Anda di halaman 1dari 37

PRESENTASI KASUS KECIL ASOKA

CHF & Dispepsia

Pembimbing :

dr. Maschun, Sp. Pd

Disusun oleh :

Thomas Nata Nugraha G4A018016

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS KECIL


CHF & Dispepsia

Disusun oleh :
Thomas Nata Nugraha G4A018016

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik


di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo
Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal Agustus 2019

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Maschun, Sp. Pd


I. PENDAHULUAN

Chronic heart failure (CHF) merupakan ketidakmampuan jantung


memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh yang ditandai dengan sesak nafas
saat beraktifitas atau saat tidur terlentang tanpa bantal. Faktor resiko CHF yang
dapat dimodifikasi seperti kebiasaan pribadi dan faktor resiko yang non
modifiable seperti ras, dan jenis kelamin. Gagal jantung adalah keadaan jantung
sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolism
jaringan. Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskuler masih
menduduki peringkat yang tinggi, menurut data WHOdilaporkan bahwa sekitar
3000 penduduk Amerika menderita CHF Sedangkan pada tahun 2005 di jawa
tengah terdapat 520 penderita CHF (Abdullah,2005).
Resiko berkembangnya gagal jantung di Amerika Serikat 20% terjadi pada
usia lebih dari 40 tahun. Insiden gagal jantung tetap stabil selama beberapa decade
terakhir, dengan >650.000 kasus baru didiagnosis setiap tahunnya. Insiden gagal
jantung meningkat dengan bertambahnya usia, diperkirakan 5,1 juta orang di
Amerika Serikat memiliki klinis gagal jantung, dan prevalensinya semakin
meningkat (AHA, 2013). Prevalensi gagal jantung berdasarkan hasil terdiagnosis
dokter diIndonesia sebesar 0,13 %, dan yang terdiagnosis dokter sudah terdapat
gejala sebesar 0,3% persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis
dokter tertinggi DI Yogyakarta (0,25%), disusul Jawa Timur (0,19%), dan Jawa
Tengah (0,18%). Penyakit jantung dan pembuluh darah berperan atas total kasus
kematian di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 sebesar 66,51% (806.208
kasus) dari total 1.212.167 kasus kematian yang ada (Rikesdas, 2013).
Penderita gagal jantung atau CHF di Indonesia pada tahun 2012 menurut
data dari Departemen Kesehatan mencapai 14.449 jiwa penderita yang menjalani
rawat inap di rumah sakit. Pada tahun 2012 di Jawa Tengah terdapat 520 penderita
CHF dan menjalani rawat inap Selain itu, penyakit yang paling sering
memerlukan perawatan ulang di rumah sakit adalah gagal jantung ( readmission ),
walaupun pengobatan dengan rawat jalan telah diberikan secara optimal. Hal
serupa juga dibenarkan oleh Rubeinstein ( 2007 ) bahwa sekitar 44 % pasien
Medicare yang dirawat dengan diagnosis CHF akan dirawat kembali pada 6 bulan
kemudian. Pada umumnya CHF diderita lansia yang berusia lebih dari 50 tahun,
CHF merupakan alasan yang paling umum bagi lansia untuk dirawat di rumah
sakit ( usia 65 – 75 tahun mencapai persentase sekitar 75 2 % pasien yang dirawat
dengan CHF ). Resiko kematian yang diakibatkan oleh CHF adalah sekitar 5-10
% per tahun pada kasus gagal jantung ringan, dan meningkat menjadi 30-40%
pada gagal jantung berat. Menurut penelitian, sebagian besar lansia yang
didiagnosis menderita CHF tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun ( Kowalak, 2011).
Pada umumnya CHF diderita lansia yang berusia 50 tahun, insiden ini akan
terus bertambah setiap tahun pada lansia berusia di atas 50 tahun. Sebagian besar
lansia yang di diagnosis CHF tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun
(Angraini,2009). Pada penderita gagal jantung kongestif akan terjadi gangguan
yaitu menurunnya kontraktilitas miokard, karena suplai oksigen berkurang yang
berakibat pada perubahan status hemodinamik. Jantung yang mengalami
ketidakmampuan untuk memompa darah secara adekuat dalam memenuhi
kebutuhan oksigen dan nutrisi bagi jaringan tubuh maka akan menimbulkan
sensasi yang subyektif berupa nafas pendek, berat, dan rasa tidak nyaman (Guyton
& Hall, 2007). Akibat dari ketidakmampuan jantung dalam memompa darah
secara adekuat ke seluruh tubuh akan menyebabkan penurunan kapasitas
fungsional pada pasien CHF. Aktivitas sehari-hari dari pasien akan terganggu
dengan memburuknya gejala. Pasien-pasien CHF sering kembali ke rumah sakit
akibat adanya kekambuhan. Sebagian besar kekambuhan diakibatkan karena
pasien tidak memenuhi terapi yang dianjurkan, misalnya tidak mampu
melaksanakan terapi pengobatan dengan tepat, melanggar pembatasan diet, tidak
mematuhi tindak lanjut medis, melakukan aktivitas fisik yang berlebihan, dan
tidak dapat mengenali gejala kekambuhan dari CHF (Smelzer & Bare, 2001).
Dispepsia merupakan suatu istilah yang digunakan untuk suatu
kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman
pada area ulu hati, rasa kembung, mual dan cepat kenyang yang dapat
disebabkan oleh berbagai faktor penyebab. Dispepsia merupakan salah satu
hal yang paling sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan umum
terjadi pada masyarakat. Berdasarkan penelitian pada populasi umum
didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam
beberapa hari.
Penyebab sindrom dispepsia dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik, gastritis dan batu kandung
empedu) dan kelompok gangguan fungsional (tidak ada gangguan patologis
struktural atau biokimiawi).
Sindrom dispepsia dapat disebabkan oleh banyak hal. Menurut
Djojoningrat (2009), penyebab timbulnya dispepsia diantaranya karena faktor
diet dan lingkungan, sekresi cairan asam lambung, fungsi motorik lambung,
persepsi viseral lambung, psikologi, dan infeksi Helicobacter pylori.

