Oleh:
Dokter Penguji:
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berbagai
kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan untuk menyelesaikan referat
dengan judul “Multi Drug Resistant TB (MDR TB).” Referat ini penulis susun
sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD
dr. Moh. Saleh Probolinggo.
Dalam menyelesaikan referat ini, tentu tak lepas dari bantuan berbagai
pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Trinandika
Ardhana, Sp. JP selaku penguji SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr. Moh. Saleh
Probolinggo.
Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
sehingga masih jauh dari kata sempurna, walaupun demikian penulis berharap
referat ini bermanfaat bagi para pembacanya khususnya rekan-rekan sejawat dokter
muda yang sedang menjalani stase di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr. Moh.
Saleh Probolinggo. Oleh sebab itu kritik dan saran sangat penulis harapkan agar
kedepannya referat ini bisa lebih sempurna.
Penulis memohon maaf sebesar-besarnya bila terdapat beberapa kesalahan
dalam referat ini. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terimakasih. Semoga
referat ini bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
terhadap dua agen anti-TB lini pertama yang paling poten yaitu isoniazide (INH)
pengobatan yang tidak adekuat. Hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan; Pasien
mungkin merasa lebih baik dan menghentikan pengobatan, persediaan obat habis
atau langka, atau pasien lupa minum obat. Awalnya resistensi ini muncul sebagai
resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah
terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi negative (Alfin,
2016).
MDR merupakan kasus yang sulit ditangani, membutuhkan biaya yang lebih besar,
efek samping obat yang lebih banyak dengan hasil pengobatan yang kurang
Laporan WHO tahun 2007 menyatakan telah terjadi mono resisten OAT
10,3%, poli resisten OAT 17,0% dan TB-MDR 2,9%. Pada tahun 2010 WHO
Prevalens TB-MDR diperkirakan meningkat lebih dari 200 kasus baru terjadi di
1
dunia. Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari
Amerika dengan angka kematian yang amat tinggi 70-90% dalam waktu yang amat
TB terjadi dari kuman yang telah resisten. Laporan di Turki dari 785 kasus
tuberkulosis paru ditemukan 35% adalah resisten satu jenis obat, 11,6% resisten
dua macam obat, 3,9% tiga macam obat dan 2,8% empat macam obat. Di Pakistan
resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan masing-masing adalah 17,7%,
14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan SM adalah 13,9% dan
7,4%, sementara resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah 41%. Penelitian dari
Saudi Arabia menyebutkan bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan INH adalah
TB baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari
MDR TB setiap tahunnya. Pada tahun 2013 WHO memperkirakan terdapat 6800
baru dan 12% dari kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB MDR.
Tuberkulosis Resistan Obat) sejak tahun 2009 dan dikembangkan secara bertahap
2014).
2
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi terjadinya Multi drug resistant TB
(MDR TB)?
3. Bagaimana mekanisme resisten obat pada Multi drug resistant TB (MDR
TB)?
4. Bagaimana kriteria diagnosis dari Multi drug resistant TB (MDR TB)?
5. Bagaimana penatalaksanaan dari Multi drug resistant TB (MDR TB)?
TB).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
tuberkulosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa
resistant tuberculosis: emergency update oleh WHO (2008) resisten terhadap OAT
M. Tuberculosis in vitro saat terdapat satu atau lebih OAT (WHO, 2008). Terdapat
empat jenis kategori resistensi terhadap OAT, yaitu (Kementerian Kesehatan RI,
2014):
4
Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi: resistensi primer,
resistensi sekunder dan resitensi inisial. Resistensi primer adalah resistensi yang
pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT, namun kurang dari 1 (satu)
OAT minimal 1(satu) bulan. Pada resistensi inisial, bila tidak diketahui pasti apakah
pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah (WHO,
2008).
2.2 Epidemiologi
resistensi ganda kini menyebar dengan amat cepat di berbagai belahan dunia. Lebih
dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten
terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususunya Rifampisin dan INH, serta
kemungkinan pula ditambah obat lainnya. Pada tahun 2010 WHO menyatakan
bebantinggi dan prioritas kegiatan untuk MDR. Beban TB-MDR di 27 negara ini
dalam daftar ini minimal diperkirakan terdapat 4000 kasus TB-MDR atau
6.427. Angka tersebut merujuk pada perkiraan angka TB-MDR sebesar 2% dari
5
kasus TB baru dan 20% dari kasus TB pengobatan ulang (Kementerian Kesehatan
RI, 2014).
menjadi resisten terhadap salah satu jenis obat akibat mendapatkan terapi OAT
tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh
konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat
kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek
lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi
difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat,
adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan
diagnostik (Leitch, 2000). Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang
digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter
mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian
seterusnya.
6
4. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman
satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten
saja.
sampai berbulan-bulan.
resisten secara simultan terhadap Ripampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa
resistensi pada obat anti tuberkulosis lainnya). Analisa secara genetik dan
resistensi biasanya didapat oleh basil melalui mutasi terhadap target obat atau oleh
titrasi dari obat akibat overproduksi dari target. MDR TB menghasilkan secara
primer akumulasi mutasi gen target obat pada individu (lihat tabel 2.1).
Tabel 2.1 Lokus gen yang terlibat dalam resistensi obat pada mikobakterium
tuberkulosis
7
2.4.1 Mekanisme Resistensi Terhadap INH (Isoniazide)
air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan
menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting
pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen
isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase
peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA.
Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase
(Riyanto, et al., 2006). Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau
al., 2004)
Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif,
pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih 12.
Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau
8
RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan
frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan
akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen
untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada
sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis14. Obat ini bekerja
efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada
keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit ber efek (Riyanto,
et al., 2006). Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat
organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa.
Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam
hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis
9
yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada
mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase.
Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan
pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus (Wallace,
et al., 2004).
Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan
terhadap streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari
dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein
ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan streptomysin
ribosomal14. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah
diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi
pada rrs sebanyak 20%15. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya
mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme.
Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan
asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah
10
dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu 1) TB aktif yang
sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak sesuai
standar terapi; 2) Kontak dengan kasus TB resistensi ganda; 3) Gagal terapi atau
spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien
tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak
bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua
harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai (Riyanto, et al., 2006).
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB.
Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional
metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka
belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru ini
adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik
khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini
metode tes cepat (rapid test) dan metode konvensional. Saat ini ada 2 metode tes
11
cepat yang dapat digunakan yaitu pemeriksaan Gen eXpert (uji kepekaan untuk
Rifampisin) dan LPA (uji kepekaan untuk Rifampisin dan Isoaniazide). Sedangkan
maka alur diagnosis TB resisten obat yang berlaku di Indonesia adalah sebagai
12
Keterangan dan Tindak lanjut setelah penegakan diagnosis (Kementerian
kepekaan.
pengobatan TB sampai selesai. Pada pasien dengan hasil Mtb negatif, tetapi
13
fasilitas pemeriksaan uji kepekaan lini-1 dan lini-2, maka lakukan uji
maka uji kepekaan dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan
h. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR (hasil uji
Catatan: Untuk pasien yang mempunyai risiko TB MDR rendah (diluar 9 kriteria
Rifampisin Resistan, ulangi pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali lagi dengan spesi
mendahak yang baru. Jika terdapat perbedaan hasil pemeriksaan, maka hasil
pemeriksaan yang terakhir yang dijadikan acuan untuk tindak lanjut berikutnya.
14
2.6 Penatalaksanaan MDR TB
anti TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan
1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat
Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon
dalam regimennya.
efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih
minimal.
Ada tiga cara pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat
suatu area, dan hasil DST dari penderita itu sendiri. Berdasarkan data di atas mana
15
yang dipakai, maka dikenal pengobatan dengan regimen standar, pengobatan
dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST
individu penderita tersebut, dan pengobatan secara empiris yang diikuti dengan
regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut (WHO, 2008).
hasil DRS yang bersifat representative pada populasi dimana regimen tersebut akan
dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST
individu penderita: awalnya semua pasien akan mendapat regimen yang sama
tersedia dari pasien yang bersangkutan. Pengobatan secara empirik yang diikuti
dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu pasien: tiap regimen bersifat
disesuaikan setelah hasil uji sensitivitas obat dari pasien yang bersangkutan tersedia
(WHO, 2008).
Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih
menunjukkan efikasi.
Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi
fluorokuinolon.
16
Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari
sampai 4.
Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang dianjurkan
oleh WHO (2008) sebagai prinsip dasar, antara lain (WHO, 2008): (1) Regimen
harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita, (2) Dalam
pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan obat lini
kedua yang berada di area/negara tersebut, (3) Regimen minimal terdiri 4 obat yang
jelas diketahui efektifitasnya, (4) Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan, (5)
konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi, (6) Lama pengobatan
minimal 18 bulan setelah terjadi konversi, (7) Apabila terdapat DST, maka harus
menghasilkan suasana asam dan pirazinamid bekerja aktif, (9) Deteksi awal adalah
atas dua tahap, tahap awal dan tahap lanjutan. Pengobatan MDR TB memerlukan
17
waktu lebih lama daripada pengobatan TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan.
Pada tahap awal pasien akan mendapat Obat anti tuberkulosis lini kedua minimal 4
jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap
lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal (WHO, 2008).
Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized
treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien
1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar
Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB
Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan
18
lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap
dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan MDR TB dapat diperoleh setelah 2 bulan.
Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap
2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien MDR TB adalah; (1) penilaian
klinis termasuk berat badan, (2) penilaian segera bila ada efek samping, (3)
pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase
lanjutan, (4) pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi
biakan, (5) uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan
kegagalan pengobatan, (6) Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien
setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid (Kementerian Kesehatan RI,
2014).
selain relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan
risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik
19
adalah dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi
DOTS dan pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah
kasus baru TB antara lain: pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada
pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang
penting, pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secar gratis. Jangan
pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal
“evidence based” dan tes kepekaan kuman (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
20
BAB III
KESIMPULAN
tuberkulosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau
mutasi terhadap target obat atau oleh titrasi dari obat akibat overproduksi dari
target. MDR TB menghasilkan secara primer akumulasi mutasi gen target obat
pada individu.
spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika
pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika
tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini
pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai.
5. Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized
21
pasien TB RR/TB MDR. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:
22
DAFTAR PUSTAKA
Leitch GA. 2000. Management of tuberculosis in Seaton A,et al (eds) , Crofton and
Douglas’s Respiratory diseases Vol 1, 15th ed. Berlin.
Riyanto BS, Wilhan. 2006. Management of MDR TB Current and Future dalam
Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah
Berkala. PERPARI. Bandung.
Wallace RJ, Griffith DE. 2004. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E
(eds), Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th ed. Mc Graw Hill.
New York.
23