Anda di halaman 1dari 30

  1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang


Infeksi parasit usus merupakan penyakit endemis global terutama di negara
berkembang dan merupakan penyebab morbiditas terbesar di seluruh dunia.
Infeksi parasit usus yang paling sering adalah cacing yang di transmisikan melalui
tanah yaitu Soil Transmitted Helminth, dimana yang banyak terdapat di Indonesia
terdiri dari Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) terutama pada lingkungan
dengan sanitasi yang buruk1. Selain Soil Transmitted Helminth, cacing kremi
(Enterobius vermicularis) merupakan penyebab infeksi parasit pada manusia yang
paling sering di dunia2.
Prevalensi Soil Transmitted Helminth menurut laporan WHO, menunjukkan
bahwa lebih dari 2 miliar orang terinfeksi oleh Soil Transmitted Helminth. Sekitar
42% anak-anak di dunia yang membutuhkan pengobatan untuk infeksi Soil
Transmitted Helminth berada di Asia Tenggara. Sekitar 64% berasal dari India,
15% dari Indonesia dan 13% dari Bangladesh3. Prevalensi Enterobius
vermicularis menginfeksi 400 miliar orang di dunia4. Prevalensi cacingan di
Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi yaitu bervariasi antara 2,5% - 62%5.
Anak-anak usia prasekolah (1-4 tahun) dan anak usia sekolah (5-14 tahun)
merupakan kelompok risiko tinggi mengalami infeksi Soil Transmitted Helminth
karena sering terpapar ke tanah yang terkontaminasi, anak-anak pada umumnya
kurang kesadaran akan higienitas diri yang baik. Selain itu, anak-anak dalam
periode perkembangan fisik yang intens dan metabolisme tubuh yang cepat yang
menyebabkan peningkatan kebutuhan status nutrisi dan dalam periode
3,6
perkembangan kognitif .   Pada Enterobius vermicularis dapat mengenai semua
umur tetapi kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia 5-9 tahun7. Hal ini
disebabkan oleh pada anak-anak masih kurangnya pengetahuan dan perilaku
hygiene, serta kebiasaan anak seperti suka menghisap ibu jari, menggigiti kuku,
dan menggaruk anus berkaitan dengan kejadian infeksi karena Enterobiasis
vermicularis8. Penularan dapat terjadi pada kelompok yang hidup dalam suatu
  2  

lingkungan yang sama (asrama, rumah piatu)7, hal ini disebabkan oleh penularan
dapat terjadi melalui telur yang ada di alas tempat tidur, sarung bantal, ataupun
pada benda terkontaminasi, serta inhalasi debu yang mengandung telur2.
Infeksi cacing usus yang disebabkan oleh Soil Transmitted Helminth (STH)
pada anak menyebabkan malnutrisi, anemia, menurunnya kesehatan jasmani, dan
menurunkan selera makan sehingga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan
serta dapat menyebabkan penurunan kemampuan kognitif9. Infeksi cacing yang
disebabkan oleh Enterobius vermicularis pada anak menyebabkan menyebabkan
pruritus ani, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka
garuk di sekitar anus yang dapat diikuti oleh infeksi sekunder oleh bakteri, bila hal
ini tidak segera diatasi, akan berakibat terjadinya gangguan pertumbuhan pada
anak. Selain itu, anak menjadi penggugup, mimpi yang menakutkan (nightmare)
dan anak juga jadi lebih irritable2,7.    
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
  3  

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.   Soil Transmitted Helminth


Soil Transmitted Helminth adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya
membutuhkan tanah untuk proses pematangan dari stadium non-inefektif menjadi
stadium inefektif. Termasuk dalam kelompok ini yaitu Ascaris lumbricoides
(cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), dan Ancylostoma duodenale
atau Necator americanus (cacing tambang)11.

2.1.1.   Jenis Cacing


2.1.1.1.   Ascaris lumbricoides
a.   Epidemiologi
Ascaris lumbricoides dijumpai di seluruh dunia dan diperkirakan 1,3 milyar
orang pernah terinfeksi dengan cacing ini. Di Indonesia frekuensinya 60-90%.
Sering juga dijumpai infeksi campuran, terutama Trichuris trichiura. Lebih sering
pada daerah tropis dan sanitasi yang masih belum baik. Dapat mengenai seluruh
lapisan masyarakat, dan prevalensi tertinggi di daerah tropis adalah pada usia 3-8
tahun. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah
dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di
tempat pembuangan sampah. Di negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja
sebagai pupuk. Pencemaran tanah oleh telur cacing lebih sering disebabkan oleh
tinja anak 2,7,12.

b.   Siklus Hidup
Cacing dewasa hidup di dalam lumen usus halus. Cacing Ascaris betina yang
dewasa memiliki kesuburan yang luar biasa dan setiap ekor cacing dapat
menghasilkan sampai 200.000 butir telur sehari yang akan diekskresikan ke dalam
feses penderita. Telur Ascaris yang sangat resisten terhadap stres lingkungan
karena memiliki mamillated outer coat yang menyebabkan partikel tanah melekat
  4  

pada dinding telur yang dapat melindungi dari kerusakan. Telur ini akan berubah
menjadi larva yang inefektif 18 hari sampai beberapa minggu apabila didukung
oleh kondisi yang menguntungkan seperti udara yang hangat, lembab dengan suhu
25-30oC, tanah yang terlindung dari matahari, setelah mencapai maturitasnya di
dalam tanah dan menjadi larva yang inefektif selama waktu bertahun-tahun
disebut second-stage larva. Setelah telur cacing yang inefektif ini tertelan
memalui lintasan fekal-oral, larva yang menetas di dalam duodenum akan
menginvasi mukosa usus menuju venula mesenterika, bermigrasi lewat sirkulasi
portal, kemudian ke jantung kanan melalui pembuluh darah kecil paru, menembus
ke dalam alveoli dan menjadi larva yang matur di paru 10-14 hari, berjalan naik
ke bronkiolus menuju bronkus, trakea, epiglotis dan akhirnya ditelan kembali ke
turun ke esofagus dan dalam usus halus tempat larva cacing tersebut berkembang
menjadi cacing dewasa. Antara infeksi awal dan produksi telur cacing diperlukan
masa interval antara 2 dan 3 bulan. Cacing dewasa akan hidup selama kurang
lebih 1 hingga 2 tahun2. Siklus hidup Ascaris lumbricoides ditunjukkan pada
gambar 2.1.

