelang melalui internet.

4. SKEMA
1. Satu dokumen seperti faktur pembelian seringkali dipakai untuk mengeluarkan uang kas lebih
dari sekali untuk pembelian yang sama. Seringkali hal ini terjadi karena kebijakan badan usaha
yang memperbolehkan dibayarnya pembelian berdasarkan tembusan dari faktur saja tanpa ada
faktur aslinya.
2. Seringkali pemindahan dana atau aktiva dilakukan untuk menyamarkan adanya pengeluaran
yang tidak diotorisasi. Pengeluaran dari kas kecil biasanya tidak memerlukan otorisasi, maka hal
ini menimbulkan peluang terjadinya kecurangan.
3. Pemberian komisi oleh pelanggan ke salesman atau penjualan dengan imbalan pemberian
harga yang lebih murah merupakan hal yang seringkali terjadi di dunia praktik
4. Hal yang sering terjadi pada perusahaan keluarga dimana seringkali perusahaan dirugikan
bukan karena alasan bisnis tapi karena alasan lainnya seperti keluarga, kepentingan anak dan
seterusnya.
5. Seringkali pembayaran dengan chek atau giro yang dilakukan oleh pelanggan tidak
dicantumkan nama kepada siapa cek atau bilyet giro tersebut dibayar sehingga oleh karyawan
perusahaan bisa dicatat sebagai utang karyawan dan dicairkan oleh pribadi tersebut. Dalam hal
ini karyawan bisa memakai uang perusahaan tanpa melalui otorisasi.
6. Tidak mencatat pendapatan, hal ini akan mudah terjadi bila bagian pencatatan merangkap
dengan bagian penerimaan kas ataupun bagian penjualan.
7. Menyembunyikan penagihan piutang hal ini seringkali dikenal didunia akuntansi dengan
istilah lapping. Dimana tagihan hari ini dari pelanggan A akan dipakai terlebih dahulu secara
pribadi dan bila nanti saatnya menagih pelanggan B maka akan dimasukan atau diakui sebagai
penagihan pelanggan A dan seterusnya. Prinsip yang dipakai disini adalah tutup lubang gali
lubang.
8. Pencurian material atau aktiva yang mempunyai nilai tinggi selalu rawan akan adanya
pencurian. Hal lain yang perlu diperhatikan juga secara khusus adalah adanya “SLOW MOVING
GOODS” yaitu barang yang sudah lama tidak keluar dari gudang.
9. Penyalahgunaan kartu kredit perusahaan yang seringkali untuk mempermudah kerja
perusahaan mempunyai kredit card karena pencatatan atas kredit card baru diterima dikemudian
hari, maka hal ini menimbulkan peluang bagi pelaku kecurangan untuk memakainya dalam
kepentingan pribadi.
5. SURVEY INDEX FRAUD DI INDONESIA
INSTASI PEMERINTAH :
1. Pengadaan Barang Jasa
2. Perijinan
3. Suap
6. TANDA – TANDA FFR

1. Modal kerja yang tak cukup.


2. Perputaran yang cepat dalam posisi keuangan.
3. Pengunaan pemasok sendiri.
4. Biaya perjalanan berlebihan.
5. Pemindahan dana antara perusahaan afiliasi atau antar divisi.
6. Pergantian auditor eksternal.
7. Biaya consultant atau free yang belebihan.
8. Kekurangan atau hilangnya aktiva.
9. Penurunan kinerja.
10. Pengendalian manajemen dilakukan oleh segelintir atau sedikit orang saja.
11. Seseorang menangani hamper semua transaksi yang penting.
12. Kesulitan penagihan piutang usaha.
13. Penyelesaian pelaporan keuangan yang terlambat.
14. Bukti tembusan yang digunakan sebagai dasar pembayaran kreditur.
15. Manajemen senior sangat menguasai atau mendominasi.
16. Pendapatan turun dibandingkan tahun sebelumnya secara drastic.
17. Kondisi usaha yang tidak sehat.
18. Struktur organisasi yang rumit.
19. Tingkat perputaran tenaga kerja yang tingi terutama di posisi keuangan.
20. Adanya kesalahan – kesalahan yang tidak kunjung diperbaiki.
21. Kesulitan dalam perolehan bukti audit penolakan atau penggantin yang sering terhadap
pemeriksaan internal

