Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

China merupakan negara terbesar di Asia Timur sehingga selama berabad-abad selalu
menduduki posisi penting dalam sejarah Asia Timur. China merupakan sumber peradaban
bagi banyak bangsa yang hidup di Asia Timur, China juga merupakan bangsa yang memiliki
peradaban tua. Sebelum menjadi negara republik pada tahun 1912, China pernah menganut
sistem pemerintahan berbentuk dinasti, bahkan sampai berabad-abad lamanya. Salah satu
dinasti yang ada di China merupakan Dinasti Qing. Dinasti Qing yang didirikan oleh orang-
orang Manchuria merupakan salah satu dari dua dinasti asing yang memerintah China.
Dinasti Qing juga merupakan dinasti terakhir yang berkuasa di China. Pada masa akhir
kekuasaan Dinasti Qing, keadaan China mulai merosot, banyak terjadi persengketaan sosial
secara besar-besaran, ekonomi yang tidak berkembang, serta pengaruh Barat yang
menjadikan China semakin kacau. Keinginan Inggris untuk meneruskan perdagangan candu
kepada orang-orang China membuat pemerintah China geram, mereka menangkap orang-
orang Inggris yang terlibat perdagangan candu serta memberikan hukuman yang tegas. Hal
tersebut kemudian melahirkan Perang Candu I pada tahun 1839-1842. Inggris dan kuasa-
kuasa barat kemudian menduduki China secara paksaan dan memperoleh hak istimewa
perdagangan. Hong Kong diserahkan kepada Inggris pada tahun 1842 di bawah
Perjanjian Nanking. Selain itu, Pemberontakan Taiping (1851–1864) dan
Pemberontakan Petinju berlaku pada abad itu. Dari banyak segi, pemberontakan-
pemberontakan dan perjanjian-perjanjian yang memaksa Dinasti Qing untuk terikat
dengan kuasa-kuasa imperialis membuat masyarakat China tidak percaya lagi dengan
pemerintah sehingga terjadilah revolusi yang dipelopori oleh Dr. Sun Yat Sen.

Dinasti Qing merupakan dinasti terakhir dalam sejarah China dan merupakan
tonggak awal berdirinya republik di China. Berdasar latar belakang di atas maka
penulis membahas lebih mendalam tentang sejarah dinasti Qing di China dalam
makalah yang berjudul “Sejarah Dinasti Qing (1644-1912)”.
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana sistem kekuasaan pada masa Dinasti Qing?


1.2.2 Bagaimana perkembangan ekonomi pada masa Dinasti Qing?
1.2.3 Bagaimana masa kejayaan Dinasti Qing?
1.2.4 Apa saja kebudayaan yang dihasilkan oleh Dinasti Qing?
1.2.5 Bagaimana keadaan sosial dan masyarakat pada masa Dinasti Qing?
1.2.6 Apa yang menyebabkan Dinasti Qing mengalami keruntuhan?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk mengetahui sistem kekuasaan pada masa Dinasti Qing


1.3.2 Untuk mengetahui perkembangan ekonomi pada masa Dinasti Qing
1.3.3 Untuk mengetahui masa kejayaan Dinasti Qing
1.3.4 Untuk mengetahui kebudayaan yang dihasilkan oleh Dinasti Qing
1.3.5 Untuk mengetahui keadaan sosial dan masyarakat pada masa Dinasti Qing
1.3.6 Untuk mengetahui penyebab Dinasti Qing mengalami keruntuhan

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan yang diangkat oleh penulis dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:

1.4.1. Penulisan makalah ini diharapkan berguna bagi penulis, agar nantinya tulisan
yang penulis rancang tersebut dapat menjadi modal yang baik untuk menulis
1.4.2. Makalah ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi pembaca
BAB II

PEMBAHAS

2.1 Sistem Kekuasaan Pada Masa Dinasti Qing

2.2 Perkembangan Ekonomi Pada Masa Dinasti Qing

2.3 Masa Kejayaan Dinasti Qing


Dinasti Manchu mengalami puncak kejayaan baik di bidang politik, ekonomi,
maupun sosial budaya khususnya sastra ketika berada di bawah pemerintahan Kaisar
Kangxi dan Kaisar Qianlong.