Gambar 2.1. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides12


  5  

c.   Morfologi Cacing
1.  Cacing jantan berukuran 10-31 cm, ekor melingkar, memiliki 2 spikula.
2.  Cacing betina berukuran 25-35 cm, ekor lurus, pada 1/3 bagian anterior
memiliki cincin kopulasi.
3.  Mulut terdiri atas tiga buah bibir.
4.  Telur yang dibuahi berukuran ± 60 x 45 mikron, berbentuk oval, berdinding
tebal dengan 3 lapisan dan berisi embrio.
5.  Telur yang tidak dibuahi berukuran ± 90 x 40 mikron berbentuk bulat lonjong
atau tidak teratur, dindingnya terdiri atas 2 lapisan dan dalamnya bergranula.
6.  Telur ditandai dengan adanya mamillated outer coat_ dan thick hyaline shell.
7.  Telur decoticared, telurnya tanpa lapisan albuminoid yang lepas karena
proses mekanik13.

Gambar 2.2. Cacing Ascaris lumbricoides Dewasa (Makroskopis)13

Gambar 2.3. Telur Ascaris lumbricoides yang Dibuahi13


  6  

Gambar 2.4.Telur Ascaris lumbricoides yang Tidak Dibuahi13

d.   Patofisiologi
Gejala dapat disebabkan oleh migrasi larva dan cacing dewasa. Pada migrasi
larva organ yang sering dikenai adalah paru. Hal ini terjadi sewaktu larva
menembus pembuluh darah untuk masuk ke dalam alveoli paru. Pada infeksi yang
ringan, trauma yang terjadi bisa berupa perdarahan (petechial hemorrhage),
sedangkan pada infeksi yang berat, kerusakan jaringan paru dapat terjadi,
sejumlah kecil darah mungkin menggumpal di alveoli dan bronkhiol yang kecil
mengakibatkan terjadinya edem pada paru. Semua hal ini disebut pneumonitis
Ascaris. Pneumonitis Ascaris disebabkan oleh karena proses patologis dan reaksi
alergi terhadap protein Ascaris2.
Gejala yang timbul pada saat cacing dewasa di usus halus terjadi pada saat
proses peradangan di dinding usus, cacing ini menyebabkan hiperperistaltik,
sehingga terjadi diare pada anak, selain itu juga menimbulkan rasa tidak enak di
perut, kolik akut pada daerah epigastrium, gangguan selera makan2. Pada infeksi
yang berat dapat menyebabkan perut buncit, lesu, rambut jarang berwarna merah
serta kurus, apalagi jika anak tersebut sudah mengalami undernutrisi sebelumnya.
Hal ini disebabkan oleh setiap 20 cacing dewasa, per hari akan merampas 2,8
gram karbohidrat dan 0,7 gram protein10. Selain itu, adanya Ascaris lumbricoides
dalam usus halus dapat menyebabkan kelainan mukosa usus, berupa proses
peradangan pada dinding usus, pelebaran dan memendeknya villi, bertambah
panjangnya kripta, menurunnya rasio villus kripta dan infiltrasi sel bulat ke lamina
propria, yang berakibat pada gangguan absorpsi makanan. Sebagian kelainan ini
dapat kembali normal bila cacing dikeluarkan. Efek langsung yang terukur akibat
kelainan mukosa usus halus ialah meningkatnya nitrogen dalam tinja, steatorhea
  7  

karena terjadi gangguan absorpsi lemak, gangguan absorbsi karbohidrat.


Gangguan absorpsi vitamin A dapat terjadi pada anak yang menderita askariasis.
Kekurangan vitamin A dapat menghambat pertumbuhan sel, termasuk sel tulang,
dan dapat mengganggu sel yang membentuk email serta dentin pada gigi9.
Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan pada saat cacing menjadi
dewasa di dalam usus halus, yang mana hasil metabolisme cacing dapat
menimbulkan sensasi seperti urtikaria, asma bronkial, konjungtivitis akut,
fotofobia dan terkadang hematuria. Eosinofilia 10% atau lebih sering pada infeksi
Ascaris lumbricoides, tetapi hal ini tidak dapat menggambarkan beratnya penyakit,
tetapi lebih banyak menggambarkan proses sensitasi dan eosinofilia ini tidak
patognomosis untuk infeksi Ascaris lumbricoides2.
Bila cacing dewasa menjalar ke tempat lain (migrasi), cacing dapat
bermigrasi dan menyebabkan muntah cacing, yang akan dapat menimbulkan
penyumbatan saluran nafas oleh cacing dewasa. Pada keadaan lain dapat terjadi
ileus oleh karena sumbatan pada usus oleh massa cacing, ataupun apendisitis
sebagai akibat masuknya cacing ke dalam lumen apendiks. Bisa dijumpai
penyumbatan ampulla Viteri ataupun saluran empedu dan terkadang masuk ke
jaringan hati 2.

e.   Gejala Klinis
Bergantung pada banyaknya cacing dalam tubuh, dapat asimtomatik atau
simtomatik. Gejala klinis selama fase paru dari migrasi larva, sekitar 9 hingga 12
hari sejak telur cacing termakan, pasien dapat mengalami batuk yang
nonproduktif serta iritatif, dan mengeluhkan rasa panas di daerah substernal yang
bertambah parah waktu batuk atau melakukan inspirasi dalam. Pada infeksi berat
dapat terjadi pneumonitis Ascaris berupa peningkatan temperatur sampai
39,5-40oC, pernafasan cepat dan dangkal (tipe asmatik), batuk kering atau
berdahak (ditandai dengan kristal Charcot-Leyden), ronkhi atau wheezing tanpa
krepitasi yang berlangsung 1-2 minggu, eosinofilia transien, infiltrat pada
gambaran radiologi (sindroma Loefller) sehingga diduga sebagai pneumoni viral
atau tuberkulosis. Gejala yang timbul pada saat cacing dewasa berada di usus
yaitu yang paling menonjol adalah rasa tidak enak di perut, kolik akut pada daerah
  8  

epigastrium, gangguan selera makan dan diare. Pada infeksi yang berat dapat
menyebabkan perut buncit, lesu, rambut jarang berwarna merah serta kurus. Dapat
juga menimbulkan sensasi seperti urtikaria, asma bronkial, konjungtivitis akut,
fotofobia dan terkadang hematuria. Apabila terjadi migrasi cacing dapat
menimbulkan gejala muntah cacing, ileus, dan apendisitis 2.

