Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI 1

PEMERIKSAAN FESES TERHADAP PROTOZOA DAN CACING


SECARA TIDAK LANGSUNG

Disusun oleh:

Nama : Aprianto
NIM : 1811050039
Kelompok :5
Rombongan :2

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI D4 TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK
PURWOKERTO

2019
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ilmu tentang parasit telah lama menunjukan peran pentingnya dalam bidang
kedokteran hewan dan manusia namun masih banyak penyakit baik pada hewan
dan manusia yang merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Pertumbuhan
penduduk yang tinggi dan terjadinya urbanisasi yang tidak diimbangi sarana dan
prasarana, telah menambah banyaknya dearah kumuh di perkotaan. Semakin
berkurangnya air bersih, pencemaran air dan tanah menciptakan kondisi
lingkungan fisik yang memungkinkan perkembangan vektor dan sumber infeksi
termasuk oleh penyakit parasitik.
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing prevelensinya masih tinggi
terutama pada penduduk di daerah tropik seperti di Indonesia, dan menjadi
masalah yang cukup besar bagi bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan
Indonesia berada dalam kondisi geografis dengan temperatur dan kelembaban
yang sesuai, sehingga kehidupan cacing ditunjang oleh proses daur hidup dan cara
penularannya.
Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam membedakan
sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga memerlukan pengetahuan
tentang berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak yang mungkin dikira suatu
parasit. Identifikasi parasit juga bergantung pada persiapan bahan yang baik untuk
pemeriksaan baik dalam keadaan hidup maupun sediaan yang telah di pulas.
Bahan yang akan di periksa tergantung dari jenis parasitnya, untuk cacing atau
protozoa usus maka bahan yang akan di periksa adalah tinja atau feses, sedangkan
parasit darah dan jaringan dengan cara biopsi, kerokan kulit maupun imunologis.
Feses adalah sisa hasil pencernaan dan absorbsi dari makanan yang kita
makan yang dikeluarkan lewat anus dari saluran cerna.Jumlah normal produksi
100 – 200 gram / hari. Terdiri dari air, makanan tidak tercerna, sel epitel, debris,
celulosa, bakteri dan bahan patologis, Jenis makanan serta gerak peristaltik
mempengaruhi bentuk, jumlah maupun konsistensinya dengan frekuensi defekasi
normal 3x per-hari sampai 3x per-minggu.
Pemeriksaan feses ( tinja ) adalah salah satu pemeriksaan laboratorium yang
telah lama dikenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu penyakit.
Meskipun saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan laboratorium yang
modern , dalam beberapa kasus pemeriksaan feses masih diperlukan dan tidak
dapat digantikan oleh pemeriksaan lain. Pengetahuan mengenai berbagai macam
penyakit yang memerlukan pemeriksaan feses, cara pengumpulan sampel yang
benar serta pemeriksan dan interpretasi yang benar akan menentukan ketepatan
diagnosis yang dilakukan oleh klinisi.
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing
ataupun larva infektif. Pemeriksaan ini juga dimaksudkan untuk mendiagnosa
tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya
(Gandahusada.dkk, 2000). Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode
kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan metode natif, metode
apung, metode harada mori, dan Metode kato. Metode ini digunakan untuk
mengetahui jenis parasit usus, sedangkan secara kuantitatif dilakukan dengan
metode kato untuk menentukan jumlah cacing yang ada di dalam usus. Prinsip
dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari pasien.
Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengetahui
adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara melacak dan
mengenal stadium parasit yang ditemukan.
Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau
menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat
dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejala klinik kurang
dapat dipastikan. Berdasarkan hal tersebut maka praktikan diusahakan untuk
dapat melakukan diagnosa dengan baik dan benar sesuai dengan SOP dan juga
mahasiswa diharapkan untuk dapat melakukan pembiakan feses dengan cara
harada mori.

