Abstact
Tulisan ini mendiskusikan tentang peran akal dan wahyu dalam sejarah Islam. Perdebatan
ini kemudian melahirkan sikap-sikap intoleransi dalam Islam. Masing-masing bersiteguh
akan kebenaran yang dimiliki. Agaknya pada dua abad pertama Islam banyak beredar
hadits-hadits yang menjunjung tinggi akal. Tetapi karena hadits-hadits itu lebih mendukung
“kaum liberal”, maka dalam perkembangan lebih lanjut dikenakan prasangka sebagai
lemah dan tidak sah, sehingga juga tidak banyak dimuat dalam kitab-kitab hadit hasil
pembukuan masa-masa sesudahnya
untuk dijadikan pedoman dan pegangan wahyu dan akal adalah bermuara pada
hidup di dunia dan akhirat. Dalam Islam kebenaran yang sama.
wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Akal dalam Timbangan al-Qur’an
Muhammad SAW terkumpul semuanya dan Hadis
dalam al-Qur‟an (Harun Nasution, 1986a: 5).
Al-Qur‟an pada dasarnya
Dan pada galibnya, dipahami bahwa memberikan apresiasi dan
wahyu dan akal masing-masing dipandang penghargaan terhadap penggunaan
sebagai objek dan subjek. Satu ilustrasi yang akal yang dimiliki oleh manusia.
menarik yang diberikan oleh Fathurraman
Sehigga rasionalitas menjadi ukuran
Jamil (1995: 20) prihal akal dan wahyu. Di dan pembeda hakiki antara manusia
mana wahyu sebagai sumber hukum dengan makhluk hidup yang lain
diandaikan sebagai “negatif film” yang akan (Nurcholish Madjid, 1997: 162).
menjadi dasar bagi terwujudnya sebuah foto. Akallah yang memberikan kemampuan
Sementara akal diibaratkan sebagai ”tukang kepada Adam (manusia), misalnya,
cuci cetak foto” yang ikut serta menentukan
untuk mengenal dunia sekelilingnya.
hasil cetakan, apakah baik atau buruk Atas dasar kemampuan itulah manusia
hasilnya. Ditambahkan, tanpa negatif film dipilih oleh Tuhan sebagai khalifahnya
tukang cuci cetak tidak dapat mencetak foto di bumi; dan bukan malaikat meskipun
yang dimaksud. Namun, perlu juga diingat senatiasa bertasbih memuji Allah dan
bahwa tanpa tukang cuci, maka negatif foto mengkuduskannya (Q.S. al-Baqarah
selamanya akan tetap menjadi negatif foto, [2]: 30-34). Dengan begitu, al-Qur‟an
gelap dan sulit untuk diketahui apa mengakui keunggulan manusia dan
sesungguhnya yang ada di dalamnya. memberikan kebebasan untuk
Karenanya, kalau intrepretasi wahyu menguasai dan mengatur alam (Ali,
atas wahyu lebih dominan akan bersifat t.th: 403). Tetapi meskipun begitu, di
objektif; sebaliknya kalau intrepretasi akal balik kebebasan manusia tersebut
atas wahyu lebih dominan akan bersifat harus diiringi dengan tanggung jawab,
subjektif. Sehingga pada gilirannya, sumber baik sosiologis maupun teologis.
pengetahuan dan petunjuk kebenaran yang Dalam pada itu, Nabi Muham-
didasarkan atas wahyu bersifat absolut dan mad sendiri dalam memaknai firman
mutlak; sebaliknya yang didasarkan atas akal Allah tersebut juga memberikan
bersifat relatif dan nisbi kebenarannya kebebasan kehendak dan keharusan
(Harun Nasution, 1986a: 1). Mengingat penggunaan akal sebagai-mana yang
kedua sumber kebenaran tersebut sama- termaktub dalam sabda-sabdanya.1
sama berasal dan/atau “diciptakan” (?)
