Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Martapura, Oktober 2018

Penyusun

1|Page
Table of Contents
KATA PENGANTAR................................................................................................................................... 1
BAB I ........................................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 3
A. Latar Belakang Penelitian ............................................................................................................... 3
BAB II ....................................................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................................ 6
A. Pressure ulcers ................................................................................................................................ 6
1. Definisi Pressure ulcer................................................................................................................. 6
2. Penyebab Pressure Ulcer ............................................................................................................ 6
3. Manifestasi klinik Pressure ulcer ................................................................................................ 8
4. Komplikasi Pressure ulcer ......................................................................................................... 10
5. Pencegahan Pressure ulcer ....................................................................................................... 11
6. Penatalaksanaan Pressure ulcer ............................................................................................... 11
7. Faktor-Faktor Resiko Kejadian Pressure ulcer .......................................................................... 12
8. Pengukuran Pressure Ulcer ....................................................................................................... 16
BAB III .................................................................................................................................................... 23
KESIMPULAN ......................................................................................................................................... 23
A. KESIMPULAN ............................................................................................................................. 23
B. SARAN ....................................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 24

2|Page
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian

Pressure ulcer merupakan masalah yang harus dihadapi oleh pasien pasien yang
mengalami penyakit kronis, kondisi lemah, kelumpuhan dan bahkan hal ini menjadi
penderitaan sekunder bagi pasien yang dirawat di rumah sakit.Pressure ulcer merupakan
suatu keadaan dimana jaringan kulit telah rusak akibat tekanan langsung pada kulit dan akibat
gesekan serta friksi (Morison, 2004).Pasien rawat inap yang tidak dapat beraktifitas mandiri
pada hari ke-5 beresiko mengalami pressure ulcer (Suheri, 2009).

Smeltzer (2002) menyatakan 1,7 juta orang di dunia setiap tahunnya mengalami pressure
ulcer. Angka kejadian pressure ulcer di RS Dr Sardjito Yogyakarta pada Oktober 2001 pada
pasien yang bedrest total, 40% nya mengalami pressure ulcer (Purwaningsih, 2001). Hal ini
haruslah menjadi perhatian penting bagi tenaga medis dan para medis, terutama perawat yang
berada 24 jam bersama pasien.

Kejadian pressure ulcer di setiap pelayanan rawat inap masih saja ada, di Indonesia yaitu
sebesar 33.3 %, angka ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan insiden pressure ulcer di
ASEAN yang hanya berkisar 2.1-31.3 % (Sugama, 2000). Di RSUD Arifin Acmad Riau
tahun 2013 tercatat 54 pasien menderita pressure ulcer dari total 54 pasien tirah baring. Telah
banyak pula kajian yang memperhatikan faktor dari penyakit yang diderita oleh pasien yang
juga sangat berpengaruh terhadap angka kejadian pressure ulcer. Pasien dengan 2

penyakit CVA menduduki peringkat teratas sebagai penderita pressure ulcer, sedangkan
penyakit diabetes mellitus dan gangguan orthopedic lainnya menempati urutan dibawahnya
(Levina, 2013).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa insiden terjadinya pressure ulcer bervariasi, tapi secara
umum dilaporkan bahwa 5-11% terjadi ditanan perawatan acute care, 15-25% ditatanan
perawat jangka panjang/ longterm care, dan 7- 12% ditatanan perawatan rumah atau
homecare (Dewi, 2011). Hal ini membuktikan bahwa permasalahan kejadian pressure ulcer
masih menjadi prioritas yang penting untuk dipecahkan. Purwaningsih (2001) dalam
penelitiannya tentang angka kejadian pressure ulcer di Ruang Al, B1, C1, D1 dan ruang B3

3|Page
IRNA I RSUP DR. Sardjito pada bulan oktober 2001, mendapatkan hasil dari 40 pasien tirah
baring, angka insiden mencapai 40 %. Angka tersebut merupakan jumlah yang tidak sedikit
dan ada kemungkinan mengalami peningkatan jika tidak ada upaya pencegahan.

Yusuf (2015), menyatakan prevalensi pressure ulcer di Rumah Sakit sekitar 17-25%.Angka
kejadian pressure ulcer setiap tahun sekitar 5-8% dan pressure ulcer dinyatakan sebagai 7-8%
penyebab kematian pada penderita paraplegia. Pada perawatan akut, insiden pressure ulcer
0.4-38%, pada perawatan yang lama 2.2-23.9% dan pada perawatan di rumah 0 %-29%,
sehingga di unit perawatan akut rata-rata lama hari rawat dapat meningkat 4-17 hari. Insiden
yang sangat tinggi terdapat pada pasien yang dirawat di ruang ICU, hal ini terjadi karena
immunocompromised penderita, dengan angka kejadian 8%-40%. 3

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pressure ulcer yaitu pergeseran, tekanan dan
kelembaban merupakan faktor ekstrinsik, sedangkan faktor intrinsik terdiri dari usia,
temperatur, nutrisi, dan tekanan interface (Suriadi, et.al, 2003). Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Said di ruang ICU Makasar tahun 2013 yang menyebutkan
bahwa pressure ulcer dipengaruhi oleh lama rawat pada pasien rawat inap yang dapat
meningkatkan tekanan interface serta kondisi dimana pasien tidak banyak bergerak
(immobilisasi). Sugama (2000) menyatakan bahwa usia lanjut merupakan salah satu resiko
terjadinya pressure ulcer. Bujang (2003) menambahkan tidak dilakukannnya alih baring
setiap 2 jam pada pasien rawat inap dapat menyebabkan terjadinya pressure ulcer. Sedangkan
faktor resiko pressure ulcer menurut Suriadi (2003), terdiri dari pergerakan dan pergeseran,
mobilitas, kelembapan, nutrisi, usia, merokok, dan aktifitas. Di Unit Stroke RSUD Tidar
Magelang seluruh pasien merupakan pasien dengan perawatan total dan tidak dapat
beraktifitas secara mandiri, meskipun tempat tidur telah dirancang menggunakan tempat tidur
tidur fungsional dan menggunakan kasur anti pressure ulcer. Menurut NSQHS (2014), faktor
resiko pressure ulcer dapat dicegah dengan menggunakan alat bantu, seperti kasur anti
pressure ulcer.

Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang merupakan rumah sakit rujukan tipe B yang
menjadi pusat rujukan lebih dari 5 rumah sakit yang ada di seluruh Kotamadya dan
Kabupaten Magelang. Rumah sakit ini sudah dilengkapi 15 poliklinik rawat jalan.Rumah
sakit ini memiliki 234 tempat tidur untuk pasien rawat inap. Menurut data tim PPI Rumah

4|Page
Sakit Umum Daerah Tidar Magelang, jumlah penderita pressure ulcer tahun 2013 mencapai
0,3% dari 4

seluruh pasien rawat inap dan seluruh penderita merupakan pasien yang dirawat di unit
stroke. Berdasarkan gambaran tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui tentang
tingkat resiko pressure ulcer dan faktor resikonya di Unit stroke Rumah Sakit Umum Daerah
Tidar Magelang .

5|Page
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Pressure ulcers
1. Definisi Pressure ulcer

Pressure ulcer, sinonimnya adalah bed sores, atau luka tekan. Pressure ulcer adalah suatu area
yang terlokalisir dengan jaringan mengalami nekrosis yang biasanya terjadi pada bagian
permukaan tulang yang menonjol, sebagai akibat dari tekanan dalam jangka waktu yang lama
yang menyebabkan peningkatan tekanan kapiler.

Pressure ulcer atau luka tekan adalah kerusakan jaringan yang terlokalisir yang disebabkan
karena adanya kompresi jaringan yang lunak diatas tulang yang menonjol (bony prominence)
dan adanya tekanan dari luar dalam jangka waktu yang lama (Morison, 2004).

2. Penyebab Pressure Ulcer


a. Faktor ekstrinsik

1) Tekanan

Faktor tekanan, terutama sekali bila tekanan tersebut terjadi dalam jangka waktu lama yang
menyebabkan jaringan mengalami iskemik (Lestari, 2010). Tekanan pada bagian tubuh
tertentu dalam jangka waktu lama mengakibatkan gangguan aliran oksigen ke jaringan
(Fitriyani, 2009). 10

2) Pergesekan dan pergeseran

Gaya gesekan merupakan faktor yang menimbulkan luka iskemik (Suriadi, 2003). Hal ini
biasanya akan terjadi apabila pasien diatas tempat tidur kemudian merosot dan kulit
seringkali mengalami regangan dan tekanan yang mengakibatkan terjadi iskemik pada
jaringan

3) Kelembaban

Kondisi kulit pada pasien yang sering mengalami lembab akan mengkontribusi kulit menjadi
maserasi kemudian dengan adanya gesekan dan pergeseran, memudahkan kulit mengalami
kerusakan. Kelembaban ini dapat akibat dari inkontinensia, drain luka, banyak keringat dan
lainnya (Dewandono, 2014).

6|Page
b. Faktor intrinsik

1) Usia

Usia juga dapat mempengaruhi terjadinya luka pressure ulcer. Usia lanjut mudah sekali untuk
terjadi luka pressure ulcer. Hal ini karena pada usia lanjut terjadi perubahan kualitas kulit
dimana adanya penurunan elastisitas, dan kurangnya sirkulasi pada dermis (Mukti, 1997).

2) Temperatur

Kondisi tubuh yang mengalami peningkatan temperatur akan berpengaruh pada temperatur
jaringan. Setiap terjadi peningkatan metabolisme akan menaikkan 1 derajat Celcius dalam
temperatur jaringan. Peningkatan temperatur ini akan beresiko terhadap iskemik 11

jaringan. Selain itu, dengan menurunnya elastisitas kulit, akan tidak toleran terhadap adanya
gaya gesekan dan pergerakan sehingga akan mudah mengalami kerusakan kulit. Hasil
penelitian didapatkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara peningkatan temperatur
tubuh dengan resiko terjadinya luka pressure ulcer (Suriadi, 2003).

3) Nutrisi

Nutrisi merupakan faktor yang dapat mengkontribusi terjadinya pressure ulcer. Pada fokus ini
ada juga yang masih belum sependapat nutrisi sebagai faktor penyebabpressure ulcer namun
sebagian besar dari hasil penelitian mengatakan adanya hubungan yang bermakna pada klien
yang mengalami luka pressure ulcer dengan malnutrisi.Individu dengan tingkat serum
albumin yang rendah terkait dengan perkembangan terjadinya luka pressure ulcer.
Hypoalbuminea berhubungan dengan luka pressure ulcer pada pasien yang dirawat (Suriadi,
2003).

4) Tekanan interface

Tekanan interface adalah suatu pengukuran kualitatif yang didapatkan dari hasil pengukuran
pada rongga antara tempat tidur dan tubuh dalam milimeter air raksa (mmHg). Suriadi
(2003), dalam penelitiannya melaporkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
tekanan interface dan terjadinya luka pressure ulcer.

Hasil penelitiannya melaporkan juga bahwa semakin tinggi tekanan interface maka semakin
beresiko untuk terjadi luka pressure ulcer. Alasan ini karena dengan meningkatnya tekanan
interface dapat 12

7|Page
menyebabkan sumbatan pada pembuluh kapiler dan gangguan pada sistem limfatik
konsekuensinya menghasilkan kerusakan jaringan dan perkembangan pada luka pressure
ulcer (Suriadi, 2003).

Hasil penelitian lain juga yang menggunakan alat yang sama menemukan bahwa tekanan 40
mmHg atau lebih merupakan resiko untuk terjadi pressure ulcer pada pasien dengan usia
lanjut (Sugama, 2000).Adapun faktor lainnya yang dapat mengkontribusi terjadinya pressure
ulcer adalahmenurunnya persepsi sensori, immobilisasi dan atau keterbatasan fisik.Ketiga
faktor ini adalah dampak dari pada lamanya dan intensitas tekanan pada bagian permukaan
tulang yang menonjol.

