Anda di halaman 1dari 30

TUGAS KESELAMATA KERJA

PROSEDUR K3 PADA INDUSTRI MIGAS

Oleh :

KELOMPOK 4

Herdy Perdana Wicaksono 101711123006


Hilfia Alifianti Nurly 101711123015
Erlita Sandra Deviana. PS 101711123049

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................ i


BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 2
1.3 Tujuan .......................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja ............................................... 3
2.2 Kecelakaan Kerja
2.2.1 Definisi Kecelakaan Kerja .................................................. 3
2.2.2 Faktor Terjadinya Kecelakaan Kerja .................................. 4
2.2.3 Klasifikasi Kecelakaan Kerja .............................................. 5
2.3 Bahaya
2.3.1 Definisi Bahaya ................................................................... 7
2.3.2 Klasifikasi Bahaya .............................................................. 7
2.3.3 Sumber Bahaya .................................................................. 9
2.4 Pencegahan Kecelakaan Kerja
2.4.1 Pencegahan Kecelakaan Kerja Menurut ILO ................... 10
2.4.2 Prinsip Pencegahan Kecelakaan ....................................... 12
2.4.3 Analisis Risiko Kecelakaan Kerja .................................... 13
2.4.4 Hierarki Pengendalian Risiko ........................................... 13
2.5 Industri Migas
2.5.1 Model Keselamatan Kerja Migas ...................................... 16
BAB 3 ISI DAN PEMBAHASAN
3.1 Studi Kasus .......................................................................... 18
3.2 Analisis Penyebab Kasus ..................................................... 18
3.3 Dampak ................................................................................ 20
3.4 Pengendalian yang Dapat Dilakukan ................................... 21
BAB 4 PENUTUP ................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 28
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah industri yang cukup
banyak yang tersebar pada seluruh kepulauan wilayah di Indonesia. Hampir
seluruh Industri selalu melakukan kegiatan produksi untuk menghasilkan output
atau tujuan yang diinginkan tetapi dalam melakukan kegiatan tersebut selalu
melibatkan berbagai fungsi dalam suatu perusahaan seperti alat-alat produksi
maupun tenaga kerja.
Berdasarkan hal tersebut penerapan K3 di dalam proses produksi sangat
penting karena merupakan salah satu indikator keberhasilan perusahaan dalam
memberikan produk yang berkualitas kepada konsumen selain itu juga sebagai
upaya untuk mencegah terjadinya kejadian yang tidak diinginkan seperti
kecelakaan yang dapat menimbulkan banyak kerugian dan pencegahan terhadap
terjadinya penyakit akibat kerja.
Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan di Indonesia
secara umum masih cukup memprihatinkan. Angka kecelakaan kerja di
Indonesia masih tinggi. Mengutip data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Ketenagakerjaan, hingga akhir 2015 telah terjadi kecelakaan kerja
sebanyak 105.182 kasus. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
tidak semua perusahaan di Indonesia benar-benar menerapakan progam
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, hal itu bisa terjadi karena kurangnya
pengawasan dari pihak perusahaan maupun pemerintah. Oleh karena itu
perhatian di sini sangatlah penting untuk melihat penerapan K3 benar-benar
dijalankan seoptimal mungkin pada perusahaan dengan cara mengikut sertakan
pihak perusahaan dan pemerintah dalam memfasilitasi dengan peraturan
perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Industri Migas sendiri tidak terlepas dari adanya bahan yang berbahaya
seperti adanya bahan kimia yang beracun yang dapat memberikan kerugian bagi
perusahan jika penanganan tidak sesuai, karena selain beracun juga memiliki
1
sifat korosif, mudah terbakar dan meledak (flammables). Bahan kimia tersebut
dijumpai sebagai bahan proses dan juga sebagai bahan buangan. Informasi yang
kurang dan tidak benar terhadap bahan kimia ini dapat mengakibatkan fatal bagi
operator yang bekerja dengan bahan kimia itu, selain itu pada industri migas
perlu adanya SOP yang benar benar sudah disahkan oleh pengawas yang terkait ,
karena dalam proses produksi harus meminimalisir adanya bahaya yang di duga
dapat menimbulkan peledakan.
Bahaya yang dapat ditimbulkan terhadap pekerja maupun material pada
industri migas, maka dari itu diperlukan penanganan yang serius terhadap
pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di industri migas.
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk
upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran
lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan bebas dari kecelakaan kerja maupun
penyakit akibat kerja yang nantinya apat meningkatkan produktivitas perusahaan
dan tenaga kerja.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut “Bagaimana prosedur K3 pada industri migas”

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui prosedur K3 pada
industri migas

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Menurut Armanda dalam Kani, dkk (2013) Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya
untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani
tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan
budayanya menuju masyarakat makmur dan sejahtera. Sedangkan
pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan
penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan
dan penyakit akibat kerja.
Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja berdasarkan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja adalah :
1. Tujuan Umum
a. Perlindungan terhadap tenaga kerja yang berada di lingkungan kerja
selalu terjamin keselamatan dan kesehatan sehingga dapat
diwujudkan peningkatan produksi dan produktivitas.
b. Perlindungan terhadap setiap orang yang berada di lingkungan kerja
agar selalu dalam keadaan selamat.
c. Perlindungan terhadap bahan dan peralatan produksi agar dapat
dipakai dan digunakan secara aman dan efisien.
2. Tujuan Khusus
a. Mencegah terjadinya kecelakaan, kebakaran, peledakan dan penyakit
akibat kerja.
b. Mengamankan mesin dan peralatan, instalasi, pesawat, alat kerja,
bahan baku, dan bahan hasil produksi.