Tuhan sehingga adalah absurd dan tidak 1 Di sini kami sebutkan beberapa hadits
intellegible kalau ternyata terdapat kontradiksi yang jarang terdengar di kalangan orang Sunni,
tetapi akrab di telinga orang Syi‟ah, di
di dalamnya (Nurcholish Madjid, 1997: 67- antaranya:
68), sehingga idealnya merupakan suatu Allah tidak akan menerima shalat seorang
keniscayaan kalau hasil pencapaian antara hamba, juga tidak pada puasanya, hajinya,
umrahnya, sedekahnya, jihadnya, dan apapun
Sabda-sabda Nabi itu sangat berbekas di dan Hasan Basri3 serta Washil bin
kalangan para sahabat, sehingga kebebasan Atha‟, pendiri aliran rsionalisme secara
dan rasionalitas mula-mula tumbuh di formal, Mu‟tazilah.4
Madinah. Gagasan kebebasan dan Berkenaan dengan ini, banyak
rasionalitas ini mendapat bentuk yang lebih indikasi yang menunjukkan bahwa
tepat lewat kata-kata Ali bin Abi Thalib. Islam pada masa klasik telah terlibat
Kemudian, dari sini gagasan ini menyebar ke dalam perdebatan yang cukup luas dan
Basrah dan Kufah dan pada akhirnya sampai ramai, dalam suasana kehidupan
di Baghdad lewat sarjana-sarjana Islam
liberal dan rasional, seperti Ja‟far al-Shadik,2
ia menguasai beberapa bahasa asing.
Karenanya, ia acap kali berhubungan dengan
jenis kebaikan yang diucapkannya, jika ia tidak sarjana dan budayawan dari kalangan agama
menggunakan akalnya. Telah sampai kepada kami Kristen, Yahudi, dan Zoroaster; dan dengan
bahwa ketika menciptakan akal, Allah memerintahkan mereka ia sering melakukan dialog-dialog dan
kepadanya (akal), “Duduklah”, dan ia pun duduk. bertukar pikiran. Ja‟far al-Shadik merupakan
Lalu perintah-Nya lagi, “Majulah”, maka ia pun maju; bapak rasionalisme dalam Islam di mana Abu
lalu perintah-Nya lagi, “Lihatlah”, dan ia pun melihat; Hanifah dan Imam Malik pernah berguru.
lalu perintah-Nya lagi, “Bicaralah”, dan ia pun bicara, Sehingga dari kedua muridnya ini sangat
lalu perintah-Nya lagi, “Perhatikan” dan ia pun terlihat sekali pengaruh dan unsur
memperhatikan, lalu perintah-Nya lagi, rasionalitasnya dalam membangun sistem
“Dengarkanlah”, dan ia pun mendengarkan, lalu hukum yang mereka bangun, terutama sekali
perintah-Nya lagi, “Mengertilah”, dan ia pun tampak pada diri Abu Hanifah (Ali, t.th: 411).
mengerti. Kemudian Allah berfirman kepadanya, 3 Ia adalah seorang kelahiran Madinah
intelektual yang lebih bebas dan terbuka Nasution (1986a: 76), masalah
daripada masa-masa sesudahnya. relevansi dan univikasi antara wahyu
Sehubungan dengan ini Nurcholish Madjid dan akal telah menjadi bahan polemik
(1997: 49-50), mengatakan: yang akut dan perdebatan yang
berkepanjangan di kalangan ulama-
Agaknya pada dua abad pertama Islam
banyak beredar hadits-hadits yang ulama (sarjana-sarjana Muslim)
menjunjung tinggi akal. Tetapi karena terutama di kalangan para teolog
hadits-hadits itu lebih mendukung Muslim. Di kalangan mereka ada yang
“kaum liberal”, maka dalam memberikan peran dan kedudukan
perkembangan lebih lanjut dikenakan
atas otoritas wahyu yang lebih
prasangka sebagai lemah dan tidak sah,
sehingga juga tidak banyak dimuat dominan dan besar, misalnya mereka
dalam kitab-kitab hadits hasil dari kubu Mu‟tazilah. Sebaliknya, ada
pembukuan masa-masa sesudahnya. pula yang memberikan peran dan
Sebagai contoh, adalah seorang pemikir kedudukan atas otoritas wahyu yang
Islam, al-Harits ibn Asad al-Muhasibi,
justru lebih dominan dan tinggi,
yang wafat pada 243 H (tujuh puluh
tahun sebelum wafat al-Bukhari). Dia misalnya kubu ini diwakili oleh
adalah salah seorang tokoh “rasionalis” Asy‟ariyah.
