Anda di halaman 1dari 18

Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

AKAL DAN WAHYU;


Antara Perdebatan dan Pembelaan dalam Sejarah

Masbukin dan Alimuddin Hassan


Fakultas Tarbiyah UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS)
bukin_99@yahoo.co.id
bidara_palawa@yahoo.co.id

Abstact

Tulisan ini mendiskusikan tentang peran akal dan wahyu dalam sejarah Islam. Perdebatan
ini kemudian melahirkan sikap-sikap intoleransi dalam Islam. Masing-masing bersiteguh
akan kebenaran yang dimiliki. Agaknya pada dua abad pertama Islam banyak beredar
hadits-hadits yang menjunjung tinggi akal. Tetapi karena hadits-hadits itu lebih mendukung
“kaum liberal”, maka dalam perkembangan lebih lanjut dikenakan prasangka sebagai
lemah dan tidak sah, sehingga juga tidak banyak dimuat dalam kitab-kitab hadit hasil
pembukuan masa-masa sesudahnya

Kata kunci: Akal, Wahyu dan sumber hukum Islam

Pendahuluan perbuatan yang baik dan buruk. Term


akal sudah melebur dalam bahasa
Dalam doktrin agama ada dua sumber
Indonesia dengan arti yang sudah
untuk mendapatkan pengetahuan dan
umum diterima, yaitu pikiran. Artinya,
petunjuk kebenaran: al-ulum al-naqliyah (ilmu-
pikiran identik dengan akal.
ilmu naqli) berdasarkan wahyu; dan al-ulum
aqliyah (ilmu-ilmu rasional) berdasarkan akal. Wahyu berasal dari bahasa Arab,
Akal berasal dari bahasa Arab, dari kata: al-wahy dan kata al-wahy, menurut
„aqala, ya‟qilu, „aqlan. Secara etimologis Harun Nasution, adalah kata Arab asli
bermakna mengikat atau menahan, mengerti, dan bukan merupakan kata pinjaman
dan membedakan. Berangkat dari pengertian dari bahasa asing. Wahyu berarti suara,
ini, maka akal merupakan daya yang terdapat api dan kecepatan. Sementara itu
dalam diri manusia untuk dapat menahan wahyu mengandung pengertian
atau mengikat manusia dari perbuatan jahat pemberian secara sembunyi-sembunyi
dan buruk. Demikian juga akal adalah salah dan cepat. Tetapi kemudian wahyu
satu unsur yang membedakan manusia lebih dikenal sebagai penyampaian
dengan makhluk yang lain, lantaran akal firman Allah kepada orang pilihan-
dapat membedakan dan mengerti antara Nya agar disampaikan kepada manusia

152 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

untuk dijadikan pedoman dan pegangan wahyu dan akal adalah bermuara pada
hidup di dunia dan akhirat. Dalam Islam kebenaran yang sama.
wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Akal dalam Timbangan al-Qur’an
Muhammad SAW terkumpul semuanya dan Hadis
dalam al-Qur‟an (Harun Nasution, 1986a: 5).
Al-Qur‟an pada dasarnya
Dan pada galibnya, dipahami bahwa memberikan apresiasi dan
wahyu dan akal masing-masing dipandang penghargaan terhadap penggunaan
sebagai objek dan subjek. Satu ilustrasi yang akal yang dimiliki oleh manusia.
menarik yang diberikan oleh Fathurraman
Sehigga rasionalitas menjadi ukuran
Jamil (1995: 20) prihal akal dan wahyu. Di dan pembeda hakiki antara manusia
mana wahyu sebagai sumber hukum dengan makhluk hidup yang lain
diandaikan sebagai “negatif film” yang akan (Nurcholish Madjid, 1997: 162).
menjadi dasar bagi terwujudnya sebuah foto. Akallah yang memberikan kemampuan
Sementara akal diibaratkan sebagai ”tukang kepada Adam (manusia), misalnya,
cuci cetak foto” yang ikut serta menentukan
untuk mengenal dunia sekelilingnya.
hasil cetakan, apakah baik atau buruk Atas dasar kemampuan itulah manusia
hasilnya. Ditambahkan, tanpa negatif film dipilih oleh Tuhan sebagai khalifahnya
tukang cuci cetak tidak dapat mencetak foto di bumi; dan bukan malaikat meskipun
yang dimaksud. Namun, perlu juga diingat senatiasa bertasbih memuji Allah dan
bahwa tanpa tukang cuci, maka negatif foto mengkuduskannya (Q.S. al-Baqarah
selamanya akan tetap menjadi negatif foto, [2]: 30-34). Dengan begitu, al-Qur‟an
gelap dan sulit untuk diketahui apa mengakui keunggulan manusia dan
sesungguhnya yang ada di dalamnya. memberikan kebebasan untuk
Karenanya, kalau intrepretasi wahyu menguasai dan mengatur alam (Ali,
atas wahyu lebih dominan akan bersifat t.th: 403). Tetapi meskipun begitu, di
objektif; sebaliknya kalau intrepretasi akal balik kebebasan manusia tersebut
atas wahyu lebih dominan akan bersifat harus diiringi dengan tanggung jawab,
subjektif. Sehingga pada gilirannya, sumber baik sosiologis maupun teologis.
pengetahuan dan petunjuk kebenaran yang Dalam pada itu, Nabi Muham-
didasarkan atas wahyu bersifat absolut dan mad sendiri dalam memaknai firman
mutlak; sebaliknya yang didasarkan atas akal Allah tersebut juga memberikan
bersifat relatif dan nisbi kebenarannya kebebasan kehendak dan keharusan
(Harun Nasution, 1986a: 1). Mengingat penggunaan akal sebagai-mana yang
kedua sumber kebenaran tersebut sama- termaktub dalam sabda-sabdanya.1
sama berasal dan/atau “diciptakan” (?)
Tuhan sehingga adalah absurd dan tidak 1 Di sini kami sebutkan beberapa hadits

intellegible kalau ternyata terdapat kontradiksi yang jarang terdengar di kalangan orang Sunni,
tetapi akrab di telinga orang Syi‟ah, di
di dalamnya (Nurcholish Madjid, 1997: 67- antaranya:
68), sehingga idealnya merupakan suatu Allah tidak akan menerima shalat seorang
keniscayaan kalau hasil pencapaian antara hamba, juga tidak pada puasanya, hajinya,
umrahnya, sedekahnya, jihadnya, dan apapun

153 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

Sabda-sabda Nabi itu sangat berbekas di dan Hasan Basri3 serta Washil bin
kalangan para sahabat, sehingga kebebasan Atha‟, pendiri aliran rsionalisme secara
dan rasionalitas mula-mula tumbuh di formal, Mu‟tazilah.4
Madinah. Gagasan kebebasan dan Berkenaan dengan ini, banyak
rasionalitas ini mendapat bentuk yang lebih indikasi yang menunjukkan bahwa
tepat lewat kata-kata Ali bin Abi Thalib. Islam pada masa klasik telah terlibat
Kemudian, dari sini gagasan ini menyebar ke dalam perdebatan yang cukup luas dan
Basrah dan Kufah dan pada akhirnya sampai ramai, dalam suasana kehidupan
di Baghdad lewat sarjana-sarjana Islam
liberal dan rasional, seperti Ja‟far al-Shadik,2
ia menguasai beberapa bahasa asing.
Karenanya, ia acap kali berhubungan dengan
jenis kebaikan yang diucapkannya, jika ia tidak sarjana dan budayawan dari kalangan agama
menggunakan akalnya. Telah sampai kepada kami Kristen, Yahudi, dan Zoroaster; dan dengan
bahwa ketika menciptakan akal, Allah memerintahkan mereka ia sering melakukan dialog-dialog dan
kepadanya (akal), “Duduklah”, dan ia pun duduk. bertukar pikiran. Ja‟far al-Shadik merupakan
Lalu perintah-Nya lagi, “Majulah”, maka ia pun maju; bapak rasionalisme dalam Islam di mana Abu
lalu perintah-Nya lagi, “Lihatlah”, dan ia pun melihat; Hanifah dan Imam Malik pernah berguru.
lalu perintah-Nya lagi, “Bicaralah”, dan ia pun bicara, Sehingga dari kedua muridnya ini sangat
lalu perintah-Nya lagi, “Perhatikan” dan ia pun terlihat sekali pengaruh dan unsur
memperhatikan, lalu perintah-Nya lagi, rasionalitasnya dalam membangun sistem
“Dengarkanlah”, dan ia pun mendengarkan, lalu hukum yang mereka bangun, terutama sekali
perintah-Nya lagi, “Mengertilah”, dan ia pun tampak pada diri Abu Hanifah (Ali, t.th: 411).
mengerti. Kemudian Allah berfirman kepadanya, 3 Ia adalah seorang kelahiran Madinah