2.2 Kecelakaan Kerja


2.2.1 Definisi Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang jelas tidak
dikehendaki dan sering kali tidak terduga semula yang dapat
3
menimbulkan kerugian baik waktu, harta benda atau properti maupun
korban jiwa yang terjadi di dalam suatu proses kerja industri atau yang
berkaitan dengannya. Dengan demikian kecelakaan kerja mengandung
unsur-unsur sebagai berikut :
1. Tidak diduga semula, oleh karena dibelakang peristiwa kecelakaan
tidak terdapat unsur kesengajaan dan perencanaan;
2. Tidak dinginkan atau diharapkan, karena setiap peristiwa kecelakaan
akan selalu disertai kerugian baik fisik maupun mental;
3. Selalu menimbulkan kerugian dan kerusakan, yang sekurang-
kurangnya akan dapat menyebabkan gangguan proses kerja
(Tarwaka, 2012).
Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya.
Oleh karena ada penyebabnya, sebab kecelakaan harus diteliti dan
ditemukan, agar untuk selanjutnya dengan tindakan korektif yang
ditujukan kepada penyebab itu serta dengan upaya preventif lebih lanjut
kecelakaan dapat dicegah dan kecelakaan serupa tidak berulang kembali
(Suma’mur, 2009).
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja,
kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak diduga semula dan
tidak dikehendaki, yang mengacaukan proses yang telah diatur dari
suatu aktivitas dan dapat menimbulkan kerugian baik korban manusia
maupun harta benda.
2.2.2 Faktor Terjadinya Kecelakaan Kerja
Menurut Sayuti (2013) sesungguhnya gangguan dan terjadinya
kecelakaan dapat dilihat dari 3 (tiga) faktor utama yang menjadi
penyebabnya, yaitu :
1. Lingkungan kerja, maksudnya tempat di mana pekerja melakukan
pekerjaanya dalam kondisi yang tidak aman atau dalam kondisi
membahayakan. Kondisi yang tidak aman ini dapat terjadi karena
tidak teraturnya suasana, perlengkapan dan peralatan kerja.
2. Manusia atau karyawan, faktor ini banyak disebabkan oleh beberapa
hal :
4
a. Sifat fisik dan mental manusia yang tidak standar, contohnya
karyawan yang rabun, penerangan kurang, otot lemah, reaksi
mental lambat, syaraf yang tidak stabil dan lainnya. Bagi yang
memiliki sifat dan kondisi seperti ini sering menjadi penyebab
kecelakaan dan gangguan kerja.
b. Pengetahuan dan keterampilan, karena kurangnya pengetahuan
maka kurang memperhatikan metode kerja yang aman dan baik,
memiliki kebiasaan yang salah, dan kurang pengalaman.
c. Sikap, karyawan memiliki sikap kurang minat dan kurang
perhatian, kurang teliti, malas dan sombong (mengabaikan
peraturan dan petunjuk), tidak peduli akan suatu akibat, hubungan
yang kurang baik dengan pihak lain, sifat ceroboh dan perbuatan
yang berbahaya.
3. Mesin dan alat, jika pada lingkungan kerja menyangkut pengaturan
peralatan dan konstruksi bangunan, maka faktor mesin dan alat ini
adalah penggunaan mesin-mesin dan perlatan yang tidak memenuhi
standar.
2.2.3 Klasifikasi Kecelakaan Kerja
Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dalam
Tarwaka (2012), kecelakaan akibat kerja diklasifikasikan berdasarkan
jenis kecelakaan, penyebab, sifat luka, letak kelainan atau luka tubuh,
jenis pekerjaan tertentu, dan penyimpangan dari keadaan normal:
1. Klasifikasi menurut jenis kecelakaan:
a. Terjatuh
b. Tertimpa benda
c. Tertumbuk atau terkena benda-benda
d. Terjepit oleh benda
e. Gerakan-gerakan melebihi kemampuan
f. Pengaruh suhu tinggi
g. Terkena arus listrik
h. Kontak bahan-bahan berbahaya atau radiasi
2. Klasifikasi menurut penyebab:
5
a. Mesin, misalnya mesin pembangkit tenaga listrik
b. Alat angkut: alat angkut darat, udara, dan air
c. Peralatan lain misalnya dapur pembakar dan pemanas, instalasi
pendingin, alat-alat listrik, dan sebagainya
d. Bahan-bahan, zat-zat dan radiasi, misalnya bahan peledak, gas,
zat-zat kimia, dan sebagainya
e. Lingkungan kerja (di luar bangunan, di dalam bangunan dan di
bawah tanah)
f. Penyebab lain yang belum masuk tersebut di atas
3. Klasifikasi menurut sifat luka atau kelainan:
a. Patah tulang
b. Dislokasi (keseleo)
c. Regang otot (urat)
d. Memar dan luka dalam yang lain
e. Amputasi
f. Luka di permukaan
g. Geger dan remuk
h. Luka bakar
i. Keracunan-keracunan mendadak
j. Pengaruh radiasi
4. Klasifikasi menurut letak kelainan atau luka di tubuh:
a. Kepala dan muka
b. Leher
c. Badan
d. Anggota atas
e. Anggota bawah
f. Banyak tempat
g. Letak lain yang tidak termasuk dalam klsifikasi tersebut
5. Klasifikasi menurut jenis pekerjaan tertentu
a. Operating machines
b. Bekerja dengan hand tools
c. Bekerja denga peralatan transportasi
6
d. Manual handling
e. Transportasi manual
f. Pergerakan
6. Klasifikasi terjadinya penyimpangan dari keadaan normal
a. Kelistrikan, peledakan atau kebakaran
b. Kebocoran, aliran, emisi, overflow, overturn
c. Kerusakan, pecah, retak, deformasi atau cacat
d. Kurang pengendalian pada mesin, alat-alat kerja, sarana
transportasi
e. Terjatuh
f. Pergerakan tubuh
g. Kekerasan dan agresi
2.3 Bahaya
2.3.1 Definisi Bahaya
Menurut Ridley (2008), bahaya (hazard) adalah sesuatu yang
berpotensi menyebabkan kerugian/kelukaan. Menurut Suma’mur