f.   Diagnosis
Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja secara
langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis. Selain itu, diagnosis
dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung
karena muntah maupun melalui tinja7.
Pemeriksaan parasitologi dari sampel tinja untuk melihat telur cacing yang di
rekomendasikan WHO adalah teknik Kato-Katz, penghitungan jumlah telur
memberikan informasi tentang derajat infeksi. Sampel sebaiknya dikumpulkan
pada pagi hari dan di proses serta di periksa pada sore hari 3. Pada teknik ini feses
sebelumnya akan di saring menggunakan kawat kassa dan hasil saringan tersebut
dicetak pada karton yang telah dibolongi tengahnya, kemudian ditutup
menggunakan cellophane tape yang direndam dalam larutan Malachite Green 3%
selama 24 jam sebelumnya sebagai pengganti kaca tutup10. Pemeriksaan
mikroskop paling baik dilakukan 1 jam setelah persiapan sampel feses di slide.
Pada Ascaris lumbricoides infeksi ringan jika ditemukan 1-4999 eggs per gram
(epg), infeksi sedang jika ditemukan 5000-49999 epg, dan infeksi berat jika ≥
50000 epg 3.

g.   Tata Laksana
Obat-obatan yang paling sering digunakan adalah albendazol dan
mebendazol, sedangkan pirental pamoat merupakan alternatif2,7. Dosis obat
sebagai berikut.
1.   Albendazol, pada anak usia di atas 2 tahun diberikan dengan dosis 400
mg atau 20 ml suspensi berupa dosis tunggal. Sedangkan anak dibawah 2
tahun diberikan separuhnya2,7.
  9  

2.   Mebendazol, dosis 100 mg, dua kali sehari, diberikan selama tiga hari
berturut-turut2,7.
3.   Pirental pamoat, dosis 10 mg/kgBB/ hari, dosis tunggal memberikan hasil
yang memuaskan2,7
4.   Oksantel-pirental pamoat, dosis 10 mg/kgBB, dosis tunggal memberikan
hasil yang baik. Dapat digunakan untuk infeksi campuran Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura2,7.

h.   Prognosis
Pada umumnya askariasis mempunyai prognosis baik. Dengan pengobatan,
angka kesembuhan 70-99%. Perlu diperhatikan perbaikan sanitasi dan kebersihan
pribadi serta lingkungan yang sangat mempunyai arti dalam penanggulangan
infeksi cacing gelang ini 2,7.
.
2.1.1.2.   Trichuris trichiura
a.   Epidemiologi
Cacing ini ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), terutama ditemukan di
daerah panas dan lembab, seperti di Indonesia. Di daerah dengan endemisitas
yang tinggi, anak kecil sering terinfeksi berat. Pada saat ini infeksi sering
dijumpai pada anak usia sekolah. Pencemaran tanah oleh telur cacing umumnya
disebabkan oleh tinja anak, hal ini terutama pada daerah dengan endemisitas yang
tinggi. Umur yang paling rentan untuk mendapat infeksi cacing ini adalah 5-15
tahun2,7.

b.   Siklus Hidup
Manusia mendapat infeksi dengan menelan telur yang inefektif. Kemudian di
duodenum larva akan keluar, menembus dan berkembang di mukosa usus halus,
sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah
kolon terutama di sekum. Siklus ini berlangsung ± 3 bulan. Cacing betina dapat
menghasilkan 2000-6000 telur setiap harinya. Telur akan keluar bersama tinja dan
menjadi inefektif di tanah yang memerlukan waktu 10-14 hari. Telur tumbuh di
tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 300C. Cacing ini dapat hidup
  10  

dalam tubuh manusia bertahun-tahun lamanya2,7. Siklus hidup Trichuris trichiura


ditunjukkan pada gambar 2.5.

Gambar 2.5. Siklus Hidup Trichuris trichiura14

c.   Morfologi Cacing
1.   Cacing jantan panjangnya ± 4 cm, bagian anterior halus seperti cambuk,
bagian ekor melingkar.
2.   Cacing betina panjangnya ± 5 cm, bagian anterior halus seperti cambuk,
bagian ekor lurus berujung tumpul.
3.   Telurnya berukuran ± 50x22 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan
kedua ujung menonjol, berdinding tebal dan berisi larva113.

 
Gambar 2.6. Telur Trichuris trichiura yang Berisi Embrio (Pembesaran 10x 40)13
 
  11  

 
 
Gambar 2.7. Cacing Trichuris trichiura Dewasa (pembesaran 10x33)13

d.   Patofisiologi
Terdapat 2 proses yang berperan dalam mekanisme timbulnya kelainan pada
manusia akibat Trichuris trichiura (cacing cambuk), yaitu trauma oleh cacing dan
efek toksik. Trauma (kerusakan) pada dinding usus dapat tejadi oleh karena
cacing ini membenamkan bagian kepalanya pada dinding usus, hingga terjadi
trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Biasanya cacing
ini menetap di sekum2,7 .
Pada infeksi yang ringan, kerusakan dinding mukosa usus hanya sedikit.
Infeksi cacing ini memperlihatkan adanya respons imunitas humoral yang
ditunjukkan dengan adanya reaksi anafilaksis lokal yang dimediasi IgE, akan
tetapi imunitas seluler tidak terlihat. Terlihat adanya infiltrasi lokal eosinofil di
submukosa 2.
Pada infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai dengan infeksi cacing
lainnya atau protozoal mukosa. Di tempat perlekatannya akan mudah berdarah
sehingga menyebabkan perdarahan kronis dan menimbulkan kehilangan darah
kira-kira 0,25 ml setiap seribu telur yang terdapat dalam 1 g tinja11. Selain itu
cacing ini juga mengisap darah hospesnya sebanyak 0,005 ml darah per hari,
sehingga dapat menyebabkan anemia9. Pada infeksi yang sangat berat, cacing
tersebar keseluruh colon dan rectum kadang terlihat pada mukosa rektum yang
prolaps akibat sering mengedan waktu defekasi7.
Efek infeksi Trichuris trichiura dapat menyebabkan menurunnya insulin like
growth faktor (IGF-1) suatu hormon pertumbuhan bersifat anabolik yang
berfungsi pada pertumbuhan skeletal dan hematopoesis. Plasma IGF-1 meningkat
pada masa anak dan mencapai puncaknya pada pubertas7.
  12  

e.   Gejala Klinis
Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama
sekali tanpa gejala namun dapat menunjukkan gejala anak menjadi gugup, susah
tidur, nafsu makan menurun, bisa dijumpai nyeri epigastrik atau nyeri perut,
muntah atau konstipasi, perut kembung, buang angin 2.
Infeksi berat dan menahun menunjukkan gejala disentri (trichuris dysentry
syndrome) yaitu tinja yang bergaris merah darah, lendir, nyeri perut, tenesmus
(nyeri sewaktu buang air besar), serta dapat menimbulkan anemia. Pada infeksi
yang sangat berat dapat terjadi prolaps rekti 2. Anak yang terinfeksi Trichuris
dapat mengalami gangguan pertumbuhan9.