“Demi kemuliaan-Ku, keagungan-Ku, kebesaran-Ku, dan sungguh-sungguh pernah duduk bersama


kekuatan-Ku dan kekuatan-Ku atas makhluk-Ku, Aku dengan keluarga dan keturunan nabi dan
tidaklah menciptakan makhluk yang lebih mulia bagi- menghirup pemikiran liberal dan rasional
Ku dan lebih Aku cinta daripada engkau, juga lebih darinya. Dan ketika tinggal di Basrah, ia
tinggi kedudukannya daripada engkau. Sebab dengan membuka halaqah-halaqah yang segera
engkaulah Aku disembah, dengan engkaulah Aku dikerumuni oleh peserta didik, termasuk dari
dipuja-puji, dengan engkaulah Aku memberi, dengan Irak. Ia seorang guru besar yang menentang
engkaulah Aku menyiksa dan bagi engkaulah pahala. sikap Jabariyah. Dan di antara muridnya yang
Seorang Bani Qusyayr datang kepada Nabi SAW terkenal adalah Abu Huzaifah Washil bin
dan berkata: “Kami dahulu di zaman jahiliah Atha‟, yang belakangan menjadi pencetus
menyembah berhala dan kami dahulu berpendapat lahirnya aliran teologi Mu‟tazilah (Ali, t.th:
bahwa berhala itu dapat memberi mudarat dan 414).
manfaat”. Maka Rasulullah bersabda, “Telah 4 Melalui aliran teologi Mu‟tazilah
beruntunglah kamu orang yang baginya Allah telah rasionalisme dalam Islam menyebar ke seluruh
menganugerahi akal”. masyarakat terpelajar yang ada pada masa
Akal („aql) adalah belenggu („iql) untuk melawan pemerintahan dinasti Abbasyiah sehingga lahir
kebodohan. Jiwa adalah seperti hewan yang paling beberapa orang filosuf Muslim, misalnya
buruk. Jika ia tidak mempunyai akal, ia berkeliaran seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina.
dalam kebingungan, sebab akal adalah belenggu untuk Bahkan resonansi rasionalisme bergaung di
melawan kebodohan....lalu dari akal tumbuhlah beberapa perguruan tinggi yang ada di
cabang pertimbangan (hilm), yaitu pertimbangan Andalusia, dan pada gilirannya melahirkan
pengetahuan, dari pengetahuan tumbuh petunjuk sederet pemikir dan filosuf muslim, misalnya
yang benar, timbul pantangan, dari pantangan timbul seperti Ibn Bajjah, Ibn Tufail dan pada
pengendalian diri, dari pengendalian diri timbul rasa puncaknya pada diri Ibn Rushd. Pada era ini
malu dan dari rasa malu ada ketakutan, dari ketakutan perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat
muncul amal baik (Lihat, Nurcholish Madjid, 1997: tumbuh dangan pesat dan dahsyatnya ditandai
50-51; Murata, 1996: 315). dengan lahirnya sejumlah ahli dalam berbagai
2 Ia merupakan kepala keturunan nabi lapangan dan disiplin ilmu pengetahuan,
Muhammad. Ja‟far al-Shadik adalah seorang yang seperti dalam bidang kedokteran, fisika,
sangat rasionalis dan liberal. Ia seorang yang sangat matematika, astronomi, sejarah dan dalam
terpelajar, seorang penyair, filosuf dan rupa-rupanya bidang lainnya (Harun Nasution, 1975).

154 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

intelektual yang lebih bebas dan terbuka Nasution (1986a: 76), masalah
daripada masa-masa sesudahnya. relevansi dan univikasi antara wahyu
Sehubungan dengan ini Nurcholish Madjid dan akal telah menjadi bahan polemik
(1997: 49-50), mengatakan: yang akut dan perdebatan yang
berkepanjangan di kalangan ulama-
Agaknya pada dua abad pertama Islam
banyak beredar hadits-hadits yang ulama (sarjana-sarjana Muslim)
menjunjung tinggi akal. Tetapi karena terutama di kalangan para teolog
hadits-hadits itu lebih mendukung Muslim. Di kalangan mereka ada yang
“kaum liberal”, maka dalam memberikan peran dan kedudukan
perkembangan lebih lanjut dikenakan
atas otoritas wahyu yang lebih
prasangka sebagai lemah dan tidak sah,
sehingga juga tidak banyak dimuat dominan dan besar, misalnya mereka
dalam kitab-kitab hadits hasil dari kubu Mu‟tazilah. Sebaliknya, ada
pembukuan masa-masa sesudahnya. pula yang memberikan peran dan
Sebagai contoh, adalah seorang pemikir kedudukan atas otoritas wahyu yang
Islam, al-Harits ibn Asad al-Muhasibi,
justru lebih dominan dan tinggi,
yang wafat pada 243 H (tujuh puluh
tahun sebelum wafat al-Bukhari). Dia misalnya kubu ini diwakili oleh
adalah salah seorang tokoh “rasionalis” Asy‟ariyah.
yang sangat dini dalam Islam, yang
meninggalkan karya-karya tulis Di kalangan teolog Muslim
sistematis. Dia juga seorang agamawan diskusi tentang akal dan wahyu
yang saleh dengan kecenderungan menempati posisi sentral dalam
kesufian yang kuat”. wacana pemikiran dan intelektual
Dalam karya-karyanya, menurut meraka. Ini mudah untuk dipahami
Nurcholish Madjid (1997: 50), al-Muhasibi karena ilmu kalam sebagai ilmu yang
menuturkan hadits-hadits yang sangat membahas soal-soal ketuhanan dan
mengesankan, sebagaimana hadits yang kami soal hubungan timbal balik antara
kutip di awal tulisan ini. Al-Muhasibi manusia dengan Tuhan sudah barang
menolak pandangan sebagian ulama yang tentu memerlukan akal dan wahyu
menyatakan bahwa hadits-hadits tentang akal sebagai sumbernya. Akal dianu-
itu palsu (maudhu'), bikin-bikinan atau dhaif. gerahkan Tuhan secara potensial
Baginya, hadits-hadits itu adalah absah, berupaya sedemikian rupa untuk
karena maknanya sejalan dengan berbagai membangun proposisi-proposisi yang
gambaran dan ajaran al-Qur‟an. Dan hadits- logis sehingga dapat membawa sampai
hadits itu cukup menggambarkan suasana kepada pengetahuan tentang hal-hal
yang memberikan dorongan kepada kaum yang berkaitan dengan soal ketuhanan.
muslim klasik untuk menjunjung tinggi akal Sedangkan wahyu yang diturunkan
dan memikirkan rasional. Tuhan kepada manusia membawa
pengkhabaran yang berisi penjelasan-
Akal dan Wahyu: Timbangan
Mutakallimin penjelasan yang perlu mengenai hal-
hal yang menyangkut Tuhan sendiri,
Sepanjang sejarah tradisi pemikiran
dan mengenai hal-hal yang
dan intelektual Islam, menurut Harun

155 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

berhubungan dengan manusia serta 2. Kalau ya, apakah akal dapat


kewajiban-kewajibannya terhadap Tuhan mengetahui kewajiban berterima
(Harun Nasution, 1990: 54-55). kasih pada Tuhan?;
Dalam meresponi persoalan-persoalan 3. Apakah akal dapat mengetahui yang
teologis tersebut di antara teolog Muslim baik dan yang buruk?;
mempunyai pendirian yang berbeda-beda. 4. Kalau ya, apakah akal dapat
Dan ternyata perbedaan corak pandangan mengetahui bahwa manusia wajib
teologis meraka banyak ditentukan oleh berbuat baik dan menjahui berbuat
bagaimana pandangan dan apresiasi mereka
jahat?
terhadap kedudukan dan peran akal dan
wahyu. Barangkat dari pandangan mereka Karena Mu‟tazilah menempat-
tentang kedudukan dan peran akal dan kan akal pada kedudukan dan peran
wahyu secara general mereka dapat dipilah yang tinggi, kalau dirujuk kepada
menjadi dua kelompok: Mu‟tazilah dan empat persoalan teologis di atas, tidak
Asy‟ariyah. Bagi Mu‟tazilah, karena otoritas aneh kalau Mu‟tazilah memandang
akal lebih dominan dan diutamakan, maka keempat persoalan tersebut dapat
mereka berpihak kepada kebebasan diketahui oleh akal. Baginya,
kehendak manusia untuk melakukan mengetahui hakekat ketuhanan dapat
perbuatannya; dan Tuhan tidak mempunyai diketahui lewat pembuktian argumen
kebebasan dan kehendak yang mutlak kosmologis, sedangkan hakekat baik
terhadap manusia. Sebaliknya, Asy‟ariyah dan buruk tidak ditentukan oleh
karena otoritas wahyu yang lebih dominan Tuhan, tetapi oleh essensi baik-buruk
dan diutamakan, maka mereka mempunyai itu sendiri. Menurut Mu‟tazilah adalah
pandangan bahwa manusia tidak memiliki absurd bahwa dusta, misalnya, itu
kebebasan dan kehendak dalam buruk karena Tuhan telah menentukan
perbuatannya, dan Tuhan adalah milik itu buruk dan hal itu akan menjadi
kebebasan dan kehendak yang mutlak baik jika Tuhan menghendaki dan
tersebut (Harun Nasution, 1986b: 80-118). mengatakan baik. Ini mustahil karena
dusta essensinya memang buruk yang
Sementara itu, menurut Harun melekat pada dirinya. Dengan
Nasution, bahwa persoalan kemampuan demikian, maka peluang akal manusia
akal dalam mengetahui Tuhan dan untuk mengetahui sangat besar.
mengetahui kebaikan-kejahatan, kemudian Artinya, baik dan buruk pada akhirnya
masing-masing terbagi menjadi: mengetahui dapat diketahui oleh akal bagi
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan Mu‟tazilah, dua pokok pertama dapat
dan mengetahui kewajiban barbuat baik dan diketahui lewat akal. Sedangkan dua
kewajiban meninggalkan perbuatan jahat. kewajiban berikutnya juga dapat
Sehingga lebih lanjut, menurut Harun diketahui oleh akal manusia dengan
Nasution, terumuskan sebagai berikut: mengerahkan pemikiran yang
1. Apakah akal dapat mengetahui (adanya) sungguh-sungguh dan radikal.
Tuhan?;

