Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian Dalam Rangka Mempertahankan Ketahanan Pangan Nasional PDF
Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian Dalam Rangka Mempertahankan Ketahanan Pangan Nasional PDF
DALAM RANGKA
MEMPERTAHANKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Nana Apriyana
NIP:196304131996031001
1. Pendahuluan
Ketahanan pangan ini pada saat ini sedang mengalami banyak ancaman yang
berkaitan dengan posisi sektor pertanian yang belum menjadi sektor unggulan di
tingkat nasional maupun daerah. Selain itu ancaman yang serius terjadi dari
berbagai aspek seperti aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek fisik (Lihat Gambar
1). Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia menyebabkan tekanan pada
perkembangan sektor pertanian sangat tinggi, berkurangnya aspek budaya
pertanian menyebabkan sektor pertanian kurang diminati oleh penduduk Indonesia.
Sementara itu di sektor ekonomi perkembangan sektor ini kalah bersaing dengan
sektor lain dalam hal menciptakan nilai tambah ekonomi dibandingkan dengan
sektor ekonomi lain seperti Industri dan Jasa. Selanjutnya kebijakan nasional juga
kurang mendukung dalam mengembangkan sektor pertanian sebagai sektor
unggulan dan merupakan lapangan pekerjaan bagi sebagian penduduk Indonesia.
2
(Gambar 1).
3
Dari aspek fisik kawasan atau lahan-lahan pertanian ancaman tara lain adalah
berkurangnya lahan-lahan pertanian akibat adanya konversi lahan pertanian
tertutama di lahan-lahan pertanian sekitar kawasan perkotaan. Selain merupakan
lahan-lahan pertanian kelas 1 kawasan tersebut juga sebagian merupakan lahan
pertanian beririgasi teknis yang diairi sepanjang tahun. Konversi umumnya terjadi
dari kawan pertanian ke penggunaan lahan terutama untuk kegiatan komersial dan
perumahan kepadatan tinggi. Konversi ini terus terjadi tanpa bisa dikendalikan,
yang antara lain dipengaruhi faktor penyebabnya seperti:
1. RTRW Kabupaten/Kota sebelumnya belum mendukung perlindungan terhadap
lahan pertanian pangan;
2. Tujuan
5
pembangunan terus dilakukan seperti sekarang kondisi lahan pertanian dan
perkembangan kawasan perkotaan di Pulau Jawa seperti berikut:
6
Dari aspek fisik lahan, konversi dipengaruhi dua hal yaitu aspek kepemilikan lahan
pertanian dan aspek penataan ruang. Aspek kepemilkan terkait dengan hak atas
tanah yang absolut yang dalam prosesnya kemudian menyebabkan kepemilikan
lahan itu terpecah pecah dan menjadi sangat kecil. Pemilikan yang kecil tersebut
menyebabkan rawan untuk terjadinya alih fungsi lahan pertanian karena kesulitan
dalam pengendalian pemanfaatan tata ruangnya. Aspek yang kedua adalah aspek
penataan ruang terutama rencana tata ruang yang merupakan satu-satunya
instrumen pengendalian terhadap pemanfaatan ruang yang ada di daerah. Sesuai
UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, tujuan RTRW adalah untuk
menjaga agar pemanfaatan ruang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.
Sementara itu berdasarkan UU Penataan ruang dan turunannya PP No 15 tahun
2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang disebutkan bahwa dalam RTRW
diatur kawasan pertanian produktif. untuk mengendalikan laju konversi lahan, dan
7
akhirnya juga dibuat UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan (PL2B) yang salah satunya adalah kewajiban untuk
menetapkan kawasan pertanian dalam RTRW sehingga diharapkan
keberadaannya dapat berkelanjutan. Beberapa substansi utama yang diatur dalam
UU PL2B meliputi perencanaan dan penetapan; pengembangan; penelitian;
pemanfaatan; pembinaan; pengendalian; pengawasan; sistem informasi;
perlindungan dan pemberdayaan; pembiayaan; dan peran serta masyarakat.
Penetapan dan perlindungan lahan ini merupakan amanat UU Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan, ditetapkan 16 September 2009. Melalui UU ini,
kawasan dan lahan pertanian pangan ditetapkan (jangka panjang, menengah, dan
tahunan) lewat perencanaan kabupaten/kota, provinsi, dan nasional (Pasal 11-17).
Keberadaan kawasan dan lahan dilindungi hanya bisa dikonversi untuk
kepentingan umum. Itu pun dengan syarat mahaberat (Pasal 44-46): didahului
kajian kelayakan dan rencana alih fungsi, pembebasan kepemilikan, dan ada lahan
pengganti 1-3 kali yang dikonversi plus infrastruktur. Siapa yang melakukan alih
fungsi lahan yang dilindungi bisa dipidana 2-7 tahun dan denda Rp 1 miliar-Rp 7
miliar. Pidana ditambah jika pelakunya pejabat (Pasal 72-74).