yang sangat dini dalam Islam, yang
meninggalkan karya-karya tulis Di kalangan teolog Muslim
sistematis. Dia juga seorang agamawan diskusi tentang akal dan wahyu
yang saleh dengan kecenderungan menempati posisi sentral dalam
kesufian yang kuat”. wacana pemikiran dan intelektual
Dalam karya-karyanya, menurut meraka. Ini mudah untuk dipahami
Nurcholish Madjid (1997: 50), al-Muhasibi karena ilmu kalam sebagai ilmu yang
menuturkan hadits-hadits yang sangat membahas soal-soal ketuhanan dan
mengesankan, sebagaimana hadits yang kami soal hubungan timbal balik antara
kutip di awal tulisan ini. Al-Muhasibi manusia dengan Tuhan sudah barang
menolak pandangan sebagian ulama yang tentu memerlukan akal dan wahyu
menyatakan bahwa hadits-hadits tentang akal sebagai sumbernya. Akal dianu-
itu palsu (maudhu'), bikin-bikinan atau dhaif. gerahkan Tuhan secara potensial
Baginya, hadits-hadits itu adalah absah, berupaya sedemikian rupa untuk
karena maknanya sejalan dengan berbagai membangun proposisi-proposisi yang
gambaran dan ajaran al-Qur‟an. Dan hadits- logis sehingga dapat membawa sampai
hadits itu cukup menggambarkan suasana kepada pengetahuan tentang hal-hal
yang memberikan dorongan kepada kaum yang berkaitan dengan soal ketuhanan.
muslim klasik untuk menjunjung tinggi akal Sedangkan wahyu yang diturunkan
dan memikirkan rasional. Tuhan kepada manusia membawa
pengkhabaran yang berisi penjelasan-
Akal dan Wahyu: Timbangan
Mutakallimin penjelasan yang perlu mengenai hal-
hal yang menyangkut Tuhan sendiri,
Sepanjang sejarah tradisi pemikiran
dan mengenai hal-hal yang
dan intelektual Islam, menurut Harun
manusia atas kelalaian mereka dan emanasinya. Karenanya, akal aktif juga
mempersingkat jalan untuk (sampai) disamakan dengan akal kesepuluh.
mengetahui Tuhan. Betul akal dapat Bahkan lebih lanjut disebut-sebut
mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, bahwa akal kesepuluh identik atau
tetapi manusia kerap kali lalai, maka wahyu setidak-tidaknya dapat berhubungan
datang untuk mengingatkan manusia. Benar dangan malaikat Jibril. Kalau begini
akal dapat mengenal Tuhan, namun lewat halnya, karena kebenaran yang
jalan yang berliku-liku, dan wahyu datang diperoleh Nabi dengan wahyu lewat
untuk memperpendek dan mempermudah malaikat Jibril, dan kebenaran yang
jalan tersebut. diterima oleh filosuf dengan akal yang
mampu berhubungan dan malaikat
Dari paparan ini, dapat ditarik
Jibril, maka tidak ada pertentangan
kesimpulan bahwa fungsi wahyu bagi
antara akal dan wahyu dalam Islam
Mu‟tazilah mempunayi fungsi konfirmasi
(Netton, 1992: 49). Begitu juga dengan
dan informasi; memperkuat apa yang telah
Ibn Tufail, lewat karyanya yang sangat
diketahui oleh akal dan menjelaskan apa
ilustratif, Hayy bin Yaqzan, suatu karya
yang belum /tidak diketahui oleh akal. Di
novel ellagoris yang menganalogikan
antara kedua fungsi tersebut, diperoleh kesan
akal dengan Hayy bin Yaqzan dan
bahwa wahyu di kalangan Mu‟tazilah lebih
wahyu dengan analogi seorang ulama
banyak berfungsi sebagai konfirmasi
yang bernama Asal yang masing-
ketimbang sebagai informasi.
masing hidup di pulau terpencil.5
Akal dan Wahyu: Timbangan Para
Filosuf Selanjutnya, Ibn Rushd juga
mengarang suatu risalah untuk
Di kalangan para filosuf Muslim
menyelaraskan antara akal wahyu
persoalan univikasi akal dan wahyu telah
(filsafat dan syari‟ah) (Ibn Rushd,
mendapat perhatian yang pertama dan
1972: 31; Nurcholish Madjid, 1984:
utama. Univikasi antara akal dan wahyu telah
215). Bahkan, sesungguhnya polemik
menyita perhatian mereka yang paling awal
kalam yang ortodoks (orientasi wahyu
untuk diselesaikan dengan segera sebelum
lahiriah) dan filsafat liberal (orientasi
memasuki persoalan-persoalan filosofis
akal ellagoris) yang diwakili oleh
lainnya (Madhkur, 1993: 8). Beberapa nama
polemik posthumous antara al-Ghazali
filosuf yang berusaha untuk mencari
(Tahafut al-Falasifah) dan Ibn Rushd
relevansi dan mengupayakan univikasi antara
(Tahaut al-Tahafut) dapat dikatakan
akal dan wahyu sebagai representasi dari
masih dalam koridor akal dan wahyu
filsafat dan agama secara umum adalah
(Nurcholis Madjid, 1992: 280; Bello,
filosuf al-Kindi (Atiyeh, 1983: 17).
