Anda di halaman 1dari 27

Waspadai Infeksi TORCH di Masa Kehamilan

Infeksi TORCH yang terjadi saat masa kehamilan dapat menyebabkan kecacatan janin, seperti
kelainan pada saraf, mata, kelainan otak, paru-paru, telinga, dan fungsi motorik lainnya.

Menjalani masa kehamilan dengan sehat dan normal adalah harapan setiap Ibu. Selama menjalani
fase kehamilan, Ibu perlu memperhatikan hal-hal yang berpotensi mengganggu kesehatan janin,
salah satunya Infeksi TORCH. Infeksi TORCH yang merupakan singkatan dari Toxoplasma,
Others (HIV, Sifilis) Rubella, Citomegalovirus, Herpes, dan Simplek adalah infeksi yang dapat
menyebabkan kecacatan pada janin.

Bahaya Infeksi TORCH terhadap Kehamilan


Infeksi saat kehamilan bisa berakibat pada kelahiran bayi prematur, yang kerap memiliki tingkat
morbiditas yang tinggi, salah satunya cacat bawaan yang menetap, seperti penyakit paru kronik,
asma, cerebral palsy, dan gangguan tumbuh kembang atau masalah perkembangan otak.

Ragam penyakit yang muncul fase kehamilan telah berubah menjadi lebih luas, meliputi infeksi
bakteri, virus, hingga parasit. Tetapi, infeksi TORCH (Toxoplasma, Others (HIV, Sifilis) Rubella,
Citomegalovirus, Herpes Simplek) masih bisa menjadi pijakan awal ketika terjadi kelainan pada
persalinan atau kondisi bayi yang dilahirkan.

Kenali Penyebab dan Gejala Infeksi TORCH


Toxoplasmosis
Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii. Penyakit
ini menular dari daging yang terinfeksi, tidak dimasak hingga matang, buah/sayur yang tidak
dicuci bersih, tanah dengan feses kucing yang mengandung parasit, hingga melalui infeksi
kongenital dari Ibu ke janin melalui plasenta3. Masa Inkubasi parasit sekitar 10-24 hari setelah
parasit tersebuh masuk kedalam tubuh. Risiko janin ikut tertular pada trimester 1 sekitar 5-25 %,
sedangkan, pada trimester ke 3 sekitar 60-90%, dampak terbesar berbanding terbalik pada janin,
terutama pada trimester 1.

Penyakit toxoplasmosis kongenital biasanya ditandai dengan kebutaan, mikrosefalus (kepala bayi
kecil dari ukuran normal) atau hidrosefalus. Gejala lainnya bisa berupa anemia, kejang,
pembengkakan kelenjar air liur, bisul-bisul di kulit, radang paru-paru, demam, dan pengapuran
dalam otak. Gejala-gejala tersebut tampak setelah bayi berusia satu tahun atau lebih. Jika tidak
ditangani lebih lanjut, dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan perkembangan fisik dan
mental3.
MALARIA

Malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit Plasmodium dan disebarkan
melalui gigitan nyamuk. Diperkirakan 219 juta penduduk dunia terinfeksi malaria dan sebanyak
660.000 diantaranya meninggal setiap tahun. Penyakit ini dapat menyerang semua individu tanpa
membedakan umur dan jenis kelamin dan tidak terkecuali wanita hamil. Wanita hamil termasuk
golongan yang rentan untuk terkena malaria sehubungan dengan penurunan imunitas di masa
kehamilan. Malaria pada kehamilan dapat menimbulkan berbagai keadaan patologi pada ibu hamil
dan janin yang dikandungnya. Pada ibu hamil, malaria dapat mengakibatkan timbulnya demam,
anemia, hipoglikemia, udema paru akut, gagal ginjal bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada
janin yang dikandung oleh ibu penderita malaria dapat terjadi abortus, lahir mati, persalinan
prematur, berat badan lahir rendah, dan kematian janin. Keadaan patologi yang ditimbulkan ini
sangat tergantung pada status imunitas, jumlah paritas dan umur ibu hamil.

Pengaruh Malaria pada Masa Kehamilan

Pengaruh malaria pada kehamilan antara lain bisa terjadi pada:

1. Ibu Hamil

Malaria pada ibu hamil dapat menimbulkan berbagai kelainan, tergantung pada tingkat kekebalan
seseotrang terhadap infeksi parasit malaria dan paritas (jumlah kehamilan). Ibu hamil dari daerah
endemi yang tidak mempunyai kekebalan dapat menderita malaria klinis berat sampai
menyebabkan kematian. Di daerah endemisitas tinggi, malaria berat dan kematian ibu hamil jarang
dilaporkan. Gejala klinis malaria dan densitas parasitemia dipengaruhi paritas, sehingga akan lebih
berat pada primigravida (kehamilan pertama) daripada multigravida. Pada ibu hamil dengan
malaria, gejala klinis yang penting diperhatikan ialah demam, anemia, hipoglikemia, edema paru
akut dan malaria berat lainnya.

2. Janin

Plasenta juga berfungsi sebagai “Barrier” (penghalang) terhadap bakteri, parasit dan virus. Karena
itu ibu terinfeksi parasit malaria, maka parasit akan mengikuti peredaran darah sehingga akan
ditemukan pada plasenta bagian maternal. Bila terjadi kerusakan pada plasenta, barulah parasit
malaria dapat menembus plasenta dan masuk kesirkulasi darah janin, sehingga terjadi malaria
Kekebalan ibu berperan menghambat transmisi parasit kejanin. Oleh sebab itu pada ibu-ibu yang
tidak kebal atau dengan kekebalan rendah terjadi transmisi malaria ke janin, walaupun mekanisme
transplasental dari parasit ini masih belum diketahui.

Pengobatan Malaria pada Ibu Hamil

Pengobatan malaria di Indonesia menggunakan obat kombinasi. Yang dimaksud dengan


pengobatan kombinasi malaria adalah penggunaaan dua atau lebih obat anti malaria yang sesuai,
bersinergi dan berbeda cara terjadinya resistensi. Tujuan terapi kombinasi ini adalah untuk
pengobatan yang lebih baik dan mencegah terjadinya resistensi plasmodium terhadap obat anti
malaria.

Pada prinsipnya pengobatan malaria pada ibu hamil sama dengan pengobatan pada orang dewasa
lainnya. Perbedaannya adalah pada pemberian obat malaria berdasarkan usia kehamilan.

Sebagai kelompok yang berisiko tinggi pada ibu hamil dilakukan penapisan/skrining terhadap
malaria yang dilakukan sebaiknya sedini mungkin atau begitu ibu tahu bahwa dirinya hamil. Pada
fasilitas kesehatan, skrining ibu hamil dilakukan pada kunjungannya pertama sekali ke tenaga
kesehatan/fasilitas kesehatan. Selanjutnya pada ibu hamil juga dianjurkan menggunakan kelambu
ber insektisida setiap tidur.

Kontrol Malaria pada Masa Kehamilan

Kontrol malaria perlu dilakukan terutama saat kehamilan. Hal yang dapat dilakukan, antara lain:

1. Kemoprofilaksis

Strategi kontrol malaria saat ini untuk kehamilan masih merupakan pemberian kemoprofilaksis
anti malaria yang rutin yaitu klorokuin pada setiap wanita hamil dalam daerah endemik malaria.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa kemoprofilaksis dapat mengurangi anemia pada ibu dan
menambah berat badan lahir terutama pada kelahiran pertama. Resiko malaria dan konsekuensi
bahayanya tidak meningkat selama kehamilan kedua pada wanita yang menerima kemoprofilaksis
selama kehamilan pertama.

