Anda di halaman 1dari 14

Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No.

2, April - Juli 2016, 268 - 281 268

Aktivitas Muhammadiyah Dalam Bermasyarakat Dan Bernegara


(Studi Muhammadiyah Kabupaten Lamongan)

Ahsanuddin Jauhari
E-mail: ahsanuddin.j.maarif@gmail.com

ABSTRAK

Pokok masalah pada penelitian ini adalah bagaimana Aktifitas Muhammadiyah di Kabupaten
Lamongan dalam bermasyarakat dan bernegara tahun 2010 sampai 2015 dan bagaimana
mereka memperjuangkan platform Muhammadiyah dalam perspektif politik. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif-analitik yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis hasil penelitian lapangan (field research). Penelitian dilakukan di Pimpinan
Daerah Muhammadiyah beserta ortom Kabupaten Lamongan serta pada Elit Muhammadiyah
yang ada di Esekitif dan Legislatif Lamongan. Data yang telah terkumpul kemudian
dideskripsikan terlebih dahulu tentang bagaimana pandangan Hubungan yang ideal antara
Muhammadiyah dan politik dari Elit Muhammadiyah beserta Ortom dan Elit Muhammadiyah
yang ada di Eksekutif maupun Legislatif. Kemudian peneliti menjabarkan bagaimana
Aktifitas Muhammadiyah dalam bermasyarakat dan bernegara serta landasan
Muhammadiyah dalam menjalan kegiatan. Dalam penelitian ini peneliti mengunakan teori
kelompok kepentingan Gabriel Almond, dalam melihat Muhammadiyah sebagai kelompok
kepentingan (Kelompok Kepentingan Institusional dan Kelompok Kepentingan Asosiasional).
Setelah membahas secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa: Bahwa peran dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat dilakukan melalui dua strategi dan lapangan
perjuangan. Pertama, melalui kegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan
kekuasaan/kenegaraan. Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat
pembinaan atau pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung
(high politics) yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara.

Kata Kunci : Muhammadiyah, Bermasyarakat, Bernegara.

ABSTRACT

The subject matter to research this is how muhammadiyah activity in kabupaten lamongan in
participate in community events and state years of 2010 to 2015 and how they fight for a
platform muhammadiyah political in perspective. This research uses the method deskriptif-
analitik aimed at described and analyze the results of the study the field (field research). The
research was done in regional leaders Muhammadiyah and ortom Kabupaten Lamongan and
also on elite Muhammadiyah that is in esekitif and legislative lamongan. The data that has
been collected then described first about how view the ideal relationship between
muhammadiyah and politically from elite Muhammadiyah and Ortom and
eliteMuhammadiyah that is in executive and legislative . Then researchers outline how
Muhammadiyah activity in participate in community events and state as well as a
cornerstone of muhammadiyah in covering outer activity. In this research researchers use the
theory of interest groups Gabriel Almonds, within view Muhammadiyah as interest group (
interest group institutional and interest group Asosiasional ). But having said overall can be
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 268 - 281 269

concluded that: that a role in the social life and state could be done through two strategies
and field struggle. First, through political activities oriented to struggle power/state. Second,
through community activities that is guidance or empowerment for the community and
political activities indirectly (the high politics) that is spatially influence policy the state.

Keywords: Muhammadiyah , social , the country.

PENDAHULUAN

Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di


Indonesia dengan semboyan Gerakan Dakwah Islam Amar Ma’ruf Nahi Munkar memiliki
tanggungjawab yang besar untuk berlangsungnya dakwah Islam Muhammadiyah. Komitmen
dakwah Muhammadiyah tercermin dalam pemaknaan Surat Al-Imran ayat 104 yang menyeru
pada berlomba-lomba dalam kebajikan. Berdasarkan ayat tersebut Muhammadiyah
meletakkan khittah (garis perjuangan Muhammadiyah) dengan menyeru dan mengajak
ummat Islam untuk ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar.Dakwah dalam konstruksi masyarakat
saat ini bisa melalui berbagai media dan kegiatan, seperti kegiatan politik, kegiatan ekonomi,
gerakan-gerakan budaya, teknologi, kreasi seni, penegakan hukum, dan lain sabagainya.
Muhammadiyah dalam Gerakan dakwah meliputi dua aspek penting; aspek purifikasi
dan tajdid.1 Aspek Purifikasi (pemurnian) dalam Muhammadiyah berawal dari adanya
katakutan dengan banyaknya penyimpangan dalam hal peribadatan yang dilakukan oleh
masyarakat. Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah memiliki aspek lain yang berupa
Tajdid (pembaharuan). Tajdid Muhamamadiyah bertujuan untuk mendinamisasi ajaran Islam,
sebab interpretasi atau ajaran yang diberikan oleh ulama terdahulu terhadap ajaran-ajaran
dasar Islam sudah mengalami pergeseran dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Muhammadiyah melakukan tajdid bertujuan untuk menghidupkan kembali ajaran Al-Qur’an
dan Sunnah dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.
Terlepas dari dua aspek tersebut Muhammadiyah berdakwah dalam berbagai aspek
lain yaitu: aspek sosial, aspek ekonomi, aspek politik dan kesehatan. Berbagai amal usaha
Muhammadiyah yang dibangun oleh Muhammadiyah ditengah-tengah masyarakat
merupakan ujung tombak dari berbagai dakwah ekonomi, sosial, politik, kesehatan serta
pendidikan. Berbagai amal usaha dibangun Muhammadiyah dalam berbagai ragam, sebagai
contoh lembaga pendidikan, Muhammadiyah mendirikan Taman Kanak-kanak, hingga
Perguruan Tinggi, selain itu juga membangun sekian banyak Rumah Sakit dan Panti Asuhan.
Seluruh amal usaha diadakan dengan niat dan tujuan yang tunggal, yaitu dijadikan sarana dan
wahana dakwah Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Quran dan As-sunnah Shahihah.2
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Lamongan yang menjadi subjek dalam
penelitian ini memiliki berbagai amal usaha seperti; TK (136), Play Group (140), SD (7), MI
(100), SMP (26), MTs (29), SMA (11), SMK (12), MA (9), Pondok Pesantren (9), Sekolah
Tinggi (5), Rumah Sakit/Rumah Bersalin/BKIA/BP dll (11), Panti Asuhan/Santunan/Asuhan
Keluarga dll (4), Apotek (6), Koperasi (27), Sekolah Luar Biasa (1), Masjid (266), Musholla
(320), Tanah (465.720 M2).3 Amal Usaha Muhammadiyah di Kabupaten Lamongan dengan

