PENDAHULUAN
Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW., hingga masa Imam Syafi’i tedapat
kelompok fuqaha yang masyhur dengan pendapatnya. Di sisi lain, ada
sekelompok fuqaha yang masyhur dengan pendapatnya. Di antara para fuqaha dari
kalangan sahabat, terdapat mereka yang terkenal dengan pendapatnya,
sebagaimana sahabat lain yang masyhur dengan hadist dan periwayatan.
Demikian pula dengan generasi tabi’in dan tabi’ tabi’in, para imam mujtahid
seperti Abu Hanifah, Malik dan para fuqaha lain di berbagai negeri Islam yang
terkenal dengan pendapatnya sebagaimana banyak dari mereka yang dikenal
dengan periwayatan hadistnya.
Al-Syahrastani dalam kitabnya yang berjudul al-Milal wa al-Nihal
mengatakan: “Sesungguhnya berbagai peristiwa dan kasus dalam masalah ibadah
dan kehidupan sehari-hari banyak sekali. Kita juga mengetahui dengan pasti
bahwa tidak setiap kejadiaan atau permasalahan terdapat keterangannya didalam
nash. Bahkan dapat dikatakan ada kejadian-kejadian yang tidak pernah terpikirkan
sebelumnya.Jika nash-nash yang ada terbatas jumlahnya, sementara peristiwa-
peristiwa yang terjadi tidak terbatas dan sesuatu yang terbatas tidak dapat
dihukumi oleh sesuatu yang terbatas.Maka dapat diambil satu kesimpulan dengan
pasti bahwa ijtihad dan qiyas merupakan sesuatu yang harus ditempuh, sehingga
setiap pemasalahan selalu dapat ditemukan solusinya.”
Sementara itu, terbentuknya hukum syar’i tidak lain dan tidak bukan
hanyalah dengan mempertimbangkan terwujudnya kemaslahatan umat manusia.
Musthofa Did al-Bugho mengatakan dalam karyanya Ushul al-Tasyri’ al-
Islamy:Atsar al-Adillah al-Mukhtalif Fiha: “Pada dasarnya hukum islam dibentuk
berdasarkan kemaslahatan manusia. Setiap segala sesuatu yang mengandung
mashlahah, maka terdapat dalil yang mendukungnya, dan setiap ada
kemudharatan yang membahayakan, maka terdapat pula dalil yang
mencegahnya.Para ulama sepakat bahwa semua hukum-hukum Allah dipenuhi
kemaslahatan hamba-Nya di dunia dan akhirat.Dan sesungguhnya maqshid al-
syari’ah itu hanya ditunjukkan untuk mealisasikan kebhagiaan yang hakiki bagi
mereka.
Mayoiritas ulama sepakat bahwa al-syar’I (yang menetapkan syariat) tidak
akan menetapkan suatu hukum atas kenyataan yang dihadapi oleh manusia dan
tidak akan memberikan petunjuk pada jalan yang akan mengantarkan kepada
penetapan hukum kecuali untuk merealisasikan kemaslahatan bagi umat manusia.
Dalam penetapan hukum islam sumber rujukan utamanya adalah Al-Qur’an
dan Sunnah. Sedang sumber sekundernya adalah ijtihad para ulama.Setiap
1
istinbath (pengambilan hukum) dalam syari’at Islam harus berpijak dari Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi. Ini berarti dalil-dalil syara’ ada dua macam yaitu: nash
dan goiru al-nash. Dalam menetapkan suatu hukum, seorang ahli hukum harus
mengetahui prosedur cara engalian hukum dari nash. Cara pengalian hukum dari
nash ada dua macam pendekatan, yaitu: pendekatan makna dan pendekatan lafadz.
Pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash
langsung, seperti mengunakan qiyas, istihsan, istislah, dan lain sebagainya.
Dari latar belakang diatas kami mengambil kesimpulan yang telah kami
rumuskan dalam beberapa rumusan masalah, yaitu pertama; definisi dari
mashlahah mursalah, kedua; dasar hukum mashlahah mursalah, ketiga; syarat-
syarat mashlahah mursalah, keempat; obyek maslahah mursalah, kelima; macam-
macam maslahah mursalah, keenam; kehujahan maslahah mursalah, dan ketujuh;
pertentangan maslahah mursalah.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembuatan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dengan kata lain, Maslahah Mursalah juga berarti suatu kemaslahatan yang
tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh
untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan
mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Maslahah mursalah
disebut juga maslahah yang mutlak.Karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan
atau kebataannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara maslahah mursalahsemata-
mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan
manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia.