f.   Diagnosis
Dengan pemeriksaan tinja, dijumpai telur dalam tinja segar ataupun cacing
dewasa2.
Pemeriksaan parasitologi dari sampel tinja untuk melihat telur cacing yang di
rekomendasikan WHO adalah teknik Kato-Katz. Pada infeksi ringan jika
ditemukan 1-999 eggs per gram (epg), infeksi sedang jika ditemukan 1000-9999
epg, dan infeksi berat jika ≥ 10000 epg3.

g.   Tata Laksana
Mebendazol merupakan obat pilihan untuk Trichuris trichiura. Albendazol
merupakan obat alternative pilihan, namun efikasi untuk trichuriasis lebih rendah
dibanding mebendazole 16.
1.   Mebendazol 100 mg, dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut atau 500
mg sebagai dosis tunggal2.
2.   Albendazol, pada anak usia di atas 2 tahun diberikan dengan dosis 400
mg atau 20 ml suspensi berupa dosis tunggal. Sedangkan anak
dibawah 2 tahun diberikan separuhnya2.
3.   Gabungan Pirental-pamoat dengan Mebendazol2.
  13  

h.   Prognosis
Prognosis trichuriasis sangat baik dengan pengobatan yang tepat, namun,
tanpa edukasi dan perubahan kebiasaan, re infeksi sering terjadi16.

2.1.1.3.   Cacing Tambang


a.   Epidemiologi
Necator americanus maupun Ancylostoma duodenale ditemukan di daerah
tropis dan subtropis seperti Asia dan Afrika2. Pada umumnya prevalensi cacing
tambang berkisar 30-50% di berbagai daerah di Indonesia. N.americanus paling
banyak ditemukan di Indonesia daripada A.duodenale, hal ini disebabkan oleh
suhu optimum bagi N.americanus adalah 28°-32°C dan untuk A.duodenale sedikit
lebih rendah 23°-24°C 7. Infeksi pada manusia umumnya dapat terjadi oleh
pengaruh beberapa faktor, yaitu adanya sumber infeksi yang adekuat di dalam
populasi, kebiasaan buang air besar yang jelek yang mana tinja yang mengandung
telur cacing tambang ikut mencemari tanah, kondisi setempat yang
menguntungkan untuk dapat terjadinya perkembangan telur menjadi larva, dan
kesempatan larva berkontak dengan manusia. Morbiditas dan mortalitas infeksi
cacing tambang terutama terjadi pada anak-anak. Intensitas meningkat sampai
usia 6-7 tahun dan kemudian stabil 2.

b.   Siklus Hidup
Telur cacing tambang terdiri dari satu lapis dinding yang tipis dan adanya
ruangan yang jelas antara dinding dan sel di dalamnya. Telur cacing tambang
dikeluarkan bersama tinja dan berkembang di tanah. Dalam kondisi kelembaban
dan temperatur yang optimal (23-33oC), telur akan menetas dalam 1-2 hari dan
melepaskan larva rhabditiform yang berukuran 250-300 µm. Setelah 2 kali
mengalami perubahan, akan terbentuk larva filariform. Perubahan dari telur ke
larva filariform adalah 5-10 hari, larva dapat bertahan hidup dalam kondisi yang
mendukung dalam waktu 3-4 minggu. Kemudian larva menembus kulit manusia
dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit kemudian masuk ke sirkulasi melalui
pembuluh vena ke jantung kemudian ke alveoli. Setelah itu larva bermigrasi ke
saluran nafas atas yaitu bronkiolus ke bronkus, trakea, faring, kemudian tertelan,
  14  

turun ke esofagus dan menjadi dewasa di usus halus. Manusia mendapat infeksi
dengan cara tertelan larva filariform ataupun dengan cara larva filariform
menembus kulit. Pada Necator americanus, infeksi melalui kulit lebih disukai,
sedangkan pada Ancylostoma duodenale infeksi lebih sering terjadi dengan
tertelan larva. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus yang cara
infeksinya dengan menelan larva, maka cacing ini tidak mempunyai siklus di paru
2
. Siklus hidup cacing tambang ditunjukkan pada gambar 2.8.

Gambar 2.8. Siklus Hidup Cacing Tambang15

c.   Morfologi Cacing
1.   Telur Cacing Tambang
a)  Telurnya berukuran ± 70x45 mikron
b)  Bentuknya bulat lonjong, berdinding tipis, kedua kutub mendatar.
c)  Di dalamnya terdapat beberapa sel13.

Gambar 2.9. Telur Cacing Tambang (Pembesaran 10x40)13


  15  

2.   Larva Cacing Tambang


a)   Larva rabditiform panjang ± 250 mikron, dengan lebar 15-20 mikron, rongga
mulut panjang dan sempit, esofagus dengan dua bulbus dan menempati 1/3
panjang badan bagian anterior.
b)   Larva filariform panjangnya ± 500 mikron, ruang mulut tertutup, esofagus
menempati 1/4 panjang badan bagian anterior13,15.

Gambar 2.10. Larva Rabditiform (Pembesaran 10x40)13.

Gambar 2.11. Larva Filariform (Pembesaran 10x10)13.


.

3.   Ancylostoma duodenale
a)   Panjang badannya ± 1 cm, menyerupai huruf C.
b)   Di bagian mulutnya terdapat dua pasang gigi.
c)   Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks pada bagian ekornya.
d)   Cacing betina ekornya runcing13.
  16  

Gambar 2.12. Cacing Ancylostoma duodenale Dewasa (Makroskopik)13

Gambar 2.13. Mulut Ancylostoma duodenale (Pembesaran 10x20)13

4.   Necator americanus
d)   Panjang badannya ± 1 cm, menyerupai huruf S.
e)   Bagian mulutnya mempunyai benda kitin.
f)   Cacing jantang mempunyai bursa kopulatrik pada bagian ekornya.
g)   Cacing betina ekornya runcing.