1.2 Tujuan
1. Memahami pemeriksaan feses secara kuantitatif dan kualitatif
2. Mampu melakukan pemeriksaan feses secara tidak langsung untuk penegakan
diagnosa penyakit parasitik.
3. Mampu melakukan pembiakan feses dengan teknik harada mori.
II TINJAUAN PUSTAKA

Tinja adalah hasil dari digesti dan absorpsi asupan (intake) air, makanan (per
oral), saliva, cairan lambung, cairan yang berasal dari pankreas, dan cairan empedu
yang semuanya berperan pada proses pencernaan makanan. Orang dewasa
mengeluarkan feses antara 100-300 gram/hari yang 70% diantaranya adalah tinja.
Pemeriksaan feses di lakukan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing
ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di dilakukan untuk tujuan
mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa
fesesnya.Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat
dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk
mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara
melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan. Sebagian besar infeksi
dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh
sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya
berdasarkan pada gejala klinik kurang dapat dipastikan.
Bristol Stool Chart atau Skala Feses Bristol adalah bantuan medis yang
dirancang untuk mengklasifikasikan bentuk kotoran manusia menjadi tujuh
kategori.Kadang-kadang di inggris disebut sebagai Skala Meyers. Skala ini
dikembangkan oleh K.W Heaton di University of Bristol dan pertama kali
diterbitkan dalam Scandinavian Journal of Gastroenterology pada tahun 1997.
Pemeriksaan feses secara mikroskopis dengan tidak langsung terdiri atas
beberapa teknik, antara lain, teknik kato katz, flotasi, teknik sedimentasi dan
konsentrasi. Pembiakan feses dengan teknik harada mori (Wardani, 2019).
Teknik kato katz digunakan untuk mendiagnosa skistomiasis dan cacing usus.
Sediaan teknik ini dapat dikerjakan di lapanan kemudian disimpan dalam kotak
preparat mikroskopik dan dikirim dalam jarak jauh, namun teknik ini tidak cocok
diterapkan pada kista, larva, telur cacing terrtentu (Wardani, 2019).
Cara konsentrasi bertujuan untuk memudahkan deteksi parasit apabila jumlah
parasit dalam tinja sedikit dan memisahkan parasit dari masa feses. Jika jumlah telur
dalam tinja terlalu sedikit pada pemeriksaan secara langsung seringkali parasit tidak
terdeteksi. Guna mengatasi hal tersebut spesimen feses dapat dikonsentrasi, yakni
dengan sedimentasi dan pengapungan. Cara konsentrasi yang paling
direkomendasikan adalah metode formalin ether asetat. Hal ini dikarenakan semua
telur cacing, larva, dan kista protozoa tidak mengalami keruskan (Wardani, 2019).
Metode flotasi menggunakan ZnSO4 dengan cara emulsi feses dalam larutan
dan suspensi akan mengapungkan telur atau kista pada permukaan yang akan
terkumpul pada cover glass. Teknik ini direkomendasikan untuk mengkonsentrasi
Giardia lamblia, Entamoeba histolytica, dan telur Ascaris lumbricoides, Trichuris
trichiura dan Hookworm. Metode ini kurang direkomendasikan untuk
mengapungkan telur Ascaris lumbricoides unfertil yang terlalu berat dan trematoda
yang memiliki operkulum (Wardani, 2019).
Metode atau teknik yang sering digunakan dalam identifikasi telur cacing
secara tidak langsung, yaitu:
1. Metode Sedimentasi/Pengendapan
Prinsip pemeriksaan metode sedimentasi adalah adanya gaya sentrifugal dari
sentrifuge yang dapat memisahkan antara suspensi dan supernatannya sehingga
telur cacing akan terendapkan (Maulida 2016).
2. Metode Flotasi
Metode ini menggunakan larutan garam jenuh atau gula jenuh sebagai alat
untuk mengapungkan telur. Metode ini terutama dipakai untuk pemeriksaa tinja
yang mengandung sedikit telur (Natadisastra2009).
3. Metode Stoll
Metode ini menggunakan NaOH 0,1N sebagai pelarut tinja, Metode ini baik
digunakan untuk infeksi berat dan sedang. Metode ini kurang baik untuk
pemeriksaan ringan (Natadisastra 2009).
4. Metode Kato Katz
Metode ini dapat digunakan untuk pemeriksaan kuantitatif maupun kualitatif
