Dosen Pembimbing :
Achmad Munjid, PH.d
Oleh :
Taufik Amin Nur Wijaya
(14/372612/PMU/8361)
Cani Borobudur, merupakan candi terbesar di dunia bagi umat Budha. Secara
geografis candi ini terletak di kabupaten Magelang, atau lebih tepatnya dibangun pada
sebuah bukit kecil yang bernama gunung Tidar. Candi yang menyimpan keindahan dari
sisi historis, arsitektur dan kemisteriusannya, ternyata banyak menarik perhatian para
wisatawan baik dalam maupun luar negri berkunjung untuk menikmati seni budaya
Borobudur. Tak heran bila UNESCO mengakui Borobudur sebagai monumen dan
kompleks stupa termegah yang ramai dengan peziarah dari berbagai negara sejak
pertengahan abad ke-9.
Sebuah mahakarya arsitektur yang luar biasa ini telah berdiri jauh sebelum
Angkor Wat berdiri di Kamboja dan bangunan katedral yang agung ada di Eropa, candi
ini dibangun pada masa Raja Samaratungga yang menganut ajaran Budha, raja penguasa
kerajaan Majapahid pada masa itu yang mana masih dalam garis keturunan Wangsa
Syailendra. Bangunan ini merupakan sebuah bukti kemajuan peradaban pada masa itu,
dengan kata lain masyarakat pada masa raja Samaratungga merupakan masyarakat yang
maju, dimana budaya, ilmu sosial dan sepiritual telah maju.
Secara keseluruhan candi Borobudur memiliki 6 tingkat bawah berbentuk bujur
sangkar, 3 tingkat atasnya berbentuk lingkaran, dan bangunan berbentuk stupa yang
menghadap ke barat sebagai puncak tertingginya. Tiap tingkatannya sendiri
melambangkan suatu tahapan atas kehidupan manusia. Maka semua orang yang ingin
mencapai suatu tingkatan tertentu haruslah melewati tingkatan kehidupan, hal ini sesuai
dengan Mahzab Mahayana. Tidak hanya kemegah dan besarnya bangun, akan tetapi
pada dinding Candi Borobudur dipenuhi pahatan 2672 panel relief yang jika disusun
berjajar akan mencapai panjang 6 km. Dari keseluruhan relief pada candi Borobudur
mencerminkan ajaran dari sang Budha. Sehingga candi borobudur dijadikan media
pembelajaran bagi semua kalangan yang ingin mempelajari lebih dalam tentang ajaran
budha. Hal ini dipuji sebagai ansambel relief Buddha terbesar dan terlengkap di dunia,
tak tertandingi dalam nilai seni. Maka tidaklah heran, jika banyak umat Buddha
berduyun- duyun datang dari India, Kamboja, Tibet, dan China untuk belajar ajaran
Budha dan ingin mendapatkan pencerahan.
A. Geografis Candi Borodur
Secara geografi lokasi candi Borobudur terletak di pusat jantung pulau jawa,
yaitu diantara bukit Menoreh yang membujur dari arah timur ke barat, dan diapit oleh
gunung- gunung berapi yaitu gunung Merapi dan Merbabu di sebelah timur, gunung
sumbing dan Sinduro pada sebelah baratnya. Letak Borobudur pada dataran tinggi
menyuguhkan pemandangan yang begitu apik nan indah yang membentang sejauh mata
memandang, dan melahirkan suasana alam yang tenang, aman, dan tentram.
Kawasan Borobudur termasuk dalam wilayah pemerintahan kabupaten
Magelang, karisedenan Kedu, profinsi Jawa Tengah. Jarak tempuh lokasi Borobudur
dari kota Yogyakarta berjarak 41 km ke arah utara, 100 km barat daya dari kota
Semarang, dan 86 km sebelah barat dari kota Surakarta ( R. Soetarno, 1988: 76). Posisi
Borobudur berdiri di atas ada dataran tinggi yang terletak dekat pertemuan dua sungai
yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur, di sebelah utaranya terdapat bukit
kecil yang lebih dikenal dengan sebutan Gunung Tidar. Menurut legenda Jawa, wilayah
Borobudur diyakini sebagai “paku pulau Jawa” kini daerah tersebut lebih kita kenal
sebagai “dataran Kedu” , tempat ini dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan
disanjung sebagai “Taman pulau Jawa” karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya
(Soekmono, 1989: 11).