STATUS PENDERITA

A. Identitas Penderita
Nama : Tn. S
Usia : 62 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kauman Adipala 02/09
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal masuk RSMS : 6 Agustus2019
Tanggal periksa : 11 Agustus 2019

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan di bangsal Asoka
1. Keluhan utama
Sesak Nafas
2. Keluhan tambahan
Batuk, Nyeri ulu hatii, begah, mudah kenyang
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 3 HSMRS. Sesak nafas dirasa
terus menerus dan memberat setiap pasien melakukan aktivitas. Pasien
mengaku sesak nafas dirasa semakin memberat sejak pertama kali dirasa,
yaitu sekitar 1 tahun yang lalu. Sesak nafas juga memberat pada saat tidur,
dan membaik dengan posisi duduk. Pasien juga mengeluhkan batuk pada
malam hari. Pasien juga merasa perut dan kaki bengkak sejak 3 bulan yang
lalu. Keluhan nyeri ulu hati, begah dan mudah kenyang juga dirasakan oleh
pasien.
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat darah tinggi : disangkal
c. Riwayat penyakit gula : diakui
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat sakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit jantung : diakui thn 2018
g. Riwayat sakit kuning/liver : disangkal
h. Riwayat sakit tenggorokan : disangkal
i. Riwayat konsumsi obat-obatan : disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat penyakit yang sama : diakui
b. Riwayat darah tinggi : diakui
c. Riwayat penyakit gula : diakui
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat sosial dan exposure
Pasien seorang petugas kesehatan di bagian Paru di suatu RS di cilacap,
hidup bersama 1 orang istri dan 5 orang anak. Pasien mengaku makan
tidak selalu tepat waktu. Riwayat hobi minum kopi (-) Riwayat merokok
(-) riwayat alkohol (-)
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan di bangsal ASOKA
Keadaan umum : Baik
1. Kesadaran : Compos mentis
2. Vital sign
a. Tekanan darah : 100/80 mmHg
b. Nadi : 80 ×/menit reguler, isi cukup
c. Pernapasan : 20 ×/menit, reguler
d. Suhu : 36,°C
3. Tinggi badan : 160
4. Berat badan : 62
5. Status gizi (IMT) : 24.2
6. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut sudah beruban, tidak rontok dan terdistribusi merata.
3) Mata
Simetris, edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-)
4) Telinga
Discharge (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir kering (-), bibir pucat (-), bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+2 cm
c. Pemeriksaan thorax
Paru
Inspeksi : dinding dada tampak simetris dan tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithorax kanan dan kiri.
Kelainan bentuk dada (-), retraksi intercostalis (-).
Palpasi : Apex vokal fremitus sinistra = dextra
Basal vokal fremitus sinistra = dextra
Perkusi : Perkusi orientasi selurus lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Apex suara dasar vesikuler +/+
Basal suara dasar vesikuler +/+
RBK -/-, RBH -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V 3 jari lateral LMCS
p.parasternal (-) p.epigastrium (-).
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V 3 jari lateral LMCS, kuat
angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V 3 jari lateral LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, Gallop (-)Murmur (-)

d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : cembung , distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
Palpasi : supel, nyeri tekan(+) regio epigastric
Hepar : tidak ada pembesaran
Lien : schuffner +0
e. Pemeriksaan ekstremitas
Tabel 2.1 Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstremitas Ekstremitas
Pemeriksaan
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) - - + +
Sianosis - - - -
Kuku kuning (ikterik) - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis
Bicep/tricep + + + +
Patela + + + +
Reflek patologis
Reflek babinsky - - - -
Sensoris D=S D=S D=S D=S

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 2.2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan /8/19 Nilai normal
Hemoglobin 14.9 11,2 – 17,3 g/dL
Leukosit 9330 2800 – 10600
U/L
Hematokrit 45 40 – 52 %
Eritrosit 5.5 4,4 – 5,9 juta/uL
Trombosit 175000 150000 –
440000/uL
Ureum 41.45 H 14,98 – 38,52
mg/dL
Kreatinin 1.68 H 0,7 – 1,3 mg/dL
MCV 82.8 80-100
MCH 27.2 26-34
MCHC 32.9 32-36
Na 141 134-146
K 4.6 H
Cl 107 96-108

E. Diagnosis Kerja
1. CHF
2. Dispepsia

F. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
a. IVFD NaCl 0.9% 10 tpm
b. Inj Furosemid 2-2-1
c. PO Domperidon 3x1
d. Inj. Omeprazole 1x40 mg
e. Inj. MP 3x20 mg
f. Nebule combiven+Fluimucyl/8jam
g. Sucralfat syr 3x1C
h. Tabas 3x1C
i. Kandesartan 1x80 mg
2. Non Farmakologi
a. Diet Rendah Lemak, rendah garam
b. Edukasi penyakit kepada pasien meliputi terapi, komplikasi penyakit,
prognosis penyakit dan cara pencegahan perburukan penyakit.
c. Edukasi untuk makan teratur, menghindari makanan asam, alkohol, kopi,
ataupun makanan pedas.