156 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

Sebaliknya, bagi Asy‟ariyah karena zakat; kapan mesti menjalankan puasa;


wahyu mempunyai kedudukan dan peran dan di mana seharusnya kita
yang dominan dan besar, maka kalau dirujuk menunaikan ibadah haji.
keempat persoalan teologis di atas, kedua Kedua, Akal benar dapat
kewajiban – mengetahui kewajiban mengetahui baik dan jahat, tetapi tidak
(berterima kasih) kepada Tuhan dan seluruhnya; serta kewajiban
kewajiban berbuat baik dan meninggalan mengerjakan kebaikan dan kewajiban
perbuatan jahat – hanya dapat diketahui meninggalkan kejahatan, hanya garis
lewat wahyu. Sementara itu, dalam besarnya. Umpamanya, akal dapat
mengetahui eksistensi Tuhan, di kalangan mengetahui sebagian kejahatan,
Asy‟ariah menyebutkan bahwa Tuhan dapat misalnya ketidakadilan. Tetapi
diketahui lewat dalil dan argumen penciptaan kejahatan, seperti zina tidak dapat
alam oleh Tuhan (argumen kosmologis). Ini diketahui oleh akal. Dan di antara
artinya bahwa mengetahui eksistensi Tuhan perbuatan baik yang tidak dapat
dapat diketahui lewat akal. Sedangkan diketahui oleh akal, misalnya adalah
tentang soal baik dan buruk, karena essensi penyembelihan hewan untuk
baik dan buruk ditentukan oleh Allah maka keperluan tertentu. Ketiga, akal tidak
dengan sendirinya juga hanya dapat tahu kadar balasan pahala dari suatu
diketahui lewat wahyu (Harun Nasution,
perbuatan kebaikan dangan perbuatan
1986b: 80-118). kebaikan yang lainnya; (juga) akal tidak
Meskipun Mu‟tazilah memberikan mengetahui kadar suatu hukuman
apresiasi terhadap otoritas akal yang sangat perbuatan jahat dibandingkan dengan
dominan dan besar, namun perlu ditegaskan perbuatan jahat lainnya. Masalah ini
bahwa mereka tidak pernah mengklaim hanya dapat diketahui lewat wahyu.
bahwa akal merupakan satu-satunya sumber Untuk itu, wahyu memberikan
pengetahuan dan kebenaran. Misalnya, ketika penjelasan rinci mengenai upah dan
Mu‟tazilah menyatakan bahwa Tuhan wajib hukuman yang akan diterima manusia
mengirim rasul bagi manusia adalah bukti di akhirat kelak. Keempat, wahyu
bahwa Mu‟tazilah memberikan tempat yang berfungsi, menurut al-Khayyar,
terhormat dan mulia bagi wahyu. Lebih sebagaimana yang dikutip oleh Harun
lanjut, misalnya Mu‟tazilah mengungkapkan Nasution (1986b: 80-118; Muhammad
keterbatasan akal yang harus dicover oleh Nazir, 1992: 92), lewat pengiriman
kelebihan wahyu. Pertama, akal betul dapat rasul-rasul adalah untuk menguji
mengetahui kewajiban berterima kasih manusia: siapa yang patuh dan siapa
kepada Tuhan, tetapi wahyulah yang yang ingkar kepada Tuhan. Karenanya,
menerangkan kepada manusia cara yang Tuhan menyediakan dua tempat di
tepat untuk berterima kasih dan menyembah akhirat: surga dan neraka; dan manusia
kepada Tuhan. Wahyu yang memberikan diberi kebebasan untuk memilih salah
penjelasan rinci, misalnya berapa kali shalat satu di antara keduanya. Kelima, fungsi
sehari-semalam; bagaimana aturan-aturan lain dari wahyu adalah mengingatkan

157 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

manusia atas kelalaian mereka dan emanasinya. Karenanya, akal aktif juga
mempersingkat jalan untuk (sampai) disamakan dengan akal kesepuluh.
mengetahui Tuhan. Betul akal dapat Bahkan lebih lanjut disebut-sebut
mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, bahwa akal kesepuluh identik atau
tetapi manusia kerap kali lalai, maka wahyu setidak-tidaknya dapat berhubungan
datang untuk mengingatkan manusia. Benar dangan malaikat Jibril. Kalau begini
akal dapat mengenal Tuhan, namun lewat halnya, karena kebenaran yang
jalan yang berliku-liku, dan wahyu datang diperoleh Nabi dengan wahyu lewat
untuk memperpendek dan mempermudah malaikat Jibril, dan kebenaran yang
jalan tersebut. diterima oleh filosuf dengan akal yang
mampu berhubungan dan malaikat
Dari paparan ini, dapat ditarik
Jibril, maka tidak ada pertentangan
kesimpulan bahwa fungsi wahyu bagi
antara akal dan wahyu dalam Islam
Mu‟tazilah mempunayi fungsi konfirmasi
(Netton, 1992: 49). Begitu juga dengan
dan informasi; memperkuat apa yang telah
Ibn Tufail, lewat karyanya yang sangat
diketahui oleh akal dan menjelaskan apa
ilustratif, Hayy bin Yaqzan, suatu karya
yang belum /tidak diketahui oleh akal. Di
novel ellagoris yang menganalogikan
antara kedua fungsi tersebut, diperoleh kesan
akal dengan Hayy bin Yaqzan dan
bahwa wahyu di kalangan Mu‟tazilah lebih
wahyu dengan analogi seorang ulama
banyak berfungsi sebagai konfirmasi
yang bernama Asal yang masing-
ketimbang sebagai informasi.
masing hidup di pulau terpencil.5
Akal dan Wahyu: Timbangan Para
Filosuf Selanjutnya, Ibn Rushd juga
mengarang suatu risalah untuk
Di kalangan para filosuf Muslim
menyelaraskan antara akal wahyu
persoalan univikasi akal dan wahyu telah
(filsafat dan syari‟ah) (Ibn Rushd,
mendapat perhatian yang pertama dan
1972: 31; Nurcholish Madjid, 1984:
utama. Univikasi antara akal dan wahyu telah
215). Bahkan, sesungguhnya polemik
menyita perhatian mereka yang paling awal
kalam yang ortodoks (orientasi wahyu
untuk diselesaikan dengan segera sebelum
lahiriah) dan filsafat liberal (orientasi
memasuki persoalan-persoalan filosofis
akal ellagoris) yang diwakili oleh
lainnya (Madhkur, 1993: 8). Beberapa nama
polemik posthumous antara al-Ghazali
filosuf yang berusaha untuk mencari
(Tahafut al-Falasifah) dan Ibn Rushd
relevansi dan mengupayakan univikasi antara
(Tahaut al-Tahafut) dapat dikatakan
akal dan wahyu sebagai representasi dari
masih dalam koridor akal dan wahyu
filsafat dan agama secara umum adalah
(Nurcholis Madjid, 1992: 280; Bello,
filosuf al-Kindi (Atiyeh, 1983: 17).
Kemudian upaya al-Kindi ini diteruskan dan 5 Menurut Sulaiman Dunia, pulau-pulau

disempurnakan oleh al-Farabi. Lewat teori yang dimaksud kemungkinan pulau-pulau di


Nusantara [Indonesia]. Lihat, misalnya, Harun
emanasinya, ia mengidentifikasi akal aktif Nasution (1986a: 55); Abdul Halim Mahmud
(Active Intellect - al-„Aql al-Fa‟al) sebagai akal (1982: 50 dan 73); Majid Fahry (1970: 295;
M.M. Syarif (1994: 47); Ahmad Fuad al-
yang tertinggi dalam hirarki teori
Ahwani (1995: 104).