7. TANDA – TANDA ORANG CURANG


1. Tekanan keuangan.
2. Terlibat penyalahgunaan ataupun perjudian.
3. Telibat obat – obatan atau alcohol.
4. Pembelian yang berlebihan atau gaya hidup yang mahal.
5. Keluhan – keluhan yang berlebihan terhadap manajemen atau perusahaan.
6. Transaksasi terhadap pihak yang tidak independen.
7. Peningkatan stress.
8. Tekanan internal termasuk tekanan manajemen untuk memenuhi anggaran.
9. Kerja lembur yang berlebihan dan tidak pernah mengambil cuti

8.CARA MENDETEKSI FRAUD


1. Analisis vertikal, yaitu teknik yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara item-
item dalam laporan laba rugi, neraca, atau laporan arus kas dengan menggambarkannya
dalam presentase.
Sebagai contoh, adanya kenaikan presentase hutang niaga dengan total hutang dari rata-
rata 28% menjadi 52% dilain pihak adanya penurunan presentase biaya penjualan dengan
total penjualan dari 20% menjadi 17% mungkin dapat menjadi satu dasar adanya
pemeriksaan kecurangan.
2. Analisis Horizontal, yaitu teknik untuk menganalisis presentase-presentase perubahan
item laporan keuangan selama beberapa periode laporan.
Sebagai contoh adanya kenaikan penjualan sebesar 80% sedangkan harga pokok
mengalami kenaikan 140%. Dengan asumsi tidak ada pembelian fiktif, penggelapan, atau
transaksi illegal lainnya.
3. Analisis Rasio, yaitu alat untuk mengukur hubungan antara nilai-nilai item dalam laporan
keuangan.
Sebagai contoh adalah current ratio, adanya penggelapan uang atau pencurian kas dapat
menyebabkan turunnya perhitungan rasio tersebut.

9. Peran Auditor Intern dalam Menghadapi Resiko Kecurangan Perusahaan


Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan auditor intern diharapkan dapat memberikan
kontribusinya pada perbaikan pengelolaan risiko entitas, namun perlu pula dipahami bahwa tidak
semua entitas memiliki struktur pengelolaan risiko, bila demikian, bagaimana peran auditor
intern terhadap proses pengelolaan risiko?
Pengelolaan risiko merupakan tanggung jawab manajemen. Untuk mencapai tujuan entitas,
manajemen harus meyakini bahwa proses pengelolaan risikonya telah berjalan dan berfungsi
dengan baik. Dalam hal ini, auditor intern membantu manajemen melalui audit, review, evaluasi,
pelaporan dan rekomendasi kecukupan dan efektivitas proses pengelolan risiko. Manajemen
bertanggung jawab terhadap pengelolaan risiko perusahaan dan pengendaliannya. Sementara itu,
auditor intern berperan sebagai konsultan yang membantu mengidentifikasi, mengevaluasi,
menerapkan metodologi pengelolaan risiko, dan memberikan masukan untuk perbaikan sistem
pengendalian risiko.
Apabila dalam suatu perusahaan belum memiliki struktur pengelolaan risiko, auditor intern
memberikan pemahaman kepada manajemen mengenai perlunya pengelolaan risiko. Jika
dikehendaki, audit intern dapat proaktif memberikan bantuan kepada manajemen dalam
pembentukan struktur pengelolaan risiko. Namun perlu perlu pula difahami bahwa peran proaktif
tersebut berbeda dengan peran sebagai pemilik risiko (ownership of risks).
Dengan kata lain, auditor intern dapat memfasilitasi proses pengelolaan risiko, namun tidak
memiliki atau bertanggung jawab untuk mengidentifikasikan, mengambil tindakan untuk
meredakan risiko dan memonitor risiko-risiko tersebut. Dalam penaksiran risiko (risk
assessment) terdapat tiga konsep penting yaitu tujuan (goal), risiko (risk), dan pengendalian
(control). Tujuan merupakan outcome yang diharapkan dapat dihasilkan oleh suatu proses atau
kegiatan. Risiko adalah kemungkinan terjadinya suatu kejadian/tindakan yang dapat
menggagalkan atau berpengaruh negative terhadap kemampuan perusahaan dalam mencapai
tujuan entitasnya, sedangkan pengendalian merupakan elemen–elemen perusahaan yang
mendukung manajemen dan karyawan dalam mencapai tujuan perusahaan.
Auditor intern mempunyai peran dalam membantu memastikan bahwa manajemen telah
melakukan pengelolaan risiko perusahaan secara memuaskan. Sehubungan dengan peran
tersebut, auditor intern melakukan identifikasi dan evaluasi risiko signifikan yang dihadapi
perusahaan. Untuk keperluan ini auditor intern perlu melakukan penaksiran risiko (risk
assessment) terhadap kecukupan proses pengelolaan risiko yang dilakukan oleh manajemen.