1
Ibnu Salim dkk, Studi Kemuhamadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan Organis, (Yogyakarta : LSI UMS,
1998), Hlm. 56-60.
2
Imron Nasir, Muhammadiyah Berjuang Demi Tegaknya NKRI dan Agama Islam (Yogyakarta : Suara
Muahammdiyah, 2012), Hlm. 42-46.
3
Lamongan.muhammadiyah.or.id/content-2-sdet-profil-muhammadiyah.html, di akses pada 22/01/ 2016, 21:50
WIB
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 268 - 281 270

jumlah yang sangat banyak tersebut sangat potesial dijadikan sebagai ujung tombak dakwah
Muhammadiyah. Peran yang serius dari elit muhammadiyah sangat diperlukan untuk tetap
menjaga eksistesi dan melebarkan sayap-sayap persyarikatan agar lebih luas sangatlah
penting.
Pimpinan Daerah Muhammadiyah di Kabupaten Lamongan dengan jumlah Amal
Usaha yang sangat banyak bias menjadi tolak ukur untuk melihat perkembangan
Muhammadiyah di Jawa Timur. Peran para elit Muhammadiyah dalam melakukan negosiasi
dengan pemerintah sangatlah penting untuk membangun persyarikatan agar tetap terjaga
eksistensinya. Berdasarkan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Nomor 41/KEP/I.0/B/2013 yang diterbitkan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah pada 26 Maret 2013 merupakan sebuah kebijakan yang mengatur bagaimana
pola hubungan Muhammadiyah di daerah ketika berhubungan dengan politik praktis. Tetapi
masing-masing daerah memiliki keunikan dan memiliki elite yang otonom dengan
kepentingan dan ijtihad-nya sendiri. Sehingga jarak territorial dan jarak politik
mempengaruhi bagaimana Muhammadiyah Pusatdan Muhammadiyah Daerah dalam
menerjemahkan ijtihad dan netralitas politik tersebut.4
Surat Keputusan Muhammadiyah diatas terkait keterlibatannya dengan politik
diperkuat oleh Khittah Muhammadiyah Denpasar tahun 2002. Khittah Denpasar menjelaskan
posisi umum Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga
Muhammadiyah sebagai moral force (kekuatan moral) dan interest groups (kelompok
Kepentingan) dalam dinamika kehidupan berbangsa di Negara Indonesia. Khittah Denpasar
berpijak pada Khittah tahun 1971 (Ujung Pandang) yang menyatakan bahwa Muhammadiyah
tidak memiliki hubungan organisatoris dengan kekuatan partai politik, sehingga memberikan
kebebasan kepada warganya untuk menyalurkan aspirasi politik sesuai hak asasinya. Namun,
Khittah Denpasar tersebut memberi kerangka agar warga Muhmmadiyah tidak alergi dan
negatif terhadap politik.5
Studi terdahulu tentang Muhammadiyah dan politik telah dilakukan oleh peneliti,
sebagaimana dilakukan oleh Abdullah Basid (2008) dalam skripsinya “Konsep Hubungan
Muhammadiyah dan Politik (Persepsi tokoh-tokoh Muhammadiyah di Banjarmasin Era
1998-2008)”.6 Abdullah Basid menjelaskan bahwa kontribusi Muhammadiyah terhadap
politik melalui dua cara, yaitu melalui peran institusional sebagai kelompok pengontrol
politik dan melalui peran politik personal dengan menghibahkan kader-kader
Muhammadiyah di lembaga-lembaga politik. Penelitian lain juga dilakukan oleh Annisa
Triana (2014) dalam skripsinya “Peran Muhammadiyah dalam bidang politik di Yogyakarta
tahun 1945-1968”.7 Skripsi ini mengambarkan bahwa Muhammadiyah memandang politik
sebagai alat perjuangan islam melalui kekuasaan negara, oleh karena itu Muhammadiyah
meghendaki untuk berpolitik sesui dengan jalur Muhammadiyah yaitu jalur non politik
praktis. Berdasarkan penelitian terdahulu diatas maka penulis menganalisis terkait politik elit
Muhammadiyah sebagai strategi untuk menjaga eksistensi peryarikatan. Selain itu peneliti
juga menganalisa bagaimana peran kader-kader Muhammadiyah yang terjun dalam arena
politik praktis dan duduk sebagai anggota legislatif, apakah bisa mewakili kepentingan

4
Ahmad Sholikin. 2014. Deviasi Sikap Politik Elektoral Muhammadiyah Antara pusat dan Daerah (Studi Kasus
Sikap Politik Elite Muhammadiyah Pada Pilihan Presiden 2014 Dan Pilkada 2010 Di Sleman Dan Maros).
(Yogyakarta: Tesis Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada)
5
Haedar Nashir. Khittah Muhammadiyah tentang Politik (Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, 2008),
Hlm. 35-39.
6
Abdullah Basid. 2008. Konsep Hubungan Muhammadiyah dan politik (Persepsi tokoh-tokoh Muhammadiyah
di Banjarmasin Era 1998 – 2008). (Banjarmasin : Skripsi IAIN Antasari Banjarmasin)
7
Annisa Triana. 2014. Peran Muhammadiyah dalam bidang politik di Yogyakarta tahun 1945 -1968.
(Yogyakarta: Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta).
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 268 - 281 271

