Anda di halaman 1dari 11

Nama : Ni Putu Arianti

Kelas :D

Fakultas : Ekonomi

Universitas : Andi Djemma Palopo

ANALISIS BUDAYA SUKU BETAWI

Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang berbudaya,
hal ini dapat dilihat dari perkembangan manusia yang ditandai dengan adanya peradaban-
peradaban dan juga budaya yang telah terbentuk.Manusia mendiami wilayah yang berbeda,
berada di lingkungan yang berbeda juga. Hal ini membuat kebiasaan, adat istiadat, kebudayaan
dan kepribadian setiap manusia suatu wilayah berbeda dengan yang lainnya. Namun secara garis
besar terdapat tiga pembagian wilayah, yaitu : barat, timur tengah, dan timur.Kita di indonesia
termasuk ke dalam bangsa timur, yang dikenal sebagai bangsayang berkepribadian baik. Bangsa
timur dikenal dunia sebagai bangsa yang ramah dan bersahabat. Orang-orang dari wilayah lain
sangat suka dengan kepribadian bangsa timur yang tidak individualistis dan saling tolong
menolong satu sama lain. Menurut Selo Soemardjan menjelaskan bahwa yang dimaksud
masyarakat adalah manusia yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Dengan
demikian tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan. Sebaliknya tak ada
kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah pendahulunya. Dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama untuk melakukan
kegiatan bagi kepentingan bersama atau sebagian besar hidupnya berada dalam kehidupan
budaya. Masyarakat atau Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antar etnis dan bangsa di
masa lalu secara biologis. Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni di
Jakarta dan Bahasa Melayu Kreol adalah bahasa yang digunakannya,dan juga kebudayaan
melayunya adalah kebudayaanya. Kata Betawi sebenarnya berasal dari kata “Batavia”, yaitu
nama kuno Jakarta diberikan oleh Belanda. Jadi, sangatlah menarik bila diteliti secara sruktur,
poses dan pertumbuhan social Suku Betawi mulai dari sejarahnya, bahasa, kepercayaan, profesi,
perilaku, wilayah, seni dan budayanya. Etimologi

Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta[4] dan
bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Mengenai asal mula
kata Betawi, menurut para ahli dan sejarahwan, seperti Ridwan Saidi ada beberapa acuan:

Pitawi (bahasa Melayu Polinesia Purba) yang artinya larangan. Perkataan ini mengacu
pada komplek bangunan yang dihormati di Candi Batu Jaya. Sejarahwan Ridwan Saidi
mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan di Candi Batu Jaya, Tatar Pasundan, Karawang
merupakan sebuah Kota Suci yang tertutup, sementara Karawang, merupakan Kota yang
terbuka.[6]

Betawi (Bahasa Melayu Brunei) digunakan untuk menyebut giwang[7]. Nama ini
mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi[8], yang banyak ditemukan giwang dari
abad ke-11 M.

Flora Guling Betawi (cassia glauca), famili papilionaceae yang merupakan jenis tanaman
perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kukuh[9] Dahulu kala jenis
batang pohon Betawi banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata keris atau gagang
pisau. Tanaman guling Betawi banyak tumbuh di Nusa Kelapa dan beberapa daerah di pulau
Jawa dan Kalimantan. Sementara di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, guling Betawi disebut
Kayu Bekawi. Ada perbedaan pengucapan kata "Betawi" dan "Bekawi" pada penggunaan
kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, pergeseran huruf tersebut biasa
terjadi dalam bahasa Melayu.