(1987), bahaya pekerjaan adalah faktor-faktor dalam hubungan
pekerjaan yang dapat mendatangkan kecelakaan. Bahaya tersebut
disebut potensial, jika faktor-faktor tersebut belum mendatangkan
kecelakaan. Jika kecelakaan telah terjadi, maka bahaya tersebut sebagai
bahaya nyata.
Menurut Taylor dalam Zalaya (2012) definisi dari bahaya adalah
segala sesuatu atau kondisi yang berpotensi menyebabkan kecelakaan
atau membahayakan kesehatan atau sumber potensial yang dapat
merusak energi.
2.3.2 Klasifikasi Bahaya
Menurut Ramli (2010), jenis bahaya dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. Bahaya Mekanis
Bersumber dari peralatan mekanis atau benda bergerak dengan
gaya mekanika baik yang digerakkan secara manual maupun dengan
penggerak. Misalnya mesin gerinda, press, tempa, pengaduk, dan
7
lain-lain. Bahaya yang bergerak pada mesin mengandung bahaya
seperti gerakan mengebor, memotong, menempa, menjepit,
menekan, dan bentuk gerakan lainnya. Gerakan mekanis ini dapat
menimbulkan cedera atau kerusakan seperti tersayat, terjepit,
terpotong, atau terkupas.
2. Bahaya Listrik
Merupakan sumber bahaya yang berasal dari energi listrik
yang dapat mengakibatkan berbagai bahaya seperti kebakaran,
sengatan listrik, dan hubungan singkat. Di lingkungan kerja banyak
ditemkan bahaya listrik, baik dari jaringan listrik, maupun peralatan
kerja atau mesin yang menggunakan energi listrik.
3. Bahaya Kimiawi
Bahan kimia mengandung berbagai potensi bahaya sesuai
dengan sifat dan kandungannya. Banyak kecelakaan terjadi akibat
bahaya kimiawi. Bahaya yang dapat ditimbulkan oleh bahan-bahan
kimia antara lain:
(a) Keracunan oleh bahan kimia yang bersifat racun (toxic).
(b) Iritasi, oleh bahan kimia yang memiliki sifat iritasi seperti asam
keras, cuka air aki, dan lainnya.
(c) Kebakaran dan peledakan. Beberapa jenis bahan kimia memiliki
sifat mudah terbakar dan meledak misalnya golongan senyawa
hidrokarbon seperti minyak tanah, premium, LPG, dan lainnya.
(d) Polusi dan pencemaran lingkungan.
4. Bahaya Fisis (Suma’mur, 2013)
Bahaya yang berasal dari faktor fisis antara lain:
(a) Kebisingan;
(b) Radiasi;
(c) Getaran Mekanis;
(d) Iklim (Cuaca) Kerja;
(e) Tekanan Udara Tinggi dan Rendah;
(f) Penerangan; dan
(g) Bau-bauan di Tempat Kerja
8
5. Bahaya Biologis (Suma’mur, 2013)
Di berbagai lingkungan terdapat bahaya yang bersumber dari
unsur biologis seperti flora dan fauna yang terdapat di lingkungan
kerja atau berasal dari aktivitas kerja.
6. Bahaya Ergonomi (Tarwaka, 2014)
Bahaya yang disebabkan karena desain kerja, penataan tempat
kerja yang tidak nyaman bagi pekerja sehingga dapat menimbulkan
kelelahan pada pekerja.
7. Bahaya Psikologis (Kurniawidjaja, 2010)
Bahaya yang disebabkan karena jam kerja yang panjang, shift
kerja yang tidak menentu, hubungan antara pekerja yang kurang
baik. Hal ini juga dapat ditimbulkan karena faktor stres berupa
pembagian pekerjaan yang tidak proporsional, serta mengabaikan
kehidupan sosial pekerja.
2.3.3 Sumber Bahaya
Menurut Syukri Sahab (1997), sumber bahaya ini bisa berasal
dari:
1. Bangunan, Peralatan dan Instalasi
Bahaya dari bangunan, peralatan dan instalasi perlu mendapat
perhatian. Konstruksi bangunan harus kokoh dan memenuhi syarat.
Desain ruangan dan tempat kerja harus menjamin keselamatan dan
kesehatan pekerja. Pencahayaan dan ventilasi harus baik, tersedia
penerangan darurat, marka dan rambu yang jelas dan tersedia jalan
penyelamatan diri. Instalasi harus memenuhi persaratan keselamatan
kerja baik dalam disain maupun konstruksinya. Dalam industri juga
digunakan berbagai peralatan yang mengandung bahaya, yang bila
tidak dilengkapi dengan alat pelindung dan pengaman bisa
menimbulkan bahaya seperti kebakaran, sengatan listrik, ledakan,
luka-luka atau cidera.
2. Bahan
Bahaya dari bahan meliputi berbagai risiko sesuai dengan sifat
bahan antara lain mudah terbakar, mudah meledak, menimbulkan
9
alergi, menimbulkan kerusakan pada kulit dan jaringan tubuh,
menyebabkan kanker, mengakibatkan kelainan pada janin, bersifat
racun dan radio aktif .
3. Proses
Bahaya dari proses sangat bervariasi tergantung teknologi
yang digunakan. Proses yang digunakan di industri ada yang
sederhana tetapi ada proses yang rumit. Industri kimia biasanya
menggunakan proses yang berbahaya, dalam prosesnya digunakan
suhu, tekanan yang tinggi dan bahan kimia berbahaya yang
memperbesar risiko bahayanya. Dari proses ini kadang-kadang
timbul asap, debu, panas, bising, dan bahaya mekanis seperti
terjepit, terpotong, atau tertimpa bahan.
4. Cara Kerja
Bahaya dari cara kerja dapat membahayakan karyawan itu
sendiri dan orang lain disekitarnya. Cara kerja yang demikian antara
lain cara kerja yang mengakibatkan hamburan debu dan serbuk
logam, percikan api serta tumpahan bahan berbahaya.
5. Lingkungan Kerja
Bahaya dari lingkungan kerja dapat di golongkan atas
berbagai jenis bahaya yang dapat mengakibatkan berbagai gangguan
kesehatan dan penyakit akibat kerja serta penurunan produktivitas
dan efisiensi kerja.

