Anda di halaman 1dari 10

III.

Teori

3.1. Bioanalisis Obat

Penetapan kadar obat dalam plasma adalah salah satu bagian dari pemantauan kadar

obat didalam darah. Teknik ini biasa digunakan secara klinis untuk mengoptimalkan

dosis obat dengan memberikan dosis yang ditetapkan berdasarkan konsentrasi target

dengan cara mengukur kadar obat dalam darah dan bila perlu melakukan penyesuaian

dosis. Pemantauan kadar obat dalam darah ini bertujuan untuk membantu

meningkatkan penggunaan obat yang lebih rasional baik keamanan dan efektifitas

dosis pada individu penderita (Chamberlain, 1995).

Berbagai sampel biologis dapat diambil untuk penentuan kadar obat tubuh untuk

penelitian farmakokonetika, contoh : saliva, darah, urin, feses, atau jaringan tubuh.

Metode pengambilan sampel spesimen biologis pada umumnya melibatkan metode

yang invasive kecuali untuk pengambilan sampel urin dan saliva. Metode analisis yang

digunakan untuk penentuan kuantitatif kadar obat dalam suatu sampel biologis

merupakan hal yang sangat penting dalam evaluasi dan interpretasi data

farmakokinetika (Chamberlain, 1995).

3.1.1. Urin

Urin, berbeda dengan plasma atau serum, biasanya bebas dari protein atau lemak

sehingga bisa diekstraksi langsung dengan pelarut organik. Meskipun begitu, urin

memiliki banyak variasi komposisi dan sangat tergantung pada jenis makanan yang
dikonsumsi. Normalnya senyawa yang ditemukan dalam urin adalah larut air,

sedangkan sebagian besar obat larut lipid sehingga dapat diekstraksi dengan pelarut

yang cocok. Kesulitan dalam pengumpulan sampel urin adalah volume urin yang benar

yang diproduksi selama interval waktu sampling, bukan pada penetapan kadarnya.

Jumlah analit diperoleh dengan mengalikan volume dan konsentrasinya. Sampel urin

juga sering memberikan hasil negative palsu misalnya pada pemeriksaan kreatinin.

Urin juga memiliki variasi pH yang lebar, dipengaruhi oleh konsumsi makanan atau

obat-obatan. Penggunaan antasida misalnya, kemungkinan bisa menyebabkan urin

menjadi basa. Asam kuat tidak besar pengaruhnya, pH urin normal berkisar 5,5-7

(Katzung, 2011).

3.1.2. Feses

Penanganan sampel feses cukup rumit, mengingat bentuknya semi padat dan juga

berupa campuran sisa-sisa proses pencernaan maupun senyawa-senyawa sisa proses

metabolisme tubuh. Harus dipikirkan pengambilan cuplikan yang tepat dan juga jenis

pelarut yang cocok karena banyaknya senyawa yang terkandung, apalagi jika kadar

analit dalam sampel kecil (Katzung, 2011).

3.1.3. Jaringan Biologis

Sampel biologis yang lain bisa berupa air susu, cairan serebrospinal, empedu dan

lain-lain, masing-masing memiliki kekhasan sifat dan kandungan senyawa yang


berbeda. Kelarutan obat dalam tiap larutan juga berbeda sehingga pemilihan pelarut

harus dilakukan secara cermat (Katzung, 2011).

3.1.4. Darah

Darah merupakan sampel biologis yang mengandung berbagai komponen seluler

seperti sel darah merah, sel darah putih, platelet,dan berbagai protein seperti albumin

dan globulin. Pada umumnya bukan darah utuh (whole blood) tetapi plasma ataupun

serum yang digunakan untuk penentuan kadar obat. Serum diperoleh dengan

membiarkan darah untuk menggumpal dan supernatan yang dikumpulkan setelah

sentrifugasi adalah serum. Sedangkan plasma diperoleh dengan penambahan

antikoagulan pada darah yang diambil dan supernatant yang diperoleh setelah

sentrifugasi merupakan plasma. Jadi, plasma dan serum dibedakan dari protein yang

dikandungnya (Ganong, 2009).

3.2. Sentrifuga

Prinsip kerja dari sentrifugasi yaitu objek diputar secara horizontal. Pada saat objek

diputar, partikel-partikel yang ada akan berpisah sesuai berat jenis masing-masing

partikel. Gaya yang berperan dalam sentrifugasi ini adalah gaya sentrifugal. Setelah

dilakukan sentrifugasi, spesimen terpisah menjadi dua bagian yaitu pellet yang berada

di bagian bawah berupa endapan yang memiliki bobot jenis yang lebih besar dan

supernatan yang berada pada bagian atas dengan warna yang lebih jernih yang memiliki

bobot jenis yang lebih kecil. Pellet berupa plasma sedangkan supernatan adalah serum.
Serum adalah bagian cairan darah, tanpa faktor pembekuan atau sel darah. Sedangkan

plasma adalah cairan darah sebelum darah membeku yang mengandung unsur

pembekuan darah (Bernasconi G. 1995).