persyarikatan dan menjadi penyeimbang bagi semakin berkembangnya amal usaha


Muhammadiyah di Kabupaten Lamongan saat ini.
Muhammadiyah di Kabupaten Lamongan dengan semakin banyaknya amal usaha
yang didirikan atau hendak mendirikan membuat Muhammadiyah harus terlibat dalam daily
politics (politik keseharian). Berbagai kegiatan amal usaha Muhammadiyah tidak bias lepas
dari hubungan dengan pemerintahan, seperti; proses perijinan pendirian bangunan, proses
pengajuan bantuan untuk sekolah-sekolah serta bantuan yang terkait program pemerintah.
Perihal ini sangat mungkin untuk dipersulit ketika Muhammadiyah tidak memiliki kekuatan
politik (legislative dan eksekutif) dalam pemerintahan Kabupaten Lamongan. Fenomena ini
mengharuskan bagi elit Muhammadiyah untuk bisa turut serta dalam perpolitikan di
Kabupaten Lamongan baik secara langsung (politik praktis) maupun high politics. Memalui
kader-kadernya yang loyal dan potensial Muhammadiyah sangat berkepentingan agar mereka
terlibat aktif kedalam area politik, guna membantu proses pengembangan Muhammadiyah di
Kabupaten Lamongan.
Perkembangan Muhammadiyah di Kabupaten Lamongan merupakan salah satu
Pimpinan Daerah yang sangat pesat dalam pengembangan persyarikatan baik berupa
pembangunan amal usaha maupun pengembangan dakwahnya. Peran Pimpinan Cabang dan
Ranting Muhammadiyah beserta Organisasi Otonom seperti Ikatan Pelajar Muhammadiyah
(IPM), Ikatan Mahasisw aMuhammadiyah (IMM), Hizbhul Wathan (HW), Aisyiyah dan
Nasyiatul Aisyiyah memiliki peran yang sangat nyata dalam membantu kader
Muhammadiyah yang berpotensi dan loyal untuk maju dalam perebutan kursi legislatif atau
Esekutif. Sehingga fokus penelitian ini pada dua aspek penting yaitu ; pertama, Aktifitas apa
saja yang dilakukan Muhammadiyah dalam Bermasyarakat dan Bernegara di Kabupaten
Lamongan?, Kedua, Apakah yang melandasi kegiatan Muhammadiyah tersebut?

METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif (qualitative methods) yang mengacu
pada berbagai teknik dalam penelitian; penelitian partisipatif, wawancara intensif secara
personal, proses observasi serta focus group discussion (FGD) guna memahami pengalaman-
pengalaman dari para informan utama, serta kita dapat menemukan sikap tegas dari para
informan tersebut. (Marsh & Stoker, 2002:197)

HASIL & PEMBAHASAN


1. Gambaran Umum Muhammadiyah di Lamongan
Muhamadiyah di Jawa Timur khususnya Kabupaten Lamongan belum banyak pustaka
yang membahas terkait keberadaannya. Jika di telisisk lebih jauh pada awal masa berdirinya
maka Muhammadiyah di Jawa Timur berkembang di mulai dari Surabaya. Surabaya pernah
dijamah Muhammadiyah pada awal tahun 1920-an. Sejak disahkannya surat perizinan no. 40
yang diberikan pada 16 Agustus 1920 oleh pemerintah Kolonial Belanda, Muhammadiyah
semakin menemukan angin segar untuk mengembangkan sayap dengan meluaskan
cabangnya di luar Yogyakarta. Salah satunya adalah Muhammadiyah cabang Surabaya yang
resmi berdiri pada tahun 1921.
Tokoh-tokoh yang berperan aktif dalam perkembangan Muhammadiyah Jawa Timur
adalah Mas Mansur dengan dibantu oleh beberapa tokoh lokal kenamaan seperti Kiai
Usman8, H. Asyhari Rawi, dan H. Ismail.9 Selain sebagai tokoh yang berperan dalam

8
Karena kepiawaiannya sebagai ulama dan cendikia, Kiai Usman diangkat menjadi Ketua Majelis Tarjih
Muhammadiyah Jawa Timur periode 1932-1936 yang berkedudukan di Surabaya. Ketika Mas Mansur
dikukuhkan sebagai ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, dia menggantikan kedudukan Mas Mansur
sebagai konsul Muhammadiyah Jawa Timur tahun 1936. Tim Penulis, Siapa dan Siapa 50 Tokoh
Muhammadiyah Jawa Timur (Surabaya: Hikmah Press, 2005), hlm. 92.
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 268 - 281 272

perkembangan Muhammadiyah di Jawa Timur, Mas Mansur juga ditunjuk sebagai ketua
pertama Muhammadiyah cabang Surabaya yang dibantu oleh beberapa orang anggota
Muhammadiyah. Bagi Ahmad Dahlan, berdirinya Muhammadiyah di Surabaya merupakan
keberhasilan yang luar biasa, apalagi orang yang memegang adalah Mas Mansur, orang yang
begitu besar andilnya terhadap Muhammadiyah. Selanjutnya terjadi efek domino dalam
perkembangan Muhammadiyah di Jawa Timur. Tidak lama berselang berdiri Muhammadiyah
di Banyuwangi dan Situbondo pada tahun 1922, kemudian Gresik pada 1926 dan tempat-
tempat lain di Jawa Timur.10
Bibit penyebaran Muhammadiyah di Lamongan muncul pertama kali di Kabupaten
Lamongan bermula di Blimbing, kecamatan Paciran yang dikembangkan oleh H. Sa’dullah
pada 1936. Dalam penyebarannya Sa’dullah dibantu oleh seorang perempuan. Zainab
namanya, yang sering disebut dengan Siti Lembah. Sampai saat ini belum banyak pustaka
dan keterangan tentang kegiatan perintisan keduanya, kecuali Sa’dullah adalah orang yang
sangat komunikatif dalam dakwahnya sehingga mudah mempengaruhi orang di sekitarnya.
Setelah merasa mendapatkan massa yang signifikan, Muhammadiyah berupaya
meluaskan dakwahnya ke tempat lain di Lamongan. Muhammadiyah kemudian beralih agak
ke tengah melalui beberapa ulama yang aktif di SI (Sarikat Islam). Melalui SI inilah, gerakan
pembaharuan Muhammadiyah lebih cepat dikenal, dimengerti, dan diamalkan oleh sebagian
masyarakat. Beberapa nama yang bisa dicatat adalah Sofyan Abdullah di desa Pangkatrejo, 11
Kecamatan Maduran, dan H. Khozin Jalik di kota Lamongan yang saat itu mengajar di
sekolah Nahdhotul Ulama (NU) di Lamongan. Ayah Khozin sendiri adalah tokoh NU yang
berpengaruh di Lamongan.
Secara organisasi, Muhammadiyah Lamongan resmi berdiri sendiri setelah turunnya
SK PP Muhammadiyah No. C-076/D-13, tanggal 11 September 1967. Perlu diketahui,
sebelumnya cabang-cabang Muhammadiyah yang ada di Paciran berada di bawah
pengawasan PMD Bojonegoro. Ketika resmi menjadi Pimpinan Daerah, Muhammadiyah
waktu itu membawahi 5 cabang, yaitu Cabang Lamongan (PP Muhammadiyah No. 1024, 11
Mei 1953), cabang Jatisari/Glagah (PP Muhammadiyah No. 1481, 2 Mei 1961), cabang Babat
(PP Muhammadiyah No. 1952, 4 Februari 1962), cabang Pangkatrejo (PP Muhammadiyah
No. 1707, 27 Juli 1963), dan cabang Blimbing/Paciran (PP Muhammadiyah No. 1796, 1
Februari 1964).12