1. Masa pemerintahan Kangxi

Kangxi menjadi Kaisar setelah Shun Chin meninggal pada 1662 M, kemudian Kangxi
naik saat berusia 9 tahun. Semenjak usia muda, bakat kepemimpinannya sudah
terlihat. Karena usianya yang masih muda, selama 5 tahun, ia didampingi oleh
seorang wali yaitu Oboi. Masa pemertintahan Kangxi bersamaan dengan Louis XIV
di Prancis. Kangxi memiliki kecakapan dalam memerintah yang setara, atau bahkan
lebih unggul dari mereka. Kangxi mempunyai karakteristik yang besar dan bijaksana,
serta mempunyai kecakapan dalam hal kepemerintahan (Latourette, 1949: 311,
dikutip dalam Leo Agung, 2011:57). Pada masa awal pemerintahannya, muncul
pemberontakan yang dipimpin Tiga Raja Muda tahun 1673M, yang dalam sejarah
Cina dikenal dengan nama pemberontakan San Fu (Pemberontakan Tiga Raja Muda),
yakni :

a. Pemberontakan Wu San Kuei di Canton;


b. Pemberontakan Keng Ching Chung di Fukien;
c. Pemberontakan Shang Chih Hsin di Kwangtung.

Pemberontakan-pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh Kangxi, ia


melibatkan diri secara langsung. Ia menyadari bahwa jika tidak bertindak cepat,
kerajaannya akan hancur berantakan. Hingga saat itu, dinasti Manchu melakukan
politik pemisahan antara bangsa Manchu dan Tionghoa. Bangsa Tionghoa yang
ditaklukkan itu dianggap sebagai budak, dimana mereka harus tinggal di tempat
terpisah. Seluruh bangsa Tionghoa diusir dari Manchuria dan lahan mereka banyak
yang disita. Perkawinan antar kedua bangsa itu dilarang. Akan tetapi, Kangxi
kemudian melunakkan politik ini, ia melarang penyitaan tanah dan meringankan
pajak. Sehingga akhirnya, hal ini justru malah meningkatkan pertanian serta
menjamin pendapatan negara yang stabil. Kaisar juga berusaha menekan korupsi
dengan menaikkan gaji para pejabat negara.

Kemudian, karena kecintaannya pada dunia kesusatraan, Kangxi mengumpulkan para


sarjana serta memimpin penulisan sejarah Cina, termasuk sejarah dinasti Ming. Ia
sendiri merupakan seorang sastrawan. Hasil karya Kangxi yang terkenal ialah:

a. Menyusun kitab logat yang disebut dengan nama : “K’ang Hsi tse Tien”
(Kitab Logat K’ang Hsi);
b. Menyusun Ensiklopedi, yang memuat kutipan buku-buku penting.
Ensiklopedi ini terdiri dari 5.000 jilid;
c. Menulis cerita “Impian di Paseban Merah” (The dream of Red Chamber)
atau “Hung Lew Meng”;
d. Mengeluarkan Edic suci, yang berisi tentang peraturan-peraturan
kebijaksanaan bagi bangsa Tionghoa. Edic suci ini merupakan pegangan
hidup, karena berisi dasar-dasar pemerintahan dan cara-cara hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Lalu, dalam bidang ekonomi sendiri, Kangxi menitikberatkan pada pertanian. Kangxi
banyak melakukan pembukaan lahan pertanian baru, dan memberikan bantuan pada
petani. Selain itu, pengairan diperbaiki, mengadakan pengeringan rawa-rawa, dan
juga menggalakkan penanaman pohon murbei.