tinja. Prinsip dari metode ini sama dengan metode direct slide dengan penambahan
pemberian selophane tape yang sudah direndam dengan malanchit green sebagai
latar (Limpomo dan Sudaryanto2014).
5. Metode Flotasi
Metode ini menggunakan larutan garam jenuh atau gula jenuh sebagai alat
untuk mengapungkan telur. Metode ini terutama dipakai untuk pemeriksaan tinja
yang mengandung sedikit telur. Cara kerja dari metode ini berdasarkan Berat Jenis
(BJ) telur-telur yang lebih ringan daripada BJ larutan yang digunakan sehingga
telur-telur terapung dipermukaan, dan juga untuk memisahkan partikel-partikel
yang besar yang terdapat didalam tinja (Natadisastra 2009).
Macam-macam Metode Pengapungan (flotasi)
Teknik flotasi menunjukkan sensitivitas yang tinggi sebagai alat diagnosis
infeksi soil transmitted helminth dengan tingat infeksi rendah. Karenanya banyak
digunakan sebagai diagnosis pasti dalam lingkungan rumah sakit dan lingkup survei
epidemiologi. Di satu sisi, teknik ini cukup komplek dan mahal dikarenakan
menggunakan sentrifugi didalamnya tetapi masih terbaik diantara metode lainnya
(Limpomo dan Sudaryanto 2014).
Pemeriksaan ini berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistoma,
Dibothriosephalus, telur yang berpori-pori dari family Taenidae, telur-telur
Achantocephala maupun telur Ascaris yang interfil. Tetapi tidak untuk telur Ascaris
lumbricoides yang belum dibuahi serta spesimen faeces yang mengandung lemak
dalam jumlah besar (Limpomo dan Sudaryanto 2014).
Secara umum efektivitas pemeriksaan faeces flotasi di pengaruhi oleh jenis
larutan pengapung, berat jenis, waktu apung (periode flotasi) dan homogenisitas
larutan setelah proses sentrifugasi.Larutan pengapung berperan penting dalam
menyebabkan telur cacing dapat pengapung sehingga mudah diamati. Cara
kerjanya didasarkan atas perbedaan berat jenis larutan kimia tertentu (1,120-1,210)
dan telur larva cacing (1,050-1,150), sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan
juga untuk memisahkan partikel-pertikel yang besar yang terdapat dalam tinja.
Bahan pengapung yang lazim digunakan dalam pemeriksaan tinja metode flotasi
adalah larutan NaCl jenuh, glukosa, MgSO4, ZnSO4 proanalis, NaNO3 dan millet
jelly (Limpomo dan Sudaryanto 2014).
a. Metode FLotasi Pasif
Metode ini dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi parasit sebagai bagian
dari pemeriksaan rutin ketika tahap diagnosis dapat ditemukan pada tinja atau
ketika tanda klinis menunjukkan terjadi peningkatan kecurigaan infeksi parasit
(Limpomo dan Sudaryanto 2014).
Kelebihan dari metode ini adalah cukup mudah dalam pegerjaannya. Lebih
murah daripada metode sentrifugi dan dapat dilakukan meskipun tidak alat
sentrifugasi (Levecke et al. 2009).
Kekurangan dari metode ini yaitu kurang efektif dibandingkan dengan metode
sentrifugasi, menemukan telur lebih sedikit sehingga sering mendapatkan hasil
negative palsu (Levecke et al. 2009).
b. Metode Flotasi Sentrifugas
Menurut (Levecke et al. 2009) Metode ini digunakan untuk mendiagnosis
infeksi parasit ketika tahap diagnosis dapat ditemukan pada tinja. Berguna sebagai
bagian dari pemeriksaan rutin atau ketika tanda klinis menunjukkan terjadi
peningkatan kecurigaan infeksi parasit.
Kelebihan dari metode ini adalah pada beberapa studi dan publikasi
menyebutkan bahwa metode ini mampu menemukan jumlah telur lebih banyak dan
lebih jarang mendapatkan hasil negatif palsu dibandingkan dengan metode flotasi
pasif .
Kekurangan metode ini adalah membutuhkan alat sentrifus,membutuhkan
biaya yang lebih mahal, dan pengerjaannya lebih rumit dibandingkan metode flotasi
pasif
6. Teknik Sediaan Tebal
Metode ini digunakan untuk menemukan telur cacing dan menghitung jumlah
telur cacing yang terdapat pada feses.Pengganti cover glass untuk penutup adalah
cellahane tape.Teknik ini lebih banyak terdapat telur cacing karena digunakan lebih
banyak feses. Teknik ini dianjurkan untuk pemeriksaan masal karena sederhanan
dan murah (Dharma 2016).

