Pembimbing :
Disusun oleh :
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh :
Thomas Nata Nugraha G4A018016
Mengetahui,
Pembimbing
STATUS PENDERITA
A. Identitas Penderita
Nama : Tn. S
Usia : 62 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kauman Adipala 02/09
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal masuk RSMS : 6 Agustus2019
Tanggal periksa : 11 Agustus 2019
B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan di bangsal Asoka
1. Keluhan utama
Sesak Nafas
2. Keluhan tambahan
Batuk, Nyeri ulu hatii, begah, mudah kenyang
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 3 HSMRS. Sesak nafas dirasa
terus menerus dan memberat setiap pasien melakukan aktivitas. Pasien
mengaku sesak nafas dirasa semakin memberat sejak pertama kali dirasa,
yaitu sekitar 1 tahun yang lalu. Sesak nafas juga memberat pada saat tidur,
dan membaik dengan posisi duduk. Pasien juga mengeluhkan batuk pada
malam hari. Pasien juga merasa perut dan kaki bengkak sejak 3 bulan yang
lalu. Keluhan nyeri ulu hati, begah dan mudah kenyang juga dirasakan oleh
pasien.
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat darah tinggi : disangkal
c. Riwayat penyakit gula : diakui
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat sakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit jantung : diakui thn 2018
g. Riwayat sakit kuning/liver : disangkal
h. Riwayat sakit tenggorokan : disangkal
i. Riwayat konsumsi obat-obatan : disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat penyakit yang sama : diakui
b. Riwayat darah tinggi : diakui
c. Riwayat penyakit gula : diakui
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat sosial dan exposure
Pasien seorang petugas kesehatan di bagian Paru di suatu RS di cilacap,
hidup bersama 1 orang istri dan 5 orang anak. Pasien mengaku makan
tidak selalu tepat waktu. Riwayat hobi minum kopi (-) Riwayat merokok
(-) riwayat alkohol (-)
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan di bangsal ASOKA
Keadaan umum : Baik
1. Kesadaran : Compos mentis
2. Vital sign
a. Tekanan darah : 100/80 mmHg
b. Nadi : 80 ×/menit reguler, isi cukup
c. Pernapasan : 20 ×/menit, reguler
d. Suhu : 36,°C
3. Tinggi badan : 160
4. Berat badan : 62
5. Status gizi (IMT) : 24.2
6. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut sudah beruban, tidak rontok dan terdistribusi merata.
3) Mata
Simetris, edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-)
4) Telinga
Discharge (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir kering (-), bibir pucat (-), bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+2 cm
c. Pemeriksaan thorax
Paru
Inspeksi : dinding dada tampak simetris dan tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithorax kanan dan kiri.
Kelainan bentuk dada (-), retraksi intercostalis (-).
Palpasi : Apex vokal fremitus sinistra = dextra
Basal vokal fremitus sinistra = dextra
Perkusi : Perkusi orientasi selurus lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Apex suara dasar vesikuler +/+
Basal suara dasar vesikuler +/+
RBK -/-, RBH -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V 3 jari lateral LMCS
p.parasternal (-) p.epigastrium (-).
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V 3 jari lateral LMCS, kuat
angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V 3 jari lateral LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, Gallop (-)Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : cembung , distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
Palpasi : supel, nyeri tekan(+) regio epigastric
Hepar : tidak ada pembesaran
Lien : schuffner +0
e. Pemeriksaan ekstremitas
Tabel 2.1 Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstremitas Ekstremitas
Pemeriksaan
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema (pitting) - - + +
Sianosis - - - -
Kuku kuning (ikterik) - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis
Bicep/tricep + + + +
Patela + + + +
Reflek patologis
Reflek babinsky - - - -
Sensoris D=S D=S D=S D=S
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 2.2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan /8/19 Nilai normal
Hemoglobin 14.9 11,2 – 17,3 g/dL
Leukosit 9330 2800 – 10600
U/L
Hematokrit 45 40 – 52 %
Eritrosit 5.5 4,4 – 5,9 juta/uL
Trombosit 175000 150000 –
440000/uL
Ureum 41.45 H 14,98 – 38,52
mg/dL
Kreatinin 1.68 H 0,7 – 1,3 mg/dL
MCV 82.8 80-100
MCH 27.2 26-34
MCHC 32.9 32-36
Na 141 134-146
K 4.6 H
Cl 107 96-108
E. Diagnosis Kerja
1. CHF
2. Dispepsia
F. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
a. IVFD NaCl 0.9% 10 tpm
b. Inj Furosemid 2-2-1
c. PO Domperidon 3x1
d. Inj. Omeprazole 1x40 mg
e. Inj. MP 3x20 mg
f. Nebule combiven+Fluimucyl/8jam
g. Sucralfat syr 3x1C
h. Tabas 3x1C
i. Kandesartan 1x80 mg
2. Non Farmakologi
a. Diet Rendah Lemak, rendah garam
b. Edukasi penyakit kepada pasien meliputi terapi, komplikasi penyakit,
prognosis penyakit dan cara pencegahan perburukan penyakit.
c. Edukasi untuk makan teratur, menghindari makanan asam, alkohol, kopi,
ataupun makanan pedas.
G. Prognosis
Ad fungsional : dubia ad bonam
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia
II. TINJAUAN PUSTAKA
4. Patofisiologi
Gagal jantung dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu (Sylvia,
2005):
a. Gangguan kontraktilitas ventrikel
b. Meningkatnya afterload, atau
c. Gangguan pengisian ventrikel.
Gagal jantung yang dihasilkan dari abnormalitas pengosongan
ventrikel (karena gangguan kontraktilitas atau kelebihan afterload)
disebut disfungsi sistolik, sedangkan gagal jantung yang dikarenakan
oleh abnormalitas relaksasi diastol atau pengisian ventrikel disebut
disfungsi diastolik (Sylvia, 2005).
Pada dasarnya terdapat perbedaan antara gagal jantung sistolik dengan
gagal jantung diastolik. Gagal jantung sistolik disebabkan oleh
meningkatnya volume, gangguan pada miokard, serta meningkatnya
tekanan. Sehingga pada gagal jantung sistolik, stroke volume dan cardiac
output tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh secara adekuat.
Sementara itu gagal jantung diastolik dikarenakan meningkatnya kekakuan
pada dinding ventrikel (Sylvia, 2005).
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau
menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang
meningkatkan beban awal meliputi: regurgitasi aorta dan cacat septum
ventrikel, beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis
aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun
pada infark miokardium dan kardiomiopati (Sylvia, 2005).
Gagal jantung merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan
penyakit jantung. Pada disfungsi sistolik, kapasitas ventrikel untuk
memompa darah terganggu karena gangguan kontraktilitas otot jantung
yang dapat disebabkan oleh rusaknya miosit, abnormalitas fungsi miosit
atau fibrosis, serta akibat pressure overload yang menyebabkan resistensi
atau tahanan aliran sehingga stroke volume menjadi berkurang. Sementara
itu disfungsi diastolik terjadi akibat gangguan relaksasi miokard, dengan
kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri
menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab
tersering disfungsi diastolik adalah penyakit jantung koroner, hipertensi
dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofi (Shah, 2007).
Gambar 2. Mekanisme kompensasi dari gagal jantung (Shah, 2007)
Beberapa mekanisme kompensasi alami akan terjadi pada pasien
gagal jantung sebagai respon terhadap menurunnya curah jantung serta
untuk membantu mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk
memastikan perfusi organ yang cukup. Mekanisme tersebut mencakup
mekanisme Frank Starling, perubahan neurohormonal dan remodelling
serta hipertrofi ventrikel (Shah, 2007).
Mekanisme
kompensasi tubuh
Respon
neurohormonal
Mekanisme Frank-
Starling
Cardiac output
meningkat
Meningkatkan
Hipertrofi
Disfungsi endotel penggunaan
ventrikel kiri
energi
Ekstravasasi Kebutuhan energi otot
cairan ke ruang Mudah lelah jantung meningkat dan
pengisian ventrikel kiri
intersisial
terganggu
Edema perifer
Asites Edema paru
Edema paru
Compliance
paru menurun
Depresi pusat
pernapasan
Paroxysmal
Nocturnal
Dyspnea
Penyebab eksaserbasi akut gejala:
Demam rematik dan bentuk
miokarditis lainnya
Infeksi atau sepsis
Infark miokard akut
Beban fisik, lingkungan, dan
emosional
Tirotoksikosis dan kehamilan
Emboli paru
Aritmia
Anemia
7. Komplikasi
Komplikasi kardiovaskuler umumnya jarang terjadi, namun ini
merupakan jenis komplikasi yang sangat serius. Komplikasi yang paling
serius adalah kematian tiba-tiba (sudden death). Kematian tiba-tiba selama
latihan biasanya berhubungan dengan penyakit jantung struktural dan
mekanisme yang paling umum adalah fibrilasi ventrikel. Kebanyakan
kematian karena latihan pada pasien jantung terjadi pada saat aktivitas
yang melebihi latihan normal karena kurangnya perhatian akan gejala-
gejala yang ditimbulkan oleh latihan (Sudoyo, 2009). Penyakit ginjal
sendiri dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi, tetapi komplikasi
yang berhubungan langsung dengan keadaan gagal ginjal adalah gagal
jantung dan uremia (Suwitra K., 2006)
8. Prognosis
Prognosis gagal jantung tergantung dari derajat disfungsi
miokardium. Menurut New York Heart Assosiation, gagal jantung kelas I-
III didapatkan mortalitas 1 dan 5 tahun masing-masing 25% dab 52%.
Sedangkan kelas IV mortalitas 1 tahun adalah sekitar 40%-50% (Selwyn,
2007).
Tabel 8. Mortalitas gagal jantung berdasarkan
New York Heart Association Classification
1-YEAR
CLASS SYMPTOMS
MORTALITY*
I None, asymptomatic left ventricular 5 %
dysfunction
II Dyspnoea or fatigue on moderate physical 10 %
exertion
III Dyspneoea or fatigue on normal daily 10 % - 20 %
activities
IV Dyspnoea or fatigue at rest 40 % - 50 %.
B. Definisi
Kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu yaitu dys (buruk)
dan peptein (pencernaan) yang berarti “pencernaan yang jelek”. Menurut
Konsensus Roma tahun 2000, dispepsia didefinisikan sebagai rasa sakit
atau ketidaknyamanan yang berpusat pada perut bagian atas.
Definisi dispepsia yang sampai saat ini disepakati oleh para pakar
dibidang gastroenterologi adalah kumpulan keluhan/gejala klinis
(sindrom) rasa tidak nyaman atau nyeri yang dirasakan di daerah
abdomen bagian atas yang disertai dengan keluhan lain yaitu nyeri
epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan,
cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan
sendawa (Miwa, 2012). Sindroma dispepsia ini biasanya hilang timbul
atau terus-menerus, keluhan tersebut di atas harus berlangsung setidaknya
selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum
diagnosis ditegakkan (Djojoningrat, 2009).
C. Etiologi
Penyebab dispepsia dapat diklasifikasikan menjadi dispepsia
organik dan dispepsia fungsional. Penyebab dispepsia organik antara lain
esofagitis, ulkus peptikum, striktura esophagus jinak, keganasan saluran
cerna bagian atas, iskemia usus kronik, dan penyakit pankreatobilier.
Sedangkan dispepsia fungsional mengeksklusi semua penyebab organik
seperti hipersensitivitas visceral, gangguan motilitas, perubahan sekresi
asam, infeksi kuman Helicobacter pylori, stress, gangguan dan kelainan
psikologis, dan predisposisi genetic (Simadibrata et al., 2014).
D. Epidemiologi
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari
pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi.
Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda
bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara
Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan
Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional
(Simadibrata et al., 2014).
Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam beberapa
senter di Indonesia pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7 % kasus
kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan
normal pada 8,2% kasus (Simadibrata et al., 2014).
Di Indonesia, data prevalensi infeksi Hp pada pasien ulkus peptikum (tanpa
riwayat pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OAINS) bervariasi dari 90-
100% dan untuk pasien dispepsia fungsional sebanyak 20- 40% dengan berbagai metode
diagnostik (pemeriksaan serologi, kultur, dan histopatologi) (Simadibrata et al.,
2014).
Prevalensi infeksi Hp pada pasien dispepsia yang menjalani
pemeriksaan endoskopik di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di
Indonesia (2003-2004) ditemukan sebesar 10.2%. Prevalensi yang cukup
tinggi ditemui di Makasar tahun 2011 (55%), Solo tahun 2008 (51,8%),
Yogyakarta (30.6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta prevalensi
terendah di Jakarta (8%) (Simadibrata et al., 2014).
E. Patomekanisme
Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi
karena bermacam-macam penyebab dan mekanismenya. Penyebab dan
mekanismenya dapat terjadi sendiri atau kombinasinya. Patofisiologinya
yang dapat dibahas disini adalah (Lee et al, 2004):
1. Sekresi asam lambung dan keasaman duodenum
Hanya sedikit pasien dispepsia fungsional yang mempunyai
hipersekresi asam lambung dari ringan sampai sedang. Beberapa
pasien menunjukkan gangguan bersihan asam dari duodenum dan
meningkatnya sensitivitas terhadap asam. Pasien yang lain
menunjukkan buruknya relaksasi fundus terhadap makanan. Tetapi
paparan asam yang banyak di duodenum tidak langsung berhubungan
dengan gejala pada pasien dengan dispepsia fungsional.
2. Infeksi Helicobacter pylori
Prevalensi dan tingkat keparahan gejala dispepsia serta
hubungannya dengan patofisiologi gastrik mungkin diperankan oleh H
pylori. Walaupun penelitian epidemiologis menyimpulkan bahwa
belum ada alasan yang meyakinkan terdapat hubungan antara infeksi
H pylori dan dispepsia fungsional. Tidak seperti pada ulkus peptikum,
dimana H pylori merupakan penyebab utamanya.
3. Perlambatan pengosongan lambung
Sekitar 25-40% pasien dispepsia fungsional mempunyai
perlambatan waktu pengosongan lambung yang signifikan. Walaupun
beberapa penelitian kecil gagal untuk menunjukkan hubungan antara
perlambatan waktu pengosongan lambung dengan gejala dispepsia.
Sebaliknya penelitian yang besar menunjukkan adanya perlambatan
waktu pengosongan lambung dengan perasaan perut penuh setelah
makan, mual dan muntah.
4. Gangguan akomodasi lambung
Gangguan lambung proksimal untuk relaksasi saat makanan
memasuki lambung ditemukan sebanyak 40% pada pasien fungsional
dispepsia yang akan menjadi transfer prematur makanan menuju
lambung distal. Gangguan dari akomodasi dan maldistribusi tersebut
berkorelasi dengan cepat kenyang dan penurunan berat badan.
5. Gangguan fase kontraktilitas saluran cerna
Gangguan fase kontraksi lambung proksimal terjadi setelah makan
dan dirasakan oleh pasien sebagai dispepsia fungsional. Hubungannya
memang belum jelas tetapi mungkin berkontribusi terhadap gejala
pada sekelompok kecil pasien.
6. Hipersensitivitas lambung
Hiperalgesia terhadap distensi lambung berkorelasi dengan nyeri
abdomen post prandial, bersendawa dan penurunan berat badan.
Walaupun disfungsi level neurologis yang terlibat dalam
hipersensitivitas lambung masih belum jelas.
7. Disritmia mioelektrikal dan dismotilitas antro-duodenal
Penelitian tentang manometrik menunjukkan bahwa hipomotilitas
antrum terdapat pada sebagian besar pasien dispepsia fungsional tetapi
hubungannya tidak terlalu kuat dengan gejala spesifiknya. Aktivitas
abnormal dari mioelektrikal lambung sangat umum ditemukan pada
pasien tersebut, meskipun berkorelasi dengan perlambatan
pengosongan lambung tetapi tidak berkorelasi dengan gejala
dispepsianya.
8. Intoleransi lipid intra duodenal
Kebanyakan pasien dispepsia fungsional mengeluhkan intoleransi
terhadap makanan berlemak dan dapat didemonstrasikan
hipersensitivitasnya terhadap distensi lambung yang diinduksi oleh
infus lemak ke dalam duodenum. Gejalanya pada umumnya adalah
mual dan perut kembung.
9. Aksis otak – saluran cerna
Komponen afferen dari sistem syaraf otonomik mengirimkan
informasi dari reseptor sistem syaraf saluran cerna ke otak via jalur
vagus dan spinal. Di dalam otak, informasi yang masuk diproses dan
dimodifikasi oleh fungsi afektif dan kognitif. Kemudian otak
mengembalikan informasi tersebut via jalur parasimpatik dan simpatik
yang akan memodulasi fungsi akomodasi, sekresi, motilitas dan
imunologis.
10. Faktor psikososial
a. Korelasi dengan stress
b. Korelasi dengan hidup
c. Korelasi dengan kelainan psikiatri dan tipe kepribadian
d. Korelasi dengan kebiasaan mencari pertolongan kesehatan
11. Dispepsia fungsional pasca infeksi
Hampir 25% pasien dispepsia fungsional melaporkan gejala akut
yang mengikuti infeksi gastrointestinal.
F. Penegakan diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana dan pemeriksaan
tambahan, seperti pemeriksaan radiologis dan endoskopi. Pada
anamnesis, ada tiga kelompok besar pola dispepsia yang dikenal yaitu:
a. Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam
hari, rasa terbakar, nyeri di epigastrium terutama saat lapar yang
reda dengan pemberian makanan atau obat antasida dikategorikan
sebagai dispepsia tipe seperti ulkus (ulcer like dyspepsia)
b. Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang
paling sering dikemukakan, dikategorikan sebagai dyspepsia tipe
dismotilitas (dismotility like dyspepsia)
c. Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan
sebagai dyspepsia non-spesifik.
Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk
mempermudah diperoleh gambaran klinis pasien yang kita hadapi
serta pemilihan alternatif pengobatan awal (Djojoningrat, 2009).
Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnosis adalah
untuk mengeksklusi gangguan organik atau biokimiawi. Pemeriksaan
laboratorium (gula darah, fungsi tiroid, fungsi pankreas dsb), radiologi
(barium meal, USG) dan endoskopi merupakan langkah yang paling
penting untuk eksklusi penyebab organic maupun biokimia
(Djojoningrat, 2009).
G. Penatalaksanaan
1. Non-farmakologi
Beberapa studi mengenai penanganan dispepsia fungsional
diantaranya dengan cognitive-behavioural therapy, pengaturan diet,
dan terapi farmakologi. Gejala dapat dikurangi dengan menghindari
makanan yang mengganggu, diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan
merokok. Selain itu, makanan kecil rendah lemak dapat membantu
mengurangi intensitas gejala. Direkomendasikan juga untuk
menghindari makan yang terlalu banyak terutama di malam hari dan
membagi asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan
kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi
relaksasi dan terapi perilaku (Talley & Vakil, 2005).
2. Farmakologi
Pengobatan dispepsia fungsional mengenal beberapa obat, yaitu:
a. Antasida yang berfungsi untuk menetralkan asam lambung,
contohnya Almagate, Hidrotalcide
b. Antikolinergik yang berfungsi untuk menghambat pengeluaran
asam lambung, contohnya adalah Pirenzepin
c. Antagonis reseptor H2, contohnya Ranitidin, Simetidin dan
Famotidine
d. PPI (Proton Pump Inhibitor) untuk menghambat pompa asam,
contohnya Omeprazole, Esomeprazole, Pantoprazole, Lansoprazole
dan Rabeprazole
e. Sitoprotektif (Sucralfat, koloid bsmuth)
H. Prognosis
Dispepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan
penunjang yang akurat mempunyai prognosis yang baik (Lee et al, 2004).
III. KESIMPULAN
Antman, E.M., Selwyn, A.P., dan Braunwald, E. dan Loscalzo, J. 2008. Ischemic
Heart Disease, dalam : Harisson’s Principles of Internal Medicine. 17th
ed. USA: McGraw Hill pp 1514 -15
Fuster V, Walh RA, Harrington RA. Hurst’s the heart. 13th ed. New York: Mc
Graw Hill Medical; 2011.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Holtmann G, Talley NJ, Liebregts T, Adam B, Parow C. 2006. A
placebocontrolled trial of itopride in functional dyspepsia. N Engl J
Med;354(8):832-40.
Issa ZF, Miller JM, Zipes DP. Clinical arrhythmology and electrophysiology: A
companion to Braunwald’s heart disease. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier;
2012.
Kalim et. al. 2008. Pedoman Praktis Tatalaksana Gagal Jantung kronis dan akut.
Jakarta: Divisi ‘critical care’ dan kardiologi klinik departemen kardiologi
dan kedokteran vaskular FKUI.
Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Faucy AS, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s
principles of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw-Hill
Education; 2015.
Longo, Dan L., Dennis L. Kasper, J. Larry Jameson, Anthony S. Fauci, Stephen
L. Hauser, and Joseph Loscalzo. 2012. Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 18th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Manurung D. 2006. Gagal Jantung Akut; In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 4th
Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Massie B. M, Granger C. B. 2005. Heart; In: Current Medical Diagnosis and
Treatment 2005, 4th Ed. USA: McGraw-Hill.
Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. Asian consensus report on functional
dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil 2012;18:150-68
Panggabean M. M. 2006. Gagal Jantung; In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 4th
Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Shah RV. Fifer MA. 2007. Heart Failure in Pathophysiology of Heart Disease a
Collaborative Project of Medical Student and Faculty, 4th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed. V. Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Suwitra K. 2006. Penyakit ginjal kronik; In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Sylvia Anderson Price, RN, Phd; Lorraine Mccarty Wilson, RN, PhD. 2005.
Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. EGC: Jakarta
The Criteria Committee of the New York Heart Association. 2011. Nomenclature
and Criteria for Diagnosis of Diseases of the Heart and Great Vessels. 9th
ed. Boston, Massachussets: Little, Brown & Co; 253-256.