Kemudian upaya al-Kindi ini diteruskan dan 5 Menurut Sulaiman Dunia, pulau-pulau
1989: 69). Suatu pengecualian, seorang kesempurnaan adalah akal,” Untuk itu,
filosuf Muslim, al-Razi tidak mempercayai akal adalah analog mikrosmik Nabi
wahyu dan kenabian. Menurut filosuf ini, (Murata, 1996: 316).
akal sudah cukup memadai untuk Mengingat, baik wahyu maupun
mengetahui dan membedakan baik dan akal sama-sama bersumber dari Allah,
buruk. Baginya karya-karya ilmiah lebih seperti yang disampaikan kepada Nabi
berguna dan bernilai tinggi dibandingkan Muhammad ataupun yang tercermin
dengan Kitab Suci. Gagasan seperti ini pada diri Nabi Muhammad, maka al-
sangat berani karena mencederai ajaran Qur‟an dan as-Sunnah (lalu menjadi
pokok agama. Al-Razi memang seorang Hadits) sama-sama memberikan
filosuf yang sangat rasional dan liberal. Tiada apresiasi yang sangat tinggi kepada
pemikir Muslim sepanjang sejarah tradisi akal. Adalah dapat dipahami kalau
pemikiran dan intelektual Islam yang kemudian akal diakui sebagai sumber
serasional dan seliberal dia. Tetapi hukum Islam yang ketiga setelah al-
persoalannya, apakah ini benar-benar Qur‟an dan as-Sunnah, yang
merupakan pendapat murni darinya; jangan- diistilahkan dengan Ijtihad.6
jangan itu tidak lebih adalah tuduhan lawan
polemiknya (Harun Nasution, 1992: 23; 6 Melihat wahyu dan akal sama-sama dari
Karenanya, tulisan ini berupaya untuk Kufah dan Irak; dan aliran kedua
mengungkapkan (i) jejak-jejak rasionalitas berkembang di Madinah. Masing-
Islam yang awalnya begitu jelas tampak, masing kedua aliran ini dipelopori oleh
namun belakangan terlihat semakin redup; Imam Abu Hanifah dan Imam Malik
(ii) wujud aktivitas akal yang perlu ditopang (Jalaluddin Rakhmat, dalam Budhy
dengan semangat ijtihad di dalam memahami Munawar Rahman, 1995: 372).
nash al-Qur‟an dan Hadits. Namun demikian, kedua aliran
Akal dan Wahyu dalam Timbangan ini tetap menganggap al-Qur‟an dan
Sejarah as-Sunnah sebagai sumber utama
hukum Islam.9 Perbedaan penggunaan
Dalam perkembangan sejarah Islam,
akal baru muncul tatkala ijtihad
khususnya dalam bidang hukum terjadi
dilakukan dalam keadaan tidak ada
pertentangan di kalangan para pendiri
wahyu mengatur secara jelas
mazhab dalam hal porsi penggunaan akal
permasalahan yang sedang dihadapi.
dan wahyu dalam memahami dan
Atau hadits ahad yang kandungannya
menjabarkan ajaran Islam di bidang hukum.