3.3. Persiapan Sampel

Kandungan protein dalam sampel biologis yang akan dianalisa menyebabkan

dibutuhkannya suatu tahap perlakuan awal dan/atau penyiapan sampel sebelum

penentuan kadar obat dapat dilakukan yaitu dengan mengedapkan protein pada sampel.

Hal ini dilakukan ketika akan melakukan uji farmakokinetik berikutnya. Perlakuan ini

harus dilakukan karena adanya protein dalam sampel akan mengganggu uji

farmakokinetik yang dilakukan. Perlakuan ini juga dimaksudkan untuk mengisolasi

atau memisahkan obat yang akan diteliti dari matriks sampel yang diperoleh. Protein,

lemak, garam dan senyawa endogen dalam sampel akan mengganggu penentuan kadar

obat (Diana, 2009).

Perlakuan awal terhadap sampel meliputi isolasi obat yang akan ditentukan dari

sampel matriks biologis harus dilakukan. Preparasi sampel plasma agar dapat

memisahkan atau mengisolasi obat diupayakan menggunakan prosedur seminimal

mungkin untuk menghindari kehilangan obat yang akan ditentukan didalam plasma.

Semakin panjang tahapan prosedur untuk preparasi sampel plasma hingga proses

memisahkan atau mengisolasi obat maka semakin besar kemungkinan hilangnya obat

yang akan ditentukan.( Hendra Adijuwana, 1989).


3.4. Protein

Protein plasma adalah protein total dalam plasma manusia yang memiliki

konsentrasi sekitar 7.0 – 7.5 gr/dL dan membentuk bagian terbesar dari bahan padat

plasma. Protein plasma sebenarnya adalah campuran kompleks yang mencakup tidak

saja hanya protein-protein sederhana, tetapi juga protein terkonjugasi, seperti

glikoprotein dan berbagai lipoprotein (Evans, 2004).

3.4.1. Pengendapan Protein Plasma

Contoh zat pengendap protein: NaOH, amonium sulfat, tricloro acetic acid (TCA),

asam perklorat, ZnSO4, metanol, dan asetonitril. Protein dapat diendapkan karena

bersifat amfoter yakni memiliki 2 muatan yang berlainan dalam 1 molekul, atau yang

dikenal juga sebagai zwitter ion. Sifat ini membuat protein memiliki muatan yang

berbeda pada pH yang berbeda pula. Akibatnya protein dapat larut pada rentang pH

tertentu dimana protein bermuatan (Evans, 2004).

Suatu saat di pH tertentu protein akan mencapai titik isoelektriik, yakni pH dimana

jumlah obat total muatan protein sama dengan nol (muatan positif sebanding dengan

muatan negatif), hal ini akan mempengaruhi kelarutan protein. Pada titik isoelektrik,

kelarutan protein sangat rendah, sehingga protein dapat mengendap (Evans, 2004).

Selain itu, protein juga dapat membentuk ikatan dengan logam dimana beberapa

asam amino dapat terikat pada satu logam sehingga molekulnya menjadi besar,

beratnya juga menjadi besar sehingga protein mengendap. Selain itu, terdapat juga
beberapa sifat lain yang berhubungan dengan presipitasi protein ini yang dijelaskan

pada mekanisme pengendapan oleh masing-masing reagen (Evans, 2004).

Larutan (NH4)2SO4 merupakan garam dengan konsentrasi tinggi. Mekanisme

(NH4)2SO4 sebagai anti presipitasi protein dikenal sebagai salting out, yakni penurunan

kelarutan protein dengan adanya peningkatan konsentrasi garam. Hal ini terjadi karena

interaksi antara air dengan gugus polar dari protein menurun.

Kelarutan protein akan berkurang bila terdapat garam-garam anorganik dalam

konsentrasi tinggi mengakibatkan pengendapan protein tersebut. Sifat ini terjadi karena

kemampuan ion garam untuk terhidrasi dan terjadi kompetisi antara garam dengan

molekul protein untuk mengikat air (Evans, 2004).

Mekanisme ZnSO4 – NaOH sebagai agen presipitasi adalah NaOH akan

memberikan suasana basa pada larutan dan mengakibatkan protein berada dalam

keadaan ion negatif atau anion. Anion protein ini akan berikatan dengan ion positif

yang berasal dari logam berat yakni Zn2+ membentuk logam protein yang tidak larut.

Logam berat juga akan merusak struktur sekunder dan tersier dari protein. Ikatan dari

ion logam bermuatan positif akan menurunkan kelarutan protein. Ion logam akan

berkompetisi dengan proton-proton pada larutan untuk berikatan dengan asam amino.

