Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Etika bisnis merupakan pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan
bisnis. Selain itu etika bisnis juga merupakan penerapan tanggung jawab sosial suatu bisnis yang
timbul dari dalam perusahaan itu sendiri. Menurut paham Utilitarianisme, bisnis adalah etis, apabila
kegiatan yang dilakukannya dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada konsumen dan
masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan atau tindakan bisnis yang baik adalah
kebijakan yang menghasilkan berbagai hal yang baik, bukan sebaliknya malah memberikan kerugian.
Maka dari itu pada makalah kali ini, penulis akan membahas lebih detail mengenai etika
utilitarianisme dalam bisnis. Dimana dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian etika
utilitarianisme, kriteria dan prinsip etika utilitarianisme, nilai postif dari etika utilitarianisme, etika
utilitarianisme sebagai proses dan standar penilaian, analisis keuntungan dan kerugian, kelemahan
etika utilitarianisme, jalan keluar, serta contoh kasus yang berkaitan dengan etika utilitarianisme.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu
sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana pengertian etika utilitarianisme ?
1.2.2 Bagaimana kriteria dan prinsip dari etika utilitarianisme ?
1.2.3 Apa saja nilai positif etika utilitarianisme ?
1.2.4 Bagaimana utilitarianisme sebagai proses dan sebagai standar penilaian ?
1.2.5 Bagaimana analisis keuntungan dan kerugian ?
1.2.6 Apa saja kelemahan etika utilitarianisme ?
1.2.7 Bagaimana jalan keluar agar etika utilitarianisme dapat digunakan ?
1.2.8 Bagaimana contoh kasus yang berkaitan dengan etika utilitarianisme ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.3.1 Memahami pengertian etika utilitarianisme.
1.3.2 Memahami kriteria dan prinsip dari etika utilitarianisme.
1.3.3 Mengetahui nilai positif etika utilitarianisme.
1
1.3.4 Memahami bagaimana utilitarianisme sebagai proses dan sebagai standar penilaian.
1.3.5 Memahami bagaimana analisis keuntungan dan kerugian.
1.3.6 Mengetahui kelemahan etika utilitarianisme.
1.3.7 Mengetahui jalan keluar agar etika utilitarianisme dapat digunakan.
1.3.8 Mengethui contoh kasus yang berkaitan dengan etika utilitarianisme.

BAB II

2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Etika Utilitarianisme


Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832).
Persoalan yang dihadapi bentham dan orang-orang sezamannya adalah bagaimana
menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi, dan legal secara
moral. Singkatnya, bagaimana menilai sebuah kebijaksanaan publik, yaitu kebijaksanaan
yang punya dampak bagi kepentingan banyak orang, secara moral.
Bentham lalu menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah melihat apakah suatu
kebijaksanaan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau
sebaliknya, kerugian bagi orang-orang terkait. Mereka tidak mendasarkan penilaian
mereka mengenai baik buruknya suatu kebijaksanaan berdasarkan apakah kebijaksanaan
atau tindakan itu sesuai atau tidak sesuai dengan nilai atau norma moral tertentu,
melainkan pada akibat, pada konsekuensi atau pada tujuan yang ingin dicapai oleh
kebijaksanaan atau tindakan itu. Dengan demikian, Utilitarianisme adalah paham dalam
filsafat moral yang menekankan manfaat atau kegunaan dalam menilai suatu tindakan
sebagai prinsip moral yang paling dasar, untuk menentukan bahwa suatu perilaku baik
jika bisa memberikan manfaat kepada sebagian besar konsumen atau masyarakat.