2.4 Pencegahan Kecelakaan Kerja


2.4.1 Pencegahan Kecelakaan Kerja Menurut ILO
Seperti diketahui selama ini bahwa upaya keselamatan dan
kesehatan kerja adalah upaya pencegahan kecelakaan. Salah satu
adalah dikemukakan oleh ILO bahwa untuk meningkatkan
keselamatan dan kesehatan di tempat kerja perlu dibuat dan diadakan:
1. Peraturan-peraturan yaitu peraturan perundang-undangan yang
bertalian dengan syarat-syarat kerja umum, perencanaan,
konstruksi, perawatan, pengawasan, pengujian dan pemakaian
10
peralatan industri, kewajiban pengusaha dan pekerja, latihan,
pengawasan kesehatan kerja, pertolongan pertama pada
kecelakaan dan pengujian kesehatan.
2. Standarisasi, yaitu penetapan standar-standar tehnis, misalnya
konstruksi yang memenuhi keselamatan jenis-jenis peralatan
industri tertentu, praktik-praktik keselamatan dan higiene
umum, atau alat pelindung diri.
3. Pengawasan, yaitu pengawasan tentang dipatuhinya ketentuan
peraturan perudang-undangan yang diwajibkan di tempat-
tempat kerja tertentu yang mungkin atau sering mengalami
kecelakaan kerja.
4. Penelitian bersifat teknis yang meliputi sifat dan ciri-ciri bahan-
bahan berbahaya, penyelidikan tentang pagar pengaman,
pengujian, tentang alat-alat pelindung diri, penelitian tentang
pencegahan debu dan peledakan gas, penelaahan bahan dan
disain yang paling tepat untuk alat angkut.
5. Riset medis, meliputi penelitian tentang efek fisiologis dan
patologis, faktor-faktor lingkungan dan teknologis, keadaan
fisik yang mengakibatkan kecelakaan.
6. Penelitian secara statistik, untuk menetapkan jenis-jenis
kecelakaan yang terjadi dan jumlahnya, siapa saja yang terkena,
dalam pekerjaan apa dan apa penyebabnya.
7. Pendidikan, menyangkut pendidikan keselamatan dan
kurikulum teknik, sekolah-sekolah perniagaan atau kursus-
kursus pertukangan.
8. Latihan-latihan, yaitu latihan praktek bagi tenaga kerja yang
baru, dalam keselamatan kerja.
9. Persuasi, yaitu penggunaan aneka cara penuluhan atau
pendekatan lain secara pribadi untuk menumbuhkan sikap
selamat dan juga rotasi pekerjaan untuk pekerja-pekerja yang
ada masalah.
10. Asuransi, yaitu insentif finansial untuk meningkatkan
11
pencegahan kecelakaan karena menimbulkan rasa aman dalam
bekerja dan merasa dihargai/diperhatikan.
2.4.2 Prinsip Pencegahan Kecelakaan
Tindakan pencegahan kecelakaan bertujuan untuk mengurangi
peluang terjadinya kecelakaan hingga seminimal mungkin. Beberapa
pencegahan kecelakaan dapat dilakukan seperti berikut :
1. Mengidentifikasi potensi bahaya
2. Menghilangkan bahaya
3. Mengurangi bahaya hingga seminimal mungkin jika penghilangan
bahaya tidak dapat dilakukan
4. Melakukan penilaian risiko
5. Mengendalikan risiko (Ridley, 2008)
Dalam melakukan penelitian, prioritas yang harus kita lakukan
adalah memulai dari tindakan yang terbesar. Jika tidak dapat dilakukan
maka kita menurunkan tingkat pengendaliannya ke tingkat yang lebih
rendah atau lebih mudah. Tahapan-tahapan disajikan berdasarkan
pertimbangan biaya. Semakin tinggi tingkat kendali yang dipilih
semakin tinggi pula biaya yang dibutuhkan. Tetapi, tingkat risiko yang
berkurang semakin besar pula (Suardi, 2005).
Ramli (2010), khusus untuk risiko K3 (Keselamatan dan
Kesehatan Kerja) ada beberapa cara yang digunakan untuk
mengidentifikasi bahaya, yaitu :
1. Hazops (Hazards and Operability Study) adalah teknik identifikasi
bahaya dengan sistem yang sangat terstruktur dan sistematis
sehingga dapat mengahsilkan kajian yang komprehensif. Namun,
kelemahan Hazops adalah karena memerlukan waktu yang panjang,
perlu tim ahli, dan sering membosankan.
2. JSA (Job Safety Analysis) yaitu salah satu teknik analisa yang
sangat populer dan banyak digunakan di lingkungan kerja. Teknik
ini bermanfaat untuk mengidentifikasi dan menganalisa bahaya
dalam suatu pekerjaan.

12
3. Analisa pohon kegagalan (Fault Tree Analysis) yaitu metoda analisa
yang bersifat deduktif. Dimulai dengan menetapkan kejadian puncak
(top event) yang mungkin terjadi dalam suatu proses, misalnya
kebakaran atau ledakan.
4. Teori Swiss Cheese
Dalam Swiss Cheese Model, berbagai macam types of human errors
ini merepresentasikan lubang pada sebuah keju. Jika keempat keju
ini (unsafe act, preconditions for unsafe acts, unsafe supervisions,
and organizational influences) sama-sama mempunyai lubang, maka
kecelakaan menjadi tak terhindarkan.
2.4.3 Analisis Risiko Kecelakaan Kerja
Banyak teknik yang dapat digunakan untuk melakukan analisa
risiko. Baik secara kualitatif, semi kuantitatif maupun kuantitatif.
Probabilitas merupakan kemungkinan terjadinya suatu peristiwa
termasuk kekerapan/frekuenskinya. Dalam hal ini, probabilitas
merupakan teknik analisa risiko kuantitatif yang dicerminkan dari
kemungkinan yang ditimbulkannya.
Analisa risiko kuantitatif menggunakan perhitungan probabilitas
kejadian atau konsekuensinya dengan data numerik dimana besarnya
risiko tidak berupa peringkat seperti pada metoda semikuantitatif. Hasil
perhitungan secara kuantitatif akan memberikan gambaran tentang
risiko suatu kegiatan atau bahaya (Ramli, 2010).
2.4.4 Hierarki Pengendalian Risiko
Pengendalian risiko menurut Ramli (2010) dilakukan terhadap
seluruh bahaya yang ditemukan dalam proses identifikasi bahaya dan
mempertimbangkan peringkat risiko untuk menentukan prioritas dan
cara pengendaliannya. Selanjutnya dalam menentukan pengendalian
harus mempertimbangkan hierarki pengendalian mulai dari eliminasi,
substitusi, pengendalian teknik, administrasi, dan terakhir penyediaan
alat keselamatan yang disesuaikan dengan kondisi organisasi,
ketersediaan biaya, biaya operasional, faktor manusia, dan lingkungan.

13
Pengendalian risiko merupakan langkah menentukan dalam
keseluruhan manajemen risiko. Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi
risiko dapat ditentukan apakah suatu risiko dapat diterima atau tidak.
Jika risiko dapat diterima, tentunya tidak diperlukan langkah
pengendalian lebih lanjut.
Berkaitan dengan risiko K3, pengendalian risiko dilakukan
dengan mengurangi kemungkinan atau keparahan dengan mengikuti
hirarki sebagai berikut :
1. Eliminasi
Eliminasi merupakan pengendalian risiko yang bersifat permanen
dan harus dicoba untuk diterapkan sebagai pilihan prioritas pertama.
Eliminasi adalah cara pengendalian risiko yang paling baik karena
risiko terjadinya kecelakaan dan sakit akibat potensi bahaya
ditiadakan. Namun pada prakteknya pengendalian dengan cara
eliminasi banyak mengalami kendala karena keterkaitan antara
sumber bahaya dan potensi bahaya saling berkaitan atau menjadi
sebab dan akibat.
2. Substitusi
Pengendalian ini dimaksudkan untuk menggantikan bahan-bahan
dan peralatan yang lebih berbahaya dengan bahan-bahan dan
peralatan yang kurang berbahaya atau yang lebih aman sehingga
pemaparannya selalu dalam batas yang masih dapat diterima.
3. Rekayasa Teknik
Rekayasa teknik termasuk merubah struktur objek kerja untuk
mencegah seseorang terpapar pada potensi bahaya seperti pemberian
pengaman mesin, penutup, pemeberian laat bantu mekanik.
4. Pengendalian Administrasi
Pengendalian administrasi dilakukan dengan menyediakan suatu
sistem kerja yang dapat mengurangi kemungkinan seseorang
terpapar potensi bahaya. Metode pengendalian ini sangat bergantung
dari perilaku pekerjaannya dan memerlukan pengawasan yang
teratur untuk dipatuhinya pengendalian asminstrasi ini.
14
5. Alat Pelindung Diri
APD secara umum merupakan sarana pengendalian yang digunakan
untuk jangka pendek dan bersifat sementara. APD merupakan
pilihan terakhir dari suatu sistem pengendalian risiko di tempat
kerja, hal ini disebabkan karena APD hanya membatasi antara
terpaparnya tubuh dengan potensi bahaya yang diterima dan
penggunaan APD dirasa tidak nyaman.