Gambar 2.14. Cacing Necator americanus Dewasa (Makroskopik)13

Gambar 2.15. Mulut Necator americanus (Pembesaran 10x20)13


  17  

d.   Patofisiologi
Terdapat dua stadium pada patofisiologi cacing tambang, yaitu
1.   Stadium larva
Pada stadium larva sewaktu menembus kulit, bakteri piogenik dapat terikut
masuk pada saat larva menembus kulit, menimbulkan rasa gatal pada kulit
(ground itch)2.
2.   Stadium dewasa
Timbulnya gejala bergantung berat ringannya infeksi, semakin berat infeksi
manifestasi klinis semakin mencolok. Cacing dewasa biasanya hidup di
sepertiga bagian atas usus halus dan melekat pada mukosa usus halus
menyebabkan gangguan gastrointestinal2.
Pada infeksi cacing tambang yang berat dan kronis akan menyebabkan
anemia hipokrom mikrositer umumnya berupa anemia defisiensi besi. Hal ini
disebabkan Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak
0.03-0.05 ml darah/cacing/hari dan Ancylostoma duodenale sebanyak 0.16-0.34
ml darah/cacing/hari. Patogenesis anemia pada infeksi cacing tambang tergantung
pada 3 faktor yaitu kandungan besi dalam makanan, status cadangan besi dalam
tubuh pasien, dan intensitas dan lamanya infeksi 2. Anemia akan makin jelas atau
berat pada orang dietnya kurang protein, karena protein diperlukan untuk
pembentukan globin (fraksi hemoglobin) 11.
Pada anak, dijumpai adanya korelasi positif antara infeksi sedang dan berat
dengan tingkat kecerdasan anak. Hal ini disebabkan oleh defisiensi zat besi dapat
menyebabkan gangguan perkembangan kognitif dan non-kognitif karena
gangguan pada enzim aldehid oksidase yang menyebabkan penumpukan serotonin,
serta enzim monoaminoksidase yang menyebabkan penumpukan katekolamin di
otak. Defisiensi zat besi juga akan menimbulkan penurunan fungsi mioglobin,
enzim sitokrom dan gliserofosfat oksidase, dimana salah satu komponen penting
dari mioglobin dan berbagai enzim adalah zat besi sehingga menyebabkan
gangguan glikolisis yang berakibat penumpukan asam laktat dan mempercepat
kelelahan otot. Pengaruh defisiensi zat besi terhadap infeksi yaitu penurunan
imunitas seluler akibat berkurangnya besi untuk enzim yang mensintesis DNA
dan enzim mieloperoksidase netrofil 17.
  18  

e.   Gejala Klinis
Gejala berdasarkan stadium yaitu, pada stadium larva dapat menimbulkan
rasa gatal pada kulit (ground itch) yang ditembus oleh larva. Sewaktu larva
melewati paru, dapat terjadi pneumonitis, tetapi tidak sesering oleh larva Ascaris
dan biasanya ringan2,7.
Pada stadium cacing dewasa dapat berupa gangguan gastrointestinal yaitu
anoreksia, mual, muntah, diare, penurunan berat badan, nyeri pada daerah sekitar
duodenum, jejunum, dan ileum. Pada infeksi kronis dan berat dapat terjadi anemia
hipokrom mikrositer yaitu anemia defisiensi besi2. Gejala umum anemia pucat,
dispnea (kesulitan bernapas), napas pendek, dan cepat lelah waktu melakukan
aktivitas jasmani, sakit kepala, pusing-pingsan, tinitus (telinga berdengung)17.
Selain itu, dijumpai adanya korelasi positif antara infeksi sedang dan berat dengan
tingkat kecerdasan anak 2.

f.   Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur ataupun cacing dewasa dalam
tinja segar. Pada kultur tinja, dijumpai larva cacing tambang2.
Pemeriksaan parasitologi dari sampel tinja untuk melihat telur cacing yang di
rekomendasikan WHO adalah teknik Kato-Katz. Pemeriksaan mikroskopik
sebaiknya dilakukan 1 jam setelah persiapan dari sampel, telur cacing tambang
yang kontak dengan gliserol dari strip selofan, menjadi transparan seiring waktu
dan dapat terabaikan. Pada infeksi ringan jika ditemukan 1-1999 eggs per gram
(epg), infeksi sedang jika ditemukan 2000-3999 epg, dan infeksi berat jika ≥ 4000
epg 3.Untuk membedakan spesies N.americanus dan A.duodenale dapat dilakukan
biakan misalnya dengan cara Harada Mori7. Metode Harada Mori memungkinkan
telur cacing dapat berkembang menjadi larva inefektif pada kertas saring basah
selama kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini akan ditemukan didalam air yang
terdapat pada ujung kantong plastik10.
  19  

g.   Tata Laksana
Bergantung pada keadaan penderita, umumnya dapat dibedakan 3 macam
pengobatan, yaitu.
1.   Memperbaiki keadaan umum (pada kasus yang berat) dengan memberikan
cukup protein dan makanan yang baik2.
2.   Pemberian obat dengan dosis obat sebagai berikut.
a)   Pirental-pamoat, dosis tunggal 10 mg/kgBB.
b)   Mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut.
c)   Albendazol, pada anak usia di atas 2 tahun dapat diberikan 400 mg atau
setara dengan 20 ml suspensi, sedangkan pada anak yang lebih kecil
diberikan dengan dosis separuhnya2.
3.   Mengatasi anemianya. Pada anemia berat (Hb < 5 g/dL) dengan keadaan
umum yang buruk, sebaiknya diberikan transfusi darah dan preparat besi
sebelum dimulai pengobatan dengan obat cacing. Bila terdapat anemia
megaloblastik, maka diberikan juga asam folat. Pada keadaan anemia berat,
tetapi keadaan umum anak cukup baik, biasanya pemberian sulfas ferosus
peroral telah mencukupi dan tidak diperlukan transfusi darah, tetapi anak
harus mendapat cukup istirahat untuk mencegah terjadinya komplikasi gagal
jantung. Dosis sulfas ferosus per oral adalah 3 x 3-5 mg/kgBB/hari,
sedangkan dosis asam folat berkisar antara 3 x 2,5 mg-25 mg/hari2,11.

h.   Prognosis
Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan
tubuh berkurang dan prestasi belajar menurun. Reinfeksi mudah terjadi jika tidak
memperbaiki keadaan sekelilingnya7,11.

2.1.2.   Program Pemerintah Penanggulangan Cacing


Program penanggulangan cacing dalam upaya reduksi cacingan pada
masyarakat terutama kelompok anak balita dan anak usia sekolah perlu dilakukan
pemberdayaan masyarakat berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
No.15 Tahun 20175.
  20  