Kemungkinan nama Betawi yang berasal dari jenis tanaman pepohonan ada kemungkinan
benar. Menurut sejarahwan Ridwan Saidi pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini
memang digunakan pada pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta, seperti
Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dan banyak lagi. "Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak
ada hubungannya dengan orang Makassar, melainkan diambil dari jenis rerumputan"[10]
Sehingga kata "Betawi" bukanlah berasal dari kata "Batavia" (nama lama kota Jakarta pada masa
Hindia Belanda), dikarenakan nama Batavia lebih merujuk kepada wilayah asal nenek moyang
orang Belanda, terlebih lagi naskah-naskah yang ditulis pada tahun 1700 - 1800-an menuliskan
nama Batavia sebagai Batafia dan menyebut nama suku Betawi sebagai Batawi[11] yang
menerangkan posisi suku Betawi yang bukanlah sebuah suku yang terbentuk karena adanya kota
Batavia yang dibangun Belanda.

“ Batavia is the Latin name for the land of the Batavians during Roman times. This
was roughly the area around the city of Nijmegen, Netherlands, within the Roman Empire. The
remainder of this land is nowadays known as Betuwe. During the Renaissance, Dutch historians
tried to promote these Batavians to the status of "forefathers" of the Dutch people. They started
to call themselves Batavians, later resulting in the Batavian Republic, and took the name
"Batavia" to their colonies such as the Dutch East Indies, where they renamed the city of
Jayakarta to become Batavia from 1619 until about 1942, when its name was changed to
Djakarta (this is the short for the former name Jayakarta, later respelt Jakarta; see: History of
Jakarta). The name was also used in Suriname, where they founded Batavia, Suriname, and in
the United States where they founded the city and the town of Batavia, New York. This name
spread further west in the United States to such places as Batavia, Illinois, near Chicago, and
Batavia, Ohio. ”
Kemudian penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku yang pada masa hindia belanda,
diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama Pemoeda Kaoem Betawi yang lahir
pada tahun 1923.[12]

A. Sejarah
Berikut merupakan pemaparan para ahli tentang sejarah Betawi :
 Periode sebelum masehi

Sejarah Betawi diawali pada masa zaman batu yang menurut Sejarawan Sagiman
MD sudah ada sejak zaman neolitikum. Arkeolog Uka Tjandarasasmita dalam
monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan
Pajajaran" (1977) secara arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah
tentang sejarah penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara pada
abad ke-5. Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman neolitikum atau batu baru
(3500–3000 tahun yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya di mana terdapat aliran-aliran
sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat
tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia yang menyebar hampir di seluruh
wilayah Jakarta. Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung,
pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan
bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam
perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi
kemasyarakatan yang teratur. [13]

Sementara Yahya Andi Saputra (Alumni Fakultas Sejarah Universitas Indonesia),


berpendapat bahwa penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya,
dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan budaya. Bahasa, kesenian,
dan adat kepercayaan mereka sama. Dia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian
menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri-sendiri.

 Pertama, munculnya kerajaan-kerajaan pada zaman sejarah.


 Kedua, kedatangan dan pengaruh penduduk dari luar Nusa Jawa.
 Terakhir, perkembangan kemajuan ekonomi daerah masing-masing.
Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno). Di antara penduduk juga
mengenal huruf hanacaraka (abjad bahasa Jawa dan Sunda). Jadi, penduduk asli Betawi
telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu.[14]
 Periode setelah masehi
 Periode awal Abad ke-2
Pada abad ke-2, Menurut Yahya Andi Saputra Jakarta dan sekitarnya
termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di
kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah rakyat Kerajaan
Salakanagara. Pada zaman itu perdagangan dengan Cina telah maju. Bahkan, pada
tahun 432 M Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke Tiongkok.
 Abad ke-5

Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi sungai
Citarum. Menurut Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan
kelanjutan Kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibu kota kerajaan dipindahkan dari
kaki gunung Salak ke tepi sungai Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat
kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibu kota kerajaan di tepi sungai
Candrabhaga, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi.
Candra berarti bulan atau sasih, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi,
yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan
Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termasyhur itu. Raja
Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali
Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal
persawahan menetap. Pada zaman Tarumagara kesenian mulai berkembang.
Petani Betawi membuat orang-orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-
orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini masih dapat kita saksikan di
sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil
menggerak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu. Jika panen tiba petani
bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi
Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Penduduk mengarak
barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan mereka punya
kagumbiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan
juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang
mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara nyadran.
Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.