G. Prognosis
Ad fungsional : dubia ad bonam
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. CHRONIC HEART FAILURE


1. Definisi
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak
lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini
dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi
jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan
irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini
dapat menyebabkan kematian pada pasien. Gagal jantung dapat dibagi
menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal jantung juga
dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis
dekompensasi, serta gagal jantung kronis (Maggiono, 2007). Menurut
Antman (2008) gagal jantung adalah sindrom klinis yang kompleks yang
timbul disebabkan kelainan sekunder dari abnormalitas struktur jantung
dan atau fungsi (yang diwariskan atau didapat) yang merusak kemampuan
ventrikel kiri untuk mengisi atau mengeluarkan darah.
Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis
berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau
kemampuannya hanya ada jika disertai dengan peninggian volume
diastolik secara abnormal. Gagal jantung kongestif biasanya disertai
dengan kegagalan pada jantung kiri dan jantung kanan (Sudoyo, 2009).
2. Etiologi
Ada beberapa penyebab fungsi jantung dapat terganggu, yang
paling sering adalah kerusakan atau berkurangnya kontraktilitas otot
jantung, iskemik akut atau kronik, meningkatnya resistensi vaskuler
dengan hipertensi, atau adanya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF)
(Sudoyo, 2009). Faktor predisposisi gagal jantung adalah penyakit yang
menimbukan penurunan fungsi ventrikel seperti :
a. Coronary artery disease
b. Hipertensi
c. Penyakit katub jantung
d. Penyakit pada otot jantung (kardiomiopati)
e. Congenital heart disease
f. Penyakit paru kronik
g. Infark miokard akut
h. Aritmia akut
i. Tirotoksikosis
j. Kehamilan

Penyakit jantung koroner adalah penyakit yang paling sering


menyebabkan penyakit miokard, dan 70% akan berkembang menjadi
gagal jantung. Masing-masing 10% dari penyakit jantung katup dan
kardiomiopati akan menjadi gagal jantung juga. Penyebab dari gagal
jantung dapat diklasifikasikan berdasarkan gagal jantung kiri atau gagal
jantung kanan dan gagal low output atau high output (Sudoyo, 2009).
Tabel 1. Penyebab gagal jantung

Jantung kiri primer  Penyakit jantung iskemik


 Penyakit jantung hipertensi
 Penyakit katup aorta
 Penyakit katup mitral
 Miokarditis
 Kardiomiopati
 Amyloidosis jantung
Jantung kanan  Gagal jantung kiri
primer  Penyakit pulmonari kronik
 Stenosis katup pulmonal
 Penyakit katup trikuspid
 Penyakit jantung kongenital (VSD,PDA)
 Hipertensi pulmonal
 Embolisme paru massif
Gagal output rendah  Kelainan miokardium
 Penyakit jantung iskemik
 Kardiomiopati
 Amyloidosis
 Aritmia
 Peningkatan tekanan pengisian
 Hipertensi sistemik
 Stenosis katup

Gagal output tinggi  Inkompetensi katup
 Anemia
 Malformasi arteriovenous
 Overload volume plasma
Sumber: Concise Pathology 3rd Edition
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh (Sudoyo, 2009):
a. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang
mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis
koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
b. Aterosklerosis coroner
Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium
karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan
asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium
(kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan
gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut
jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
c. Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung (peningkatan afterload),
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi
miokard) dianggap sebagai kompensasi karena meningkatkan
kontraktilitas jantung, karena alasan yg tidak jelas hipertrofi otot
jantung dapat berfungsi secara normal, akhirnya terjadi gagal jantung.
d. Peradangan dan penyakit miokardium degenerative
Peradangan dan penyakit miokardium degenerative berhubungan
dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak
serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
e. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme
yang biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk
jantung (stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk
mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau
stenosis AV), peningkatan mendadak after load.
f. Faktor iskemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam
perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju
metabolisme (misal: demam, tirotoksikosis), hipoksia dan anemia
memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan
oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai
oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan
abnormalitas elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung.
3. Klasifikasi
Gagal jantung secara umum juga dapat diklasifikasikan menjadi gagal
jantung akut dan gagal jantung kronik (Sudoyo, 2009):
a. Gagal jantung akut, didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala
atau tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi
dengan atau tanpa adanya penyakit jantung sebelumnya. Disfungsi
jantung dapat berupa disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik.
Irama jantung yang abnormal, atau ketidakseimbangan preload dan
afterload dan memerlukan pengobatan segera. Gagal jantung akut
dapat berupa serangan baru tanpa ada kelainan jantung sebelumnya
atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronis.
b. Gagal jantung kronik, didefinisikan sebagai sindrom klinik yang
kompleks yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak nafas,
lelah, baik dalam keadaan istirahat atau aktivitas, edema serta tanda
objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.
Chronic Heart Failure merupakan sindrom klinis yang kompleks
yang biasanya disebabkan adanya abnormalitas struktur atau disfungsi
sitem kardiologi yang mengurangi kemampuan ventrikel kiri untuk
mengisi atau memompa, terutama saat melakukan aktivitas. New York
Heart Association membuat sistem klasifikasi fungsional berdasarkan
tingkat keterbatasan penderita gagal jantung (The Criteria Committee of
the New York Heart Association, 2011):
Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan

New York Heart Association

Kapasitas fungsional Penilaian objektif


Kelas I.
Pasien dengan penyakit jantung,
tetapi tidak menunjukkan
keterbatasan dalam beraktivitas.
Tidak ada bukti objektif dari
Aktivitas sehari-hari tidak
penyakit kardiovaskuler.
menyebabkan kelelahan yang
prematur, palpitasi, dispneu, atau
nyeri angina.
Kelas II.
Pasien dengan penyakit jantung
dengan keterbatasan ringan saat
melakukan aktivitas fisik. Keluhan
Bukti objektif dari penyakit
akan mereda saat beristirahat.
kardiovaskuler yang minimal
Aktivitas sehari-hari menyebabkan
kelelahan, palpitasi, dispneu, atau
nyeri angina.
Kelas III.
Pasien dengan penyakit jantung yang
menyebabkan keterbatasan dalam
aktivitas fisik. Keluhan akan mereda
Bukti objektif dari penyakit
saat beristirahat. Aktivitas yang lebih
kardiovaskuler yang cukup parah.
ringan dari kegiatan sehari-hari
menyebabkan kelelahan prematur,
palpitasi, dispneu, atau nyeri angina.
Kelas IV.
Pasien dengan penyakit jantung yang
menyebabkan ketidakmampuan
melakukan aktivitas fisik tanpa
menimbulkan gejala. Gejala gagal Bukti objektif dari penyakit jantung
jantung atau sindrom angina dapat yang parah.
muncul bahkan saat istirahat. Jika
pasien melakukan aktivitas fisik,
maka gejala akan semakin parah.