Semakin kuat ikatan ion-ion logam untuk menggantikan ikatan oleh proton-proton

akan menurunkan pH larutan. Kombinasi dari perubahan pI, penurunan pH (baik akibat

ion logam maupun NaOH) akan menyebabkan protein mengendap (Evans, 2004).
Penambahan larutan organik seperti metanol dan asetonitril pada larutan protein

dalam air akan menurrunkan KD (Konestanta Dielektrik) pelarut/air yang

meningkatkan tarikan antara molekul-molekul bermuatan dan memfasilitasi interaksi

elektrostatik protein. Pelarut organik ini juga akan menggantikan beberapa molekul air

disekitar daerah hidrofob dari permukaan protein yang berasosiasi dengan protein

sehingga menurunkan konsentrasi air dalam larutan dengan demikian kelarutan protein

akan menurun dan memungkinkan terjadinya pengendapan (Evans, 2004).

3.5. Metode Pemisahan Obat

3.5.1. Ekstaksi Padat-Cair (Solid-Phase Extraction)

Ekstaksi padat-cair menggunakan catridge khusus untuk memisahkan obat dari

sampel dengan volume relatif lebih kecil (0,5-1mL) yang tersedia secara komersial

dengan harga yang cukup mahal (Day.R,A, 2002).

3.5.2. Ekstraksi Cair-Cair

Ekstraksi cair-cair merupakan suatu metode yang paling banyak digunakan karena

relatif cepat, simpel, dan murah dibandingkan dengan ekstraksi padat-cair. Ekstraksi

ini menggunakan pelarut pengekstraksi diikuti proses pemekatan obat yang akan

dianalisis. Pemilihan pelarut pengekstraksi dalam ekstraksi cair-cair harus didasarkan

pada sifat fitokimia obat maupun metabolit yang akan diisolasi. Berbagai faktor dapat

menjadi pertimbangan dalam seleksi pelarut yang akan digunakan antara lain :

- Tidak bercampur dengan air


- Mempunyai kemampuan melarutkan obat yang diinginkan dalam jumlah yang

besar sehingga memberikan nilai recovery yang besar

- Mempunyai titik didih yang relatif rendah sehingga waktu evaporasi pelarut relatif

lebih singkat

- Sedapat mungkin volume yang digunakan untuk ekstraksi adalah minimal

sehingga akan menekan biaya yang dikeluarkan

- Jika memungkinkan gunakan pelarut dengan berat jenis yang lebih kecil dari berat

jenis air sehingga proses pemisahan pelarut organik akan lebih mudah karena

pelarut organik akan berada pada lapisan atas (Eistein, 2005).

3.6. Aplikatif Penentuan Kadar Obat Dalam Plasma (Sriwidodo, 1985). :

3.6.1. Memilih Route Pemberian Obat yang Paling Tepat.

Apakah harus secara injeksi intravena, atau bisa dengan route lain seperti secara

oral, rektal, dan lain-lain. Ini dapat dilakukan dengan menilai ketersediaan

biologis obat setelah pemberian dalam berbagai route pemberian, dan dengan

mempertimbangkan profil kinetika obat yang dihasilkan oleh berbagai route

pemberian tersebut.

3.6.2. Penyusunan Aturan Dosis yang Rasional.

3.6.3. Membantu Menerangkan Mekanisme Interaksi Obat

Dapat membantu menerangkan mekanisme interaksi obat, baik antara obat

dengan obat maupun antara obat dengan makanan atau minuman.

3.6.4. Untuk Menganalisis Kadar Obat dalam Plasma


Bernasconi G. 1995. Teknologi Kimia I. Jakarta : Pradya Paramita.

Chamberlain, J.,1995. The Analysis of Drugs in Biological Fluids 2 nd Ed. New York

: CRC Press.

Day, R. A. and A. L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi Keenam.

Jakarta : Erlangga.

Diana Fifi Melva. Fungsi Metabolisme Protein Dalam Tubuh Manusia. Jurnal

Kesehatan Masyarakat. 2009; 4(1): 47-52.

Eistein Yazid. 2005. Kimia Fisika Untuk Paramedis. Yogyakarta : Andi.

Evans, G. 2004. A Handbook of Bioanaysis and Drug Metabolism. USA : CRC Press.

Ganong, W. F. 2009. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 22. Jakarta : EGC.

Hendra Adijuwana. 1989. Teknik pemisahan Dalam Analisis Biologis. Bogor : IPB

Press.

Katzung.Bertram, G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 10. Jakarta : Pustaka

Buku Kedokteran.
Sriwidodo. 1985. Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta : Pusat Penelitian dan

Pengembangan PT. Kalbe Farma.

Anda mungkin juga menyukai