7. Metode Sedimentasi Formol Ether (Ritchie)


Metode ini merupakan metode yang baik untuk memeriksa sampel feses yang
sudah lama. Prinsip dari metode ini adalah dengan adanya gaya sentrifugal dapat
memisahkan antara suspensi dan supernatannya sehingga telur cacing dapat
terendapkan (Dharma 2016).
Metode sedimentasi kurang efesien dibandingkan dengan metode flotasi dalam
mencari kista protozoa dan banyak macam telur cacing (Natadisastra 2009).
8. Metode Selotip
Metode ini digunakan untuk pemeriksaan telur Enterobius
vermicularis.Pemeriksaan dilakukan pada pagi hari sebelum anak kontak dengan
air, anak yang diperiksa berumur 1 sampai 10 tahun. Cara pemeriksaan adalah
dengan menggunakan plester plastik yang tipis dan bening dan plester tersebut
ditempelkan pada lubang anus kemudian plester terebut ditempelkan pada
permukaan objek glass (Limpomo dan Sudaryanto 2014).
9. Metode Stoll
Metode ini menggunakan NaOH 0,1N sebagai pelarut tinja, Metode ini baik
digunakan untuk infeksi berat dan sedang. Metode ini kurang baik untuk
pemeriksaan ringan (Natadisastra 2009).
10. Metode Merthiolate Iodine Formaldehyde (MIF)
Metode ini menyerupai metode sedimentasi. Metode ini baik dipakai untuk
mendiagnosis secara laboratories adanya telur cacing (Nematoda, Trematoda dan
Cestoda), Amoeba dan Giadia lamblia didalam tinja (Natadisastra 2009).

III MATERI DAN METODE


3.1 Materi
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah gelas ukur 10 ml, objeck
glass, deck glass, tabung reaksi, lidi, rak dan penjepit, kain kasa, pita selopan,
kawat kasa, karton yang diberi lubang, kertas minyak, kertas saring, kantong
plastik es mambo, staples, vortex, jarum ose, botol semprot, corong, pipet tetes,
pinset, sentriuse, tabung sentrifuse, mikroskop, lampu spirtus dan feses
countainer.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah feses, larutan NaCl jenuh,
larutan malachet green glisein, larutan iodium, lugol, air ledeng, aquadest, ether,
ZnSO4 dan formalin 7,5 %.
3.2 Metode
A. Willys Mallory Braine Flotation Method
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Mengambil feses dengan lidi kira-kira 2-5 gram lalu dimasukkan ke
dalam beaker glass
3. Melarutkan feses tersebut dengan larutan NaCl jenuh sedikit demi sedikit
hingga homogen. Selanjutnya menuang larutan tersebut ke dalam tabung
reaksi yang sudah disiapkan di rak tabung hingga tinggi cairan memenuhi
permukaan tabung.
4. Meletakkan cover glass di atas permukaan cairan ( cover glass menempel
di atas permukaan dan dijaga agar cairan tidak tumpah
5. Mendiamkan selama 30 – 45 menit
6. Mengambil cover glass dengan pinset kemudian diletakkan diatas bjeck
glass sedemikian rupa sehingga tidak terdapat gelembung udara
7. Mengamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x. Telur-telur
yang ada dalam feses karena konsentrasi larutan NaCl yang tinggi akan
mengapung dan menempel pada object glass

