Anda di halaman 1dari 26

Multi Drug Resistant TB (MDR TB)

Oleh:

Putu Frydalyasa Yudhi A.


NPM. 16710165

Dokter Penguji:

dr. Trinandika Ardhana, Sp. JP

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD dr. MOH. SALEH KOTA PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2016
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berbagai
kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan untuk menyelesaikan referat
dengan judul “Multi Drug Resistant TB (MDR TB).” Referat ini penulis susun
sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD
dr. Moh. Saleh Probolinggo.
Dalam menyelesaikan referat ini, tentu tak lepas dari bantuan berbagai
pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Trinandika
Ardhana, Sp. JP selaku penguji SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr. Moh. Saleh
Probolinggo.
Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
sehingga masih jauh dari kata sempurna, walaupun demikian penulis berharap
referat ini bermanfaat bagi para pembacanya khususnya rekan-rekan sejawat dokter
muda yang sedang menjalani stase di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr. Moh.
Saleh Probolinggo. Oleh sebab itu kritik dan saran sangat penulis harapkan agar
kedepannya referat ini bisa lebih sempurna.
Penulis memohon maaf sebesar-besarnya bila terdapat beberapa kesalahan
dalam referat ini. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terimakasih. Semoga
referat ini bermanfaat bagi kita semua.

Probolinggo, 23 Januari 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................... i


Kata Pengantar .................................................................................................. ii
Daftar Isi ............................................................................................................ iii
Bab I Pendahuluan .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
Bab II Tinjauan Pustaka ................................................................................... 4
2.1 Definisi Multi drug resistant TB (MDR TB) ................................. 4
2.2 Epidemiologi .................................................................................. 5
2.3 Faktor Yang Mempengaruhi MDR TB ......................................... 6
2.4 Mekanisme Resisten pada MDR TB .............................................. 7
2.5 Kriteria Diagnosis MDR TB........................................................... 10
2.6 Penatalaksanaan MDR TB ............................................................. 15
2.6.1 Prinsip Penatalaksanaan MDR TB .............................................. 15
2.6.2 Paduan OAT MDR TB di Indonesia ............................................... 18
2.7 Pemantauan Selama Pengobatan .................................................... 19
2.8 Pencegahan Terjadinya Resistensi Obat ........................................ 19
Bab III Kesimpulan ........................................................................................... 21
Daftar Pustaka ................................................................................................... 23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Multi drug resistant TB (MDR TB) didefinisikan sebagai resistensi

terhadap dua agen anti-TB lini pertama yang paling poten yaitu isoniazide (INH)

dan rifampisin. MDR TB berkembang selama pengobatan TB ketika mendapatkan

pengobatan yang tidak adekuat. Hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan; Pasien

mungkin merasa lebih baik dan menghentikan pengobatan, persediaan obat habis

atau langka, atau pasien lupa minum obat. Awalnya resistensi ini muncul sebagai

akibat dari ketidakpatuhan pengobatan. Selanjutnya transmisi strain MDR TB

menyebabkan terjadinya kasus resistensi primer. Tuberkulosis paru dengan

resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah

terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi negative (Alfin,

2016).

Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR) merupakan

masalah terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Kasus TB-

MDR merupakan kasus yang sulit ditangani, membutuhkan biaya yang lebih besar,

efek samping obat yang lebih banyak dengan hasil pengobatan yang kurang

memuaskan (WHO, 2008).

Laporan WHO tahun 2007 menyatakan telah terjadi mono resisten OAT

10,3%, poli resisten OAT 17,0% dan TB-MDR 2,9%. Pada tahun 2010 WHO

menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2% pertahun.

Prevalens TB-MDR diperkirakan meningkat lebih dari 200 kasus baru terjadi di

1
dunia. Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari

Amerika dengan angka kematian yang amat tinggi 70-90% dalam waktu yang amat

singkat. Di Hongkong yang menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20% infeksi

TB terjadi dari kuman yang telah resisten. Laporan di Turki dari 785 kasus

tuberkulosis paru ditemukan 35% adalah resisten satu jenis obat, 11,6% resisten

dua macam obat, 3,9% tiga macam obat dan 2,8% empat macam obat. Di Pakistan

resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan masing-masing adalah 17,7%,

14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan SM adalah 13,9% dan

7,4%, sementara resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah 41%. Penelitian dari

Saudi Arabia menyebutkan bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan INH adalah

7,2%, 3,3% dan 1,2% (WHO, 2008).