Prestasi Kangxi lainnya adalah pada musim semi 1662, Kangxi mengadakan
pembersihan besar-besaran di Cina selatan terhadap gerakan-gerakan separatis anti-
Qing yang dimotori oleh loyalis Ming, Zheng Chenggong. Selain itu, pada tahun
1683, Kaisar Kangxi berhasil merebut pulau Taiwan dari sisa pasukan yang setia
kepada dinasti Ming. Kangxi juga melakukan politik luar negeri dengan Rusia dengan
terjadinya Perjanjian Nerchinsk pada 1689 M yang isinya mengenai tapal batas kedua
negara (Cina-Rusia) yakni Sungai Amur.Ia juga membuat kebijakan dan
ektrateritorial. Hubungan dagang dengan negara-negara Barat juga terjalin baik,
alhasil Cina maju dengan pesat.

2. Masa Pemerintahan Qianlong (Hongli) (1735-1796)

Kaisar Qianlong juga merupakan kaisar yang bijak dan terkenal dalam sejarah Cina.
Pada masa pemerintahannya, Cina mengalami masa kejayaan yang kedua. Qianlong
aktif melakukan ekspansi, memajukan bidang perdagangan, pertanian, serta
kesusasteraan. Dalam bidang pertanian, Qianlong menekankan pada perbaikan
pertanian, dimana tanah-tanah yang tidak dipergunakan kemudian diambil alih oleh
pemerintah untuk lahan pertanian, hal ini merupakan kebijakan yang sangat baik yang
diambil oleh Qianlong. Para petani dibantu supaya dapat menghasilkan panen yang
banyak, sehingga tercapai kemakmuran. Dengan terpainya kemakmuran, populasi
rakyat China mengalami peningkatan yang sangat drastis. Pada awal masa
pemerintahan Qianlong, penduduk China berjumlah 60 juta jiwa (1736), kemudian
naik menjadi 100 juta pada tahun 1753, dan pada 1792 meningkat tiga kali lipat
menjadi 300 juta jiwa. Sehingga, dalam masa pemerintahan Qianlong saja, jumlah
penduduk China naik sebanyak lima kali lipat dan peminat bidang kesusasteraan.
Sekitar 30.000 syair telah ditulisnya dalam bahasa Tionghoa serta Manchu.
Dinataranya yang terkenal ialah

Sajak Elegi Mengenai Mukden (Shenyang), ibukota lama bangsa Manchu dan Teh;
Kitab Ontologi, yang diberi nama : ”Zse Ku Chuan Su” (Empat Kamar Mestika)
yang dikerjakan oleh 15.000 penulis yang selesai dalam waktu 8 tahun (1782-
1790M), dan terdiri dari 3.462 buah buku, terdiri dari 26.000 kodi sebanyak 79.582
pasal. Setelah karya ini selesai, kaisar memerintahkan untuk membuat tujuh
salinannya yang disebar di istana kaisar Beijing, istana musim dingin Beijing,
perpustakaan-perpustakaan di Fengtian, Jehol, dan Yangzhou, kuil Bukit Emas, dan
Shenyin.dan disusun pula daftar pustaka yang jumlahnya berbuku-buku untuk karya
ini. Namun, Qianlong juga melakukan pemusnahan terhadap 2.300 buku yang
mengandung unsur anti-Manchu serta kesetiaan terhadap Dinasti Ming.

Selain kebijakan-kebijakan di atas, Qianlong juga mengeluarkan kebijakan lain yang


berhubungan dengan peperangan. Ia berhasil mengalahkan bangsa Turki Muslim di
Kasygar dan Yarkand pada 1755M, menduduki Tibet pada 1765M, dan
menundukkan Birma 1765-1769M. Dengan demikian, wilayah kekuasaan Manchu
sangat luas meliputi seluruh Cina dalam, Cina luar, Tibet, Birma, dan Annam serta
Korea menjadi daerah vassalnya.

Masa pemerintahan Qianlong ini boleh dikatakan sebagai zaman kemakmuran China.
Bahkan, kemasyhuran Qianlong mencapai benua Eropa. Voltaire (1674-1778),
menyepadankan Qianlong dengan Frederik Agung (1712-1786). Voltaire juga
menyatakan bahwa di dunia ini hanya dua raja saja yang gemar kesusastraan, yakni
Qianlong dan Frederik (Ivan Taniputera, 2007: 503)

2.4 Kebudayaan yang Dihasilkan Oleh Dinasti Qing


2.4.1. Gaya Rambut Taucang

Pada masa awal Dinasti Qing yang dipimpin oleh kaisar Shunzhi (1646-1660)
diterapkan kebijakan taucang. Gaya rambut taucang merupakan gaya rambut yang
mirip dengan ekor kuda. Semua orang China diwajibkan untuk mengepang
rambutnya dan mencukur rambut kepala bagian depan seperti orang Mancu sebagai
simbol ketaklukan mereka (Septianingrum. A, 2017, hlm. 167).

Alasan utama penerapan taucang adalah upaya penaklukan budaya dengan


jalan memutuskan pertalian orang Han dengan leluhurnya. Sesuai dengan falsafah
bakti terhadap orang tua dan leluhur, orang Han tidak memotong rambutnya karena
dianggap rambut adalah pemberian orang tua. Kaisar Shunzhi yang berhasil
menaklukan Beijing pada tahun 1644 mengeluarkan perintah kepada seluruh rakyat
dan suku yang ada di bawahnya untuk mengikuti model rambut orang Manchuria
yaitu model rambut Taucang. Apabila terdapat orang yang tidak mematuhi perintah
tersebut, maka ia akan mendapatkan hukuman penggal.

Orang Mancu merupakan suku bangsa yang mahir berkuda, untuk


memudahkan, maka rambut depan mereka botakkan dan bagian belakang diikat, jika
tidak, rambut akan tertiup angin kencang ke sana kemari (Jiang. R, 2012).

Hal tersebut yang menjadikan orang Mancu terbiasa dengan model rambut
Taucang. Mereka menggunduli rambut bagian depan agar tidak menghalangi
pandangan ketika mengendarai kuda. Sedangkan rambut bagian belakang dibiarkan
panjang, kemudian agar terlihat lebih rapih mereka mengepang rambut bagian
belakang.

Orang-orang China yang tadinya harus mencukur rambut bagian depan serta
memanjangkan bagian belakang serta mengkepang sebagai simbol takluk bangsa
Manchu, kini dengan gagah berani memotong pendek rambut mereka untuk
menunjukkan pertentangan pemerintah Dinasti Qing (Septianingrum. A, 2017, hlm.
175).

Dengan munculnya gerakan revolusi yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen
maka gaya rambut model taucang perlahan ditinggalkan, mereka meninggalkan
model rambut taucang sebagai bentuk perlawanan dan ingin menumbangkan Dinasti
Qing.

2.4.2 Siku Quanshu (Kumpulan Lengkap Empat Perbendaharaan) atau Sigu


Quanshu (Empat Kamar Mestika)

Pada masa pemerintahan Qianlong, Dinasti Qing mengalami masa keemasan.


Qianlong merupakan kaisar dengan sosok pribadi yang luar biasa, ia sangat pandai
dalam strategi militer, sastra, seni lukis, dan ilmu pengetahuan.
Qianlong memiliki sumbangsih besar dalam bidang kesusastraan. Antologi
yang disusun oleh Qianlong itu disebut Empat Kamar Mestika (Sugu Quanshu) dalam
36.000 jilid yang memuat 79.582 pasal, isinya dikategorikan menjadi empat bagian:
(1) Jing atau karya-raya klasik konfusianisme, (2) Shi atau sejarah, (3) Zia tau filsafat
dan ilmu pengetahuan, dan (4) Ji atau kesusastraan (Taniputera. I, 2017, hlm. 502).

Pada tahun Qianlong ke-6 (1741), Qianlong memerintahkan kepada gubernur-


gubernur provinsi untuk mengumpulkan buku-buku langka dari penduduknya, kaisar
juga meminjam buku-buku dan naskah-naskah berharga dari perpustakaan umum,
pada bulan pertama tahun Qianlong ke-37 (1772), Qianlong mengeluarkan
pengumumam resmi ke seluruh penjuru kerajaannya, yang isinya meminta kesediaan
rakyat untuk menyumbangkan karya sastra yang mereka miliki untuk dikompilasi
oleh pemerintah.

Karena buku yang terkumpul dari masyarakat hanya sedikit, sehingga


membuat pembuatan Siku Quanshu terhambat, pejabat pendidikan dari provinsi
Anhui mengajukan usulan agar Qianlong menggunakan Ensiklopedi Yongle sebagai
kerangka acuan dasar penyusunan Siku Quanshu. Akhirnya Qianlong menggunakan
ensiklopedi yang sudah ada dan menggunakan kumpulan perbendaharaan
perpustakaan kekaisaran ditambah dengan buku-buku yang terkumpul dari rakyat.

Karena buku yang terkumpul dari rakyat hanya sedikit, maka Qianlong
memerintah para pejabat provinsi agar mengumpulkan buku semaksimal mungkin,
dan untuk melakukannya mereka bisa melacak ke para perpustakaan dan pedagang
buku-buku tersebut.

Buku yang telah terkumpul dipisahkan dan dibagi menjadi tiga ketegori.
Pertama, buku yang wajib disalin yaitu buku-buku yang kemudian menjadi bagian
dari Siku Quanshu, termasuk buku-buku langka yang sangat berharga, kemudian
buku-buku tersebut dibuatkan satu bagian terpisah dan diberi judul Kumpulan Buku-
Buku Berharga Istana Wuyin. Kedua, buku yang wajib disimpan yaitu buku yang
tidak mengandung ideologi berbahaya menentang pemerintahan, namun juga tidak
terlalu berharga untuk masuk ke dalam Siku Quanshu. Ketiga, buku yang wajib
dimusnahkan yaitu buku terlarang yang berisi ideologi berbahaya yang mngancam
pemerintah.

Saat ini, hanya tinggal empat saja yang tersisa, masing-masing disimpan di
Perpustakaan Nasional di Beijing, Museum Istana di Taiwan, Perpustakaan Gansu di
Lanzhou, dan Perpustakaan Zhejiang di Hangzhou (Wicaksono. M, 2011, hlm. 91).

2.4.3. Pakaian Qípáo (Cheongsam)

Qípáo, yang juga dikenal sebagai cheongsam dalam dialek Kanton, semula
adalah pakaian tradisional wanita suku bangsa minoritas Cina, yakni suku Man 满.
Karena suku Han memanggil orang-orang dari suku Man dengan sebutan “Qí rén

旗人”, maka pakaian mereka disebut “Qípáo 旗袍”, qípáo berawal dari jubah panjang

(cháng páo 长 袍 ) wanita suku Man, tetapi telah mengalami perkembangan dan

perubahan seiring berjalannya waktu (Fransisca. E.S, 2008, hlm. 24).

Qípáo banyak mengalami perubahan. Pada awal masa Dinasti Qing, bagian
kerah qípáo rendah, namun seiring berjalannya waktu bagian kerah berubah semakin
tinggi dan menyempit. Perubahan tersebut memiliki tujuan agar terlindung dari cuaca
dingin. Kemudian seiring berjalannya waktu, kerah qípáo tidak hanya bertujuan
untuk melindungi dari cuaca dingin, tetapi juga untuk keindahan, kerah qípáo dibuat
semi bulat dengan bagian kanan dan kiri yang simetris dan menampakkan
kejenjangan leher wanita.

Walaupun mengalami banyak perubahan dalam modelnya, namun terdapat


ciri khas dari pakaian qípáo yaitu kancing simpul, China terkenal akan tradisi
keahliannya dalam membuat sampul. Ciri khas lain yang masih ada sampai sekarang
adalah belahan pada bagian samping kanan dan samping kiri bawah. Funsi dari
belahan samping adalah untuk mempermudah wanita Manchu pada saat menunggang
kuda, namun sekarang fungsi tersebut sudah berubah tidak lagi ditujukan agar
memudahkan pada saat menunggang kuda, melainkan untuk memudahkan ketika
berjalan sekaligus untuk memperlihatkan keindahan kaki wanita.

Kain-kain tersebut biasanya disertai dengan motif-motif khas Cina seperti

tanaman peony (mŭdan 牡丹) yang menyimbolkan kemakmuran serta merupakan

metafora kecantikan wanita, plum (méi huā 梅 花 ) yang menyimbolkan

keberuntungan, dan lotus (lián 莲) yang menyimbolkan cinta, kesucian, dan


keharmonisan, selain motif tumbuhan, juga terdapat motif hewan, hewan yang
biasanya menjadi motif pada bahan qípáo adalah naga, naga dianggap sebagai sumber
kebijaksanaan dan kekuatan. Naga merupakan lambang kebesaran dalam kebudayaan
Cina serta identik dengan kekuatan dan kehebatan (Fransisca. E.S, 2008, hlm. 26).

2.5 Keadaan Sosial dan Masyarakat Pada Masa Dinasti Qing

2.6 Penyebab Dinasti Qing Mengalami Keruntuhan


BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Dinasti Qing (1644-1912) merupakan salah satu dari dua dinasti asing yang
memerintah di China. Dinasti ini dipimpin oleh bangsa Manchuria. Di bawah
kekuasaan Dinasti Qing pada masa pemerintahan kaisar yang terkenal seperti Kangxi
dan Qianlong, China mengalami masa kejayaan. Di bawah pemerintahan kedua kaisar
tersebut wilayah kekuasaan China sangat luas, meliputi wilayah China dalam dan
China luar (Mongolia, Manchuria, Sinkiang, dan Tibet). Pengaruhnya juga terasa
sampai ke Nepal, Birma, Laos, Siam, Annam, Korea, dan Ryukyu. Pada abad ke-19
pengaruh barat mulai mendominasi China sehingga muncullah seorang tokoh
revolusioner, Dr. Sun Yat Sen yang memelopori terjadinya Revolusi China pada
tahun 1912. Dengan adanya gerakan revolusi China, kekuasaan Dinasti Qing runtuh
sekaligus menjadikan akhir dari pemerintahan yang bersifat monarki dan merubah
China menjadi negara republik.

3.2 Saran

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam makalah ini, baik materi


maupun struktur penulisan. Kritik membangun sangat penulis perlukan untuk
menunjang perbaikan penulisan kedepannya. Terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah yang belum sempurna ini.
DAFTAR PUSTAKA

Leo Agung. 2012. Sejarah Asia Timur 1. Yogyakarta: Ombak.


Septianingrum, A. (2017). Sejarah Asia Timur: Dari Masa Peradaban Kuno Hingga
Modern. Yogyakarta: Sociality.

Jiang, R. (2012). Mengenai Sejarah Kuncir atau Taucang. [Online]. Diakses dari
http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/265-mengenai-sejarah-kuncir-
atau-taucang

Taniputera, I. (2017). History of China. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Wicaksono, M. (2011). Dinasti Manchu – Masa Keemasan (1735-1850). Jakarta: PT


Alex Media Komputindo.

Fransisca, E.S. (2008). Representasi Cina Melalui Qípáo (旗袍), Pakaian Wanita

Tradisional Cina. (Skripsi). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budya, Universitas


Indonesia, Depok.

Anda mungkin juga menyukai