 Abad ke-7

Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya


yang beragama Buddha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk
Melayu dari Sumatra. Mereka mendirikan permukiman di pesisir Jakarta.
Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa
pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan antara penduduk asli dengan
pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir
saja kemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede.
Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga
dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga.
Dalam keluarga Betawi ayah disebut baba. Tetapi ada juga yang menyebutnya
babe, mba, abi atau abah — pengaruh para pendatang dari Hadramaut, Yaman.
Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut umi atau enya'
dari kata nyonya. Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu
dinamakan anak bontot.
 Abad ke-10

Pada sekitar abad ke-10. Saat terjadi persaingan antara orang Melayu yaitu
Kerajaan Sriwijaya dengan orang Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri.
Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Tiongkok ikut campur
sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai,
kendali lautan dibagi dua, sebelah Barat mulai dari Cimanuk dikendalikan
Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kerajaan Kediri. Artinya
pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.

Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah


untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat.
Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku
Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi
persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya – karena
gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin awal – bahasa Melayu
yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di
Kerajaan Kalapa. Sejarahwan Ridwan Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu
orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup
sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa
Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda), orang-orang di desa pinggiran
Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu
Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.

 Periode kolonialisasi Eropa


 Abad ke-16

Grup tari Topeng Betawi saat masa kolonial Hindia Belanda.

Perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada
tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa
mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang
menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong atau dikenal
sebagai Keroncong Tugu.

Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan
banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota
ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih
berlangsung praktik perbudakan.[15] Itulah penyebab masih tersisanya kosakata dan tata bahasa
Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa
dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh
suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak
dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan
petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia, Kampung Melayu,
Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis.
Rumah Bugis di bagian utara Jalan Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada
tahun 1690.

 Abad ke-19

Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, sejarahwan
Australia, Lance Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal usul orang Betawi. Hasil
penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi
terbentuk pada sekitar pertengahan abad ke-19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai
kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.

Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri
dari:

 Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di
dalam kota benteng Batavia.
 Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
 Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
 Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya
dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak
awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut
mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data
sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan walaupun hasil kajian yang dilakukan Castles
mendapatkan banyak kritikan karena hanya menitikberatkan kepada skesta sejarah yang baru
ditulis tahun 1673.
Mengikuti kajian Castles, antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab,
M.A. memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.
Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan
bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815,
terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis
Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang
sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Melayu, orang Bali, Jawa, Sunda,
orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda. Kemungkinan kesemua suku
bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi
(bahasa Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.
 Abad ke-20

Ondel-Ondel menghiasi jalan selama festival selamatan saat peresmian sayap baru Hotel
Des Indes, 1923.
Pada zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak
pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang
Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Namun
menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum
masehi. Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof. Dr. Parsudi Suparlan menyatakan,
kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum
mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas
tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai
satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada
tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Pemoeda Kaoem Betawi.
Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan,
yakni golongan orang Betawi.

Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. berpendapat bahwa hingga beberapa waktu yang lalu
penduduk asli Jakarta mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu atau menurut lokasi
tempat tinggal mereka, seperti orang Kwitang; orang Kemayoran; orang Tanah Abang dan
seterusnya. Setelah tahun 1970-an yang merupakan titik balik kebangkitan kebetawian di Jakarta
telah terjadi pergeseran lebel dari Melayu ke Betawi. Orang yang dulu menyebut kelompoknya
sebagai Melayu telah menyebut dirinya sebagai orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat
campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di
luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng
Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatra,
Kalimantan, Semenanjung Malaka, Brunei dan Thailand Selatan yang kemudian dijadikan
sebagai bahasa Indonesia.

 Setelah kemerdekaan
 Orkestra tanjidor merayakan Tahun Baru Imlek, 1977.