American College of Cardiology dan American Heart Association


(ACCF/AHA) mengklasifikasi tahapan gagal jantung berdasarkan
perkembangan dan progresifitas. Klasifikasi ini bisa digunakan baik
untuk individual, maupun populasi. Tahapan gagal jantung ACCF/AHA
bersifat progresif dan inviolate. Sekali pasien pindah ke tahapan lebih
tinggi, tidak mungkin lagi terjadi kemunduran ke tahap sebelumnya.
Progresifitas pada setiap tahapan gagal jantung mengurangi 5 tahun
angka bertahan hidup dan meningkatkan konsentrasi natriuretik peptid
plasma (ACCF/AHA, 2013).
ACCF/AHA membuat klasifikasi tahapan gagal jantung bertujuan
agar kita dapat melakukan intervensi terapetik yang tepat, yaitu
mengubah faktor resiko (stage A), mengobati penyakit jantung struktural
(Stage B), dan mengurangi angka kesakitan dan angka kematian (Stage C
& D). Berikut adalah tahapan gagal jantung ACCF/AHA (ACCF/AHA,
2013):
Tabel 3. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan Amreican College of
Cardiology Foundation/American Heart Association.
Stage Kriteria
A Beresiko tinggi terkena gagal jantung tapi tanpa penyakit jantung
struktural atau gejala gagal jantung.
B Ada penyakit jantung secara struktural tapi tanpa diikuti tanda atau
gejala gagal jantung.
C Ada penyakit jantung secara struktural dengan gejala gagal jantung dulu
atau saat ini.
D Gagal jantung yang sulit disembuhkan butuh intervensi spesial.

4. Patofisiologi
Gagal jantung dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu (Sylvia,
2005):
a. Gangguan kontraktilitas ventrikel
b. Meningkatnya afterload, atau
c. Gangguan pengisian ventrikel.
Gagal jantung yang dihasilkan dari abnormalitas pengosongan
ventrikel (karena gangguan kontraktilitas atau kelebihan afterload)
disebut disfungsi sistolik, sedangkan gagal jantung yang dikarenakan
oleh abnormalitas relaksasi diastol atau pengisian ventrikel disebut
disfungsi diastolik (Sylvia, 2005).
Pada dasarnya terdapat perbedaan antara gagal jantung sistolik dengan
gagal jantung diastolik. Gagal jantung sistolik disebabkan oleh
meningkatnya volume, gangguan pada miokard, serta meningkatnya
tekanan. Sehingga pada gagal jantung sistolik, stroke volume dan cardiac
output tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh secara adekuat.
Sementara itu gagal jantung diastolik dikarenakan meningkatnya kekakuan
pada dinding ventrikel (Sylvia, 2005).
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau
menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang
meningkatkan beban awal meliputi: regurgitasi aorta dan cacat septum
ventrikel, beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis
aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun
pada infark miokardium dan kardiomiopati (Sylvia, 2005).
Gagal jantung merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan
penyakit jantung. Pada disfungsi sistolik, kapasitas ventrikel untuk
memompa darah terganggu karena gangguan kontraktilitas otot jantung
yang dapat disebabkan oleh rusaknya miosit, abnormalitas fungsi miosit
atau fibrosis, serta akibat pressure overload yang menyebabkan resistensi
atau tahanan aliran sehingga stroke volume menjadi berkurang. Sementara
itu disfungsi diastolik terjadi akibat gangguan relaksasi miokard, dengan
kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri
menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering disfungsi diastolik adalah penyakit jantung koroner, hipertensi
dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofi (Shah, 2007).
Gambar 2. Mekanisme kompensasi dari gagal jantung (Shah, 2007)
Beberapa mekanisme kompensasi alami akan terjadi pada pasien
gagal jantung sebagai respon terhadap menurunnya curah jantung serta
untuk membantu mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk
memastikan perfusi organ yang cukup. Mekanisme tersebut mencakup
mekanisme Frank Starling, perubahan neurohormonal dan remodelling
serta hipertrofi ventrikel (Shah, 2007).

Gambar 3. Mekanisme adaptif dari gagal jantung (Shah, 2007)


Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan
jantung memompa darah pada tingkat yang relatif normal, tetapi hanya
untuk sementara. Perubahan patologik lebih lanjut, seperti apoptosis,
perubahan sitoskeletal, sintesis, dan remodelling matrix ekstraselular
(terutama kolagen) juga dapat timbul dan menyebabkan gangguan
fungsional dan struktural yang semakin mengganggu fungsi ventrikel kiri
(Shah, 2007)
Gambar 1. Patogenesis gagal jantung (Shah, 2007)
Penyebab yang
mendasari

Kelainan katup (paling Cor pulmonale Hipertensi


Kardiomiopati
sering: stenosis aorta, kronik sistemik
regurgitasi mitral)

Cardiac Output turun

Mekanisme
kompensasi tubuh

Respon
neurohormonal

Sistem saraf simpatis

Sistem Renin- Katekolamin


Angiostensin- Vasopressin (ADH) meningkat
Aldosteron
 Rasa haus
 Vasokonstriksi
meningkat
 Retensi air dan Heart rate meningkat
 Retensi air dan
natrium
natrium