B. Teknik Karo- katz


1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Merendam pita selopan kedalam malachite Green gliserin sebelum
digunakan selama 24 jam
3. Meletakkan sebanyak kurang lebih 5 gram feses di atas kertas minyak
kemudian kawat kasa diletakkan di atas feses tersebut lalu ditekan
sehingga tinja akan tersaring melalui kawat kasa tersebut
4. Meletakkan karton berlubang di atas objek glass kemudian feses yang
telah disaring tersebut dicetak sebesar lubang karton
5. Menutup dengan potongan pita selopan, sediaan diletakkan dan diratakan
dengan objek glass yang lain.
6. Membiarkan sediaan dalam temperatur kamar selama minimal 30 menit
supaya menjadi transparan
7. Mengamati di bawah mikroskop seluruh permukaan pita selopan tersebut
dengan perbesaran lemah dihitung jumlah telur cacing yang ditemukan
Perhitungan jumlah telur untuk tiap tiap spesies cacing usus dilakukan
secara terpisah.
C. Kultur pembiakan feses Harada Mori
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Mengisi kantong plastik dengan aquades kurang lebih 5 mili
3. Mengambil feses dengan menggunakan lidi dan dioleskan Diatas kertas
saring sehingga mengisi sepertiga bagian tengah kertas saring.
4. Memasukkan kertas saring yang telah diolesi feses ke dalam kantong
plastik hingga ujung kertas saring menyentuh aquades tetapi jangan
sampai mengenai feses ujung kantong plastik dapat dilipat dan
direkatkan dengan stepless
5. Menggantung kantong plastik di rak dan diinkubasi dalam temperatur
kamar selama 5 sampai 7 hari
6. Menulis nama penderita, jenis kelamin, umur ,dan alamat tanggal
pembuatan. ditulis dan ditempelkan pada kantong plastik tersebut
7. Memeriksa kultur setelah inkubasi 5 sampai 7 hari dengan memeriksa
ada tidaknya Larva cacing melalui cara berikut:
a. Menggunting ujung kantong plastik sehingga aquades yang telah
mengandung Larva dapat dikeluarkan dan ditampung dalam tabung
sentrifus
b. Memanaskan tabung tersebut sebentar diatas lampu spirtus agar larva
yang ada mati namun tidak rusak kemudian disentrifus dengan kecepatan
2500-3000 RPM selama 1 menit. Cairan supernatan dibuang sehingga
tinggal endapannya dalam kurang lebih 1 mili aquades.
c. Mengambil sedimen menggunakan pipet kemudian diletakkan di atas
objek glass dan ditutup dengan cover glass amati di bawah mikroskop
dan diidentifikasi larva yang ditemukan.
D. Cara pengapungan zink sulfat (Metode Faust)
1. Mengambil tinja sedikit (sebanyak kacang tanah sebanyak 1 gram)
ditambah 10 bagian air ledeng dan dibuat suspensi,
2. Menyaring dengan kain kasa basah kemudian ditampung dalam tabung
centrifuge,
3. Mencentrifuge selama 45-60 detik dengan kecepatan 2300 rpm, cairan
supernatan dibuang setelah di centrifuge,
4. Mengisi kembali dengan air ledeng, dan centrifuge kembali, ulangi
langkah ini sebanyak 2-3 kali. Hingga cairan supernatan jernih.
5. Menambahkan larutan ZnSO4 sampai kira-kira 3 cm, dibawah mulut
tabung pada supernatan,
6. Mencentrifuge selama 45-60 detik, mediamkan selama 2 menit dalm
posisi tegak.
7. Mengambil sampel pada bagian atas, dengan menggunakan jarum ose,
8. Membuat sediaan dengan menambhakan 1 tetes lugol pada object glass
yang bersih dan kering, menutup dengan cover glass dan mengamati di
bawah mikroskop.
E. Cara konsentrasi sedimentasi (Cara Ritchie)
1. Mengambil tinja sedikit (sebanyak kacang tanah sebanyak 1 gram)
ditambah 10 bagian larutan garam fisiologis dan dibuat suspensi,
2. Menyaring dengan kain kasa basah kemudian ditampung dalam tabung
centrifuge,
3. Mencentrifuge selama 2 menit dengan kecepatan 2300 rpm, cairan
supernatan dibuang setelah di centrifuge,
4. Mengisi kembali dengan larutan garam fisiologis, dan centrifuge
kembali, ulangi langkah ini sebanyak 2-3 kali. Hingga cairan supernatan
jernih.
5. Menambahakan larutan formalin 7.5% sampai setengah tabung
centrifuge, di hoogenkan dngan lidi sampai homogen dan diamkan
selama 10 menit,
6. Menambahkan larutan ether sampai 2/3 tabung, memvortex selama 1
menit,
7. Mencentrifuge kembali selama 2 menit dengan kecepatan 2300 rpm,
8. Membuang bagian supernatan, mengaduk hingga homogen dan
mengambil sedimen sebanyak 1 tetes meletakan pada objek glass dan
tutup dengan cover glass,
9. Mengemati dibawah mikroskop.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

No. Gambar Keterangan


1 Willys Mallory Braine
Flotation Method

Pemeriksaan feses dengan pengapungan


NaCl jenuh.