Kegiatan meliputi promosi kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat
dilakukan melalui cuci tangan pakai sabun, menggunakan air bersih untuk
keperluan rumah tangga, menjaga kebersihan dan keamanan makanan,
menggunakan jamban sehat, dan mengupayakan kondisi lingkungan yang sehat5.
Melakukan surveilans cacingan melalui penemuan kasus cacingan, survei
faktor risiko dan survei prevalensi cacingan. Penemuan kasus cacingan dilakukan
secara aktif melalui penjaringan anak sekolah dasar atau madrasah ibtidayah dan
secara pasif melalui penemuan kasus berdasarkan laporan pasien berobat di
fasilitas pelayanan kesehatan dengan pemeriksaan sampel tinja. Survei faktor
risiko dengan menggunakan kuisoner terstruktur. Serta survei prevalensi cacingan
menggunakan metode pengambilan sampel kluster dua tahap5.
Melakukan pengendalian faktor risiko, antara lain menjaga kebersihan
perorangan dan menjaga kebersihan lingkungan. Kebersihan perorangan berupa
mencuci tangan dengan air dan sabun pada 5 waktu penting (sebelum makan,
setelah ke jamban, sebelum menyiapkan makanan, setelah menceboki anak, dan
sebelum memberi makan anak), menggunakan air bersih untuk keperluan mandi,
mengkonsumsi air yang memenuhi syarat untuk diminum, mencuci dan memasak
bahan pangan sebelum dimakan, mandi dan membersihkan badan pakai sabun
paling sedikit dua kali sehari, memotong dan membersihkan kuku, memakai alas
kaki bila berjalan di tanah dan memakai sarung tangan bila melakukan pekerjaan
berhubungan dengan tanah. Menjaga kebersihan lingkungan seperti stop buang air
besar sembarangan, membuat saluran pembuangan air limbah, membuang sampah
pada tempatnya dan menjaga kebersihan rumah, sekolah dan lingkungannya5.
Pada pengobatan massal obat yang digunakan adalah albendazol atau
mebendazol dalam bentuk sediaan tablet kunyah dan sirup. Albendazol yang
digunakan karena efektif untuk beberapa jenis cacing, praktis dalam
penggunaannya (dosis tunggal) dan efek samping relatif kecil, aman dan
terjangkau. Mebendazol juga dapat digunakan karena memiliki efektivitas yang
sama. Dosis albendazol yang digunakan adalah di atas 2 tahun dapat diberikan 1
tablet albendazol (400 mg) dosis tunggal, sedangkan pada anak usia 1-2 tahun 200
mg dosis tunggal. Obat mebendazol dapat digunakan dalam pemberian obat
pencegahan massal, dosis yang digunakan adalah 500 mg dosis tunggal.
  21  

Berdasarkan tingkat prevalensi cacingan, daerah dengan prevalensi ≥ 50 %


diberikan 2 kali setahun, sedangkan pada daerah dengan prevalensi ≥20%- <50%
diberikan 1 kali setahun, pada prevalensi < 20% pengobatan selektif. Pengobatan
massal diberikan pada anak balita (1-4 tahun), prasekolah (5-6 tahun) dan usia
sekolah (7-12 tahun)5. Tabel 2.1 menunjukkan dosis dan jenis obat pada
pengobatan massal.

Tabel 2.1. Jenis dan Dosis Obat5


Albendazol Mebendazol
Sasaran Dosis (tablet 400 Dosis (sirup 200 Sasaran Dosis (tablet 500
mg) mg/5 ml) mg)
1-<2 tahun 0,5 tablet (200 5 ml 1-<2 tahun 1 tablet
mg)
2 - < 5 tahun 1 tablet 10 ml 2 - < 5 tahun 1 tablet
> 5 tahun 1 tablet 10 ml > 5 tahun 1 tablet

Pada cacingan dengan komplikasi berupa anemia dan gizi buruk, tata laksana
pada cacingan yang ditemui anemia, maka tata laksana sesuai penyebabnya. Jika
cacingan dengan gizi buruk maka tangani sesuai tata laksana gizi buruk. Jika anak
gizi buruk berumur 4 bulan atau lebih dan belum pernah mendapatkan obat cacing
dalam 6 bulan terakhir dengan hasil pemeriksaan tinja positif, beri pirental pamoat
di klinik sebagai dosis tunggal5. Dosis pirental pamoat di tunjukkan pada tabel
2.2.

Tabel 2.2. Dosis Pirental Pamoat5


Umur Berat Badan Pirental Pamoat (125 mg/tab,
dosis tunggal)
4-  9 bulan 6-< 8 kg 1/2 tablet
9-12 bulan 8-<10 kg 3/4 tablet
1-3 tahun 10-<14 kg 1 tablet

3-5 tahun 14-<19 kg 1 1/2 tablet

Albendazol merupakan obat cacing berspektrum luas yang dapat diberikan


per oral untuk infeksi cacing kremi, cacing tambang dan cacing Ascaris atau
Trichuris. Obat ini bekerja dengan cara memblokir pengambilan glukosa oleh
larva maupun cacing dewasa, sehingga persediaan glikogen menurun dan
pembentukan ATP berkurang, akibatnya parasit (cacing) akan mati. Obat ini
  22  

memiliki khasiat membunuh larva N. americanus dan juga dapat merusak telur
cacing gelang, tambang dan Trichuris. Untuk penggunaan 1-3 hari, aman. Efek
samping berupa nyeri ulu hati, diare, sakit kepala, mual, lemah, dizzines,
insomnia, frekuensinya sebanyak 6 %18.
Mebendazol merupakan antihelmintik yang paling luas spektrumnya
Mebendazol sangat efektif untuk mengobati infestasi cacing gelang, cacing kremi,
cacing tambang dan T. trichiura, maka berguna untuk mengobati infestasi
campuran cacing-cacing tersebut. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur
subselular dan menghambats ekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga
menghambat ambilan glukosa secara ireversibel sehingga terjadi pengosongan
(deplesi) glikogen pada cacing. Cacing akan mati secara perlahan-lahan dan hasil
terapi yang memuaskan baru nampak sesudah 3 hari pemberian obat. Obat ini
juga menimbulkan sterilitas pada telur cacing T.trichiura, cacing tambang, dan
Ascaris sehingga telur ini gagal berkembang menjadi larva. Tetapi larva yang
sudah matang tidak dapat dipengaruhi oleh mebendazol. Efek samping yang
kadang-kadang timbul adalah diare dan sakit perut ringan yang bersifat sementara.
Dari studi toksikologi terbukti obat ini memiliki batas keamanan yang lebar18.
Pirantel pamoat terutama digunakan untuk memberantas cacing gelang,
cacing kremi dan cacing tambang. Pirantel pamoat dan analognya menimbulkan
depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing
mati dalam keadaan spastis. Pirantel pamoat juga berefek menghambat enzim
kolinesterase, terbukti pada Ascaris meningkatkan kontraksi ototnya. Efek
samping pirantel pamoat jarang, ringan dan bersifat sementara, misalnya keluhan
saluran cerna, demam dan sakit kepala. Penggunaannya harus hati-hati pada
penderita dengan riwayat penyakit hati, karena obat ini dapat meningkatkan
SGOT pada beberapa penderita18.
Hasil dari 46 percobaan obat yang melibatkan 4800 individu menunjukkan
egg reduction rate (ERR) rata-rata untuk albendazol dan mebendazol terhadap
A.lumbricoides, masing-masing 98,7% dan 98,3%, terhadap cacing tambang
masing-masing 89,8% dan 68,2%, dan terhadap T.trichiura masing-masing 60,7%
dan 69,0%19.
  23  

Sebuah tinjauan uji keamanan obat yang melibatkan lebih dari 6500
administrasi obat albendazol dan mebendazol tidak menunjukkan terjadinya efek
samping yang berat. Semua efek samping (9,7% untuk albendazol dan 6,3% untuk
mebendazol) adalah ringan dan sementara, dengan durasi kurang dari 48 jam.
Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah nyeri epigastrium atau
ketidaknyamanan (37%), sakit kepala (24%), mual (17%), pusing (10%), edema
(10%), mialgia (6%) dan muntah (4%)19.