8
5. SE MNA/KBPN 410-2261/1994 Izin Lokasi Tidak Boleh Mengkonversi Sawah
Irigasi Teknis (SIT)
6. SE/KBAPPENAS 5334/MK/9/1994 Pelarangan Konversi Lahan Sawah Irigasi
Teknis Untuk Non Pertanian
7. SE MNA/KBPN 5335/MK/1994 Penyusunan RTRW Dati II Melarang Konversi
Lahan Sawah Irigasi Teknis untuk Non Pertanian
8. SE MNA/KBPN 5417/MK/10/1994 Efisiensi Pemanfaatan Lahan Bagi
Pembangunan Perumahan
9. SE MENDAGRI 474/4263/SJ/1994 Mempertahankan Sawah Irigasi Teknis untuk
mendukung Swasembada Pangan.
10. SE MNA/KBPN 4601594/1996 Mencegah Konversi Tanah Sawah dan Irigasi
Teknis Menjadi Tanah Kering:
11. Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur
kawasan pertanian yang produktif.
12. UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(PL2B) yang salah satunya adalah kewajiban untuk menetapkan kawasan
pertanian dalam RTRW.
13. PP 15 Tahun 2010 Penyelenggaraan Penataan Ruang mengatur masalah lahan
pertanian berkelanjutan.
9
pertanian serta konservasi sumber daya lahan dan air. Namun demikian, studi
Bappenas juga mengidentifikasikan bahwa implementasinya peraturan dan
undang-undang tersebut tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap
proaktif yang memadai. Tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan
pengendalian konversi lahan sulit dilaksanakan yaitu: (i) Kebijakan yang
kontradiktif; (ii) Cakupan kebijakan yang terbatas; (iii) Kendala konsistensi
perencanaan (Nasoetion, 2003). Selain itu kendala yng dihadapi adalah sampai
saat ini belum ada data yang akurat tentang besaran alih fungsi lahan sawah
tersebut. Belum adanya data yang memadai menyulitkan dalam pengendalian dan
pemantauan terjadinya konversi lahan-lahan pertanian terutama di kawasan
perkotaan. Kurangnya akurasi data juga akan berpengaruh pada keakuratan
penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan penyusunan neraca
penatagunaan tanah yang dapat menggambarkan ketersediaan lahan-lahan
pertanian serta lahan-lahan potensial yang digunakan untuk pembangunan. Selain
itu data-data disusun oleh berbagai instansi sesuai kebutuhannya dan tidak
terintergasi satu sama lain karena mempunyai kedalaman dan akurasi yang
berbeda-beda.
10
ditegaskan bahwa tanah-tanah pertanian dan sawah berkualitas tinggi pada
umumnya terkonsentrasi dan beralih fungsi di sekitar kota-kota besar terutama di
pulau Jawa (Talkurputra dan Amien, 1998). Oleh karena itu, kebijaksanaan
pengendalian konversi lahan pertanian terutama sawah beririgasi teknis harus
benar-benar terintegrasi dengan rencana pengembangan ruang kota pada
khususnya dan rencana tata ruang wilayah pada umumnya (Gambar 2).
(Gambar 2)
Kabupaten Mojokerto
Kabupaten Mojokerto yang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah saat
ini sedang menyusun RTRW kabupatennya, berdasarkan data BPS tahun 2006
11
luas lahan pertanian basahnya mencapai 44,344 Hektar. Sedangkan alokasi RTRW
berdasarkan draft PERDAnya untuk lahan pertanian berkelanjutan hanya sampai
tahun 2025 mencapai 27832 Ha yang tersebar di seluruh Kecamatan. Dalam perda
tersebut juga disebutkan kebijakan pertaniannya adalah intensifikasi pertanian,
pengembangan teknologi pertanian dan pengembangan agropolitan adalah
pelarangan alih fungsi lahan berkelanjutan dan arahan zonasi pada kawasan
tersebut. Namun demikian alih fungsi lahan pertanian tersebut akhirnya menuju ke
arah pembangunan perkotaan dengan kegiatan jasa dan perdagangan.