Pada daerah endemisitas tinggi, infeksi malaria selama kehamilan menyebabkan rendahnya berat
bayi lahir. Kemoprofilaksis yang diberikan selama kehamilan dapat meningkatkan berat kelahiran
rata-rata, terutama pada kehamilan pertama dn menurunkan tingkat mortalitas bayi kira-kira 20%.
Rata-rata bayi yang dilahirkan pada kehamilan pertama bagi ibu yang menerima kemoprofilaksis
lebih tinggi daripada berat bayi yang ibunya tidak menerima kemoprofilaksis. Kelahiran mati dan
setelah mati lahir lebih kurang pada bayi dan ibu-ibu yang menerima kemoprofilaksis
dibandingkan denghan bayi dari ibu hamil yang tidak mendapat kemoprofilaksis.

2. Kemoterapi

Kemoterpi tergantung pada diagnosis dini dan pengobatan klinis segera. Kecuali pada wanita yang
tidak kebal, efektifitas kemoterapi pada wanita hamil tampak kurang rapi karena pada wanita imun
infeksi dapat berlangsung tanpa gejala. Pada wanita dengan kekebalan rendah, walaupun dilakukan
diagnosis dini dan pengobatan segera ternyata belum dapat mencegah perkembanagan anemia
pada ibu dan juga berkurangnya berat badan lahir bayi.

3. Mengurangi Kontak dengan Vektor

Mengurangi kontak dengan vektor seperti insektisida, pemakaian kelambu yang dicelup dengan
insektisida dapat mengurangi infeksi malaria. Pada wanita hamil di Thailand dilaporkan bahwa
pemakaian kelambu efektif dalam mengurangi anemia maternal dan parasitemia densitas tinggi,
tetapi tidak efektif dalam meningkatkan berat badan lahir rendah. Selain itu juga dianjurkan
pemakaian kawat nyamuk pada pintu-pintu dan jendela-jendela, tinggal di dalam rumah selama
jam-jam gigitan nyamuk (mulai senja atau sore hari), membunuh nyamuk dewasa dengan
insektisida, membunuh jentik nyamuk.

4. Vaksinasi

Target vaksin malaria antara lain mengidentifikasi antigen protektif pada ketiga permukaan
stadium parasit malaria yang terdiri dari sporozoit, merozoit, dan gametosit. Kemungkinan
penggunaan vaksin yang efektif selama kehamilan baru muncul dan perlu pertimbangan yang
kompleks. Tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan vaksin untuk mencegah
malaria selama kehamilan, yaitu :

a. Tingkat imunitas sebelum kehamilan

b. Tahap siklus hidup parasit

c. Waktu pemberian vaksin.

ACARIASIS
Askariasis umumnya asimtomatik. Walau demikian, pada kehamilan, infeksi ini berhubungan
dengan luaran kehamilan yang negatif. Dokter perlu mengerti mengenai obat antelmintik mana
yang boleh digunakan dan disarankan untuk penanganan askariasis pada kehamilan.[1,2]

Seorang wanita yang hamil memiliki respon imun yang dapat menyebabkannya lebih “kuat”
melawan suatu infeksi cacing. Sel T CD4+ dapat berdiferensiasi menjadi 2 macam sel T-helper
yaitu Th1 atau Th2. Sel Th1 mengaktivasi suatu respon sitotoksik melalui sitokin sedangkan sel
Th2 bekerja dalam sistem imun humoral dan mensekresi interleukin(IL)-4 dan IL-5. IL-4
menstimulasi produksi IgE sedangkan IL-5 memberi sinyal kepada eosinofil. Pada kehamilan,
respon Th1/sitotoksik diturunkan sedangkan respon Th2 dinaikkan. Oleh karena IgE dan eosinofil
adalah salah satu jalur utama tubuh dalam melawan infeksi parasit, infeksi cacing pada ibu hamil
umumnya tidak begitu parah.[4]

Secara umum, askariasis dengan sendirinya dalam kehamilan memang bukanlah suatu kondisi
yang terlalu parah. Selain oleh karena sistem imun tubuh ibu yang mayoritas mengarah kepada
proliferasi Th2, sifat cacing yang mengkonsumsi produk digestif inang dan bukan darah melalui
dinding usus juga menyebabkan anemia dan malnutrisi yang terjadi bersifat ringan.[4,5]

Wanita yang hamil memerlukan nutrisi yang lebih, terutama zat besi, dan “anemia fisiologis” juga
terjadi oleh karena hemodilusi. Anemia akibat askariasis akan memperparah efek hemodilusi ini
sehingga menyebabkan penurunan nafsu makan serta kapasitas sang ibu untuk beraktivitas dan
juga meningkatkan risiko intrauterine growth retardation (IUGR). Wanita yang terinfeksi dengan
suatu parasit juga biasanya dapat terinfeksi dengan parasit kedua ataupun ketiga. Hal ini seringkali
terjadi pada infeksi cacing dan malaria.[4-6]

Walau seorang yang hamil dapat memiliki sistem imun yang cukup baik dalam melawan infeksi
cacing, suatu studi menyatakan bahwa wanita yang hamil lebih rentan untuk terkena infeksi cacing
tersebut dibandingkan wanita yang tidak hamil.[4,7]

Perubahan fisiologis hormon pada wanita hamil juga berpotensi dapat menyebabkan askariasis
yang lebih parah. Obstruksi bilier merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada wanita
hamil dengan askariasis oleh karena banyaknya progesteron terutama pada trimester ketiga yang
dapat merubah/merelaksasi motilitas sfingkter Oddi.
Suatu hal lain yang dapat menyebabkan komplikasi pada kehamilan dengan askariasis adalah
pemanjangan waktu pembekuan darah dan partial thromboplastin time (PTT). Terdapat kasus-
kasus perdarahan postpartum pada wanita dengan askariasis tidak responsif terhadap
uterotonika.[4]

Terapi Askariasis pada Ibu Hamil

Terdapat banyak pilihan obat yang dapat dipakai untuk mengatasi askariasis. Kedua macam jenis
obat yang membunuh atau melumpuhkan cacing dapat digunakan. Namun obat yang
melumpuhkan cacing sebaiknya tidak digunakan pada kasus-kasus obstruksi total ataupun parsial
karena dapat menyebabkan komplikasi lebih lanjut.[2]

Terapi pilihan utama untuk askariasis adalah albendazole 400 mg dosis tunggal, dapat juga
menggunakan mebendazole 100 mg dua kali sehari selama tiga hari atau 500 mg sebagai dosis
tunggal. Walau demikian, pada kehamilan, obat yang disarankan adalah pyrantel pamoate. Dosis
pyrantel pamoate adalah 11 mg/kg berat badan sekali sehari selama 3 hari tanpa melebihi 1 g/
dosis. Ketiga obat ini dikategorikan sebagai kategori C oleh FDA tetapi oleh TGA pyrantel
pamoate dan mebendazole dikategorikan ke dalam kategori B2 dan B3. Albendazole oleh TGA
dikategorikan sebagai kategori D dan dikontraindikasikan untuk diberikan selama kehamilan.
Sebuah Cochrane review pada tahun 2015 menyatakan bahwa pemberian obat cacing pada
trimester kedua tidak menyebabkan adverse outcome pada bayi namun data untuk pemberian obat
pada trimester pertama masih kurang.[2,8,9]

HEPATITIS B

Hepatitis B adalah peradangan organ hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Virus ini dapat
menular melalui hubungan seksual atau berbagi jarum suntik.

Infeksi hepatitis B merupakan penyakit yang tidak bertahan lama dalam tubuh penderita dan akan
sembuh sendiri tanpa pengobatan khusus. Kondisi ini disebut infeksi hepatitis B akut. Akan tetapi,
infeksi hepatitis B juga dapat menetap dan bertahan dalam tubuh seseorang (menjadi kronis).