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta
dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun
juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih
22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin
terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Proses
asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan
melalui proses panjang itu pulalah salah satu caranya ’suku’ Betawi hadir.
Diawali oleh orang sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam kerajaan
tarumanegara serta kemudian pakuan pajajaran. Selain orang sunda, terdapat pula pedagang dan
pelaut asing dari pesisir utara jawa, dari berbagai pulau indonesia timur, dari malaka di
semenanjung malaya, bahkan dari tiongkok serta gujarat di india.

Selain itu, perjanjian antara surawisesa (raja kerajaan sunda) dengan bangsa portugis
pada tahun 1512 yang membolehkan portugis untuk membangun suatu komunitas di sunda
kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa portugis
yang menurunkan darah campuran portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.

Setelah VOC menjadikan batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, belanda memerlukan
banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota
ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak dari penguasa bali, karena saat itu di bali masih
berlangsung praktik perbudakan. Itulah penyebab masih tersisanya kosa kata dan tata bahasa bali
dalam bahasa betawi kini. Kemajuan perdagangan batavia menarik berbagai suku bangsa dari
penjuru nusantara hingga tiongkok, arab dan india untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku
bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin betawi yang banyak dipengaruhi
unsur arab dan tiongkok. Berbagai nama tempat di jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah
mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke batavia; kampung melayu, kampung bali,
kampung ambon, kampung jawa, kampung makassar dan kampung bugis. Rumah bugis di
bagian utara jl. Mangga dua di daerah kampung bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal
abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah kota.

Antropolog universitas indonesia, Dr. Yasmine zaki shahab, ma memperkirakan, etnis


betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas
studi sejarah demografi penduduk jakarta yang dirintis sejarawan australia, lance castle. Di
zaman kolonial belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa
atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat
penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis betawi.
Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada.
Misalnya saja orang arab dan moor, orang bali, jawa, sunda, orang sulawesi selatan, orang
sumbawa, orang ambon dan banda, dan orang melayu. Kemungkinan kesemua suku bangsa
nusantara dan arab moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (belanda:
inlander) di batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis betawi.

B. Penduduk Betawi

Merupakan komunitas penduduk di Jawa (Pulau Nusa Jawa) yang berbahasa Melayu,
dikemudian hari disebut sebagai orang Betawi. Orang Betawi ini disebut juga sebagai orang
Melayu Jawa. Merupakan hasil percampuran antara orang-orang Jawa, Melayu, Bali, Bugis,
Makasar, Ambon, Manado, Timor, Sunda, dan mardijkers (keturunan Indo-Portugis) yang mulai
menduduki kota pelabuhan Batavia sejak awal abad ke-15. Di samping itu, juga merupakan
percampuran darah antara berbagai etnis: budak-budak Bali, serdadu Belanda dan serdadu Eropa
lainnya, pedagang Cina atau pedagang Arab, serdadu Bugis atau serdadu Ambon, Kapten
Melayu, prajurit Mataram, orang Sunda dan orang Mestizo.

Sementara itu mengenai manusia Betawi purbakala, adalah sebagaimana manusia pulau
Jawa purba pada umumnya, pada zaman perunggu manusia Betawi purba sudah mengenal
bercocok tanam. Mereka hidup berpindah-pindah dan selalu mencari tempat hunian yang ada
sumber airnya serta banyak terdapat pohon buah-buahan. Mereka pun menamakan tempat
tinggalnya sesuai dengan sifat tanah yang didiaminya, misalnya nama tempat Bojong, artinya
"tanah pojok".

