Disusun Oleh :
2018/2019
BAB 1
PENDAHULUAN
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam
melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang
direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan
pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-
orang yang terlibatsejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan.
Diantaradua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya.Indonesia
merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber
daya alamnya. Tetapi ironisnya, negaratercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan
Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang
miskin.Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya
manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi
juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat
kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.Korupsi di
Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit social) yang sangat berbahaya
yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi
telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih
memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasankeuangan negara yang
dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggotalegislatif dengan dalih studi banding, THR, uang
pesangon dan lainsebagainya di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan
keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itumerupakan
cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan
dan aji mumpung. Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain
kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas
korupsi,atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir yang paling rendahmaka jangan
harap Negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk
menjadi sebuah negara yang maju. Karenakorupsi membawa dampak negatif yang cukup luas
dan dapat membawa negara ke jurang kehancuran.
1.2. Rumusan masalah :
1. Pengertian korupsi
2. Dasar hukum serta pasal yang mengatur Korupsi
3. Bagaimanakah kasus korupsi H. Annas Maamun?
4. Apa saja analisa terhadap kasus korupsi H. Annas Maamun?
1.3. Tujuan
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik,
baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang
secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan
kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak..
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
Siapakah orang yang melakukan korupsi, Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU
Nomor 20 tahun 2001
Selanjutnya pada Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 juga
menjelaskan tentang perilaku koruptif melalui penyalahgunaan wewenang. Dalam
mempermudah penindakan terhadap pelaku korupsi, Pemerintah RI berdasarkan UU Nomor
30 Tahun 2002 telah dibentuk komisi khusus menangani korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi atau disingkat KPK. Komisi tersebut menurut Pasal 3 UU Nomor 30
Tahun 2002 adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
“Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.
BAB 3
3.1. Kasus
Hendry Campbell Black, korupsi diartikan sebagai “an act done with an intent to give some
advantage inconsistent with official duty and the rigths of others”, (terjemahan bebasnya: suatu
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak
sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain). Menurut black adalah perbuatan
seseorang pejabat yang secara melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk
mendapatkan suatu keuntungan yang berlawanan dengan kewajibannya.
Menurut Barley, pekataan “korupsi” dikaitkan dengan perbuatan yang berhubungan dengan
penyalahgunaan wewenang atas kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka
yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.
Menurut analisa penulis dari kasus korupsi H. Annas Maamun, bahwa kasus korupsi suatu
perbuatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan jabatan demi kepentingan pribadi
maupun korporasi, bagi mereka yang memegang jabatan atau kekuasaan senatiasa
menyalahgunakan kekuasaaan mereka itu. Tindakan korupsi oleh H. Annas Maamun ini
merupakan tindakan yang berdampak bukan hanya pada lingkungan, tetapi memicu persoalan
sosial (konflik), bencana lingkungan menahun, pemiskinan dan lain-lain.
Against the rule corruption, artinya korupsi yang dilakukan sepenuhnya bertentangan dengan
hukum, misalnya penyuapan, penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi. Dan korupsi ini termasuk jenis korupsi dibidang materiil dimana
korupsi yang menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi dibidang
ekonomi dan menyangkut bidang kepentingan umum. Menurut analisa penulis tindakan
korupsi oleh H. Annas Maamun ini termasuk tindakan yang sepenuhnya melanggar hukum dan
berhubungan dengan materi atau keuangan.
Menurut analisa penulis pada kasus korupsi H. Annas Maamun, kasus ini merupakan tingkatan
teratas yang disebut dengan Material benefit (mendapatkan keuntungan material yang bukan
haknya melalui kekuasaaan), mengapa? Karna H. Annas Maamun melakukan penyimpangan
kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan material baik bagi dirinyas sendiri maupun orang
lain. Kasus korupsi pada tingkat ini sangat membahayakan dikarenakan melibatkan kekuasaan
dan keuntungan material.
Sedangkan tipe korupsi yang menyangkut korupsi H. Annas Maamun ini adalah Mercenery
corruption yakni, jenis tindak pidana korupsi yang bermaksud untuk memperoleh keuntungan
pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
4. Faktor-faktor penyebab terjadinya kasus korupsi ini
Faktor organisasi
Menurut analisa penulis faktor organisasi termasuk kedalam faktor penyebab terjadinya tindak
pidana korupsi karena H. Annas Maamun termasuk politisi partai Golkar (golongan karya) yang
dimana ia juga merupakan gubernur RIAU ditambah lagi dengan kewewenang yang begitu
besar tanpa adanya pertanggungjawaban sehingga para pelaku korupsi ini senantiasa
melakukan korupsi dengan mengandalkan partai ataupun jabatannya diorganisasi.
Faktor ekonomi
Faktor ekonomi merupakan faktor terpenting dalam tindak pidana korupsi ini, penulis
menganalisa bahwa tindak pidana korupsi ini sangat jelas kaitannya dengan faktor ekonomi
dimana pelaku merasa bahwa keiinganannya yang begitu besar dan juga gaji yang tidak
mencukupi kebutuhan mendorong terjadinya korupsi ini. Selain rendahnya gaji dan keinginan,
banyak aspek yang ekonomi lainnya yang menjadi penyebab terjadinya korupsi, diantaranya
adalah kekuasaan pemerintahan yang dibarengi dengan faktor kesempatan untuk memenuhi
kekayaan pelaku.