Infeksi hepatitis B kronis ini dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan nyawa,
yaitu sirosis dan kanker hati. Oleh karena itu, penderita hepatitis B kronis perlu melakukan kontrol
secara berkala ke dokter untuk mendapatkan penanganan dan deteksi dini bila terjadi komplikasi.
Perlu diketahui, hepatitis B dapat dicegah dengan melakukan vaksinasi hepatitis B.

Gejala Hepatitis B

Hepatitis B sering kali tidak menimbulkan gejala, sehingga penderitanya tidak menyadari bahwa
dia telah terinfeksi. Meski demikian, gejala tetap dapat muncul setelah 1-5 bulan sejak pertama
kali terpapar virus. Gejala yang dapat muncul adalah demam, sakit kepala, mual, muntah, lemas,
serta penyakit kuning.

Penyebab Hepatitis B

Hepatitis B tidak akan menular bila hanya berbagi alat makan atau berpelukan dengan
penderitanya.

Penularan virus ini terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom dan berbagi jarum suntik
dengan penderita hepatitis B. Hal ini karena virus hepatitis B berada di dalam darah dan cairan
tubuh, seperti sperma dan cairan vagina.

Selain itu, hepatitis B juga dapat ditularkan dari wanita yang sedang hamil kepada bayi dalam
kandungannya.

Diagnosis Hepatitis B

Telah disebutkan sebelumnya bahwa penyakit hepatitis B sering kali tidak menimbulkan gejala
hingga timbul komplikasi. Oleh karena itu, penyakit ini umumnya terdeteksi saat seseorang
melakukan skrining terhadap penyakit hepatitis B.

Bila terdeteksi terkena hepatitis B, dokter akan melakukan pemeriksaan lanjutan, seperti tes darah,
USG perut, hingga pengambilan sampel jaringan hati (biopsi hati). Pemeriksaan ini bertujuan
untuk menilai apakah hepatitis B yang dialami penderita bersifat akut atau kronis, serta memeriksa
tingkat kerusakan dan fungsi organ hati penderita.
Pengobatan Hepatitis B

Tidak ada langkah penanganan khusus untuk kondisi hepatitis B akut. Infeksi akan sembuh sendiri
tanpa memerlukan pengobatan khusus. Penanganan hanya bertujuan untuk meredakan gejala yang
muncul. Akan tetapi, sebagian infeksi hepatitis B akut akan menjadi kronis.

Salah satu langkah pengobatan untuk penderita hepatitis B kronis adalah dengan mengonsumsi
obat antivirus. Pemberian obat antivirus bertujuan untuk mencegah perkembangan virus, bukan
untuk menghilangkan virus dari tubuh penderitanya secara tuntas.

Pengobatan hepatitis B kronis membutuhkan kepatuhan penderitanya untuk kontrol secara berkala
ke dokter untuk melihat perkembangan penyakit dan mengevaluasi pengobatan. Hal tersebut
karena hepatitis B kronis dapat menyebabkan kerusakan organ hati. Jika kerusakan hati cukup
parah, dokter mungkin akan menganjurkan prosedur transplantasi hati.

Komplikasi Hepatitis B

Penderita hepatitis B kronis berisiko menimbulkan sirosis, kanker hati, dan gagal hati. Meski
jarang terjadi, infeksi hepatitis B akut juga dapat menyebabkan komplikasi berupa hepatitis B
fulminan yang dapat mengancam nyawa.

Vaksin dan Pencegahan Hepatitis B

Langkah utama untuk mencegah hepatitis B adalah melalui vaksinasi. Vaksin hepatitis B
merupakan vaksin wajib yang diberikan kepada anak-anak. Efek vaksin yang diberikan saat anak-
anak tidak akan bertahan seumur hidup, sehingga vaksinasi perlu diulang saat dewasa.

Selain vaksinasi, beberapa tindakan juga perlu dilakukan untuk menurunkan risiko terkena
hepatitis B, yaitu melakukan hubungan seksual yang aman dan tidak menyalahgunakan NAPZA

TBC

Tuberkulosis atau yang kerap disebut TB merupakan infeksi yang menyerang paru-paru dan sangat
menular. Bahkan bisa menyebar ke anggota tubuh lain seperti otak, tulang belakang, ginjal, rahim,
tulang bahkan sistem saraf. Sejenis bakteri bernama Mycobacterium tuberculosis menjadi
penyebab utama. Ada beberapa kondisi yang membuat risiko ibu hamil kena TBC dapat
meningkat.

Kondisi rentan Tuberkulosis saat hamil

Penyakit ini terkenal menular dan umumnya rentan mengenai ibu hamil dengan kondisi berikut
ini:

 Kontak langsung dengan orang yang menderita TB


 Terlalu dekat dengan orang yang mengalami sakit Tuberkulosis aktif
 Memiliki penyakit yang berkaitan dengan sistem imun tubuh
 Perokok aktif saat hamil
 Kekebalan tubuh yang lemah
 Bermukim di tempat dengan standar hidup dan kesehatan rendah
 Gejala Tuberkulosis pada ibu hamil

Terdapat beberapa ciri khas yang menandakan tuberkulosis ada di dalam tubuh Anda:

 Batuk yang amat konsisten, biasanya berlangsung lebih dari 3 minggu atau lebih dan
mengeluarkan dahak
 Berat badan menurun drastis
 Demam
 Nyeri di area dada
 Kelelahan berlebihan
 Kesulitan bernapas
 Kehilangan nafsu makan
 Berkeringat di malam hari
 Mual

Bahkan, beberapa penderita TB tidak menunjukkan gejala apapun sehingga sulit untuk dokter
mendeteksi penyakit ini hingga tiba saatnya melahirkan.

Komplikasi Tuberkulosis saat kehamilan

Mengingat tuberkulosis adalah penyakit yang amat menular, Bunda yang sedang hamil sebaiknya
tidak meremehkan penyakit ini. Hal ini karena berisiko menimbulkan komplikasi bagi ibu dan bayi
di dalam kandungan.
Efek TB pada ibu

 Ibu hamil yang terdiagnosis TB akan mengalami perubahan imun tubuh yang tidak
menentu
 Kenaikan berat badan terhambat yang bisa berpengaruh pada janin
 Penyakit memburuk jika tidak mendapat penanganan tepat
 Meningkatkan risiko untuk aborsi dan keguguran
 Risiko bayi lahir prematur
 Bayi lahir dengan berat tidak normal
 Meningkatkan peluang kematian neonatal

Sementara itu, ini efek TB yang dialami ibu hamil terhadap janin di dalam kandungan:

 Penularan melalui tali pusat atau tuberkulosis bawaan, biasanya gejala bahkan tidak terlihat
 Pembengkakkan di area hati atau limpa
 Menyebabkan masalah pernapasan
 Demam
 Fungsi limpa terhambat

Ibu hamil kena TBC, bagaimana mengobatinya?

Ada beragam komplikasi yang mengintai jika ibu hamil kena TBC dan berkontribusi terhadap
tumbuh kembang janin. Biasanya dokter akan memberikan obat untuk mengatasi TB dan Anda
akan merasa lebih baik beberapa minggu setelahnya.

Namun, hal ini tidak berarti Bunda sepenuhnya sembuh dari tuberkulosis. Bakteri tetap tinggal dan
tak menutup kemungkinan penyakit ini dapat kambuh di masa mendatang.

Berikut langkah yang sebaiknya dilakukan untuk menangani TB kala hamil:

 Konsumsilah asupan makanan yang menyehatkan dan bergizi seimbang


 Banyak menghirup udara segar; berjalan santai ke taman kota bisa menjadi pilihan di akhir
pekan
 Jangan abaikan perjanjian yang sudah dibuat dengan dokter
 Hubungi dokter jika sudah mengonsumsi obat dan merasakan efek samping tertentu seperti
sakit kepala, perubahan penglihatan, mual dan gejala tidak nyaman lainnya.
HERPES

Penyakit herpes pada wanita hamil dapat memengaruhi perkembangan dan kesehatan janin dalam
kandungan.