10. Resiko dan Peranan Auditor Intern


Risiko secara umum diartikan sebagai suatu kejadian/kondisi yang berkaitan dengan
hambatan dalam pencapaian tujuan. Pengertian risiko berkaitan dengan ”adanya tujuan”,
sehingga apabila tidak ada tujuan yang ditetapkan maka tidak ada risiko yang harus dihadapi.
Jadi, jika tujuan auditor intern adalah untuk mendukung pencapaiantujuan yang
ditetapkan instansi, maka auditor intern dalam penugasan auditnya juga harus memperhatikan
seluruh risiko yang mungkin dihadapi oleh perusahaan dalam rangka mencapai tujuannya.
Dengan mengenali risiko inilah auditor intern akan mampu memberikan masukan kepada auditi
sehingga auditi dapat meminimalisasi dampak risiko.
Manajemen harus mengelola kegiatan perusahaan sedemikian rupa untuk menjamin
bahwa tujuan perusahaan akan tercapai. Pengelolaan risiko ini dilakukan dengan membangun
pengendalian intern. Dengan kata lain pengendalian intern merupakan suatu proses untuk
mengelola risiko. Oleh karena itu, auditor dalam setiap penugasan audit harus
mempertimbangkan terhadap risiko-risiko yang ada.
Berkaitan dengan risiko-resiko yang mungkin terdapat dalam perusahaan, maka tugas
auditor intern diantaranya :
1) Mengidentifikasi risiko-risiko yang akan dihadapi,
2) Mengukur atau menentukan besarnya risiko tersebut,
3) Mencari jalan untuk menghadapi dan menanggulangi risiko,
4) Menyusun strategi untuk memperkecil maupun mengendalikan risiko yang meliputi langkah-
langkah pengoordinasian pelaksanaan penanggulangan risiko,
5) Serta mengevaluasi program penanggulangan risiko yang telah dibuatnya.

Sehingga, dapat dikatakan jika auditor memiliki setidaknya 3 peranan dalam kecurangan,
antara lain:
a. Pencegahan Kecurangan (Fraud Prevention),
b. Pendeteksian Kecurangan (Fraud Detection), dan
c. Penginvestigasian Kecurangan (Fraud Investigation).