1
Lihat Al-Mahsul oleh Ar-Razi, juz II hal. 434
2
Lihat Al- Mustafa oleh Imam Ghazali, juz I hal. 39
3
Lihat hasbi As-Siddiqi, pengantar Hukum Islam, juz I, hal. 236
3
B. Dasar Hukum Maslahah Mursalah
Para ulama yang menjadikan maslhaha mursalah sebagai salah satu dalil
syara’, menyatakan bahwa dasar hukum maslahah mursalah, ialah :
a. Persoalan yang dihadapi manusia selalu tumbuh dan berkembang, demikian
pula kepentingan dan keperluan hidupnya. Kenyataannya menunjukkan
bahwa banyak hal-ha atau persoalan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah
SAW, kemudian timbul dan terjadi pada masa-masa sesudahnya, bahkan ada
yang terjadi tidak lama setelah Rasulullah SAW meninggal dunia.
Seandainya tidak ada dalil yang dapat memecahkan hal-hal yang
demikianberarti akan sempitlah kehidupan manusia. Dalil itu ialah dalil yang
dapat menetapkan mana yang merupakan kemaslahatan manusia mana yang
merupakan tidak sesuai dengan dasar-dasar umum dari agama Islam. Jika hal
itu telah ada, maka dapat direalisir kemaslahatan manusia pada setiap masa,
keadaan dan tempat.4
b. Sebenarnya para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para ulama yang datang
sesudahnya teah melaksanakannya, sehingga merea dapat segera menetapkan
hukum sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin pada masa itu. Khalifah
Abu Bakar telah mengumpulkan Al-Qur’an, Khalifah Umar telah menetapkan
talak yan dijatuhkan tiga kali sekaligus jatuh tiga, padahal pada masa
Rasululah saw hanya jatuh satu, Khalifah Ustman telah memerintahkan
penulisan Al-Qur’an dalam satu mushaf dan Khalifah Ali pun telah
menghuku bakar hidup golongan Syi’ah Radidhah yang memberontak,
kemudian diikuti oleh para ulama yang datang sesudahnya.5
4
Muchtar,kamal dkk Ushul Fiqh jilid 1, hal. 145
5
Ibid
4
3. Maslahah harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum dituju oleh syar’i.
maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh
Syari’. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka
maslahah mursalah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh
islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
4. Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, dimana nash yang sudah
ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah. 6
5. Kemaslahatan harus selaras dan sejalan dengan akal sehat. Artinya
kemaslahatan tersebut tidak boleh bertentangan dengan akal sehat.
6. Pengambilan kemaslahatan tersebut harus untuk merealisasikan
kemaslahatan dharuriyah, bukan kemaslahatan hajiyah atau tahsiniyah. 7
6
Umam, chaerul dkk, Ushul Fiqh 1, hal. 137-138
7
Suwarjin, Ushul Fiqh, hal. 140
8
Muchtar, kamal dkk Ushul Fiqh Jilid 1,hal. 146
9
Ibid
5
Untuk melindungi agama, adalah diwajibkanya jihad untuk
mempertahankan aqidah islamiyah.Begitu juga menghancurkan orang-orang yang
suka memfitnah kaum muslimin dari agamanya.Begitu juga menyiksa orang yang
keluar dari agamanya. Untuk melindungi jiwa, Allah melarang pembunuhan,
melarang segala perbuatan yang membahayakan jiwa, mensyari;atkan pernikahan,
mewajibkan mencari riski yang halal. Untu melindungi akal, Allah mewajibkan
untuk meninggalkan khamr.Untuk melindungi keturunan, Allah mensyari’atkan
pernikahan, melarang perzinahan, dan tabani10.Sedangkan untuk melindungi
harta, Allah mensyari’atkan untuk menjauhi pencurian, riba, judi, dan lain-lain.