158 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

1989: 69). Suatu pengecualian, seorang kesempurnaan adalah akal,” Untuk itu,
filosuf Muslim, al-Razi tidak mempercayai akal adalah analog mikrosmik Nabi
wahyu dan kenabian. Menurut filosuf ini, (Murata, 1996: 316).
akal sudah cukup memadai untuk Mengingat, baik wahyu maupun
mengetahui dan membedakan baik dan akal sama-sama bersumber dari Allah,
buruk. Baginya karya-karya ilmiah lebih seperti yang disampaikan kepada Nabi
berguna dan bernilai tinggi dibandingkan Muhammad ataupun yang tercermin
dengan Kitab Suci. Gagasan seperti ini pada diri Nabi Muhammad, maka al-
sangat berani karena mencederai ajaran Qur‟an dan as-Sunnah (lalu menjadi
pokok agama. Al-Razi memang seorang Hadits) sama-sama memberikan
filosuf yang sangat rasional dan liberal. Tiada apresiasi yang sangat tinggi kepada
pemikir Muslim sepanjang sejarah tradisi akal. Adalah dapat dipahami kalau
pemikiran dan intelektual Islam yang kemudian akal diakui sebagai sumber
serasional dan seliberal dia. Tetapi hukum Islam yang ketiga setelah al-
persoalannya, apakah ini benar-benar Qur‟an dan as-Sunnah, yang
merupakan pendapat murni darinya; jangan- diistilahkan dengan Ijtihad.6
jangan itu tidak lebih adalah tuduhan lawan
polemiknya (Harun Nasution, 1992: 23; 6 Melihat wahyu dan akal sama-sama dari

Syarif, 1994: 47). Allah, maka dapat dikatakan, menurut Harun


Nasution (1995: 56), sebenarnya sumber
Unifikasi antara wahyu dan akal, yang hukum hanya dua nash dan ijtihad, dengan
peran ganda Nabi, penerima wahyu, pemilik
konon tidak bertentangan, kalau mau akal.. Meskipun begitu, sampai saat ini masih
dipersonifikasikan –terlepas dari apakah diperdebatkan apakah ijtihad tersebut sebagai
Nabi Muhammad itu syar‟i atau bukan – sumber hukum Islam atau hanya sekedar
metode dalam penetapan hukum. Bagi yang
dalam bentuk manusia, maka Nabi berpendapat bahwa ijtihad merupakan sumber
Muhammad adalah wujud paripurnanya. hukum Islam ketiga karena dengan ijtihadlah
sehingga ajaran Islam selalu sesuai dan relevan
Sehingga, para sahabat Nabi (untuk tidak serta mampu menghadapi dan sekaligus
mengatakan pengikutnya) meyakini dan menjawab tantangan zaman. Karenanya, kalau
tidak termaktub baik dalam al-Qur‟an maupun
mengetahui bahwa kebijaksanaan apapun dalam Hadits, maka ijtihad harus dijadikan
yang diberikan oleh Nabi Muhammad adalah sumber. Dalam berhujjah, bagi kelompok ini
menggunakan hadits Mu'az ibn Jabal yang
berdasarkan suatu hidayah dari Allah, tidak
sangat masyhur tersebut. Sebaliknya, bagi yang
saja atas dasar wahyu, tetapi juga nampak berpendapat bahwa ijtihad bukan merupakan
sebagai kebijaksanaan Nabi Muhammad sumber hukum tetapi hanya merupakan
metode. Dengan juga menggunakan hadits
sendiri (Nurcholish Madjid, 1997: 67-68). yang sama, kelompok ini berpendirian bahwa
hadits tersebut mengisyaratkan dengan jelas
Bahkan menurut seorang filosuf, bahwa sumber hukum Islam hanya al-Qur‟an
Mulla Muhsin Faydh Kasyani, dan ini relatif dan Hadits. Kalau sekiranya tidak terdapat
dalam keduanya, barulah ijtihad dipergunakan
berani, mengatakan, “Akal adalah hukum dengan ketentuan tetap merujuk kepada al-
(syariah) yang diwahyukan dalam diri manusia; Qur‟an dan hadits. Dalam mencermati kedua
pola pikir yang berbeda ini, Fathurrahman
begitu juga hukum (syariah) yang diwahyukan itu Djamil (1995: 21-22 dan 26) memberikan
adalah akal di luar manusia. Pendeknya, sumber kesimpulan dengan berpihak kepada pendapat
dari semua sifat baik dan asal-usul dari semua yang disebut belakangan, “Agaknya, ijtihad
tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum

159 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

Karenanya, tulisan ini berupaya untuk Kufah dan Irak; dan aliran kedua
mengungkapkan (i) jejak-jejak rasionalitas berkembang di Madinah. Masing-
Islam yang awalnya begitu jelas tampak, masing kedua aliran ini dipelopori oleh
namun belakangan terlihat semakin redup; Imam Abu Hanifah dan Imam Malik
(ii) wujud aktivitas akal yang perlu ditopang (Jalaluddin Rakhmat, dalam Budhy
dengan semangat ijtihad di dalam memahami Munawar Rahman, 1995: 372).
nash al-Qur‟an dan Hadits. Namun demikian, kedua aliran
Akal dan Wahyu dalam Timbangan ini tetap menganggap al-Qur‟an dan
Sejarah as-Sunnah sebagai sumber utama
hukum Islam.9 Perbedaan penggunaan
Dalam perkembangan sejarah Islam,
akal baru muncul tatkala ijtihad
khususnya dalam bidang hukum terjadi
dilakukan dalam keadaan tidak ada
pertentangan di kalangan para pendiri
wahyu mengatur secara jelas
mazhab dalam hal porsi penggunaan akal
permasalahan yang sedang dihadapi.
dan wahyu dalam memahami dan
Atau hadits ahad yang kandungannya
menjabarkan ajaran Islam di bidang hukum.
bertentangan dengan akal, apakah
Aliran pertama, adalah mereka yang
hadits itu yang dipakai atau pendapat
mengutamakan penggunaan akal; aliran ini
akal yang didahulukan.10
kemudian disebut ahl al-ra‟yi (rasional).7
Kedua, adalah mereka yang mengutamakan Dalam sejarah perkembangan
penggunaan hadits dalam memahami wahyu; hukum Islam, penggunaan akan dan
dan aliran ini disebut ahl al-Hadits wahyu bagi mazhab-mazhab yang ada
(ortodoks).8 Aliran pertama berkembang di
dasar pemikiran mereka bahwa syari‟ itu
dalam Islam. Ia tidak lebih sekedar metode untuk hanyalah Allah dan Rasul-Nya. Tugas
menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang tidak Mujtahid menurut mereka bukanlah
terdapat secara eksplisit dalam al-Qur‟an atau Hadits. menciptakan hukum, tetapi menemukan
Rujukan utamanya tetap kedua sumber utama hukum yang telah dikemukakan oleh syari‟
tersebut. Jika ijtihad dinyatakan sebagai sumber tersebut. Karena aliran ini banyak diserap oleh
hukum, maka kedudukan hasil ijtihadnya sama ulama kalam, seperti Asy‟ariyah, al-Ghazali,
dengan wahyu Allah yang transendental dan dan lain-lain, maka aliran ini dinamakan aliran
mempunyai kebenaran mutlak”. Padahal, hasil ijtihad kalam. Aliran ini oleh sebagian orang juga
bersifat relatif dan nisbi. Sementara itu, suatu yang dinamakan aliran tradisional. Aliran ini juga
relatif dan nisbi tidak dapat dijadikan sebagai sumber dinamai aliran ahlul hadits.
hukum. 9Abu Zahrah (1987: 248) mengungkapkan
7 Aliran rasional adalah ijtihad yang berpandangan bahwa tidak seorangpun sahabat
bahwa hukum syari‟at itu merupakan suatu yang dapat meninggalkan wahyu demi akalnya atau
ditelaah esensi-esensi yang mendasari ketentuan- kemaslahatan yang dipandangnya.
ketentuan doktrinnya dengan mengacu kepada Sesungguhnya kemaslahatan yang difatwakan
kemaslahatan ummat. Dalam hal ini para mujtahid para sahabat tidak bertentangan dengan
rasional mengkaji illat untuk setiap norma hukum wahyu, tetapi mengaplikasikan wahyu secara
dengan melihat pada setiap sisi yang memungkinkan baik, berdasarkan pemahaman yang benar
untuk memperoleh illat sebanyak-banyaknya, sehingga akan maksud-maksud syara‟.
mereka dapat leluasa melakukan kajian analogis 10 Bagi aliran kalam atau ortodoks,

dengan memelihara kepentingan hidup manusia dan jawabannya jelas, yaitu alternatif pertama,
masyarakat secara keseluruhan. hadits yang dipakai; sebaliknya demikian,
8 Aliran ortodoks adalah aliran ijtihad yang kajian aliran rasional memilih jawaban alternatif
hukumnya lebih banyak berorientasi pada ayat al- terakhir, pendapat akal yang didahulukan
Qur‟an dan as-Sunnah Nabi, sebagai implikasi dari (Kafrawi Ridwan [ed], 1994: 99-100).