2.2 Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme


Secara lebih konkret, dalam kerangka etika utilitarianisme kita dapat merumuskan
tiga kriteria objektif yaqng dapat dijadikan dasar objektif sekaligus norma untuk menilai
suatu kebijaksanaan atau tindakan. Kriteria pertama adalah manfaat, yaitu bahwa
kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi,
kebijaksanaan atau tindakan yang baik adalah yang menghasilkan hal yang baik.
Sebaliknya, kebijaksanaan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.
Kriteria kedua adalah manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan
itu mendatangkan manfaat terbesar (atau dalam situasi tertentu lebih besar) dibandingkan
dengan kebijaksanaan atau tindakan alternatif lainnya. Atau kalau yang dipertimbangkan
adalah soal akibat baik atau akibat buruk dari suatu kebijaksanaan atau tindakan maka
suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau mendatangkan lebih

3
banyak manfaat dibandingkan dengan kerugian.
Kriteria ketiga berupa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Jadi, suatu
kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau tidak hanya mendatangkan
manfaat terbesar, melainkan kalau mendatangkan manfaat terbesar bagi sebanyak orang
mungkin. Sebaliknya, kalau tenyata suatu kebijaksanaan atau tindakan tidak bisa
mengelak dari kerugian, maka kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik kalau membawa
kerugian yang sekecil mungkin
bagi sesedikit mungkin orang.
Atas dasar ketiga kriteria tersebut, etika utilitarianisme mengajukan 3 pegangan
sebagai berikut. Pertama, suatu kebijaksanaan atau tindakan adalah baik dan tepat secara
moral jika dan hanya jika kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau
keuntungan. Sebaliknya, tindakan yang merugikan adalah tindakan yang tidak tepat dan
tidak baik secara moral. Kedua, diantara berbagai kebijaksanaan dan tindakan yang sama
baiknya, kebijaksanaan atau tindakan yang mempunyai manfaat terbesar adalah tindakan
yang paling baik. Sebaliknya, di antara kebijaksanaan atau tindakan yang sama-sama
merugikan, kebijaksanaan atau tindakan yang baik dari segi moral adalah yang
mendatangkan kerugian lebih kecil atau terkecil. Ketiga, diantara kebijaksanaan atau
tindakan yang mendatangkan manfaat terbesar, kebijaksanaan atau tindakan yang
mendatangkan manfaat terbesar bagi paling banyak orang adalah tindakan yang paling
baik. Atau, di antara kebijaksanaan atau tindakan yang sama-sama mendatangkan
kerugian terkecil, kebijaksanaan atau tindakan yang baik adalah yang mendatangkan
kerugian terkecil bagi paling sedikit orang.

2.3 Nilai Positif Etika Utilitarianisme


Sampai sekarang etika utilitarianisme mempunyai daya tarik tersendiri, yang bahkan
melebihi daya tarik etika deontologis. Etika ini menggambarkan apa yang sesungguhnya
dilakukan oleh orang yang rasional dalam mengambil keputusan dalam hidup ini,
khususnya keputusan moral, termasuk juga dalam bidang bisnis. Ia merumuskan prosedur
pertimbangan yang banyak digunakan dalam mengambil sebuh keputusan, khususnya
yang menyangkut kepentingan banyak orang. Secara lebih khusus, daya tarik ini terutama
didasarkan pada tiga nilai positif dari etika ini.

4
Nilai positif pertama adalah rasionalitasnya. Maksudnya, prinsip moral yang diajukan
oleh etika utilitarianisme ini tidak didasarkan pada aturan-aturan kaku yang mungkin
tidak kita pahami dan yang tidak bisa kita persoalkan keabsahannya. Justru,
utilitarianisme memberi ktia kriteria yang objektif dan rasional mengapa suatu tindakan
dianggap baik. Ada dasar rasional mengapa kita mengambil dan memilih kebijaksanaan
atau tindakan tertentu dan bukan lainnya. Ada alasan yang rasional, yang masuk akal,
mengapa tindakan tertentu lebih baik dan yang lain tidak. Etika utilitarianisme dapat
menunjukkan, sampai tingkat tertentu, data konkret mengenai hal yang baik, atau
sebaliknya kerugian yang ditimbulkan oleh sebuah tindakan atau kebijaksanaan lengkap
dengan berapa banyak orang yang menikmati manfaatnya atau dirugikan.
Kedua, dalam kaitan dengan itu, utilitarianisme sangat menghargai kebebasan
setiap pelaku moral. Setiap orang dibiarkan bebas untuk mengambil keputusan dan
bertindak dengan hanya memberinya ketiga kriteria objektif dan rasional tadi. Otonomi
manusia lalu diberi tempat sentral. Tidak ada paksaan bahwa orang harus bertindak sesuai
dengan cara tertentu yang mungkin tidak diketahui alasannya mengapa demikian. Jadi,
tindakan baik itu kita putuskan dan pilih sendiri berdasarkan kriteria yang rasional dan
bukan sekedar mengikuti tradisi, norma, atau perintah tertentu.
Unsur positif yang lain adalah universalitasnya. Etika utilitarianisme
mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu tindakan bagi banyak orang. Suatu
tindakan dinilai baik secara moral bukan karena tindakan itu mendatangkan manfaat
terbesar bagi orang yang melakukan tindakan itu, melainkan karena tindakan itu
mendatangkan manfaat terbesar bagi semua orang yang terkait, termasuk orang yang
melakukan tindakan itu. Karena itu utilitarianisme tidak bersifat egoistis. Semakin
banyak orang yang terkena akibat baik suatu kebijaksanaan atau tindakan, semakin baik
tindakan tersebut. Jadi, etika ini tidak mengukur baik buruknya suatu tindakan
berdasarkan kepentingan pribadi atau berdasarkan akibat baiknya demi diri sendiri dan
kelompok sendiri.

2.4 Utilitarianisme sebagai Proses dan sebagai Standar Penilaian

5
Secara umum etika utilitarianisme dapat dipakai dalam dua wujud yang berbeda.
Pertama, etika utilitarianisme dipakai sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan,
kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak. Dengan kata lain, etika utilitarianisme dipakai
sebagai prosedur untuk mengambil keputusan. Ia menjadi sebuah metode untuk bisa
mengambil keputusan yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan
dilakukan. Dalam hal ini, ketiga kriteria yang diajukan diatas lalu menjadi pegangan
konkret untuk menentukan pilihan yang tepat dari sekian banyak alternatif yang dihadapi.
Hanya saja ketiganya berfungsi di sini sebagai tujuan, sebagai sasaran yang akan dicapai.
Maksimalisasi kegunaan, keuntungan, dan kebahagiaan lalu dianggap sebagai tujuan
tindakan atau kebijaksanaan yang akan dilakukan dan karena itu telah menjadi
pertimbangan pokok di dalamnya. Dalam wujud pertama ini, etika utilitarianisme dipakai
untuk perencanaan, untuk mengatur sasaran, dan target yang hendak dicapai. Artinya,
kriteria etika utilitarianisme menjadi dasar utama dalam penyusunan program atau
perencanaan, khususnya dari suatu kegiatan yang menyangkut kepentingan banyak orang.
Kedua, etika utilitarianisme juga dipakai sebagai standar penilaian bagi tindakan
atau kebijaksanaan yang telah dilakukan. Dalam hal ini, ketiga kriteria di atas lalu benar-
benar dipakai sebagai kriteria untuk menilai apakah suatu tindakan atau kebijaksanaan
yang telah dilakukan memang baik atau tidak. Yang paling pokok adalah menilai tindakan
atau kebijaksanaan yang telah terjadi berdasarkan akibat atau konsekuensinya, yaitu
sejauh mana ia mendatangkan hasil terbaik bagi banyak orang. Tapi, terlepas dari semua
itu tindakan tersebut baik atau tidak, tidak hanya dinilai berdasarkan hasil yang dicapai,
yaitu berdasarkan manfaat terbesar yang dicapai bagi banyak orang atau sebaliknya kalau
tindakan itu dinilai jelek secara moral, berdasarkan kerugian terbesar yang
ditimbulkannya bagi banyak orang. Ini berarti, pada wujud yang kedua, etika
utilitarianisme sangat tepat untuk evaluasi kebijaksanaan atau proyek yang sudah
dijalankan. Terlepas dari apapun pertimbangan yang dipakai dalam menjalankan
kebijaksanaan atau proyek tertentu, kriteria etika utilitarianisme menjadi pegangan utama
dalam evaluasi mengenai berhasil tidaknya, baik adanya, suatu kebijaksanaan atau
program tertentu. Dalam wujud ini, etika utilitarianisme sebagai standar penilaian dapat
dipakai untuk mencari jalan keluar atau pemecahan atas akibat negatif tertentu yang tidak

6
diinginkan yang diduga akan terjadi sehubungan dengan bakal tindakan atau
kebijaksanaan yang akan diambil itu.

2.5 Analisis Keuntungan dan Kerugian


Sebagaimana telah disinggung, etika utilitarianisme sangat cocok dan sering
dipakai untuk membuat perencanaan dan evaluasi bagi tindakan atau kebijaksanaan yang
berkaitan dengan kepentingan banyak orang.
Dalam ekonomi, etika utilitarianisme juga relevan dalam konsep efisiensi
ekonomi. Prinsip efisiensi menekankan agar dengan menggunakan sumber daya (input)
sekecil mungkin dapat menghasilkan produk (output) sebesar mungkin. Dengan
menggunakan sumber daya secara hemat harus bisa dicapai hasil yang maksimal. Karena
itu, semua perangkat ekonomi harus dikerahkan sedemikian rupa untuk bisa mencapai
hasil terbesar dengan menggunakan sumber daya sekecil mungkin. Ini prinsip dasar etika
utilitarianisme. Dalam bidang bisnis, etika utilitarianisme juga mempunyai relevansi yang
sangat kuat. Secara khusus etika ini diterapkan, secara sadar atau tidak, dalam apa yang
dikenal dalam perusahaan sebagai the cost and benefit analysis (analisis biaya dan
keuntungan). Yang intinya berarti etika ini pun digunakan dalam perencanaan dan
evaluasi (atau reevaluasi) kegiatan bisnis suatu perusahaan, dalam segala aspek: produksi,
promosi, penjualan, diversifikasi, pembukaan cabang, penambahan tenaga, penambahan
modal, dan seterusnya. Intinya, kebijaksanaan ataupun tindakan apa pun yang akan
diambil oleh sebuah perusahaan harus punya sasaran akhir: dalam batas-batas yang bisa
diukur, mendatangkan keuntungan keseluruhan paling besar dengan menekan biaya
keseluruhan sekecil mungkin. Sebaliknya, suatu kebijaksanaan atau tindakan yang telah
diambil perusahaan dinilai baik kalau dan hanya kalau kebijaksanaan atau tindakan itu
mendatangkan kerugian keseluruhan sekecil mungkin. Ada beberapa hal penting yang
perlu mendapat perhatian, terutama jika analisis keuntungan dan kerugian ini
ditempatkan dalam kerangka etika bisnis.
Pertama, keuntungan dan kerugian yang dianalisis jangan semata-mata dipusatkan
pada keuntungan dan kerugian bagi perusahaan, kendati benar bahwa ini sasaran akhir.
Yang juga perlu mendapat perhatian adalah keuntungan dan kerugian bagi banyak pihak
lain yang terkait dan berkepentingan, baik kelompok primer maupun sekunder. Jadi,

7
dalam analisis ini perlu juga diperhatikan bagaimana dan sejauh mana suatu
kebijaksanaan atau kegiatan bisnis suatu perusahaan membawa akibat yang
menguntungkan dan merugikan bagi kreditor, konsumen, pemasok, penyalur, karyawan,
masyarakat luas, dan seterusnya.
Kedua, sering kali terjadi bahwa analisis keuntungan dan kerugian ditempatkan dalam
kerangka uang (satuan yang sangat mudah dikalkulasi). Yang juga perlu mendapat
perhatian serius adalah bahwa keuntungan dan kerugian di sini tidak hanya menyangkut
aspek finansial, melainkan juga aspek-aspek moral: hak dan kepentingan konsumen, hak
karyawan. Kepuasan konsumen, dan sebagainya. Jadi, dalam kerangka klasik etika
utilitarianisme, manfaat harus ditafsirkan secara luas dalam kerangka kesejahteraan,
kebahagiaan, keamanan sebanyak mungkin pihak terkait yang berkepentingan.
Ketiga, bagi bisnis yang baik, hal yang juga mendapat perhatian dalam analisis
keuntungan dan kerugian adalah keuntungan dan kerugian dalam jangka panjang. Ini
penting karena bisa saja dalam jangka pendek sebuah kebijaksanaan dan tindakan bisnis
tertentu sangat menguntungkan, tetapi ternyata dalam jangka panjang merugikan atau
paling kurang tidak memungkinkan perusahaan itu bertahan lama.

2.6 Kelemahan Etika Utilitarianisme


Terlepas dari daya tariknya yang luar biasa, termasuk untuk bisnis, etika
utilitarianisme ternyata mempunyai kelemahan tertentu.
Pertama, manfaat merupakan sebuah konsep yang begitu luas sehingga dalam
kenyataan praktis malah menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit. Karena, manfaat bagi
manusia berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Apakah yang disebut manfaat
itu ketentraman ataukah kemajuan ekonomis ? sebuah tindakan bisnis bisa sangat
menguntungkan dan bermanfaat bagi sekelompok orang, tetapi bisa sangat merugikan
bagi kelompok yang lain.
Kedua, persoalan klasik yang lebih filosofis sifatnya adalah bahwa etika
utilitarianisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri,
dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya.
Padahal, sangat mungkin terjadi suatu tindakan pada dasarnya tidak baik, tetapi ternyata
mendatangkan keuntungan atau manfaat.

8
Ketiga, dalam kaitan dengan itu, etika utilitarianisme tidak pernah menganggap
serius kemauan atau motivasi baik seseorang. Akibatnya, kendati seseorang punya
motivasi yang baik dalam melakukan tindakan tertentu, tetapi ternyata membawa
kerugian yang besar bagi banyak orang, tindakan itu tetap dinilai tidak baik dan etis.
Keempat, variable yang dinilai tidak semuanya bisa dikuantifikasi, karena itu,
sulit sekali mengukur dan memperbandingkan keuntungan dan kerugian hanya
berdasarkan variable yang ada. Secara khusus sulit untuk menilai dan membandingkan
variabel moral yang tidak bisa dikuantifikasikan.
Kelima, seandainya ketiga kriteria dari etika utilitarianisme saling bertentangan,
ada kesulitan cukup besar untuk menentukan prioritas di antara ketiganya. Keenam,
kelemahan paling pokok dari etika utilitarianisme adalah bahwa utilitarianisme
membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas
(kriteria ketiga). Jadi, kendati suatu tindakan merugikan bahkan melanggar hak dan
kepentingan kelompok kecil tertentu, tapi menguntungkan sebagian besar orang yang
terkait, tindakan itu tetap dinilai baik dan etis. Dengan hanya mendasarkan diri pada
manfaat keseluruhan (overall utility), etika utilitarianisme membenarkan suatu tindakan,
tanpa menghiraukan kenyataan bahwa tindakan yang sama ternyata merugikan segelintir
orang tertentu.

2.7 Jalan Keluar Agar Etika Utilitarianisme Dapat Digunakan


Mengingat disatu pihak etika ini punya keunggulan dan nilai positif yang sangat
jelas, tetapi dipihak lain punya kelemahan-kelemahan tertentu yang juga sangat jelas,
perlu dicari jalan keluar tertentu supaya etika ini masih bisa dipakai, terutama dalam
kebijaksanaan-kebijaksanaan umum tertentu, termasuk bisnis, dengan sebisa mungkin
menghindari kelemahan-kelemahannya. Para filsuf yang menganut etika utilatarianisme
antara lain menanggapi kritik atas kelemahan-kelemahan etika ini dengan membuat
pembedaan antara utilitarianisme-aturan dan utilitarianisme-tindakan. Maksudnya,
utilitarianisme terutama dimaksudkan sebagai utilitarianisme-aturan dan bukan sebagai
utilitarianisme-tindakan. Artinya, yang utama dalam etika utilitarianisme adalah aturan
atau prinsip dasarnya bukan tindakan partikular satu demi satu. Itu berarti yang
diprioritaskan adalah utilitarianisme-aturan baru kemudian utilitarianisme-tindakan.

9
Yang utama bukanlah apakah suatu tindakan mendatangkan manfaat terbesar bagi banyak
orang, melainkan yang pertama-tama ditanyakan adalah apakah tindakan itu memang
sesuai dengan aturan moral yang harus diikuti oleh semua orang. Jadi, manfaat terbesar
bagi banyak orang hanya berlaku pada tingkat kedua setelah sebuah tindakan memang
dibenarkan menurut kaidah moral yang ada.
Karena itu, menurut utilitarianisme-aturan, ada dua prinsip yang harus
diperhatikan. Pertama, suatu tindakan adalah baik dari segi etis hanya dan hanya kalau
tindakan itu dituntut oleh aturan-aturan moral yang memang tepat. Kedua, sebuah aturan
moral tepat kalau dan hanya kalau jumlah keseluruhan manfaat yang dihasilkannya,
seandainya semua orang mengikuti aturan itu, jauh lebih besar daripada jumlah manfaat
yang dihasilkan kalau semua orang mengikuti aturan alternatif tertentu. Tapi jalan keluar
ini pun dalam kenyataannya tidak gampang.
Karena itu, dalam situasi di mana kita terpaksa mengambil kebijaksanaan dan
tindakan berdasarkan etika utilitarianisme, yang mengandung beberapa kesulitan dan
kelemahan tersebut di atas, beberapa hal ini kiranya perlu diperhatikan. Pertama, dalam
banyak hal kita perlu menggunakan perasaan atau intuisi moral kita untuk
mempertimbangkan secara jujur apakah tindakan yang kita ambil itu, yang memenuhi
kriteria etika utilitarianisme di atas, memang manusiawi atau tidak. Terlepas dari
perbedaan manfaat antara orang yang satu dengan orang yang lain, dalam perasaan moral
kita sendiri, apakah kita membenarkan tindakan dengan manfaat yang kita telah
perkirakan itu? Artinya, apakah kita sendiri yakin bahwa dengan mendasarkan diri pada
manfaat terbesar bagi banyak orang yang ada itu, semua orang lain pun akan mengambil
kebijaksanaan dan tindakan yang sama seperti yang kita lakukan, dengan terutama
memperhitungkan pihak tertentu yang haknya tepaksa dikorbankan? Kedua, dalam kasus
konkret di mana kebijaksanaan atau tindakan bisnis tertentu yang dalam jangka panjang
tidak hanya menguntungkan perusahaan tetapi juga banyak pihak terkait, termasuk secara
moral, tetapi ternyata ada pihak tertentu yang terpaksa dikorbankan atau dirugikan secara
tak terelakkan, kiranya pendekatan dan komunikasi pribadi akan merupakan sebuah
langkah yang punya nilai moral tersendiri. Dengan pendekatan dan komunikasi pribadi
itu pihak yang dirugikan akan merasa disapa dan diberlakukan sebagai manusia dan
diperhitungkan hak dan kepentingannya, kendati terpaksa dikorbankan. Bersamaan

10
dengan itu, pendekatan dan komunikasi pribadi dapat menampung aspirasi, harapan, dan
tuntutan pihak yang terpaksa dirugikan.
Dalam kedua jalan keluar yang ada itu, barangkali mekanisme simpati moral dari
Adam Smith dapat relevan digunakan disini. Dengan menggunakan mekanisme simpati
moral kita menempatkan diri kita pada posisi pihak-pihak yang terkait untuk merasakan
secara imajinatif apakah manfaat yang dihasilkan kebijaksanaan dan tindakan yang ada
memang benar-benar merupakan manfaat bagi mereka. Dengan cara ini kita bisa
mempertimbangkan secara serius semua hak dan kepentingan semua pihak terkait secara
sama tanpa memihak, termasuk hak dan kepentingan kita (perusahaan, misalnya).
Dengan demikian, pada akhirnya kita bisa sampai pada sebuah jalan keluar yang dapat
dianggap paling maksimal menampung kepentingan semua pihak yang terkait dan
memuaskan semua mereka, walaupun bukan paling sempurna dan paling baik.
Kalau jalan keluar ini ditempuh, kelemahan etika utilitarianisme bisa diperkecil kendati
tidak bisa ditiadakan dalam semua kasus apapun. Kalau ini terjadi, secara moral
kebijaksanaan atau tindakan yang kita ambil. Secara etis dapat dipertanggungjawabkan
dan dapat diterima sebagai baik dan etis. Tentu saja diharapkan agar kebijaksanaan atau
tindakan bisnis apapun dari perusahaan mana pun akan bermanfaat bagi semua pihak
terkait yang berkepentingan, terutama dalam jangka panjang.

2.8 Contoh Kasus yang Berkaitan Dengan Etika Utilitarianisme


PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-
McMoRan Copper & Gold Inc.. PTFI menambang, memproses dan melakukan eksplorasi
terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak. Beroperasi di daerah dataran
tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia. Kami memasarkan konsentrat
yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.

PT Freeport Indonesia merupakan jenis perusahaan multinasional (MNC),yaitu


perusahaan internasional atau transnasional yang berkantor pusat di satu negara tetapi
kantor cabang di berbagai negara maju dan berkembang.
Contoh kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia :
1) Mogoknya hampir seluruh pekerja PT Freeport Indonesia (FI) tersebut disebabkan
perbedaan indeks standar gaji yang diterapkan oleh manajemen pada operasional
Freeport di seluruh dunia. Pekerja Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan
gaji lebih rendah daripada pekerja Freeport di negara lain untuk level jabatan yang
sama. Gaji sekarang per jam USD 1,5–USD 3. Padahal, bandingan gaji di negara

11
lain mencapai USD 15–USD 35 per jam. Sejauh ini, perundingannya masih
menemui jalan buntu. Manajemen Freeport bersikeras menolak tuntutan pekerja,
entah apa dasar pertimbangannya.
2) Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak
seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat
Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan
alam serta punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya
reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh
turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi
dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F.,
et.al., 2006).
Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer
penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari
berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di kawasan
Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan,
nasional, bahkan global.

Sebagai perusahaan berlabel MNC (multinational company) yang otomatis


berkelas dunia, apalagi umumnya korporasi berasal dari AS, pekerja adalah bagian
dari aset perusahaan. Menjaga hubungan baik dengan pekerja adalah suatu
keharusan. Sebab, di situlah terjadi hubungan mutualisme satu dengan yang lain.
Perusahaan membutuhkan dedikasi dan loyalitas agar produksi semakin baik,
sementara pekerja membutuhkan komitmen manajemen dalam hal pemberian gaji
yang layak.
Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya MNC di Indonesia
terbukti tidak memberikan teladan untuk menghindari perselisihan soal normatif
yang sangat mendasar. Kebijakan dengan memberikan diskresi luar biasa kepada
PT FI, privilege berlebihan, ternyata sia-sia.

Berkali-kali perjanjian kontrak karya dengan PT FI diperpanjang kendati


bertentangan dengan UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan dan sudah diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba.
Alasan yang dikemukakan hanya klasik, untuk menambah kocek negara. Padahal,
tidak terbukti secara signifikan sumbangan PT FI benar-benar untuk negara.
Kalimat yang lebih tepat, sebetulnya, sumbangan Freeport untuk negara Amerika,
bukan Indonesia.

Justru negara ini tampak dibodohi luar biasa karena PT FI berizin penambangan
tembaga, namun mendapat bahan mineral lain, seperti emas, perak, dan konon
uranium. Bahan-bahan itu dibawa langsung ke luar negeri dan tidak mengalami
pengolahan untuk meningkatkan value di Indonesia. Ironisnya, PT FI bahkan

12
tidak listing di bursa pasar modal Indonesia, apalagi Freeport-McMoran sebagai
induknya.
Keuntungan berlipat justru didapatkan oleh PT FI dengan hanya sedikit
memberikan pajak PNBP kepada Indonesia atau sekadar PPh badan dan pekerja
lokal serta beberapa tenaga kerja asing (TKA). Optimis penulis, karena PT FI
memiliki pesawat dan lapangan terbang sendiri, jumlah pasti TKA itu tidak akan
bisa diketahui oleh pihak imigrasi.

Kasus PT. Freeport Indonesia ditinjau dari berbagai teori etika bisnis :
a) Teori etika utilitarianisme
Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”.
Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi
manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat
sebagai keseluruhan.
Berdasarkan teori utilitarianisme, PT.Freeport Indonesia dalam hal ini sangat
bertentangan karena keuntungan yang di dapat tidak digunakan untuk
mensejahterakan masyarakat sekitar, melainkan untuk Negara Amerika.
b) Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan
yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan
atau perilaku.
Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena berkaitan dengan
kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama.
Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama.
Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
Dalam kasus ini, PT Freeport Indonesia sangat tidak etis dimana kewajiban
terhadap para karyawan tidak terpenuhi karena gaji yang diterima tidak layak
dibandingkan dengan pekerja Freeport di Negara lain. Padahal PT Freeport
Indonesia merupakan tambang emas dengan kualitas emas terbaik di dunia.

BAB III

13
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Utilitarianisme adalah paham dalam filsafat moral yang menekankan manfaat atau
kegunaan dalam menilai suatu tindakan sebagai prinsip moral yang paling dasar, untuk
menentukan bahwa suatu perilaku baik jika bisa memberikan manfaat kepada sebagian
besar konsumen atau masyarakat. Ada beberapa Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme
yaitu : manfaat, manfaat terbesar, manfaat terbesar bagi orang sebanyak mungkin. Etika
utilitarianisme juga memiliki tiga nilai positif diantaranya, rasional, otonom dan
universal. Etika utilitarianisme digunakan sebagai proses untuk mengambil keputusan,
kebijaksanaan atau untuk bertindak selain itu etika utilitarianisme juga sebagai standar
penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan.
Analisa Keuntungan dan Kerugian, yang pertama, Keuntungan dan kerugian, cost and
benefits yang dianalisis tidak dipusatkan pada keuntungan dan kerugian perusahaan.
Kedua, analisis keuntungan dan kerugian tidak ditempatkan dalam kerangka uang. Ketiga
analisis keuntungan dan kerugian untuk jangka panjang.
Di samping nilai positif, etika utilitarianisme juga memiliki beberapa kelemahan yaitu :
Manfaat merupakan konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis akan
menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit, etika utilitarianisme tidak pernah menganggap
serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu
tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya, etika utilitarianisme tidak pernah
menganggap serius kemauan baik seseorang, variabel yang dinilai tidak semuanya dapat
dikuantifikasi, seandainya ketiga kriteria dari etika utilitarianisme saling bertentangan,
maka akan ada kesulitan dalam menentukan proiritas di antara ketiganya, dan etika
Utilitarianisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi
kepentingan mayoritas.

3.2 Saran

14
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber –
sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi
terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Sutrisna. 2010. Etika Bisnis. Denpasar : Udayana Univerity Press.

Risdyanti Anggun. 2016. Hukum dan Etika Bisnis "Etika Utilitarianisme”. Dalam
http://tugaskuliaharisdyanti31.blogspot.com/2016/11/hukum-dan-etika-bisnis-etika.html.
Diakses 11 September 2019

16

Anda mungkin juga menyukai