Di samping itu, dalam melakukan audit, auditor akan berhadapan pula dengan
kemungkinan disajikannya laporan keuangan atau pertanggungjawaban manajemen yang dengan
sengaja disusun tidak benar, untuk kepentingan pribadi berbagai anggota manajemen ataupun
pimpinan atau pihak-pihak berkepentingan dalam suatu unit perusahaan. Dengan berbagai motif
yang melatarbelakanginya, misalnya untuk menutupi penggelapan besar-besaran terhadap
aset/kekayaan perusahaan.
11. Apa itu (Resiko) Kecurangan?
Untuk lebih berhasilnya peran auditor dalam pencegahan dan pendeteksian adanya
kecurangan, sebaiknya internal auditor perlu memahami kecurangan dan jenis-jenis kecurangan
yang mungkin terjadi dalam perusahaan. G.Jack Bologna, Robert J.Lindquist dan Joseph T.Wells
mendifinisikan kecurangan “ Fraud is criminal deception intended to financially benefit the
deceiver ( 1993,hal 3 )” yaitu kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud untuk
memberi manfaat keuangan kepada si penipu. Kriminal disini berarti setiap tindakan kesalahan
serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Dan dari tindakan jahat tersebut ia memperoleh
manfaat dan merugikan korbannya secara financial. Biasanya kecurangan mencakup tiga langkah
yaitu (1) tindakan/theact., (2) Penyembunyian/the concealment dan (3) konversi/the conversion
Misalnya pencurian atas harta persediaan adalah tindakan, kemudian pelaku akan
menyembunyikan kecurangan tersebut misalnya dengan membuat bukti transaksi pengeluaran
fiktif.
Selanjutnya setelah perbuatan pencurian dan penyembunyian dilakukan, pelaku akan
melakukan konversi dengan cara memakai sendiri atau menjual persediaan tersebut. Pada
dasarnya terdapat dua tipe kecurangan, yaitu eksternal dan internal. Kecurangan eksternal adalah
kecurangan yang dilakukan oleh pihak luar terhadap suatu perusahaan/entitas, seperti kecurangan
yang dilakukan pelanggan terhadap usaha; wajib pajak terhadap pemerintah. Kecurangan internal
adalah tindakan tidak legal dari karyawan, manajer dan eksekutif terhadap perusahaan tempat ia
bekerja.
Berkaitan dengan itu Association of Certified Fraud Examinations (ACFE- 2000), salah
satu asosiasi di USA yang mendarmabaktikan kegiatannya dalam pencegahan dan
pemberantasan kecurangan, mengkategorikan kecurangan dalam tiga kelompok sebagai berikut:
a. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)
Kecurangan Laporan Keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan
oleh manajemen dalam bentuk salah saji material Laporan Keuangan yang merugikan investor
dan kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat financial atau kecurangan non financial.
b. Penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation)
Penyalahagunaan aset dapat digolongkan ke dalam ‘Kecurangan Kas’ dan ‘Kecurangan
atas Persediaan dan Aset Lainnya’, serta pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang
(fraudulent disbursement).

c. Korupsi (Corruption)
Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah korupsi menurut ACFE, bukannya
pengertian korupsi menurut UU Pemberantasan TPK di Indonesia. Menurut ACFE, korupsi
terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian
illegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion).

12. Pencegahan Kecurangan


Peran utama dari internal auditor sesuai dengan fungsinya dalam pencegahan
kecuarangan adalah berupaya untuk menghilangkan atau mengeleminir sebab- sebab timbulnya
kecurangan tersebut. Karena pencegahan terhadap akan terjadinya suatu perbuatan curang akan
lebih mudah daripada mengatasi bila telah terjadi kecurangan tersebut. Pada dasarnya
kecurangan sering terjadi pada suatu suatu entitas apabila :
1. Pengendalian intern tidak ada atau lemah atau dilakukan dengan longgar dan tidak efektif.
2. Pegawai dipekerjakan tanpa memikirkan kejujuran dan integritas mereka.
3. Pegawai diatur, dieksploitasi dengan tidak baik, disalahgunakan atau ditempatkan dengan
tekanan yang besar untuk mencapai sasaran dan tujuan keuangan yang mengarah tindakan
kecurangan.
4. Model manajemen sendiri melakukan kecurangan, tidak efsien dan atau tidak efektif serta tidak
taat terhadap hukum dan peraturan yang berlaku..
5. Pegawai yang dipercaya memiliki masalah pribadi yang tidak dapat dipecahkan , biasanya
masalah keuangan, kebutuhan kesehatan keluarga, gaya hidup yang berlebihan.
6. Industri dimana perusahaan menjadi bagiannya, memiliki sejarah atau tradisi kecurangan.
Pencegahan kecurangan pada umumnya adalah aktivitas yang dilaksanakan manajemen
dalam hal penetapan kebijakan, sistem dan prosedur yang membantu meyakinkan bahwa
tindakan yang diperlukan sudah dilakukan dewan komisaris, manajemen, dan personil lain
perusahaan untuk dapat memberikan keyakinan memadai dalam mencapai 3 ( tiga ) tujuan pokok
yaitu ; keandalan pelaporan keuangan, efektivitas dan efisiensi operasi serta kepatuhan terhadap
hukum & peraturan yang berlaku. ( COSO: 1992).
Untuk hal tersebut , kecurangan yang mungkin terjadi harus dicegah antara lain dengan
cara –cara berikut :
1. Membangun struktur pengendalian intern yang baik
Dengan semakin berkembangnya suatu perusahaan, maka tugas manajemen untuk
mengendalikan jalannya perusahaan menjadi semakin berat. Agar tujuan yang telah ditetapkan
top manajemen dapat dicapai, keamanan harta perusahaan terjamin dan kegiatan operasi bisa
dijalankan secara efektif dan efisien, manajemen perlu mengadakan struktur pengendalian intern
yang baik dan efektif mencegah kecurangan.