3. Manifestasi klinik Pressure ulcer

Manifestasi klinis pada pressure ulcer untuk pertama kali ditandai dengan kulit eritema atau
kemerahan, terdapat ciri khas dimana bila ditekan dengan jari, tanda eritema akan lama
kembali lagi atau persisten. Kemudian diikuti dengan kulit mengalami edema, dan temperatur
di area tersebut meningkat atau bila diraba akan terasa hangat. Tanda pada pressure ulcer ini
akan dapat berkembang hingga sampai ke jaringan otot dan tulang. NPUAP,(2009) 13

NPUAP,(2009)

Gambar 2.1 stadium luka pressure ulcer menurut NPUAP (National Pressure ulcer Advisory
Panel)

Menurut NPUAP (2009), luka pressure ulcer dibagi menjadi 4 stadium.

a. Stadium I

Kulit utuh dengan tidak pucat kemerahan pada area lokal biasanya tulang lebih
menonjol.Kulit gelap berpigmen mungkin tidak tampak pucat; warna mungkin berbeda dari
daerah sekitarnya. Daerah ini mungkin terasa sakit, tegas, lembut, hangat atau lebih dingin
dibandingkan dengan daerah sekitarnya (NPUAP, 2009).Tahap I mungkin sulit untuk
dideteksi pada individu dengan warna kulit gelap, karenamungkin menunjukkan beresiko
terjadi perubahan warna kulit yang tidak nampak (Mary, 2007).

8|Page
b. Stadium II

Hilangnya ketebalan sebagian dermis memperlihatkan ulkus terbuka dangkal dengan dasar
luka merah muda, tanpa terkelupas.Selain itu dapat pula nampak sebagai lepuhan serum
dengan atau utuh atau terbuka atau pecah.Tampak sebagai ulkus dangkal mengkilap atau
kering tanpa mengelupaskan atau memar.Biasanya terdapat gambaran dermatitis 14

perineal, maserasi atau memar dan menunjukkan cidera jaringan yang dicurigai dalam
(NPUAP, 2009).

c. Stadium III

Kehilangan ketebalan jaringan penuh.Lemak subkutan dapat terlihat tetapi tulang tendon atau
otot tidak terkena.Slough mungkin ada tapi tidak mengaburkan kedalaman kehilangan
jaringan. Mungkin terdapat kerusakan jaringan seperti terowongan.Kedalaman ulkus tekanan
stadium III bervariasi menurut lokasi anatomi (Mary, 2007).Hidung, telinga, tengkuk dan
maleolus tidak memiliki jaringan subkutan dan luka tahap III bisa dangkal.Sebaliknya,
bidang adipositas signifikan dapat meningkatkan derajat luka hingga sangat dalam tingkat III
luka tekan.Tulang / tendon tidak terlihat atau langsung teraba (NPUAP, 2009).

d. Stadium IV

Kehilangan ketebalan penuh jaringan dengan terbuka, tendon tulang atau otot.Slough atau
eschar mungkin ada pada beberapa bagian dari dasar luka. Sering termasuk kerusakan
jaringan dan terowongan.Kedalaman ulkus tekanan stadium IV bervariasi menurut lokasi
anatomi.Hidung, telinga, tengkuk dan maleolus tidak memiliki jaringan subkutan dan ini bisa
menjadi dangkal.Luka Tahap IV dapat memperpanjang ke dalam struktur otot dan atau atau
pendukung (misalnya, fasia, tendon atau kapsul sendi) membuat osteomielitis mungkin
terjadi.Tulang terkena atau tendon terlihat atau langsung teraba (NPUAP, 2009). 15

NPUAP juga memberikan pengelompokan tersendiri pada beberapa kondisi PU yang tidak
dapat masuk ke pengelompokan pada 4 stadium diatas, yaitu unsteageable dan DTI (deep
tissue injury) (Mary, 2007).

9|Page
a. Ulcer unsteageable

Ketebalan kehilangan jaringan penuh di mana dasar ulkus ditutupi oleh slough (kuning,
cokelat, abu-abu, hijau atau coklat) dan atau eschar (cokelat, cokelat atau hitam) pada dasar
luka. Sampai cukup slough dan atau eschardapat di ambil untuk mengetahui dasar luka,
kedalaman dengan benar, sehingga dapat diketahui derajat luka yang sebenarnya, tidak dapat
ditentukan. Stabil (kering, patah, utuh tanpa eritema atau fluctuance) eschar pada tumit
berfungsi alami sebagai penutup tubuh dan tidak boleh dibuang (Mary, 2007). 16

b. Deep tissue injury

Ungu atau merah marun lokal daerah kulit utuh berubah warna atau darah yang penuh lecet
akibat kerusakan mendasari jaringan lunak dari tekanan dan / atau geser.Daerah ini dapat
didahului oleh jaringan yang terasa sakit, lembek, hangat atau lebih dingin dibandingkan
dengan jaringan yang berdekatan (NPUAP, 2009). Cedera jaringan dalam mungkin sulit
untuk mendeteksi pada individu dengan warna kulit gelap.Dapat pula berupa lecet tipis di
atas tempat tidur, luka nampak gelap. Luka lebih lanjut dapat berkembang dan menjadi
eschar tipis.Perubahan dapat terjadi dengan cepat sehingga perlu mengkaji dengan lebih
cermat lapisan tambahan dari jaringan bahkan dengan pengobatan optimal (Suriadi, 2003).

4. Komplikasi Pressure ulcer


Komplikasi bed sores atau pressure ulcer antara lain, yaitu terjadinya infeksi baik yang
bersifat multibakterial, maupunyang aerobic dan anaerobic, selain itu dapat menyebar ke
tulang mengingat keterlibatan jaringan tulang dan sendi, seperti : periostitis, osteoitis,
osteomielitis, arthritisseptic. Sehingga pasien dapat jatuh dalam kondisi septicemia, anemia,
hipoalbuminemia, hiperbilirubin hingga ke kematian (Andika, 2011). Komplikasi pressure
ulcer yang dapat terjadi antara lain infeksi yang bersifat multibakterial baik yang aerobil
ataupun yang anaerobik, keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteitis,
osteomielitis, artritis septik, septikemia, anemia, hipoalbunemia, bahkan kematian (Huda,
2012). Terjadinya pressure ulcer berisiko semakin membatasi aktifitas dan mobilitas pasien
sehingga luka dapat berkembang menjadi derajat selanjutnya yang semakin memperburuk
kondisi pasien (Martini,dkk, 2016).