Di Indonesia angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus

TB baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari

kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus

MDR TB setiap tahunnya. Pada tahun 2013 WHO memperkirakan terdapat 6800

kasus baru TB MDR di Indonesia setiap tahunnya. Diperkirakan 2% dari kasus TB

baru dan 12% dari kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB MDR.

Indonesia telah memulai program MTPTRO (Manajemen Terpadu Pengendalian

Tuberkulosis Resistan Obat) sejak tahun 2009 dan dikembangkan secara bertahap

ke seluruh wilayah di Indonesia sehingga seluruh pasien TB MDR dapat mengakses

penatalaksanaan TB MDR terstandar dan tercepat (Kementerian Kesehatan RI,

2014).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari Multi drug resistant TB (MDR TB)?

2
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi terjadinya Multi drug resistant TB
(MDR TB)?
3. Bagaimana mekanisme resisten obat pada Multi drug resistant TB (MDR
TB)?
4. Bagaimana kriteria diagnosis dari Multi drug resistant TB (MDR TB)?
5. Bagaimana penatalaksanaan dari Multi drug resistant TB (MDR TB)?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Diharapkan dapat mengetahui dan memahami dengan baik konsep
mengenai Multi drug resistant TB (MDR TB).
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi dari Multi drug resistant TB (MDR TB).
2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi terjadinya Multi drug
resistant TB (MDR TB).
3. Untuk mengetahui mekanisme resisten obat pada Multi drug resistant TB
(MDR TB).
4. Untuk mengetahui kriteria diagnosis dari Multi drug resistant TB (MDR
TB).
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Multi drug resistant TB (MDR

TB).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Multi drug resistant TB (MDR TB)

Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR) adalah M.

tuberkulosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa

OAT lainnya. Berdasarkan Guidelines for the programmatic management of drug

resistant tuberculosis: emergency update oleh WHO (2008) resisten terhadap OAT

dinyatakan bila hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya pertumbuhan

M. Tuberculosis in vitro saat terdapat satu atau lebih OAT (WHO, 2008). Terdapat

empat jenis kategori resistensi terhadap OAT, yaitu (Kementerian Kesehatan RI,

2014):

Mono resisten Resisten terhadap satu obat lini pertama


Poli resisten Resisten terhadap lebih dari satu OAT lini
pertama selain kombinasi isoniazid dan
rifampisin.
Multi drug resistant (MDR) Resisten terhadap sekurang-kurangnya
isoniazid dan rifampisin
Extensively drug resistant TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah
(XDR) satu obat golongan flourokuinolon dan
sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini
kedua (kapreomisin, kanamisin dan
amikasin).
Total Drug Resisten baik dengan lini pertama maupun lini
Resistance(TDR) kedua. Pada kondisi ini tidak ada lagi obat
yang bisa dipakai.

4
Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi: resistensi primer,

resistensi sekunder dan resitensi inisial. Resistensi primer adalah resistensi yang

terjadi M. tuberculosis terhadap OAT, dimana penderita tidak memiliki riwayat

pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT, namun kurang dari 1 (satu)

bulan. Sedangkan resistensi sekunder, pasien telah mempunyai riwayat pengobatan

OAT minimal 1(satu) bulan. Pada resistensi inisial, bila tidak diketahui pasti apakah

pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah (WHO,

2008).