Jika dari komplek Borobudur kita menyebrangi sungai Progo dan Elo kita akan
berjumpa dengan candi Pawon dan Mendut yang sejajar pada satu garis lurus, yang
mana merupakan kesatuan perlambangan tiga serangkai candi Budha. Dari ketiganya,
candi Mendut merupakan candi tertua dengan patung Budha setinggi tiga meter terpahat
di dalamnya sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Guru. Jarak candi Pawon
sekitar dua kilometer dari Mendut dengan menyebrangi sungai Progo dan Elo, candi
mungil ini digunakan sebagai peristirahatan untuk mensucikan diri sebelum menginjak
Borobudur (Yazir Marzuki, 1991: 1).
c. Nama “Borobudur”
Sebagian besar candi di Indonesia tidak diketahui nama aslinnya, sehingga
pemberian nama candi biasanya disamakan dengan daerah ditemukannya candi tersebut,
mungkin hanya beberapa saja yang memang menyandang nama aslinya, maka
sebaliknya dalam kasus ini nama desa atau tempat ditemuakannya candi tersebut diberi
nama sesuai dengan nama candinya.
Mengenai nama “Borobudur”, menurut Prof. Casparis nama Borobudur terambil
dari sebuah prasasti yang berangka tahun 842 M, prasasti tersebut menerangkan
berdirinya sebuah candi bernama “Bhumisam- Bharabudhara”, kemungkinan karena
penyesuaian pada bahasa Jawa akhirnya berubah menjadi Borobudur (Yazir Marzuki,
1991: 7). Fersi pendapat Dr. Soekmono, bahwa nama Borobudur merupakan nama asli
dari candi tersebut, hal ini diperkuat dengan disebutkannya “Bukit Borobudur” dalam
kitab Babad Tanah Jawi. Keterangan serupa yang disampaikan kepada Raffles di tahun
1814 yang menyatakan adanya penemuan sebuah peninggalan purbakala bernama
“Borobudur” di desa Bumisegoro.
Sebuah naskah kuno karangan Mpu Prapanca di tahun 1365 M, yaitu kitab
Negarakertagama mengungkapkan nama “Budur” untuk sebuah bangunan suci ajaran
Budha dari aliran Wajradhara. Tepat di sebalah timur candi ada sebuah desa yang
bernama “Boro”, jika kita gabungkan nama desa “Boro” dan nama “Budur” dalam kitab
Negarakertagama, maka terjadilah kata “Borobudur” yang mana tidak menutup
kemungkinan merupakan nama candi Borobudur yang kita kenal saat ini.
Hal serupa dilakukan Raffles dalam menafsirkan kata majemuk “Borobudur”,
kata “budur” diterangkan sebagai bentuk lain dari kata “Budha”, sedangkan kata “Boro”
terambil dari bahasa Jawa Kuno “Bhara” yang berarti “Agung”. Maka kata “Borobudur”
diartikan sebagai “Sang Budha yang Agung”, sehingga nama candi Borobudur
diperoleh dari nama sang Budha (Dr. Soekmono, 1986: 40).
Moens mengemukakan pendapatnya berdasarkan atas keadaan di India Selatan.
Di India Selatan ia menemukan istilah “ Bharasiwa” untuk menyebut para pengikut
setia Dewa Siwa. Maka dari itu, menurut Moens istilah “Bharabudha” merupakan
sebuah istilah untuk menyebut para pengikut setia ajaran Budha. Ia menambahkan,
bahwa dalam bahasa Tamil ada kata “ur” yang berarti “kota”, maka kata “Bharabudha +
ur” menjadi kata “Bharabudhaur” yang berarti “kota para penjunjung tinggi Sang
Budha” (Dr. Soekmono, 1986: 42).
Pendapat Moens cukup menarik perhatian, tetapi kenyataannya perkataan
“Bharabudha” merupakan rekontruksi belaka, sehingga tanggapan dari berbagai ahli
sama sekali tidak ada. Menurut penulis, istilah “Borobudur” yang paling mendekati
kebenarannya adalah sebagai mana yang di ungkapkan oleh Casparis, yang mana ia
menemukan sebuah istilah “Bhumisam- Bharabudhara” pada sebuah prasasti kuno.
a) Karmawibhangga
Hukum karma merupakan hukum sebab akibat. Karma berarti kehendak yang
meliputi keserakahan, kebencian dan kebodohan yang terwujud dalam sebuah tindakan.
Penjelasan mengenai karma terdapat pula pada kitab Anguttara Nikaya, dalam kitab
tersebut Budha Gautama bersabda:
“ O Bhikkhu, kehendak (diliputi oleh keserakahan, kebencian dan
kebodohan batin) untuk berbuat itulah yang ku namakan karma. Sesudah
berkehendak seseorang akan berbuat dengan badan jasmani, perkataan,
atau pikiran.”
Dan didalam kitab Samyutta Nikaya juga dijelaskan mengenai konsep karma, sebagai
mana yang tertulis berikut ini:
“ Sesuai dengan binih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya.
Perbuatan kebaikan akan mendapat kebaikan, pembuat kejahatan akan
memetik kejahatan pula. Binih apapun yang engkau tabur, engkau pulalah
yang akan merasakan buah dari padanya. ” (Upa Sasanasena Seng
Hansen, 2008: 14)
Konsep karma disini tidak sama jika dimaknai dengan sebuah takdir. Banyak
orang beranggapan bahwa karma itu adalah takdir, hal ini tercermin pada saat orang
mengalami sebuah masa kesulitan dan ia menjadi mlarat, maka akan dikatan “itu sudah
menjadi karmanya yang sedang berubah”. Ini merupakan sebuah kesalahan, karena pada
dasarnya sifat dan cara kerja dari karma (ajaran Budha) sangat berbeda dengan konsep
takdir. Karma tidak berjalan secara linier, dalam artian momen saat ini dibentuk oleh
masa lampau dan masa saat ini, dan tindakan masa ini membentuk masa kini dan masa
yang akan datang. Maka bagi seorang yang telah terbebas, segala perbuatannya tidak
lagi dilandasi oleh kehendak, maka ini tidak dapat disebut karma. Karena telah memutus
karma, berarti tidak ada lagi kelahiran kembali di alam penderitaan, yang demikian
inilah disebut sebagai pencapaian Nibbana.
Dalam ajaran Budha disebutkan bahwa Karma merupakan salah satu penyebab
kematian seseorang. Dalam ajarannya, Budha menerangkan ada empat unsur penyebab
kematian seseorang yaitu Ayukkhaya (habisnya masa hidup), Kammakkhaya (habisnya
tenaga karma), Ubhayakkhaya (habisnya usia sekaligus akibat perbuatan), Upacchedaka
(kecelakaan, bencana atau malapetaka). Ke-empat unsur tersebut digambarkan sebagai
sebuah lentera yang padam akibat habisnya sumbu, habisnya bahan bakar (minyak),
habisnya sumbu serta bahan bakar, dan karena angin (M. O’C. Walshe dan Willy Liu,
2010: 52).
Dalam relief kaki candi Borobudur, bentuk karma dari perbuatan manusia
diperlihatkan dalam 117 pigura, sedangkan selebihnya menjelaskan berbagai macam
keadaan manusia sebagai akibat dari satu jenis perbuatan. Relief- relief ini
memperlihatkan berbagai perbuatan manusia, baik yang sifatnya tercela sepertihalnya
mulut usil, sampai pada aksi pembunuan, dan juga perbuatan luhur manusia seperti
kemurahan hati, ziarah ketempat suci. Semua ini sebagai pengingat manusia untuk
menjalani hidup terlepas dari samsara atau lingkaran lahir- hidup- mati yang terus
berulang karena karma (Dr. Soekmono, 1986: 54).
b) Lalitawistara
Pada relief ini menggambarkan kisah Sang Budha Gautama. Sang Budha
dilahirkan pada tahun 623 SM di taman Lumbini (kaki gunung Himalaya) sebagai anak
dari raja Suddhodana dari Suku Sakya, ibunya bernama Maha Maya Dewi. Tujuh hari
setelah melahirkan Gautama, ibunnya meninggal, sehingga ia di asuh oleh Maha
Prajapati Gautami. Raja Suddhodana sangat bergembira akan kelahiran Gautama,
hingga ia memanggil para pertapa untuk meramalkan nasib sang bayi. Pertapa
Kondanna meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar
ramalan tersebut Sang Raja cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha,
maka tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Menyikapi hal tersebut Raja
membuatkan istanah untuk tempat tinggal pangeran, yang mana lengkap dengan semua
hal kebutuhan pangeran, dan dijauhkan dari unsur- unsur buruk di dunia ini (Yazir
Marzuki, 1991: 9).
Setelah beranjak dewasa, yaitu saat usianya mencapai 16 tahun Siddharta
Gautama menikah dengan putri Yasodhara dan memiliki putra bernama Rahula. Usaha
sang Raja dengan mengatur hidup pengeran yang serba kecukupan tidak bisa mengubah
takdi sang Pangeran untuk menjadi Bodhisattwa. Dalam sebuah acara kerajaan
Siddharta ikut serta melakukan perjalanan mengelilingi kota, hingga pada akhirnya ia
berjumpa dengan empat pertemuan penting, yaitu 1. Orang yang sudah lanjut usia, 2.
Orang yang sedang sakit,3. Orang sudah meninggal dunia, 4. Seorang pertapa (Pandita
S. Widyadharma: 1-2).
Setelah melihat kejadian- kejadian tersebut, Sang Budha memikirkan bagaiman
caranya bisa terhindar dari bentuk- bentuk penderitaan tersebut. Maka di usianya yang
ke- 29 tahun, Siddharta meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi
berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari lanjut usia, kondisi
sakit dan kematian. Hingga akhirnya ia bertemu dengan pertapa Alara Kalama
kemudian berguru kepadanya, karena tidak puas ia berguru kembali dengan Uddaka
Ramaputra. Karena dirasa masih kurang dan tidak memperoleh apa yang
diharapkannya, Siddharta pergi meninggalkan ajaran falsafah para Brahmana. Ia lebih
memilih untuk bertapa dan bermeditasi dibawah pohon Bodhi untuk mendapatkan
Penerangan Agung.
Dalam usia 35 tahun pertapa Siddharta memperoleh Penerangan Agung, menjadi
Buddha di bawah pohon Bodhi di hutan Uruvela (kini tempat tersebut disebut Buddha
Gaya). Untuk pertama kalinya Beliau mengajarkan Dhamma yang maha sempurna
kepada lima orang pertapa kawan Beliau di Taman Rusa Isipatana di dekat Benares.
Adapun kelima orang pertapa itu adalah Kondanna, Bodhiya, Vappa, Mahanama dan
Assaji. Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Kondanna, segera menjadi
Sotapanna dan kemudian menjadi Arahat. Yang lainnya pun menyusul menjadi Arahat.
Khotbah pertama ini kemudian dikenal sebagai Khotbah Pemutaran Roda Dhamma
(Dhamma Cakka Pavattana Sutta). Selanjutnya Sang Buddha sangat giat mengajarkan
Dhamma kepada para siswaNya sampai Beliau mangkat di Kusinara dalam usia 80
tahun (Dr. Soekmono, 1986: 64- 67).
Selama empat puluh lima tahun, hidup Sang Budha dihabiskan untuk
menyebarkan ajarannya yang berasas kepada Empat Kebajikan Kebenaran (The Four
Noble Truth) yaitu Dukkha, Samudaya, Nirvana, dan Marga. Untuk mencapai
kesempurnaan Hakikat yang Mutlak, ajaran Budha memilik delapan pegangan utama,
yaitu:
1. Kepercayaan yang benar (Samma ditthi).
2. Tujuan atau cita-cita yang betul (Samma sankappa).
3. Pertuturan yang baik (Samma vaca).
4. Perbuatan yang benar (Samma kammanta).
5. Hidup yang betul (Samma ajiva).
6. Usaha yang benar (Samma vayama).
7. Fikiran yang betul (Samma sati).
8. Renungan yang baik (Samma samadhi) (Mohd Ridhuan Tee Abdullah,
2009: 5- 6).
d) Gandawyuha
Pada bagian ini menggambarkan cerita Sudhana yang berkenalan mencari
pengetahuan tertinggi dengan tanpa mengenal lelah, setelah menempuh panjangnya
perjalanan dan banyaknya rahib yang dimintai untuk mengajari tentang kehidupan,
hingga dengan sampainya sundhana ditempat bersemayamnya Bodhisattwa
Samantabhadra. Selainnya menggambarkan wejangan- wejangan Samantabhadra dan
mukjizat- mukjizat ajaib para Budha dan Bodhisattwa, dan tercapainya pengetahuan
tertinggi tentang kebenaran sejati oleh Sundhana.
Secara jelas pada relief ini menerangkan akan pencapaian kebenaran sejati
dalam kehidupan. Hidup benar dalam ajaran Budha adalah tercapainya suatu
kebahagiaan sejati, yaitu suatu keadaan yang terbebas sepenuhnya dari penderitaan
(Dukha). Adapun bagaimana cara mencapainya yaitu dengan membasmi kekotoran
mental manusia. Kekotoran mental manusia dapat dibasmi oleh kekuatan kebijaksanaan
(Panna). Ada 3 jenis kebijaksanaan:
1. Kebijaksanaan yang diperoleh dari mendengar dan belajar Dhamma (Suta Maya
Panna).
2. Kebijaksanaan yang diperoleh dari pemikiran analitis atau penyelidikan (Cinta
Maya Panna).
3. Kebijaksanaan yang diperoleh dari pengembangan mental atau meditasi
(Buntario Tigri, S.H: 15-16).
Candi Borobudur pada saat ini telah menjadi obyek wisata yang menarik banyak
wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Selain itu, Candi Borobudur telah menjadi
tempat suci bagi penganut Budha di Indonesia, bahkan banyak para penganut ajaran
Budha mancanegara yang berziarah serta melakukan latian sepiritual di Borobudur.
Selain sebagai tempat wisata dan beribadah, Borobudur juga sebagai tempat belajar
akan ajaran- ajaran Budha dan tempat beberapa ilmuan melakukan penelitian terhadap
bangunan purbakala ini.
Borobudur menjadi salah satu bukti kehebatan dan kecerdasan manusia yang
pernah dibuat di Indonesia, mencerminkan majunya peradaban pada saat itu, dan
luhurnya masyarakat dalam menjunjung tinggi ajaran- ajaran sepiritual. Kisah- kisah
sang Budha terpahad pada dinding- dinding candi tersebut sebagai bahan ajar para
pengikutnya untuk mencapai nirvana. Cerita- cerita dalam relief yang diambil dari
beberapa kitab- kitab luhur menjadikan Borobur memilik khas sepiritual yang
mendalam.
Bagi bangsa Indonesia candi Borobudur adalah suatu bukti yang nyata tentang
kebenaran di masa yang lalu, dan sekaligus merupakan pelita hati yang membimbing
pemupukan kepercayaan pada diri sendiri demi tercapainya cita- cita nasional. Maka
setelah peperangan kemerdekaan candi ini tidak luput dari perhatian pemerintah,
beberapa ahli purbakala di hadirkan untuk melakukan studi di Borobur, dan tidak lama
dari itu agenda besar mengenai pemugaran candi dilakukan untuk menghindari candi
dari malapetaka kehancuran.
Saat ini Borobudur terus mendapat perhatian banyak orang, dan ditetapkan oleh
UNESCO sebagai warisan dunia yang membanggakan, terutama bagi kalangan pemeluk
ajaran Budha, Borobudur memiliki arti yang lebih dari sekedar sebuah candi, melainkan
tempat yang suci dan tempat melakukan kegiatan- kegiatan luhur untuk menggapai
tujuan hidup menurut ajaran Sang Budha. Banyak kalangan Bikkhu manca negara
berdatangan ke Borobudur guna keinggin mereka untuk mendapatkan suatu pencerahan
dalam hidup hingga mereka bisa menjadi nirvana.
E. Daftar Pustaka
Atmadi, Parmono, 1979. Beberapa Patokan Perancanaan Bangunan Candi,
Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (Desertasi).
Bhikkhu Bodhi, 2010. Jalan Menuju Akhir dari Penderitaan (the Noble Eightfold Path:
the Way to the End of Suffering), Jakarta: Vijjakumara.
Bedjo, 2006. Penderitaan Menurut Agama Budha, Jurnal Teologi dan Pelayanan edisi
7.
Buntario Tigri, S.H, 1 Menit yang Mengubah Hidup Anda, Yayasan Dhammadasa,
Email : dhammadasaindonesia@yahoo.co.id.
Dr. Soekmono, 1986. Candi Borobudur, A Monument of Mankind, Jakarta: PT Dunia
Pustaka Jaya.
Drs. R. Soetarno, 1988. Aneka Candi Kuno di Indonesia, Semarang: Dahara Prize.
Hansen, Upa Sasanasena Seng, 2008. Basic Buddhism: What Should We Know About
Buddhism, Yogyakarta: Vidyasena Production.
M. O’C. Walshe dan Willy Liu, 2010. Ajaran Budha dan Kematian, Yogyakarta:
Vidyāsenā Production.
Marzuki, Yazir dan Toeti Heraty, 1991. Borobudur, Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.
Mohd Ridhuan Tee Abdullah, 2009. Asas- Asas Ajaran Budha Sebagai Perbandingan
Agama, Selangor: Persatuan Ulama’ Malaysia Cawangan Selangor (PUMCS)
(Seminar)
Pandita S. Widyadharma, Inti Sari Agama Budha, Website Buddhis Samaggi Phala,
http://www.samaggi-phala.or.id
Wirjosuparto, Drs. Sutjipto, 1956. Sedjarah Seni Artja India, Jakarta: Kalimosodo.