Anda di halaman 1dari 8

Nama Dia yang Tersembunyi

Aku memandang kosan tiga lantai dihadapanku untuk terakhir kali dengan perasaan lega.
Lega karena akhirnya bisa meninggalkan tempat ini. “Finally…”

“Yana, ayok berangkat! Ntar telat nyampe bandara-nya lho.” Mendengar namaku
dipanggil, aku menoleh ke arah Sofa yang sudah menungguku di taxi. Aku pun tersenyum ke
arahnya, “Iya, ayok,” sambil menoleh ke belakang untuk terakhir kali, aku pun langsung naik ke
mobil. Taxi mulai bejalan, berangsur melewati gang demi gang menuju ke jalan raya. Aku
berusaha mematri apa yang aku liat ke dalam memori, sembari taxi pelan-pelan melewati deretan
kos-kosan, toko dan ramainya mahasiwa yang hilir mudik. Empat tahun sudah aku berinteraksi
dengan lingkungan ini, berusaha berdamai dengannya dengan segala kelebihan dan kekurangan
yang bisa ia tawarkan di hari-hariku mengemban amanah sebagai mahasiswa. Taxi pun mulai
menambah kecepatan ketika sudah berhasil keluar dari gang. Seulas senyum mengembang di
wajahku ketika menyadari taxi akan segera melewati tempat favoritku.

“Are you okay?” tanya Sofa menyadari senyum di wajahku.

“Hehe baik kok, baik banget malah. Tapi aku seriusan bakalan kangen sama tempat itu.”
kataku dengan tawa kecil sambil tidak melepas pandanganku dari supermarket yang dilewati taxi,
sambil masih tetap mengembangkan senyum.

“Akhirnya sampai detik ini kamu tetap nggak tau namanya siapa ya.” ujar Sofa. Aku tidak
menjawab, hanya diam tersenyum memandang ke luar jendela taxi.

4 tahun yang lalu

Aku berhasil keluar dari kota kelahiranku untuk menuntut ilmu ke Surabaya, kota yang
berada di ujung timur pulau Jawa. Bukan serta merta aku diperbolehkan menuntut ilmu dengan
jarak 2000 km dari rumah. Butuh keyakinan yang kuat dan perjuangan yang besar untuk
meyakinkan ayah dan ibu kalau aku akan baik-baik saja. Kan tujuannya untuk kuliah, bukan untuk
hal yang bukan-bukan.
Hari-hari awal orientasi aku berkenalan dengan teman-teman dan menjadi dekat dengan
Sofa serta tiga temanku yang lain. Kami ternyata juga saling tinggal berdekatan, masih dalam satu
komplek yang sama. Hari libur di minggu pertama kuliah, salah satu temanku meminta ditemanin
belanja keperluan untuk sebulan ke depan. Akhirnya kami berempat berkumpul di kosannya
sebelum memutuskan mau kemana. Temanku menyarankan ke supermarket di belakang kawasan
kampus yang di rekomendasikan senior di kosannya. Katanya itu supermarket terkenal di kalangan
mahasiswa sebagai penyelamat karena kelengkapan barang serta harganya yang sangat terjangkau.
Plus, katanya karyawannya ramah-ramah. Kami semua setuju, toh juga karena dekat jadi tidak
membutuhkan kendaraan, karena hanya berjarak 10 menit dari komplek tempat tiggal kami.
Sesampai disana, plang tulisan “Mawaddah” terpampang jelas di bagian depan area supermarket.
Dari luar supermarket-nya terlihat lumayan besar, dan tanpa menunggu lama, kami pun langsung
masuk ke dalam. Kesan pertamaku masuk ke supermarket yang ini, kagum! Baru pertama kali aku
masuk supermarket dengan nuansa islam yang begitu kental. Dengan suasana di dalam didominasi
warna hijau, dinding yang di dominasi oleh ayat-ayat Al Quran, serta lantunan nasyid yang
terdengar dari speaker. Mataku melebar. Ini baru namanya supermarket keren! Dalamnya sangat
ramai terlihat dari rombongan mahasiswa ataupun keluarga yang terlihat sedang asyik berbelanja.
Sekilas tolah-toleh aku pun menyadari kalau supermarket ini tidak mempunyai staff perempuan,
hanya mempunyai staff laki-laki. Kami berlima pun langsung heboh melihat-lihat di dalam.