2.5 Industri Migas (Minyak dan Gas bumi)


Minyak dan gas bumi merupakan bahan yang paling penting di dunia
dewasa ini sebagai sumber energi. Minyak dan gas bumi merupakan sumber
penggerak berbagai mesin motor, mesin diesel, mesin jet untuk pesawat
terbang, serta mesin-mesin lain untuk penggerak industri.
Sifat cair dari minyak bumi menyebabkan cairan dari proses pemisahan
minyak bumi menjadi mudah disimpan dalam berbagai macam bentuk.
Seperti ditempatkan kedalam tanki kilang minyak dan mengalirkannya
melalui pipa-pipa untuk kemudian digunakan.
Gas bumi memiliki sifat gas yang juga mempunyai keunggulan
daripada zat padat, dan sebetulnya juga terhadap zat cair karena dapat
dimampatkan, sehingga volumenya dapat di perkecil. Selain itu, gas sangat
mudah mengalir dan kebocoran sulit diketahui, sehingga memerlukan
teknologi lebih tinggi dalam penyimpanannya (Koesoemadinata, 1990).
Menurut Hardjono (2007), sifat-sifat minyak mentah sangat bervariasi
dan jenis produk yang dapat dihasilkan juga dan sangat banyak, maka istilah
kilang tidaklah memberikan gambaran yang jelas mengenai operasi-operasi
apa saja yang dilakukan oleh suatu kilang. Suatu operasi yang tentu dijumpai
dalam semua kilang adalah destilasi yang memisahkan minyak bumi ke
dalam fraksi-fraksinya berdasarkan titik didihnya.
Operasi lainnya dapat sedikit atau banyak jumlahnya, dapat sederhana
atau kompleks, tergantung kepada produk-produk yang akan dibuat. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa tidak ada dua buah kilang minyak yang
mempunyai skema proses pengolahan yang sama. Dalam kenyataannya
15
kilang minyak terdiri dari unit-unit atau pabrik manufaktur yang berbeda,
karena unit-unit tersebut mengolah bahan minyak yang berbeda dan
menghasilkan produk-produk yang berbeda pula.
Makin kompleks kilang minyak atau makin beragam unit yang ada di
dalam kilang maka kilang akan semakin fleksibel, karena produk yang tidak
dapat dipasarkan dapat diubah kedalam produk yang dapat dipasarkan.
Adanya produk yang tidak dapat dipasarkan akan menyebabkan tangki
produk pada suatu saat akan penuh, sehingga operasi kilang terpaksa harus
dihentikan.
2.5.1 Model Keselamatan Kerja Migas
Lapangan kerja migas secara umum terbagi dua, yakni kegiatan
offshore dan kegiatan onshore. Jenis keselamatan kerja migas offshore
atau kegiatan pertambangan migas diatas laut, adalah :
1. Keselamatan kerja transportasi laut.
2. Keselamatan kerja discharge (pembongkaran) material diatas laut.
3. Keselamatan kerja lifthing (pengangkatan) material.
4. Keselamatan kerja di atas ketinggian (working at height).
5. Keselamatan kerja di area terbatas (confine space).
6. Keselamatan kerja perform welding (pengelasan).
7. Keselamatan kerja penyelamatan di laut.
8. Keelamatan kerja pendaratan chopper (helicopter) di atas pad (titik
pendaratan).
9. Keselamatan kerja pengapalan material di atas laut.
10. Keselamatan kerja antisipasi kebakaran di laut.
Kemudian keselamatan kerja migas onshore atau kegiatan
pertambangan di darat, sebagai berikut :
1. Keselamatan kerja blasting (peledakan sumber minyak).
2. Keselamatan kerja drilling (pengeboran).
3. Keselamatan kerja discharge material di darat.
4. Keselamatan kerja pengoperasian forklift.
5. Keselamatan kerja pengoperasian crane truck/boom truck.
6. Keselamatan kerja pencegahan atau penanganan kebakaran.
16
7. Keselamatan kerja di ketinggian/scaffolding.
8. Keselamatan kerja area terbatas.
9. Keselamatan kerja di lifting material.
10. Keselamatan kerja mechanical.
11. Keselamatan kerja di kantor (Ahira, 2011).

17
BAB 3
ISI DAN PEMBAHASAN

3.1 Studi Kasus


BP Plc, sebuah perusahaan minyak raksasa dunia yang berpusat di
Inggris, memiliki lapangan minyak berjarak 64 km dari lepas pantai
Louisiana, AS, seberang New Orleans. Diperkirakan minyak mentah yang
berada di kedalaman 9,6 km dari permukaan laut ini menyimpan cadangan
minyak 3 milyar barrel, atau setara dengan 6 bulan konsumsi seluruh AS.
Dalam melakukan pengeboran, BP menyewa Transocean sebagai pemilik rig
dan melakukan pengeboran. Rig milik Transocean tersebut bernama
Deepwater Horizon.
Pada tanggal 20 April 2010 terjadi blow out di sumur dan ledakan gas
di atas rig Deepwater Horizon, yang menyebabkan rig terbakar dan 11 orang
pekerja meninggal dunia (jenazah tak ditemukan). Dari 126 orang yang
berada di Deepwater Horizon saat ledakan terjadi, 115 orang dievakuasi, 11
orang tewas, dan 17 lainnya sempat dirawat di beberapa rumah sakit di
Mobile, Alabama dan Marrero, Louisiana. Pemadaman diupayakan dan dua
hari kemudian rig ambruk dan tenggelam ke dasar laut. Saat rig tenggelam,
pipa sumur patah di kedalaman 1,5 km dari permukaan laut dan minyak
mentah mengalir keluar. Saat itu diperkirakan minyak tumpah 5.000 barrel/
hari tanpa henti.
Pada 8 September 2010, BP merilis laporan yang menyebut penyebab
ledakan adalah aliran gas yang masuk ke dalam pipa udara generator diesel.
Api langsung melahap area dek pengeboran minyak di mana sistem exhaust
generator utama mengeluarkan gas panas.