2.2.  Enterobius vermicularis


a.   Epidemiologi
Tersebar luas di seluruh dunia dan merupakan penyebab infeksi parasit pada
manusia yang paling sering di dunia 2. Di Indonesia frekuensinya tinggi, terutama
pada anak dan lebih banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah. Dapat
mengenai semua umur tetapi kelompok usia terbanyak yang menderita
enterobiasis adalah kelompok usia 5-9 tahun. Penularan dapat terjadi pada
kelompok yang hidup dalam suatu lingkungan yang sama (asrama, rumah piatu)
7
. Infeksi lebih sering pada daerah dengan iklim dingin dan sedang, oleh karena
itu orang lebih jarang mandi dan mengganti pakaian dalamnya2.

b.   Siklus Hidup
Manusia akan terinfeksi bila menelan telur inefektif yaitu melalui jari dan
makanan yang terkontaminasi yang terjadi karena anak merasa gatal di daerah
sekitar dubur, digaruk dan telur cacing lengket di kuku anak dan sewaktu makan
telur ikut tertelan, orang yang satu tempat tidur dengan pasien yang mana terkena
infeksi melalui telur yang ada di alas tempat tidur, sarung bantal, ataupun pada
benda terkontaminasi, inhalasi debu yang mengandung telur, kadang-kadang juga
secara rertroinfeksi pada keadaan yang memungkinkan telur cacing segera
menetas di kulit sekitar anus dan larva yang keluar masuk kembali ke dalam usus
melalui anus2. Kemudian telur akan menetas di dalam duodenum, larva akan
bergerak dan menetap sebagai cacing dewasa dalam sekum. Siklus hidup cacing
(interval waktu dari ingesti telur inefektif menjadi ovoposit oleh cacing dewasa
betina) adalah ±1 bulan. Setelah membuahi cacing betina, cacing jantan akan mati
  24  

dan dikeluarkan bersama tinja. Cacing betina yang gravid (hamil) umumnya pada
malam hari akan turun ke bagian bawah kolon dan keluar melalui anus. Telur
akan diletakkan di perianal dan di kulit perineum. Hal ini menyebabkan pruritus
ani. Kadang-kadang cacing betina dapat bermigrasi ke vagina. Diperkirakan
setelah meletakkan telur cacing betina kembali ke dalam usus2,11. Siklus hidup
Enterobius vermicularis ditunjukkan pada gambar 2.8.

Gambar 2.16. Siklus Hidup Enterobius vermicularis20

c.   Morfologi Cacing
1.   Cacing jantan panjangnya 2-5 mm, ekor melengkung.
2.   Cacing betina panjangnya ± 10 mm, uterus berisi telur, ekor runcing.
3.   Baik jantan maupun betina mempunyai “cephalic alae”
4.   Telurnya berukuran ± 55 x 25 mikron, bentuk lonjong asimetris,
berdinding tebal, berisi larva13.

Gambar 2.17. Cacing Enterobius vermicularis Jantan13


  25  

Gambar 2.18. Cacing Enterobius vermicularis Betina13


 
 

 
Gambar 2.19. Telur Enterobius vermicularis Berisi Embrio13

d.   Patofisiologi
Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum dan
vagina oleh cacing betina yang gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan
menyebabkan pruritus ani, karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan
menyebabkan pruritus ani, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus
sehingga timbul luka garuk di sekitar anus yang dapat diikuti oleh infeksi
sekunder oleh bakteri. Bila hal ini tidak segera diatasi, akan berakibat terjadinya
gangguan pertumbuhan pada anak. Keadaan ini sering terjadi pada malam hari
hingga penderita terganggu tidurnya. Anak menjadi penggugup, mimpi yang
menakutkan (nightmare) sehingga di bawah kelopak mata dijumpai bayang kulit
yang gelap, anak juga jadi lebih irritable2,7.

e.   Gejala Klinis
Pruritus ani yang berat pada malam hari, anoreksia, badan jadi kurus, tidur
tidak nyenyak dan anak jadi irritable. Pada wanita dapat terjadi pruritus vulva dan
vagina7 .
  26  

f.   Diagnosis
Infeksi cacing dapat diduga pada anak yang menujukkan rasa gatal di sekitar
anus pada malam hari. Diagnosis dibuat dengan cara.
1.   Dengan menggunakan anal swab atau cellophane swab (suatu alat dari
batang gelas atau spaltel lidah yang pada ujungnya dilekatkan scotch
adhesive tape) yang ditempelkan di sekitar area anus pada waktu pagi
hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat (cebok), kemudian
adhesive tape diratakan pada kaca benda dan dibubuhi sedikit toluol dan
segera diperiksa di bawah mikroskop, dijumpai telur cacing kremi.
Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut 2,7.
2.   Dengan melihat anus anak pada malam hari dan menemukan cacing
dewasa yang sedang keluar pada malam hari2.

g.   Tata Laksana
Obat cacing yang dapat diberikan antara lain :
1.   Mebendazole 100 mg, sebagai dosis tunggal21.
2.   Albendazol 400 mg, sebagai dosis tunggal, diberikan pada saat perut
kosong21.
3.   Pirental pamoat 10 mg/kgBB, dosis tunggal21.
Pemberantasan infeksi membutuhkan dua dosis obat yaitu dosis awal diikuti
oleh dosis berikutnya dua minggu kemudian. Obat lain seperti piperazin dapat
digunakan, tetapi memiliki khasiat yang lebih rendah dan toksisitas yang lebih
tinggi21. Dosis obat piperizin adalah 65 mg/kgbb/hari dengan dosis maksimum 2
g/hari diberikan selama 6 hari. Mebendazol efektif terhadap semua stadium
perkembangan cacing kremi, sedangkan pirental pamoat dan piperazin yang
diberikan dalam dosis tunggal tidak efektif terhadap telur. Pengobatan harus
dilakukan pada seluruh anggota keluarga11.

h.   Prognosis
Baik dan biasanya tidak menimbulkan bahaya, terutama dengan pengobatan
yang baik, pengobatan secara periodik harus dilakukan. Di samping itu,
penerangan mengenai perbaikan kebersihan pribadi diri seperti mencuci tangan
  27  

sebelum makan, anak-anak dicegah agar tidak menghisap jari mereka dan
menggaruk bagian anus, serta mencuci pakaian, seprai, dan handuk di mesin cuci
menggunakan sabun biasa dapat menghilangkan telur cacing kremi sangat berarti
dalam menunjang keberhasilan pengobatan2,7,20.
  28  

BAB III
RINGKASAN

Infeksi parasit usus yang sering pada anak adalah Soil Transmitted Helminth
yang terdiri dari Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus). Selain Soil Transmitted
Helminth adalah cacing kremi (Enterobius vermicularis). Risiko tinggi infeksi
Soil Transmitted Helminth adalah anak usia 1-14 tahun, pada infeksi Enterobius
vermicularis dapat mengenai semua umur tetapi kelompok usia terbanyak adalah
kelompok usia 5-9 tahun.
Gejala klinis dari Soil Transmitted Helminth biasanya asimptomatik, dapat
simptomatik jika terjadi infeksi berat dan kronis. Gejala klinis dari Ascaris
lumbricoides adalah pneumonitis Ascaris pada stadium larva, dan gangguan
gastrointestinal pada stadium cacing dewasa, jika terjadi migrasi dapat terjadi
muntah cacing, ileus dan apendisitis. Gejala klinis dari Trichuris trichiura adalah
infeksi berat adalah disentri (trichuris dysentry syndrome), nyeri perut, tenesmus
(nyeri sewaktu buang air besar), serta dapat menimbulkan anemia. Pada infeksi
yang sangat berat dapat terjadi prolaps rekti. Gejala klinis dari cacing tambang
adalah rasa gatal pada kulit (ground itch) dan anemia defisiensi besi. Infeksi
akibat Enterobius vermicularis menimbulkan gejala klinis berupa pruritus ani
yang berat pada malam hari, anoreksia, badan jadi kurus, tidur tidak nyenyak dan
anak jadi irritable.
Penegakan diagnosis Soil Transmitted Helminth dengan menemukan telur
pada sampel feses dengan metode pemeriksaan Kato-Katz. Sedangkan, pada
Enterobius vermicularis menermukan telur cacing pada feses dengan metode
anal swab atau cellophane swab atau menemukan cacing dewasa pada anus anak
pada malam hari.
Pengobatan pada Soil Transmitted Helminth dapat menggunakan albendazol,
400 mg dosis tunggal atau mebendazol 500 mg dosis tunggal. Pada Enterobius
vermicularis obat yang efektif terhadap semua stadium adalah mebendazol 100
mg sebagai dosis tunggal dan diulang 2 minggu kemudian. Pentingnya edukasi
tentang menjaga higienitas diri yang baik untuk mencegah reinfeksi.
  29  

DAFTAR PUSTAKA

1.   Noviantty, Pasaribu, dan Pitaloka. Faktor Risiko Kejadian Kecacingan pada


Anak Usia Pra Sekolah. Jurnal Indonesia Medical Association Vol.68(2).2018.
Tersedia dari : mki.idionline.org.
2.   Merdjani, A., Syoeib, A., Chairulfatah, A., et al. Infeksi dan Pediatri Tropis.
Jakarta : IDAI; 2015. Hal. 370
3.   WHO. Soil Transmitted Helminthiases: eliminating soil transmitted
helminthiases as a public health problem in children: progress report
2001-2010. Geneva: World Health Organization. 2012.Tersedia dari :
http://apps.who.int/.
4.   Berger,S. Infectious Diseases of the World. Los Angeles : GIDEON
Informatics, inc.2019. Tersedia dari: books.google.co.id.  
5.   Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Permenkes No.15 Tahun 2017
Tentang Penanggulangan Cacingan. 2017. Tersedia dari : hukor.kemkes.go.id
6.   WHO. Helminth Control in School-Age Children: A Guide for Managers of
Control Programs.2011. Tersedia dari : http://wholibdoc.who.int/.
7.   Sutanto, I., Ismid, S., Sjarifuddin, P., dan Sungkar S. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran Ed. 4. Jakarta: EGC. 2013. Hal.6
8.   Alfarisi,S.Toddler with Enterobiasis. Jurnal Agromed Unila Vol.1 (2).2015.
Tersedia dari : juke.kedokteran.unila.ac.id
9.   Siregar,C. Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah
pada Pertumbuhan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar.Jurnal Sari Pediatri Vol.
8(2). 2006. Tersedia dari saripediatri.org
10.   Natadisastra. Parasitologi Kedokteran ; Ditinjau dari Organ Tubuh yang
Diserang. Jakarta : EGC. 2009. Hal.70
11.   Latief, A., Putra, S., Napitupulu, P., Pujiadi, A., dan Ghazali, M. lmu
Kesehatan Anak. Ed. 11 Vol.1. Jakarta: Infomedika Jakarta;2007. Hal.650
12.   Center for Disease Control and Prevention (CDC). Ascariasis Infection.
DPDx-Laboratory Identification of Parasitic Diseases of Public Health
Concern.2015. Tersedia dari : https://www.cdc.gov/.
  30  

13.   Prianto, J., Tjahaya, dan Darwanto. Atlas Parasitologi Kedokteran.


Jakarta:EGC. 2008.
14.   Center for Disease Control and Prevention (CDC).Trichuriasis Infection.
DPDx-Laboratory Identification of Parasitic Diseases of Public Health
Concern.2015. Tersedia dari : https://www.cdc.gov/.
15.   Center for Disease Control and Prevention (CDC). Hookworm Infection.
DPDx-Laboratory Identification of Parasitic Diseases of Public Health
Concern.2015. Tersedia dari : https://www.cdc.gov/.
16.   Donkor,K.Trichuris trichiura Infection. 2018. Tersedia dari :
emedicine.medscape.com
17.   Bakta, M., Suega, K., dan Dharmayuda, T. Anemia Defisiensi Besi. Dalam
Sudoyo A., W., et al (Ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 6.
Jakarta: Interna Publishing.2015. Hal. 2591.
18.   Gunawan,S. Farmakologi dan Terapi Ed.5. Jakarta : Balai Penerbit FK
UI.2013.Hal.541
19.   WHO. Preventive Chemotherapy To Control Soil Transmitted Helminth
Infections in At-risk Population Group. 2017.Tersedia dari :
http://wholibdoc.who.int/.
20.   Center for Disease Control and Prevention (CDC). Enterobiasis Infection.
DPDx-Laboratory Identification of Parasitic Diseases of Public Health
Concern.2015. Tersedia dari : https://www.cdc.gov/.
21.   Huh,S. Pinworm (Enterobiasis) Treatment and Management. 2018.Tersedia
dari : emedicine.medscape.com.

Anda mungkin juga menyukai