Kabupaten Cianjur
Kabupaten Cianjur yang dikenal sebagai lumbung pangan nasional dan juga
terkenal dengan kenikmatan beras Cianjur, berdasarkan data BPS tahun 2009 luas
pertanian lahan basah adalah mencapai 144.024 hektare. Sedangkan alokasi
berdasarkan draft RTRW untuk lahan pertanian basah adalah seluas kurang lebih
18.494 hektar saja pada tahun 2025. Dengan demikian akan terjadi alih fungsi
lahan pertanian basah yang sangat besar ke peggunaan yang lain.Dalam daehan
pemanfaatan ruang disebutkan bahwa pengembangan lahan pertanian basah akan
lebih difokuskan ke pengembangan agrowisata yang dinilai mempunyai dampak
nilai tambah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengembangan pertanian
lahan basah. Arahan pengembangan seperti itu barangkali dapat dimengerti karena
adanya pengaruh dari pengembangan metropolitan Jabodetabekpunjur yang
sangat pesat terutama kegiatan wisata di sekitar puncak.
Kabupaten Tanggerang
(Gambar 3)
13
Terhadap aspek kepemilikan lahan maka opsi-opsi kebijakannya adalah:
1. Meningkatkan kekuatan negara untuk menetapkan, menjaga, dan mengambilalih
kepemilikan atas lahan-lahan pertanian berkelanjutan sesuai UU No 41 tahun
2009. Termasuk dalam hal ini adalah memperketat terhadap izin pemanfaatan
ruang seperti yang diatur dalam UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.
Salah satu hal yang juga dapat mendukung efektifitas dan bersinergi dengan
pelaksanaan UU PLB adalah mempercepat pengesahan UU tentang
pengadaan lahan untuk kepentingan umum.
2. Mengembangkan skema insentif baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah kepada masyarakat yang dengan sukarela dapat mempertahankan
fungsi kawasan pertanian lahan basahnya dan tidak dilakukan alih fungsi ke
penggunaan lainnya. Transparansi perlu untuk keadilan dan melibatkan pemilik
tanah dalam konversi lahan dengan imbalan layak (jadi shareholder);
1. Dalam pendekatan hukum, RTRW perlu disempurnakan lebih lanjut dan segera
ditetapkan zonasi ruang yang lebih rinci terkait dengan pengendalian alih fungsi
lahan sawah. Peraturan perundang-undangan yang telah dibuat dan kondusif
perlu direvitalisasi dan penegakan hukum (law enforcement) harus diperkuat
melalui advokasi publik secara konsisten.
2. Perlu komitmen bersama seperti yang tertuang dalam RPJPN atau RPJMN
tentang pentingnya sektor pertanian, sehingga bisa dipahami seluruh
stakeholder. Hal ini juga bisa menjadi acuan Badan Koordinasi Penataan Ruang
(BKPRN) dimana Bappenas sebagai sekretarisnya dalam menilai kebutuhan
untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian seperti yang tertuang
dalam RTRW.
14
3. Perlu disusun rencana tata ruang perdesaan sebagai landasan bagi
pengembangan perdesaan sebagai basis pengembangan sektor pertanian di
Indonesia dan mencegah terjadinya urbanisasi yang sangat haus akan tanah.
Terhadap aspek peningkatan kualitas data dan informasi opsi-opsi kebijakan yang
dapat ditempuh adalah:
1. Peningkatan kualitas data dan informasi termasuk peta geografis sebagai basis
perencanaan pembangunan serta sebagai bagian dari transparansi untuk
meningkatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan maupun
pelaksanaan pembangunan.
5. Kesimpulan
Alih fungsi lahan pertanian basah ke penggunaan lainnya dalam beberapa tahun ini
sangat pesat terjadi dan ini sangat mengancam program ketahanan pangan
nasional. Salah satunya dipercepat dengan ditetapkannya alih fungsi ini secara
formal dan legal dalam dokumen Perda RTRW Kabupaten maupun Kota. Disisi lain
juga data dan informasi mengenali luasan lahan pertanian basah (sawah) sangat
beragam sehingga menyulitkan perencanaan dan pengambilan keputusan. Sebagai
institusi perencanaan, Bappenas dalam mengambil peran antara lain:
15
1. Dalam BKPRN memberikan arahan tentang program ketahanan pangan yang
perlu dipertahankan yang perlu diwujudkan dalam pencegahan secara agresif
alih fungsi lahan dalam RTRW Kabupaten/kota.
2. Mengembangkan Pusdatin sebagai pusat informasi perencanaan pembangunan
nasional dan daerah dengan memanfaatan UU SIG yang telah diterbitkan.
16
Daftar Pustaka
Muhammad Iqbal dan Sumaryanto, Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian
Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian.
Emil Salim, Perencanaan Penggunaan Lahan Dalam Tata Ruang, Bahan Seminar
Nasional Pengendalian Alih Fungsi Lahan,Bappenas, 2008
17