2. Mengefektifkan aktivitas pengendalian


Review Kinerja
Aktivitas pengendalian ini mencakup review atas kinerja sesungguhnya dibandingkan
dengan anggaran, prakiraan, atau kinerja priode sebelumnya, menghubungkan satu rangkaian
data yang berbeda operasi atau keuangan satu sama lain, bersama dengan analisis atas hubungan
dan tindakan penyelidikan dan perbaikan; dan review atas kinerja fungsional atau aktivitas
seseorang manajer kredit atas laporan cabang perusahaan tentang persetujuan dan penagihan
pinjaman.

Pengolahan informasi
Berbagai pengendalian dilaksanakan untuk mengecek ketepatan, kelengkapan, dan
otorisasi transaksi. Dua pengelompokan luas aktivitas pengendalian sistem informasi adalah
pengendalian umum ( general control ) dan pengendalian aplikasi ( application control).

Pengendalian fisik
Aktivitas pengendalian fisik mencakup keamanan fisik aktiva, penjagaan yang memadai
terhadap fasilitas yang terlindungi dari akses terhadap aktiva dan catatan; otorisasi untuk akses
ke program komputer dan data files; dan perhitungan secara periodic dan pembandingan dengan
jumlah yang tercantum dalam catatan pengendali.
Meningkatkan kultur perusahaan
Meningkatkan kultur perusahaan dapat dilakukan dengan mengimplementasikan prinsip-
prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang saling terkait satu sama lain agar dapat
mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasikan nilai
ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun
masyarakat sekitar secara keseluruhan.

Mengefektifkan fungsi internal audit


Walaupun internal auditor tidak dapat menjamin bahwa kecurangan tidak akan terjadi,
namun ia harus menggunakan kemahiran jabatannya dengan saksama sehingga diharapkan
mampu mendeteksi terjadinya kecurangan dan dapat memberikan saran-saran yang bermafaat
kepada manajemen untuk mencegah terjadinya kecurangan.resiko yang dihadapi perusahaan
diantaranya adalah Integrity risk, yaitu resiko adanya kecurangan oleh manajemen atau pegawai
perusahaan, tindakan illegal, atau tindak penyimpangan lainnya yang dapat mengurangi nama
baik / reputasi perusahaan di dunia usaha, atau dapat mengurangi kemampuan perusahaan dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Adanya resiko tersebut mengharuskan internal auditor
untuk menyusun tindakan pencegahan / prevention untuk menangkal terjadinya kecurangan
sebagaimana diuraikan dalam bagian sebelumnya. Namun, pencegahan saja tidaklah memadai,
internal auditor harus memahami pula bagaimana cara mendeteksi secara dini terjadinya
kecurangan-kecurangan yang timbul. Tindakan pendeteksian tersebut tidak dapat di generalisir
terhadap semua kecurangan. Masing-masing jenis kecurangan memiliki karakteristik tersendiri,
sehingga untuk dapat mendeteksi kecurangan perlu kiranya pemahaman yang baik terhadap
jenis-jenis kecurangan yang mungkin timbul dalam perusahaan.

13. Cara Penilaian Resiko Kecurangan


Auditor tidak menjamin bahwa semua fraud terdeteksi, tetapi harus melaksanakan
kemahiran profesionalnya di dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi hasil
prosedur auditnya, sehingga dapat memperoleh keyakinan yang memadai bahwa kekeliruan,
ketidakberesan, dan ketidaktaatan yang material dapat dideteksi. Beberapa standar audit yang
mewajibkan auditor untuk mendeteksi fraud antara lain terdapat pada Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP) dan Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (SA – APIP).
Sejalan dengan tanggung jawab profesi auditor serta dalam rangka memenuhi harapan
masyarakat tersebut, maka dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan auditnya, auditor harus
mempertimbangkan risiko kecurangan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka auditor hendaknya menempuh langkah berikut
berkaitan dengan risiko kecurangan :
1. Mengenali kemungkinan kecurangan terkait dengan kegiatan/ substansi masalah/hal yang akan
diaudit.
Langkah tersebut dapat dilakukan dengan pedoman sebagai berikut :
a. Kelompokkan kegiatan/substansi masalah/hal yang akan diaudit dalam kategori sesuai keperluan
penaksiran.
b. Rumuskan kemungkinan kecurangan yang dapat terjadi dari setiap bahasan dalam kategori yang
ditetapkan. Kemungkinan kecurangan tersebut disusun sebanyak yang dapat didaftar.