10 | P a g e
5. Pencegahan Pressure ulcer
Pencegahan pressure ulcermeliputi: pengkajian resiko, berbagai perawatan untuk mencegah
terjadinya pressure ulcer, melakukan evaluasi kembali terhadap adanya kerusakan kulit dan
mendokumentasikan dengan seksama, serta melakukan inovasi pada intervensi yang telah
dilakukan namun tidak berhasil seperti penggantian alas tidur secara berkala (Guy, 2012).
Pemakaian alat bantu khusus seperti kasur dekubitus, kursi dekubitus dan bantal dekubitus
dapat mencegah terjadinya pressure ulcer (NSQHS, 2014). Terapi message menggunakan
virgin coconut oli efektif dalam meminimalisir terjadinya infeksi pada pressure ulcer dan
dapat mencegah terjadinya pressure ulcer (Dewandono, 2014). Perawatan kulit dan
penanganan dini, penggunaan berbagai matras atau alat dan edukasi pasien dapat mencegah
timbulnya pressure ulcer (Mukti, 1997). Menurut 18

penelitian Lestari (2010), terapi pijat menggunakan minyak kelapa juga efektif dalam
mencegah tejadinya pressure ulcer pada pasien stroke. Mobilisasi pasif dapat mencegah
pressure ulcer pada pasien bed rest (Sari, 2013).

6. Penatalaksanaan Pressure ulcer


Luka pressure ulcer dapat di sembuhkan dengan memberikan perawatan luka pressure ulcer,
ataupun dengan memberikan terapi fisik dengan menggunakan pusaran air untuk
menghilangkan jaringan yang mati. Selain dua hal diatas ada juga terapi obat dan terapi diet.
Terapi obat dapat menggunakan obat antibacterial topical untuk mengontrol pertumbuhan
bakteri dan menggunakan antibiotic propilaksis untuk menghindarkan luka dari infeksi.
Sedangkan terapi diet dapat juga dilakukan untuk mempercepat proses penyembuhan pada
luka. Nutrisi yang diberikan harus adekuat yang terdiri dari kalori, protein, vitamin, mineral
dan air yang cukup (Suriadi, et al, 2003).

Pressure ulcer dapat pula dicegah dengan menggunakan beberapa alat yang memang khusus
di rancang untuk mencegah PU, seperti matras, tempat tidur otomatis, kursi, dan alat alat
bantu lain (potitioning devices) (NSQHS, 2014). 19

11 | P a g e
7. Faktor-Faktor Resiko Kejadian Pressure ulcer
a. Gesekan (friction)

Pergesekan merupakan tekanan yang diberikan pada kulit dengan arah pararel terhadap
permukaan tubuh (AHCPR, 1994). Gesekan terjadi saat individu berusaha melakukan
perpindahan posisi atau bergerak di atas tempat tidur, biasanya dengan cara di dorong,
digeser, atau ditarik. Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan yang
menempel pada permukaan tempat tidur serta lapisan otot mengikuti gerakan pergeseran
tersebut, sehingga memberi gaya pada kulit. Kapiler jaringan yang berada dibawahnya
tertekan dan mengalami beban berat, jika terjadi dalam waktu lama dapat menyebabkan
hipoksia, perdarahan hingga nekrosis jaringan (Morison, 2004).

Pergesekan terjadi ketika ada dua permukaan bergerak dengan arah yang
berlawanan.Pergesekan dapat mengakibatkan abrasi dan merusak permukaan epidermis
kulit.Pergesekan bisa terjadi pada saat pergantian sprei pasien yang kurang berhati hati
(Wahyu, 2015). Pergesekan dan perobekan mempermudah terlepasnya jaringan kulit dan
berkembang menjadi pressure ulcer (Irawan, 2014). luka biasanya nampak pada daerah
sakrumdan tumit, dimana pasien menahan diri dalam posisi duduk atau saat menahan posisi
(Guy, 2012). Pemakaian virgin coconut oil dapat meminimalkan terjadinya pergesekan antara
kulit dan pakaian pasien sehingga mencegah terjadinya pressure ulcer (Dewandono, 2014).

b. Kelembaban
Kelembaban yang disebabkan karena inkontinensia dapat mengakibatkan terjadinya maserasi
pada jaringan kulit. Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah mengalami erosi. Selain
itu, kelembaban juga mengakibatkan kulit mudah terkena pergesekan (friction) dan
perobekan jaringan (shear)(Irawan, 2014).Inkontinensia alvi lebih signifikan dalam
perkembangan luka tekan daripada inkontinensia urin karena adanya bakteri dan enzim pada
feses dapat merusak kulit. Kelembapan pada kulit dan terjadi pada durasi yang lama dapat
meningkatkan resiko kerusakan integritas kulit. Kondisi lembab dapat menyebabkan
peningkatan resiko terjadinya dekubitus lima kali lipat daripada kondisi normal ( Potter &
Perry, 2006).

c. Usia
Pasien yang sudah tua memiliki resiko yang tinggi untuk luka tekan karena kulit dan jaringan
akan berubah seiring dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan kehilangan otot, penurunan

12 | P a g e
kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori, penurunan elstisitas kulit, serta
penurunan kohesi antara epidermis dan dermis. Perubahan ini berkombinasi dengan faktor
penuaan lain yang akan membuat kulit menjadi berkurang toleransinya terhadap tekanan,
pergesekan dan tenaga merobek (Irawan, 2014).

Pasien usia lanjut dengan kondisi bed rest total lebih berisiko mengalami pressure ulcer
(Huda, 2012). Pada pasien anak usia kurang dari 24 bulan berisiko mengalami luka tekan
pada area oksipital.

d. Nutrisi Buruk
Kadar albumin adalah ukuran variabel yang bisa digunakan untuk mengevaluasi status
protein dan status nutrisi pada pasien, selain itu level albumin rendah sering dihubungkan
dengan lamanya waktu penyembuhan luka (Morison, 2004). Status nutrisi yang buruk dapat
diabaikan jika pasien memiliki berat badan sama dengan atau lebih dari berat badan ideal
(Evelyn, 1997).