2.2 Epidemiologi

”WHO Report On Tuberculosis Epidemic 2008” menyatakan bahwa

resistensi ganda kini menyebar dengan amat cepat di berbagai belahan dunia. Lebih

dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten

terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususunya Rifampisin dan INH, serta

kemungkinan pula ditambah obat lainnya. Pada tahun 2010 WHO menyatakan

insidens TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2% pertahun. Enam negara

dengan kekerapan TB-MDR tinggi di dunia adalah Estonia, Kazakhstan, Latvia,

Lithunia, bagian dari federasi Rusia dan Uzbekistan (WHO, 2008).

Indonesia menduduki rangking ke 8 dari 27 negara-negara yang mempunyai

bebantinggi dan prioritas kegiatan untuk MDR. Beban TB-MDR di 27 negara ini

menyumbang 85% dari beban TB-MDR global. Di negara-negara yang termasuk

dalam daftar ini minimal diperkirakan terdapat 4000 kasus TB-MDR atau

sekurangkurangnya10% dari seluruh kasus baru TB-MDR. Laporan WHO

memperkirakan bahwa pada tahun 2008 kasus TB-MDR di Indonesia sebesar

6.427. Angka tersebut merujuk pada perkiraan angka TB-MDR sebesar 2% dari

5
kasus TB baru dan 20% dari kasus TB pengobatan ulang (Kementerian Kesehatan

RI, 2014).

2.3 Faktor Yang Mempengaruhi MDR TB

Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran MDR TB akibat

mutasi dari gen mikobakterium tuberkulosis. Basil tersebut mengalami mutasi

menjadi resisten terhadap salah satu jenis obat akibat mendapatkan terapi OAT

tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh

konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat

kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek

monoterapi). Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang

lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi

difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat,

adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan

diagnostik (Leitch, 2000). Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap

OAT yaitu (Aditama et al., 2006):

1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.

2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang

atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang

digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan

resistensi terhadap kedua obat tersebut.

3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga

minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter

mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian

seterusnya.

6
4. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu

paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman

TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition)

satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten

saja.

5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik

sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.

6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya

sampai berbulan-bulan.

2.4 Mekanisme Resisten pada MDR TB

Ungkapan terhadap “tahap MDR” pada mikrobakteriologi mengarah pada

resisten secara simultan terhadap Ripampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa

resistensi pada obat anti tuberkulosis lainnya). Analisa secara genetik dan

molekuler pada mikobakterium tuberkulosis menjelaskan bahwa mekanisme

resistensi biasanya didapat oleh basil melalui mutasi terhadap target obat atau oleh

titrasi dari obat akibat overproduksi dari target. MDR TB menghasilkan secara

primer akumulasi mutasi gen target obat pada individu (lihat tabel 2.1).

Tabel 2.1 Lokus gen yang terlibat dalam resistensi obat pada mikobakterium
tuberkulosis

7
2.4.1 Mekanisme Resistensi Terhadap INH (Isoniazide)

Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut

air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan

menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting

pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen

seperti rekasi katase peroksidase (Riyanto, et al. 2006).

Mutasi mikobakterium tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid terjadi secara

spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi

isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase

peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA.

Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase

dan peroksidase (Wallace, et al. 2004).

2.4.2 Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin

Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces

mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler

(Riyanto, et al., 2006). Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau

menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA (Wallace, et

al., 2004)

Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif,

mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya

pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih 12.

Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau

adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin mengahambat

RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis

8
RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan

rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manuisia tidak terganggu.

Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan

frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan

akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen

untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada

tempat ikatan obat tersebut (Riyanto, et al., 2006).

2.4.3 Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide

Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting

sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis14. Obat ini bekerja

efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada

keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit ber efek (Riyanto,

et al., 2006). Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat

organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa.

Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam

pyrazinoat (Wallace, et al., 2004).

Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas

pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam

pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi

pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase (Wallace, et al., 2004).

2.4.4 Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol

Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif

hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis

standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase

9
yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada

di dalam dinding sel.

Resistensi ethambutol pada M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan

mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase.

Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan

pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus (Wallace,

et al., 2004).

2.4.5 Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin

Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari

Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan

menganggu fungsi ribosomal14. Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten

terhadap streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari

dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein

ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan streptomysin

ribosomal14. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah

diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi

pada rrs sebanyak 20%15. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya

mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme.