3.2 Analisis Penyebab Kasus


Teori yang digunakan adalah Swiss Cheese Model
Swiss Cheese model (Swiss Cheese Theory) adalah model penyebab
kecelakaan yang dikembangkan oleh psikologis Inggris James T. Reason

18
pada tahun 1990 dan dipakai di bidang kedokteran, keamanan penerbangan
dan pelayanan emergency. James T. Reason menggambarkan proses
terjadinya kecelakaan melalui ilustrasi potongan keju Swiss, bahwa lapisan
keju menggambarkan hal yang terlibat dalam suatu sistem keselamatan,
sedangkan lubang yang terdapat pada tiap lapisan tersebut menunjukkan
adanya kelemahan yang berpotensi menimbulkan terjadinya kecelakaan
Pada kasus tersebut mekanisme terjadinya kecelakaan awalnya karena
adanya blow out yang terjadi pada sumur pengeboran, jika diidentifikasi
menggunakan teori swiss cheese model adalah sebagai berikut :
1. Organizational Influences
Kesalahan yang terjadi pada tahap ini adalah pihak perusahaan (BP PIc)
melakukan penghematan anggaran uang yang digunakan dalam pemberian
alat pencegah kebocoran. Pihak kontraktor (Halliburton) telah
merekomendasikan kepada BP untuk memakai 21 buah centralizer (alat
pencegahan minyak di sumur Macondo) namun BP hanya menyetujui 6
buah. Selain itu dalam melakukan pengambilan kilang minyak perlu
dilakukan uji ketahan semen pada pipa pengeboran, namun uji tersebut
tidak dilakukan dengan alasan penghematan biaya dan waktu. Berdasarkan
hal tersebut dapat disimpulkan pihak perusahaan tidak mematuhi SOP.
2. Unsafe Supervision
Kesalahan yang terjadi pada tahap ini adalah kurangnya pengawasan dan
pemeliharaan suku cadang maupun panel yang terkait dengan pengeboran
sehingga aliran gas dapat masuk melalui aliran pipa udara , hal itu bisa
terjadi karena kurangnya pengawasan dalam hal perbaikan dan
pemeliharan alat
3. Precondition for Unsafe Act
Kesalahan pada tahap ini kemungkinan pekerja yang bersangkutan
merasakan panik saat kejadian berlangsung sehingga mereka kebingungan
dalam mengatasi sistem tanggap darurat tersebut.

19
4. Unsafe Act
Pada tahap ini terjadi tindakan tidak aman yang disebabkan oleh pekerja
karena beberapa pekerja memilih meninggalkan ruangan terlebih dahulu
tanpa melakukan penanggulangan dalam kebocoran gas, maka hal tersebut
menyebabkan kebakaran menjadi semakin besar dan melahap semua
wilayah kerja.

3.3 Dampak
Deepwater Horizon menjadi bencana tumpahan minyak mentah terbesar di
dunia. Rig terbakar dan meledak, selain berdampak pada pekerja yang sedang
menjalankan tugas di area tersebut, berdampak pula pada lingkungan
disekitarnya. Berdasarkan citra satelit, tumpahan minyak mentah mencemari
wilayah laut seluas 180.000 km2 atau setara luas negara bagian Oklahoma.
Pada awal Juni 2010, tumpahan minyak ditemukan sepanjang 201 kilometer
di pesisir Louisiana, Florida, Mississippi, dan Alabama. Pada Oktober 2010,
tumpahan minyak mencapai Texas, sehingga pada Juli 2011 sepanjang 790
kilometer pesisir Lousiana, Mississippi, Alabama, dan Florida tercemari
minyak.
1) Manusia
Pada saat rig meledak terdapat 11 orang pekerja tewas dan 17 lainnya
terluka. Selain pada pekerja deepwater horizon, Departemen Kesehatan
dan Rumah Sakit Lousiana mengatakan, 108 pekerja pembersihan minyak
dan 35 warga mengalami masalah kesehatan terkait bencana ini. ampak
bencana ini terhadap anak-anak di Lousiana dan Florida yang tinggal
dalam radius 15 kilometer dari pantai menemukan kondisi kesehatan yang
tak lazim seperti telinga berdarah, mimisan, dan menstruasi lebih awal
pada anak-anak perempuan.
2) Lingkungan
Dampak tumpahan minyak ini terhadap lingkungan di sekitarnya amat luar
biasa. Sebab, kawasan yang tercemar merupakan rumah dari 8.332 spesies
makhluk hidup termasuk 1.270 spesies ikan, 218 spesies burung, 1.456

20
moluska, 1.503 krustasea, empat spesies penyu, dan 29 spesies mamalia
laut.
3) Ekonomi
Bencana ini memberikan dampak amat berat bagi BP dan perekonomian di
kawasan terdampak terutama pada bisnis pengeboran minyak, periikanan,
dan wisata. Sebuah studi yang menyebut kerugian sebesar 8,7 miliar dolar
AS pada 2020 akibat dampak bencana ini terhadap sektor perdagangan,
wisata, dan perikanan di Teluk Meksiko. Sementara itu kerugian yang
dialami BP mencapai 90 miliar dolar AS termasuk untuk membayar
kompensasi.

3.4 Pengendalian yang Dapat Dilakukan


1. Eliminasi
Pada tahap ini eliminasi adalah teknik pengendalian dengan
menghilangkan sumber bahaya karena penyebab ledakan karena adanya
aliran gas yang masuk ke dalam pipa, seharusnya pengendalian dilakukan
yaitu mengecek dan memperbaiki mur-mur antar pipa yang longgar atau
adanya rongga-rongga pipa ditutup, sehingga gas tidak dapat masuk ke
dalam pipa.
2. Subtitusi
Teknik ini merupakan pengendalian dengan mengganti alat, bahan atau
prosedur yang berbahaya dengan yang lebih aman atau lebih rendah
bahayanya. Pada tahap ini perusahaan hanya bisa melakukan mengganti
alat alat yang sudah rusak atau tidak layak dipakai diganti dengan alat
yang baru.
3. Rekayasa Teknik
Pada tahap ini sumber bahaya biasanya berasal dari peralatan atau sarana
teknis yang ada dilingkungan kerja. Pengandalian bahaya dapat dilakukan
melalui perbaikan pada desain, penambahan peralatan dan pemasangan
peralatan pengaman seperti :