Hipoalbuminemia, kehilangan berat badan dan malnutrisi umumnya diidentifikasi sebagai


faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan.Menurut penelitian Guenter (2000), stadium 3
dan 4 dari luka tekan pada orang tua berhubungan dengan penurunan berat badan, rendahnya
kadar albumin dan intake makanan yang tidak mencukupi. Pasien dengan kondisi buruk
seperti gagal jantung dan syok hipovolemi dapat meningkatkan resiko kerusakan kulit karena
suplay oksigen menurun sejalan dengan menurunnya tekanan darah (Guy, 2012). Pasien
dengan penyakit kronis harus terpantau kadar albumin serumnya, karena hal ini dapat
dijadikan indikator nutrisi buruk yang dapat menyebabkan berkembangnya luka baru
termasuk pressure ulcer (Mary, 2007).

e. Mobilitas dan aktivitas


Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi tubuh, sedangkan
aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah.Pasien yang berbaring terus menerus ditempat
tidur tanpa mampu untuk merubah posisi beresiko tinggi untuk terkena luka
tekan.Immobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian luka tekan. Penelitian
yang dilakukan Suriadi (2003) menunjukkan bahwa mobilitas merupakan faktor yang
signifikan untuk perkembangan luka tekan.

Pada individu yang menderita penyakit menahun sehingga tidak dapat beraktifitas mandiri
menyebabkan tekanan yang terus menerus pada lokasi yang sama hal ini menghambat
sirkulasi oksigen dan menyebabkan berkembangnya luka baru (Guy, 2012). Perubahan posisi

13 | P a g e
seperti mobilisasi pasif, merupakan salah satu alternatif untuk memberikan aktifitas kepada
pasien untuk menurukan resiko terjadinya pressure ulcer (Sari, 2013).

f. Penurunan sensori persepsi


Penurunan sensori persepsi dapat menurunkan sensasi nyeri.Jika berlangsung terus menerus
maka dapat menyebabkan luka pressure ulcer (Bujang, 2003). Penurunan sensori persepsi,
mobilitas, aktifitas kelembapan dan nutrisi merupakan faktor terbesar penyebab terjadinya
pressure ulcer disamping faktor usia dan merokok (Suriadi, 2003). Kondisi sakit yang lama
terutama pada pasien dengan gangguan syaraf sehingga meningkatkan gesekan pada kulit
sangat berpengaruh terhadap terjadinya pressure ulcerterutama pada daerah sacrum (Mary,
2007).

g. Tenaga yang merobek (shear)

Mary, (2007), mengungkapkan bahwa tenaga gesekan dan robekan merupakan hal yang
berkontribusi sangat besar terhadap berkembangnya kerusakan kulit menjadi pressure ulcer.
Tenaga merobek adalah kekuatan mekanis yang meregangkan dan merobek jariangan
pembuluh darah serta struktur jaringan yang lebih dalam dan berdekatan dengan tulang yang
menonjol (Wahyu, 2015). Robekan dan gesekan pada jaringan yang kekurangan nutrisi akibat
penyakit ataupun usia tua terutama pada bagian yang menonjol dapat menyebabkan pressure
ulcer (Joseph & Davies, 2013).

h. Tekanan arteriolar yang rendah

Tekanan arteriolar yang rendah menurunkan tekanan sirkulasi sehingga nutrisi dan oksigen
tidak dapat sampai ke jaringan, hal ini dapat menurunkan elastisitas kulit dan kulit menjadi
mudah robek ditambahkan oleh faktor gesekan dan pergerakan (Joseph & Davies, 2013).
Tekanan sistolik dan tekanan diastolic yang rendah dapat mengakibatkan luka pressure ulcer.
Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan mengalami kerusakan
dan iskemi. Ganguuan sirkulasi pada pasien yang menderita penyakit vaskuler, pasien syok
atau yang mendapatkan sejenis obat vasopresor (Evelyn, 1997).

i. Stress emosional

14 | P a g e
Stress emosional biasa terjadi pada pasien psikiatrik, yang dapat menyebabkan terjadinya
luka pressure ulcer (Wawan, 2014).Salah satu faktor yang menghambat dalam penyembuhan
luka, yaitu stress (Niken,2014). Hormon stress yaitu CRH, ACTH dan glukokortikoid dapat
mempengaruhi sistem imun, sehingga menyebabkan resorpsi tulanh, kerusakan jaringan serta
menghambat penyembuhan luka (Morteson & Miller 2008).

j. Merokok

Suriadi (2003), dalam penelitiannya menyatakan ada hubungan yang signifikan terhadap
kesembuhan luka pressure ulcer pada pasien perokok.Nikotin pada rokok dapat menurunkan
aliran darah dan memiliki efek toksik pada endothelium pembuluh darah. Merokok dapat
menghambat sirkulasi dan menurunkan oksigen dalam darah sehingga jaringan akan
kekurangan dan dapat mengakibatkan infeksi pada luka serta menghambat penyembuhan luka
(Morteson &miller 2008). Asap dari merokok dapat merusak fibroblas yang sangat penting
dalam penyembuhan luka, sehingga jika terjadi pressure ulcersukar untuk sembuh
(Niken,2014). 25

k. Temperatur kulit

Peningkatan temperatur merupakan faktor yang signifikan dengan resiko terjadinya luka
tekan (Suriadi, 2004). Status vaskular berhubungan erat dengan temperatur kulit (Niken,
2014). Pada keadaan temperatur kulit menurun pembuluh darah akan vasokontriksi, sehingga
oksigen tidak dapat sampai ke jaringan dan dapat mendukung terjadinya pressure ulcer.
Temperatur kulit memberikan informasi tentang kondisi perfusi jaringan dan fase inflamasi,
serta merupakan variabel penting dalam penilaian adanya peningkatan atau penurunan perfusi
jaringan terhadap tekanan (Ginsberg, 2008). Pada kondisi kulit dengan temperatur yang
rendah jaringan akan mudah mengalami kerusakan terutama jika ada faktor gesekan dan
pergerakan (Mary, 2007).

Menurut Potter & Perry (2006), ada berbagai faktor resiko yang menjadi predisposisi
terjadinya pressure ulcer pada pasien yang dirawat di rumah sakit, yaitu :

15 | P a g e
1. Gangguan input sensorik

Pasien yang mengalami perubahan terhadap hantaran stimulus sensorik persepsi nyeri dan
tekanan akan beresiko mengalami gangguan integritas kulit. Pada pasien yang memiliki
stimulus sensorik yang normal dapat merasakan saat sadar jika adanya tekanan sehingga
dapat melakukan perubahan posisi sesuai dengan tingkat kenyamanan pasien.