160 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

berbeda intensitasnya. Ali Yafi melukiskan lebih diprioritaskan dalam proses


sebagai lingkaran-lingkaran: pengambilan hukum daripada
hadits. Mazhab ini dipelopori oleh
1. Lingkaran yang paling dalam merupakan
Imam Hanafi (Jalaluddin Rakhmat,
kelompok yang paling sedikit
dalam Taufik Adnan Amal, 1989:
menggunakan akalnya. Prinsip mereka
20-21). Dinamika rasionalitas
dalam pengambilan hukum tidak
mencapai puncaknya pada masa
memperkenankan penggunaan akal.
pasca tabi‟in yang dipelopori oleh
Kaedah mereka la ra‟yu li al-din (akal tidak
Imam Hanafi yang bergelar Abu
ada tempat dalam agama). Mazhab yang
Hanifah.11 Kalangan Abu Hanifah
menggunakan kaidah ini disebut sebagai
(pengikut Imam Hanafi), yang
mazhab al-Zhahiri, karena diprakarsai
dikenal banyak mempergunakan
oleh Daud al-Zhahiri yang dilanjutkan
akal dalam berijtihad, memberikan
oleh Ibn Hazm.
syarat-syarat yang cukup ketat
2. Merupakan mazhab yang untuk dapat menerima sebuah
mempergunakan akalnya agak lebih hadits ahad.12 Dan ketika hadits
intens dari kelompak pertama. Mazhab ini ahad tersebut bertentangan dengan
disebut mazhab Hambali yang dipelopori akal, maka hadits ahad tersebut
oleh Imam Ahman Ibn Hambal. Doktrin ditinggal.13
mereka menyatakan bahwa hadits dha‟if
harus diprioritaskan dari pada akal.
11 Nama sebenarnya adalah Nu‟man bin
3. Merupakan mazhab yang Tsabit bin Zutha (80-150), sedangkan Abu
mempergunakan akalnya lebih intens dari Hanifah, menurut al-Maraghi, diberikan oleh
masyarakat karena kecenderungannya pada
lingkaran kedua. Kelompok ini disebut
kebenaran, kerajinan beribadah serta
mazhab Maliki yang dipelopori oleh keikhlasan dalam beramal. Karena intensitas
Imam Malik. Doktrinnya menyatakan penggunaan akal yang begitu besar, sehingga
ketika Raqabah Ibn Musqilah ditanya tentang
bahwa penggunaan akal harus diri Abu Hanifah, dia berkomentar, “Abu
diperhatikan guna pertimbangan Hanifah adalah orang yang paling pintar
tentang apa yang belum terjadi, tetapi paling
kemaslahatan. Kaedah mereka adalah al- bodoh tentang apa yang telah terjadi.” Yang
Mashalihu al-Mursalah. dimaksud dengan apa yang sudah terjadi
adalah hadits-hadits Nabi; apa yang belum
4. Merupakan mazhab yang menggunakan terjadi adalah ketetapan hukum berdasarkan
akal (qiyas) (Jalaluddin Rakhmat, dalam Taufik
intensitas akalnya lebih besar dari yang Adnan Amal, 1989: 20-21).
sebelumnya. Aliran ini disebut mazhab 12 Abu Hanifah memang sedikit
Syafi‟i yang dipelopori oleh Imam Syafi‟i. meriwayatkan hadits. Kata Ibnu Khaldun, hal
ini dikarenakan Abu Hanifah sangat
Doktrin mereka dalam proses memperketat syarat-syarat penerimaan hadits.
pengambilan hukum lebih banyak Dan menurut Ahmad Amin, kurangnya hadits
pada Abu Hanifah menunjukkan bahwa dia
mempergunakan qiyas. tidak puas dengan penyampaian hadits saja,
dia menguji dengan pertimbangan psikologis
5. Merupakan mazhab yang paling intens dan konteks sosial (Jalaluddin Rakhmat, dalam
dalam penggunaan akal dan frekuensi Taufik Adnan Amal, 1989: 20-21).
13 Abu Hanifah pernah dilaporkan berkata,
penggunaan akalnya lebih banyak. Akal “Seandainya Rasulullah berjumpa denganku, ia

161 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

Perkembangan penggunaan akal lebih tidak penyebab utamanya adalah kaum


lanjut, menunjuk relatif keluar pada batas- mu‟tazilah sendiri, yang di awal sejarah
batas toleransi, tentu menurut ukuran aliran perkembangan pemikiran Islam
tradisional, yang agaknya kembali mulai disebut-sebut sebagai pelopor penggu-
berani. Ini misalnya dapat dilihat dari naan akal. Sebab dalam perkem-
pendapat Abu Yusuf, salah seorang murid bangannya lebih lanjut, ternyata
Hanafiah mengatakan, “Suatu nash yang Mu‟tazilah tidak luput dari lembaran
dulu dasarnya adat, kemudian adat itu telah hitam sejarah yang memalukan dunia
berubah, maka gugur pula ketentuan hukum pemikiran bebas. Menurut Nurcholish
yang terdapat dalam nash tersebut. 14 Atau Madjid, ketika kaum Mu‟tazillah
pendapat Najam al-Din al-Thufi, ahli hukum mendapat angin oleh rezim Abbasiyah
terkenal bermazhab Hanafiah, mengatakan. di Baghdad, karena ajaran mereka
“bahwa apabila terjadi tabrakan antara diangkat menjadi aturan resmi negara,
kepentingan umum dengan nash dan ijma‟, yaitu di masa kekhalifahan al-Makmun,
maka wajib didahulukan atau dimenangkan mereka melancarkan apa yang dikenal
kepentingan umum (Munawir Sjadzali, 64). dengan mihna.15
Berangkat dari kenyataan di atas, Sayid Ketika Mutawakkil naik menjadi
Amier Ali menyimpulkan, bahwa Islam yang khalifah situasi politik berbalik secara
dibawa oleh nabi Muhammad tidak total. Ulama dari kalangan ahli hadis,
sedikitpun mengandung suatu yang dapat hukum, dan para qadi yang selama ini
merintangi kemajuan dan menghambat tidak mendapat tempat dan bahkan
perkembangan intelektualitas manusia. Lalu termasuk mendapat siksa akibat proses
apa sebabnya, sejak abad kedua belas mihnah, misalnya termasuk Imam
Masehi, pemikiran rasional dan liberal Ahmad bin Hambal, maka pada masa
(filsafat) hampir-hampir lenyap dan akhirnya khalifah Mutawakkil mendapat tempat
paham jabariyah dan anti rasionalisme yang strategis. Sehingga akibatnya, kaum
berkembang di dunia Islam? rasionalis dan liberal tersingkir dari
pusat kekuasaan dan bahkan diusir
Sebagaimana telah disinggung, bahwa
dari Baghdad. Tidak hanya itu,
hadits-hadits tentang akal itu banyak ditolak
menurut Sayed Amier Ali, pengajaran
oleh sebagian ulama atau sekurang-
kurangnya diragukan keabsahannya, paling 15 Mihnah adalah suatu gerakan untuk

memeriksa paham pribadi atau inquisition, yang


akan mengambil banyak pendapatku. Bukankah dengan itu orang-orang yang tidak sepaham
agama itu ra‟yu yang baik?” Barangkali ini penegasan dengan mereka dikejar-kejar dan disiksa, kalau
tentang keharusan hadits tunduk atas analisis rasional perlu dibunuh. Salah seorang korban mihnah,
(Jalaluddin Rakhmat, dalam Taufik Adnan Amal, ialah sarjana keagamaan besar, Ahmad Ibn
1989: 20-21). Hambal, pendiri mazhab Hambali yang
14 Misalnya Nabi pernah menyatakan, bahwa banyak dianut di Arabiah. Karena itu,
untuk jual beli gandum itu dipergunakan ukuran perlawanan yang sengit kepada penggunaan
takaran, mengikuti adat setempat waktu itu. Di akal secara bebas, sebagaimana yang dianut
banyak wilayah dunia Islam untuk jual beli gandum oleh kaum Mu‟tazilah, kemudian muncul dari
dipergunakan ukuran timbangan. Apakah kebiasaan kalangan Hambali, yang juga dikenal sebagai
menggunakan timbangan itu tidak dibenarkan karena ahlu al-hadits (Nurcholish Madjid, 1997: 67-
menyalahi petunjuk Nabi? 68).