Herpes merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus herpes simpleks. Sekali Anda terinfeksi
herpes, virusnya akan selalu berada di dalam tubuh. Untungnya, virus tersebut tidak selalu aktif,
dan kalau kambuh tidak akan separah ketika pertama kali terinfeksi. Virus herpes terdapat pada
lesi aktif atau cairan dalam lentingan pada vagina ketika muncul keluhan. Penyakit ini biasanya
menular melalui kontak langsung dari kulit ke kulit, hubungan seksual, atau berbagi sex toys.

Namun, penyakit herpes pada wanita hamil juga bisa menular kepada anak yang sedang
dikandungnya. Bahaya atau tidaknya tergantung pada kapan pertama kali sang ibu terinfeksi virus
herpes. Gejala herpes yang dapat timbul di antaranya demam, nyeri otot, mual, lelah, dan muncul
luka atau lentingan yang terasa nyeri pada mukosa mulut atau vagina. Luka ini dapat menyebabkan
keluhan nyeri saat berkemih.

Ibu sudah terinfeksi herpes sebelum mengandung

Jika ibu hamil sudah pernah terinfeksi penyakit herpes sebelum mengandung, kecil
kemungkinannya akan membahayakan Si Kecil. Ini karena antibodi pelindung tubuh dan pelawan
virus herpes akan diturunkan dari ibu kepada anak. Namun, jika penyakit herpes pada wanita hamil
yang diderita sang ibu sering kambuh, terdapat kelemahan sistem kekebalan tubuh, atau jika ibu
ingin bayinya mendapat perlindungan tambahan, disarankan untuk menemui dokter guna
mendapatkan pengobatan yang tepat.

Ibu terinfeksi herpes saat trimester pertama dan kedua masa kehamilan

Jika ibu pertama kali terinfeksi penyakit herpes pada wanita saat hamil trimester pertama atau
kedua (sampai minggu ke-26), ibu berisiko tinggi mengalami keguguran.
Sedangkan jika kehamilan tetap berlanjut, tidak ada risiko lebih lanjut dalam pertumbuhan dan
perkembangan Si Kecil. Kemungkinan bayi dalam kandungan tertular penyakit herpes pun kurang
dari 3%. Akan tetapi, dokter kemungkinan akan menyarankan ibu untuk mengonsumsi obat
antivirus dan tidak melahirkan secara normal atau disarankan melahirkan dengan operasi Caesar.
Meskipun jarang, faktor lain seperti gangguan imunitas, kelelahan, stres, atau tidak memeriksakan
kehamilan dengan rutin pada kondisi ini dapat memperbesar risiko keguguran.

Ibu terinfeksi herpes saat trimester akhir kehamilan

Jika ibu pertama kali terinfeksi penyakit herpes saat hamil trimester ketiga, terutama 6 minggu
terakhir kehamilan, risiko Si Kecil tertular virus menjadi jauh lebih tinggi. Ini karena tubuh ibu
tidak mempunyai cukup waktu untuk membuat antibodi. Si Kecil dalam kandungan pun tidak akan
mendapatkan antibodi terhadap virus ini.

Untuk mencegah penularan penyakit herpes pada wanita ke bayi, sang ibu kemungkinan
disarankan untuk minum obat antivirus dan menjalani persalinan melalui operasi caesar. Karena
jika melahirkan secara normal, Si Kecil bisa terkena virus melalui kontak dengan luka terbuka atau
lentingan berisi cairan pada vagina ibu. Pencegahan infeksi herpes terutama dengan cara
menghindari kontak fisik atau hubungan seksual dengan penderita atau gunakan kondom saat
berhubungan intim.

Jika Si Kecil ternyata terkena herpes (herpes neonatal), tingkat keparahan infeksinya akan berbeda
dari satu anak ke anak lain. Ada anak yang pulih dengan baik dan infeksinya cukup mudah diobati.
Ada juga anak yang terkena infeksi lebih serius, hingga memengaruhi sistem saraf pusat atau organ
lainnya. Herpes pada bayi berisiko menyebabkan kecacatan dan meski jarang terjadi, herpes
neonatal pun bisa membahayakan nyawa Si Kecil.

Gejala yang perlu diwaspadai apabila Si Kecil terkena herpes adalah merasa lemas, kurang atau
tidak mau minum, bibir atau tubuh terlihat kebiruan, napas cepat, muncul ruam pada tubuh, dan
kejang. Tanda-tanda ini adalah kondisi serius di mana bayi perlu mendapat penanganan segera.
Beri tahu dokter atau bidan jika ibu atau ayah pernah terinfeksi penyakit herpes. Lindungi bayi
dalam kandungan dengan mendapatkan perawatan yang tepat dan cepat dari penyakit herpes pada
wanita hamil. Kontrol kehamilan secara rutin sangat penting agar kesehatan Bunda dan Si Kecil
terjaga.
VARICELLA

Cacar air lebih sering dialami anak-anak, namun tidak menutup kemungkinan ibu hamil dapat
terkena cacar air. Ibu hamil wajib mewaspadainya karena cacar air dapat memicu komplikasi
berbahaya bagi diri sendiri dan janin.

Virus cacar air dapat menular melalui kontak langsung dengan ruam ataupun percikan air ludah
dari penderita cacar air. Ibu hamil yang sudah pernah mengalami cacar air boleh bernapas lega
sebab sistem kekebalan tubuh sudah membangun pertahanan terhadap serangan virus cacar air.

Cacar air, disebut juga dengan varisela, memiliki gejala-gejala berupa demam, nyeri pada tubuh,
kemudian diikuti dengan timbul ruam kecil kemerahan. Pada umumnya, gejala cacar air akan
muncul 14-16 hari sejak hari pertama terpapar virus. Penderita cacar air kemudian dapat terus
menularkan hingga ruam mengering.

Sebagian besar ibu hamil yang terkena cacar air dapat sembuh tanpa efek apa pun, namun ada pula
ibu hamil yang dapat mengalami komplikasi. Berikut beberapa risiko komplikasi yang bisa
menimpa:

Ibu hamil

Salah satu risiko komplikasi cacar air pada ibu hamil adalah pneumonia, yaitu radang paru-paru.
Selain itu, komplikasi lain yang bisa terjadi adalah ensefalitis (radang otak) dan hepatitis (radang
hati).

Faktor yang dapat meningkatkan risiko komplikasi cacar air pada ibu hamil adalah kebiasaan
buruk merokok, memiliki riwayat penyakit paru-paru, mengonsumsi steroid, dan mengandung
lebih dari 20 minggu.

Bayi di dalam kandungan

Jika infeksi virus cacar air terjadi pada pertengahan awal kehamilan, maka akan timbul risiko
sindrom varicella kongenital. Sindrom tersebut dapat mengakibatkan kelainan bawaan berupa
bekas luka, kelainan otot dan tulang, kelumpuhan, ukuran kepala kecit, kebutaan, kejang atau
keterbelakangan mental. Meski demikian, hingga kini belum terbukti cacar air dapat meningkatkan
risiko keguguran.

Untuk cacar air yang terjadi pada saat usia kehamilan 28-36 minggu, virus akan masuk ke tubuh
bayi dengan berkemungkinan tidak menimbulkan gejala apa pun. Risiko virus kembali aktif dan
memicu cacar api (shingles) dapat terjadi pada beberapa tahun pertama kehidupan si bayi.