Faktor hukum
Lemahnya penegakkan hukum merupakan faktor terjadinya korupsi. Sanksi yang tidak tepat
dengan perbuatan yang dilarang sehingga terasa begitu ringan atau tidak fungsional membuat
para pelaku menganggap bahwa hukum itu tidak ada apa-apanya.
Pada dasarnya korupsi terjadi karena adanya faktor intenal (NIAT) dan faktor eksternal
(KESEMPATAN). Niat lebih terkait dengan faktor individu yang meliputi perilaku dan nilai-nilai
yang dianut, sedangkan kesempatan terkait dengan sistem yang berlaku. Upaya pencegahan
korupsi dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai anti korupsi pada semua individu.
Setidaknya ada 9 nilai anti korupsi yang penting untuk ditanamkan pada semua individu, yaitu:
kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, sederhana,
kebernian, dan keadilan[[10]].
Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahawa kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Riau H.
Annas Maamun ini sangat berdampak pada birokrasi pemerintahannya, terlebih lagi bapak H.
Annas Maamun ini merupakan gubernur terpilih, setelah dilakukan penangkapan posisi
gubernur untuk sementara waktu kosong dan pada 25 mei 2016 plt gubernur yaitu
Arsyadjuliandi Rachman dilantik secara resmi menjadi gubernur setelah 20 bulan menjabat
menjadi plt. Kasus korupsi ini juga berdampak pada lingkungan fisik yakni penyimpangan
terhadap anggaran pembangunan dan pelaksanaan infrastruktur dapat memperlambat laju
pertumbuhan ekonomi dan berdampak pada kemiskinan rakyat.
6. Kasus H. Annas Maamun menurut perspektif
Kasus korupsi dalam perspektif budaya sudah menjadi sesautu yang dianggap biasa karena
telah dilakukan baik secara sadar maupun tidak sadar.
Agama menentang korupsi karna agama mengajarkan penganutnya untuk hidup jujur, lurus,
dan benar. Iman yang lemah juga menjadi pendorong terjadinya korupsi.
Dalam hukum tindak pidana korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa, dan ada beberapa
undang-undang dan peraturan pemerintah yang erat kaitannya untuk mencegah dan
memberantas korupsi, yaitu:
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-undang Hukum acara pidana.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi, dan Nepotisme.
Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan tindak pidana korupsi.
Dinegara kita persoalan pembinaan hukum nasional bertambah kompleks karena sistim hukum
yang berlaku di indonesia paling tidak dibidang perdata bersifat pluralistis yaitu mengenal
golongan dan penduduk, yang masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan
3.3. Pembahasan
Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf b Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah
membaca tuntutan hukum/requisitoir Penuntut Umum tertanggal 20 Mei 2015 yang menuntut
agar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan putusan
sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa H. ANNAS MAAMUN telah terbukti secara sah dan meyakinkan
menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 12 huruf b Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaima
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 11 Undang Undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaima diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan
Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPdalam
Dakwaan PERTAMA, Dakwaan Kedua dan Dakwaan KETIGA Pertama.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa H. ANNAS MAAMUN berupa pidana penjara
selama 6(enam) tahun, dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan
perintah supaya Terdakwa tetap ditahan dan ditambah dengan pidana denda sebesar Rp.
250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) subsidiair selama 5(lima) bulan kurungan
BAB 4
4.1. Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh Gubernur Riau adalah melanggar undang-undang Tindak Pidana
Korupsi dan di tuntut untuk di pidana penjara. To end corruption is my dream:
togetherness in fighting it makes the dream come true.
Jadilah satu untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam diri pelaku maupun dari
luar pelaku.
Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak dini, dan pencegahan
korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil. Jangan pernah sekali-sekali mencoba untuk
melakukan korupsi karna sekali mencoba pasti kan ingin mengulang kembali. Jangan
juga mengandalkan jabatan hanya untuk mendapatkan uang yang tidak halal.
Lampiran
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal I
Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:
1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana
tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini.
2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya
diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung
menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum
Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau
advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang
pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu
dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga
ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang,
yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau
pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang
menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima,
atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada
kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut
mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau
menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan
tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut
serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk
seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.”
Pasal 37
dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 37 dengan substansi yang berasal dari ayat (1) dan ayat (2) dengan penyempurnaan pada ayat
(2) frase yang berbunyi "keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya"
diubah menjadi "pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
bahwa dakwaan tidak terbukti", sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 adalah sebagai berikut:
“Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka
pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan
tidak terbukti.”
b. Pasal 37 A dengan substansi yang berasal dari ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan penyempurnaan
kata "dapat" pada ayat (4) dihapus dan penunjukan ayat (1) dan ayat (2) pada ayat (5) dihapus, serta
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) masing-masing berubah menjadi ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), sehingga
bunyi keseluruhan Pasal 37 A adalah sebagai berikut:
“Pasal 37A
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan
perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara
pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5
sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.”