Teori
Penetapan kadar obat dalam plasma adalah salah satu bagian dari pemantauan kadar
obat didalam darah. Teknik ini biasa digunakan secara klinis untuk mengoptimalkan
dosis obat dengan memberikan dosis yang ditetapkan berdasarkan konsentrasi target
dengan cara mengukur kadar obat dalam darah dan bila perlu melakukan penyesuaian
dosis. Pemantauan kadar obat dalam darah ini bertujuan untuk membantu
meningkatkan penggunaan obat yang lebih rasional baik keamanan dan efektifitas
Berbagai sampel biologis dapat diambil untuk penentuan kadar obat tubuh untuk
penelitian farmakokonetika, contoh : saliva, darah, urin, feses, atau jaringan tubuh.
yang invasive kecuali untuk pengambilan sampel urin dan saliva. Metode analisis yang
digunakan untuk penentuan kuantitatif kadar obat dalam suatu sampel biologis
merupakan hal yang sangat penting dalam evaluasi dan interpretasi data
3.1.1. Urin
Urin, berbeda dengan plasma atau serum, biasanya bebas dari protein atau lemak
sehingga bisa diekstraksi langsung dengan pelarut organik. Meskipun begitu, urin
memiliki banyak variasi komposisi dan sangat tergantung pada jenis makanan yang
dikonsumsi. Normalnya senyawa yang ditemukan dalam urin adalah larut air,
sedangkan sebagian besar obat larut lipid sehingga dapat diekstraksi dengan pelarut
yang cocok. Kesulitan dalam pengumpulan sampel urin adalah volume urin yang benar
yang diproduksi selama interval waktu sampling, bukan pada penetapan kadarnya.
Jumlah analit diperoleh dengan mengalikan volume dan konsentrasinya. Sampel urin
juga sering memberikan hasil negative palsu misalnya pada pemeriksaan kreatinin.
Urin juga memiliki variasi pH yang lebar, dipengaruhi oleh konsumsi makanan atau
menjadi basa. Asam kuat tidak besar pengaruhnya, pH urin normal berkisar 5,5-7
(Katzung, 2011).
3.1.2. Feses
Penanganan sampel feses cukup rumit, mengingat bentuknya semi padat dan juga
metabolisme tubuh. Harus dipikirkan pengambilan cuplikan yang tepat dan juga jenis
pelarut yang cocok karena banyaknya senyawa yang terkandung, apalagi jika kadar
Sampel biologis yang lain bisa berupa air susu, cairan serebrospinal, empedu dan
3.1.4. Darah
seperti sel darah merah, sel darah putih, platelet,dan berbagai protein seperti albumin
dan globulin. Pada umumnya bukan darah utuh (whole blood) tetapi plasma ataupun
serum yang digunakan untuk penentuan kadar obat. Serum diperoleh dengan
antikoagulan pada darah yang diambil dan supernatant yang diperoleh setelah
sentrifugasi merupakan plasma. Jadi, plasma dan serum dibedakan dari protein yang
3.2. Sentrifuga
Prinsip kerja dari sentrifugasi yaitu objek diputar secara horizontal. Pada saat objek
diputar, partikel-partikel yang ada akan berpisah sesuai berat jenis masing-masing
partikel. Gaya yang berperan dalam sentrifugasi ini adalah gaya sentrifugal. Setelah
dilakukan sentrifugasi, spesimen terpisah menjadi dua bagian yaitu pellet yang berada
di bagian bawah berupa endapan yang memiliki bobot jenis yang lebih besar dan
supernatan yang berada pada bagian atas dengan warna yang lebih jernih yang memiliki
bobot jenis yang lebih kecil. Pellet berupa plasma sedangkan supernatan adalah serum.
Serum adalah bagian cairan darah, tanpa faktor pembekuan atau sel darah. Sedangkan
plasma adalah cairan darah sebelum darah membeku yang mengandung unsur
penentuan kadar obat dapat dilakukan yaitu dengan mengedapkan protein pada sampel.
Hal ini dilakukan ketika akan melakukan uji farmakokinetik berikutnya. Perlakuan ini
harus dilakukan karena adanya protein dalam sampel akan mengganggu uji
atau memisahkan obat yang akan diteliti dari matriks sampel yang diperoleh. Protein,
lemak, garam dan senyawa endogen dalam sampel akan mengganggu penentuan kadar
Perlakuan awal terhadap sampel meliputi isolasi obat yang akan ditentukan dari
sampel matriks biologis harus dilakukan. Preparasi sampel plasma agar dapat
mungkin untuk menghindari kehilangan obat yang akan ditentukan didalam plasma.