2. Aktivitas Bernegara Muhammadiyah di KabupatenLamongan


Muhammadiyah tidak akan terpisah atau dipisahkan dengan politik, karena bagaimanapun
politik adalah hulu dari segala kebijakan, hanya saja kegiatan politik muhammadiyah adalah
politik yang bermartabat dan tidak akan mengorbankan nilai-nilai kepatutan dan keIslaman.
Secara realitas politik, peran dan kiprah Muhammadiyah dalam proses politik bangsa
Indonesia tidak diragukan lagi. Meskipun Muhammadiyah menegaskan dirinya mampu
menjaga jarak dengan partai politik, Muhammadiyah mampu melakukan upaya-upaya
konseptual dalam rangka mengawal reformasi dan tidak terlihat adanya usaha untuk
membawa masuk Muhammadiyah ke dalam kooptasi partai politik. Adapun para elitnya dan

9
Fathurrahim Syuhadi. Mengenag Perjuangan, Sejarah Muhammadiyah Lamongan 1936-2005 (Surabaya : Java
Pustaka Media Utama 2006) Hal 56-57.
10
Mustakim, Matahari Terbit di Kota Wali, Sejarah Pergerakan Muhammadiyah Gresik 1926-2010, (Gresik:
MUHI press, 2011), hlm. 48.
11
Tahun 1940 di Pangkatrejo telah ada kelompok belajar keagamaan yang condong dengan Muhammadiyah
yang diasuh oleh Sofyan Abdullah. Selain diasuh oleh guru-guru setempat, kelompok belajar ini juga
mendatangkan beberapa guru dari Yogyakarta. Pada tahun 1948 kelompok belajar ini merubah namanya
menjadi Madrasah Al Abdaliyah yang menggunakan model klasik. Fatrurrahim Syuhadi, op. cit, hlm. 17.
12
Farhurrahman Syuhadi, ibid, hlm. 23.
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 268 - 281 273

warganya memasuki partai dan mendirikan partai merupakan hak pribadi yang tidak terkait
dengan organisasi.
Kendati demikian peran politik Muhammadiyah dalam beberapa hal dilakukan oleh para
elitnya memberikan efek positif terhadap pemikiran politik Muhammadiyah itu sendiri,
termasuk dalam hal ini bidang politik hukumnya. Muhammadiyah mampu mengawal proses
legislasi di Parlemen. Muhammadiyah turut serta memotivasi beberapa legislasi yang
mentransformasikan hukum Islam dalam hukum nasional. Muhammadiyah juga turut serta
menciptakan good governance berupa pemberantasan korupsi dan praktik KKN baik melalui
pendekatan struktural maupun kultural. Muhammadiyah tampil ke depan sebagai gerakan
terdepan dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Untuk kegiatan politik
Muhammadiyah di Kabupaten Lamongan, peneliti membagi dua rana kegiatan yang
dilakukan Muhammadiyah yaitu: kegiatan politk di perlementer (kader-kader
Muhammadiyah yang berada di Legislatif), dan kegiatan politik ekstra parlementer yang di
lakukan oleh Elit/Pimpinan Muhammadiyah.

2.1. Kegiatan Politik Parlementer Muhammadiyah Kab. Lamongan


Pada tahun 1971, sidang tanwir Muhammadiyah telah mendeklarasikan sebuah
khittah: bahwa Muhammadiyah bukanlah partai politik, akan menjaga jarak dengan semua
kekuatan politik yang ada, serta membebaskan warganya untuk mengaktualisasikan
kepentingan politiknya di manapun. Namun, menjadi pertanyaan, seberapa relevan-kah
khittah politik Muhammadiyah di tengah arus kebebasan politik era Reformasi. Kebutuhan
Politik Muhammadiyah di era reformasi berbeda dengan pada masa-masa sebelumnya,
walaupun Muhammadiyah telah mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah kekuatan beyond
politics (dalam bahasa Amien Rais tahun 1990an, High Politics).Muhammadiyah tidak bisa
berlepas dari kenyataan bahwa banyak kader dan warganya yang berkecimpung di dunia
politikpraktis, baik di kursi pemerintahan, kepala daerah, anggota legislatif, maupun pegiat
partai politik.
Kondisi ini tidak bisa terhindarkan, karena meskipun Muhammadiyah sudah meng-
khittah-kan diri untuk tidak terjebak pada arus besar politik, kebutuhan warga
Muhammadiyah untuk mengekspresikan kepentingan politiknya masih demikian besar.Di era
keterbukaan hak politik yang dimulai sejak 1999, aktivitas berpolitik menjadi sebuah hal
yang dimiliki oleh setiap warga Negara Indonesia.Konsekuensinya, sedikit-demi-sedikit,
Muhammadiyah mulai 'terseret' arus yang besar itu.Sehingga suasana itu terbawa hingga
kedalam arena Musyawarah Daerah yang Pemuda Muhammadiyah yang menjadi agenda
rutin dalam memilih regenerasi kepemimpinan Muhammadiyah kedepannya. Di arena
Musyawarah Daerah Pemuda Muhammadiyah Lamongan rekomendasi yang dinyatakan
adalah tetap mengawal otonomi daerah melalui politik.Ini bukan berarti Pemuda
Muhammadiyah turun ke politik, tetapi lebih pada 'menitipkan' agenda-agenda keumatan
Muhammadiyah pada kadernya di parlemen. Artinya, ada interkoneksi antara
Muhammadiyah dan politik pada level ini.13
Bahasa Muhammadiyah dalam menitipkan agenda keummatan juga di lakukan dalam
pemilihan-pemilihan kepala daerah atau legislatif. Kendati tidak secara formal tetapi dapat
dilihat ketika menjelang Pemilu 2004, di pertemuan-pertemuan warga Muhammadiyah selalu
dikenalkan tokoh yang akan mencalonkan diri menjadi anggota DPD-RI. Kondisi serupa
terjadi pula menjelang tahun 2009 atau pemilihan kepala daerah, di mana ada warga
Muhammadiyah yang akan bertarung pada pilkada. Bahkan kita lihat juga bagaimana pada
Pemilu 2014 Muhammadiyah ikut-ikut mendirikan Relawan Matahari Bangsa dan Surya
Madani Indonesia yang saling mendukung dua kubu yang saling berebut kuasa. Di tingkat