Preload meningkat Orthopnea

Mekanisme Frank-
Starling

Cardiac output
meningkat

Efek jangka panjang


dari kompensasi
tubuh

Sistem Renin- Sistem saraf Mekanisme


Angiostensin- simpatis Frank-Starling
Aldosteron

Meningkatkan
Hipertrofi
Disfungsi endotel penggunaan
ventrikel kiri
energi
Ekstravasasi Kebutuhan energi otot
cairan ke ruang Mudah lelah jantung meningkat dan
pengisian ventrikel kiri
intersisial
terganggu

 Edema perifer
 Asites Edema paru
 Edema paru

Compliance
paru menurun

Dyspneu d’effort Saat tidur


(dominasi efek
parasimpatis)

Depresi pusat
pernapasan

Paroxysmal
Nocturnal
Dyspnea
Penyebab eksaserbasi akut gejala:
 Demam rematik dan bentuk
miokarditis lainnya
 Infeksi atau sepsis
 Infark miokard akut
 Beban fisik, lingkungan, dan
emosional
 Tirotoksikosis dan kehamilan
 Emboli paru
 Aritmia
 Anemia

Gagal jantung akut

Gambar 4. Patofisiologi gagal jantung (Longo, et.al, 2012).


5. Penegakkan diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan gejala, penilaian
klinis, serta pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan EKG, foto
toraks, laboratorium, dan ekokardiografi Doppler (Manurung, 2006).
Tabel 4. Kriteria Framingham
Kriteria Mayor
 Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
 Distensi venaleher
 Ronki paru
 Kardiomegali
 Edema paru akut
 Gallop S3
 Peninggian tekanan vena jugularis lebih dari 16 cm H2)
 Waktu sirkulasi ≥ 25 detik
 Refluks hepatojugular
 Edema pulmonal, kongesti viseral, atau kardiomegali saat
autopsi
Kriteria Minor
 Edema ekstremitas
 Batuk malam hari
 Dyspnea d’effort
 Hepatomegali
 Efusi pleura
 Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
 Takikardia (>120/menit)
Kriteria Mayor atau Minor
 Penurunan BB ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
Sumber: (Sudoyo A. W., 2009)
Berdasarkan gejala dan penemuan klinis, diagnosis gagal jantung
dapat ditegakkan bila pada pasien didapatkan paling sedikit 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor dari Kriteria Framingham (Panggabean, 2006).
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi mengenai denyut,
irama, dan konduksi jantung, serta seringkali etiologi, misalnya perubahan
ST segmen iskemik untuk kemungkinan STEMI atau non-STEMI (Kalim
et. al, 2008).
Pemeriksaan foto toraks harus dikerjakan secepatnya untuk menilai
derajat kongesti paru dan untuk menilai kondisi paru dan jantung yang
lain. Kardiomegali merupakan temuan penting. Pada paru, adanya dilatasi
relatif vena lobus atas, edema vaskuler, edema interstitial, dan cairan
alveolar membuktikan adanya hipertensi vena pulmonal (Kalim et. al,
2008).
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan (Massie, 2005):
a. Anemia
b. Prerenal azotemia
c. Hipokalemia dan hiperkalemia, yang dapat meningkatkan risiko
aritmia
d. Hiponatremia, akibat penekanan sistem RAA (renin-angiotensin-
aldosteron)
e. Peningkatan kadar tiroid, pada tirotoksikosis atau miksedema
f. Peningkatan produksi Brain Natriuretic Peptide (BNP), akibat
peningkatan tekanan intraventrikular, seperti pada gagal jantung
Selain itu, kadar kreatinin, glukosa, albumin, enzim hati, dan INR
dalam darah juga perlu dievaluasi. Sedikit peningkatan troponin jantung
dapat terjadi pada pasien GJA tanpa SKA (Kalim et. al, 2008). Analisis
gas darah memungkinkan penilaian oksigen (pO2), fungsi respirasi (pCO2)
dan keseimbangan asam basa (pH), terutama pada semua pasien dengan
stres pernapasan (Kalim et. al, 2008). Ekokardiografi dengan Doppler
merupakan alat yang penting untuk evaluasi perubahan fungsional dan
struktural yang dihubungkan dengan GJA. Temuan dapat menentukan
strategi pengobatan (Kalim et. al, 2008).
6. Penatalaksanaan
a. Terapi non farmakologi
Menurut Crawford (2003), hal-hal yang dapat dilakukan untuk
penatalaksanaan penyakit gagal jantung secara non-medikamentosa
adalah sebagai berikut:
1) Mendeteksi hipertensi sejak dini
2) Pengaturan abnormalitas metabolism apabila pasien juga menderita
diabetes
3) Tidak merokok
4) Mengurangi konsumsi garam, lemak, dan makanan-makanan
berkalori tinggi
5) Menghindari stress.
b. Terapi farmakologi
Obat-obatan yang dapat diberikan untuk penatalaksanaan gagal
jantung adalah (Crawford, 2003):
1) Diuretik
Diuretik bekerja dengan merangsang ekskresi natrium dan air,
menurunkan volume plasma, sehingga akan mengurangi edema
pada paru. Diuretik terbagi menjadi golongan:
a) Thiazid; contohnya HCT.
b) Diuretik kuat (loop diuretic); contohnya furosemide,
torsemide.
c) Diuretik hemat kalium; contohnya spironolakton.
2) Agen inotropic
Contoh dari agen inotropik adalah digoksin. Obat golongan ini
bekerja dengan prinsip meningkatkan efisiensi pompa jantung;
menurunkan frekuensi pompa jantung dan meningkatkan
kontraktilitas miokardium.
3) Obat-obat vasoaktif
a) Vasodilator; contohnya hidralazin.
b) ACEI; contohnya captopril, lisinopril, dan enalapril.
c) ARB; contohnya candesartan, losartan, dan valsartan.
4) Beta-blocker
Obat-obatan beta-blocker bekerja dengan meningkatkan saraf
simpatis. Contoh obat golongan ini adalah propranolol, atenolol,
metoprolol.
5) Obat antiaritmia
Contohnya amiodarone.

Tabel 6. Terapi Obat menurut status fungsional pasien (NYHA)

Status fungsional pasien Kelas Terapi Obat


(NYHA)
Asimptomatik I ACE Inhibitor jika dikontraindikasikan
atau toleransi rendah diinginkan AII
antagonist, digoksi atau hidralizin +
isosorbit dinitrat
II Ditambah dengan diuretic (umumnya loop
diuretic), jika cocok diberikan Carvedilol
atau Bisoprolol
Simptomatik III/IV Jika cocok. Diberikan Plan
 Carvedilol atau Bisoprolol
 Spironolakton
 Digoxin
 Metolazone
 Hidralazine + Isosorbit dinitrat
Gambar 7. Terapi Gagal Jantung menurut NYHA

7. Komplikasi
Komplikasi kardiovaskuler umumnya jarang terjadi, namun ini
merupakan jenis komplikasi yang sangat serius. Komplikasi yang paling
serius adalah kematian tiba-tiba (sudden death). Kematian tiba-tiba selama
latihan biasanya berhubungan dengan penyakit jantung struktural dan
mekanisme yang paling umum adalah fibrilasi ventrikel. Kebanyakan
kematian karena latihan pada pasien jantung terjadi pada saat aktivitas
yang melebihi latihan normal karena kurangnya perhatian akan gejala-
gejala yang ditimbulkan oleh latihan (Sudoyo, 2009). Penyakit ginjal
sendiri dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi, tetapi komplikasi
yang berhubungan langsung dengan keadaan gagal ginjal adalah gagal
jantung dan uremia (Suwitra K., 2006)
8. Prognosis
Prognosis gagal jantung tergantung dari derajat disfungsi
miokardium. Menurut New York Heart Assosiation, gagal jantung kelas I-
III didapatkan mortalitas 1 dan 5 tahun masing-masing 25% dab 52%.
Sedangkan kelas IV mortalitas 1 tahun adalah sekitar 40%-50% (Selwyn,
2007).
Tabel 8. Mortalitas gagal jantung berdasarkan
New York Heart Association Classification
1-YEAR
CLASS SYMPTOMS
MORTALITY*
I None, asymptomatic left ventricular 5 %
dysfunction
II Dyspnoea or fatigue on moderate physical 10 %
exertion
III Dyspneoea or fatigue on normal daily 10 % - 20 %
activities
IV Dyspnoea or fatigue at rest 40 % - 50 %.

B. Definisi
Kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu yaitu dys (buruk)
dan peptein (pencernaan) yang berarti “pencernaan yang jelek”. Menurut
Konsensus Roma tahun 2000, dispepsia didefinisikan sebagai rasa sakit
atau ketidaknyamanan yang berpusat pada perut bagian atas.
Definisi dispepsia yang sampai saat ini disepakati oleh para pakar
dibidang gastroenterologi adalah kumpulan keluhan/gejala klinis
(sindrom) rasa tidak nyaman atau nyeri yang dirasakan di daerah
abdomen bagian atas yang disertai dengan keluhan lain yaitu nyeri
epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan,
cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan
sendawa (Miwa, 2012). Sindroma dispepsia ini biasanya hilang timbul
atau terus-menerus, keluhan tersebut di atas harus berlangsung setidaknya
selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum
diagnosis ditegakkan (Djojoningrat, 2009).

C. Etiologi
Penyebab dispepsia dapat diklasifikasikan menjadi dispepsia
organik dan dispepsia fungsional. Penyebab dispepsia organik antara lain
esofagitis, ulkus peptikum, striktura esophagus jinak, keganasan saluran
cerna bagian atas, iskemia usus kronik, dan penyakit pankreatobilier.
Sedangkan dispepsia fungsional mengeksklusi semua penyebab organik
seperti hipersensitivitas visceral, gangguan motilitas, perubahan sekresi
asam, infeksi kuman Helicobacter pylori, stress, gangguan dan kelainan
psikologis, dan predisposisi genetic (Simadibrata et al., 2014).

D. Epidemiologi
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari
pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi.
Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda
bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara
Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan
Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional
(Simadibrata et al., 2014).
Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam beberapa
senter di Indonesia pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7 % kasus
kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan
normal pada 8,2% kasus (Simadibrata et al., 2014).
Di Indonesia, data prevalensi infeksi Hp pada pasien ulkus peptikum (tanpa
riwayat pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OAINS) bervariasi dari 90-
100% dan untuk pasien dispepsia fungsional sebanyak 20- 40% dengan berbagai metode
diagnostik (pemeriksaan serologi, kultur, dan histopatologi) (Simadibrata et al.,
2014).
Prevalensi infeksi Hp pada pasien dispepsia yang menjalani
pemeriksaan endoskopik di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di
Indonesia (2003-2004) ditemukan sebesar 10.2%. Prevalensi yang cukup
tinggi ditemui di Makasar tahun 2011 (55%), Solo tahun 2008 (51,8%),
Yogyakarta (30.6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta prevalensi
terendah di Jakarta (8%) (Simadibrata et al., 2014).

E. Patomekanisme
Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi
karena bermacam-macam penyebab dan mekanismenya. Penyebab dan
mekanismenya dapat terjadi sendiri atau kombinasinya. Patofisiologinya
yang dapat dibahas disini adalah (Lee et al, 2004):
1. Sekresi asam lambung dan keasaman duodenum
Hanya sedikit pasien dispepsia fungsional yang mempunyai
hipersekresi asam lambung dari ringan sampai sedang. Beberapa
pasien menunjukkan gangguan bersihan asam dari duodenum dan
meningkatnya sensitivitas terhadap asam. Pasien yang lain
menunjukkan buruknya relaksasi fundus terhadap makanan. Tetapi
paparan asam yang banyak di duodenum tidak langsung berhubungan
dengan gejala pada pasien dengan dispepsia fungsional.
2. Infeksi Helicobacter pylori
Prevalensi dan tingkat keparahan gejala dispepsia serta
hubungannya dengan patofisiologi gastrik mungkin diperankan oleh H
pylori. Walaupun penelitian epidemiologis menyimpulkan bahwa
belum ada alasan yang meyakinkan terdapat hubungan antara infeksi
H pylori dan dispepsia fungsional. Tidak seperti pada ulkus peptikum,
dimana H pylori merupakan penyebab utamanya.
3. Perlambatan pengosongan lambung
Sekitar 25-40% pasien dispepsia fungsional mempunyai
perlambatan waktu pengosongan lambung yang signifikan. Walaupun
beberapa penelitian kecil gagal untuk menunjukkan hubungan antara
perlambatan waktu pengosongan lambung dengan gejala dispepsia.
Sebaliknya penelitian yang besar menunjukkan adanya perlambatan
waktu pengosongan lambung dengan perasaan perut penuh setelah
makan, mual dan muntah.
4. Gangguan akomodasi lambung
Gangguan lambung proksimal untuk relaksasi saat makanan
memasuki lambung ditemukan sebanyak 40% pada pasien fungsional
dispepsia yang akan menjadi transfer prematur makanan menuju
lambung distal. Gangguan dari akomodasi dan maldistribusi tersebut
berkorelasi dengan cepat kenyang dan penurunan berat badan.
5. Gangguan fase kontraktilitas saluran cerna
Gangguan fase kontraksi lambung proksimal terjadi setelah makan
dan dirasakan oleh pasien sebagai dispepsia fungsional. Hubungannya
memang belum jelas tetapi mungkin berkontribusi terhadap gejala
pada sekelompok kecil pasien.
6. Hipersensitivitas lambung
Hiperalgesia terhadap distensi lambung berkorelasi dengan nyeri
abdomen post prandial, bersendawa dan penurunan berat badan.
Walaupun disfungsi level neurologis yang terlibat dalam
hipersensitivitas lambung masih belum jelas.
7. Disritmia mioelektrikal dan dismotilitas antro-duodenal
Penelitian tentang manometrik menunjukkan bahwa hipomotilitas
antrum terdapat pada sebagian besar pasien dispepsia fungsional tetapi
hubungannya tidak terlalu kuat dengan gejala spesifiknya. Aktivitas
abnormal dari mioelektrikal lambung sangat umum ditemukan pada
pasien tersebut, meskipun berkorelasi dengan perlambatan
pengosongan lambung tetapi tidak berkorelasi dengan gejala
dispepsianya.
8. Intoleransi lipid intra duodenal
Kebanyakan pasien dispepsia fungsional mengeluhkan intoleransi
terhadap makanan berlemak dan dapat didemonstrasikan
hipersensitivitasnya terhadap distensi lambung yang diinduksi oleh
infus lemak ke dalam duodenum. Gejalanya pada umumnya adalah
mual dan perut kembung.
9. Aksis otak – saluran cerna
Komponen afferen dari sistem syaraf otonomik mengirimkan
informasi dari reseptor sistem syaraf saluran cerna ke otak via jalur
vagus dan spinal. Di dalam otak, informasi yang masuk diproses dan
dimodifikasi oleh fungsi afektif dan kognitif. Kemudian otak
mengembalikan informasi tersebut via jalur parasimpatik dan simpatik
yang akan memodulasi fungsi akomodasi, sekresi, motilitas dan
imunologis.
10. Faktor psikososial
a. Korelasi dengan stress
b. Korelasi dengan hidup
c. Korelasi dengan kelainan psikiatri dan tipe kepribadian
d. Korelasi dengan kebiasaan mencari pertolongan kesehatan
11. Dispepsia fungsional pasca infeksi
Hampir 25% pasien dispepsia fungsional melaporkan gejala akut
yang mengikuti infeksi gastrointestinal.

F. Penegakan diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana dan pemeriksaan
tambahan, seperti pemeriksaan radiologis dan endoskopi. Pada
anamnesis, ada tiga kelompok besar pola dispepsia yang dikenal yaitu:
a. Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam
hari, rasa terbakar, nyeri di epigastrium terutama saat lapar yang
reda dengan pemberian makanan atau obat antasida dikategorikan
sebagai dispepsia tipe seperti ulkus (ulcer like dyspepsia)
b. Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang
paling sering dikemukakan, dikategorikan sebagai dyspepsia tipe
dismotilitas (dismotility like dyspepsia)
c. Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan
sebagai dyspepsia non-spesifik.
Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk
mempermudah diperoleh gambaran klinis pasien yang kita hadapi
serta pemilihan alternatif pengobatan awal (Djojoningrat, 2009).
Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnosis adalah
untuk mengeksklusi gangguan organik atau biokimiawi. Pemeriksaan
laboratorium (gula darah, fungsi tiroid, fungsi pankreas dsb), radiologi
(barium meal, USG) dan endoskopi merupakan langkah yang paling
penting untuk eksklusi penyebab organic maupun biokimia
(Djojoningrat, 2009).
G. Penatalaksanaan
1. Non-farmakologi
Beberapa studi mengenai penanganan dispepsia fungsional
diantaranya dengan cognitive-behavioural therapy, pengaturan diet,
dan terapi farmakologi. Gejala dapat dikurangi dengan menghindari
makanan yang mengganggu, diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan
merokok. Selain itu, makanan kecil rendah lemak dapat membantu
mengurangi intensitas gejala. Direkomendasikan juga untuk
menghindari makan yang terlalu banyak terutama di malam hari dan
membagi asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan
kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi
relaksasi dan terapi perilaku (Talley & Vakil, 2005).
2. Farmakologi
Pengobatan dispepsia fungsional mengenal beberapa obat, yaitu:
a. Antasida yang berfungsi untuk menetralkan asam lambung,
contohnya Almagate, Hidrotalcide
b. Antikolinergik yang berfungsi untuk menghambat pengeluaran
asam lambung, contohnya adalah Pirenzepin
c. Antagonis reseptor H2, contohnya Ranitidin, Simetidin dan
Famotidine
d. PPI (Proton Pump Inhibitor) untuk menghambat pompa asam,
contohnya Omeprazole, Esomeprazole, Pantoprazole, Lansoprazole
dan Rabeprazole
e. Sitoprotektif (Sucralfat, koloid bsmuth)

H. Prognosis
Dispepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan
penunjang yang akurat mempunyai prognosis yang baik (Lee et al, 2004).
III. KESIMPULAN

1. Gagal jantung merupakan kondisi dimana jantung tidak lagi dapat


memompakan cukup darah ke jaringan tubuh yang diakibatkan kelaianan
fungsi jantung.
2. Penyebab gagal jantung diantaranya adalah kelaianan otot jantung ,
ateroskleosis koroner, hiperetensi sistemik atau pulmonal, peradangan
miocardium , kelainan katup jantung, dan faktor iskemik seperti anemia
dan tirotoksikosis.
3. Penegakan diagnosis gagal jantung ditentukan berdarkan kriteria
Framingham yang dibagi menjadi kriteria mayor dan minor
4. Penatalksaan gagal jantung dapat berupa terapi non farmakologi dan
farmakologi. Terapi farmakologi berupa pemerian diuretik, Beta blocker,
digitaslis, dan Calcium channel Blocker .
5. Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri
atau rasa tidak nyaman pada area ulu hati, rasa kembung, mual dan cepat
kenyang yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor penyebab.
6. Dispepsia dapat disebabkan oleh faktor organik (Dispepsia organik) dan
faktor non organik (Dispepsia fungsional).
7. Untuk menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana dan pemeriksaan
tambahan, seperti pemeriksaan radiologis dan endoskopi.
8. Penatalaksanaan dispepsia dapat dilakukan secara farmakologis dan non
farmakologis. Secara farmakologis dengan menggunakan obat golongan
antasida, antikolinergik, antagonis reseptor H2, proton pump inhibitor, dll.
DAFTAR PUSTAKA

Antman, E.M., Selwyn, A.P., dan Braunwald, E. dan Loscalzo, J. 2008. Ischemic
Heart Disease, dalam : Harisson’s Principles of Internal Medicine. 17th
ed. USA: McGraw Hill pp 1514 -15

Djojoningrat, Dharmika. 2009. Dispepsi Fungsional. Dalam : Sudoyo, Aru W.,


Bambang setiyohadi, Idrus Alwi, Macellus Simadibrata K., & Siti Setiati.
2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing

Fuster V, Walh RA, Harrington RA. Hurst’s the heart. 13th ed. New York: Mc
Graw Hill Medical; 2011.

Guyton AC, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Holtmann G, Talley NJ, Liebregts T, Adam B, Parow C. 2006. A
placebocontrolled trial of itopride in functional dyspepsia. N Engl J
Med;354(8):832-40.

Issa ZF, Miller JM, Zipes DP. Clinical arrhythmology and electrophysiology: A
companion to Braunwald’s heart disease. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier;
2012.

Kalim et. al. 2008. Pedoman Praktis Tatalaksana Gagal Jantung kronis dan akut.
Jakarta: Divisi ‘critical care’ dan kardiologi klinik departemen kardiologi
dan kedokteran vaskular FKUI.

Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Faucy AS, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s
principles of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw-Hill
Education; 2015.

Lee KJ, Vos R, Hanssens J, Tack J. 2004. Influence of duodenal acidification on


the sensori motor function of the proximal stomach in man. Am J Physiol
Gastrointest Liver Physiol ;286:G278–84.

Longo, Dan L., Dennis L. Kasper, J. Larry Jameson, Anthony S. Fauci, Stephen
L. Hauser, and Joseph Loscalzo. 2012. Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 18th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Manurung D. 2006. Gagal Jantung Akut; In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 4th
Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Massie B. M, Granger C. B. 2005. Heart; In: Current Medical Diagnosis and
Treatment 2005, 4th Ed. USA: McGraw-Hill.
Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. Asian consensus report on functional
dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil 2012;18:150-68
Panggabean M. M. 2006. Gagal Jantung; In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 4th
Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Selwyn, AP., Eugene B. 2007. Penyakit Jantung Iskemik Dalam Prinsip-Prinsip


Ilmu Penyakit Dalam Ed.13 Vol.3. Jakarta : EGC.

Shah RV. Fifer MA. 2007. Heart Failure in Pathophysiology of Heart Disease a
Collaborative Project of Medical Student and Faculty, 4th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Simadibrata, Marcellus, Dadang Makmun, Murdani Abdullah, Ari Fahrial Syam,


Achmad Fausi, Kaka Renaldi, Hasan Maulahela, & Amanda P. Utari.
Konsensus Nasional : Penatalaksanaan dyspepsia dan infeksi Helicobacter
Pylori. PGI:2014

Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed. V. Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

Suwitra K. 2006. Penyakit ginjal kronik; In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Sylvia Anderson Price, RN, Phd; Lorraine Mccarty Wilson, RN, PhD. 2005.
Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. EGC: Jakarta

Talley NJ, Vakil N. 2005. Guidelines for the management of dyspepsia. Am J


Gastroenterol;100:2324-37.

The American College of Cardiology Foundation and The American Heart


Association. 2013. ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart
Failure. Journal of the American College of Cardiology. Vol 62 : 16.

The Criteria Committee of the New York Heart Association. 2011. Nomenclature
and Criteria for Diagnosis of Diseases of the Heart and Great Vessels. 9th
ed. Boston, Massachussets: Little, Brown & Co; 253-256.

Anda mungkin juga menyukai