21
a. Pemasangan Safety Valve
Safety valve memiliki fungsi yang sangat berbeda dari valve yang lain.
Valve ini dirancang khusus untuk mencegah terjadinya over pressure
pada suatu pressure. Safety valve dirancang untuk membuka pada saat
kondisi darurat atau keadaan abnormal untuk mencegah meningkatnya
tekanan fluida melebihi batas yang ditetapkan.
b. Pemasangan Blow Out Preventer
Blow Out Preventer atau sering disingkat dengan BOP memiliki fungsi
dan kegunaan penting dalam pengeboran.Fungsi utama dar sistem
pencegahan semburan liar (BOP System) adalah untuk menutup lubang
bor ketika terjadi “kick”. Blow out terjadi karena masuknya aliran fluida
formasi yang tak terkendalikan ke permukaan. Blow out biasanya
diawali dengan adanya “kick” yang merupakan suatu intrusi fluida
formasi bertekanan tinggi kedalam lubang bor. Intrusi ini dapat
berkembang menjadi blow out bila tidak segera diatasi.
c. Pemasangan Gas Detector
Gas detector merupakan suatu alat yang digunakan untuk mendeteksi
keberadaan gas. Alat ini dapat digunakan di tempat yang rawan terjadi
kebocoran gas, seperti industri migas. Dalam konteks pencegahan
dampak buruk kebocoran gas, gas detector dapat berfungsi melalui dua
cara. Pertama, gas detector dipasang terhubung dengan control system
sehingga mesin atau alat tertentu langsung berhenti berfungsi secara
otomatis sesaat setelah gas detector mendeteksi terjadinya kebocoran
gas. Kedua, gas detector dapat pula memberikan tanda peringatan
berupa bunyi alarm atau lampu yang menyala pada saat kebocoran gas
terjadi sehingga orang yang berada di area tersebut mendapatkan
peringatan untuk segera menyelamatkan diri.
d. Pemasangan Smoke Detector
Cara kerja smoke detector dipicu oleh asap yang masuk kedalam smoke
detector, partikel asap yang memenuhi ruang smoke chamber saat
kebakaran terjadi. Saat kepadatan asap (smoke density) sudah

22
memenuhi ambang batas (threshold), rangkaian elektronik yang
terdapat di dalam smoke detector akan aktif.
e. Pemasangan Fire Alarm
Fire alarm akan berfungsi atau berbunyi jika terjadi kebakaran.
Tujuannya adalah untuk memberi tahu pekerja bahwa terdapat keadaan
darurat agar pekerja dapat melindungi diri dengan menuju jalur
evakuasi.
f. Heat Detector
Detektor panas adalah peralatan dari detektor kebakaran yang
dilengkapi dengan suatu rangkaian listrik yang secara otomatis akan
mendeteksi kebakaran melaluai panas yang diterimanya.
g. Flame Detector
Api mengeluarkan radiasi sinar inframerah dan ultraviolet, keberadaan
sinar ini dapat dideteksi oleh sensor yang terpasang dalam detector.
h. Alat Pemadam Api Ringan
APAR adalah alat yang ringan serta mudah dilayani oleh satu orang
untuk memadamkan api pada mula terjadi kebakaran.
i. Sprinkler
Alat pemancaran air untuk pemadam kebakaran yang mempunyai
tudung berbentuk detektor pada ujung mulut pancarnya, sehingga air
dapat memancar ke semua arah secara merata.
j. Hydrant
Alat yang dilengkapi dengan selang dan mulut pancar untuk
mengalirkan air bertekanan yang digunakan bagi keperluan pemadaman
kebakaran.
k. Sarana Penyelamatan Jiwa (Means Of Escape)
a. Free-fall lifeboat (sekoci jatuh bebas)
Sekoci jatuh bebas sama dengan sebuah sekoci tertutup namun
proses peluncuran sama sekali berbeda. Sekoci jenis ini aerodinamis
di alam dengan demikian sekoci tersebut dapat menembus air tanpa
merusak badan sekoci saat diluncurkan ke laut.

23
b. Tall Evacuation Chute
Pada saat keadaan darurat chute evacuatin secara otomatis akan tutun
menuju laut. Pekerja secara bertahap satu per satu dievakuasi melalui
jalur ini. Dalam waktu 10 menit dapat mengaevakuasi 146 pekerja.
4. Pengendalian Administratif
a. Training
Training merupakan suatu pelatihan kerja yang diberikan kepada
pekerja dengan tujuan meningkatkan kompetensi di bidang pekerjaan
masing-masing. Semua pekerja yang terlibat dalam pekerjaan migas
harus berkompeten (atau telah dilatih, dalam pengawasan oleh orang
yang berkompeten). Hal ini termasuk dalam pengorganisasian,
perencanaan, pengawasan. Bila tindakan pencegahan tidak bisa
menghilangkan potensi bahaya maka para pekerja harus dilatih dalam
bagaimana menghadapi keadaan darurat, dan bagaimana mencegah
atau mengurangi keparahan saat terjadi keadaan darurat. Perlu
dilakukan suatu simulasi saat terjadi kecocoran dan kebakaran. Kurangnya
kontrol manajemen dengan tidak adanya pelatihan menghadapi
keadaan darurat merupakan pemicu terjadinya kecelakaan yang
lebih parah karena kondisi ini dapat menyebabkan timbulnya
penyebab dasar kurangnya pengetahuan dan keterampilan para
pekerja. Dari penyebab dasar itu akan menimbulkan tindakan atau
kondisi yang menyimpang dari prosedur atau standar.
b. Menerapkan SOP
Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah dokumen yang berkaitan
dengan prosedur yang dilakukan secara kronologis untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan yang bertujuan untuk memperoleh hasil
kerja yang paling efektif dari para pekerja dengan biaya yang serendah-
rendahnya. SOP biasanya terdiri dari manfaat, kapan dibuat atau
direvisi, metode penulisan prosedur, serta dilengkapi oleh bagan
flowchart di bagian akhir (Laksmi, 2008).

24
c. Pemasangan simbol atau tanda bahaya
Simbol keselamatan dan kesehatan kerja adalah merupakan tanda-tanda
yang dipasang di tempat kerja, yang berfungsi untuk mengingatkan
atau mengidentifikasi pada semua pelaksana kegiatan disekeliling
tempat tersebut terhadap kondisi, resiko, yang terkait dengan
keselamatan dan kesehatan kerja
d. Inskpeksi
Inspeksi adalah suatu upaya untuk memeriksa atau mendeteksi semua
faktor (peralatan, proses kerja, material, area kerja, prosedur) yang
berpotensi menimbulkan cedera atau PAK, sehingga kecelakaan kerja
ataupun kerugian dapat dicegah atau diminimalkan. Inspeksi
diperlukan untuk menemukan sumber-sumber bahaya yang
mengakibatkan kerugian dan segera menentukan tindakan perbaikan
yang diperlukan untuk mengendalikan bahaya tersebut.
e. Komunikasi K3
1) Safety Talk
Safety talk termasuk upaya pengendalian resiko yang ada dalam
pengendalian administrasi. Safety talk merupakan pembacaan pesan
pesan singkat K3 yang dilaksanakan pada setiap hari sebelum para
pekerja memulai pekerjaannya. Tujuan diadakan progam ini adalah
agar para pekerja termotivasi dalam bekerja dan lebih berhati hati
dalam melakukan pekerjaannya. Safety talk berisi tentang pesan k3,
prosedur kerja yang aman, anjuran menggunakan APD di tempat
kerja serta himbauan agar pekerja selalu berhati hati dengan keadaan
lingkungan yang berpotensi berbahaya ( Tarwaka, 2015).
2) Safety Induction
Safety induction adalah sebuah pengenalan tentang keselamatan dan
kesehatan kerja yang diberikan kepada pekerja baru, kontraktor baru
ataupun para tamu yang baru pertama kali datang di lokasi
perusahaan tersebut. Tujuan dari safety induction ini adalah untuk
mengkomunikasikan bahaya-bahaya keselamatan dan kesehatan

25
kerja umum yang terdapat selama pekerjaan atau kunjungan mereka
sehingga mereka bisa sadar serta bisa melakukan tindakan
pengendalian terhadap bahaya tersebut.
3) Loto (Log Out dan Tag Out)
Log out adalah suatu metode yang digunakan untuk mengisolasi
sumber sumber energi berbahaya yang diterapkan pada saat tenaga
kerja melakukan perbaikan dan pemeliharaan mesin dan peralatan
kerja sedangkan tag out adalah suatu sistem pemberitauan atau
peringatan yang diberikan kepada orang lain bahwa suatu mesin atau
peralatan yang bersumber dari energi berbahaya sedang diisolasi dan
tidak boleh dioperasikan ( Tarwaka, 2012).
5. Alat Pelindung diri
Pengendalian ini merupakan pilihan terakhir untuk pengendalian bahaya
adalah dengan memakai alat pelindung diri. Jika pada lingkungan kerja
Minyak dan gas alat pelindung diri yang dibutuhkan sebagai berikut
a. Safety helmet, safety helmet dipakai oleh pekerja jika kemungkinan
kejatuhan benda dari atas akibat dari adanya benda yang terbakar.
Safety helmet yang digunakan harus memiliki syarat tahan benturan,
meredam kejutan yang menimpa, anti air dan tidak mudah terbakar.
b. Safety shoes, fungsi dari penggunaan safety shoes untuk melidungi kaki
dari tertimpa benda-benda berat, terbakar, terkena bahan kimia,
tergelincir, tertusuk.
c. Wear pack, pakaian ini berfungsi untuk melindungi tubuh agar tidak
terkena panas atau api akibat dari kebakaran yang terjadi.
d. Safety glove
e. Safety goggles
f. Safety body harness
g. Gas respirators

26
BAB 4
KESIMPULAN

Industri migas merupakan salah satu industri dengan tingkat risiko


kecelakaan yang sangat tinggi. Pada kasus Deepwater Horizon, faktor penyebab
kecelakaan kerja tersebut adalah ketidakpatuhan organisasi terhadap SOP,
kurangnya perawatan dan pemeliharaan suku cadang, pekerja tidak menguasai
sistem tanggap darurat dan lalai dalam penganggulangan kebocoran gas.
Hirarki pengendalian bahaya yang meliputi eliminasi, substitusi, rekayasa
teknik, pengendalian administratif dan alat perlindungan diri menjadi dasar yang
harus dilakukan. Pada industri migas potensi bahaya banyak berasal dari
peralatan, rekayasa genetik sangat perlu dilakukan. Selain itu, pengendalian
administratif berguna untuk mengkapasitasi pekerja agar dapat peka dan perduli
kepada dirinya, rekan kerja, organisasi maupun lingkungan terkait bahaya dan
pengendalian kecelakaan pada tempat kerja, terutama di migas.

27
DAFTAR PUSTAKA

BPJS Ketenagakerjaan. 2016. Jumlah Kecelakaan Kerja di Indonesia Masih


Tinggi. https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/5769/Jumlah-kecelakaan-
kerja-di-Indonesiamasih-tinggi.html. Diakses pada tanggal 8 November (20.26
WIB)
Kani, dkk. 2013. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Pelaksanaan Proyek
Konstruksi (Studi Kasus: Proyek PT Trakindo Utama). Jurnal Sipil
Statik. Vol. 1 No. 6 (430-433)
Kurniawidjaja. 2010. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. Jakarta: UI-Press
Laksmi, F. dan Budiantoro. 2008. Manajemen Perkantoran Modern. Jakarta:
Penerbit Pernaka
Ramli, Soehatman. 2010. Pedoman Praktis Manajemen Risiko dalam Prespektif
K3 OHS Risk Management. Jakarta: Dian Rakyat
Ridley, John. 2008. Ikhtisar Kesehatan & Keselamatan Kerja Edisi Ketiga.
Jakarta : Erlangga
Suardi. 2005. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta:
Penerbit PPM
Suma’mur, P. K. 1987. Keselamatan dan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan
Cetakan Pertama. Jakarta: CV Haji Mas Uhung
Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Jakarta CV
Sagung Seto
Suma’mur. 2013. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: CV Sagung
Seto
Syukri, Sahab. 1997. Teknik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Jakarta: Bina Sumber Daya Manusia
Tarwaka. 2012. Dasar-dasar Keselamatan Kerja serta Pencegahan Kecelakaan di
Tempat Kerja. Surakarta: Harapan Press Solo, pp : 20-44
Tarwaka. 2014. Dasar-dasar Pengetahuan Ergonomi dan Aplikasi di Tempat
Kerja. Surakarta: Harapan Press
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Zalaya, Yusuf. 2012. Implementasi Bekerja di Ketinggian di PT. BBS Indonesia
(WTC 2 Project) Tahun 2012. Universitas Indonesia. Thesis

28

Anda mungkin juga menyukai