Khusus mengenai cacar air yang terjadi setelah usia kehamilan 36 minggu akan meningkatkan
kemungkinan bayi terinfeksi dan lahir dengan kondisi terkena cacar air.

Bayi baru lahir

Tidak hanya pada masa-masa di dalam kandungan, cacar air juga dapat menyerang bayi setelah
persalinan. Cacar air yang terjadi beberapa hari sebelum melahirkan hingga maksimal dua hari
setelah melahirkan dapat menyebabkan bayi baru lahir turut terserang cacar air yang dapat
mengancam nyawa yang disebut neonatal varicella.

Ketika ibu hamil terserang cacar air dan tidak diterapi, maka kemungkinan bayi terserang cacar air
pada masa-masa tersebut mencapai 50 persen. Gejala-gejala cacar air akan muncul pada usia bayi
sekitar 5-10 hari setelah lahir. Jika tidak ditangani dengan tepat, cacar air pada bayi baru lahir bisa
menyebabkan kematian.

Bagaimana Cara Mencegah Cacar Air Semasa Hamil?

Bagi ibu hamil yang tidak mengetahui apakah dirinya pernah terkena cacar air atau belum, dokter
dapat melakukan tes darah untuk memastikannya. Hasil tes akan menunjukkan apakah terdapat
imunitas pada tubuh atau tidak.

Jika kemudian ibu hamil yang belum pernah terkena cacar air, melakukan kontak dengan penderita
cacar air, segera periksakan diri ke dokter. Kemungkinan dokter akan memberikan suntikan
immunoglobulin yang mengandung antibodi terhadap virus cacar api.
Suntikan yang diberikan maksimal 10 hari setelah terpapar virus cacar air ini dapat mencegah atau
mengurangi keparahannya. Suntikan tersebut tergolong aman bagi bayi di dalam kandungan,
namun masih belum diketahui secara pasti terkait efektivitasnya dalam melindungi bayi dari
infeksi.

Pada skenario terburuk, bila ibu hamil telanjur menunjukkan gejala-gejala cacar air, dokter
kemungkinan akan memberikan obat antivirus untuk mengurangi keparahan serta menekan risiko
komplikasi. Terdapat kemungkinan bahwa dokter akan memberikan suntikan immunoglobulin
kepada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang sedang menderita cacar air. Hal tersebut dilakukan
untuk mencegah ataupun mengurangi keparahan penyakit. Jika bayi menunjukkan gejala cacar air,
maka dokter juga akan memberikan obat antivirus.

Yang tidak kalah penting adalah kamu yang sedang merencanakan kehamilan dan belum pernah
terkena cacar air. Konsultasikan dengan dokter untuk memperoleh vaksinasi cacar air untuk
dewasa. Sebaiknya menunggu tiga bulan setelah vaksinasi kedua sebelum memulai program
kehamilan. Jika belum yakin, lakukan tes darah untuk memastikan tubuhmu sudah memiliki
imunitas terhadap virus cacar air. Terlepas dari itu, menjalani tes darah adalah langkah yang
penting bagi ibu hamil untuk mengantisipasi risiko gangguan kesehatan.

Risiko serangan cacar air pada ibu hamil seharusnya diperhatikan lebih saksama, apalagi jika
mengingat komplikasi yang mungkin ditimbulkan kepada ibu dan bayi. Konsultasikan dengan
dokter mengenai langkah pengobatan ataupun pencegahan cacar air pada ibu hamil.

DIABETES MILETUS GESTASIONAL

Diabetes gestasional adalah diabetes yang muncul pada masa kehamilan, dan hanya berlangsung
hingga proses melahirkan. Kondisi ini dapat terjadi di usia kehamilan berapa pun, namun lazimnya
berlangsung di minggu ke-24 sampai ke-28 kehamilan.

Sama dengan diabetes yang biasa, diabetes gestasional terjadi ketika tubuh tidak memproduksi
cukup insulin untuk mengontrol kadar glukosa (gula) dalam darah pada masa kehamilan. Kondisi
tersebut dapat membahayakan ibu dan anak, namun dapat ditekan bila ditangani dengan cepat dan
tepat.

Gejala Diabetes Gestasional


Gejala diabetes saat kehamilan muncul ketika kadar gula darah melonjak tinggi (hiperglikemia).
Di antaranya:

Sering merasa haus

Frekuensi buang air kecil meningkat

Mulut kering

Tubuh mudah lelah

Penglihatan buram

Perlu diketahui bahwa tidak semua gejala di atas menandakan diabetes gestasional, karena bisa
dialami oleh ibu hamil. Oleh karena itu, bicarakan dengan dokter bila mengalami kondisi di atas.

Penyebab Diabetes Gestasional

Belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan diabetes gestasional. Akan tetapi, kondisi ini
diduga terkait dengan perubahan hormon dalam masa kehamilan.

Pada masa kehamilan, plasenta akan memproduksi lebih banyak hormon, seperti hormon estrogen,
HPL (human placental lactogen), termasuk hormon yang membuat tubuh kebal terhadap insulin,
yaitu hormon yang menurunkan kadar gula darah. Akibatnya, kadar gula darah meningkat dan
menyebabkan diabetes gestasional.

Faktor Risiko Diabetes Gestasional

Semua ibu hamil berisiko mengalami diabetes gestasional, akan tetapi lebih berisiko terjadi pada
ibu hamil dengan faktor-faktor berikut ini:

Memiliki berat badan berlebih.

Memiliki riwayat tekanan darah tinggi (hipertensi).

Pernah mengalami diabetes gestasional pada kehamilan sebelumnya.

Pernah mengalami keguguran.


Pernah melahirkan anak dengan berat badan 4,5 kg atau lebih.

Memiliki riwayat diabetes dalam keluarga.

Mengalami PCOS (polycystic ovary syndrome) atau akantosis nigrikans.

Diagnosis Diabetes Gestasional

Dokter dapat menduga pasien mengalami diabetes gestasional apabila terdapat gejala disertai
riwayat medis yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun untuk memastikannya, dokter dapat
menjalankan pemeriksaan lanjutan, seperti:

Tes toleransi glukosa oral (TTGO) awal. Dalam TTGO awal, dokter akan memeriksa kadar gula
darah pasien, satu jam sebelum dan sesudah diberikan cairan gula. Bila hasil TTGO awal
menunjukkan kadar gula darah di atas 130–140 mg/dL, dokter akan melakukan tes toleransi
glukosa oral lanjutan.

Tes toleransi glukosa oral (TTGO) lanjutan. Pada tes ini, pasien akan diminta berpuasa semalaman
sebelum menjalani tes darah di pagi hari. Setelah darah pertama diambil, dokter akan memberikan
air gula dengan kadar gula yang lebih tinggi dibanding TTGO awal. Kemudian, kadar gula darah
akan diperiksa 3 kali setiap jam. Apabila 2 dari 3 pemeriksaan menunjukkan kadar gula darah
tinggi, pasien akan didiagnosis menderita diabetes gestasional.

Pada pasien yang telah didiagnosis diabetes gestasional, dokter akan menyarankan dilakukannya
tes darah secara lebih rutin, terutama pada 3 bulan terakhir masa kehamilan. Bila terjadi komplikasi
kehamilan, dokter akan memeriksa fungsi plasenta pasien guna memastikan bayi mendapat
oksigen dan nutrisi yang tepat dalam rahim.

Dokter juga akan kembali menjalankan tes darah setelah pasien melahirkan dan pada 6-12 minggu
setelahnya, untuk memastikan kadar gula darah pasien sudah kembali normal. Pasien juga
disarankan menjalani tes darah tiap 3 tahun sekali, meskipun kadar gula darah sudah kembali
normal.