Tidak ditemukan telur cacing dalam


preparat yang diperiksa di bawah
mikroskop dengan perbesaran 40x

2 Kato- Katz
Preparat yang telah diberi pita selopan
malachite green- gliserin
Tidak ditemukan telur cacing dalam
preparat yang diperiksa di bawah
mikroskop dengan perbesaran 40x

3 Kultur Pembiakan Harada


Mori
Biakan feses yang disimpan dalam
kantong plastic selama 7 hari

4 Metode faust
Tidak ditemukan telur cacing pada
preparat yang diperiksa di bawah
mikroskop pada perbesaran 40 x
5 Metode Ritchie
Tidak ditemukan telur cacing pada
preparat yang diperiksa di bawah
mikroskop pada perbesaran 40 x

4.2 Pembahasan
Berdasarkan praktikum yang sudah dilakukan dapat diketahui bahwa
sampel feses dari By. Kirana berumur 9 bulan mempunyai hasil pada
pemeriksaan feses secara tidak langsung dengan menggunakan metode NaCl
jenuh, pembiakan dengan harada mori, kato ketz, metode faust dan metode
ritchie, dapat diketahui bahwa sampel tidak mengandung telur cacing, larva
serta sista karena tidak ditemukannya telur cacing, larva dan sista pada sampel
tersebut.
Pemeriksaan dengan metode apung menggunakan larutan NaCl jenuh,
dipakai untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Fungsi dari
NaCl pada metode ini adalah untuk mengapungkan parasit, karena BJ dari
NaCl lebih berat jika dibandingkan dengan telur cacing yang ada kecuali pada
beberapa jenis telur cacing seperti telur Ascaris lumbricoides pada stadium
unfertil dan juga trematoda yang memiliki operculum karena ukuran yang
besar dan berat. Cara kerjanya yaitu berdasarkan berat jenis telur-telur yang
lebih ringan daripada berat jenis larutan yang digunakan sehingga telur-telur
terapung dipermukaan. Kelebihan ini adalah, Metode dapat digunakan pada
infeksi ringan dan berat, Telur dapat terlihat jelas, sedangkan Kekurangan dari
metode ini adalah, Penggunaan tinja banyak, Perlu waktu lama, Perlu ketelitian
tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi. Pemeriksaan ini hanya
berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistosoma, Dibotrisefalus, talur yang
berpori-poti dan familia Taeniidae, telur-telur Acanthocepala atau pun telur
Ascaris yang infertil. Dengan otomatis nantinya telur cacing akan menempel
pada cover glass yang ditutupkan pada mulut tabung yang ditutupkan, dan telur
cacing yang ada kemudian di periksa dibawah mikroskop.
Pemeriksaan dengan menggunkan metode Kato ketz. Metode ini dapat
digunakan untuk pemeriksaan kuantitatif maupun kualitatif tinja. Prinsip dari
metode ini sama dengan metode direct slide dengan penambahan pemberian
selophane tape yang sudah direndam dengan malanchit green yang digunakan
sebagai pemberi warna hijau pada latar sediaan sehingga parasit dapat
terwarnai dengan baik, metode ini dapat digunakan untuk mengetahui jenis-
jenis parasit yang menginfeksi apabila ada beberapa jenis yang menginfeksi
serta stadium yang mengenfiksi.
Pemeriksaan dengan menggunakan teknik harada mori adalah
pemeriksaan telur cacing dengan cara pembiakan kultur selama 5-7 hari pada
suhu ruang. Fungsi dari aquadest pada pemeriksaan ini adalah sebagai
pelembeb serta sebagai tempat untuk telur cacing yang ada pada feses untuk
berkembang, kira-kira sampai stadium larva atau infektif. Kemudian air dari
hasil rendaman feses yang di tempelkan pada kertas saring akan turun ke
aquadest dengan daya kapilaritas, kemudian air tersebut di periksa setelah
diinkubasi selama 5-7 hari, dengan cara di centrifuge terlebih dahulu supaya
lebih mudah diperiksa karena telur cacing telah diendapkan, kemudian
diperiksa pada mikroskop.
Pemeriksaan feses dengan menggunkan metode faust adalah pemeriksaan
telur cacing dimana telur cacing diapungkan dengan menggunakan ZnSO4
(Zink sulfat). Kemudian apabila ada telur cacing dalam sampel tersebut maka