bertentangan dengan akal, apakah
Aliran pertama, adalah mereka yang
hadits itu yang dipakai atau pendapat
mengutamakan penggunaan akal; aliran ini
akal yang didahulukan.10
kemudian disebut ahl al-ra‟yi (rasional).7
Kedua, adalah mereka yang mengutamakan Dalam sejarah perkembangan
penggunaan hadits dalam memahami wahyu; hukum Islam, penggunaan akan dan
dan aliran ini disebut ahl al-Hadits wahyu bagi mazhab-mazhab yang ada
(ortodoks).8 Aliran pertama berkembang di
dasar pemikiran mereka bahwa syari‟ itu
dalam Islam. Ia tidak lebih sekedar metode untuk hanyalah Allah dan Rasul-Nya. Tugas
menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang tidak Mujtahid menurut mereka bukanlah
terdapat secara eksplisit dalam al-Qur‟an atau Hadits. menciptakan hukum, tetapi menemukan
Rujukan utamanya tetap kedua sumber utama hukum yang telah dikemukakan oleh syari‟
tersebut. Jika ijtihad dinyatakan sebagai sumber tersebut. Karena aliran ini banyak diserap oleh
hukum, maka kedudukan hasil ijtihadnya sama ulama kalam, seperti Asy‟ariyah, al-Ghazali,
dengan wahyu Allah yang transendental dan dan lain-lain, maka aliran ini dinamakan aliran
mempunyai kebenaran mutlak”. Padahal, hasil ijtihad kalam. Aliran ini oleh sebagian orang juga
bersifat relatif dan nisbi. Sementara itu, suatu yang dinamakan aliran tradisional. Aliran ini juga
relatif dan nisbi tidak dapat dijadikan sebagai sumber dinamai aliran ahlul hadits.
hukum. 9Abu Zahrah (1987: 248) mengungkapkan
7 Aliran rasional adalah ijtihad yang berpandangan bahwa tidak seorangpun sahabat
bahwa hukum syari‟at itu merupakan suatu yang dapat meninggalkan wahyu demi akalnya atau
ditelaah esensi-esensi yang mendasari ketentuan- kemaslahatan yang dipandangnya.
ketentuan doktrinnya dengan mengacu kepada Sesungguhnya kemaslahatan yang difatwakan
kemaslahatan ummat. Dalam hal ini para mujtahid para sahabat tidak bertentangan dengan
rasional mengkaji illat untuk setiap norma hukum wahyu, tetapi mengaplikasikan wahyu secara
dengan melihat pada setiap sisi yang memungkinkan baik, berdasarkan pemahaman yang benar
untuk memperoleh illat sebanyak-banyaknya, sehingga akan maksud-maksud syara‟.
mereka dapat leluasa melakukan kajian analogis 10 Bagi aliran kalam atau ortodoks,
dengan memelihara kepentingan hidup manusia dan jawabannya jelas, yaitu alternatif pertama,
masyarakat secara keseluruhan. hadits yang dipakai; sebaliknya demikian,
8 Aliran ortodoks adalah aliran ijtihad yang kajian aliran rasional memilih jawaban alternatif
hukumnya lebih banyak berorientasi pada ayat al- terakhir, pendapat akal yang didahulukan
Qur‟an dan as-Sunnah Nabi, sebagai implikasi dari (Kafrawi Ridwan [ed], 1994: 99-100).
seperti yang ditulis oleh Amiur Nuruddin (1987: 70), Di samping ijtihad, term yang
status hadits tersebut diperdebatkan oleh para ulama.
sering dipergunakan untuk menggam-
Muhammad „Abd al-Hamid menyebutkan bahwa
hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhari, al- barkan pendapat pribadi yang orisinil
Tirmidzi, al-Nasa‟i, dan Ibn Majah. Catatan lain yang adalah al-ra‟y.21 Muhammad Anis
diketemukan bahwa yang dimaksud dengan al-ra‟y
adalah dalam urusan duniawi. Sedangkan komentar
lain menyebutkan bahwa hadits tersebut bukan saat, ia diberi tahu orang bahwa matahari
berasal dari Rasulullah, tetapi berasal dari rawi, karena terlihat kembali di ufuk barat (karena
hadits itu diriwayatkan secara maknawi. sebenarnya memang belum terbenam). Atas
20 Term al-Ijtihad, sebagaimana yang diuraikan dasar ini dikhabarkan „Umar menyatakan:
dalam Lisan al-„Arab, terambil dari kata al-Jahd dan al- “Bukan soal yang gawat. Kami sudah
Juhd, secara etimologis berarti al-Thaqah (tenaga dan berijtihad (qad ijtihadna)”. Begitu juga pada
kuasa). Sementara al-Ijtihad dan al-Tajahud, berarti kasus ketika Abu Bakar mengirim tentara di
“penumpahan segala kesempatan dan tenaga” bawah komando Khalid Ibn Walid; dan
(Jamaluddin Muhammad Ibn Muharram, Juz III, t.th: Khalid membunuh seseorang, meskipun
107-109). Istilah ini merupakan term generik yang ada sudah tidak berdaya, lantaran istri orang
sebelum pertumbuhan prinsip-prinsip hukum, tersebut berada pada puncak kecantikannya.
misalnya, seperti qiyas, istihsan, dan lain-lain dan juga Dan ia malam harinya Khalid “mengawani”
berlaku untuk term, misalnya “tawa‟il” (yang secara wanita tersebut. Peristiwa ini dipertanyakan
jujur, semuanya tidak mungkin melepaskan diri dari orang (sahabat), dengan enteng Abu Bakar
penggunaan akal), yang kemudian lebih menjawab, “dia telah melakukan ijtihad, dan
disistematisasikan. Namun, istilah ini dalam periode dia ternyata salah”. Meskipun demikian ia
awal dipergunakan dalam pengertian sempit dan lebih tetap dapat pahala satu.
khusus. Misalnya dapat dilihat, seperti dalam kasus 21 Secara etimologis al-ra‟y berarti
berikut ini, ada kasus mengenai diri „Umar Ibn perenungan (al-tadabbur) dan pemikiran
Khaththab, bahwa suatu hari pada bulan Ramadhan, secara kontemplatif. Secara terminologis
„Umar mengumumkan tibanya saat berpuasa ketika bermakna: Suatu keputusan yang dicapai oleh
matahari tampaknya telah terbenam. Setelah beberapa seseorang setelah melakukan pemikiran,
populer adalah hadits taqriri, yang diri Imam al-Ghazali, seperti tersebut dalam
memberikan persetujuan kepada Mu‟adz Ibn kitabnya, al-Qistas al-Musthatim, dan bahkan
pada kitabnya yang lain, al-Iqtisal fi I‟tiqad,
Jabal, ketika Rasulullah mengangkatnya menyebutkan bahwa akal tidak mungkin
sebagai hakim di Yaman. Rasulullah bertanya menjadi penilai, termasuk mempergunakan
akal untuk mena‟wilkan ayat-ayat al-Qur‟an.
kepadanya: “Dengan apa engkau nantinya Karena al-Qur‟an, menurut hemat al-Ghazali,
menghakimi perkara?” “Dengan Kitab tidak terdapat di dalamnya suatu ayat yang
secara tegas bertentangan dengan akal (Bello,
Allah,” jawab Mu‟adz Ibn Jabal. “Kalau tidak 1989: 52-53).
terdapat petunjuk dalam kitab Allah?” Term “Nash” secara harfiah berarti
“sesuatu yang jelas”, dan secara teknis “nash”
“Dengan Sunnah Rasulullah”. bermakna “suatu perintah yang jelas, yang
secara tertulis nyata dalam al-Qur‟an dan al-
Kemudian Rasulullah bertanya Hadits dalam kaitannya dalam masalah
bagaimana kalau dalam sunnah Rasul tidak tertentu. Menurut Ahmad Hasan (1984: 111),
adalah al-Syaybani sengaja yang paling pertama
kali menggunakan istilah tersebut. Para ahli
perenungan, dan pencarian yang sungguh akan hukum awal pada umumnya menggunakan
kebenaran dalam kasus di mana petunjuk-petunjuk istilah Kitab dan Sunnah, bukan nash. Namun,
(dalil-dalil) yang diperoleh saling bertentangan. as-Syafi‟i (1993: 126) mempergunakan istilah
Menurut Ahmad Hasan (1984: 105), di kalangan tersebut sebagai lawan dari Ra‟y yang sudah
orang-orang Arab, kata ra‟y sering dipergunakan berkembang sebelum as-Syafi‟i sendiri di
terhadap pendapat dan keahlian yang pertimbangan kalangan para ahli hadits, tetapi yang diadopsi
dengan baik dalam memecahkan persoalan yang oleh as-Syafi'i sebagai prinsip hukum. Konsep
dihadapi. Seseorang yang memiliki persepsi mental nash, dalam tulisan as-Syafi‟i, tampaknya
dan pertimbangan yang bijaksana dikenal sebagai zu adalah sebagai lawan dari Ra‟y. Semakin Ra‟y
al-ra‟y. dibuang semakin ruang lingkup ijtihad
dan tiada takwil bagi ayat-ayat muhkamat atau zhanni dhalal perlu ditangani dengan
mutasyabihat;24 akal baru dapat berfungsi, cara merujuk kepada sumber utama
sekali lagi, kalau kita cermati dialog di atas, ajaran agama, al-Qur‟an dan Hadits.
bila ditemukan persoalan-persoalan Kemudian melakukan interpretasi
kontemporer yang senantiasa menuntut sesuai dengan masalah yang sedang
jawaban dalam hukum Islam. diselesaikan. Interpretasi itu dilakukan
dengan memperhatikan jangkauan arti
Untuk itu, di kalangan ahli ushul fiqh
lafadz atau kalimat yang terdapat
sepakat bahwa domain ijtihad hanya dapat
dalam teks al-Qur‟an dan Hadits
berlaku pada persoalan di mana secara
(Fathurrahman Djamil, 1995: 15-16).
eksplisit tidak terdapat al-Qur‟an dan Hadits;
dan masalah-masalah yang terdapat dalam al- Dari apa yang diutarakan di atas,
Qur‟an dan Hadits, tetapi termasuk kategori para ahli fiqh memberikan peranan
zhanni al-dalalat. Karenanya, pendapat yang yang dominan dan besar pada wahyu
menyatakan bahwa ijtihad adalah upaya dalam menetapkan hukum. Karena itu
mencari hukum suatu masalah yang sudah mereka menjadikan al-Qur‟an dan
terdapat dalam nash qath‟i tidak dapat Hadits sebagai sumber utama dalam
mereka terima begitu saja. Kalau ditelusuri pembentukan hukum Islam. Al-
ijtihad ahli fiqh dari zaman ke zaman, Qur‟an hakekatnya dalah wahyu Allah
ternyata mereka tidak memasuki lahan yang yang tertulis, sedangkan Hadits
sudah diatur dengan jelas dalam teks al- merupakan penjelasan Nabi terhadap
Qur‟an dan Hadits. Masalah-masalah yang wahyu Allah itu. Sementara akal hanya
tidak termaktub dalam nash; ataupun digunakan sebagai alat untuk
terdapat dalam nash tetapi masuk kategori memahami apa yang dimaksud oleh
wahyu Allah tersebut (Fathurrahman
menyempit, maka konsep nash yang semakin Djamil, 1995: 20).
mendominasi dan diperluas penerapannya.
24 Terulang ayat-ayat mutasyabihat terjadi Namun sebaliknya, penggunaan
perdebatan antara al-Ghazali dengan Ibn Rushd.
Misalnya seperti ayat berikut: “Dialah yang akal tidak dapat dihindarkan sekalipun
menurunkan al-Kitab (al-Qur‟an) kepada kamu. Di ada wahyu dan Rasulullah di sisi
antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat itulah pokok-
pokok isi al-Qur‟an; dan yang lain (ayat-ayat)
sahabat, sebagaimana riwayat di mana
mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya Rasulullah memberikan otoritas
condong kepada kesesatan, maka menimbulkan fitnah kepada sahabat „Amr ibn „Ash, seperti
dan mencari-cari ta‟wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta‟wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang disinggung di atas. Menurut
yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman Ahmad Hasan, alasannya jelas, bahwa
kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi
Tuhan kami”, dan tidak ada yang mengambil wahyu tersebut harus ditafsirkan,
pelajaran (daripadanya) kecuali orang-orang yang bahkan dita‟wilkan (makna elagoris)
berakal”. Terjemahan ayat yang disalin ini, adalah
menurut pendapat al-Ghazali. Sementara menurut supaya dapat diterapkan. Dan ternyata
Ibn Rushd, terjemahan ayat itu seharusnya, metode ta‟wil ini sangat berarti dalam
“....padahal tidak ada yang mengetahui kecuali Allah
dan orang-orang yang mendalam ilmu
menyelesaikan masalah-masalah fiqh.
pengetahuannya. Mereka berkata....” al-Ghazali tidak Bahkan ta‟wil, menurut Abu Zahrah,
membolehkan ta‟wil; sementara Ibn Rushd seperti yang dikutip oleh Fathurraman
membolehkannya. (Bello, 1989: 49-51).
-------. (1990). Muhammad Abduh dan Teologi Mahmud, Abdul Halim. (1982).
Rasional Mu‟tazilah. Jakarta, UI-Press. Falsafah Ibn Tufail wa Risalah
Hayy bin Yaqzan. Beirut: Dar
-------. (1992). Filsafat dan Mistisisme dalam al-Kitab al-Banani.
Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Muhammad Muslehuddin. (1991).
Filsafat Islam dan Pemikiran