Pengobatan Diabetes Gestasional

Pengobatan diabetes gestasional bertujuan untuk mengendalikan kadar gula darah dan mencegah
terjadinya komplikasi saat hamil dan melahirkan. Metode pengobatan diabetes gestasional
meliputi:
Pemeriksaan kadar gula darah rutin. Dokter akan menganjurkan pasien memeriksakan darah 4-5
kali sehari, terutama di pagi hari dan tiap selesai makan. Pasien dapat memeriksakan darah secara
mandiri, menggunakan jarum kecil, dan meletakkan darah di cek gula darah.

Diet sehat. Dokter akan menyarankan pasien untuk banyak mengonsumsi makanan berserat tinggi,
seperti buah, sayuran, dan biji-bijian. Pasien juga disarankan untuk membatasi konsumsi makanan
manis, serta makanan dengan kandungan lemak dan kalori tinggi.

Menurunkan berat badan saat sedang hamil tidak disarankan, karena tubuh sedang memerlukan
tenaga ekstra. Oleh karena itu, bila ingin menurunkan berat badan, lakukanlah sebelum
merencanakan kehamilan.

Pola diet juga tidak sama pada setiap pasien. Oleh karena itu, konsultasikan dengan dokter
mengenai pola diet yang tepat bagi Anda.

Olahraga. Olahraga dapat merangsang tubuh memindahkan gula dari darah ke dalam sel untuk
diubah menjadi tenaga.

Manfaat lain dari olahraga rutin adalah membantu mengurangi rasa tidak nyaman saat hamil,
seperti sakit punggung, kram otot, pembengkakan, sembelit, dan sulit tidur.

Obat-obatan. Bila diet sehat dan olahraga belum mampu menurunkan kadar gula darah, dokter
akan meresepkan metformin. Bila metformin tidak efektif atau menimbulkan efek samping parah,
dokter akan memberi suntik insulin. Sekitar 10-20 persen pasien diabetes gestasional memerlukan
obat-obatan untuk menormalkan kadar gula darah.

Bila kadar gula darah pada ibu hamil tetap tidak terkontrol atau belum juga melahirkan pada usia
kehamilan lebih dari 40 minggu, dokter dapat memilih melakukan operasi caesar atau induksi
untuk mempercepat persalinan.

Diabetes gestasional dapat meningkatkan risiko bayi terlahir dengan komplikasi. Oleh karena itu,
penting untuk melakukan konsultasi kehamilan secara rutin, agar perkembangan bayi tetap
terpantau.

Komplikasi Diabetes Gestasional

Ibu hamil yang menderita diabetes gestasional tetap dapat melahirkan bayi yang sehat. Tetapi bila
kondisi ini tidak ditangani dengan tepat, beberapa komplikasi dapat terjadi pada bayi saat lahir,
seperti:
Kelebihan berat badan saat lahir yang disebabkan oleh tingginya kadar gula dalam darah
(macrosomia).

Lahir prematur yang mengakibatkan bayi kesulitan bernafas (respiratory distress syndrome).
Kondisi ini juga dapat terjadi pada bayi yang lahir tepat waktu.

Lahir dengan gula darah rendah (hipoglikemia) akibat produksi insulin yang tinggi. Kondisi ini
dapat mengakibatkan kejang pada bayi, namun dapat ditangani dengan memberinya asupan gula.

Risiko mengalami obesitas dan diabetes tipe 2 ketika dewasa.

Selain pada bayi, ibu hamil juga berpotensi mengalami komplikasi, seperti hipertensi dan
preeklamsia, yang dapat membahayakan nyawa ibu dan bayi. Ibu hamil juga berisiko terserang
diabetes gestasional pada kehamilan berikutnya, atau malah terkena diabetes tipe 2.

Pencegahan Diabetes Gestasional

Hingga saat ini, belum diketahui apakah diabetes gestasional dapat dicegah atau tidak. Namun
demikian, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menekan risiko terserang penyakit ini,
yaitu:

Memperbanyak konsumsi makanan dengan serat tinggi, seperti sayuran dan buah-buahan. Di
samping itu, hindari makanan yang mengandung lemak atau kalori tinggi.

Berolahraga secara teratur untuk menjaga kebugaran tubuh sebelum dan saat hamil. Dianjurkan
untuk melakukan olahraga ringan hingga sedang, seperti berenang, jalan cepat, atau bersepeda
minimal 30 menit per hari. Bila tidak memungkinkan, lakukan olahraga singkat namun berkala,
seperti sering berjalan kaki atau melakukan pekerjaan rumah.

Turunkan berat badan saat merencanakan kehamilan dengan menjalani pola makan sehat secara
permanan. Langkah ini juga akan memberikan manfaat jangka panjang, seperti memiliki jantung
sehat.

PENYAKIT JANTUNG

Wanita hamil sangatlah rentan terhadap berbagai gangguan kesehatan yang dapat membahayakan
nyawanya dan anaknya. Salah satunya tekanan pada jantung dan sistem sirkulasi. Ini tidak
membahayakan bayi yang akan dilahirkan, namun juga dapat menyebabkan komplikasi serius bagi
sang ibu.
Saat hamil, volume darah ibu biasanya akan bertambah 30-50% untuk memberikan nutrisi bagi
janin. Ini berarti jantung harus bekerja lebih keras. Jantung wanita hamil harus bekerja dua kali
lipat untuk mengedarkan darah ke tubuh ibu dan janinnya. Bahkan ibu yang sehat pun dapat
mengalami gangguan jantung saat hamil. Proses pembukaan rahim dan melahirkan dapat
menyebabkan tekanan berlebih pada jantung. Tekanan darah dan peredaran darah juga akan
berubah drastis. Setelah bayi lahir, otot jantung juga dapat tertekan karena berkurangnya peredaran
dan tekanan darah.

Wanita yang sebelumnya sudah memiliki penyakit jantung dapat mengalami komplikasi, gejala,
dan tanda-tanda yang lebih parah saat hamil, pembukaan rahim, dan persalinan.

Beberapa gangguan jantung yang biasanya dialami oleh wanita hamil adalah:

Wanita hamil biasanya memiliki detak jantung yang abnormal. Karena tubuhnya memang
mengalami perubahan dalam memompa darah ke jantung, hal ini merupakan kondisi yang normal
dan tidak perlu dikhawatirkan.

Gagal jantung kongestif adalah kondisi yang jarang terjadi, namun dapat membahayakan apabila
sang ibu rentan terkena kondisi ini. Pada gagal jantung kongestif, perubahan volume dan tekanan
darah akan menyebabkan jantung melemah. Apabila hal ini terjadi, peredaran darah ke seluruh
tubuh akan melambat dan tubuh tidak dapat memberikan nutrisi serta oksigen yang cukup ke organ
tubuh. Otot jantung dapat tertarik, menebal, atau menjadi kaku, sehingga tidak dapat memompa
darah dengan baik. Gagal jantung kongestif dapat menyebabkan bertambahnya jumlah cairan dan
garam yang disimpan dalam tubuh wanita yang hamil. Penyakit ini juga menyebabkan penimbunan
cairan di paru-paru, kaki, lengan, pergelangan kaki, dan telapak kaki.

Kelainan jantung bawaan dapat diperburuk oleh tekanan dan peredaran darah yang meningkat pada
wanita hamil. Wanita yang memiliki gangguan jantung sejak lahir dapat melahirkan bayi dengan
kelainan yang sama. Mereka juga berisiko melahirkan terlalu dini (prematur).

Katup jantung yang tidak bekerja maksimal akibat cacat atau luka juga dapat meningkatkan risiko
endokarditis. Endokarditis adalah infeksi pada katup jantung dan endokardium, yang melapisi
bagian dalam jantung.