dalam slide akan terlihat dan lebih jelas lagi diantu dengan adanya penambahan
larutan lugol sehingga telur akan terwarnai. ZnSO4 dipilih karena memiliki
harga yang relatif murah dan mudah ditemukan.
Metode Sedimentasi Formol Ether (Ritchie). Metode ini merupakan
metode yang baik untuk memeriksa sampel feses yang sudah lama. Prinsip
teknik FEC yaitu: spesimen feses ditaruh dalam larutan formaldehid, yang
mengawetkan setiap parasit yang ada dalam spesimen. Residu berupa
gumpalan kasar dipisahkan secara filtrasi. Elemen lemak dalam suspensi feses
dipisahkan secara ekstraksi menggunakan eter (atau etil asetat), diikuti dengan
sentrifugasi, yang mengendapkan setiap parasit yang ada dalam spesimen.
Kecepatan sentrifugasi teknik FEC bisa dilakukan dengan 2.000 atau 3.000
rpm dengan variasi waktu kecepatan seperti 1 menit dan 3 menit.
Kekurangan dari metode flotasi NaCl yaitu penggunaan feses banyak dan
memerlukan waktu yang lama, perlu ketelitian tinggi agar telur di permukaan
larutan tidak turun lagi. Kelebihan dari metode ini adalah dapat digunakan
untuk infeksi ringan dan berat, telur dapat terlihat lebih jelas (yuswandi, 2015)
Kekurangan dari metode harada mori adalah dilakukan hanya untuk
identifikasi infeksi cacing tambang, waktu yang dibutuhkan lama dan
memerlukan peralatan yang banyak. Kelebihan dari metode ini adalah lebih
mudah dilakukan karena hanya untuk mengidentifikasi larva infektif
mengingat bentul larva jauh lebih besar dibandingakan dengan telur, memiliki
sifat sensitif, sederhana, ekonomis ( Buiyono,dkk, 2018).
Kekurangan dari Metode kato katz yaitu menggunakan feses yang banyak,
kelebihan dari metode ini adalah dapat mengidentifikasi tingkat cacing pada
penderita berdasarkan jumlah telur dan cacing, baik di kerjakan di lapangan,
dapat digunakan untuk pemeriksaan tinja masal karena murah dan sederhana,
cukup elas untuk melihat morfologi sehingga dapat di diagnosis (Sofia R,
2017)
Kelebihan dari metode faust adalah metode dapat digunakan pada infeksi
ringan dan berat, telur dapat terlihat jelas, kotoran feses yang melekat pada
telur dapat terlepas dengan adanya proses sentrifus sehinggan dapat terlihat
jelas, kekurangan penggunaan tinjak yang banyak, memakan waktu yang lama,
dan perlu ketelitian tinggi agar telur di bagian dasar tidak bercampur dengan
supernatan lagi (Rosdiana,2010).
Kelebihan dari metode ritchie adalah dapat memeriksa sampel feses yang
sudah lama misalnya feses kiriman dari laboratorium atau daerah yang jah dari
laboratorium, kotoran feses yang melekat pada telur dapat terlepas dengan
adanya gaya sentrifugal sehinggan telur dapat terlihat jelas, kekurangan dari
metode ini adalah kurang efesien dibandingkan dengan metode flotasi NaCl
dalam mencari kista protozoa dan banyak macam telur cacing, perlu waktu
yang lama ( Suryastini dkk, 2012).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan yaitu pemeriksaan feses
terhadap protozoa dan cacing secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa :
a. Pemeriksaan feses secara kuantitatif berupa pemeriksaan meliputi
pemeriksaan makroskopis dan cara mikroskopis. Pemeriksaan feses
secara kualitatif berupa pemeriksaan feses secara tidak langsunng yaitu:
teknik kato-katz, metode flotasi NaCl, metode faust, metode ritchie, dan
metode harada mori.
b. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan feses secara tidak
langsung dan pada masing-masing metode tidak di temukan telur
cacing atau larva cacing pada preparat.
c. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan dengan metode harada
mori dengan menginkubasi feses selama 7 hari dan kemudian diamati
di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x hasil yang di dapat tidak
di temukkannya telur cacing pada preparat.

5.2 Saran
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan sebaiknya dalam
pemeriksaan feses secara langsung mengerjaikan pemeriksaan secara teliti dan
cepat. Penggunaan pengharum ruangan sebaiknya secukupnya saja karena
dapat membuat mata praktikan menjadi perih dan membuat pusing kepala.
Menurut pendapat saya kekurangan di praktikum ini adalah kesesuaian
antara alat dan bahan yang digunakan, untuk bisa di sediakan sesuai dengan
keperluan, dan sarana prasarana laboratorium lebih di lengkapi lagi, karena
sudah banyak kursi yang rusak, begitupula untuk tempat cuci alat yang hanya
disediakan pada 1 tempat sehingga antri ketika cuci alat.
DAFTAR PUSTAKA

Budiono N.G,dkk. 2018. Trematodosis pada sapi dan kerbau di wilayah enemik
Schistosomiasis di provinsi Sulawesi Tengan, Indonesia. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia. Vol 23(2)
Elva S .2018. teknik konsentrasi formol eter untuk meniagnosa parasit usus. Jurnal
kesehatan melayu. Vol 1(2)
Halleyantono, dkk. 2019. Insidensi dan analisis faktor risiko infeksi cacing tambang
pada siswa sekolah dasar di Grobongan Jawa Tengah. JKR (Jurnal
Kedokteran Raflesia). Vol 5 (1).
Helmalia F, dan Farhliani. 2019. Pemeriksaan feses untuk penentuan infeksi parasit
di RSUD Langsa. Biologia Samudra. Vol 1(2).
Hidayat. A. 2008. Praktikum keterampilan dasar praktik klinik. Salemba Medika :
Jakarta
Idris S.A, dkk. 2017. Identifikasi telur nematoda usus (soil Transmitted Helmints)
pada anak di tempat pembuanagan akhir (TPA) Puuwatu. Biowallacea. Vol
4(1).
Indriyati .L, dkk.2017. Kerugian finansial akibat kecacingan : studi di Kabupaten
Nunukan. Vol 37 (2).
Nezar M.R, dkk 2014. Jenis cacing pada feses sapi di TPA Jatibarang dan KTT
Sidomulyo desa Nongkosawit Semarang. Journal Unnes. Vol. 3(2)
Nogruho, dkk.2010. identifikasi kontaminasi telur Nematoda usus pada sayuran
kubis (Brasscia oleracea) warung makan lesehan Wonosari Gunungkidul
Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan. Vol
4(1)
Regina M.P,dkk. 2018. Perbandingan pemeriksaan tinja antara metode sedimentasi
biasa dan metode sidemtasi Formal-ether dalam mendeteksi Soil Transmitted
Helminth. Jurnal Kedokteran Diponegoro. Vol 7(2).
Rosdiana, dan Safar . 2010. Parasitologi Kedokteran. Bandung : Yrama Widya
Sofia R. 2017. Perbandingan akurasi pemeriksaan metode direct slide dengan
metode kato-katz pada infeksi kecacinga. Vol 2(1)
Suryastini, dkk. 2012. Akurasi metode ritchie dalam mendeteksi infeksi cacing
saluran pencernaan pada babi. Jurnal Fakultas Kedokteran Hewan. Vol 5 (2)
Wardani, D.P.K dan Arif Mulyanto. 2019. Buku Pedoman Praktikum. Purwokerto:
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Yuswandi. 2015. Studi Biologi larva dam cacing dewasa Hemonchus contortus
pada kambing. Jurnal Sain Veteriner. Vol 33(1)
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai