KELOMPOK 12
BAB I
PENDAHULUAN
Peristiwa traumatic, seperti kehilangan pekerjaan, harta benda, dan orang yang dicintai dapat
meninggalkan dampak yang serius. Dampak kehilangan tersebut sangat memengaruhi persepsi
individu akan kemampuan dirinya sehingga mengganggu harga diri seseorang.
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU No. 23 Tahun 1992, Pasal 1). Departemen
Kesehatan (DEPKES) memberikan perhatian besar untuk meningkatkan derajat kesehatan
bangsa Indonesia dengan visi dan misi Indonesia Sehat 2010.
Banyak dari individu-individu yang setelah mengalami suatu kejadian yang buruk dalam
hidupnya, lalu akan berlanjut mengalami kehilangan kepercayaan dirinya. Dia merasa bahwa
dirinya tidak dapat melakukan apa-apa lagi, semua yang telah dikerjakannya salah, merasa
dirinya tidak berguna, dan masih banyak prasangka-prasangka negative seorang individu kepada
dirinya sendiri. Untuk itu, dibutuhkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak agar rasa
percaya diri dalam individu itu dapat muncul kembali. Termasuk bantuan dari seorang perawat.
Perawat harus dapat menangani pasien yang mengalami diagnosis keperawatan harga diri
rendah, baik menggunakan pendekatan secara individual maupun kelompok.
Makalah ini hendaknya bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang harga diri rendah
situasional sehingga bisa menerapkannya dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien
harga diri rendah di rumah sakit.
BAB II
PEMBAHASAN
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadp diri sendiri atau kemampuan diri. Adanya
perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai
dengan ideal diri (Keliat, 1998). Gangguan harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih
sayang, perlakuan orang lain yang mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk.
Harga diri meningkat bila diperhatikan/dicintai dan dihargai atau dibanggakan. Tingkat harga
diri seseorang berada dalam rentang tinggi sampai rendah. Harga diri tinggi/positif ditandai
dengan ansietas yang rendah, efektif dalam kelompok, dan diterima oleh orang lain. Individu
yang memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara aktif dan mampu beradaptasi
secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa aman sedangkan individu yang memiliki
harga diri rendah melihat lingkungan dengan cara negatif dan menganggap sebagai ancaman
(Yoseph, 2009).
Harga diri rendah adalah evaluasi diri/perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang
negative dan dipertahankan dalam waktu yang lama (NANDA, 2005). Individu cenderung untuk
menilai dirinya negative dan merasa lebih rendah dari orang lain (Depkes RI, 2000).Evaluasi diri
dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negative dan dapat secara langsung atau
tidak langsung diekspresikan (Towsend, 1998).Perasaan negative terhadap diri sendiri, hilangnya
percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998)
Gangguan harga diri yang disebut dengan harga diri rendah dapat terjadi secara situasional,
yaitu terjadinya trauma yang tiba-tiba, misalnya harus operasi, kecelakaan, diceraisuami, putus
sekolah, putus hubungan kerja, perasaan malu karena sesuatu terjadi(korban perkosaan, dituduh
KKN, dipenjara dan lain-lain).
Kronik, yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu sebelum
sakit/dirawat.Klien ini mempunyai cara berpikir yang negatif. Kejadian sakit daan dirawat akan
menambah persepsi negatif terhadap dirinya.
2.2 Etiologi Harga Diri Rendah
Gangguan harga diri rendah menurut ( Carpenito, 2007 ) dapat terjadi secara : Kronis dan
situasional. Harga diri rendah kronis adalah keadaan individu mengalami evaluasi diri negatif
yang mengenai diri sendiri atau kemampuan dalam waktu lama, misalnya kegagalan untuk
memecahkan suatu masalah atau berbagai stress berurutan dapat mengakibatkan harga diri
rendah kronik. Sedangkan harga diri rendah situasional adalah suatu keadaan ketika individu
yang sebelumnya memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif mengenai diri dalam
berespons terhadap suatu kejadian ( kehilangan, perubahan ).
Harga diri rendah biasanya terjadi karena adanya kritik diri sendiri dan orang lain, yang
menimbulkan penurunan produktifitas yang berkepanjangan, yang dapat menimbulkan gangguan
dalam berhubungan dengan orang lain dan dapat menimbulkan perasaan ketidakmampuan dari
dalam tubuh, selalu merasa bersalah terhadap orang lain, mudah sekali tersinggung atau marah
yang berlebihan terhadap orang lain, selalu berperasaan negatif tentang tubuhnya sendiri. Karena
itu dapat menimbulkan ketegangan peran yang dirasakan kepada klien yang mempunyai
gangguan harga diri rendah. Harga diri rendah juga selalu mempunyai pandangan hidup yang
pesimis dan selalu beranggapan mempunyai keluhan fisik, pandangan hidup yang bertentangan,
penolakan terhadap kemampuan yang dimiliki, dapat menimbulkan penarikan diri secara sosial,
yang dapat menimbulkan kekhawatiran pada klien ( Stuart & Gail, 2007 ).
Klien yang mempunyai gangguan harga diri rendah akan mengisolasi diri dari orang lain dan
akan muncul perilaku menarik diri, gangguan sensori persepsi halusinasi bisa juga
mengakibatkan adanya waham ( Stuart & Gail W, 2007 ).
Keliat (2009) mengemukakan beberapa tanda dan gejala harga diri rendah adalah:
Menurut NANDA (2005) tanda dan gejala yang dimunculkan sebagai perilaku telah
dipertahankan dalam waktu yang lama atau kronik yang meliputi mengatakan hal yang negatif
tentang diri sendiri dalam waktu lama dan terus menerus, mengekspresikan sikap
malu/minder/rasa bersalah, kontak mata kurang/tidak ada, selalu mengatakan ketidak
mampuan/kesulitan untuk mencoba sesuatu, bergantung pada orang lain, tidak asertif, pasif dan
hipoaktif, bimbang dan ragu-ragu serta menolak umpan balik positif dan membesarkan umpan
balik negatif mengenai dirinya.
Perasaan malu pada diri sendiri akibat penyakit dan akibat terhadap tindakan
penyakit.Misalnya malu dan sedih karena rambut menjadi rontok (botak) karena
pengobatan akibat penyakit kronis seperti kanker.
Rasa bersalah terhadap diri sendiri misalnya ini terjadi jika saya tidak kerumah
sakitmenyalahkan dan mengejek diri sendiri.
Merendahkan martabat. Mis: saya tidak bisa, saya tidak mampu, saya memang bodoh
dan tidak tahu apa-apa.
Gangguan hubungan sosial. Mis: menarik diri, klien tidak mau bertemu orang lain,
lebih sukamenyendiri.
Percaya diri kurang. Klien sukar mengambil keputusan yang suram mungkin memilih
alternatif tindakan.
Mencederai diri akibat harga diri rendah disertai dgn harapan yg suram mungkin klien
inginmengakhiri kehidupan.
Mudaah tersinggung atau marah yang berlebihan.
Perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri.
Keluhan fisik
Penolakan terhadap kemampuan personal
Terjadinya gangguan konsep diri harga diri rendah kronis juga di pengaruhi beberapa
faktor predisposisi seperti faktor biologis, psikologis, sosial dan kultural.
Faktor biologis biasanya karena ada kondisi sakit fisik secara yang dapat
mempengaruhi kerja hormon secara umum, yang dapat pula berdampak pada keseimbangan
neurotransmitter di otak, contoh kadar serotonin yang menurun dapat mengakibatkan klien
mengalami depresi dan pada pasien depresi kecenderungan harga diri rendah kronis semakin
besar karena klien lebih dikuasai oleh pikiran-pikiran negatif dan tidak berdaya.
Struktur otak yang mungkin mengalami gangguan pada kasus harga diri rendah kronis
adalah:
1. System Limbic yaitu pusat emosi, dilihat dari emosi pada klien dengan harga diri
rendah yang kadang berubah seperti sedih, dan terus merasa tidak berguna atau gagal
terus menerus.
2. Hipothalamus yang juga mengatur mood dan motivasi, karena melihat kondisi klien
dengan harga diri rendah yang membutuhkan lebih banyak motivasi dan dukungan
dari perawat dalam melaksanakan tindakan yang sudah dijadwalkan bersama-sama
dengan perawat padahal klien mengatakan bahwa membutuhkan latihan yang telah
dijadwalkan tersebut.
3. Thalamus sistem pintu gerbang atau menyaring fungsi untuk mengatur arus informasi
sensori yang berhubungan dengan perasaan untuk mencegah berlebihan di korteks.
Kemungkinan pada klien dengan harga diri rendah apabila ada kerusakan pada
thalamus ini maka arus informasi sensori yang masuk tidak dapat dicegah atau dipilah
sehingga menjadi berlebihan yang mengakibatkan perasaan negatif yang ada selalu
mendominasi pikiran dari klien.
4. Amigdala yang berfungsi untuk emosi.
Selain gangguan pada struktur otak, apabila dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan
alat-alat tertentu kemungkinan akan ditemukan ketidakseimbangan neurotransmitter di otak
seperti:
Dalam tinjauan life span history klien, penyebab terjadinya harga diri rendah adalah pada
masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Saat individu mencapai
masa remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima.
Menjelang dewasa awal sering gagal di sekolah, pekerjaan, atau pergaulan. Hargadiri rendah
muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya. Dalam
Purba (2008), ada empat cara dalam meningkatkan harga diri yaitu:
Menurut Fitria (2009), faktor -faktor yang mempengaruhi proses terjadinya harga diri
rendah yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi.
- Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah penolakan orang tua yang tidak
realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain ideal diri yang tidak realistis.
- Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah hilannya sebagian
tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh, mengalami kegagalan serta menurunya
produktivitas.
Sementara menurut Purba, dkk (2008) gangguan harga diri rendah dapat terjadi secara
situasional dan kronik. Gangguan harga diri yang terjadi secara situasional bisa disebabkan oleh
trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan, menjadi
korban perkosaan, atau menjadi narapidana sehingga harus masuk penjara. Selain itu, dirawat di
rumah sakit juga menyebabkan rendahnya harga diri seseorang diakibatkan penyakit fisik,
pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang tidak tercapai akan
struktur, bentuk dan fungsi tubuh, serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang mengharagai
klien dan keluarga.Sedangkan gangguan harga diri kronik biasanya sudah berlangsung sejak
lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat dan menjadi semakin meningkat
saat dirawat.
Menurut Peplau dan Sulivan dalam Yosep (2009) mengatakan bahwa harga diri berkaitan
dengan pengalaman interpersonal, dalam tahap perkembangan dari bayi sampai lanjut usia
seperti good me, bad me, not me, anak sering dipersalahkan, ditekan sehingga perasaan amannya
tidak terpenuhi dan merasa ditolak oleh lingkungan dan apabila koping yang digunakan tidak
efektif akan menimbulkan harga diri rendah. Menurut Caplan, lingkungan sosial akan
mempengaruhi individu, pengalaman seseorang dan adanya perubahan sosial seperti perasaan
dikucilkan, ditolak oleh lingkungan sosial, tidak dihargai akan menyebabkan stress dan
menimbulkan penyimpangan perilaku akibat harga diri rendah.
Caplan (dalam Keliat 1999) mengatakan bahwalingkungan sosial, pengalaman individu
dan adanya perubahan sosial seperti perasaan dikucilkan, ditolak oleh lingkungan sosial, tidak
dihargai akan menyebabkan stress dan menimbulkan penyimpangan perilaku akibat harga diri
rendah.
Respons harga diri rendah sepanjang sehat-sakit berkisar dari status aktualisasi diri yang
paling adaptif sampai status kerancuan identitas serta depersonalisasi yang lebih maladaptive.
Kerancuan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk mengintegrasikan berbagai
identifikasi masa kanak-kanak ke dalam kepribadian psikososial dewasa yang harmonis.
Depersonalisasi ialah suatu perasaan tidak realistis dan merasa asing dengan diri sendiri, hal ini
berhubungan dengan tingkat ansietas panik dan kegagalan dalam uji realitas. Individu mengalami
kesulitan memberikan diri sendiri dari orang lain, dan tubuhnya sendiri terasa tidak nyata dan
asing baginya.
2.6 Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul pada Klien Harga Diri Rendah
Masalah keperawatan yang mungkin muncul:
1. Harga diri rendah
2. Koping individu tidak efektif
3. Isolasi social
4. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
5. Resiko tinggi perilaku kekerasan
2.7 Tindakan Keperawatan yang Dilakukan pada Klien Harga Diri Rendah
Beberapa terapi keperawatan yang dapat diberikan kepada klien dengan harga diri rendah
kronis ini adalah terapi kognitif, logo therapy dan triangle therapy untuk di modifikasi dengan
terapi medis yang diberikan Dengan pertimbangan pemberian psikofarmaka hanya untuk
mengatasi masalah penyakitnya saja dimana gejalanya diharapkan menjadi berkurang atau hilang
tetapi tidak merubah pola pikir, perasaan dan perbuatan klien, sehingga klien akan kembali pada
situasi mengalami harga diri rendah. Karena sebenarnya masalah utama penyebab dari harga diri
rendah kronis yang dialami belum diatasi dan kemampuan koping yang dipergunakan dalam
menghadapi tekanan belum digunakan seefektif mungkin.
1. Terapi kognitif
Kata cognitive atau cognition berarti pengetahuan atau pemikiran, oleh karena
itu kognitif terapi dianggap sebagai pengobatan psikologi untuk pikiran. Secara
sederhana terapi kognitif menjalankan asumsi tentang pikiran, keyakinan, sikap dan
persepsi terhadap prasangka tanpa tekanan emosi yang berpengalaman dan juga
intensitas emosi tersebut. Terapi kognitif ini ditemukan oleh Aaron Beck,M.D untuk
terapi depresi. Dr Beck dan peneliti lainnya mengembangkan metode untuk
menggunakan terapi kognitif untuk masalah psikiatrik lainnya, seperti, panik, masalah
untuk pengontrolan marah dan pengguna obat. Bentuk terapi ini diterima sangat baik
dalam menyokong penelitian, terutama terapi yang menyangkut depresi.
(Westermeyer, 2005).
Harga diri rendah kronis merupakan gejala yang dominan pada kondisi klien
dengan depresi, sehingga terapi kognitif sangat tepat dilakukan pada klien dengan
harga diri rendah kronis. Dengan dilakukannya terapi kognitif, diharapkan dapat
merubah pikiran negatif klien menjadi pikiran yang positif.
Menurut Burns (1988), hasil penelitian di Amerika menyimpulkan bahwa
terapi kognitif lebih cepat mengatasi depresi dan gangguan emosional lainnya
daripada psikoterapi konvensional seperti terapi perilaku, terapi kelompok dan terapi
yang berorientasi pada pengenalan diri (insight – oriented) maupun terapi obat-obatan
(anti depresan).
Terapi kognitif dapat melatih klien untuk mengubah cara klien menafsirkan
dan memandang segala sesuatu pada saat klien mengalami kekecewaan, sehingga
klien merasa lebih baik dan dapat bertindak lebih produktif.
Terapi kognitif merupakan bentuk psikoterapi yang digunakan untuk
pengobatan klien depresi, kecemasan, phobia, dan bentuk lain dari penyakit mental.
Cognitive therapy merupakan dasar pemikiran tentang bagaimana klien berfikir
(kognitif), bagaimana klien merasakan (emosi) dan bagaimana klien bertingkah laku
dalam semua interaksi. Secara khusus, apa yang klien pikirkan menentukan perasaan
dan tingkah laku klien. Karena itu pikiran negatif dapat menyebabkan distress dan
menghasilkan masalah.
Cognitive Therapy merupakan salah satu pendekaan psikoterapi yang paling
banyak diterapkan dan telah terbukti efektifitasnya dalam mengatasi berbagai
gangguan, termasuk kecemasan dan depresi. Asumsi yang mendasari terapi kognitif
terutama untuk kasus depresi yaitu bahwa gangguan emosional berasal dari distorsi
(penyimpangan) dalam berfikir. Perbaikan dalam keadaan emosi hanya dapat
berlangsung lama kalau dicapai perubahan pola-pola berfikir selama proses proses
terapi. Demikian pula pada pasien pola pikir yang maladaptif (disfungsi kognitif) dan
gangguan prilaku, diharapkan klien mampu melakukan perubahan cara berfikir dan
mampu mengendalikan gejala-gejala dari gangguan yang dialami. Terapi kognitif
berorientasi pada pemecahan masalah, dengan terapi yang dipusatkan pada keadaan
“disini dan sekarang”, yang memandang individu sebagai pengambilan keputusan
penting tentang tujuan atau masalah yang akan dipecahkan dalam proses terapi.
Tujuan utama dalam terapi kognitif menurut Gara (2003) adalah:
Menurut Burns (1988) , teknik kontrol mood yang efektif dan sederhana dalam terapi
kognitif yang bertujuan :
2. Logo Therapy
Logoterapi berfokus pada arti eksistensi manusia dan usahanya mencari arti
itu. Logoterapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi:
fisik, psikologis, dan spiritual. Untuk memahami diri dan kesehatan kita harus
memperhitungkan ketiganya. Selama ini dimensi spiritual diserahkan kepada agama,
dan pada gilirannya agama tidak diajak bicara untuk urusan fisik dan psikologis.
Kedokteran, termasuk psikoterapi telah mengabaikan dimensi spiritual sebagai
sumber kesehatan dan kebahagiaan.
Teknik analisa dalam logoterapi meliputi mengajukan pertanyaan pada diri
sendiri, melihat dan merenungkan pengalaman yang bermakna dan mengungkap
makna dalam kondisi kritis. Pada klien dengan harga diri rendah kronis, dimana klien
lebih dominan memandang aspek negatif dirinya dan kurang bergairah dalam mencari
makna kehidupan ataupun dalam pencapaian tujuan hidup. Penerapan logoterapi pada
klien dengan harga diri rendah kronis akan membantu klien dalam mengungkapkan
perasaan dan menemukan makna kehidupan serta akan meningkatkan
neurotransmitter di otak (terutama serotonin), sehingga harga diri klien dapat
meningkat secara bermakna.
3. Triangle Therapy
Setiap hubungan antara terapis, klien dan keluarga dalam psikoterapi
merupakan bagian dari triangle relationship (hubungan segitiga). Hal ini karena
setiap klien merupakan bagian dari multi generasi yang disebut keluarga. Setiap terapi
berpengaruh bagi keluarga dan dipengaruhi oleh keluarga.
Hal ini sesuai dengan konsep triangle therapy bahwa jika dua orang anggota
keluarga terjadi konflik, maka dibutuhkan pihak ketiga untuk menyelesaikan dan
mendukung penyelesaian masalah mereka. Secara alamiah, proses dalam kehidupan
manusia dipengaruhi oleh tiga sisi jaringan hubungan tersebut. Ketiga jaringan
tersebut membentuk hubungan yang disebut ”emotional triangle”. Pada klien dengan
harga diri rendah kronis, pola interaksi dengan keluarga tidak berjalan dengan baik.
Sehingga dengan dilakukannya triangle therapy ini dapat membantu klien dalam
mengekspresikan perasaannya dan klien dapat diterima dalam keluarganya dan
mendapat support dari keluarga dalam penyelesaian masalah klien. Inti dari terapi ini
adalah bukan saja menghilangkan gejala yang ditimbulkan dari masalah yang
dihadapi. Akan tetapi adalah bagaimana membantu klien dengan harga diri rendah
kronis yang biasanya menggunakan koping regresi menjadi lebih dewasa dalam
menghadapi masalah yang dialaminya dan mencegah supaya gejala yang dialaminya
tidak muncul kembali. Proses pendewasaan ini adalah proses belajar menjadi diri
sendiri dalam berinteraksi dengan orang lain.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari
pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan
melalui data biologis , psikologis, social dan spiritual. (Keliat, Budi Ana, 1998 : 3 )
Adapun isi dari pengkajian tersebut adalah :
1. Identitas klien
Melakukan perkenalan dan kontrak dengan klien tentang : nama mahasiswa, nama
panggilan, nama klien, nama panggilan klien, tujuan, waktu, tempat pertemuan, topik
yang akan dibicarakan. Tanyakan dan catat usia klien dan No RM, tanggal pengkajian
dan sumber data yang didapat.
2. Alasan masuk
Apa yang menyebabkan klien atau keluarga datang, atau dirawat di rumah sakit, apakah
sudah tahu penyakit sebelumnya, apa yang sudah dilakukan keluarga untuk mengatasi
masalah ini.
3. Faktor predisposisi
Menanyakan apakah keluarga mengalami gangguan jiwa, bagaimana hasil pengobatan
sebelumnya, apakah pernah melakukan atau mengalami penganiayaan fisik, seksual,
penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga, dan tindakan criminal.
Menanyakan kepada klien dan keluarga apakah ada yang mengalami gangguan jiwa,
menanyakan kepada klien tentang pengalaman yang tidak menyenangkan.
4. Pemeriksaan fisik
Memeriksa tanda-tanda vital, tinggi badan, berat badan, dan tanyakan apakah ada
keluhan fisik yang dirasakan klien.
5. Psikososial
a. Genogram
Genogram menggambarkan klien dengan keluarga, dilihat dari pola komunikasi,
pengambilan keputusan dan pola asuh
b. Konsep diri
c. Gambaran diri
Tanyakan persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang disukai, reaksi
klien terhadap bagian tubuh yang tidak disukai dan bagian yang disukai.
d. Identitas diri
Status dan posisi klien sebelum klien dirawat, kepuasan klien terhadap status dan
posisinya, kepuasan klien sebagai laki-laki atau perempuan, keunikan yang
dimiliki sesuai dengan jenis kelaminnya dan posisinya.
e. Fungsi peran
Tugas atau peran klien dalam keluarga / pekerjaan / kelompok masyarakat,
kemampuan klien dalam melaksanakan fungsi atau perannya, perubahan yang
terjadi saat klien sakit dan dirawat, bagaimana perasaan klien akibat perubahan
tersebut.
f. Ideal diri
Harapan klien terhadap keadaan tubuh yang ideal, posisi, tugas, peran dalam
keluarga, pekerjaan atau sekolah, harapan klien terhadap lingkungan, harapan
klien terhadap penyakitnya, bagaimana jika kenyataan tidak sesuai dengan
harapannya.
g. Harga diri
Hubungan klien dengan orang lain sesuai dengan kondisi, dampak pada klien
dalam berhubungan dengan orang lain, harapan, identitas diri tidak sesuai
harapan, fungsi peran tidak sesuai harapan, ideal diri tidak sesuai harapan,
penilaian klien terhadap pandangan / penghargaan orang lain.
h. Hubungan sosial
Tanyakan orang yang paling berarti dalam hidup klien, tanyakan upaya yang biasa
dilakukan bila ada masalah, tanyakan kelompok apa saja yang diikuti dalam
masyarakat, keterlibatan atau peran serta dalam kegiatan kelompok / masyarakat,
hambatan dalam berhubungan dengan orang lain, minat dalam berinteraksi dengan
orang lain.
i. Spiritual
Nilai dan keyakinan, kegiatan ibadah / menjalankan keyakinan, kepuasan dalam
menjalankan keyakinan.
j. Status mental
Penampilan
Melihat penampilan klien dari ujung rambut sampai ujung kaki apakah ada
yang tidak rapih, penggunaan pakaian tidak sesuai, cara berpakaian tidak
seperti biasanya, kemampuan klien dalam berpakaian, dampak
ketidakmampuan berpenampilan baik / berpakaian terhadap status psikologis
klien.
Pembicaraan
Amati pembicaraan klien apakah cepat, keras, terburu-buru, gagap, sering
terhenti / bloking, apatis, lambat, membisu, menghindar, tidak mampu
memulai pembicaraan.
Aktivitas motorik
Lesu, tegang, gelisah.
Agitasi : gerakan motorik yang menunjukan kegelisahan
Tik : gerakan-gerakan kecil otot muka yang tidak terkontrol
Grimasem : gerakan otot muka yang berubah-ubah yang tidak terkontrol
klien
Tremor : jari-jari yang bergetar ketika klien menjulurkan tangan dan
merentangkan jari-jari
Kompulsif : kegiatan yang dilakukan berulang-ulang
Alam perasaan
Sedih, putus asa, gembira yang berlebihan
Ketakutan : objek yang ditakuti sudah jelas
Khawatir : objeknya belum jelas
Afek
Datar : tidak ada perubahan roman muka pada saat ada stimulus yang
menyenangkan atau menyedihkan.
Tumpul : hanya bereaksi bila ada stimulus emosi yang sangat kuat
Labil : emosi klien cepat berubah-ubah
Tidak sesuai : emosi bertentangan atau berlawanan dengan stimulus
Interaksi selama wawancara
a) Kooperatif : berespon dengan baik terhadap pewawancara
b) Tidak kooperatif : tidak dapat menjawab pertanyaan pewawancara
dengan spontan
c) Mudah tersinggung
d) Bermusuhan : kata-kata atau pandangan yang tidak bersahabat atau
tidak ramah
e) Kontak kurang : tidak mau menatap lawan bicara
f) Curiga : menunjukan sikap atau peran tidak percaya kepada
pewawancara atau orang lain.
g) Persepsi
Jenis-jenis halusinasi dan isi halusinasi, frekuensi gejala yang tampak
pada saat klien berhalusinasi.
Proses piker
Sirkumtansial : pembicaraan yang berbelit-belit tapi sampai pada tujuan
Tangensial : pembicaraan yang berbelit-belit tapi tidak sampai pada tujuan
Kehilangan asosiasi : pembicaraan tidak ada hubungan antara satu kalimat
dengan kalimat lainnya
Flight of ideas : pembicaraan yang meloncat dari satu topik ke topik yang
lainnya.
Bloking : pembicaraan terhenti tiba-tiba tanpa gangguan dari luar
kemudian dilanjutkan kembali
Perseferasi : kata-kata yang diulang berkali-kali
Perbigerasi : kalimat yang diulang berkali-kali
Isi fikir
Obsesi : pikiran yang selalu muncul walaupun klien berusaha
menghilangkannya.
Phobia : ketakutan yang patologis / tidak logis terhadap objek / situasi
tertentu.
Hipokondria : keyakinan terhadap adanya gangguan organ tubuh yang
sebenarnya tidak ada.
Depersonalisasi : perasaan klien yang asing terhadap diri sendiri, orang
lain dan lingkungan.
Ide yang terkait : keyakinan klien terhadap kejadian yang terjadi
dilingkungan yang bermakna yang terkait pada dirinya.
6. Tingkat kesadaran
a. Bingung : tampak bingung dan kacau ( perilaku yang tidak mengarah pada
tujuan).
b. Sedasi : mengatakan merasa melayang-layang antara sadar atau tidak sadar
c. Stupor : gangguan motorik seperti kekakuan, gerakan yang diulang-ulang, anggota
tubuh klien dalam sikap yang canggung dan dipertahankan klien tapi klien
mengerti semua yang terjadi dilingkungannya
d. Orientasi : waktu, tempat dan orang
e. Jelaskan apa yang dikatakan klien saat wawancara
f. Memori
Gangguan mengingat jangka panjang : tidak dapat mengingat kejadian lebih
dari 1 bulan.
Gangguan mengingat jangka pendek : tidak dapat mengingat kejadian dalam
minggu terakhir.
Gangguan mengingat saat ini : tidak dapat mengingat kejadian yang baru saja
terjadi.
Konfabulasi : pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan dengan memasukan
cerita yang tidak benar untuk menutupi gangguan daya ingatnya.
Tingkat konsentrasi
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari
pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan
melalui data biologis , psikologis, social dan spiritual. (Keliat, Budi Ana, 1998 : 3 )
Adapun isi dari pengkajian tersebut adalah :
1. Identitas klien
Melakukan perkenalan dan kontrak dengan klien tentang : nama mahasiswa, nama
panggilan, nama klien, nama panggilan klien, tujuan, waktu, tempat pertemuan, topik
yang akan dibicarakan. Tanyakan dan catat usia klien dan No RM, tanggal pengkajian
dan sumber data yang didapat.
2. Alasan masuk
Apa yang menyebabkan klien atau keluarga datang, atau dirawat di rumah sakit, apakah
sudah tahu penyakit sebelumnya, apa yang sudah dilakukan keluarga untuk mengatasi
masalah ini.
3. Faktor predisposisi
Menanyakan apakah keluarga mengalami gangguan jiwa, bagaimana hasil pengobatan
sebelumnya, apakah pernah melakukan atau mengalami penganiayaan fisik, seksual,
penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga, dan tindakan criminal.
Menanyakan kepada klien dan keluarga apakah ada yang mengalami gangguan jiwa,
menanyakan kepada klien tentang pengalaman yang tidak menyenangkan.
4. Pemeriksaan fisik
Memeriksa tanda-tanda vital, tinggi badan, berat badan, dan tanyakan apakah ada
keluhan fisik yang dirasakan klien.
5. Psikososial
a. Genogram
Genogram menggambarkan klien dengan keluarga, dilihat dari pola komunikasi,
pengambilan keputusan dan pola asuh
b. Konsep diri
c. Gambaran diri
Tanyakan persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang disukai, reaksi
klien terhadap bagian tubuh yang tidak disukai dan bagian yang disukai.
d. Identitas diri
Status dan posisi klien sebelum klien dirawat, kepuasan klien terhadap status dan
posisinya, kepuasan klien sebagai laki-laki atau perempuan, keunikan yang
dimiliki sesuai dengan jenis kelaminnya dan posisinya.
e. Fungsi peran
Tugas atau peran klien dalam keluarga / pekerjaan / kelompok masyarakat,
kemampuan klien dalam melaksanakan fungsi atau perannya, perubahan yang
terjadi saat klien sakit dan dirawat, bagaimana perasaan klien akibat perubahan
tersebut.
f. Ideal diri
Harapan klien terhadap keadaan tubuh yang ideal, posisi, tugas, peran dalam
keluarga, pekerjaan atau sekolah, harapan klien terhadap lingkungan, harapan
klien terhadap penyakitnya, bagaimana jika kenyataan tidak sesuai dengan
harapannya.
g. Harga diri
Hubungan klien dengan orang lain sesuai dengan kondisi, dampak pada klien
dalam berhubungan dengan orang lain, harapan, identitas diri tidak sesuai
harapan, fungsi peran tidak sesuai harapan, ideal diri tidak sesuai harapan,
penilaian klien terhadap pandangan / penghargaan orang lain.
h. Hubungan sosial
Tanyakan orang yang paling berarti dalam hidup klien, tanyakan upaya yang biasa
dilakukan bila ada masalah, tanyakan kelompok apa saja yang diikuti dalam
masyarakat, keterlibatan atau peran serta dalam kegiatan kelompok / masyarakat,
hambatan dalam berhubungan dengan orang lain, minat dalam berinteraksi dengan
orang lain.
i. Spiritual
Nilai dan keyakinan, kegiatan ibadah / menjalankan keyakinan, kepuasan dalam
menjalankan keyakinan.
j. Status mental
Penampilan
Melihat penampilan klien dari ujung rambut sampai ujung kaki apakah ada
yang tidak rapih, penggunaan pakaian tidak sesuai, cara berpakaian tidak
seperti biasanya, kemampuan klien dalam berpakaian, dampak
ketidakmampuan berpenampilan baik / berpakaian terhadap status psikologis
klien.
Pembicaraan
Amati pembicaraan klien apakah cepat, keras, terburu-buru, gagap, sering
terhenti / bloking, apatis, lambat, membisu, menghindar, tidak mampu
memulai pembicaraan.
Aktivitas motorik
Lesu, tegang, gelisah.
Agitasi : gerakan motorik yang menunjukan kegelisahan
Tik : gerakan-gerakan kecil otot muka yang tidak terkontrol
Grimasem : gerakan otot muka yang berubah-ubah yang tidak terkontrol
klien
Tremor : jari-jari yang bergetar ketika klien menjulurkan tangan dan
merentangkan jari-jari
Kompulsif : kegiatan yang dilakukan berulang-ulang
Alam perasaan
Sedih, putus asa, gembira yang berlebihan
Ketakutan : objek yang ditakuti sudah jelas
Khawatir : objeknya belum jelas
Afek
Datar : tidak ada perubahan roman muka pada saat ada stimulus yang
menyenangkan atau menyedihkan.
Tumpul : hanya bereaksi bila ada stimulus emosi yang sangat kuat
Labil : emosi klien cepat berubah-ubah
Tidak sesuai : emosi bertentangan atau berlawanan dengan stimulus
Interaksi selama wawancara
a) Kooperatif : berespon dengan baik terhadap pewawancara
b) Tidak kooperatif : tidak dapat menjawab pertanyaan pewawancara
dengan spontan
c) Mudah tersinggung
d) Bermusuhan : kata-kata atau pandangan yang tidak bersahabat atau
tidak ramah
e) Kontak kurang : tidak mau menatap lawan bicara
f) Curiga : menunjukan sikap atau peran tidak percaya kepada
pewawancara atau orang lain.
g) Persepsi
Jenis-jenis halusinasi dan isi halusinasi, frekuensi gejala yang tampak
pada saat klien berhalusinasi.
Proses piker
Sirkumtansial : pembicaraan yang berbelit-belit tapi sampai pada tujuan
Tangensial : pembicaraan yang berbelit-belit tapi tidak sampai pada tujuan
Kehilangan asosiasi : pembicaraan tidak ada hubungan antara satu kalimat
dengan kalimat lainnya
Flight of ideas : pembicaraan yang meloncat dari satu topik ke topik yang
lainnya.
Bloking : pembicaraan terhenti tiba-tiba tanpa gangguan dari luar
kemudian dilanjutkan kembali
Perseferasi : kata-kata yang diulang berkali-kali
Perbigerasi : kalimat yang diulang berkali-kali
Isi fikir
Obsesi : pikiran yang selalu muncul walaupun klien berusaha
menghilangkannya.
Phobia : ketakutan yang patologis / tidak logis terhadap objek / situasi
tertentu.
Hipokondria : keyakinan terhadap adanya gangguan organ tubuh yang
sebenarnya tidak ada.
Depersonalisasi : perasaan klien yang asing terhadap diri sendiri, orang
lain dan lingkungan.
Ide yang terkait : keyakinan klien terhadap kejadian yang terjadi
dilingkungan yang bermakna yang terkait pada dirinya.
6. Tingkat kesadaran
a. Bingung : tampak bingung dan kacau ( perilaku yang tidak mengarah pada
tujuan).
b. Sedasi : mengatakan merasa melayang-layang antara sadar atau tidak sadar
c. Stupor : gangguan motorik seperti kekakuan, gerakan yang diulang-ulang, anggota
tubuh klien dalam sikap yang canggung dan dipertahankan klien tapi klien
mengerti semua yang terjadi dilingkungannya
d. Orientasi : waktu, tempat dan orang
e. Jelaskan apa yang dikatakan klien saat wawancara
f. Memori
Gangguan mengingat jangka panjang : tidak dapat mengingat kejadian lebih
dari 1 bulan.
Gangguan mengingat jangka pendek : tidak dapat mengingat kejadian dalam
minggu terakhir.
Gangguan mengingat saat ini : tidak dapat mengingat kejadian yang baru saja
terjadi.
Konfabulasi : pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan dengan memasukan
cerita yang tidak benar untuk menutupi gangguan daya ingatnya.
Tingkat konsentrasi
NANDA, NOC, NIC