2. Gangguan fungsi motorik

Pasien yang tidak dapat melakukan aktifitas secara mandiri dapat berisiko mengalami
pressure ulcer. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan namun tidak dapat melakukan
perubahan posisi. Terutama pada pasien dengan penyakit kronis dan cidera medulla spinalis.

3. Perubahan tingkat kesadaran

Pada pasien dengan gangguan tingkat kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari
pressure ulcer. Pasien mungkin dapat merasakan tekanan namun tidak mampu memu
menghilangkan tekanan tuskan bagaimana cara menghilangkan tekanan itu. Contohnya pada
pasien yang mengalami operasi dan dalam pengaruh sedasi.

4. Pemakaian gips, traksi, dan alat bantu lainnya

Pemakaian alat bantu membatasi mobilisasi ekstremitas. Kekuatan mekanik yang ditimbulkan
oleh gesekan permukaan gips dengan kulit dapat menimbulkan pressure ulcer. Perawat harus
waspada terhadap resiko kerusakan integritas kulit dan secara berkala melakukan pengamatan
untuk menghindari terjadinya pressure ulcer.

8. Pengukuran Pressure Ulcer

Dalam perawatan yang cukup lama, baik di bangsal rumah sakit maupun di rumah, terutama
klien dengan keadaan kronis dan immobilisasi, resiko terjadinya pressure ulcer (pressure
ulcer) akan meningkat. Maka diperlukan suatu perkiraan dan pencegahan terhadap pressure
ulcer ini secara sistematis.Pressure ulcer dapat merugikan klien secara fisik dan materi,
karena dapat mengakibatkan kerusakan tubuh dan memerlukan dana tambahan untuk
melakukan perawat jaringan pressure ulcer tersebut. Pressure ulcer dapat memiliki dampak
psikis, berupa harga diri rendah dan beberapa efek lainnya.

Dalam mengidentifikasi resiko pressure ulcer, ada beberapa skala pengkajian resiko tersebut,
antara lain; 1. Skala Braden, 2. Skala Norton, 3. Skala Gosnell. Ketiga skala ini bertujuan

16 | P a g e
mengidentifikasi resiko tinggi-rendahnya kemungkinan untuk terjadinya pressure ulcer dan
segera melakukan tindakan pencegahan agar tidak terjadi pressure ulcer di kemudian hari
sesuai tingkatan resiko.

1. Skala Braden

Salah satu skala yang sering digunakan yaitu skala braden.Skala Braden untuk menilai resiko
terjadinya pressure ulcer.Karena skala ini menurut kalangan profesional Keperawatan
memiliki efektifitas tinggi dalam menentukan resiko terjadinya pressure ulcer. Dalam skala
Braden terdapat 6 (enam) subskala untuk menentukan tingkatan resiko terjadinya pressure
ulcer. Subskala tersebut antara lain adalah; 1. Persepsi Sensorik, 2. Kelembaban , 3.
Aktivitas, 4.Mobilisasi, 5.Nutrisi, 6.Friksi dan Gesekan. Pada masing masing subskala
memiliki skor 4 skor kecuali 28 pergerakan dan pergeseran. Berikut adalah penjelasan dari
masing-masing skala:

a. Persepsi Sensorik

Persepsi sensorik adalah kemampuan untuk merespon tekanan berarti yang berhubungan
dengan ketidaknyamanan.Pada subskala ini terdapat 4 (empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah
nilai terendah (resiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (resiko rendah).

Nilai 1 diberikan apabila terjadi keterbatasan total, yaitu tidak adanya respon pada stimulus
nyeri akibat kesadaran yang menurun ataupun karena pemberian obat-obat sedasi atau
keterbatasan kemampuan untuk merasakan nyeri pada sebagian besar permukaan tubuh.

Nilai 2 diberikan apabila sangat terbatas, yaitu hanya berespon hanya pada stimulus
nyeri.Tidak dapat mengkomunikasinya ketidaknyamanan, kecuali dengan merintih dan / atau
gelisah.Atau mempunyai gangguan sensorik yang membatasi kemampuan untuk merasakan
nyeri atau ketidaknyamanan pada separuh permukaan tubuh.

Nilai 3 diberikan pada saat hanya terjadi sedikit keterbatasan yaitu dalam keadaan klien
berespon pada perintah verbal, tetapi tidak selalu dapat mengkomunikasikan
ketidaknyamanan atau harus dibantu membalikkan tubuh.Ataumempunyai gangguan sensorik
yang membatasi kemampuan merasakan nyeri atau ketidaknyamanan pada 1 atau 2
ektrimitas. 29

17 | P a g e
Nilai 4 diberikan pada saat tidak terjadi gangguan, yaitu dalam berespon pada perintah verbal
dengan baik. Tidak ada sensorik yang akan membatasi kemampuan untuk merasakan atau
mengungkapkan nyeri atau ketidaknyamanan.

b. Kelembaban Kelembaban adalah tingkat kulit yang terpapar kelembaban. Pada subskala ini
terdapat 4 (empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (resiko tinggi) dan 4 adalah
nilai tertinggi (resiko rendah).Nilai 1 diberikan apabila terjadi kelembaban kulit yang
konstan, yaitu saat kulit selalu lembab karena perspirasi, urine. kelembaban diketahui saat
klien bergerak, membalik tubuh atau dengan dibantu perawat.

Nilai 2 diberi apabila kulit sangat lembab, yaitu saat kelembaban sering terjadi tetapi tidak
selalu lembab.Idealnya alat tenun dalam keadaan ini harus diganti setiap pergantian jaga.Nilai
3 diberikan pada saat kulit kadang lembab, yaitu pada waktu tertentu saja terjadi
kelembaban.Dalam keadaan ini, idealnya alat tenun diganti dengan 1 kali pertambahan ekstra
(2 x sehari).Nilai 4 diberikan pada saat kulit jarang lembab, yaitu pada saat keadaan kulit
biasanya selalu kering, alat tenun hanya perlu diganti sesuai jadwal (1 x sehari).

c. Aktifitas Tingkat aktifitas fisik mempunyai 4 subskala yaitu; 1 adalah nilai terendah (resiko
tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi (resiko rendah).