Semakin panjang tahapan prosedur untuk preparasi sampel plasma hingga proses
memisahkan atau mengisolasi obat maka semakin besar kemungkinan hilangnya obat
Protein plasma adalah protein total dalam plasma manusia yang memiliki
konsentrasi sekitar 7.0 – 7.5 gr/dL dan membentuk bagian terbesar dari bahan padat
plasma. Protein plasma sebenarnya adalah campuran kompleks yang mencakup tidak
Contoh zat pengendap protein: NaOH, amonium sulfat, tricloro acetic acid (TCA),
asam perklorat, ZnSO4, metanol, dan asetonitril. Protein dapat diendapkan karena
bersifat amfoter yakni memiliki 2 muatan yang berlainan dalam 1 molekul, atau yang
dikenal juga sebagai zwitter ion. Sifat ini membuat protein memiliki muatan yang
berbeda pada pH yang berbeda pula. Akibatnya protein dapat larut pada rentang pH
Suatu saat di pH tertentu protein akan mencapai titik isoelektriik, yakni pH dimana
jumlah obat total muatan protein sama dengan nol (muatan positif sebanding dengan
muatan negatif), hal ini akan mempengaruhi kelarutan protein. Pada titik isoelektrik,
kelarutan protein sangat rendah, sehingga protein dapat mengendap (Evans, 2004).
Selain itu, protein juga dapat membentuk ikatan dengan logam dimana beberapa
asam amino dapat terikat pada satu logam sehingga molekulnya menjadi besar,
beratnya juga menjadi besar sehingga protein mengendap. Selain itu, terdapat juga
beberapa sifat lain yang berhubungan dengan presipitasi protein ini yang dijelaskan
(NH4)2SO4 sebagai anti presipitasi protein dikenal sebagai salting out, yakni penurunan
kelarutan protein dengan adanya peningkatan konsentrasi garam. Hal ini terjadi karena
konsentrasi tinggi mengakibatkan pengendapan protein tersebut. Sifat ini terjadi karena
kemampuan ion garam untuk terhidrasi dan terjadi kompetisi antara garam dengan
memberikan suasana basa pada larutan dan mengakibatkan protein berada dalam
keadaan ion negatif atau anion. Anion protein ini akan berikatan dengan ion positif
yang berasal dari logam berat yakni Zn2+ membentuk logam protein yang tidak larut.
Logam berat juga akan merusak struktur sekunder dan tersier dari protein. Ikatan dari
ion logam bermuatan positif akan menurunkan kelarutan protein. Ion logam akan
berkompetisi dengan proton-proton pada larutan untuk berikatan dengan asam amino.
Semakin kuat ikatan ion-ion logam untuk menggantikan ikatan oleh proton-proton
akan menurunkan pH larutan. Kombinasi dari perubahan pI, penurunan pH (baik akibat
ion logam maupun NaOH) akan menyebabkan protein mengendap (Evans, 2004).
Penambahan larutan organik seperti metanol dan asetonitril pada larutan protein
elektrostatik protein. Pelarut organik ini juga akan menggantikan beberapa molekul air
disekitar daerah hidrofob dari permukaan protein yang berasosiasi dengan protein
sehingga menurunkan konsentrasi air dalam larutan dengan demikian kelarutan protein
sampel dengan volume relatif lebih kecil (0,5-1mL) yang tersedia secara komersial
Ekstraksi cair-cair merupakan suatu metode yang paling banyak digunakan karena
relatif cepat, simpel, dan murah dibandingkan dengan ekstraksi padat-cair. Ekstraksi
ini menggunakan pelarut pengekstraksi diikuti proses pemekatan obat yang akan
pada sifat fitokimia obat maupun metabolit yang akan diisolasi. Berbagai faktor dapat
menjadi pertimbangan dalam seleksi pelarut yang akan digunakan antara lain :
- Mempunyai titik didih yang relatif rendah sehingga waktu evaporasi pelarut relatif
lebih singkat
- Jika memungkinkan gunakan pelarut dengan berat jenis yang lebih kecil dari berat
jenis air sehingga proses pemisahan pelarut organik akan lebih mudah karena
Apakah harus secara injeksi intravena, atau bisa dengan route lain seperti secara
oral, rektal, dan lain-lain. Ini dapat dilakukan dengan menilai ketersediaan
biologis obat setelah pemberian dalam berbagai route pemberian, dan dengan
pemberian tersebut.
Chamberlain, J.,1995. The Analysis of Drugs in Biological Fluids 2 nd Ed. New York
: CRC Press.
Jakarta : Erlangga.
Diana Fifi Melva. Fungsi Metabolisme Protein Dalam Tubuh Manusia. Jurnal
Evans, G. 2004. A Handbook of Bioanaysis and Drug Metabolism. USA : CRC Press.
Ganong, W. F. 2009. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 22. Jakarta : EGC.
Hendra Adijuwana. 1989. Teknik pemisahan Dalam Analisis Biologis. Bogor : IPB
Press.
Katzung.Bertram, G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 10. Jakarta : Pustaka
Buku Kedokteran.
Sriwidodo. 1985. Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta : Pusat Penelitian dan