13
Wawancara dengan Ali Makhfudz
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 268 - 281 274

desa, konsolidasi-konsolidasi serupa tentu lebih massif lagi, terkadang terjadi di pertemuan
tingkat ranting.14
Hal serupa juga terjadi hingga di level tingkatan kampus. Baik yang tergabung dengan
ikatan atau tidak, kader Muhammadiyah yang terjun dalam pemilihan Ketua BEM di masing-
masing universitas juga banyak.15 Apa yang membedakan perilaku politik warga
Muhammadiyah dengan, misalnya, komunitas Tarbiyah yang sangat hegemonik di beberapa
kampus besar. Pada level praksishampir tidak ada bedanya, nilai-nilai yang di dengung-
dengungkan oleh Muhammadiyah tidak tersentuh sama-sekali pada level praksis. Hal ini
menunjukkan bahwa walaupun Muhammadiyah bukan partai politik, lambat laun, ia punya
kecenderungan untuk menjadi kekuatan politik yang besar.
Kondisi politik era reformasi yang serba terbuka inilah yang mengharuskan
Muhammadiyah untuk memberikan rumusan baru terkait teologi politik baru, yang akan
menjadi acuan warganya baik untuk menentukan sikap politik maupun merumuskan ijtihad-
ijtihad politik. Ketika warga Muhammadiyah terjun dalam politik, setidanya ia punya 'bekal'
moral untuk menentukan tindakan apa yang harus diambil, membedakan mana yang benar
dan salah, dan strategi-strategi apa yang harus dibuat untuk mengejawantahkan keyakinan
dan cita-cita hidup (KCH) Muhammadiyah di arena politik. Ada tiga kecenderungan besar
kader Muhammadiyah dalam berpolitik. Pertama, kubu Islamis yang memilih
mengekspresikan identitas politiknya ke partai Islam. Salah satu yang besar adalah Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) yang dibeberapa tempat (termasuk Lamongan) sempat menyulut
konflik dengan Muhammadiyah. Kita bisa kenali nama Anis Matta dan Hidayat Nur Wahid di
sisi sebelah ini. Kedua, kubu 'kultural' yang memilih haluan PAN karena didirikan oleh
beberapa tokoh Muhammadiyah, termasuk Amien Rais. Akan tetapi, di beberapa daerah,
PAN justru mulai ditinggalkan karena masuknya tokoh non-Muhammadiyah sebagai
pimpinan, salah satunya di Banjarmasin. Larilah sebagian warga ke Partai Matahari Bangsa,
walau juga tidak banyak. Ketiga, kubu politisi. Kubu ini matang dan mengambil jalan di
partai lain. Kita mengenal beberapa nama seperti Hajriyanto Tohari di Golkar atau Heri
Akhmadi di PDI-P.
Tipologi ini menunjukkan bahwa kader-kader Muhammadiyah tidak monolitik dalam
mengekspresikan identitasnya. Strategi bagaimana Muhammadiyah berhadapan dengan
adanya keterbukaan politik di era reformasi ini memunculkan berbagai tipologi kader
Muhammadiyah yang terjun kedunia politik praktis. Di tengah terjadinya pragmatisme dan
politik berbiaya tinggi yang kian menjangkiti semua partai politik di Indonesia.Walaupun
disisi lain, kondisi demikian menyebabkan Muhammadiyah rawan dipolitisasi atau kader
Muhammadiyah justru terjerembab korupsi yang tidak perlu. Tajdid politik ini perlu
dirumuskan agar kader Muhammadiyah 'berbeda' dengan aktivis partai politik lain yang ada
di parlemen. Walau Muhammadiyah bukan entitas politik, tetapi Muhammadiyah harus
memberikan acuan bagi kader-kadernya yang ingin bermain di wilayah politik praktis.16

2.2. Kegiatan Politik Ekstra Parlementer Muhammadiyah Kab. Lamongan


Khittah Muhammadiyah sebagai sikap politikKhittah Muhammadiyah yang
dirumuskan tahun 1971 telah menyatakan dengan jelas bahwa Muhammadiyah tidak anti-
politik. Akan tetapi, Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan
negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-
dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama
dan moral yang utama. Jelas, Muhammadiyah meng-address politik sebagai bagian dari
realitas yang perlu diisi oleh umat Islam, tidak terkecuali kader Muhammadiyah sendiri.
14
ibid
15
Wawanncara dengan Fajrin Ketua IMM Lamongan anggal 16-04-2016 19:36
16
Wawancara dengan Ali Makhfudz Tanggal 14-04-2016 10:22
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 268 - 281 275

Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara


melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya
masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.17
Statement ini menunjukkan dengan tegas posisi. Muhammadiyah, bahwa
Muhammadiyah mengekspresikan politiknya secara kultural.Hal ini dipertegas pada
statement lain bahwa, "Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan
organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah
senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan
menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkar demi tegaknya
sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban". 18
Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk
menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing.
Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-
benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan
mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan
(uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan
upaya memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi
munkar". Sehingga, sikap politik Muhammadiyah jelas: “Muhammadiyah secara institusional
tidak mengambil jalur politik, tetapi memberikan ruang kepada kader-kadernya untuk
berpolitik sesuai dengan moralitas politik yang dimiliki
19
Muhammadiyah”. KepribadianMuhammadiyah sebagai moral politik adalah suatu
persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam. Maksud gerakan Islam ialah Dakwah Islam
dan amar ma'ruf nahi munkar yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan
masyarakat. Dalam konteks ini, politik berarti ialah dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar.
Kebutuhan politisi adalah mendefinisikanyang ma'ruf dan munkar dalam konteks politik.
Moral politik Muhammadiyah adalah dakwah amar ma'ruf dan nahi munkar. Kepribadian
Muhammadiyah sudah merumuskan: "Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasulnya,
bergerak membangun di segenap bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta
menempuh jalan yang diridlai Allah SWT".20 Konsep ini menunjukkan bahwa
Muhamamdiyah menggunakan Islam sebagai dasar perjuangan politik, tetapi dilakukan
dengan berorientasi pada pembangunan dan kemajuan masyarakat, demi masyarakat utama
sebagai cita-cita politiknya.Islam yang dipahami Muhammadiyah tidak kaku, melainkan
berkemajuan. Pada titik inilah logika politik diletakkan.
Amar ma'ruf didefinisikan mengacu pada Al-Qur'an, Sunnah, dan pendapat yang
mu'tabar, serta dilakukan sesuai dengan keadaan masyarakat.Begitu juga dengannahi
munkar. Politik Muhammadiyah adalah politik keumatan.Maka dari itu, politisi
Muhammadiyah seyogianya adalah politisi yang bergerak bersama umat dan
memperjuangkan hak umat.Hal ini yang mendasari perjuangan politik Muhammadiyah abad
ke-21. Muqaddimah Anggaran Dasar sebagai Dasar Perjuangan Politik Muhammadiyah
mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam
Muqaddimah Anggaran Dasar, yaitu:
1. Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah.Tauhid adalah dasar
perjuangan politik Muhammadiyah yang paling utama. Seluruh aktivitas berpolitik harus
dipandang sebagai ibadah, yang tentunya harus sesuai dengan rambu-rambu moralitas
politik yang telah Allah gariskan. Tauhid adalah epistemologi politik Muhammadiyah,
17
WawancaradenganShodiqinKetua PDM Kab. Lamongan Tnggal 28-03-2016 16:55
18
WawancaradenganKetua LHKP MuhammadiyahKab. Lamongan Tanggal 29-03-2016 15:45
19
ibid
20
Ibid
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 268 - 281 276

yang memandu laku gerak politik seorang warga Muhammadiyah untuk


memperjuangkan aktivitasnya.
2. Hidup manusia bermasyarakat. Pertanyaannya, cukupkah hanya bertauhid dengan
segenap aspeknya yang bersifat ritus? Ternyata tidak.Hidup manusia juga tak lepas dari
masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, orientasi politik Muhammadiyah adalah
memperbaiki, memperjuangkan, dan berdialog bersama masyarakatnya. Tauhid harus
diejawantahkan dalam praksis kehidupan bermasyarakat. Inilah yang disebut Amien Rais
sebagai "Tauhid Sosial".
3. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan berkeyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-
satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat.
Konsekuensi dari tauhid sosial adalah menjadikan Islam sebagai landasan moral politik.
Kepribadian Muhammadiyah telah tegas menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah
gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar. Maka, sudah seyogianya pula warga
Muhammadiyah menjadikan dakwah sebagailandasan moral politik untuk menciptakan
ketertiban bersama.
4. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban
sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada kemanusiaan. Karena Muhammadiyah
percaya dengan Islam sebagai moral politik, maka konsekuensinya adalah melaksanakan
ajarannya secara konsekuen. Pelaksanaan ajaran Islam itu tidak hanya pada aspek ritus,
sebagai ibadah kepada Allah, tetapi juga dalam bentuk kebaikan terhadap kemanusiaan.
Politik Muhammadiyah adalah politik yang berdasar pada kemanusiaan, sebagai wujud
penghambaan kepada Allah.
5. Ittiba’ kepada langkah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Ittiba' berarti mengikuti Rasulullah dengan basis keilmuan. Artinya, tidak hanya
memahami dakwah Rasulullah secara praksis, melainkan juga secara metodologis.Ini
berarti, ruang-ruang tafsir atas sirah perjuangan nabi perlu dibuka kembali. Dan tentu
saja, dikontekstualisasikan dengan kehidupan masa kini, sehingga lahirlah pemahaman
Islam yang historis, juga pemahaman politik yang sesuai dengan koridor Rasul tanpa
harus tercerabut dari zamannya.
6. Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban organisasi. Karena
seorang warga Muhammadiyah tak bisa lepas dari Muhammadiyah, ketika berpolitik di
manapun, ia harus kembali ke Muhammadiyah. Baik dari sekadar ikut pengajian atau
menimba ilmu. KH Ahmad Dahlan pernah berkata, "Muhammadiyah pada masa
sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang. Menjadilah dokter
sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, dan
(propesional) lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu.” Mungkin, bisa pula
ditambahkan: 'jadilah politisi, dan kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu.

3. Landasan Kegiatan Muhammadiyah


Muhammadiyah dalam menjalankan kegiatan bermasyarakat dan bernegara
berlandaskan pada Angaran Rumah Tangga dan Khittah dalam menentukan langkah
perjuangannya. Khittah Muhammadiyah sering dianggap oleh sebagian kalangan sebagai
“biang” alergi dan anti-politik, bahkan membuat gerakan Islam ini “banci” atau ambigu
dalam menghadapi politik, maksudnya politik kekuasaan dalam makna perebutan kursi
kekuasaan di pemerintahan. Dengan Khittah itu Muhammadiyah menjadi pasif, bahkan tidak
ada jalan keluar sebaiknya bagaimana peran politik Muhammadiyah. Muhammadiyah bahkan
dipandang tidak memiliki konsep politik yang jelas, cenderung sekuler karena memisahkan
politik dari gerakannya. Dipandang pula Muhammadiyah menjauhi politik itu sebagai bentuk
keputusasaan atau marjinalisasi (peminggiran) diri dari dinamika politik yang sesungguhnya
jauh lebih penting ketimbang dakwah.
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 268 - 281 277