Strain M. Tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak mengalami

resistensi silang terhadap capreomysin maupun amikasin (Wallace, et al., 2004).

2.5 Kriteria Diagnosis MDR TB

Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan

asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah

terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit

10
dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu 1) TB aktif yang

sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak sesuai

standar terapi; 2) Kontak dengan kasus TB resistensi ganda; 3) Gagal terapi atau

kambuh; 4) Infeksi human immnodeficiency virus (HIV); 5) Riwayat rawat inap

dengan wabah MDR TB (Riyanto, et al., 2006).

Diagnosis TB resistensi tergantung pada pengumpulan dan proses kultur

spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien

tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak

bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua

harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai (Riyanto, et al., 2006).

Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB.

Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional

berdasarkan deteksi pertumbuhan M. Tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa

metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka

belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru ini

adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik

khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini

dipertimbangkan sebagai petanda TB resisten khususnya pada suasana dengan

prevalensi TB resisten tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan

metode yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada

laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin (Martin, et al., 2007).

Diagnosis TB resisten obat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji

kepekaan M. Tuberkulosis dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu

metode tes cepat (rapid test) dan metode konvensional. Saat ini ada 2 metode tes

11
cepat yang dapat digunakan yaitu pemeriksaan Gen eXpert (uji kepekaan untuk

Rifampisin) dan LPA (uji kepekaan untuk Rifampisin dan Isoaniazide). Sedangkan

metode konvensional yang digunakan adalah Lowenstein Jensen/LJ dan MGIT

(Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Dengan tersedianya alat diagnosis TB resistensi obat dengan metode cepat,

maka alur diagnosis TB resisten obat yang berlaku di Indonesia adalah sebagai

berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2014):

Gambar 2.1 Alur Diagnosis TB Resistensi Obat (Kementerian Kesehatan RI,


2014).

12
Keterangan dan Tindak lanjut setelah penegakan diagnosis (Kementerian

Kesehatan RI, 2014):

a. Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3 spesimen dahak, 1

(satu) spesimen dahak untuk pemeriksaan GeneXpert (sewaktu pertama

atau pagi) dan 2 spesimen dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) untuk

pemeriksaan sediaan apus sputum BTA, pemeriksaan biakan dan uji

kepekaan.

b. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb negatif, lakukan investigasi terhadap

kemungkinan lain. Bila pasien sedang dalam pengobatan TB, lanjutkan

pengobatan TB sampai selesai. Pada pasien dengan hasil Mtb negatif, tetapi

secara klinis terdapat kecurigaan kuat terhadap TB MDR (misalnya pasien

gagal pengobatan kategori-2), ulangi pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali

dengan menggunakan spesi mendahak yang memenuhi kualitas

pemeriksaan. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan yang

terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya.

c. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Sensitif Rifampisin, mulai atau

lanjutkan tatalaksana pengobatan TB kategori-1 atau kategori-2, sesuai

dengan riwayat pengobatan sebelumnya.

d. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Resistan Rifampisin, mulai pengobatan

standar TB MDR. Pasien akan dicatat sebagai pasien TB RR. Lanjutkan

dengan pemeriksaan biakan dan identifikasi kuman Mtb.

e. Jika hasil pemeriksaan biakan teridentifikasi kuman positif Mycobacterium

tuberculosis (Mtb tumbuh), lanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan lini

pertama dan lini kedua sekaligus. Jika laboratorium rujukan mempunyai

13
fasilitas pemeriksaan uji kepekaan lini-1 dan lini-2, maka lakukan uji

kepekaan lini-1 dan lini-2 sekaligus (bersamaan). Jika laboratorium rujukan

hanya mempunyai kemampuan untuk melakukan uji kepekaan lini-1 saja,

maka uji kepekaan dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan

untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan GeneXpert, tetapi untuk

mengetahui pola resistensi kuman TB lainnya.

f. Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert dengan hasil

pemeriksaan uji kepekaan, maka hasil pemeriksaan dengan GeneXpert

menjadi dasar penegakan diagnosis.

g. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan TB MDR (hasil uji

kepekaan menunjukkan adanya tambahan resistan terhadap INH), catat

sebagai pasien TB MDR, dan lanjutkan pengobatan TB MDR-nya.

h. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR (hasil uji

kepekaan menunjukkan adanya resistan terhadap ofloksasin dan

Kanamisin/Amikasin), sesuaikan paduan pengobatan pasien (ganti paduan

pengobatan TB MDR standar menjadi paduan pengobatan TB XDR), dan

catat sebagai pasien TB XDR.

Catatan: Untuk pasien yang mempunyai risiko TB MDR rendah (diluar 9 kriteria

terduga TB Resistan obat), jika pemeriksaan GeneXpert memberikan hasil

Rifampisin Resistan, ulangi pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali lagi dengan spesi

mendahak yang baru. Jika terdapat perbedaan hasil pemeriksaan, maka hasil

pemeriksaan yang terakhir yang dijadikan acuan untuk tindak lanjut berikutnya.

14
2.6 Penatalaksanaan MDR TB

2.6.1 Prinsip Penatalaksanaan MDR TB

Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat

anti TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan

potensi dan efikasinya, sebagai berikut (WHO, 2008):

1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat

ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya

digunakan dan digunakan dalam dosis maksimal.

2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika

alergi digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi

sampai jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negatif.

3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin.

Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon

dalam regimennya.

4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid),

ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak

sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.

5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam

klavulanat, dan makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan

efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih

minimal.

Ada tiga cara pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat

TB yang pernah dikonsumsi penderita, data drug resistance surveillance (DRS) di

suatu area, dan hasil DST dari penderita itu sendiri. Berdasarkan data di atas mana

15
yang dipakai, maka dikenal pengobatan dengan regimen standar, pengobatan

dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST

individu penderita tersebut, dan pengobatan secara empiris yang diikuti dengan

regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut (WHO, 2008).

Pengobatan dengan regimen standar: pembuatan regimen didasarkan atas

hasil DRS yang bersifat representative pada populasi dimana regimen tersebut akan

diterapkan. Semua pasien MDR TB akan mendapat regimen sama. Pengobatan

dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST

individu penderita: awalnya semua pasien akan mendapat regimen yang sama

selanjutnya regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji sensitivitas yang telah

tersedia dari pasien yang bersangkutan. Pengobatan secara empirik yang diikuti

dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu pasien: tiap regimen bersifat

individualis, dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya, selanjutnya

disesuaikan setelah hasil uji sensitivitas obat dari pasien yang bersangkutan tersedia

(WHO, 2008).

Menurut WHO guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut sebagai

brikut (WHO, 2008):

Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih

menunjukkan efikasi.

Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi

berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan.

Tahap 3 : tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan

fluorokuinolon.

16
Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari

obat golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat

yang mungkin efektif.

Tahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari

golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR)

apabila dirasakn belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1

sampai 4.

Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang dianjurkan

oleh WHO (2008) sebagai prinsip dasar, antara lain (WHO, 2008): (1) Regimen

harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita, (2) Dalam

pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan obat lini

kedua yang berada di area/negara tersebut, (3) Regimen minimal terdiri 4 obat yang

jelas diketahui efektifitasnya, (4) Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan, (5)

Obat diberikan sekurang-kurangnya 6 hari dalam seminggu, apabila mungkin

etambutol, pirazinamid, dan fluorokuinolon diberikan setiap hari oleh karena

konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi, (6) Lama pengobatan

minimal 18 bulan setelah terjadi konversi, (7) Apabila terdapat DST, maka harus

digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak memprediksi efektivitas atau

inefektivitas obat secara penuh, (8) Pirazinamid dapat digunakan dalam

keseluruhan pengobatan apabila dipertimbangkan efektif. Sebagian besar penderita

MDR TB memiliki keradangan kronik di parunya, dimana secara teoritis

menghasilkan suasana asam dan pirazinamid bekerja aktif, (9) Deteksi awal adalah

faktor penting untuk mencapai keberhasilan. Pengobatan pasien MDR TB terdiri

atas dua tahap, tahap awal dan tahap lanjutan. Pengobatan MDR TB memerlukan

17
waktu lebih lama daripada pengobatan TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan.