Nilai 1 diberikan kepada klien dengan tirah baring, yang beraktifitas terbatas di atas tempat
tidur saja.

Nilai 2 diberikan kepada klien yang dapat bergerak (berjalan) dengan keterbatasan yang
tinggi atau tidak mampu berjalan, tidak dapat menopang berat badannya sendiri dan atau
harus dibantu pindah ke atas kursi atau kursi roda.

Nilai 3 diberikan kepada klien yang dapat berjalan sendiri pada siang hari, tapi hanya dalam
jarak pendek/dekat, dengan atau tanpa bantuan.Sebagian besar waktu dihabiskan di atas
tempat tidur atau kursi. Nilai 4 diberikan kepada klien yang dapat sering berjalan ke luar
kamar sedikitnya 2 kali sehari dan di dalam kamar sedikitnya 1 kali tiap 2 jam selama terjaga.

d. Mobilisasi

Mobilisasi adalah kemampuan mengubah dan mengontrol posisi tubuh.Pada subskala ini
terdapat 4 (empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (resiko tinggi) dan 4 adalah
nilai tertinggi (resiko rendah).Nilai 1 diberikan pada klien dengan immobilisasi total.Tidak

18 | P a g e
dapat melakukan perbuahan posisi tubuh atau ekstrimitas tanpa bantuan, walaupun hanya
sedikit.

Nilai 2 diberikan kepada klien dengan keadaan sangat terbatas, yaitu klien dengan kadang-
kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstrimitas, tapi tidak mampu
melakukan perubahan yang sering dan berarti secara mandiri.

Nilai 3 diberikan kepada klien yang mobilisasinya agak terbatas, yaitu klien yang dapat
dengan sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstrimitas secara mandiri.
Nilai 4 diberikan kepada klien yang tidak memiliki ketidakterbatasan dalam hal mobilisasi,
yaitu keadaan klien dapat melakukan perubahan posisi yang bermakna dan sering tanpa
bantuan.

e. Nutrisi Nutrisi adalah pola asupan makanan yang lazim.Pada subskala ini terdapat 4
(empat) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai terendah (resiko tinggi) dan 4 adalah nilai tertinggi
(resiko rendah). Nilai 1 diberikan kepada klien dengan keadaan asupan gizi yang sangat
buruk, yaitu klien dengan keadaan tidak pernah makan makanan lengkap, jarang makan lebih
dari 1/3 porsi makanan yang diberikan. Tiap hari asupan protein (daging / susu) 2 x atau
kurang. Kurang minum. Tidak makan suplemen makanan cair atau Puasa dan/atau minum air
bening atau mendapat infus > 5 hari. Nilai 2 diberikan kepada klien dengan keadaan mungkin
kurang asupan nutrisi, yaitu klien dengan jarang makan makanan lengkap dan umumnya
makan kira-kira hanya 1/2 porsi makanan yang diberikan. Asupan protein, daging dan susu
hanya 3 kali sehari. Kadang-kadang mau makan makanan suplemen ataumenerima kurang
dari jumlah optimum makanan cair dari sonde (NGT).

Nilai 3 diberikan kepada klien dengan keadaan cukup asupan nutrisi, yaitu klien dengan
keadaan makan makanan > 1/2 porsi makanan yang diberikan.Makan protein daging
sebanyak 4 kali sehari.Kadang-kadang menolak makan, tapi biasa mau makan suplemen yang
diberikan ataudiberikan melalui sonde (NGT) atau regimen nutrisi parenteral yang mungkin
dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan nutrisi.

Nilai 4 diberikan kepada klien yang baik asupan nutrisinya, yaitu klien dengan keadaan
makan makanan yang diberikan.Tidak pernah menolak makan. Biasa makan 4 kali atau lebih
dengan protein (daging/susu), kadang-kadang makan di antara jam makan dan tidak
memerlukan suplemen.

19 | P a g e
f. Friksi dan Gesekan Pada subskala ini terdapat 3 (tiga) tingkat nilai, yaitu; 1 adalah nilai
terendah (resiko tinggi) dan 3 adalah nilai tertinggi (resiko rendah).

Nilai 1 diberikan pada klien dengan masalah, yaitu klien yang memerlukan bantuan sedang
sampai maksimum untuk bergerak.Tidak mampu mengangkat tanpa terjatuh. Seringkali
terjatuh ke atas tempat tidur atau kursi, sering membutuhkan bantuan untuk kembali keposisi
semula sebelum kejang, kontraktur atau agitasi menyebabkan friksi terus menerus.

Nilai 2 diberikan kepada klien dengan masalah yang berpotensi, yaitu klien yang bergerak
dengan lemah dan membutuhkan bantuan minimum. Selama bergerak kulit mungkin akan
menyentuh alas tidur, kursi, alat pengikat atau alat lain. Sebagian besar mampu
mempertahankan posisi yang relatif baik diatas kursi atau tempat tidur, tapi kadang-kadang
jatuh ke bawah.

Nilai 3 diberikan kepada klien yang tidak memiliki masalah, yaitu klien yang bergerak di atas
tempat tidur maupun kursi dengan mandiri dan mempunyai otot yang cukup kuat untuk
mengangkat sesuatu sambil bergerak.Mampu mempertahankan posisi yang baik di atas
tempat tidur atau kursi.

Nilai total pada pada skala Braden ini berada pada rentang 6-23, tergantung pada hasil
penilaianan perawat tersebut. skor 15-18 resiko rendah, 10-12 resiko tinggi , skor 13-14
resiko sedang dan kurang dari 9 resiko sangat tinggi. Total nilai rendah menunjukkan resiko
tinggi pressure ulcer, sehingga perlu pencegahan segera. Klien dewasa di rumah sakit dengan
nilai 16 atau kurang dan klien lansia dengan 17 ataupun 18 dianggap beresiko. (Ayello and
Braden, 2002). Penelitian Lahmann et al (2009) di Jerman, menemukan bahwa tidak semua
subskala dalam skala Braden memiliki pengaruh yang sama dalam menentukan resiko
terjadinya pressure ulcer. Subskala yang paling mempengaruhi terjadinya pressure ulcer
menurut penelitian tersebut adalah subskala friksi dan gesekan.Subskala yang dianggap
penting selanjutnya adalah nutrisi dan aktifitas. Sedangkan yang dianggap paling tidak
mempengaruhi dalam subskala tersebut adalah persepsi sensori (Suriadi, 2004). Skala Braden
mempunyai validitas prediksi yang baik dengan nilai sensitifitas 80% sehingga skala Braden
dapat digunakan untuk memprediksi kejadian luka dengan baik (Suriadi,2004).