Dalam buku Jaarboek van Batavia (Vries, 1927) disebutkan bahwa semula penduduk
pribumi terdiri dari suku Sunda tetapi lama kelamaan bercampur dengan suku-suku lain dari
Nusantara juga dari Eropa, Cina, Arab, dan Jepang. Keturunan mereka disebut inlanders, yang
bekerja pada orang Eropa dan Cina sebagai pembantu rumah tangga, kusir, supir, pembantu
kantor, atau opas. Banyak yang merasa bangga kalau bekerja di pemerintahan meski gajinya
kecil. Lain-lainnya bekerja sebagai binatu, penjahit, pembuat sepatu dan sandal, tukang kayu,
kusir kereta sewaan, penjual buah dan kue, atau berkeliling kota dengan "warung dorongnya".
Sementara sebutan wong Melayu atau orang Melayu lebih merujuk kepada bahasa pergaulan
(lingua franca) yang dipergunakan seseorang, di samping nama "Melayu" sendiri memang sudah
menjadi sebutan bagi suku bangsa yang berdiam di Sumatra Timur, Riau, Jambi dan Kalimantan
Barat.

Posisi wanita Betawi di bidang pendidikan, perkawinan, dan keterlibatan dalam angkatan
kerja relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan wanita lainnya di Jakarta dan propinsi
lainnya di Indonesia. Keterbatasan kesempatan wanita Betawi dalam pendidikan disebabkan oleh
kuatnya pandangan hidup tinggi mengingat tugas wanita hanya mengurus rumah tangga atau ke
dapur, disamping keterbatasan kondisi ekonomi mereka. Situasi ini diperberat lagi dengan
adanya prinsip kawin umur muda masih dianggap penting, bahkan lebih penting dari pendidikan.
Tujuan Undang-Undang Perkawinan untuk meningkatkan posisi wanita tidak banyak
memberikan hasii. Anak yang dilahirkan di Jakarta, tidak mempunyai hubungan dengan tempat
asal di luar wilayah bahasa Melayu, dan tidak mempunyai hubungan kekerabatan atau adat
istiadat dengan kelompok etnis lain di Jakarta.

C. Kepercayaan

Orang Betawi sebagian besar menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama
Kristen; Protestan dan Katholik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang
beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara
penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa,
raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun
benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda
Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu,
Jakarta Utara.

D. Sistem Mata Pencaharian

Mata pencaharian orang Betawi dapat dibedakan antara yang berdiam di tengah kota dan
yang tinggal di pinggiran. Di daerah pinggiran sebagian besar adalah petani buahbuahan, petani
sawah dan pemelihara ikan. Namun makin lama areal pertanian mereka makin menyempit,
karena makin banyak yang dijual untuk pembangunan perumahan, industri, dan lain-lain.
Akhirnya para petani ini pun mulai beralih pekerjaan menjadi buruh, pedagang, dan lain-lain.

E. Seni dan Kebudayaan

a) Musik

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang
berasal dari seni usic Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi usic Arab,
Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-
Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana
Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti “Kicir-kicir”.

b) Seni Tari

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara nsure-unsur budaya masyarakat yang
ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda,
Cokek dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok,
seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat
dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya
dan koreografi yang dinamis.

c) Drama

Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini
biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun,
lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan
penonton.

d) Cerita Rakyat

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti
Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang
mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal
“keras”. Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai
Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman olonial. Cerita lainnya ialah Mirah dari
Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
e) Senjata Tradisional

Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.

F) Makanan

Jakarta memiliki beragam masakan khas sebagai kekayaan kuliner Indonesia. Sebagai
kota metropolitan Jakarta banyak menyediakan makanan khas. Salah satu ciri dari makanan khas
Jakarta adalah memiliki rasa yang gurih. Makanan-makanan khas dari Betawi / Jakarta di
antaranya adalah : kerak telor, kembang goyang, roti buaya, kue rangi.

F. Bahasa

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara
umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari
daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia
juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan
Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan
oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di
pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu,
yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda
menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis
Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian,
masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa
Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung
dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih
sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini
disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris. Meskipun bahasa formal yang digunakan di
Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah
Bahasa Indonesia dialek Betawi.

Anda mungkin juga menyukai