Kardiomiopati peripartum adalah penyakit langka yang dapat terjadi pada wanita hamil. Penyakit
ini juga dapat terjadi tidak lama setelah bayi lahir. Jantung pasien tidak dapat beradaptasi dengan
meningkatnya peredaran dan tekanan darah dalam tubuh, sehingga otot jantung bertambah lemah.
Seiring berjalannya waktu, otot jantung akan membesar agar dapat menyesuaikan dengan volume
darah yang bertambah banyak.

Beberapa penyakit kardiovaskular dapat sangat mengganggu kesehatan pasien wanita, sehingga
mereka disarankan untuk menghindari kehamilan. Bahkan penyakit yang umum seperti hipertensi
(tekanan darah tinggi) pun dapat memengaruhi ventrikel kanan jantung dan arteri di paru-paru.

Penyebab Penyakit Jantung saat Hamil

Tubuh wanita yang sedang hamil akan mengalami perubahan untuk memberikan keamanan,
kenyamanan, dan nutrisi bagi bayi yang ia kandung. Sistem kardiovaskular adalah salah satu
bagian tubuh yang dapat mengalami perubahan, sehingga memengaruhi kesehatan kardiovaskular
dan tubuh wanita secara keseluruhan. Sistem sirkulasi dan kardiovaskular akan mulai berubah
sejak trimester pertama, biasanya memuncak saat trimester kedua, dan memasuki fase plateau pada
trimester ketiga. Tubuh akan kembali berfungsi seperti biasa setelah persalinan.

Saat hamil, volume darah dalam tubuh akan bertambah sampai 50 persen untuk memberikan
oksigen dan nutrisi bagi janin. Oleh karena itu, jantung wanita hamil juga harus meningkatkan
kecepatan dan tekanannya. Detak jantung wanita hamil biasanya bertambah cepat 10-15 kali per
menit. Jantung yang dipaksa untuk bekerja lebih keras lama kelamaan dapat mengalami gangguan
yang serius.

Posisi janin di dalam rahim juga dapat memengaruhi sistem sirkulasi dan kardiovaskular sang ibu.
Janin dapat mengganggu pembuluh darah dalam mengedarkan darah ke seluruh tubuh. Tekanan
darah sang ibu juga akan terus berubah selama berbagai tahap kehamilan. Tekanan darah dapat
sangat meningkat atau menurun, sehingga menyebabkan gangguan kardiovaskular.

Proses pembukaan rahim juga dapat menyebabkan gangguan jantung bagi ibu. Perubahan detak
jantung, jumlah darah yang dipompa jantung (cardiac output), volume darah, dan tekanan darah
biasanya akan terjadi dengan sangat cepat, sehingga menyebabkan tekanan pada jantung dan
pembuluh darah.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan risiko penyakit jantung saat kehamilan adalah: *
Obesitas * Riwayat anggota keluarga yang memiliki penyakit jantung, terutama miokarditis atau
peradangan otot jantung * Kekurangan nutrisi sebelum dan saat hamil * Konsumsi alkohol
berlebihan * Ada lebih dari satu janin di dalam kandungan * Hamil saat berusia lebih dari 30 tahun

Gejala Utama Penyakit Jantung saat Hamil

Penyakit jantung saat hamil dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala berikut:

Palpitasi

 Detak jantung yang bertambah cepat


 Selalu merasa lelah
 Pembengkakan pada kaki, tangan, pergelangan kaki, dan lengan akibat bertambahnya
jumlah cairan dan garam yang disimpan di dalam tubuh
 Sering buang air kecil pada malam hari
 Sesak napas, bahkan saat tidak sedang melakukan aktivitas berat
 Siapa yang Perlu Ditemui dan Jenis Pengobatan yang Tersedia
 Bagi pasien yang kesehatannya baik dan baru saja melahirkan, cardiac output, volume
darah, dan tekanan darah akan kembali normal dalam 2-6 minggu setelah persalinan.

Semua masalah yang berkaitan dengan kehamilan akan ditangani oleh dokter kandungan. Dalam
kasus di mana seorang wanita terkena penyakit jantung saat hamil, dokter kandungan dapat
bekerjasama dengan dokter spesialis kardiologi, yang memiliki spesialisasi dalam diagnosis dan
pengobatan penyakit jantung.

Obat-obatan dapat diberikan bagi pasien, namun harus dengan mempertimbangkan bagaimana
obat tersebut akan memengaruhi bayi. Obat-obatan diharapkan dapat menangani gejala penyakit
jantung serta mencegah agar penyakit tidak memburuk dan membahayakan kesehatan ibu dan
bayi.

ASMA

Penyakit asma dapat dibagi dalam asma ringan, sedang, dan berat. Gejala serangan asma pada
orang dewasa biasanya berupa sesak dan batuk. Sering kali sesak napas disertai dengan bunyi
mengi karena penyempitan pipa saluran napas. Udara yang keluar-masuk pipa saluran napas
menjadi terganggu sehingga penderita merasa sesak. Jika sesak hebat penderita harus bernapas
dengan dibantu otot-otot bantu napas, gerakan otot ini dapat terlihat di sekitar leher. Jika terjadi
serangan asma berat, penderita akan lelah, bicara kurang lancar, bahkan jika semakin berat lagi
penderita dapat menjadi tidak sadar. Karena itu, setiap penderita asma harus memahami
penyakitnya serta obat yang akan dipakai.

Pada asma kronik yang menetap, penderita perlu mengonsumsi obat asma secara terus- menerus.
Obat yang sekarang banyak dipakai adalah obat hirup. Obat hirup asma mengandung dua macam
zat. Jika kedua macam obat ini digunakan, maka gejala sesak akan menghilang. Obat pertama
bersifat bronkodilator yang fungsinya melebarkan pipa saluran napas yang menyempit. Adapun
obat yang kedua merupakan obat antiinflamasi yang akan memengaruhi selaput lendir pipa saluran
napas. Obat ini akan memperbaiki inflamasi pada selaput lendir pipa saluran napas, tetapi di
samping itu juga dapat mengurangi kepekaan pipa saluran napas.

Pipa saluran napas penderita asma mudah terangsang, baik oleh bahan yang bersifat alergi maupun
polutan. Rangsangan tersebut akan menyebabkan penyempitan pipa saluran napas. Jika obat
antiinflamasi yang biasanya mengandung steroid ini digunakan secara teratur, maka dalam jangka
panjang akan mengurangi kepekaan pipa saluran napas. Kepekaan pipa saluran napas penderita
asma dapat hampir menyerupai penderita bukan asma. Obat bronkodilator digunakan biasanya
untuk mengatasi serangan asma, sedangkan obat antiinflamasi untuk mengurangi risiko serangan
asma karena kepekaan pipa saluran napas penderita asma telah hampir sama dengan orang yang
bukan penderita asma.

Obat hirupan

Obat asma dalam bentuk hirupan lebih disukai karena obat ini bekerja cepat. Setelah digunakan
dalam beberapa menit sudah terasa manfaatnya. Adapun obat minum biasanya memerlukan waktu
karena harus dicerna terlebih dahulu, setelah itu masuk peredaran darah dan baru dibawa ke pipa
saluran napas. Dosis obat hirup juga lebih kecil dibandingkan obat minum.

Sekarang bahkan sudah tersedia obat hirupan campuran, yaitu campuran obat bronkodilator dan
antiinflamasi. Lebih praktis karena tidak perlu membawa dua macam obat terpisah, juga harganya
menjadi lebih ekonomis daripada obat terpisah. Namun, untuk menggunakan obat hirupan
diperlukan cara yang benar agar yang harus dihirup tersebut dapat masuk pipa saluran napas
dengan baik. Jika pemakaiannya salah, obat hanya akan menumpuk di rongga mulut dan sedikit
saja yang terhirup. Dokter atau apoteker dapat menunjukkan cara menggunakan obat asma hirupan
yang benar.