Pada tahap awal pasien akan mendapat Obat anti tuberkulosis lini kedua minimal 4

jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap

lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal (WHO, 2008).

2.6.2 Paduan OAT MDR TB di Indonesia

Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized

treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien

TB RR/TB MDR (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:

Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:

1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar

adalah sebagai berikut:

Cm – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan

standar adalah sebagai berikut:

Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB

XDR) maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB

RR/MDR secara laboratoris.

c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap

lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan

18
lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap

lanjutan adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan.

d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi

biakan. Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.

2.7 Pemantauan Selama Pengobatan

Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap

pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB

adalah batuk, berdahak, demam dan BB menurun-umumnya membaik dalam

beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah konversi

dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan MDR TB dapat diperoleh setelah 2 bulan.

Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap

2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien MDR TB adalah; (1) penilaian

klinis termasuk berat badan, (2) penilaian segera bila ada efek samping, (3)

pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase

lanjutan, (4) pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi

biakan, (5) uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan

kegagalan pengobatan, (6) Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien

mendapat suntikan (Kanamisin dan Kapreomisin), (7) pemeriksaan TSH dilakukan

setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid (Kementerian Kesehatan RI,

2014).

2.8 Pencegahan Terjadinya Resistensi Obat

WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB,

selain relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan

risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik

19
adalah dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi

DOTS dan pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah

terjadinya resistensi OAT (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan

kasus baru TB antara lain: pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada

pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu

pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang

penting, pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secar gratis. Jangan

pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal

dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan

TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai

“evidence based” dan tes kepekaan kuman (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

20
BAB III

KESIMPULAN

1. Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR) adalah M.

tuberkulosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau

tanpa OAT lainnya.

2. Faktor yang mempengaruhi resistensi terhadap OAT adalah Pemakaian obat

tunggal dalam pengobatan tuberculosis, penggunaan paduan obat yang tidak

adekuat, pemberian obat yang tidak teratur, fenomena “addition syndrome,

penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik,

dan penyediaan obat yang tidak regular.

3. Analisa secara genetik dan molekuler pada mikobakterium tuberkulosis

menjelaskan bahwa mekanisme resistensi biasanya didapat oleh basil melalui

mutasi terhadap target obat atau oleh titrasi dari obat akibat overproduksi dari

target. MDR TB menghasilkan secara primer akumulasi mutasi gen target obat

pada individu.

4. Diagnosis TB resistensi tergantung pada pengumpulan dan proses kultur

spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika

pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika

tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini

pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai.

5. Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized

treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua

21
pasien TB RR/TB MDR. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:

Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

22
DAFTAR PUSTAKA

Alfin, Said Khalilullah. 2016. Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB);


Sebuah Tinjauan Kepustakaan. Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah
Kuala.

Aditama TY, dkk. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia, PERPARI, Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 614.542 Ind.

Leitch GA. 2000. Management of tuberculosis in Seaton A,et al (eds) , Crofton and
Douglas’s Respiratory diseases Vol 1, 15th ed. Berlin.

Martin A. Portaels F. 2007. Drug Resistance and Drug Resistance detection in


Palmino JC, et al (eds), Tuberculosis 2007 from basic science to patient
care, 1st ed. www.textbookcom.

Riyanto BS, Wilhan. 2006. Management of MDR TB Current and Future dalam
Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah
Berkala. PERPARI. Bandung.

Wallace RJ, Griffith DE. 2004. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E
(eds), Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th ed. Mc Graw Hill.
New York.

WHO. 2008. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant


tuberculosis: emergency update 2008. Geneva, World Health Organization.

23

Anda mungkin juga menyukai