162 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

filsafat dan ilmu pengetahuan rasional Nurcholish Madjid (1997: 52-53)


dilarang dan beberapa perguruan tinggi mengungkapkan bahwa dalam banyak
ditutup. Bahkan buku-buku filsafat yang hal terjadi sikap-sikap tidak adil kepada
telah dihasilkan dibakar dan pengarangnya kitab suci. Jika kaum ortodoks berhasil
dibunuh.16 Dalam pada itu, Abu Hasan al- membendung rasionalitas dengan
Asy‟ari tampil dengan membawa aliran menaruh curiga yang berlebihan
teologi baru, teologi yang menentang kepada hadits-hadits tentang akal,
kebebasan manusia. Pada akhirnya aliran mereka tidak berbuat apa-apa terhadap
teologi inilah yang berkuasa dan menjadi ayat-ayat suci yang dengan tegas sekali
anutan resmi mayoritas ummat Islam (Harun mendorong manusia untuk
Nasution (1995: 56). menggunakan akalnya.
Dalam perkembangan sejarah lebih Akal dan Wahyu dalam Timbangan
lanjut, persengketaan antara kaum ortodoks Ahli Fiqh
dan kaum rasionalis, akhirnya secara formal Dalam Islam sumber hukum
dimenangkan oleh kaum ortodoks.17
yang paling otoritatif adalah Allah
Sekurang-kurangnya, secara lahir mereka semata-mata. Semua orang, termasuk
mendominasi pemikiran keagamaan.18 Rasulullah, tunduk kepada hukum-
hukum Allah. Dilihat dari segi ini,
16 Sayed Amier Ali (t.th: 439-340) dalam maka Rasulullah bertugas melaksa-
memberikan penilaian terhadap sejarah, sepertinya
tidak fair. Karena ia telah terobsesi dan kagum nakan dan menyampai perintah-
terhadap rasionalisme Mu‟tazilah sehingga ia tidak perintah Allah kepada ummat manusia
melihat dan mengungkapkan kesalahan sejarah yang
(Amiur Nuruddin, 1987: 69). Kare-
telah dilakukan oleh Mu‟tazilah. Benar Mu‟tazilah
yang telah memainkan peran penting dalam nanya, segala ketentuan yang
membangun kebesaran Islam dalam bidang bersumber dari Allah, al-Qur‟an; dan
pemikiran, tetapi pada kenyataanya ia sendirilah yang
meruntuhkannya lewat gerakan mihnah yang yang diperinci, diberi contoh dan
dilancarkannya. Karenanya, ketika situasi politik tafsirkan oleh Rasulullah, as-Sunnah,
berubah adalah wajar kalau lawan politik mereka
melakukan upaya-upaya balas dendam, seperti apa harus dilaksanakan. Jadi al-Qur‟an dan
yang pernah Mu‟tazilah lakukan terhadap diri mereka. as-Sunnah merupakan sumber hukum
Namun disayangkan, dan di sinilah Sayed Amier Ali
ada benarnya, bahwa yang turut menjadi korban
(Ahmad Hasan, 1984: 103).
adalah ilmu pengetahuan dan filsafat serta lenyapnya
semangat rasionalisme dan liberalisme di kalangan
Dalam posisinya sebagai al-
umat Islam. mubayyinah (pemberi penjelasan),
17 Sebagai konsekuensi logisnya, maka timbullah
Rasulullah sudah barang tentu terlibat
hadits-hadits yang mengutuk penggunaan akal.
Sekedar contoh, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn dalam berbagai aspek kehidupan
Abbas, Nabi bersabda: “Orang yang menafsirkan al- ummat Islam. Karena sedemikian
Qur‟an menurut pendapatnya harus siap menempati
tempatnya di dalam api neraka”. Dan ironisnya lagi,
Umar, yang dikenal seorang rasionalis, diriwayatkan akal terus berlanjut. Menurut Sayeed Hossein
pernah menyeru kepada masyarakat untuk berhati- Nasr (1991: 109), kegiatan intelektual tidak
hati terhadap orang yang mendukung akal karena mati, seperti tudingan orang orientalis, dengan
mereka adalah musuh hadits-hadits Nabi meninggalnya Bapak Orientalis Islam, Ibn
(Muhammad Muslehuddin, 1991: 109). Rushd. Tudingan tersebut, menurutnya, terlalu
18 Ini mungkin hanya berlaku di dunia Sunni, banyak memiliki cacat dan sulit
sedangkan di dunia Syi‟ah tradisi penghargaan kepada dipertanggungjawabkan.

163 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

kompleksnya persoalan yang dihadapi memberikan “mandat” kepada


ummat Islam, maka Rasulullah membuat sahabat-sahabatnya untuk
penggarisan (Amiur Nuruddin, 1987: 70). memutuskan suatu perkara, sekalipun
Rasulullah menggariskan dalam sabdanya: itu terjadi di hadapan beliau sendiri
(Ibn Hazm, Juz IV, 1345 H: 25).
Sesungguhnya aku adalah manusia. Bila aku
memerintahkan suatu tentang agamamu, maka Di antara sahabatnya yang
terimalah itu. Dan bila aku menyuruh tentang diberikan kepercayaan untuk
sesuatu berdasarkan pendapatku, maka aku
adalah manusia (Muslim, Juz IV, t.th: 95).19 memutuskan suatu perkara adalah
„Amr Ibn al-„Ash. Diriwayatkan bahwa
Sewaktu Islam sudah merambah ke
pada suatu kali Rasulullah berkata
mana-mana, maka persoalannya menjadi
kepada „Amr ibn al-„Ash, agar
lain. Nabi sendiri “membatasi dirinya” hanya
memutuskan suatu persoalan hukum.
persoalan-persoalan agama dan masalah
Lalu „Amr bertanya: “Apakah saya
yang jelas ada nash al-Qur‟annya. Sementara
akan berijtihad, padahal engkau ada?”
persoalan-persoalan kemasyarakatan yang
Rasulullah menjawab: “Ya, jika engkau
tidak tersentuh secar eksplisit oleh al-Qur‟an
betul (dalam berijtihad), maka bagimu
dan Hadits semakin menuntut peran yang
dua pahala. Tetapi jika engkau salah
besar dari akal yang diwujudkan dalam
(dalam berijtihad), maka engkau
bentuk Ijtihad.20 Untuk itu, Rasulullah sering
mendapat satu pahala” (Amiur
Nuruddin, 1987: 54).
19 Menurut penelitian Sayyid Muhammad Musa,

seperti yang ditulis oleh Amiur Nuruddin (1987: 70), Di samping ijtihad, term yang
status hadits tersebut diperdebatkan oleh para ulama.
sering dipergunakan untuk menggam-
Muhammad „Abd al-Hamid menyebutkan bahwa
hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhari, al- barkan pendapat pribadi yang orisinil
Tirmidzi, al-Nasa‟i, dan Ibn Majah. Catatan lain yang adalah al-ra‟y.21 Muhammad Anis
diketemukan bahwa yang dimaksud dengan al-ra‟y
adalah dalam urusan duniawi. Sedangkan komentar
lain menyebutkan bahwa hadits tersebut bukan saat, ia diberi tahu orang bahwa matahari
berasal dari Rasulullah, tetapi berasal dari rawi, karena terlihat kembali di ufuk barat (karena
hadits itu diriwayatkan secara maknawi. sebenarnya memang belum terbenam). Atas
20 Term al-Ijtihad, sebagaimana yang diuraikan dasar ini dikhabarkan „Umar menyatakan:
dalam Lisan al-„Arab, terambil dari kata al-Jahd dan al- “Bukan soal yang gawat. Kami sudah
Juhd, secara etimologis berarti al-Thaqah (tenaga dan berijtihad (qad ijtihadna)”. Begitu juga pada
kuasa). Sementara al-Ijtihad dan al-Tajahud, berarti kasus ketika Abu Bakar mengirim tentara di
“penumpahan segala kesempatan dan tenaga” bawah komando Khalid Ibn Walid; dan
(Jamaluddin Muhammad Ibn Muharram, Juz III, t.th: Khalid membunuh seseorang, meskipun
107-109). Istilah ini merupakan term generik yang ada sudah tidak berdaya, lantaran istri orang
sebelum pertumbuhan prinsip-prinsip hukum, tersebut berada pada puncak kecantikannya.
misalnya, seperti qiyas, istihsan, dan lain-lain dan juga Dan ia malam harinya Khalid “mengawani”
berlaku untuk term, misalnya “tawa‟il” (yang secara wanita tersebut. Peristiwa ini dipertanyakan
jujur, semuanya tidak mungkin melepaskan diri dari orang (sahabat), dengan enteng Abu Bakar
penggunaan akal), yang kemudian lebih menjawab, “dia telah melakukan ijtihad, dan
disistematisasikan. Namun, istilah ini dalam periode dia ternyata salah”. Meskipun demikian ia
awal dipergunakan dalam pengertian sempit dan lebih tetap dapat pahala satu.
khusus. Misalnya dapat dilihat, seperti dalam kasus 21 Secara etimologis al-ra‟y berarti
berikut ini, ada kasus mengenai diri „Umar Ibn perenungan (al-tadabbur) dan pemikiran
Khaththab, bahwa suatu hari pada bulan Ramadhan, secara kontemplatif. Secara terminologis
„Umar mengumumkan tibanya saat berpuasa ketika bermakna: Suatu keputusan yang dicapai oleh
matahari tampaknya telah terbenam. Setelah beberapa seseorang setelah melakukan pemikiran,