2. Menetapkan pengendalian yang seharusnya ada, dalam rangka memastikan bahwa risiko
kecurangan di atas tidak akan terjadi.
Langkah tersebut dilakukan dengan pedoman sebagai berikut :
a. Pengendalian yang seharusnya ada disusun berdasarkan risiko yang diidentifikasi pada langkah
nomor 1.
b. Atas satu risiko kecurangan yang diidentifikasi dapat diidentifikasi lebih dari satu prosedur
pengendalian yang seharusnya tersedia.
c. Demikian pula sebaliknya, satu prosedur pengendalian yang seharusnya ada mungkin akan
efektif mencegah lebih dari satu risiko kecurangan.
d. Dasar yang digunakan untuk menilai risiko kecurangan adalah daftar prosedur pengendalian yang
seharusnya tersedia, bukan berdasarkan risiko kecurangan yang mungkin terjadi. Penilaian
didasarkan pada tersedia atau tidaknya prosedur pengendalian, serta efektif atau tidaknya
prosedur pengendalian tersebut.

3. Mengidentifikasi apakah pengendalian yang seharusnya ada tersebut benar-benar diterapkan


atau tidak diterapkan oleh perusahaan.
Langkah ini dilakukan dengan pedoman sebagai berikut :
a. Menilai apakah pengendalian yang seharusnya ada benar-benar diterapkan atau tidak. Penilaian
ini berdasarkan hasil pengamatan atau cara lain atas pelaksanaan kegiatan.
b. Penilaian ini harus memberikan jawaban “ya” atau “tidak” atas setiap prosedur pengendalian yang
diidentifikasi, bukan atas risiko kecurangan yang mungkin terjadi.
c. Penekanan dalam penilaian ini adalah pada efektivitas prosedur pengendalian, bukan pada
tersedianya rancangan pengendalian.

4. Menetapkan tingkat kemungkinan terjadinya (likehood) serta dampak (consequences)


kecurangan tersebut, untuk menetapkan ranking risikonya.
Langkah ini dilakukan dengan pedoman sebagai berikut :
a. Penaksiran tingkat risiko dilakukan dengan memberikan skor 1 – 5 dengan ketentuan skor 1
untuk risiko minimum dan skor 5 untuk risiko maksimum.
b. Penaksiran tingkat risiko hendaknya telah menggabungkan antara tingkat kemungkinan terjadinya
dan dampak dari risiko tersebut.
c. Penetapan ranking risiko dilakukan dengan cara menjumlahkan seluruh nilai risiko dari satu
kategori/sub kategori dan kemudian membaginya dengan jumlah butir prosedur pengendalian
yang seharusnya ada sehingga diperoleh nilai rata-rata risiko kategori/sub kategori yang
bersangkutan. Kategori/sub kategori yang mendapat nilai rata-rata risiko tinggi menunjukkan
bahwa kategori/sub kategori tersebut rawan risiko kecurangan.

5. Memilih risiko kecurangan yang akan di dalami dalam kegiatan audit.


Langkah ini dilakukan dengan memerhatikan hasil perhitungan penetapan ranking risiko
yang dihasilkan dari langkah nomor 4 tersebut di atas.
Pedoman yang dapat digunakan, berkaitan dengan risiko kecurangan, adalah bahwa audit
hendaknya fokus pada risiko kecurangan pada kategori/sub kategori dengan skor risiko tinggi
(misalnya skor rata-rata nilai risiko kategori/sub kategori > 3.5).
DAFTAR PUSTAKA

http://sarjanakesehatan.blogspot.in/2013/05-proses-pemasaran-dan-penjualan-
obat.html?m=1

http://uwiewietha.blogspot.in/2014/04/mengatas-kecurangan-fraud-danhtml?m=1

Anda mungkin juga menyukai