Dalam penelitian terbaru, oleh Page et al (2010) di Australia, ditemukan bahwa suatu skala
penilaian resiko terjadinya pressure ulcer yang terbaru dan memiliki keefektifitasan yang
lebih tinggi daripada skala Braden sedang dikembangkan oleh The Northern Hospital Human
Research Ethics Committee dan the Northern Clinical Research Centre and the Injury

20 | P a g e
Prevention Unit at the Northern hospital., Australia. Skala ini dinamakan The Northern
Hospital Pressure ulcerPrevention Plan (TNH-PUPP).Selain memiliki keefektifan yang lebih
tinggi, skala TNH-PUPP ini lebih mudah digunakan dan tidak memerlukan pelatihan untuk
menggunakannya.

2. Skala Norton

Skala Norton mengukur kondisi fisik, status mental, tingkat aktivitas, pergerakan pasien dan
inkontinensia. Penilaianan pada skore 1-4 total score 5-20. Pada skore terendah maka
semakin tinggi resiko pressure ulcer.Skala ini sangat sederhana dan mudah digunakan, namun
telah banyak mendapat revisi bahwa penilaianan status nutrisi masih belum ada. Sedangkan
kenyataannya penilaianan status nutrisi dapat dimasukkan dalam proses pemeriksaan fisik
(JoAn, 2000).

3. Skala Gosnell

Skala Gosnell sebenarnya adalah revisi dari skala Norton.Kondisi umum diganti dengan
status nutrisi dan kategori inkontinensia diganti dengan continence. Pada skala Gosnell
menggunakan skore yang berkebalikan dengan skala Norton. Skor terendah maka resiko
pressure ulcerrendah jika skore 20 maka resiko paling tinggi (Jo An, 2000). Skala gosnel
memiliki 8 variabel yang meliputi mobilitas, gesekan, signifikan anemia, persisten pyrexia,
perfusi peripheral buruk, nutrisi, kadar serum albumin, inkontinensia (Retnaningsih, 2014).

A. Kerangka konsep

Faktor resiko :

1. Persepsi sensorik

2. Kelembaban

3. Aktivitas

4. Mobilisasi

5. Nutrisi

6. Friksi dan gesekan

21 | P a g e
Komplikasi pressure ulcer :

1. Infeksi aerobic

2. Infeksi anaerobic

3. septicemia

4. anemia

5. hipoalbuminemia

6. hiperbilirubin

7. kematian

Pasien rawat inap di Unit Stroke

Tingkat resiko Pressure ulcer

Penangangan pressure ulcer :

1. Perawatan luka

2. Terapi fisik

3. Terapi obat

4. Terapi diet

5. Penggunaan alat bantu : kasur, kursi, dll.

keterangan :

1. tidak diteliti

2. diteliti

9. Hipotesis

Apakah terdapat hubungan antara tingkat resiko pressure ulcer dan faktor resiko pressure
ulcer di Unit stroke rumah sakit.

22 | P a g e
BAB III

KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Pressure ulcer adalah suatu area yang terlokalisir dengan jaringan mengalami nekrosis
yang biasanya terjadi pada bagian permukaan tulang yang menonjol, sebagai akibat
dari tekanan dalam jangka waktu yang lama yang menyebabkan peningkatan tekanan
kapiler.
Luka tekan sering terjadi populasi tua. Hanya dibutuhkan beberapa jam untuk
berkembangnya luka tekan tersebut. Sedangkan penyembuhan dapat memerlukan
waktu yang lama.

B. SARAN
Perawat perlu belajar lebih banyak dan menggali informasi dari berbagai sumber,
seperti mengikuti seminar, pelatihan dan lain-lain. Agar dapat mengaplikasikan ilmu
yang didapat dengan sebaik-baiknya dan dapat mencegah terjadinya luka tekan yang
makin parah pada pasien. Perawat perlu lebih sigap dan cermat dalam melihat tanda-
tanda dan gejala yang sedang dialami pasien dengan penyakit tersebut.

23 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

AHCPR, (1994). Treatment Of Pressure Ulcers Clinical Practice Guideline. No. 15. AHCPR.
Publicaton number 95-0652. Rockville, MD: Agency For Healthy Care Policy And Research.

Ayello, E.A., & Braden B.(2002). How and why to do pressure ulcer risk assessment.
Advance s in skin and wound care, May-Jun;15(3):125-31.

Braden BJ, Bergstrom N .(2000). A Conceptual Schema For The Study Of The Etiology Of
Pressure Sores. Rehab Nursing,

Brandon. J.Wihelmy, (2006). Pressure Ulcers, surgical treatment and principles.

Http://Www.Emedicine.Com/Plastic/Topic 462.Htm, diakses tanggal 2 Oktober 2015.

Bujang, bukit. (2003). Pengaruh Alih Baring Terhadap Kejadian Dekubitus Pada Pasien
Stroke Yang Mengalami Hemiparesis Di Ruang Yudistira Di Rsud Kota Semarang. Skripsi.

Budiarto, eko.(2001). Pengantar Epidemiologi Edisi 2,EGC. Jakarta

Bredesen, Ida Marie. (2013). The prevalence, prevention and multilevel variance of pressure
ulcers in Norwegian hospitals: A cross-sectional study. International Journal of Nursing
Studies , Volume 52 , Issue 1 , 149 - 156

Bergstrom, (1992). A clinical trial of the braden scale for predicting pressure sore risk . Nurs
Clin Nort Am.22 (2) 417-428.

Compher, Charlene, (2007)."Obesity reduces the risk of pressure ulcers in elderly


hospitalized patients." The Journals of Gerontology Series A: Biological Sciences and
Medical Sciences 62.11: 1310-1312.

Davis, Jennifer. (2011).Decubitus ulcer: risk factors, prevention and treatment.The Veterinary
Nurse 2.3 : 130-139.

Dittmer DK, Teasell R. (2011). Pressure ulcers. Department of Physical Medicine and
Rehabilitaton.

24 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai