Blok 29

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 13

Epistaksis Posterior et causa Hipertensi

Oleh :
Lisa Lestari
102016059
B
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi: Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Abstrak
Epistaksis merupakan suatu kondisi klinis yang sering ditemui dan dapat terjadi pada semua
umur dengan banyak variasi penyebabnya. Salah satu faktor risiko yang diduga ikut berperan
dalam terjadinya epistaksis adalah hipertensi. Terdapat hubungan antara epistaksis dengan
hipertensi yang berlangsung lama dan adanya hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi diduga tidak
menyebabkan epistaksis secara langsung, tapi memperberat episode epistaksis. Mengendalikan
tekanan darah sebagai salah satu faktor risiko, akan menurunkan insiden terjadinya epistaksis. Di
ruang gawat darurat, pemberian obat anti hipertensi diberikan sebelum atau bersamaan dengan
manajemen epistaksis itu sendiri.

Kata Kunci : Epistaksis, Hipertensi.

Abstract
Epistaxis is a common clinical problem in all age groups with varied etiological factors.
Hypertension has been suggested as a risk factor in epistaxis case. There was an association
between epistaxis and long duration of hypertension in adult and left ventricle hypertrophy. It
has been suggested that hypertension does not cause epistaxis directly, but hypertension
prolongs the episode of epistaxis when it does occur. The controlling for blood pressure as a risk
factor will be decreased the incidencies of epistaxis. In emergency rooms, high blood pressure is
usually treated before or in parallel with the management of epistaxis.
Keywords : Epistaxis, Hypertension.
Pendahuluan
Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung. Epistaksis dapat
terjadi pada segala umur, dengan insiden paling sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa.
Kebanyakan kasus ditangani pada pelayanan kesehatan primer dan kecil kemungkinan pasien
dibawa ke rumah sakit dan spesialis THT. Epiktasis diperkirakan terjadi pada 60% warga dunia
selama hidupnya dan 6% dari mereka mencari penanganan medis. Prevalensi epistaksis
meningkat pada anak-anak usia dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun
keatas. 1Penyebab terjadinya epiktasis dibagi menjadi dua: secara lokal dan sistemik. Secara
lokal, epistaksis dapat disebabkan oleh trauma, fraktur, reaksi imunologik, kelainan anatomis
hidung, pengunaan nasal spray, benda asing, tumor intranasal, dan sebagainya. Sedangkan
penyebab sistemik terjadinya epistaksis adalah kelainan vaskuler, keganasan hematologik, blood
dyscrasia, alergi, malnutrisi, alcohol, hipertensi, obat-obatan dan infeksi.1,2 Kebanyakan kasus
epistaksis berasal pada bagian anterior hidung, yang mana perdarahan berasal dari anastomosis
pembuluh darah arteriol di septum nasi (Pleksus Kiesselbach). Epiktasis posterior umumnya
berasal dari kavum nasal posterior melalui arteri spenopalatina. Epistaksis anterior secara klinis
dapat terlihat jelas. Sedangkan epistaksis posterior bisa berlangsung asimptomatik atau dapat
secara diam-diam mengakibatkan mual, hematemesis, anemia, hemoptysis atau
melena.Penanganan utama pada epistaksis adalah kompresi pada lubang hidung dan memasang
tahanan pada lubang hidung dengan mengunakan kain kasa atau kapas yang telah di basahi nasal
dekongestan. Penekanan langsung setidaknya di lakukan terus menerus selama 5 menit dan
sampai 20 menit. Memiringkan kepala ke depan dapat mencegah darah mengalir ke bagian
posterior faring, hal ini mencegah mual dan obstruksi jalan nafas.1

Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dengan pasien/keluarganya/orang
yang mempunyai hubungan dekat dengan pasien dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk
verbal dan non-verbal mengenai riwayat penyakit pasien. Tujuan dari anamnesis adalah
mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan. Informasi yang dimaksud
adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan pasien, selain itu juga tujuan yang
tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien yang profesional dan optimal.

Hal-hal penting yang biasanya ditanyakan kepada pasien adalah sebagai berikut:2
1) Identitas pasien, seperti nama, alamat, umur, pekerjaan dan sebagainya.
2) Keluhan utama pasien, hal utama yang membuat pasien datang menemui dokter. Keluhan
utama digolongkan menurut lama, frekuensi, lokasi, berat dan keadaan lingkungan saat
timbul juga sangat penting, demikian pula dengan gejala tambahan seperti nyeri kepala, mual
dan muntah atau gejala lain yang berhubungan dengan telinga maupun tenggorok.
3) Riwayat penyakit dahulu, apakah pasien memiliki penyakit sistemik tertentu seperti diabetes
dan hipertensi. Tanyakan apakah ada riwayat alergi, atau rekurensi penyakit sebelumnya,
serta menanyakan riwayat trauma.
4) Riwayat pengobatan, apakah pasien pernah mengkonsumsi obat-obat yang toksik atau
berisiko tinggi mengakibatkan perdarahan.
5) Riwayat keluarga, tanyakan apakah di dalam keluarganya ada yang mengalami kelainan
darah yang dapat diturunkan seperti koagulopati atau hemofilia.
6) Riwayat pribadi, seperti konsumsi alkohol, merokok dan lingkungan tempat tinggal atau
kerjanya.

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang
memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi
sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua
kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah
dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor
penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan
larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan
adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi
pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk .Sesudah 10 sampai 15 menit kapas
dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.3,4

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat
kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung
aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan
berupa.4,5
a) Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi
dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.
e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.

Gambar 1. Tampilan endoskopi epistaksis posterior


f) Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial,
jumlah platelet dan waktu perdarahan.

Differential Diagnosis
Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan paling
sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat
berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana. Jika perdarahan
masih aktif setelah tindakan inisiasi maka dapat dilakukan pemasangan tampon anterior atau
melakukan kauterisasi.3
Gambar 2. Epistaksis anterior

Working Diagnosis
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90% dapat
berhenti sendiri. Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung.
Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak dan orang
tua. Kebanyakan kasus ditangani pada pelanan kesehatan primer dan kecil kemungkinan pasien
dibawa ke rumah sakit atau ke spesialis THT. Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi ringan
dan bersifat self-limiting, ada beberapa kasus yang berat dan mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang serius. Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping
perlu juga menemukan dan mengobati penyebab yang mendasarinya.6,7 Epiktasis posterior
umumnya berasal dari kavum nasal posterior melalui arteri spenopalatina dan diakibatkan oleh
kelainan sistemik seperti hipertensi, infeksi maupun penggunaan obat-obatan.

Vaskularisasi Hidung

Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis anterior, arteri
etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri sfenopalatina. Arteri etmoidalis
anterior memperdarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung. Arteri
etmoidalis posterior memperdarahi septum bagian superior posterior. Arteri sfenopalatina terbagi
menjadi arteri nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri septi
posterior yang menyebar pada septum nasi.6 Bagian bawah rongga hidung mendapat
pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor
dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan
hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.6
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri
etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis.6Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka
media terdapat plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis
posterior dan faringeal asendens. Epistaksis anterior sering mengenai daerah plexus Kiesselbach.
Epistaksis anterior lebih mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah diatasi
dibandingkan epistaksis posterior. Batas yang membagi antara epistaksis anterior dan epistaksis
posterior adalah ostium sinus maksilaris.6,7

Gambar 3. A.Perdarahan pada septum nasi. B.perdarahan pada dinding lateral nasal.7

Etiologi
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.3,6,7
1) Lokal
a) Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan
ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang
lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering
mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum
anterior. Selain itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau
trauma pembedahan.6,7 Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma
local, misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada
mukosa hidung.

b) Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau
sinusitis.Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.6,7

c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-
kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma dapat
menyebabkan epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang
abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat
rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.6,7

d) Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering
terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh
dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat
korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah gampang
pecah.6,7

2) Sistemik
a) Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah trombositopenia,
hemofilia dan leukemia.Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak
berinti dan dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila
terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak akan melepaskan serotonin
dan tromboksan A₂(prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh

darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian
trombosit membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut kolagen dinding
pembuluh darah yang rusak dan membentuk plug trombosit. Trombosit juga akan
melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain, sehingga mengakibatkan agregasi
trombosit untuk memperkuat plug. Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah
trombosit kurang dari 150.000/ µl. Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi
dan memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di seluruh
tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis pada keadaan trombositopenia.3,4

Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara X-linked
resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis herediter, dimana
terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia
B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara
normal. Proses pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan
terjadinya epistaksis.3,4

Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang
diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang atau bone marrow ini
dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya sel darah putih
(berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah (berfungsi
membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel darah yang membantu
proses pembekuan darah). Pada Leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit
sehingga menyebabkan penekanan atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di
sumsum tulang termasuk trombosit. Sehingga terjadi keadaan trombositopenia yang
menyebabkan perdarahan mudah terjadi.3,4,6

b) Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, sirosis hepatis,
diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya
hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.3-6
1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG dan
tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis sering terjadi pada tekanan
darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit
hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus menerus yang
mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.
2. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan
tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan
vasodilatasi, menyebabkan rupture dari pembuluh darah.
3. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX,
X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin
yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadinya
perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.
4. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan mikroangiopati dan
makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endotelial
pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah
lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan
basal membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi
lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis
dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus.

c) Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga menyebabkan
terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia dan
kematian sel. Selain itu hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang
dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi epistaksis.

Patofisiologi
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar ditanggulangi.
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.3,5
Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Perdarahan
cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia,
hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.6

Gambar 4. Epistaksis posterior

Tatalaksana
Penanganan pertama pada pasien epistaksis adalah kompresi hidung dan menutup lubang hidung
yang bermasalah dengan kasa atau kapas yang telah di rendam pada topical dekongestan terlebih
dahulu. Penekanan langsung sebaiknya dilakukan terus-menerus setidaknya 5 menit atau sampai
20 menit. Miringkan kepala kedepan agar mencegah darah mengalir ke bagian posterior faring,
hal ini untuk mencegah rasa mual dan obstruksi jalan nafas. 3,4,6
Gambar 5. Diagram penangan epistaksis5
Epistaksis yang tidak hilang dengan penekanan dan pemberian topical vasokonstriktor
membutuhkan tindakan kauterisasi. Kauterisasi kimia dapat dilakukan pada epistaksis dengan
perdarahan ringan aktif atau setelah perdarahan aktif yang telah berhenti dan sumber perdarahan
telah teridentifikasi. Apabila harus dilakukan kauterisasi bilateral, penanganannya harus di
lakukan terpisah 4-6 minggu agar terjadi penyembuhan mukosa terlebih dahulu. Epistaksis berat
yang tidak berespon dengan kauterisasi kimia memerlukan kauterisasi elektrikal.3,4

Epistaksis posterior jarang terjadi dibandingkan epistaksis anterior dan biasanya ditangani oleh
dokter spesialis. Posterior nasal packing atau tampon posterior dilakukan dengan memasukkan
kateter melalui salah satu lubang hidung atau keduanya ke nasofaring dan keluar melalui mulut.
Tampon kasa di kaitkan diujung kateter lalu ditempatkan di nasofaring posterior, lalu kateter
ditarik dari hidung sehingga tampon kasa dapat berada di belakang koana dan menutupi aliran
rogga hidung posterior serta memberikan efek penekanan pada sumber perdarahan. Prosedur ini
memerlukan keterampilan khusus dan semua pasien dengan tampon posterior ini harus dilakukan
monitoring di rumah sakit.3,5

Gambar 6. Posterior nasal packing/Tampon hidung posterior


Sama seperti anterior nasal packing, nekrosis jaringan dapat terjadi pada pemasangan posterior
nasal packing yang salah maupun pada pemasangan balon yang dikembangkan berlebihan.
Ketika tindakan konservatif gagal untuk menghentikan perdarahan, embolisasi atau ligasi
pembuluh darah diperlukan. Ahli radiologi intervensi dapat melakukan embolisasi pada cabang
7,8
distal dari arteri maxillaris interna dan arteri sphenopalatina untuk epistaksis posterior.
Berdasarkan beberapa laporan kasus dan ulasan literatur, tingkat kesuksesan ligasi arteri
sphenopalatina adalah sama atau lebih tinggi dibandingkan tindakan embolisasi. Ligasi dapat
7,8
dilakukan 30-60 menit dengan mengunakan teknik endoskopik modern. Ketika epistaksis
telah terkontrol, perawatan rutin mukosa hidung penting untuk diperhatikan agar menghindari
rekurensi. Pemberian gel topical, lotion, dan salep dapat melembabkan mukosa dan mempercepat
penyembuhan.6

Komplikasi
Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi
palatum mole dan sudut bibir bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang
ditarik. Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang
turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan
akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.7

Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi
dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya
buruk.7

Pencegahan
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara lain:3,7,8
a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada kedua
lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur
1 sendok the garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai
hangat kuku.
b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan cotton
bud melebihi 0,5 – 0,6cm ke dalam hidung.
d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e. Bersin melalui mulut.
f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
g. Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau
ibuprofen.
h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan
iritasi.

Kesimpulan
Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit, yang
disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis dibedakan
menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam
memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi yang
memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri. Prinsip penanganan epistaksis
adalah menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.

Daftar Pustaka
1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam, Philadelphia
: WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC, 1997.
2. Setiati S, Anamnesis & Pemeriksaan Fisis Komprehensif. Jakarta. 2017.
3. Iskandar N, Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. Edisi 12, 2009.
4. Melia L dan Gerald McGarry. 2008. Epistaksis in adults: a clinical review. British Journal of
Hospital Medicine Vol 69 No 7.
5. Kucik CJ dan Timothy Clenney. 2005. Management of Epistaksis. American Family
Physician Vol 71 No 2.
6. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi
Ketujuh, Jakarta FKUI, 2017
7. Maqbool M. Textbook of ear, nose and throat diseases. New Delhi: Jaypee Brothers; 2007.
8. Bailey BJ et al. 2001. Head and Neck Surgery – Otolangology 3rd Edition Lippincott
Williams & Wilkins Publishers.

Anda mungkin juga menyukai