Faktor pencetus serangan asma dapat berupa alergen, polutan, infeksi saluran napas terutama
karena virus, kelelahan, dan beberapa obat yang dapat mencetuskan serangan asma. Faktor psikis
sebenarnya lebih memperberat serangan asma. Kehamilan dapat memperburuk keadaan penyakit
asma, dapat juga memperbaiki atau ada juga yang tidak memengaruhi asma. Namun, pengobatan
dan pencegahan serangan asma pada kehamilan lebih kurang sama dengan orang yang tidak hamil.
Sudah tentu jika menggunakan obat minum harus dipilih yang aman bagi kehamilan.

Obat asma hirupan umumnya aman digunakan pada kehamilan. Penderita asma yang hamil dapat
melahirkan dengan cara biasa (pervaginam) atau dengan operasi Sectio Caesaria. Penting untuk
dijaga agar penderita asma yang hamil terbebas dari serangan asma, bahkan kita usahakan agar
fungsi parunya dalam keadaan baik. Untuk mengukur fungsi paru dapat dilakukan dengan alat
spirometri. Namun, sekarang tersedia sistem skoring untuk menilai apakah asma sudah dalam
keadaan terkendali total. Sistem skoring ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang mudah
dijawab. Sesuai dengan jawaban, maka dapat dinilai apakah asma sudah terkendali total atau
belum. Jika asma belum terkendali total, maka dosis obat asma hirupan dapat dinaikkan. Jika kita
mampu mencapai keadaan asma terkendali total, maka penderita asma dapat melakukan kegiatan
yang sama dengan individu yang tidak menderita asma.

Memang benar risiko asma pada anak yang lahir dari ibu yang menderita asma lebih besar. Namun,
tidak berarti bahwa jika Anda asma, maka anak Anda juga akan menderita asma. Dulu ibu yang
menderita asma dianjurkan untuk menghindari berbagai makanan agar anaknya tidak menderita
asma, tetapi sekarang upaya tersebut dianggap tidak memberikan hasil sehingga ibu hamil tidak
perlu membatasi diri dari makanan. Apalagi ibu hamil memerlukan tambahan gizi agar janinnya
tumbuh baik. Namun, mencegah ibu hamil dari paparan rokok dianggap penting begitu pula
pemberian ASI eksklusif agar anak terhindar dari penyakit alergi.

HIV/AIDS

Pasien yang terinfeksi HIV, sebanyak 15-40% memiliki kemungkinan menularkan infeksi kepada
si Kecil yang baru lahir melalui plasenta atau saat proses persalinan dan melalui ASI. Ibu yang
tidak mendapatkan obat terapi HIV, memiliki resiko 80% menular pada usia kehamilan lanjut
(diatas 36 minggu), saat persalinan, dan postpartum. Sedangkan, resiko penularan berkurang
menjadi 2% selama trimester I dan II kehamilan.

Infeksi HIV meningkatkan insidensi gangguan pertumbuhan janin dan persalinan prematur pada
Ibu yang disebabkan penurunan kadar CD4 dan penyakit yang berkelanjutan. Namun, tidak
ditemukan hubungan kelainan kongenital dengan infeksi HIV4.

Sifilis

Sifilis atau penyakit raja singa disebabkan oleh virus Treponema Pallidum. Penyakit ini ditularkan
melalui kontak langsung atau hubungan seksual, melalui plasenta, serta tranfusi darah. Sifilis dapat
ditularkan saat persalinan, tetapi sebagian besar sifilis kongenital ditularkan melalui plasenta5.

Sifilis bisa menyebabkan keguguran, kematian saat lahir, atau sindrom sifilis kongenital. Sindrom
sifilis kongenital dibagi menjadi dua, yaitu sifilis kongenital dini dan lanjut. Sifilis kongenital dini
jika terjadi pada si Kecil berusia kurang dari 2 tahun, meliputi pertumbuhan rahim yang terhambat,
misalnya lahir dengan berat badan rendah, kelainan kulit, kelainan tulang, kelainan organ-organ
dalam, kelainan mata, hingga kelainan darah. Sedangkan, sifilis kongenital lanjut ditandai dengan
gigi seri yang tidak datar menyerupai gergaji, terdapat kabut putih di kornea mata, dan gejala
ketulian5.

Rubella

Penyakit Rubella atau dikenal dengan campak jerman, disebabkan oleh virus Rubella. Penyakit
rubella ditularkan melalui saluran nafas. Virus ini memberikan dampak berbahaya pada si Kecil
karena bersifat teratogenik, yaitu mampu mengganggu perkembangan janin bahkan
menghancurkannya.

Rubella menyebabkan demam, ruam pada kulit, batuk, nyeri sendi, nyeri kepala, pembersaran
kelenjar getah bening di daerah telinga atau belakang kepala5.
Pada masa kehamilan, virus Rubella bisa menyebabkan keguguran atau sindroma rubella
kongenital. Sindroma rubella kongenital terjadi sekitar 25% pada trimester pertama, turun menjadi
1% pada trimester kedua dan keatas. Sindroma rubella kongenitalmenyebabkan pertumbuhan janin
yang terhambat, gangguan pendengaran, kelainan jantung, gangguan mata seperti katarak,
retinopati, gangguan sistem saraf pusat, pembesaran hati dan limpa, sampai retardasi mental5

CMV (Citomegalovirus)

Infeksi citomegalovirus disebabkan oleh citomegalovirus, yang termasuk dalam golongan virus
herpes. Infeksi ini menular melalui kontak antar manusia. Gejala dari infeksi CMV adalah demam
yang tidak teratur selama tiga minggu atau lebih. Penyakit ini juga dapat menyebabkan keguguran,
kebutaan, radang hati, radang paru-paru, bahkan kerusakan otak5.

Herpes Simpleks Tipe II

Virus Herpes Simpleks tipe II menyebabkanlesipada area genital dan sekitarnya, seperti bokong,
anus, dan paha. Virus herpes simpleks ditularkan melalui kontak langsung pada hubungan seksual,
atau dari Ibu ke janin saat di dalam kandungan maupun saat persalinan.

Virus Herpes Simpleks bisa menular melalui plasenta sampai ke sirkulasi fetal dan menimbulkan
kerusakan atau kematian janin. Infeksi neonatal dengan angka mortalitas 60%, dan menyebabkan
setengah dari yang hidup menderita cacat bawaan dan kelainan pada mata.

Selain infeksi di atas, masih banyak infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme lain yang dapat
berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya infeksi saluran kencing, infeksi menular seksual,
infeksi paru, atau infeksi lain di tempat tertentu. Yang perlu Ibu lakukan untuk mencegah dan
mendeteksi awal terjadinya infeksi pada saat kehamilan adalah:

Skrining awal adanya tanda-tanda infeksi mulai saat merencanakan kehamilan, seperti
pemeriksaan TORCH, HIV, infeksi menular seksual.
Lengkapi imunisasi sedini mungkin seperti MMR, Hepatitis B, dan DPT karena beberapa vaksin
tidak boleh diberikan saat hamil.

Kontrol kandungan secara teratur, baik di bidan, dokter umum, atau dokter spesialis kandungan.

Menjaga kebersihan diri dan lingkungan

Menjaga kebersihan makanan dan minuman yang dikonsumsi

Melakukan hubungan seksual dan dengan satu pasangan yang aman

Segera periksakan ke dokter jika Ibu menemui tanda-tanda infeksi seperti di atas atau memiliki
faktor risiko infeksi.

Kenali virus TORCH sejak dini selama masa kehamilan agar Ibu dapat melakukan tindakan
pencegahan dan pengobatan lebih dini agar tidak berdampak pada kesehatan Ibu dan si Kecil.

Anda mungkin juga menyukai