“Eh liat deh mas yang jaga kasir 1, wajahnya kok cemberut aja ya sejak tadi nanganin yang
pada bayar, beda sama mas kasir yang lain.” sahut temenku mengarah ke mas yang menjaga salah
satu dari sekian banyak kasir.

“Wah iya. Mas-mas yang jaga kasir lain keliatan ramah, dia kelihatan jutek sendiri.” timpal
temanku yang satu.

“Iya nih, kayak lagi bete banget.” sambung temanku yang lain.

Aku cuma melihat sekilas ke orang yang dimaksud teman-temanku tanpa komentar apapun, dan
menjadi sibuk melihat-lihat isi supermarket bareng Sofa.

Sejak kali pertama itu, aku menjadi sering mampir ke Mawaddah untuk belanja atau bahkan hanya
untuk sekedar membeli beberapa butir telur atau satu bungkus roti. Aku bisa mampir kesana setiap
minggu, setiap hari, bahkan bisa lebih dari sekali dalam sehari. Aku menyukai suasananya, lorong-
lorong raknya, semuanya! Seluruh isinya terasa menyenangkan untuk ditelusuri, walaupun tidak
jarang aku berakhir tidak membeli apa-apa, dan langsung keluar supermarket hehe.

Hari-hariku pun disibukkan dengan kuliah, tugas, kehidupan sosial dan organisasi. Tanpa
terasa pun setengah tahun terlewati dalam kesibukan yang bermanfaat.

“Yana, nanti pulang kuliah temanin ke Mawaddah dong. Aku pengen beli cemilan buat
ntar malam ngerjain tugas.” ucap Sofa di kelas dari meja seberangku.

“Ayuk,” balasku dengan semangat. Aku pun bergegas merapikan barang-barangku usai
pelajaran berakhir dan langsung pergi bareng Sofa. Beruntung hari ini tidak ada kegiatan
organisasi, jadi bisa agak santai. Sesampai di Mawaddah, kami langsung ke area makanan, berburu
segala macam camilan untuk amunisi mengerjakan tugas nanti malam. Selesai dengan belanja
kami bergegas untuk membayar ke kasir tetapi kami dihadapkan dengan antrian-antrian yang
panjang. Tidak ada pilihan, karena semua kasir punya antrian yang panjang, kami memilih kasir
yang paling dekat dengan pintu keluar. Sambil ngantri aku memperhatikan mas yang berada di
kasir, “Aah itu si mas cemberut yang dibicarain teman-teman dulu.” batiku cuek. Aku
memperhatikan masnya melayani setiap yang bayar dengan wajah cemberut dan alis menekuk.
Kuperhatikan masnya memang cenderung memberi kesan jutek, dengan alis tertekuk dan senyum
yang sama sekali tidak terukir, ditambah kaca mata kakunya yang menambah kesan demikian. Dia
dalam diam mengscan belanjaan dan merapikannya ke dalam kantong plastik dengan ringkas.
Dengan singkat mengucapkan total belanjaan, dan dalam diam mengembalikan kembalian yang
membayar, tanpa membalas ucapan terima kasih pelanggan.

“Eh Yana, gimana nih usahamu buat belajar bahasa Jawa? Aku belum dengar progres
usahamu.” tanya Sofa mengalihkan perhatianku. Aku menoleh ke arahnya lalu menghembuskan
napas panjang. Sofa tahu aku kesulitan memahami dan berbicara dengan bahasa Jawa selama
berada di Surabaya.

“Nggak baik nih. Nggak tau kenapa rasanya susah banget ngafalin kosakata-kosakanya,
belum lagi pas ngucapin rasanya lidahku kelu haha.”

“Hahaha, gimana sih kamu? Udah setengah tahun lho kamu di Surabaya. Keburu lulus nih
nanti kita, tapi kamu tetapan nggak bisa,” ledeknya.
“Nggak tau ah. Nggak bisa bahasa Jawa juga gak apa-apa. Lagian ada kamu juga nemanin
aku disini.” balasku.

“Ya nggak iso gitu dong. Kalau nanti kamu dapetnya jodoh orang Jawo gimana? Nggak
iso komunikasi sama keluarga doi dong ntar.”

“Nggak tau ah. Gak mau mikir. Lagian aku masih bisa hidup tanpa bahasa Jawa. Harusnya
kita ngomong pake bahasa Indonesia aja, kan itu bahasa nasional. Harusnya sehari-hari pakai
bahasa nasional, bangga dong. Aku pokoknya nggak mau dipaksa ngomong bahasa Jawa, titik.”
Aku berdebat dengan Sofa di antrian kasir, tetap ngeyel setengah heboh dengan pendapatku hingga
tidak sadar sudah tiba giliran kami untuk membayar.

Aku mendengar suara tawa kecil, dan aku berhenti ngeyel dan memandang ke arah suara.
Si mas kasir sedang memandang ke arahku dengan seulas senyum. Pandangan kami bertemu
selama beberapa detik, sebelum aku nunduk untuk mengalihkan pandanganku. Aku tertegun.
Masnya senyum! Sempat ketawa bahkan! Kenapa dia senyum ya? Wajah juteknya kemana?

“Yana!” kaget, aku pun menoleh ke arah Sofa.

“A apa?”

“Kamu kenapa? Kok bengong? Tadi heboh banget padahal”

“Hah? Gak apa-apa kok. Ayok pulang.” sahutku sambil langsung buru-buru ke arah parkiran
motor.

Setelah itu setiap kali aku ke Mawaddah aku akan menyadari kehadiran mas itu. Selalu di
tempat yang sama, kasir yang sama dan di jam-jam yang sama. Sebelumnya aku sama sekali tidak
memperhatikan, tetapi sejak aku diketawain sama orang itu, aku jadi kepikiran. Sambil belanja
ataupun sambil melihat-lihat rak, aku cenderung mencuri pandang ke arah kasir, melihatnya masih
dengan tampang jutek yang biasa melayani pelanggan. “Apa dia nggak sadar ya pas senyum dulu?
Sehari-hari alisnya menekuk terus,” batinku penasaran. Begitu terus selama berhari-hari,
berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, aku menjadi penasaran sama orang itu. Aku menjadi
ingin tahu namanya. Hingga pada satu waktu Sofa menyadari aku yang menjadi aneh sewaktu
sedang berbelanja bareng.
Hari ini aku pun lagi-lagi ke Mawaddah. Sebersit rasa bahagia pun menghampiriku melihat
orang itu ada di kasir seperti biasa. Tapi hari ini supermarket cenderung sepi, sepertinya karena
akhir bulan. Tidak ada pelanggan di kasir tempat mas itu, dan kulihat dia sedang mengobrol dengan
rekannya di kasir sebelahnya, lalu aku melihatnya tersenyum, “Dia senyum!” teriak batinku.
Sepertinya dia lebih melembut sewaktu bersama rekan-rekannya.

“Kamu kok senyum-senyum sendiri?” wajah Sofa tiba-tiba muncul di depanku,


mengagetkanku.

“Apaan? Aku nggak senyum-senyum sendiri,” ucapku berusaha ngeles.

“Iya kok, kamu senyum-senyum sendiri sambil ngeliatin ke arah sana,” tunjuknya ke arah
kasir. “Kamu belakangan ini aneh deh. Nggak cuma sekali ini lho kita ke sini, terus kamu senyum-
senyum sendiri, sampai nggak dengar aku manggil.” seloroh Sofa. Aku hanya cengar-cengir
dihadapannya. Dia yang merasa kesal, langsung menarikku untuk bayar, “Udah ah! Aku udahan
nih. Ayo bayar.” tarik Sofa ke kasir tempat orang itu.

“Jangaaaaan.” aku menahan lengan Sofa keras-keras. Dia kaget, lalu menoleh ke arahku.

“Apaan sih Yana? Jangan apanya?” dia memandangku heran.

“Jangan ke kasir yang itu,” bisikku.

“Lha? Kenapa? Itu kasirnya kosong.” tanyanya tidak terima.

“Kita ke kasir yang itu aja!” tunjukku ke kasir lain yang jauh dari orang itu. Aku menarik
lengan Sofa sambil dia masih melanjutkan protesnya. Sejak aku menyadari diriku menjadi ‘aneh’,
aku memang tidak mau membayar di kasir tempat orang itu. Aku cenderung menghindar, dan tidak
ingin dekat-dekat. Sewaktu keluar dari supermarket, Sofa akhirnya menodongku dan menagih
jawaban atas tindakan irasionalku di dalam. Akhirnya aku membeberkannya ke Sofa atas
keanehanku beberapa bulan terakhir ini.

“Jadi kamu tetap tidak tahu nama mas itu?” tanyanya sebagai tanggapan ceritaku. Aku
hanya menjawabnya dengan menggelengkan kepalaku.

“Mau aku tanyain?” Sofa menyeringai jahil menggodaku.

“Jangaaaaaan” dan aku lansung menariknya pulang.


Tidak pernah terbersit di pikiranku untuk mengajak orang itu ngobrol, bahkan hanya untuk
menanyakan namanya. Dari sekian bulan aku merasa penasaran, aku hanya ingin mengetahui nama
orang itu dan tidak lebih. Aku masih menyimpan malu dan memegang teguh akan prinsipku terkait
lawan jenis, dan sadar bahwa rasa yang muncul ini tidak seharusnya hadir sekarang.

Waktu pun terus berlalu dalam keadaan yang sama, berbulan-bulan dan aku masih terus
berdiri di tempat. Merasa penasaran akan namanya. Aku beberapa kali menangkap rekannya
memakai name tag tapi dia tidak pernah memakainya. Kenapa dia tidak pernah menggunakannya?
Pada satu waktu terbersit untuk mencoba mencarinya di jejaring facebook. Tapi aku harus mulai
dari mana? Aku tidak tahu apapun tentangnya, aku tidak tau namanya, hanya tahu wajah. Belum
ada sosial media sekarang yang bisa mencari orang berdasarkan ingatan wajah kan? Satu-satunya
yang kutahu hanya supermarket tempat kerjanya. Malam itu sepulang dari kampus, aku pun mulai
mencari page supermarket Mawaddah tapi nihil. Lalu aku hanya menuliskan keyword
“supermarket Mawaddah” pada search box Facebook, dan muncullah status-status pengguna
facebook yang pernah men-tag ataupun menyebut kata supermarket Mawaddah di status mereka.

Aku menyadari penuh kalau tindakanku sekarang ini konyol. Sangat konyol. Tindakan
yang tidak bisa dibenarkan dari sisi syariat manapun. Tetapi rasa penasaran berbulan-bulan
berhasil merasukiku, dan malam itu aku menghabiskan waktu di depan laptop berusaha mencari
profil si mas kacamata Mawaddah. Salah satu status dalam pencarian menarik perhatianku, dilihat
dari isi statusnya sepertinya dia salah satu karyawan di Mawaddah. Aku tersenyum, “Akhirnya aku
mendapat petunjuk”. Dari sini aku yakin diantara semua karyawan Mawaddah pasti ada salah satu
yang hobi bersosial media ria. Dimana ia suka mentag semua orang dalam setiap postingannya.
Dan benar saja, aku menemukan postingan yang ramai di tag karyawan lain. Aku lagi-lagi
tersenyum. Dari sekian banyak yang di tag, aku membuka profil mereka satu-satu. Dari puluhan
profil yang sudah kubuka, aku belum memukan profil si mas kacamata. “Apa dia tidak punya akun
Facebook ya? Masa sih nggak ada akun facebook?”

Frustasi dan putus asa, karena tidak kunjung menemukan profilnya sementara aku sudah
menyiakan waktu banyak. Lalu mataku tertuju pada satu profil yang terlewat olehku. Aku
mengarahkan pointer mouse pada profil bergambar sesosok laki-laki berkacamata dalam bentuk
animasi. Lantas aku melihat nama profilnya yang membuatku ketawa karena untukku terkesan
alay. Pada feednya paling atas, terdapat foto si pemilik akun yang di tag oleh orang lain. Aku
menemukannya! Dan aku pun berteriak sendiri di dalam kamar, kegirangan karena berhasil
menemui akunnya. Aku tersenyum melihat foto profilnya dalam bentuk animasi, sama denganku!
Aku memutuskan untuk mencoba scrolling feed facebooknya dulu, yang lantas membuatku kagum.
Isi feed facebooknya penuh dengan murottal, status yang pro kondisi muslim sekarang, share-
share-an edukatif, dan juga tidak ketinggalan share tentang sepakbola. Haha dasar pria. Lantas aku
pun tersenyum, batinku benar bahwa dia orang baik. Karena aku yakin, seseorang itu salah satunya
bisa dilihat dari feed sosial medianya.

Lantas aku hampir lupa tujuan utamaku mencari akunnya. Nama! Namanya siapa? Tidak
mungkin nama profil yang alay itu nama aslinya. Aku pun langsung klik about, mencoba mencari
tahu hal lain tentangnya, tapi nihil. Dia tidak mencamtumkan nama aslinya, hanya tahun lahirnya
yang tertera. Ternyata dia lebih tua tujuh tahun dariku. Apakah dia sudah menikah? Sepertinya
belum. Terlihat dari beberapa komentar pertanyaan “kapan?” dari teman-temannya di kolom
komentar. Lalu apa sekarang? Aku gagal mengetahui namanya. Aku masih menscroll feed
facebooknya, dan memutuskan menyudahi tidakan konyolku ini. Tanpa meng-add dia sebagai
teman, aku pun mematikan laptopku.

Setelah tindakan konyolku waktu itu, aku berusaha menutup semua celah dari rasa
penasaranku akan orang itu. Aku tetap sering ke supermarket, tetapi menghindari shift orang itu.
Waktu pun berlalu begitu saja hingga tiba hari wisuda, dan waktu perpisahan dengan kota
Surabaya pun semakin dekat. Beberapa hari setelah wisuda, ditengah rasa capek mengemas barang
untuk pindah kota, aku memutuskan untuk keluar jalan siang. Memang bukan waktu yang tepat
untuk jalan-jalan diluar ditengah panasnya kota Surabaya. Tetapi aku tetap mengambil sepatu kets-
ku dan langsung keluar kosan menuju ke danau tengah kampus. Aku menghabiskan waktu sekitar
sejam di bawah bayangan pohon di samping danau sambil membaca buku dan ditemani lantunan
murrotal dari hape. Menjelang waktu sholat Ashar, aku memutuskan untuk kembali ke kosan dan
melanjutkan kemas-kemas. Pada saat aku melewati masjid komplek, adzan Ashar berkumandang.
Aku memutuskan berhenti dan diam berdiri memandang masjid komplek di hadapanku,
mendengarkan adzan dengan seksama. Seselesai adzan, aku mau melanjutkan langkah, tapi aku
merasa melihat seseorang dari sudut mataku. Merasa familiar, aku menoleh ke arah orang itu, dan
pandangan kami bertemu. Sepersekian detik aku merasa waktu berjalan lambat, dan pandanganku
hanya terfokus pada satu titik. Aku melihat si mas kacamata, sedang berjalan dari arah yang sedang
mau kutuju. Memakai baju koko putih dan sarung kotak-kotak, lengkap dengan peci putih untuk
menunaikan sholat. Aku merasakan sebuah dentuman dalam hati. Kaget, karena ini pertama kali
aku melihatnya setelah sekian lama, dan pertama kali di luar supermarket. Dia sedang berjalan ke
arahku, dan aku sedang berjalan ke arahnya. Aku menunduk. Dan seperti saat pertama kali
pandangan kami bertemu, aku dan dia hanya saling melewati satu sama lain tanpa ada apa-apa.
Melewatinya, aku tersenyum sambil menunduk. Memang lebih baik begini. Aku akan
meninggalkan kota ini tanpa meninggalkan sesuatu yang telah aku mulai sebelumnya. Memang
rasa di dalam hati ini tidak diketahui kapan akan menghampiri, kapan ia akan mengisi, dan kapan
akan tumbuh dalam diri kita. Tiba-tiba kita akan mulai merasa bahagia dengan hanya melihatnya,
dan akan merasa beruntung ketika tanpa disangka berhasil melihat senyumnya. Allah memang
saling mempertemukan untuk suatu alasan. Entah untuk belajar, ataupun mengajarkan. Entah
untuk selamanya ataupun untuk sesaat. Entah untuk melewati satu sama lain, ataupun menyatukan.
Tapi aku bahagia bisa bertemu dengannya, walaupun dia tidak mengenalku, dan aku tidak
mengenalnya. Perpisahanku dengan sosok dia dan kota ini hanya bisa kubarengin dengan sebuah
doa. Doa sebagai kado paling baik yang bisa kutinggalkan. Untuk dia yang bahkan namanya tidak
aku ketahui, semoga selalu di lindungi oleh Allah dan dilimpahi keberkahan sepanjang langkah di
dunia.

BIODATA PENULIS

Nama Lengkap: Fadia Fadzliyana Saifuddin


Tempat Tanggal Lahir: Pekanbaru, 14 Juli 1994
Alamat: Jl. Dokagu Blok A No.27B, Pekanbaru, Riau
No Hp: 08979523004
Email: fadiafadzliyanas@gmail.com.
Facebook: Fadia Fadzliyana Saifuddin
Instagram: dyah.arch

Anda mungkin juga menyukai