164 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

„Ubaidah, Ketua Jurusan Fiqh Perbandingan diketemukan petunjuk. Muadz


pada Universitas Al-Azhar, dalam bukunya, menjawab bahwa dalam keadaan
Tarikh al-Fiqh al-Islami, seperti yang dikutip demikian dia akan berijtihad dengan
oleh Amir Nuruddin, telah memberikan mempergunakan akalnya. “Segala puji
gambaran yang cukup baik tentang bagi Allah yang telah memandu utusan
hubungan ijtihad dan al-ra‟y. Ia mengatakan: Rasulullah kepada (kebajikan) yang
diridha‟inya,” seru Rasul dengan
Ijtihad sahabat (di samping pengertiannya)
mencakup pengistimbatan hukum dari al- puas.22
Kitab dan al-Sunnah, juga mencakup Dari dialog Rasulullah dengan
pengambilan hukum atas dasar
pertimbangan yang benar (al-ra‟y al-shahih), Mu‟adz Ibn Jabal di atas, secara
baik pertimbangan itu didasarkan kepada implisit mengungkapkan bahwa tiada
Qiyas, penyamaan hukum sesuatu yang tempat bagi akal jika terdapat nash,23
tidak disebutkan teksnya kepada selainnya,
termasuk penetapan hukum atas dasar al-
Mursalah. Oleh sebab itu, ijtihad
mengandung pengertian yang luas (umum),
22 Redaksi ini dikutip secara langsung dari
Munawir Sjadzali (33). Meskipun hadits
sementara dari al-ra‟y adalah bagian dari tersebut, menurut peneliti Ilmu Hadits, adalah
ijtihad, dan Qiyas adalah bagian dari al-ra‟y hadits Mursal, tetapi, sepertinya hadits inilah
(Amiur Nuruddin, 1987: 56). yang mendasari diberlakukannya ijtihad.
Hadits ini seringkali dikutip bila seseorang
Di samping riwayat itu, banyak lagi membahas masalah ijtihad, lihat misalnya,
riwayat-riwayat lain yang menggambarkan Abdul Wahab Khallaf (1975: 62); Said
Ramadhan (1986: 51).
penggunaan ijtihad. Di antaranya yang paling 23 Pendapat seperti ini dapat dilihat pada

populer adalah hadits taqriri, yang diri Imam al-Ghazali, seperti tersebut dalam
memberikan persetujuan kepada Mu‟adz Ibn kitabnya, al-Qistas al-Musthatim, dan bahkan
pada kitabnya yang lain, al-Iqtisal fi I‟tiqad,
Jabal, ketika Rasulullah mengangkatnya menyebutkan bahwa akal tidak mungkin
sebagai hakim di Yaman. Rasulullah bertanya menjadi penilai, termasuk mempergunakan
akal untuk mena‟wilkan ayat-ayat al-Qur‟an.
kepadanya: “Dengan apa engkau nantinya Karena al-Qur‟an, menurut hemat al-Ghazali,
menghakimi perkara?” “Dengan Kitab tidak terdapat di dalamnya suatu ayat yang
secara tegas bertentangan dengan akal (Bello,
Allah,” jawab Mu‟adz Ibn Jabal. “Kalau tidak 1989: 52-53).
terdapat petunjuk dalam kitab Allah?” Term “Nash” secara harfiah berarti
“sesuatu yang jelas”, dan secara teknis “nash”
“Dengan Sunnah Rasulullah”. bermakna “suatu perintah yang jelas, yang
secara tertulis nyata dalam al-Qur‟an dan al-
Kemudian Rasulullah bertanya Hadits dalam kaitannya dalam masalah
bagaimana kalau dalam sunnah Rasul tidak tertentu. Menurut Ahmad Hasan (1984: 111),
adalah al-Syaybani sengaja yang paling pertama
kali menggunakan istilah tersebut. Para ahli
perenungan, dan pencarian yang sungguh akan hukum awal pada umumnya menggunakan
kebenaran dalam kasus di mana petunjuk-petunjuk istilah Kitab dan Sunnah, bukan nash. Namun,
(dalil-dalil) yang diperoleh saling bertentangan. as-Syafi‟i (1993: 126) mempergunakan istilah
Menurut Ahmad Hasan (1984: 105), di kalangan tersebut sebagai lawan dari Ra‟y yang sudah
orang-orang Arab, kata ra‟y sering dipergunakan berkembang sebelum as-Syafi‟i sendiri di
terhadap pendapat dan keahlian yang pertimbangan kalangan para ahli hadits, tetapi yang diadopsi
dengan baik dalam memecahkan persoalan yang oleh as-Syafi'i sebagai prinsip hukum. Konsep
dihadapi. Seseorang yang memiliki persepsi mental nash, dalam tulisan as-Syafi‟i, tampaknya
dan pertimbangan yang bijaksana dikenal sebagai zu adalah sebagai lawan dari Ra‟y. Semakin Ra‟y
al-ra‟y. dibuang semakin ruang lingkup ijtihad

165 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

dan tiada takwil bagi ayat-ayat muhkamat atau zhanni dhalal perlu ditangani dengan
mutasyabihat;24 akal baru dapat berfungsi, cara merujuk kepada sumber utama
sekali lagi, kalau kita cermati dialog di atas, ajaran agama, al-Qur‟an dan Hadits.
bila ditemukan persoalan-persoalan Kemudian melakukan interpretasi
kontemporer yang senantiasa menuntut sesuai dengan masalah yang sedang
jawaban dalam hukum Islam. diselesaikan. Interpretasi itu dilakukan
dengan memperhatikan jangkauan arti
Untuk itu, di kalangan ahli ushul fiqh
lafadz atau kalimat yang terdapat
sepakat bahwa domain ijtihad hanya dapat
dalam teks al-Qur‟an dan Hadits
berlaku pada persoalan di mana secara
(Fathurrahman Djamil, 1995: 15-16).
eksplisit tidak terdapat al-Qur‟an dan Hadits;
dan masalah-masalah yang terdapat dalam al- Dari apa yang diutarakan di atas,
Qur‟an dan Hadits, tetapi termasuk kategori para ahli fiqh memberikan peranan
zhanni al-dalalat. Karenanya, pendapat yang yang dominan dan besar pada wahyu
menyatakan bahwa ijtihad adalah upaya dalam menetapkan hukum. Karena itu
mencari hukum suatu masalah yang sudah mereka menjadikan al-Qur‟an dan
terdapat dalam nash qath‟i tidak dapat Hadits sebagai sumber utama dalam
mereka terima begitu saja. Kalau ditelusuri pembentukan hukum Islam. Al-
ijtihad ahli fiqh dari zaman ke zaman, Qur‟an hakekatnya dalah wahyu Allah
ternyata mereka tidak memasuki lahan yang yang tertulis, sedangkan Hadits
sudah diatur dengan jelas dalam teks al- merupakan penjelasan Nabi terhadap
Qur‟an dan Hadits. Masalah-masalah yang wahyu Allah itu. Sementara akal hanya
tidak termaktub dalam nash; ataupun digunakan sebagai alat untuk
terdapat dalam nash tetapi masuk kategori memahami apa yang dimaksud oleh
wahyu Allah tersebut (Fathurrahman
menyempit, maka konsep nash yang semakin Djamil, 1995: 20).
mendominasi dan diperluas penerapannya.
24 Terulang ayat-ayat mutasyabihat terjadi Namun sebaliknya, penggunaan
perdebatan antara al-Ghazali dengan Ibn Rushd.
Misalnya seperti ayat berikut: “Dialah yang akal tidak dapat dihindarkan sekalipun
menurunkan al-Kitab (al-Qur‟an) kepada kamu. Di ada wahyu dan Rasulullah di sisi
antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat itulah pokok-
pokok isi al-Qur‟an; dan yang lain (ayat-ayat)
sahabat, sebagaimana riwayat di mana
mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya Rasulullah memberikan otoritas
condong kepada kesesatan, maka menimbulkan fitnah kepada sahabat „Amr ibn „Ash, seperti
dan mencari-cari ta‟wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta‟wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang disinggung di atas. Menurut
yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman Ahmad Hasan, alasannya jelas, bahwa
kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi
Tuhan kami”, dan tidak ada yang mengambil wahyu tersebut harus ditafsirkan,
pelajaran (daripadanya) kecuali orang-orang yang bahkan dita‟wilkan (makna elagoris)
berakal”. Terjemahan ayat yang disalin ini, adalah
menurut pendapat al-Ghazali. Sementara menurut supaya dapat diterapkan. Dan ternyata
Ibn Rushd, terjemahan ayat itu seharusnya, metode ta‟wil ini sangat berarti dalam
“....padahal tidak ada yang mengetahui kecuali Allah
dan orang-orang yang mendalam ilmu
menyelesaikan masalah-masalah fiqh.
pengetahuannya. Mereka berkata....” al-Ghazali tidak Bahkan ta‟wil, menurut Abu Zahrah,
membolehkan ta‟wil; sementara Ibn Rushd seperti yang dikutip oleh Fathurraman
membolehkannya. (Bello, 1989: 49-51).