Pandangan yang demikian mungkin ada benarnya dilihat dari satu sudut kepentingan
politik-praktis, yakni politik yang berorientasi pada perjuangan merebut, menggunakan, dan
mempertahankan kekuasaan politik di pemerintahan. Para politisi pada umumnya berada
dalam posisi yang berpandangan demikian. Hal itu tentu wajar karena di satu pihak politik-
kekuasaan memang penting dan para politisi maupun partai politik memerlukan dukungan
politik dari kekuatan-kekuatan masyarakat seperti Muhammadiyah. Namun bukan berarti
Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan harus mengubah diri menjadi partai
politik, memberikan dukungan proaktif atau mendirikan partai politik, maupun terlibat dalam
perjuangan politik-praktis sebagaimana fungsi partai politik. Muhammadiyah melakukan
pilihan politik untuk tidak berpolitik-praktis itu justru sebagai langkah sadar sejak awal
bahwa perjuangan politik-praktis memang bukan niat awal Muhammadiyah. Tentu plus-
minus dari pilihan itu tetapi itulah sebuah pilihan gerakan, sebab menjadi partai politik atau
terlibat dalam perjuangan politik-praktis pun sama plus-minusnya, sehingga posisi yang
demikian wajar adanya dan perlu dihormati sebagai suatu pilihan gerakan yang dapat
dipertanggungjawabkan baik dari segi objektivitas politik maupun idealisme gerakan.
Pandangan yang terlalu pro-politik dan menegasikan peran Muhammadiyah tersebut
lebih-lebih dengan memandang Khittah sebagai “biang” kesulitan Muhammadiyah,
sesungguhnya juga tidak tepat jika dipahami Khittah dalam spirit dan konteks gerakan
Muhammadiyah secara keseluruhan. Lebih-lebih dengan Khittah Denpasar tahun 2002
tentang Khittah Berbangsa dan Bernegara, di dalamnya terkandung pandangan sekaligus
garis dan alternatif langkah Muhammadiyah dalammenghadapi politik. Dalam telaahan
penulis, Khittah Denpasar merupakan konsep yang cukup mewakili dari seluruh Khittah
sebelumnya termasuk Khittah tahun 1971, yang memberikan sinyal pandangan
Muhammadiyah tentang politik, posisi Muhammadiyah dalam politik, dan pilihan jalan
keluar dari tidak berpolitik-praktis. Khittah Denpasar sebenarnya merupakan Khittah utama
yang dapat menjadi bingkai pandangan, pembatas, sekaligus jalan keluar bagi
Muhammadiyah dalam menghadapi politik.
Khittah apapun penting karena dengan Khittah itu terdapat garis atau bingkai pembatas
mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan Muhammadiyah, yang mengikat seluruh anggota
lebih-lebih pimpinannya. Boleh jadi Khittah sebaik apapun masih memiliki kelemahan atau
melalui Khittah terdapat plus-minus dari gerakan Muhammadiyah. Namun Khittah tetap
diperlukan baik karena sudah menjadi garis resmi organisasi yang tentu saja lahir karena
pengalaman yang panjang suka-duka yang dialami Muhammadiyah maupun karena
dipandang sejalan dengan jatidiri gerakan ini sejak awal, sehingga telah menjadi bagian dari
prinsip atau manhaj gerakan Muhammadiyah. Hal yang diperlukan ialah konsistensi
komitmen dari anggota Muhammadiyah untuk menjadikan Khittah benar-benar sebagai garis
pembatas dan pembingkai gerakan Islam ini dalam menghadapi dunia kehidupan politik.
Dalam kasus tertentu boleh jadi terdapat kebijakan atau pilihan organisasi yang
berbeda dari Khittah karena pertimbangan-pertimbangan darurat atau situasional, sejauh hal
itu dilakukan secara kelembagaan melalui mekanisma organisasi yang diproses secara matang
demi mencegah kedaruratan atau karena kepentingan yang lebih besar, tentu dapat
dibenarkan sebagai bentuk fleksibilitas organisasi. Tetapi semestinya secara umum tetap
mengacu atau mempertimbangkan Khittah dan prinsip organisasi sehingga tidak melampaui
batas garis gerakan. Para kader atau elite pimpinan dalam menerjemahkan kebijakan
organisasi pun dituntut kearifan, kecerdasan, dan etika organisasi agar kebijakan organisasi
tidak keluar jauh dari koridornya karena apapun Muhammadiyah itu merupakan organisasi
Islam yang besar dan menjadi amanah sejarah perjuangan umat Islam dan bangsa Indonesia
yang harus tetap dijaga eksistensi, keutuhan, dan komitmen utama gerakannya.
Muhammadiyah tidak boleh menjadi lahan pertaruhan politik dan karena itu diperlukan
Khittah Perjuangan.
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 268 - 281 278

Adapun Khittah Denpasar tahun 2002 atau Khittah Muhammadiyah dalam Berbangsa
dan Bernegara yang bersifat lengkap itu berisi sembilan butir pernyataan pokok, yaitu sebagai
berikut:
1. Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan
salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat)
yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan
moral yang utama. Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga
Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa
dan bernegara.
2. Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan
berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun melalui pengembangan
masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak diperlukan untuk
membangun kehidupan di mana nilai-nilai Ilahiah melandasi dan tumbuh subur
bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, ketertiban,
kebersamaan, dan keadaban untuk terwujudnya “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun
Ghafur”.
3. Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui
usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat
madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan
kebijakan-kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan
akan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-
prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang
demokratis.
4. Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis atau
berorientasi pada kekuasaan (real politics) untuk dijalankan oleh partai-partai politik dan
lembaga-lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-baiknya menuju terciptanya sistem
politik yang demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara.
Dalam hal ini perjuangan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik
hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya nilai-nilai
utama sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan didirikannya negara
Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945.
5. Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari dakwah
amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar
tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara
aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik
yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.
6. Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan
kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa
mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan
fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik
kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.
7. Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk
menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing.
Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan tanggungjawab sebagai warga negara
yang dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan
Muhammadiyah, demi kemaslahatan bangsa dan negara.
8. Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk
benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan
mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah),
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 268 - 281 279

keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus
sejalan dengan upaya memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da’wah
amar ma’ruf nahi munkar.
9. Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana pun
berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan, dan bertujuan
untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju,
demokratis dan berkeadaban.
Muhammadiyah berpandangan bahwa berkiprah dalam kehidupan bangsa dan negara
merupakan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi melaksanakan da’wah amar ma’ruf
nahi munkar sebagaimana telah menjadi panggilan sejarahnya sejak zaman pergerakan
hingga masa awal dan setelah kemerdekaan Indonesia. Peran dalam kehidupan bangsa dan
negara tersebut diwujudkan dalam langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian,
keyakinan dan cita-cita hidup, serta khittah perjuangannya sebagai acuan gerakan sebagai
wujud komitmen dan tanggungjawab dalam mewujudkan “Baldatun Thoyyibatun Wa
Rabbun Ghafur”.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Muhammadiyah berpandangan bahwa berkiprah dalam kehidupan bermasyarakat dan
negara merupakan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi melaksanakan da'wah amar
ma'ruf nahi munkar sebagaimana telah menjadi panggilan sejarahnya sejak zaman pergerakan
hingga masa awal dan setelah kemerdekaan Indonesia. Bahwa peran dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara dapat dilakukan melalui dua strategi dan lapangan perjuangan.
Pertama, melalui kegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan
kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai
politik atau kekuatan-kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan negara. Kedua, melalui
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat
maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat mempengaruhi
kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang
lebih baik di tingkat masyarakat dan negara sebagaimana dilakukan oleh kelompok-kelompok
kepentingan (interest groups).
Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan dapat memainkan peran politik lobi,
komunikasi politik, sosialisasi politik, pendidikan politik, melakukan kritik atau tekanan
publik, dan distribusi kader politik atau kader professional lainnya yang dapat masuk
keseluruh lini pemerintahan. Muhammadiyah dalam bermasyarakat dan bernegara dalam
menjalankan peran dan fugsi sebagai kelompok kepentingan, Muhammadiyah dalam kegiatan
bermasyarakat dan bernegara berlandakan Khittah perjuangan sebagai payung hukum
gerakan. Khittah berfungsi sebagai garis pembatas dan pembingkai Muhammadiyah agar
tetap berada di koridornya yakni bergerak di bidang dakwah dan tajdid di lapangan
kemasyarakatan, serta tidak bergerak dalam politik-praktis di ranah perjuangan kekuasaan
sebagaimana partai politik. Tetapi dengan Khittah itu Muhammadiyah dapat memainkan
fungsi kelompok kepentingan atau kekuatan moral dan proaktif dalam dinamika politik
kebangsaan, dengan tetap pelaksanannya berpijak pada prinsip-prinsip organisasi dan etika
gerakan yang berlaku dalam Muhammadiyah.

Saran
Secara Umum Muhammadiyah harus tetap menjaga jarak yang sama dengan semua
kekuatan politik, tetapi dalam local tertentu Muhammadiyah harus tetap cerdas membaca peta
politk. Artinya secara hitungan/kalkulasi politik betul-betul menguntungkan, maka
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 268 - 281 280

keterpihakan terhadap kekuatan politik tertentu juga tidak apa-apa, tetapi harus di hitung
secara cermat.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Fathurrahim Syuhadi. 2006. Mengenag Perjuangan, Sejarah Muhammadiyah Lamongan
1936-2005. Surabaya : Java Pustaka Media Utama.
Haedar Nashir, 2008. Khittah Muhammadiyah Tentang Politik, Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah.
Ibnu Salim dkk, 1998, Studi Kemuhammadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan Organis,
Yogyakarta : LSI UMS.
Imron Nasir, 2012. Muhammadiyah Berjuang Demi Tegaknya NKRI dan Agama Islam.
Yogyakarta : Suara Muahammdiyah,
Nashir, Haedar. 2000. Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta : Bigraf Publishing.
Nashir, Haedar. 2008. Khittah Muhammadiyah tentang Politik. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah.
Nashir, Haedar. 2000. Dinamika Politik Muhammadiyah. Yogyakarta: BIGRAF Publising
Purnomo setiady Akbar Husaini Usman. 1996. Metode Penelitian Sosial. Jakarta. Bumi
Aksara.
Qodir, Zuly. 2010. Muhammadiyah Studies : Reorientasi Gerakan dan Pemikiran Memasuki
Abad Kedua. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Ramlan Surbakti, 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Grasindo.
Robert Van Niel, 1984. Munculnya Elite Modern Indonesia, Pustaka jaya, Jakarta.
Robert. D. Putnam, 2011. Studi Perbandingan Elite Politik dalam Mohtar Mas’oed dan Colin
MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Zuly Qodir, 2010. Muhammadiyah Studies:

SKRIPSI DAN TESIS


Ahmad Sholikin. 2014. Deviasi Sikap Politik Elektoral Muhammadiyah Antara pusat dan
Daerah (Studi Kasus Sikap Politik Elite Muhammadiyah Pada Pilihan Presiden 2014
Dan Pilkada 2010 Di Sleman Dan Maros). Yogyakarta : Tesis Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada
Annisa Triana. 2014. Peran Muhammadiyah dalam bidang politik di Yogyakarta tahun 1945
-1968. Yogyakarta : Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta.

JURNAL DAN MAJALAH


Majalah MATAN Muhammadiyah Jawa Timur, Edisi 117, April 2016
Panduan Musyawarah Daerah XI Muhammadiyah Lamongan, Maret 2016.

WEBSITE
www.Lamongan.muhammadiyah.or.id/content-2-sdet-profil-muhammadiyah.html, di akses
pada 22/01/ 2016, 21:50 WIB

WAWANCARA
H. Shonhadji Zainuddin, Wakil Ketua DPRD Kab. Lamongan periode 2014-2019, Lembaga
Seni Budaya dan Olahraga PDM Lamongan. 14 April 2016 di DPRD Kab. Lamongan.
Ali Makhfudz, S.A.g, Anggota LHKP PDM Lamongan Periode 2015-2020, Ketua Komisi D
DPRD Kab. Lamongan Periode 2014-2019. 14 April 2106 di DPRD Kab. Lamongan.
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 268 - 281 281

Drs. Ali Shodiqin (Mantan Sekretaris PDM Lamongan 2010-2015, Kini Ketua Umum
Pimpinan Daerah Kabupaten Lamongan 2015-2020. 28 Maret 2016 di Gedung Dakwah
Muhammadiyah Lamongan.
Drs. H. Rosyad Suwadji, Ketua LHKP (Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik) Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Lamongan. 30 Maret 2016
Fajerin, Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Lamongan. 16 April 2016 di Sekertariat
IMM UNISDA Lamongan.

Anda mungkin juga menyukai