2. Maslahah Hajjiyah
Yaitu segaa sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk
menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Pengabaian terhadap
maslahah ini tidak menimbulkan ancaman bagi keberlangungan hidup
manusia.tetapi akan menimbulkan kesullitan dan kesempitan. Daolam rangka
merealisasikan maslahah hajjiyah ini, Allah mensyariatkan berbagai transaksi
seperti jual beli, sewa menyewa, dan memberikan beberapa keringanan hukuman
(rukhsas), seperti kebolehan menjamak dan mengqhar sholat bagi musafir,
kebolehan menunda pelaksanaan puasa mRamadhan bagi orang yang sedang
hamin, menyusui dan sakit, serta tidak diwajibkan shalat lima waktu bagi orang
yang sedang haid dan nifas.11
3. Maslahah Tahsiniyah
Maslahah tahsiniyh yaitu tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya
berhubungan dengan makarimul akhlaq serta memelihara keutamaan dalam
bidang ibadah, adat, dan muamalat.12Misalnya mengenakan pakaian yang bagus-
bagus ketika shalat, memakai wangi-wangian bagilkai-laki ketika berkumpul
dengan orang banyak, pengharaman makanan-makanan yang buruk dan
menjijikkan (khaba’is), larangan wanita menikahkan dirinya sendiri kepada laki-
laki yang dicintainya, dan lain-lain.
Ketga maslahah di atas merupakan titik tolak penerapan prinsip maslahah
mursalah.Sebab, sudah jelas bahwa setiap pensyari’attan hukum selalu
mengandung unsure kemaslahatan bagi manusia.
10
Mengadopsi anak
11
Al-Zuhaili, Ushul, hal. 35-35
12
Koto, Ilmu, hal. 125
6
a. Allah telah mensyari’atkan untuk para hamba hukum-hukum yang
memenuhi tuntutan kemaslahatan mereka. Ia tidak melupakan dan tidak
meninggalkan satu kemaslahatan pun, tanpa mengundangkannya.
Berpedoman pada maslahah mrsalah berarti menganggap Allah
meninggalkan sebagian kemaslahatan hamba-Nya, dan ini bertentangan
dengan nash.13
b. Maslahah mursalah itu berada di antara maslaha mu’tabara dan
maslahah mulghah, dimana menyamakannya dengan dengan maslahah
mu’tabarah belum tentu lebih sesuai dari pada menyamakannya dengan
maslahah mulghah, karena tidak pantas dijadikan hujjah.
c. Berhujjah dengan maslahah mursalah dapat mendorong orang-orang
tidak berilmu untuk membuat hukum berdasarkan hawa nafsu dan
membela kepentingan penguasa.
7
Sebab, pertentangan hanya terjadi antara dua dalil yang berada dalam tingkatan
yang sama.jika kemaslahatan bertentangan dengan nash qat’i, secara otomatis
nash yang harus diikuti. Sebab, dalam kasus seperti ini, sejatinya tiak ada
pertentangan, sebab, nash lebih tinggi derajatnya dibandingkan kemaslahatan.
Dalam hal ini, nash membatalkan kemaslahatan.demikian pula dengan qiyas,
maka qiyas harus tunduk kepada nash, bukan sebaliknya.15
Dalam menyikapi issu pertentangan antara maslahah mursalah dengan nash,
ulama terbagi kedalam tiga kelompok yaitu :
1. Kelompok yang mendahulukan nash dari pada maslahah.
Mereka memandang bahwa hukum itu hanya dapat diambil dari nash, ijma’
atau qiyas. Jika suatu maslahah bertentangan dengan nash, maka maslahah harus
diabaikan demi nash. Yang berpendapat seperti ini adalah kelompok Syafi’iyah
dan diikuti oleh Hanabilah. Kelompok ini baru mengambil maslahah jika tidak
ada nash, atau fatwa sahabat.
Pendapat ini terbantah oleh beberapa fatwa sahabat yang lebih
mengutamakan maslahah dari pada nash.misalnya keputusan abu Bakar
memerangi orang-orang Islam yang tidak mau membayar zakat, meskipun mereka
tetap shalat dan puasa Ramadhan. Keputusan ini bertentangan dengan hadist
Mutawatir yang diriwaytkan oleh Imam hadist yang enam sebagai berikut :16
2.
Kelompok yang mendahulukan maslahah dari pada nash.
Merea adalah kelompok Malikiyah dan Hanafiyah.Mereka meninggalkan
hadist ahad jika bertentangan denganmaslahah.Di antara pengikut mereka aa yang
berlebihan dalam mengutamakan maslahah, yaitu Najm al-Din al-Thufi’. Jika ada
nash yang qath’I sekalipun, apabila bertentangan engan maslahah nash yang
qath’I tersebut harus tunduk kepada kemaslahatan.
3. Menurut al-ghazali dan al- Amidi kemaslahatan dapat didahulukan dari pada
nash apabila betul-betul dalam keadaan darurat.
15
Suwarjin, Ushul Fiqh, hal. 144
16
Zuhaili, Ushul, hal. 79-80
8
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
9
DAFTAR PUSTAKA
10