166 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

Jamil (1995: 15), termasuk aspek-aspek tathbiqi (dimungkinkan untuk tidak


istinbath yang piawai dalam menangani memberlakukan nash tertentu
masalah-masalah hukum. dikarenakan adanya nash lain yang
menghendaki demikinan) dan bukan
Penerapan ta‟wil sangat urgen dan
melakukan ijtihad istinbathi
signifikan di dalam memahami nash al-
(Fathurraman Jamil, 1995: 15).
Qur‟an (termasuk Hadits Nabi), apalagi
kalau dirujuk kepada hadits Nabi sendiri
yang berbunyi: “Inna li-qur‟an dzhahiran wa Kesimpulan
bathnan wa li bathnihi bathnan ila sab‟ati abthan”
[Sesunggunya al-Qur‟an mempunyai arti lahir Hanya dengan penggunaan akal
dan batin. Batinnya terdiri atas sampai tujuh yang lebih proporsional dapat
batin] (Thabathaba‟i, 1987: 41). Sehingga dibangun optimisme dan melenyapkan
setidaknya, untuk tidak sampai tujuh, ada obskurantisme (kemasabodohan)
beberapa bentuk dalam menangkap hukum intelektual yang melanda ummat Islam
Tuhan dalam al-Qur‟an, misalnya; (i) hukum sejak beberapa abad terakhir ini dapat
yang tersurat secara harfiah dalam al-Qur‟an; diatasi. Dengan itu pula harapan
(ii) hukum yang tersirat di balik lafadz al- bahwa ummat Islam akan mampu
Qur‟an; dan (iii) hukum yang tersembunyi di menerobos stagnasi dan kebakuan
balik al-Qur‟an (Ismail Muhammad Syah, intelektual; dan tampil lagi memimpin
1992: 54). Untuk yang pertama barangkali ummat manusia dengan inisiatif dan
akal tidak dibutuhkan, tetapi bagaimana kreativitas peradaban yang bermanfaat
dengan yang kedua, apalagi yang ketika; di bagi manusia sejagat.
situ peran akal sangat dibutuhkan dan Akhirnya, tulisan ini ingin
kedudukan akal menjadi dominan dalam ditutup, kalau boleh meminjam
memahami nash al-Qur‟an dan Hadits. ungkapan Komaruddin Hidayat
Karenanya tidaklah benar bila dengan kalimat “Terlalu sombong
dikatakan bahwa akal dipergunakan hanya orang yang merasa dirinya paling tahu
bila tidak ada wahyu mengenai suatu mengenai satu bidang ilmu, tetapi juga
persoalan (Ahmad Hasan, 1984: 106). suatu kekufuran – tidak pandai
Bahkan menurut As-Syafi‟i, perbedaan- bersyukur- jika seseorang tidak bisa
perbedaan sangat memungkinkan sekalipun memanfaatkan secara maksimal
pada wahyu yang qath‟i (Ahmad Hasan, anugerah hati dan akal untuk mengkaji
1984: 106).25 Pernyataan as-Syafi‟i sangat ayat-ayat Allah yang berserakan ini.
jelas bila kita kembali merujuk kepada apa Akal memang terbatas, tetapi tahukah
yang pernah dilakukan oleh sahabat Umar kita sampai di manakah batasnya dan
Ibn Khattab. Namun ada pula yang siapa yang berhak menentukan garis
berpandangan bahwa apa yang dilakukukan batasnya?”
oleh Umar tersebut tidak lebih sebagai ijtihad

25 Pernyataan Syafi‟i, seperti dikutip oleh Ahmad

Hasan ini, sulit dipertanggungjawabkan.

167 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

Daftar Kepustakaan -------. (1995). Islam Rasional. Bandung:


Mizan.
Abduh, Muhammad. (1366H). Risah al-
Tauhid. Cairo: t.p. Ibn Hazm. (1345H). Al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam. Juz VI. Cairo:
Ahmad Hasan. (1984). Pintu Ijtihad Sebelum Maktabah al-Khariji.
Tertutup. Bandung: Pustaka.
Ibn Muharram, Jamaluddin
al-Ahwani, Ahmad Fuad. (1995). Filsafat Muhammad. (t.th). Lisan al-
Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus. Arab. Juz III. Mesir: Al-Dar al-
Ali, Sayyid Amier. (t.th). The Spirit of Islam. Mishriyyah al-Ta‟lif wa al-
Delhi: Idararh-I Adabaiyat-I Delli. Tarjamah.
Amiur Nuruddin. (1987). Ijtihad „Umar Ibn Ibn Rushd. (1972). Fasl al-Maqal Fima
Al-Khaththab: Studi Tentang Perubahan Bayn al-Hikam wa al-Syari‟ah min
Hukum Dalam Islam. Jakarta: Rajawali Ittisal. Cairo: Dar al-Ma‟arif.
Press. Ismail Muhammad Syah. (1992).
Atiyeh, Goerge N. (1983). al-Kindi: Tokoh Filsafat Hukum Islam. Jakarta:
Filosuf Muslim. Bandung: Pustaka. Bumi Aksara.
Bello, Iysa A. (1989). The Medieval Islamic Jalaluddin Rakhmat. (1989). “Kata
Controversy Between Philosophy and Pengantar”. Dalam Taufik
Orthodoxy: Ijma‟ and Ta‟wil in The Adnan Amal. Islam dan
Conflict Between al-Ghazali and Ibn Tantangan Modernitas: Studi Atas
Rushd. Leiden: E.J. Brill. Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman. Bandung: Mizan.
Fakhry, Majid. (1970). A History of Islamic
Philosophy. New York: Colombia. -------. (1995). “Fiqh dan Reaktualisasi
Ajaran Islam”. Dalam Budhy
Fathurrahman Djamil. (1995). Metode Ijtihad
Munawar Rahman.
Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta:
Kontekstualisasi Doktrin Islam
Logos.
Dalam Sejarah. Jakarta:
H.M. Rasyidi, et.al. (1983). Islam untuk Paramadina.
Disiplin Ilmu Filsafat. Jakarta: Bulan
Kafrawi Ridwan (ed). (1994).
Bintang.
Ensiklopedi Islam. Cet. Ke-3.
H. Fuad Hashem. (1990). Sirah Muhammad Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Rasulullah. Bandung: Mizan. Hoeve.
Harun Nasution. (1975). Pembaharuan dalam Khallaf, Abdul Wahab. (1975). Ilm
Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Ushul al-Fiqh. Cairo: Mathba‟at
-------. (1986a). Akal dan Wahyu Dalam Islam. al-Nashr.
Jakarta: UI Press. Madhkur, Ibrahim. (1993). Filsafat
-------. (1986b). Teologi Islam. Jakarta: UI- Islam: Metode dan Penerapan.
Press. Jakarta: Rajawali Press.

-------. (1990). Muhammad Abduh dan Teologi Mahmud, Abdul Halim. (1982).
Rasional Mu‟tazilah. Jakarta, UI-Press. Falsafah Ibn Tufail wa Risalah
Hayy bin Yaqzan. Beirut: Dar
-------. (1992). Filsafat dan Mistisisme dalam al-Kitab al-Banani.
Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Muhammad Muslehuddin. (1991).
Filsafat Islam dan Pemikiran

168 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016
Masbukin & Alimuddin Hassan : Akal dan Wahyu;

Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana.


Muhammad Nazir. (1992). Sisi Kalam Dalam
Pemikiran Syekh Abdurrahman Siddik
al-Banjari. Pekanbaru: SUSQA Press.
Murata, Sachiko. (1996). The Tao of Islam.
Jakarta: Mizan.
Nasr, Sayeed Hossein. (1991). Intelektual
Islam: Teologi, Filsafat, dan Gnosis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Netton, Ian Richard. (1992). al-Farabi and
His School. London-New York:
Routledge.
Nurcholish Madjid (ed.). (1984). Khazanah
Intelektual Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
-------. (1992). Islam doktrin dan Peradaban.
Jakarta: Paramadina.
-------. (1997). Kaki Langit Peradaban Islam.
Jakarta: Paramadina.
Said Ramadhan. (1986). Hukum Islam: Ruang
Lingkup dan Kandungannya. Jakarta:
Gaya Media Pratama.
as-Syafi'i. (1993). Al-Risalah. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
al-Syahrastani (1951). al-Mihal wa al-Nihal.
Cairo: t.p.
Syarif, M.M. (1994). Para Filosuf Muslim.
Bandung: Mizan.
Thabathaba‟i, Allamah M.H. (1987).
Mengungkap Rahasia Al-Qur‟an.
Bandung: Mizan.
Zahrah, Abu. (1987). Tarikh Al-Madzahib
Al-Islamiyah. Beirut: Dar Al-Fikr Al-
Arabi.

169 TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama


Vol. 8, No. 2, Juli – Desember 2016

Anda mungkin juga menyukai